You are on page 1of 51

DENGUE HEMORAGIC

FEVER (DHF)

Demam

dengue (DD) dan demam berdarah dengue


(DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue.

Sampai

saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi


masalah kesehatan di Indonesia.

Indonesia

dimasukkan dalam kategori A dalam


stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO)
2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan
rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada
anak.

Pendahuluan

Meskipun

manifestasi infeksi cukup kompleks tetapi


secara umum tatalaksananya relatif simple, tidak
mahal, dan sangat efektif dalam menyelematkan
hidup penderita, sepanjang penanganan diambil
pada waktu yang tepat.

Kunci

keberhasilan penanganan adalah dengan


memahami dan waspada terhadap problem klinis
selama fase-fase yang berbeda sepanjang
perjalanan penyakit, sehingga tatalaksana yang
dilakukan sesuai dengan pendekatan yang rasional.

Demam

berdarah dengue (DBD) adalah


penyakit demam akut yang disebabkan
oleh virus dengue serta memenuhi kriteria
WHO untuk DBD. DBD adalah salah satu
manifestasi simptomatik dari infeksi virus
dengue.

Definisi

Manifestasi

simptomatik infeksi virus dengue


adalah sebagai berikut (gambar 1):
Demam tidak terdiferensiasi
Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut

selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis


(nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit,
manifestasi perdarahan [petekie atau uji bendung positif],
leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau
ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam
dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama.

DBD (dengan atau tanpa renjatan)

Virus

dengue termasuk familia Flaviridae,


dari genus Flavivirus. Atas dasar
ekologinya Flavivirus disebut Arbovirus
atau virus athropoda-borne untuk
menunjukkan bahwa virus ini
ditransmisikan oleh serangga.

Etiologi

Ada

4 serotipe dari virus dengue yaitu


Den-1, Den-2, Den-3, Den-4.

Infeksi

salah satu serotipe virus Den akan


menghasilkan antibodi protektif untuk
serotipe tersebut pada waktu yang lama,
tetapi tidak ada cross protection
(perlindungan silang) terhadap serotipe
virus Den yang lain

Menurut World Health Organization (2005)


demam berdarah dengue dapat dilihat
berdasarkan karakteristik epidemiologi, antara
lain:
Penyebab

Penyakit (agent)
Virus dengue merupakan bagian famili
Flaviviridae. Keempat serotipe virus dengue
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 dapat
dibedakan dengan metode serologi.

Epidemiologi

Vektor
Aedes

aegypti adalah salah satu vektor


nyamuk yang paling efisien untuk
arbovirus, karena nyamuk ini sangat
antropofilik, hidup dekat manusia dan
sering hidup di dalam rumah.

Penjamu

(Host)
Pada manusia, masing-masing keempat serotipe
virus dengue mempunyai hubungan dengan
demam berdarah dengue.
seseorang

yang pernah terinfeksi oleh salah satu


serotypes biasanya kebal terhadap serotypes
tersebut dalam jangka waktu tertentu, namun
tidak kebal terhadap serotypes lainnya, bahkan
menjadi sensitif terhadap serangan demam
berdarah Dengue Hemorrhagic Fever.

Sindrom syok dengue terjadi dengan frekuensi


yang lebih tinggi pada dua kelompok yang
mempunyai keterbatasan secara imunologis:
anak-anak

yang telah mengalami infeksi


dengue sebelumnya,

bayi

dengan penyusutan kadar antibodi


dengue maternal.

Fase

akut infeksi, diikuti dengan inkubasi 3-13


hari, berlangsung kira-kira 5-7 hari dan dikuti
dengan respon imun.

Infeksi

pertama menghasilkan imunitas sepanjang


hidup terhadap serotipe penginfeksi tetapi
merupakan perlindungan sementara terhadap
ketiga serotipe lainnya,

infeksi

sekunder atau sekuensial mungkin terjadi


setelah waktu singkat.

Lingkungan

(Environment)
Kondisi Geografis

Ketinggian dari permukaan laut


Curah hujan
Suhu
Angin
Kelembaban

Kondisi

Demografis

Kepadatan penduduk
Mobilitas penduduk
Sanitasi lingkungan
Sosial ekonomi
Tingkat pengetahuan DBD

Dua teori yang banyak dianut dalam


menjelaskan patogenesis infeksi dengue
adalah:
hipotesis

infeksi sekunder (secondary


heterologous infection theory)

hipotesis

immune enhancement.

Patogenesis

Hipotesis

immune enhancement
menjelaskan menyatakan secara tidak
langsung bahwa mereka yang terkena
infeksi kedua oleh virus heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar
untuk menderita DBD berat.

Virus

demam berdarah akan masuk ke dalam makrofag.

