You are on page 1of 12

JOURNAL READING

RECURRENT FURUNCULOSIS CHALLENGES AND MANAGEMENT

Tutors :
dr. Wahyu Hidayat, Sp. KK

Created By :
Arum Diannitasari (012106093)

DEMAK GOVERNMENT GENERAL HOSPITAL


MEDICAL FACULTY OF ISLAMIC SULTAN AGUNG UNIVERSITY
PERIOD 08th December 4th Jnauary 2015

HALAMAN PENGESAHAN

Nama

: Arum Diannitasari

NIM

: 01.210.6093

Fakultas

: Kedokteran

Universitas

: Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )

Tingkat

: Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian

: Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Judul

: Furunkulosis berulang tantangan dan manejemen : tinjauan

Demak, 20 Desember 2014


Mengetahui dan Menyetujui
Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit Kelamin RSUD Sunan Kalijaga Kab. Demak

Pembimbing

dr. Wahyu Hidayat, Sp. KK

BACAAN JURNAL
FURUNKULOSIS BERULANG TANTANGAN DAN MANEJEMEN : TINJAUAN

Pembimbing :
dr. Wahyu Hidayat, Sp. KK

Disusun Oleh :
Arum Diannitasari (012106093)

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DEMAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
PERIODE 08 Desember 04 Januari 2015

FURUNKULOSIS BERULANG TANTANGAN DAN MANEJEMEN : TINJAUAN


Kristina Sophie Ibler, Charles B Kromann
ABSTRAK
Furunkulosis merupakan infeksi profunda pada folikel rambut yang dapat menyebabkan
pembentukan abses dengan akumulasi pus dan jaringan nekrotik. Furunkel tampak sebagai
nodul berwarna merah, bengkak, dan lunak terdapat pada bagian tubuh yang berambut, agen
infeksius penyebab yang paling umum adalah Staphylococcus aureus, akan tetapi bakteri lain
masih mungkin sebagai penyebabnya. Di beberapa negara, methicilin resistant S.aureus
merupakan penyebab infeksi kulit dan jaringan lunak dimana pengobatannya masih menjadi
masalah hingga saat ini. Furunkulosis cenderung berulang dan dapat menular di antara
anggota keluarga. Beberapa pasien adalah karier dari S.aureus dan eradikasi kuman harus
dipertimbangkan pada kasus-kasus yang bersifat rekuren. Lesi soliter yang berfluktuasi harus
dilakukan tindakan insisi, sedangkan pada pasien yang memiliki beberapa luka atau tandatanda penyakit sistemik atau imunosupresi harus diobati dengan antibiotik yang relevan.
Pendekatan diagnostik dan terapi untuk pasien yang dicurigai staphylococcosis harus
mencakup anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan mikrobiologi yang spesifik serta
investigasi biokimia. Hal ini sangat penting pada kasus yang berulang, dimana harus
dilakukan identifikasi dengan pemeriksaan swab-kultur yang dilakukan pada pasien, anggota
keluarga, serta yang memiliki kedekatan kontak

sehingga dapat mengendalikan rantai

infeksi. Pengendalian kebersihan pribadi, interpersonal, dan lingkungan sangat penting untuk
mengurangi risiko terjadinya kontaminasi dan kekambuhan.
Kata kunci : Furukulosis, SSTI, bisul, abses, staphylococcosis
PENDAHULUAN
Furunkulosis merupakan infeksi profunda pada folikel rambut yang dapat
menyebabkan pembentukan abses dengan akumulasi pus dan jaringan nekrotik. Furunkel
terdapat pada bagian tubuh yang berambut dan agen infeksius penyebab yang paling umum
adalah Staphylococcus aureus, akan tetapi bakteri lain masih mungkin sebagai penyebabnya.
Furunkulosis dapat terjadi pada infeksi methicillin resistant S. aureus (MRSA), yang telah
menjadi endemik di beberapa Negara. MRSA lebih sulit untuk diobati dengan antibiotik
standar sehingga menjadi masalah spesifik klinis dan mikrobiologis, hal ini sudah banyak
dibahas secara detail oleh karena itu disini tidak akan dijelaskan secara rinci mengenai
masalah tersebut.

