Professional Documents
Culture Documents
sejak 3 bulan yang lalu, riwayat HIV reaktif. Keluhan disertai diare dan berat badan
turun sejak 1 bulan yang lalu.
- Mencegah penularan HIV/AIDS
- Melakukan pelayanan secara komperhensif baik berupa konseling HIV/AIDS,
Tujuan :
Bahan
Bahasan :
Cara
Membahas :
Data
Tinjauan Pustaka
Diskusi
Riset
Kasus
Nama : Ny. L
Pasien :
Nama Klinik : Puskesmas Kecamatan Kalideres
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
Audit
Pos
Terdaftar sejak :
Demam sejak 2 bulan. Demam diawali dengan batuk berdahak sejak 3 bulan.
Nyeri kepala, badan lemas, ngilu dan mual, terdapat sariawan di mulut dan lidah kotor
berwarna putih. Diare dan berat badan menurun sejak 1 bulan.
Diagnosis : TB Paru dengan HIV
2. Riwayat Pengobatan : Pasien sudah berobat ke puskesmas dan diberikan obat penurun
demam yaitu paracetamol, obat batuk ambroxol sirup, vitamin B complex, vitamin C, dan
obat antidiare. Namun pasien merasa tidak ada perbaikan, keluhan tetap hilang tmbul.
1
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit : Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes mellitus,
TB paru dan asma.
4. Riwayat Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit seperti ini. Pasien
adalah seorang janda yang telah ditinggal suaminya sejak 1 tahun yang lalu untuk menikah
dengan wanita lain. Pasien mempunyai satu orang anak perumpuan yang sekarang berusia 5
tahun.
5. Riwayat Pekerjaan : Pasien adalah ibu rumah tangga, namun pasien mempunyai pekerjaan
sampingan seperti menjual baju secara kredit.
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Pasien tinggal bersama kakak perumpuannya
disebuah rumah kontrakan dengan lingkungan padat penduduk. Hubungan antara pasien
dengan tetangga dan keluarga dekat baik.
7. Riwayat Kebiasaan : Pasien mengaku tidak pernah mengonsumsi napza dalam bentuk
apapun. Riwayat minum minuman beralkohol, merokok, seks bebas, dan tato disangkal.
Pasien mengaku bahwa suaminya sering sekali berhubungan seksual dengan wanita lain.
Daftar Pustaka :
1.
2.
Djoerban, Zubairi. HIV-AIDS di Indonesia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk (editor). Jakarta. Pusat Penerbit Ilmu
Penyakit Dalam FK UI; 2007: Hal 1825-9
3.
Yayasan Spiritia: Lembaran Informasi tentang HIV / AIDS untuk ODHA. Jakarta. 2003.
4.
2012.
5.
Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Situasi HIV/AIDS di Indonesia
Tahun 1987 2006. Jakarta. 2006.
6.
Fauci, A., Braunwald, E., Kasper, D., Hauser S., Longo., D., Jameson, J., Loscalzo. 2012.
Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th. Ed. USA: McGraw Hill.
7.
Djoerban, Zubairi. HIV-AIDS di Indonesia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk (editor). Jakarta. Pusat Penerbit Ilmu Penyakit
namun terdapat sariawan di mulut dan lidah kotor berwarna putih. Pasien juga mengeluh
diare sejak 1 bulan, konsistensi cair, terdapat ampas, tidak ada lendir dan darah. Sudah
minum obat antidiare namun tidak ada perbaikan yang signifikan. Selama 1 bulan terakhir
nafsu makan pasien berkuran, pasien juga mengaku berat badannya menurun dari 54 kg
menjadi 34 kg. BAK normal.