Menurut

antibody dependent enhancement, antigen


infeksi pertama pada makrofag memfasilitasi virus
menempel ke permukaan makrofag dan masuk ke
dalamnya.

Makrofag

melepaskan monokin, sitokin, histamine, dan


interferon mengakibatkan celah endotel melebar,
selanjutnya terjadi kebocoran cairan intravaskular ke
ruang eks-travaskular.

Konsekuensinya,

terjadi hipovolemia, hemokonsentrasi,


tubuh lemah, edema, dan kongesti visceral.

Patofisiologi

Manusia

yang pernah terinfeksi demam


berdarah akan membuat serum antibodi
yang dapat menetralkan virus dengue
yang serotipenya sama (homolog).

Dalam

infeksi berikutnya, antibodi


heterolog yang sudah ada sebelumnya
membentuk kompleks dengan serotipe
virus baru yang menginfeksi, tetapi tidak
menetralkan virus baru.

Peningkatan

antibodi-terikat adalah proses di


mana strain tertentu dari virus dengue,
bergabung dengan antibodi non-penetral,
menginisiasi munculnya monosit yang lebih
banyak meningkatkan produksi virus.

Monosit

yang terinfeksi melepaskan


mediator vasoaktif permeabilitas pembuluh
darah meningkat dan manifestasi perdarahan
yang menjadi ciri DBD dan DSS.

Dengan

demikian, manifestasi klinis yang


paling penting dalam penyakit DBD adalah
kebocoran plasma.

Dan

untuk mengetahui tanda-tanda


kebocoran plasma bukannya trombosit yang
dipantau tetapi hematokrit.

Selain

itu, penting juga pemantauan urine


output dan hemostasis.

Manisfestasi

trombositopeni pada infeksi


dengue memiliki beberapa hipotesa penyebab:
terjadi destruksi trombosit akibat interaksi antibodyantigen virus dengue di permukaan trombosit;
kerusakan dinding endotel oleh virus interaksi
trombosit dengan kolagen subendotel terjadilah
agregasi dan destruksi trombosit;
IL-6 menginduksi antibodi IgM antitrombosit terjadi
destruksi trombosit;
manifestasi pendarahan pada DBD meningkatkan
kebutuhan akan trombosit.

Berdasarkan

kriteria WHO 1997, diagnosis


DBD ditegakkan bila semua hal ini
terpenuhi:
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari

biasanya bifasik.
Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut:
uji bending positif; petekie, ekimosis, atau purpura;
perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.

Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).

Diagnosis

Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma


sbb:
Peningkatan

hematokrit >20% dibandingkan standar


sesuai umur dan jenis kelamin.

Penurunan

hematokrit >20% setelah mendapat terapi


cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.

Tanda

kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites,


hipoproteinemia, hiponatremia.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997),


yaitu:
Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satusatunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.
Derajat

2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan


spontan di kulit dan perdarahan lain.

Derajat

3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi


cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg
atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut
kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.

Derajat

4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan


tekanan darah tidak terukur.

Pemeriksaan

laboratorium meliputi kadar


hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk
melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3)

Trombositopenia

umumnya dijumpai pada hari


ke 3-8 sejak timbulnya demam.
Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai
hari ke 3 demam.

Pemeriksaan Penunjang

Pada

DBD yang disertai manifestasi


perdarahan atau kecurigaan terjadinya
gangguan koagulasi, dapat dilakukan
pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP).

Pemeriksaan

lain yang dapat dikerjakan


adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/
kreatinin.

Untuk

membuktikan etiologi DBD, dapat


dilakukan uji diagnostic melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan
serologi atau biologi molekular.

Pemeriksaan

yang saat ini banyak


digunakan adalah pemeriksaan serologi,
yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgGanti dengue.

Salah

satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang


berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus
Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1).

Pemeriksaan

radiologis (foto toraks PA tegak dan


lateral dekubitus kanan) efusi pleura, terutama pada
hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan
plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua
hemitoraks.

Asites

USG.

dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan

Pada

dasarnya terapi DBD adalah bersifat


suportif dan simtomatis.

Penatalaksanaan

ditujukan untuk
mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma dan memberikan terapi
substitusi komponen darah bila
diperlukan.

Penatalaksanaan

Sebagai

terapi simptomatis, dapat


diberikan antipiretik berupa parasetamol,
serta obat simptomatis untuk mengatasi
keluhan dispepsia. Pemberian aspirin
ataupun obat antiinflamasi nonsteroid
sebaiknya dihindari karena berisiko
terjadinya perdarahan pada saluran cerna
bagaian atas (lambung/duodenum).