TANDA DAN GEJALA


Secara klinis, furunkel tampak sebagai nodul berwarna merah, bengkak, dan lunak
dengan ukuran bervariasi dan terkadang disertai pustule. Demam dan pembesaran kelenjar
getah bening jarang ditemukan. Jika beberapa folikel yang berdekatan terinfeksi maka
folikel-folikel tersebut bisa bergabung dan membentuk nodul yang lebih besar, yang dikenal
sebagai karbunkel. Furunkel paling sering muncul pada ekstremitas dan dapat menyebabkan
jaringan parut pada proses penyembuhannya. Kebanyakan pasien datang dengan satu atau dua
bisul dan setelah dibersihkan tidak ada kekambuhan. Namun, furunkulosis memiliki
kecenderungan untuk kambuh dan dalam beberapa kasus sering menyebar di antara anggota
keluarga lainnya.
FURUNKULOSIS BERULANG
Furunkulosis berulang secara umum didefinisikan sebagai furunkulosis dengan tiga
kali atau lebih serangan dalam waktu 12 bulan. Kolonisasi S. aureus dalam nares anterior
memainkan peranan penting dalam etiologi furunkulosis kronis atau berulang. Selain nares,
kolonisasi juga terjadi pada lipatan kulit yang lembab dan hangat seperti di belakang telinga,
di bawah payudara, dan di selangkangan. Bakteri selain S. Aureus juga dapat menjadi
patogen, terutama untuk furunkel di daerah vulvovaginal dan perirectal, dan di daerah
bokong. Bakteri yang sering muncul pada daerah tersebut merupakan spesies enterik seperti
Enterobacteriaceae dan Enterococci. Corynebacterium, S. epidermidis, dan S. pyogenes juga
mungkin terdapat dalam furunkulosis. Immunodefisiensi jarang menjadi penyebab utama.
Kualitas hidup pada pasien dengan furunkulosis berulang belum diteliti. Namun,
penurunan kualitas hidup ditemukan pada pasien positif MRSA yang diisolasi di institutisi
paliatif dan pada pasien dengan penyakit bisul berulang lain seperti hidradenitis supuratif.
FAKTOR RESIKO
Kontak fisik secara langsung dengan orang yang terinfeksi, terutama anggota keluarga
atau petugas kesehatan, adalah faktor risiko utama untuk penularan furunkulosis. Faktor
risiko yang terkait dengan furunkulosis berulang telah diteliti dalam studi kasus kontrol yang
melibatkan 74 pasien dengan furunkulosis berulang dan jumlah yang sama dari pasien dengan
furunkolusis tidak berulang. Pada swab nasal ditemukan S. aureus 89% dan 100% pada
furunkulosis berulang dan furunkulosis tidak berulang, serta tidak ada perbedaan signifikan
yang terdeteksi mengenai kejadian resistensi terhadap antibiotik yang umum digunakan.