OBJEKTIF
PEMERIKSAAN FISIK (13 April 2015)
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran
: 37,8 0 C
BB
: 34 kg TB : 154 cm
Status Internus
Mata
Mulut
Leher
THT
Thorak :
Paru :
- Inspeksi : gerakan dinding dada simetris
- Palpasi : fremitus kiri = kanan
- Perkusi : sonor
- Auskultasi : vesikuler normal, ronkhi (+/+) di kedua apeks paru, wheezing (-)
Jantung :
- Inspeksi :
- Palpasi :
- Perkusi :
Batas atas :RIC II
Batas kiri :1 jari medial LMCS RIC V
Batas kanan: linea sternalis dextra
- Auskultasi :
Abdomen :
-
Punggung
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah
Tanggal 5 Agustus 2014
Pemeriksaan anti HIV : Reaktif
Tanggal 18 Agustus 2014
Pemeriksaan CD4 : 308
Tanggal 25 September 2014
Hb
8,3 mg/dl
Hematokrit
24,9 %
Eritrosit
3,40 juta/mm3
SGOT
59 u/l
Leukosit
5,9 ribu/mm3
SGPT
26 u/l
Trombosit
560 ribu/mm3
: Negatif
Deskripsi :
CTR < 50%
Tampak infiltrat di kedua apeks paru
Kesan :
Gambaran proses spesifik TB duplex
ASSESMENT
TB Paru kasus baru
Pada pasien yang dicurigai TB harus terdapat gejala respiratorik dan gejala
sistemik. Adapun gejala respiratorik didapatkan pada pasien adalah batuk berdahak 3
bulan terakhir. Sedangkan gejala sistemik terdapat demam yang naik turun sejak 2 bulan
terakhir yang disertai demam pada malam hari dan penurunan berat badan drastis
sebanyak 20 kg selama 1 bulan terakhir.
Pemeriksaan fisik didapatkan terdapat ronkhi pada kedua apeks paru. Pemeriksaan
penunjang didapatkan hasil rontgen adanya bercak kesuraman pada kedua apeks paru.
Pemeriksaan yang menjadi dasar diagnosis TB yang harus dilakukan adalah pemeriksaan
BTA dimana pada pasien didapatkan hasil BTA negatif. Oleh karena sulitnya diagnosis
TB paru pada pasien HIV secara klinis dan pemeriksaan sputum BTA lebih sering
ditemukan BTA negatif, maka diperlukan pemeriksaan kultur BTA.
7
HIV
Berdasarkan anamnesis didapatkan badan yang melemah, penurunan berat badan
yang drastis sebanyak 20 kg selama 1 bulan terakhir disertai demam berkepanjangan.
Pasien juga mengeluhkan diare sejak 1 bulan yang tidak kunjung sembuh. Pasien ini
mempunyai riwayat suami yang sering melakukan hubungan seksual dengan wanita lain.
Hal ini sesuai dengan transmisi HIV AIDS bahwa penularan melalui hubungan free sex
adalah yang paling dominan dari semua cara penularan 70-80%. Resiko tertinggi adalah
penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
Pemeriksaan fisik didapatkan turgor kulit yang menurun, bercak keputihan pada lidah.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil anti HIV reaktif dan CD4 308.
Gambaran klinis TB paru secara umum diawali dengan batuk lebih dari 2-3 minggu,
sedangkan TB pada pasien HIV/AIDS batuk bukan merupakan gejala umum. Pada TB
dengan HIV demam dan penurunan berat badan merupakan gejala yang penting. Ketika
infeksi HIV berlanjut dan imunitas menurun, pasien menjadi rentan terhadap berbagai
infeksi. Beberapa di antaranya adalah TB, pneumonia, infeksi jamur di kulit dan
orofaring, serta herpes zoster. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang
menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/ AIDS
dan malnutrisi (gizi buruk).