Kasus DBD yang diperkenankan berobat jalan


Bila penderita hanya mengeluh panas, tetapi
keingingan makan dan minum masih baik. Untuk
mengatasi panas tinggi yang mendadak
diperkenankan memberikan paracetamol 10 15
mg/kg BB setiap 3-4 jam diulang jika simptom
panas masih nyata diatas 38,5 0C.
Apabila

penderita DBD ini menunjukkan


manifestasi penyulit hipertermi dan konvulsi
sebaiknya dianjurkan di rawat inap.

Kasus

DBD derajat I & II


Pada hari ke 3, 4, dan 5 panas dianjurkan
rawat inap karena penderita ini
mempunyai resiko terjadinya syok. Untuk
mengantisipasi kejadian syok tersebut,
penderita disarankan diinfus cairan
kristaloid

Volume

dan macam cairan pengganti


penderita DBD sama dengan seperti yang
digunakan pada kasus diare dengan
dehidrasi sedang (6-10% kekurangan
cairan) tetapi tetesan harus hati-hati.

(ml/jam)

= ( tetesan / menit ) x 3

Jenis Cairan
(1) Kristaloid
Ringer Laktat
5% Dekstrose di dalam
5% Dekstrose di dalam
5% Dekstrose di dalam
fisiologi (faali), dan
5% Dekstrose di dalam

larutan Ringer Laktat


larutan Ringer Ashering
larutan setengah normal garam
larutan normal garam fisiologi (faali)

(2) Koloidal
Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dekstran 40)
Plasma

Berat waktu masuk (kg)

Jumlah cairan ml/kg BB per

<7

hari
220

7 11

165

12 18

132

> 18

88

Kebutuhan Cairan

Berat badan (kg)

Jumlah cairan (ml)

10

100 per kg BB

10 20

1000 + 50 x kg (diatas 10 kg)

> 20

1500 + 20 x kg (diatas 20 kg)

Kebutuhan cairan rumatan

Kasus DBD derajat III & IV


Dengue Shock Syndrome (sindrome
renjatan dengue) termasuk kasus
kegawatan yang membutuhkan
penanganan secara cepat dan perlu
memperoleh cairan pengganti secara
cepat.

Penggantian

secara cepat plasma yang hilang digunakan


larutan gaam isotonik (Ringer Laktat, 5% Dekstrose
dalam larutan Ringer Laktat atau 5% Dekstrose dalam
larutan Ringer Asetat dan larutan normal garam faali)
dengan jumlah 10-20 ml/kg/1 jam atau pada kasus
yang sangat berat (derajat IV) dapat diberikan bolus 10
ml/kg (1 atau 2x).

Jika

syok berlangsung terus dengan hematokrit yang


tinggi, larutan koloidal (dekstran dengan berat molekul
40.000 di dalam larutan normal garam faal atau plasma)
dapat diberikan dengan jumlah 10-20 ml/kg/jam.

Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi
secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang
harus diperhatikan pada monitoring adalah:
Nadi,

tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat


setiap 15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat
teratasi.

Kadar

hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan


klinis pasien stabil

Setiap

pasien harus mempunyai formulir pemantauan,


mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan
apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.

Jumlah

dan frekuensi diuresis.

Kriteria Memulangkan Pasien


Pasien dapat dipulangkan, apabila:
Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
Nafsu makan membaik
Tampak perbaikan secara klinis
Hematokrit stabil
Tiga hari setelah syok teratasi
Jumlah trombosit > 50.000/l
Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan
oleh efusi pleura atau asidosis)

Demam

berdarah dengue tetap menjadi salah satu


masalah kesehatan di Indonesia. Dengan mengikuti
kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat segera
ditentukan. Di samping modalitas diagnosis standar untuk
menilai infeksi virus Dengue, antigen nonstructural protein
1 (NS1) Dengue, sedang dikembangkan dan memberikan
prospek yang baik untuk diagnosis yang lebih dini.

Terapi

cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi


kehilangan cairan akibat kebocoran plasma. Dalam terapi
cairan, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah:
jenis cairan, jumlah serta kecepatan, dan pemantauan
baik secara klinis maupun laboratoris untuk menilai
respon kecukupan cairan

Kesimpulan

World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue

haemorrhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2001.p.5-17


World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue
shock syndrome in the context of the integrated management of childhood
illness. Department of Child and Adolescent Health and Development.
WHO/FCH/CAH/05.13. Geneva, 2005
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan RI. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan. Jakarta, 2007
Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana
pelayanan kesehatan, 2005.p.19-34
Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam:
Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4.
Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.1774-9
Rani, A. Soegondo, S. dan Nasir, AU. (ed). Panduan Pelayanan Medik
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta:Pusat
Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.137-8
World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment,
prevention and control. Geneva, 1997
Hadinegoro SRH, et al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di
Indonesia. Departemen Kesehatan RI dan Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2004

DAFTAR PUSTAKA

Terimakasih

You might also like