Faktor independen yang paling penting dari kekambuhan adalah riwayat keluarga yang
positif. Faktor independen lainnya adalah anemia, terapi antibiotik sebelumnya, diabetes
mellitus, rawat inap sebelumnya, banyaknya lesi, kebersihan pribadi yang buruk, dan
penyakit-penyakit terkait. Penyakit kulit terkait seperti dermatitis atopik, luka kronis, atau
ulserasi kaki meningkatkan kerentanan terhadap kolonisasi bakteri dan lebih rentan untuk
tertular furunculosis. Defisiensi mannose-binding lektin serta gangguan fungsi neutrofil pada
orang dewasa, cacat mental juga telah dikaitkan dengan furunkulosis. Obesitas dan gangguan
hematologi juga termasuk faktor predisposisi furunkulosis. Meskipun demikian, dalam
sebagian besar kasus, tidak terdapat faktor predisposisi yang benar-benar dapat memberatkan.
MRSA
Furunkulosis yang berulang paling sering disebabkan oleh resistensi methicillin S.
aureus. Namun, community acquired MRSA (CA-MRSA) (MRSA komunitas) telah menjadi
endemik di AS dan saat ini merupakan penyebab paling umum infeksi jaringan lunak di ruang
gawat darurat pada banyak negara. Prevalensi CA-MRSA lebih tinggi di Amerika Serikat
dibandingkan di Eropa, akan tetapi prevalensi di Eropa saat ini sedang mengalami
peningkatan. Beberapa strain MRSA, khususnya CA-MRSA, menghasilkan racun bernama
Panton-Valentine leukocidin (PVL) dan ini berkaitan dengan infeksi berat. PVL adalah
leucocidal walaupun berat, jarang menimbulkan komplikasi, seperti necrotizing fasciitis dan
pneumonia nekrotikan yang biasanya terjadi setelah infeksi jaringan lunak dengan MRSA.
PVL adalah faktor virulensi S. aureus yang berkorelasi dengan furunculosis berulang kronis.
DIAGNOSIS
Diagnosis furunkulosis relatif dapat segera ditegakkan. Agen mikroba dapat
diidentifikasi dengan kultur-swab sederhana. Pemeriksaan klinis umum harus dilakukan, dan
investigasi tidak hanya kultur-swab pada lesi (lebih baik kultur dari nanah atau cairan pada
bisul yang berfluktuasi, dilakukan dengan membuat sayatan), tetapi juga dapat diambil dari
lubang hidung dan perineum. Tergantung pada riwayat keluarga, kultur-swab anggota
keluarga mungkin perlu dilakukukan. Disarankan untuk memeriksa urine dan glukosa darah,
atau hemoglobin terglikasi (HbA1c) untuk mengidentifikasi diabetes, dan pemeriksaan darah
rutin lengkap untuk menyingkirkan infeksi sistemik atau penyakit internal lainnya. Evaluasi
imunologi dapat dipertimbangkan dalam penyakit berulang atau tanda-tanda penyakit
internal.

DIAGNOSIS BANDING
Jika nodul terletak di aksila, selangkangan, dan / atau di daerah bawah mammae,
hidradenitis suppurativa (HS) harus dipertimbangkan sebagai diagnosis diferensial.
Anamnesis pribadi maupun keluarga mengenai episode terjadinya bisul penting dilakukan.
Pada wanita, gejala intensif yang berhubungan dengan periode bulanan adalah tanda-tanda
yang menunjukkan HS, dan HS mungkin kedepannya, dapat mengarah ke saluran sinus dan
fistula dengan bau busuk dan kotoran yang berbau tengik. Diagnosis banding yang lain
termasuk reaksi benda asing, kista pilonidal, abses kelenjar Bartholin, dan jenis abses lainnya.

KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling umum untuk furunkulosis adalah pembentukan scar dan
kekambuhan. Furunkulosis jarang menyebabkan infeksi sistemik dengan demam dan gejala
organ terkait. Kultur darah positif dan endokarditis yang mengikuti furunkulosis ditemukan.
Infeksi kulit oleh MRSA telah terbukti menjadi lebih sulit den an adanya infeksi sistemik
seperti distres pernapasan dan pneumonia, necrotizing fasciitis dan myositis juga dilaporkan
mempersulit infeksi kulit oleh MRSA. Selain itu, juga dilaporkan infeksi S.aureus dapat
diikuti dengan osteomielitis, septic arthritis, dan infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis
dan abses otak.
PENGOBATAN
Manajemen dari furunkulosis berulang merupakan permasalahan dan mungkin dapat
tidak sesuai harapan. Sebuah flowchart pada manajemen furunkulosis ditunjukkan pada
Gambar 1. Insisi sederhana dan drainase mungkin cukup pada lesi soliter, tetapi terapi
antibiotik sistemik mungkin diperlukan. S. aureus memiliki kemampuan mengembangkan
resistensi terhadap antibiotik yang berbeda, dan ini penting untuk diingat ketika memilih
antimikrobial.
Gambar 1. Bagan diagnosis dan tatalaksana furunkulosis (Ddx: diffrential
diagnosis, Dx: diagnosis, Mx: Management)

