Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Dwi Ariono
Nur Izah Ameta
Dhyani Rahma Sari
Nurlatifah Febriana W.
Ivan Aristo Suprapto Putra
G99141142
G99141143
G99141144
G99141145
G99141146
Pembimbing:
dr. Sugiharto, M.Kes, MMR, S.H
BAB I
PENDAHULUAN
Fungsi paru adalah proses respirasi yang meliputi ventilasi, difusi, dan
perfusi yaitu pengambilan oksigen dari udara luar yang masuk ke dalam saluran
nafas dan diteruskan ke dalam darah. Gangguan fungsi paru yaitu terjadinya
perubahan (nilai) fungsi paru secara fisiologis. Kematian akibat gagal fungsi paru
adalah kematian yang disebabkan karena terjadinya perubahan fungsi paru secara
fisiologis. Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya
gangguan pertukaran udara pernafasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang
(Hipoksia) disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapnea). Penyakitpenyakit yang sering dijumpai pada gagal nafas antara lain; asma bronkhiale,
edema
pulmo
atau
perdarahan
pulmo,
infark
paru,
tuberkulosis,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. FISIOLOGI RESPIRASI
Unit fungsional paru terdiri dari alveolus dengan anyaman kapilernya.
Banyak faktor yang mempengaruhi pertukaran udara dari lingkungan ke alveoli
(ventilasi) dan pasokan darah ke kapiler paru (perfusi). Hukum Henry
menyebutkan bahwa ketika larutan terpapar dengan gas atmosfer, kesetimbangan
parsial gas mengikuti antara molekul gas terlarut dalam larutan dan molekul gas di
atmosfer. Konsekuensinya, tekanan parsial O2 dan CO2 yang meninggalkan
kapiler paru (darah vena paru) adalah sama dengan tekanan parsial O2 dan CO2
yang masuk ke alveoli setelah tercapai kesetimbangan. Pada keadaan setimbang,
tekanan parsial O2 dan CO2 dihasilkan dari kesetimbangan dinamik antara
deliveri O2 ke alveolus dan ekstraksi O2 dari alveolus, dan deliveri CO2 ke
alveolus dan CO2 yang dibuang/dikeluarkan (Shapiro dan Peruzzi, 1994).
Pertukaran O2 ke alveolus berhubungan langsung dengan kecepatan aliran
masuk udara (ventilasi) dan komposisi gas yang dihirup (tekanan parsial O2 pada
udara inspirasi; FIO2). Pada umumnya, tekanan O2 alveolar (PAO2) meningkat
dengan peningkatan tekanan O2 inspirasi dan peningkatan ventilasi. Ekstraksi O2
dari alveolus ditentukan oleh saturasi, kualitas dan kuantitas haemoglobin darah
yang memperfusi alveoli. Saturasi O2 pada haemoglobin dalam pembuluh darah
kapiler paru dipengaruhi oleh pasokan O2 ke jaringan (cardiac output) dan
ekstraksi O2 oleh jaringan (metabolism). Pada umumnya, saturasi Hb yang lebih
rendah terdapat dalam darah yang diperfusi ke kapiler paru sebagai akibat cardiac
output yang rendah dan atau peningkatan metabolism jaringan, ekstraksi O2 yang
tinggi di alveoli dan kesetimbangan tekanan parsial O2 yang rendah. Dengan cara
yang sama, kuantitas Hb absolut dalam sirkulasi darah paru juga akan
meningkatkan atau menurunkan ekstraksi O2, meskipun faktor ini kadang kurang
begitu penting. Tekanan parsial O2 dalam alveolus lebih lanjut dipengaruhi oleh
tekanan parsial CO2 dalam pembuluh kapiler paru. Seperti telah disebutkan
sebelumnya tekanan parsial CO2 dalam alveolus karena kesetimbangan dinamik
antara CO2 yang diangkut ke dalam alveolus dan CO2 yang keluar dari alveolus.
Jumlah dan tekanan parsial CO2 dalam alveolus meningkat dengan meningkatnya
metabolism jaringan dan dengan adanya cardiac output yang rendah (CO2 yang
dihasilkan dalam jaringan diangkut dalam jumlah yang sedikit dalam darah vena)
(Shapiro dan Peruzzi, 1994).