Pada orang yang imunokompeten, ketika terinfeksi M. tuberculosis, organisme
disajikan kepada makrofag kemudian antigen mikobakteri disajikan ke sel-T. Sel CD4
mengeluarkan limfokin yang meningkatkan kapasitas makrofag untuk menelan dan
membunuh mikobakteri. Pada sebagian besar orang terjadi infeksi dan TB tidak
berkembang, meski sejumlah basil tetap dorman tubuh. Sedangkan pada pasien dengan
imunosupresi terjadi kerusakan pada fungsi dari sel T dan makrofag ditambah terjadi
deplesi dan disfungsi sel CD4 yang progresif. Disfungsi ini pada odha (orang dengan HIV
dan AIDS) sebagai predisposisi terjadinya infeksi TB baik primer maupun reaktivasi.
Bukti epidemiologis menunjukkan bahwa infeksi HIV meningkatkan risiko reaktivasi
laten TB dan juga risiko penyakit progresif dari infeksi baru. Dengan demikian,
kemampuan sistem imunitas menurun dalam mencegah pertumbuhan dan penyebaran
lokal bakteri tersebut.
Tuberkulosis pada pasien dengan HIV mempunyai gejala dan gambaran klinis
8
yang berbeda dengan orang tanpa terinfeksi HIV. Hal ini disebabkan karena rendahnya
reaksi imunologik penderita AIDS. Seperti diketahui manifestasi klinis TB sebenarnya
merupakan reaksi imunologik terhadap Mycobacterium tuberculosis.. TB ekstra paru lebih
sering ditemukan pada pasien dengan HIV. TB ekstraparu yang sering ditemukan adalah
limfadenopati pada leher, abdomen atau aksila.
Berdasarkan staging WHO, pasien termasuk kedalam tahap 3 dalam memenuhi
kriteria klinis, sebagai berikut :
Penurunan berat badan > 10% dari berat badan sebelumnya
Diare kronis tanpa sebab > 1 bulan
Demam berkepanjangan tanpa sebab > 1 bulan
Candidiasis oral
TB paru
Candidiasis Oral
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan bercak keputihan di lidah dimana di
akibatkan oleh jamur oleh karena kemampuan sistem imunitas menurun dalam mencegah
pertumbuhan dan penyebaran lokal bakteri dan jamur.
Farmakologis
Prinsip tatalaksana koinfeksi TB-HIV, berdasarkan rekomendasi dalam guidelines WHO.
1. Pemberian terapi ARV pada semua pasien HIV dengan TB aktif tanpa melihat nilai CD4.
2. OAT diberikan terlebih dahulu, diiukuti dengan pemberian terapi ARV sesegera mungkin
(dalam 2-8 minggu pemberian OAT)
3. Efavirenz (EFV) merupakan golongan NNRTI yang direkomendasikan dalam pemberian
terapi ARV pada pasien dalam terapi OAT. Efavirenz direkomendasikan karena mempunyai
interaksi dengan rifampisin yang lebih ringan dibandingkan Nevirapin.
Terapi OAT dimulai tanggal 25 September 2014
BB naik menjadi 36 kg
10
BB naik menjadi 38 kg
Keterangan :
Setelah pasien menjalani fase intensif selama 3 bulan, pasien memulai terapi ARV .
Sebelum ART pasien melakukan pemeriksaan laboratorium pada tanggal 17 Desember 2014
Hb
8,6 mg/dl
Hematokrit
28,4 %
Eritrosit
3,20 juta/mm3
SGOT/PT
16 u/l / 11 u/l
Leukosit
4,7 ribu/mm3
Trombosit
mg
236 ribu/mm3
150mg 2x1
600mg 1x1
bagaimana cara mencegah penularannya. Konseling dan edukasi kepatuhan berobat. Edukasi
kepada pasien dan keluarganya bagaimana craa menangani dampak sosial dan psikologi terhadap
penyakitnya.
Konsultasi : -
Kegiatan
Periode
Laboratorium
Peningkatan CD4
Edukasi
Nasihat
Latihan jasmani
Diet yang sesuai
12
TINJAUAN PUSTAKA
I.