Menurut pedoman praktek klinis pada infeksi MRSA, insisi dan drainase saja
mungkin cukup untuk abses sederhana atau bisul, tetapi penelitian tambahan diperlukan
untuk menentukan peran antibiotik dalam pengobatan seperti ini.
Antibiotik dianjurkan jika infeksi kulit terkait dengan penyakit berat (lesi multiple
atau perkembangan yang cepat), penyakit sistemik, atau komorbiditas terkait, imunosupresi,
usia yang ekstrim(tua), abses di daerah yang sulit untuk dikeringkan (misalnya, wajah,
tangan, dan genitalia), septic flebitis, dan kurangnya respon terhadap terapi yang hanya
dilakukan insisi dan drainase.
Pedoman dari Infectious Diseases Society of America menyarankan antibiotik oral
yang digunakan untuk pengobatan empiris CA-MRSA pada pasien rawat jalan: klindamisin,
trimetoprim-sulfametoksazol, tetrasiklin (doksisiklin atau minocycline), dan linezolid. Jika

diperlukan pengobatan untuk -hemolytic streptococci dan CA-MRSA, antibiotik yang dapat
digunakn klindamisin, atau trimethoprim-sulfamethoxazole, atau tetrasiklin dengan
kombinasi -laktam (misalnya, amoksisilin), atau linezolid.
Untuk pasien rawat inap dengan infeksi yang berat, selain debridement dan antibiotik
spektrum luas, terapi empiris untuk MRSA harus dipertimbangkan ketika menunggu hasil
kultur. Pilihannya meliputi vankomisin 1 g dua kali sehari intravena (IV), linezolid 600 mg
dua kali sehari oral atau IV, daptomycin 4 mg / kg / dosis IV sekali sehari, telavancin 10 mg /
kg / dosis IV sekali sehari, dan klindamisin 600 mg IV atau oral tiga kali sehari. Antibiotik laktam (misalnya, cefazolin) dapat dipertimbangkan pada pasien rawat inap dengan selulitis
non purulen. Penyesuaian terhadap terapi aktif MRSA harus dilakukan jika ada respon klinis
yang tidak cukup baik. Pemberian terapi 7-14 hari dianjurkan tetapi harus berdasarkan respon
klinis pasien (berbeda pada setiap pasien). Pasien rawat inap dengan MRSA harus diisolasi
dari pasien lain.
PENCEGAHAN
Edukasi pencegahan seperti kebersihan pribadi dan perawatan luka yang tepat
dianjurkan untuk pasien dengan kulit atau infeksi jaringan lunak (SSTI) seperti furunculosis
berulang. Luka harus ditutup dengan bersih, memakai perban kering. Menjaga kebersihan
pribadi yang baik dengan mandi teratur dan mencuci tangan dengan sabun dan air, atau
dengan handrub dianjurkan, terutama setelah menyentuh kulit yang terinfeksi atau baru saja
bersentuhan langsung dengan luka dalam masa pengeringan. Menghindari penggunaan
bersama barang pribadi seperti pisau cukur sekali pakai atau elektrik atau epilators, seprai,
dan handuk yang telah digunakan pada kulit yang terinfeksi. Langkah-langkah kebersihan
lingkungan harus dipertimbangkan pada pasien dengan SSTI berulang baik di rumah maupun
di komunitas. Usaha pembersihan harus difokuskan pada permukaan yang sering disentuh
(yaitu, meja, tombol-tombol pintu, bak mandi, dan kursi toilet) yang biasanya bersentuhan
langsung dengan kulit atau infeksi yang tidak ditutup. Pembersih yang tersedia secara
komersial atau deterjen yang tepat untuk permukaan yang dibersihkan harus digunakan sesuai
dengan instruksi produk untuk pembersihan rutin.
KOLONISASI
Upaya topikal pada dekolonisasi dengan mupirocin dan chlorhexidine dapat
menurunkan kejadian infeksi S. aureus berikutnya meskipun dengan berbagai tingkat