Ventilasi dan perfusi lebih lanjut dipengaruhi oleh adanya variasi dalam
distribusi ventilasi dan perfusi. Faktor penentu utama dalam distribusi aliran darah
pulmoner adalah cardiac output, tekanan arteri pulmonalis, gravitasi, postur dan
interaksi tekanan arteri pulmonalis dengan tekanan jalan nafas dan tekanan vena
pulmonalis. Secara umum, perfusi lebih banyak di basal paru dibanding dengan di
apeks dan perbedaan ini meningkat dengan penurunan cardiac output, hipotensi
dan dengan aplikasi pemberian ventilasi tekanan positif. Distribusi ventilasi
dipengaruhi oleh gradient tekanan tranpulmoner (TPP=Transpulmonary Pressure)
regional dan perubahan TPP selama inspirasi. Pada umumnya volume alveolar
lebih besar di daerah apeks dibanding dengan daerah basal dan ventilasi lebih
banyak di daerah apeks dari pada di basal. Secara teori, pertukaran gas yang
paling efesien akan terjadi jika perbandingan (match) yang sempurna antara
ventilasi dan perfusi dalam tiap unit fungsional paru. Tekanan parsial O2 dan CO2
yang terdapat dalam alveolus dimana terdapat pembuluh kapiler yang
melewatinya, utamanya ditentukan oleh rasio ventilasi-perfusi pada alveolus
tersebut (West ,1977).
Menurut West (1977) dan Nemaa (2003) unit fungsional tersebut dapat
berada dalam salah satu dari 4 hubungan absolut berikut: (1) Unit normal dimana
ventilasi dan perfusi keduanya matched; (2) Unit dead space dimana alveolus
terventilasi normal tetapi tidak ada aliran darah pada kapiler.; (3) Unit shunting
dimana alveolus tidak terventilasi tetapi ada aliran darah normal melalui kapiler;
dan (4) Unit silent dimana alveoli tidak terventilasi dan tidak ada perfusi juga.
Kompleknya hubungan ventilasi-perfusi (VA/Q) utamanya disebabkan oleh
karena luasnya spektrum diantara unit dead space sampai dengan unit shunting.
B. GAGAL NAFAS
1. DEFINISI GAGAL NAFAS
Gagal nafas didefinisikan secara numerik sebagai kegagalan pernapasan
bila tekanan parsial oksigen arteri (atau tegangan, PaO2) 50 sampai 60 mmHg
atau kurang tanpa atau dengan tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2)
50 mmHg atau lebih besar dalam keadaan istirahat pada ketinggian permukaan
laut saat menghirup udara ruangan (Irwin dan Wilson, 2006).
2. KLASIFIKASI GAGAL NAFAS
Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3
tipe. Tipe I merupakan kegagalan oksigenasi, Tipe II yaitu kegagalan
ventilasi , tipe III adalah gabungan antara kegagalan oksigenasi dan ventilasi
(Nemaa, 2003).
a) Gagal Nafas Tipe I (Kegagalan Oksigenasi; Hypoxaemia arteri)
Tekanan parsial O2 dalam arteri mencerminkan: (1) Tekanan parsial
O2 gas inspirasi; (2) ventilasi semenit; (3) kuantitas darah yang mengalir
melalui pembuluh kapiler paru; (4) Saturasi O2 dalam Hb darah yang
mengalir dalam kapiler paru (dipengaruhi metabolism jaringan dan
cardiac output); (5) difusi melalui membrane alveolar; dan (6) ventilationperfusion matching.
Gagal nafas tipe I ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri yang
abnormal rendah. Mungkin hal tersebut diakibatkan oleh setiap kelainan
yang
menyebabkan
rendahnya
ventilasi
perfusi
atau
shunting
Oksigenasi
Ventilasi
Acceptable
RR
12-15
Kapasitas vital 70-30
Gawat nafas
25-35
30-15
Gagal nafas
>35
<15
( ml/ kg )
Inspriatory
100-50
50-25
<25
50-200
100-75
0,3-0,4
35-45
200-350
200-70
0,4-0,6
45-60
FIsioterapi
>350
<70
>0,6
>60
Intubasi
Terapi
dada
Oksigenasi
Trakeostomi
Ventilasi
Dari tabel di atas, kolom paling kanan menunjukkan gagal nafas yang harus
dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomy dan bantuan ventilasi.
Fisioterapi, oksigenasi dan monitoring ketat perlu dilakukan pada gawat nafas
sehingga pasien tidak jatuh ke tahap gagal nafas. Kesemuanya ini hanyalah
merupakan pedoman saja, yang paling penting adalah mengetahui keseluruhan
keadaan pasien dan mencegah agar pasien tidak mengalami gagal nafas
(Wirjoatmodjo, 2000).