TUBERKULOSIS
A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex. Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena
infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru termasuk suatu
pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh M.tuberculosis
B. Etiologi
TB Paru diakibatkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex.
Bakteri ini merupakan basil tahan asam yang ditemukan oleh Robert Koch pada tahun
1882. Mycobacterium tuberculosis adalah kuman penyebab TB yang berbentuk batang
ramping lurus atau sedikit bengkok dengan kedua ujungnya membulat. Koloninya
yang kering dengan permukaan berbentuk bunga kol dan berwarna kuning tumbuh
secara lambat walaupun dalam kondisi optimal. Diketahui bahwa pH optimal untuk
pertumbuhannya adalah antara 6,8-8,0. Untuk memelihara virulensinya harus
dipertahankan kondisi pertumbuhannya pada pH 6,8.
M. tuberculosis tipe humanus dan bovines adalah mikobakterium yang paling
banyak menimbulkan penyakit TB pada manusia. Basil tersebut berbentuk batang,
bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih (5 menit pada suhu 80 C dan 20 menit
pada suhu 60C), dan mudah mati apabila terkena sinar ultraviolet (sinar matahari).
13
Basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu kamar dan dalam ruangan
yang lembab.
C. Patogenesis
1. Tuberkulosis Primer
Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru
sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer
atau afek primer disebit sebagai fokus Ghon. Sarang primer ini mungkin
timbul di bagian di mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi.
Dari sarang primer akan terlihat peradangan pembuluh limfe menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran limfonodi di
hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan
mengalami salah satu nasib sebagai berikut:
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali,
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus),
c. Menyebar dengan cara:
1) Perkontinuatum
Salah satu contoh adalah epitutuberkulosis, yaitu suatu kejadian
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar
hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada
saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman
tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini
ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus
yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epitutuberkulosis
2) Penyebaran secara bronkogen
Penyebaran secara bronkogen berlangsung baik di paru
bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan.
3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen
Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan
virulensi kuman. Ada beberapa kuman yang menetap sebagai
persisten atau dormant, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat
menghentikan
perkembangbiakan
kuman,
akibatnya
yang
dikelilingi
non-activated
makrofag
dan
partly
activated
macrofag.
Diagnosis pada TB dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan fisik
yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui
Demam
2) Gejala sistemik lain ; malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat
badan menurun.
c. Gejala TB ekstra paru
Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat
dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening. Pada meningitis TB akan
terlihat gejala meningitis. Pada pleuritis TB terdapat gejala sesak napas
dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang dijumpai tergantung dengan organ yang
terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit
sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru umumnya terletak di daerah lobus
superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain
suara napas bronchial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-anda
penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
3. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, LCS,
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses, dan
jaringan biopsi.
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:
a. 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif
17
b. 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian, bila 1 kali
positif, 2 kali negatif BTA positif bila 3 kali negatif BTA negatif
Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca
dengan skala International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
(IUATLD). Skala IUATLD:
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan.
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
- Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++(3+).
4. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi yaitu
foto lateral, top-lordotic, oblik atau CT-scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran
radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:
a. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.
b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
c. Bayangan bercak milier.
d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:
a. Fibrotik.
b. Kalsifikasi.
c. Schwarte atau penebalan pleura
5. Pemeriksaan Penunjang Lain
a.
b.
c.
Pemeriksaan darah
18
E. Penatalaksanaan
Pengobatan TB Paru diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada
tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk
mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama rifampisin. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat biasanya penderita menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu sebagian besar penderita TBC BTA
positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif .
Sedangkan kategori penggunaan OAT di Indonesia, adalah sebagai
berikut.
1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3), diberikan untuk pasien dengan kriteria:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru
19
HIV/ AIDS
A. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus dengan materi
genetik asam ribonukleat (RNA). Retrovirus mempunyai kemampuan yang unik
untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan
menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase, setelah masuk ke tubuh
hospes. Virus ini menyerang dan merusak sel- sel limfosit T-helper (CD4+)
sehingga sistem imun penderita turun dan rentan terhadap berbagai infeksi dan
keganasan.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh
akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk
family retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.