kebrhasilan. Dekolonisasi dapat dipertimbangkan pada kasus dengan SSTI berulang,


meskipun telah optimal melakukan langkah-langkah perawatan luka dan kebersihan, namun
tetap didapatkan transmisi pada anggota keluarga (meskipun tindakan kebersihan sudah
dilakukan). Dekolonisasi biasanya dilakukan dengan pemberian salep mupirocin dua kali
sehari dalam lubang hidung 5 sampai 10 hari dan mencuci tubuh setiap hari dengan sabun
klorheksidin 4% selama 5 sampai 14 hari. Mengencerkan bleach baths 15 menit dua kali
sehari selama 3 bulan juga dapat dipertimbangkan. Pembilasan oral dengan 0,2% larutan
chlorhexidine tiga kali sehari dapat menurunkan jumlah flora yang ada di faring. Penggunaan
larutan topikal gentian violet 0,3% untuk lubang hidung dua kali sehari selama 2 sampai 3
minggu juga telah dianjurkan.
Terapi antimikroba oral direkomendasikan untuk pengobatan infeksi aktif saja dan
tidak rutin dianjurkan untuk dekolonisasi. Agen oral kombinasi dengan rifampisin, jika strain
resisten, dapat dipertimbangkan untuk dekolonisasi jika infeksi kambuh meskipun telah
diberikan pengobatan topikal yang disebutkan di atas. Monoterapi rimfampisin berisiko
dalam menyeleksi varian yang resisten dan tidak dianjurkan. Kombinasi antimikroba topikal
dan sistemik sangat efektif dengan keberhasilan 87% pada patients yang diterapi. Kulturswab rektal dapat dipertimbangkan pada kasus berulang karena saluran pencernaan adalah
tempat penampungan dari methicillin S. Aureus yang resisten dan MRSA. Dalam kasus ini,
vankomisin oral (1 g dua kali sehari selama 5 hari) dapat membasmi 80% -100% dari MRSA
kolonisasi di usus. Kolonisasi urogenital dan kolonisasi vagina juga dapat muncul.
Jika anggota keluarga adalah pembawa, mereka harus diperlakukan sebagai pasien.
Selain dekolonisasi, penurunan status gizi pasien harus ditingkatkan.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN


Pada individu yang sehat, agen mikrobiologi pada manusia khususnya di kulit sangat
berbeda dengan habitat lainnya. Keragaman ini tidak sepenuhnya dipahami, namun genetik
penjamu, lingkungan, dan paparan mikroba awal, terlibat dalam menentukan perbedaan ini.
Dengan demikian, banyak pembawa (karier) stafilokokus di hidung tidak mengalami furunkel
atau bisul sedangkan yang lainnya mungkin bisa mengalami. Furunkulosis adalah kondisi
kulit yang cenderung berulang dan sering menyebar ke anggota keluarga baik secara
langsung melalui kontak kulit atau tidak langsung. Infeksi ini paling sering disebabkan oleh
S. aureus dan resistensi terhadap antimikroba adalah masalah yang terus mengalami

peningkatan. MRSA sekarang menjadi endemik di banyak negara, dan menjadi masalah di
seluruh dunia.
Morbiditas terkait dengan furunkulosis mungkin cukup dapat dipertimbangkan. Oleh
karena itu pengobatan untuk furunkulosis penting dilakukan. Secara klinis, komplikasi serius
untuk SSTIs dengan S. aureus adalah bakteremia, endokarditis infektif, dan pneumonia
nekrotikan. Komplikasi kulit termasuk ulserasi purulen dan nyeri dari lesi, yang elah
dijelaskan pada buku