Kriteria Gagal Nafas menurut Shapiro (Rule of Fifty)
-
Pemeriksaan Luar
a) Lebam mayat jelas terlihat (livide) karena kadar karbondioksida yang
tinggi dalam darah
b) Sianosis
Sianosis adalah warna kebiruan dari kulit dan membran mukosa yang
merupakan
akibat
dari
konsentrasi
yang
berlebihan
dari
Pemeriksaan Dalam
a) Mukosa saluran pernapasan bisa tampak membengkak
b) Sirkulasi pada bagian kanan tampak penuh sedangkan bagian
kirikosong
c) Paru-paru mengalami edema
d) Bercak-bercak perdarahan peteki tampak di bawah membran mukosa
pada beberapa organ
e) Hiperemi lambung, hati dan ginjal
f) Darah menjadi lebih encer (Knight, 2001; Apuranto, 2007)
Pada pemeriksaan dalam, kelainan yang ditemukan dapat berbeda
pada masing-masing kasus.
a) Asma bronkhiale
Tampak paru hiperinflasi dan mengembang dengan bentuk seperti
balon dan memenuhi seluruh cavitas thorkas. Petechia hemoragic
kadang dapat ditemukan dapat tidak. Tampak lendir dengan warna
putih keabuan yang menutupi permukaan saluran nafas dan
berkonsistensi mukopurulen.
kotor
variabel
tergantung
pada
tahap
penyakit
10
Patofisiologi
Kondisi-kondisi yang berkaitan dengan asfiksia adalah sebagai berikut:
a) Gangguan pertukaran udara pernapasan.
b) Penurunan kadar oksigen (O2) dalam darah (hipoksia).
c) Peningkatan kadar karbondioksida (CO2) dalam darah (hiperkapnea).
d) Penurunan suplai oksigen (O2) ke jaringan tubuh (Lawrence, 2005)
11
berhenti
dan
metabolisme
anaerob
berlangsung
dengan
12
3. Fase Apneu.
Pada fase ini, terjadi depresi pusat pernapasan yang lebih hebat.
Pernapasan melemah dan dapat berhenti, kesadaran menurun,dan akibat
dari relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urine, dan
tinja.
4. Fase Akhir.
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti
setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung
masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan berhenti. Masa dari
saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 4-5 menit.
Fase 1 dan 2 berlangsung 3-4 menit. Hal ini tergantung dari tingkat
penghalangan O2. Bila penghalangan O2 tidak 100 %, maka waktu
kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan
lengkap.
Stadium asfiksia adalah:
1. Stadium pertama.
Gejala yang terjadi pada stadium ini adalah pernapasan dirasakan
berat. Kadar CO2 yang meningkat menyebabkan pernapasan menjadi
cepat dan dalam (frekuensi pernapasan meningkat), nadi menjadi cepat,
tekanan darah meningkat, muka dan tangan menjadi agak biru.
2. Stadium kedua.
Gejala yang terjadi adalah pernapasan menjadi sukar, terjadi kongesti
di vena dan kapiler sehingga terjadi perdarahan berbintik-bintik
(petechie), kesadaran menurun, dan timbul kejang.
3. Stadium ketiga.
Gerakan tubuh terhenti, pernapasan menjadi lemah dan lama
kelamaan berhenti, pingsan, muntah, pengeluaran kencing dan tinja, dan
meninggal dunia. Korban laki-laki dapat mengeluarkan mani dan korban
wanita mengeluarkan darah dari vagina.
13
14
15
BAB III
PENUTUP
Simpulan:
1. Gagal nafas didefinisikan sebagai kegagalan pernapasan bila tekanan
parsial oksigen arteri (PaO2) 50 sampai 60 mmHg atau kurang tanpa
atau dengan tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) 50 mmHg
atau lebih besar dalam keadaan istirahat pada ketinggian permukaan
laut saat menghirup udara ruangan.
2. Klasifikasi gagal nafas menurut pemeriksaan AGD dapat dibagi
menjadi 3 tipe. Tipe I merupakan kegagalan oksigenasi, tipe II yaitu
kegagalan ventilasi, tipe III adalah gabungan antara kegagalan
oksigenasi dan ventilasi.
3. Kriteria gagal nafas adalah mechanic of breathing, oksigenasi, dan
ventilasi.
4. Dalam kedoteran forensik, gagal napas sering diistilahkan sebagai
asfiksia dimana secara etiologi dapat dibagi menjadi almiah, mekanik,
dan keracunan.
5. Temuan otopsi yang bisa ditemukan pada pemeriksaan luar adalah
labam mayat yang terlihat livide, sianosis, ditemukan busa pada
mulut, bercak Tardieu, dan mungkin bisa terdapat feses, urin, serta
cairan sperma.
6. Temuan otopsi yang bisa ditemukan pada pemeriksaan dalam adalah
mukosa saluran napas tampak membengkak, sirkulasi pada bagian
kanan tampak penuh sedangkan bagian kiri kosong, edema pulmo,
bercak-bercak perdarahan petekie tampak di bawah membran mukosa,
hiperemi lambung-hati-ginjal.
7. Mengetahui gambaran asfiksia, khususnya pada postmortem serta
keadaan apa saja yang dapat menyebabkan asfiksia, khususnya
asfiksia mekanik mempunyai arti penting terutama dikaitkan dengan
proses penyidikan.
16
DAFTAR PUSTAKA
17
18