B. Patogenesis
HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki
reseptor membran CD4, yaitu sel T-helper (CD4+). Glikoprotein envelope virus,
yakni gp120 akan berikatan dengan permukaan sel limfosit CD4+, sehingga gp41
dapat memperantarai fusi membran virus ke membran sel. Setelah virus berfusi
dengan limfosit CD4+, RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma CD4+.
Setelah nukleokapsid dilepas, terjadi transkripsi terbalik (reverse transcription)
dari satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda virus.
cDNA kemudian bermigrasi ke dalam nukleus CD4+ dan berintegrasi dengan DNA
dibantu enzim HIV integrase. Integrasi dengan DNA sel penjamu menghasilkan
suatu provirus dan memicu transkripsi mRNA. mRNA virus kemudian
ditranslasikan menjadi protein struktural dan enzim virus. RNA genom virus
kemudian dibebaskan ke dalam sitoplasma dan bergabung dengan protein inti.
Tahap akhir adalah pemotongan dan penataan protein virus menjadi segmensegmen kecil oleh enzim HIV protease. Fragmen-fragmen virus akan dibungkus
20
oleh sebagian membran sel yang terinfeksi. Virus yang baru terbentuk (virion)
kemudian dilepaskan dan menyerang sel-sel rentan seperti sel CD4+ lainnya,
monosit, makrofag, sel NK (natural killer), sel endotel, sel epitel, sel dendritik
(pada mukosa tubuh manusia), sel Langerhans (pada kulit), sel mikroglia, dan
berbagai jaringan tubuh.
Sel limfosit CD4+ (T helper) berperan sebagai pengatur utama respon
imun, terutama melalui sekresi limfokin. Sel CD4+ juga mengeluarkan faktor
pertumbuhan sel B untuk menghasilkan antibodi dan mengeluarkan faktor
pertumbuhan sel T untuk meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik (CD8+). Sebagian
zat kimia yang dihasilkan sel CD4+ berfungsi sebagai kemotaksin dan peningkatan
kerja makrofag, monosit, dan sel Natural Killer (NK). Kerusakan sel T-helper oleh
HIV menyebabkan penurunan sekresi antibodi dan gangguan pada sel-sel imun
lainnya.
Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+ berkisar dari 600
sampai 1200/ l darah. Segera setelah infeksi virus primer, kadar limfosit CD4+
turun di bawah kadar normal untuk orang tersebut. Jumlah sel kemudian meningkat
tetapi kadarnya sedikit di bawah normal. Seiring dengan waktu, terjadi penurunan
kadar CD4+ secara perlahan, berkorelasi dengan perjalanan klinis penyakit. Gejalagejala imunosupresi tampak pada kadar CD4+ di bawah 300 sel/l. Pasien dengan
kadar CD4+ kurang dari 200/l mengalami imunosupresi yang berat dan risiko
tinggi terjangkit keganasan dan infeksi oportunistik.
C. Penularan HIV/ AIDS
Penularan AIDS terjadi melalui :
1. Hubungan kelamin (homo maupun heteroseksual);
2. Penerimaan darah dan produk darah;
3. Penerimaan organ, jaringan atau sperma;
4. Ibu kepada bayinya (selama atau sesudah kehamilan).
Kemungkinan penularan melalui hubungan kelamin menjadi lebih besar
bila terdapat penyakit kelamin, khususnya yang menyebabkan luka atau ulserasi
pada alat kelamin. HIV telah diisolasi dari darah, sperma, air liur, air mata, air susu
ibu, dan air seni, tapi yang terbukti berperan dalam penularan hanyalah darah dan
sperma. Hingga saat ini juga tidak terdapat bukti bahwa AIDS dapat ditularkan
melalui udara, minuman, makanan, kolam renang atau kontak biasa (casual) dalam
21
keluarga, sekolah atau tempat kerja. Juga peranan serangga dalam penularan AIDS
tidak dapat dibuktikan.