The Hebrew Bible. Berdasarkan pengetahuan penulis, tidak ada

penelitian mengenai kualitas hidup pada pasien dengan furunkulosis berulang. Dalam sebuah
survei di Jerman baru-baru ini pada pasien di unit perawatan paliatif terisolasi karena MRSA,
dampak buruk pada kualitas hidup ditemukan, dan isolasi yang dilakukan tidak menunjukan
hasil yang signifikan pada pasien fase terminal. Kebanyakan pasien tidak terisolasi karena
infeksi kulit mereka, diperlukan pertimbangan dari beberapa aspek lainnya yang berperan. Ini
mungkin dikarenakan spekulasi kesamaan klinis antara furunkulosis, HS, dan akne vulgaris,
dapat menyebabkan pengaruh buruk pada kualitas hidup. Beberapa studi telah
mengidentifikasi bahwa baik jerawat maupun HS merupakan sumber utama penurunan
kualitas hidup pada pasien, menunjukkan bahwa didapatkan hubungan yang sama pada
furunkulosis. Karena itu, dibutuhkan pula penelitian yang spesifik mengenai kualitas hidup
pada penderita furunkulosis.
Pendekatan diagnostik dan terapi untuk pasien yang dicurigai staphylococcosis harus
mencakup anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan mikrobiologi spesifik dan
investigasi biokimia. Hal ini terutama penting jika didapatkan lesi berulang, yang menjadi
masalah tersendiri. Dalam kasus seperti itu wajib untuk dilakuka kultur-swab dari pasien,
anggota keluarga, dan kontak dekat dengan mengidentifikasi infeksi sehingga dapat
mengendalikan rantai infeksi. Fokus pada kebersihan pribadi, interpersonal, dan lingkungan
sangat penting untuk mengurangi risiko kontaminasi dan kambuh. Perhatian khusus harus
diberikan untuk meningkatkan dan mempertahankan pertahanan kulit. Perawatan kulit untuk
meningkatkan perthanan kulit dapat mengurangi risiko infeksi. Penggunaan rutin emollients
untuk menjaga kelembapan kulit juga sangat membantu. Beberapa terapi modalitas juga
relevan untuk pengelolaan staphylococcosis. Secara tradisional, insisi dan drainase telah
digunakan secara luas. Namun, prosedur ini harus dibatasi hanya pada bisul yang
berfluktuasi. Umumnya tidak didapatkan keuntungan dari insisi dan drainase pada bisul yang
nonfluktuan. Setelah disayat, rongga abses mungkin memerlukan penutupan untuk menjaga

drainase. Elemen kecil yang tidak berfluktuasi tidak perlu disayat dan dapat dikelola dengan
menjaga area kulit yang bersih dan terlindungi.
Jika muncul demam atau jika pasien mengalami tanda-tanda infeksi sistemik,
antimikroba sistemik mungkin diperlukan. Kultur-swab lesi,

yang teratur dan sering

dilakukan, sangat membantu dalam menentukan pola resistensi mikroba. Resistensi mikroba
dapat bervariasi sesuai dengan waktu, lokasi, dan geografi.
Pada akhirnya, pengobatan pada staphylococcosis tergantung pada pemberantasan
strain patogen pada pasien dan pembawa/karrier. Pemberantasan bagaimanapun juga, harus
dibatasi untuk pasien atau keluarga dengan SSTI berulang. Dalam kebanyakan kasus,
kolonisasi S. aureus tidak berbahaya, dan tingginya jumlah pembawa(karier) yang
asimtomatik bertentangan dengan pemberantasan pada populasi ini. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk menjelaskan kompleksitas microbiome pada pembawa (karier) S. aureus,
dan untuk menjelaskan pengaruh mekanisme penggunaan terapi lain (seperti probiotik) selain
antibiotik untuk pengendalian populasi bakteri.

You might also like