D. Diagnosis
Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV.
Pertama, tes ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) yang bereaksi terhadap
antibodi dalam serum. Apabila hasil ELISA positif, dikonfirmasi dengan tes kedua
yang lebih spesifik, yaitu Western blot. Bila hasilnya juga positif, dilakukan tes
ulang karena uji ini dapat memberikan hasil positif-palsu atau negatif-palsu. Bila
hasilnya tetap positif, pasien dikatakan seropositif HIV. Pada tahap ini dilakukan
pemeriksaan klinis dan imunologik lain untuk mengevaluasi derajat penyakit dan
dimulai usaha untuk mengendalikan infeksi.
WHO mengembangkan sebuah sistem staging (untuk menentukan
prognosis), berdasarkan dari kriteria klinis, sebagai berikut
Tabel 1. WHO clinical staging system for HIV infection and related
disease in adult (15 years or older)
Tahap 1 :
- Asimptomatik
- Limfadenopati menyeluruh
Performance scale 1 : asimtomatik, aktifitas normal
Tahap 2:
-Penurunan berat badan < 10% berat badan sebelumnya
- Manifestasi mukokutaneus minor (misal: ulserasi oral, infeksi jamur di kuku)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Angular cheilitis
- seboroik dermatitis
- Infeksi saluran napas atas rekuren (misal: sinusitis bakterial)
Dan/ atau Performance scale 2: simptomatik, aktivitas normal
Tahap 3:
- Penurunan berat badan > 10% dari berat badan sebelumnya
- Diare kronis tanpa sebab > 1 bulan
- Demam berkepanjangan tanpa sebab > 1 bulan
- Candidiasis oral
- Oral hairy leukoplakia
- TB paru
22
Dosis
23
Abakavir (ABC)
Didanosin (ddI)
Lamivudine (3TC)
Stavudin (d4T)
Zidovudin (ZDV)
300mg 2x/hari
TDF
300mg 1x/hari
Non-NukleosideReverse
Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Efavirenz (EFV)
600mg 1x/hari
Nevirapine (NVP)
Indinavir/ritonavir
(IDV/r)
800mg/100mg 2x/hari
Lopinavir/ritonavir
(LPV/r)
400mg/100mg 2x/hari
Nelfinavir (NFV)
1250mg 2x/hari
Saquinavir/ritonavir
(SQV/r)
Ritonavir (RTV/r)
diberikan bersamaan). Obat yang terakhir NPV atau EFV (tidak boleh diberikan
bersamaan).
III.
HIV (+)
TERPAJAN
SEMBUH
TB
INFEKSI
MATI
B. Patogenesis
10%
Keterlambatan diagnosis dan pengobatan
Tatalaksana tak memadai
Malnutrisi
Kondisi kesehatan
Penyakit DM, imunosupresan
i.
ii.
penting.
Sputum BTA, karena sulitnya diagnosis TB paru pada pasien HIV
secara klinis dan pemeriksaan sputum BTA lebih sering ditemuakan
BTA negatif, maka diperlukan pemeriksaan kultur BTA. Pemeriksaan
biakan sputum merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB paru.
Pada ODHA dengan gejala klinis TB paru yang hasil pemeriksaan
mikroskopik dahak BTA nya negatif, pemeriksaan biakan dahak sangat
dianjurkan karena hal ini dapat membantu diagnosis TB paru. Selain
itu, pemeriksaan biakan dan resistensi juga dilakukan untuk
mengetahui adanya MDR-TB, dimana pasien HIV merupakan salah
satu faktor risiko MDR-TB. Dalam rangka memperbaiki tata laksana
pasien TB-HIV, akhir-akhir ini telah ditemukan alat penunjang TB
secara tepat yakni kultur resistensi BTA dengan Genexpert, namun alat
tersebut belum ada disetiap layanan kesehatan, hanya ada pada sentral
iii.
iv.
v.
D. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, prinsip pengobatan TB dengan HIV/AIDS sama dengan pengobatan
tanpa HIV/AIDS. Namun, pengobatan pasien dengan koinfeksi TB-HIV lebih sulit
daripada TB pada pasien tanpa HIV. Pasien TB-HIV memiliki sistem imunitas yang
rendah dan sering ditemukan adanya infeksi hepatitis dan lainnya, maka saat
pengobatan sering timbul efek samping dan interaksi obat sehingga memperburuk
kondisi pasien serta obat-obat harus dihentikan atau dikurangi dosisnya. Kondisi
tersebut menyebabkan pengobatan menjadi lebih panjang serta kepatuhan pasien
sering terganggu.
Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam
jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat 2. Prinsip pengobatan pasien
TB-HIV adalah adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV
(Antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV dengan standar WHO
28
Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali
pakai yang steril.
Desensitasi
obat
(INH,
rifampisin)
tidak
boleh
dilakukan
karena
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleotida,
kecuali Didanosin (ddl) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT
karena bersifat sebagai buffer antasida.
Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera diberikan OAT dan pemberian ARV
dalam 8 minggu tanpa mempertimbangkan kadar CD4.
Inflamatory
Syndrome
(IRIS);
Sindrome
Pemulihan
Secara Umum
-
II.
TB pada Otak
-
Bila terdapat putus obat diberikan OAT kategori 2 yakni 2RHZES/712RH lalu nilai respon secara klinis
Penanganan
Telan obat setelah makan. Jika paduan obat ART
perut
Nyeri sendi
Rasa kesemutan
sebelum tidur.
Beri analgetik, misalnya aspirin atau parasetamol.
Efek ini oleh karena INH diberi bersama ddI atau
D4T. Berikan tambahan vitamin B6 (piridoksin)
100mg/hari.
Jika
tidak
berhasil,
gunakan
Sakit kepala
berbahaya.
Beri analgetik, periksa tanda meningitis. Bila
obat
dan
tidak
32
Diare
Kelelahan
dirujuk.
Mungkin disebabkan oleh EFV, lakukan konseling
dan dukungan, dapat hilang < 3 minggu. Rujuk
pasien apabila ada gangguan mood atau psikosis,
masa sulit awal atasi dengan amitriptilin pada
Kuku kebiruan/kehitaman
Perubahan dalam distribusi
malam hari.
Yakinkan pasien sebagai akibat pengobatan ZDV.
Diskusikan dengan pasien, sebagai efek samping
lemak
Gatal atau kemerahan pada
D4T.
Jika menyeluruh atau mengelupas, stop obat TB
kulit
Gangguan
pendengaran
atau keseimbangan
Ikterus
dapat
dikarenakan
pankreatitis
yang
Muntah berulang
Pucat,anemia
Batuk
atau
bernafas
Limfadenopati
kesulitan
33
KESIMPULAN
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia, maupun di Indonesia. Munculnya pandemi HIV/ AIDS menambah permasalahan TB.
HIV merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB.
Sedangkan TB juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien pengidap HIV.
Kombinasi TB dengan HIV/AIDS merupakan kombinasi yang mematikan. TB pada pasien
dengan HIV mempunyai gejala dan gambaran klinis yang berbeda dengan orang tanpa
terinfeksi HIV. Maka diagnosis yang tepat sangat diperlukan.
Penatalaksanaan pasien TB dengan HIV/AIDS pada dasarnya sama dengan pasien
TB tanpa HIV/ AIDS, namun harus memperhatikan beberapa faktor, di antaranya reaksi
obat (alergi, efek samping dan interaksi) OAT maupun ARV.
34