You are on page 1of 19

REFERAT

KEMATIAN AKIBAT GAGAL FUNGSI PARU DAN


TEMUANNYA PADA OTOPSI

Oleh:
Dwi Ariono
Nur Izah Ameta
Dhyani Rahma Sari
Nurlatifah Febriana W.
Ivan Aristo Suprapto Putra

G99141142
G99141143
G99141144
G99141145
G99141146

Pembimbing:
dr. Sugiharto, M.Kes, MMR, S.H

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN/ SMF ILMU KEDOKTERAN


FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Fungsi paru adalah proses respirasi yang meliputi ventilasi, difusi, dan
perfusi yaitu pengambilan oksigen dari udara luar yang masuk ke dalam saluran
nafas dan diteruskan ke dalam darah. Gangguan fungsi paru yaitu terjadinya
perubahan (nilai) fungsi paru secara fisiologis. Kematian akibat gagal fungsi paru
adalah kematian yang disebabkan karena terjadinya perubahan fungsi paru secara
fisiologis. Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya
gangguan pertukaran udara pernafasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang
(Hipoksia) disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapnea). Penyakitpenyakit yang sering dijumpai pada gagal nafas antara lain; asma bronkhiale,
edema

pulmo

atau

perdarahan

pulmo,

infark

paru,

tuberkulosis,

bronkopneumonia, pneumothoraks dan PPOK. Penyakit-penyakit tersebut sering


menimbulkan kematian.
Kematian adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme
biologis atau berhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan sistem saraf pusat,
jantung dan paru secara permanent. Istilah mati dibagi menjadi 5, yaitu mati
seluler, mati somatik, mati suri, mati otak, dan mati batang otak. Mati seluler
adalah kematian sel dari organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat
setelah kematian somatik.

Mati somatik adalah terhentinya ketiga organ

fungsional penunjang kehidupan yang meliputi sistem kardiovaskuler, sistem


respirasi dan sistem saraf pusat secara irreversibel (Wujoso, 2009).
Otopsi adalah suatu pemeriksaan terhadap tubuh jenazah untuk
kepentingan tertentu, meliputi pemeriksaan bagian luar dan bagian dalam dengan
menggunakan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh
ahli yang berkompeten (Dahlan, 2008).
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai temuan hasil otopsi dengan
penyebab kematian adanya gagal nafas atau gangguan fungsi paru.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. FISIOLOGI RESPIRASI
Unit fungsional paru terdiri dari alveolus dengan anyaman kapilernya.
Banyak faktor yang mempengaruhi pertukaran udara dari lingkungan ke alveoli
(ventilasi) dan pasokan darah ke kapiler paru (perfusi). Hukum Henry
menyebutkan bahwa ketika larutan terpapar dengan gas atmosfer, kesetimbangan
parsial gas mengikuti antara molekul gas terlarut dalam larutan dan molekul gas di
atmosfer. Konsekuensinya, tekanan parsial O2 dan CO2 yang meninggalkan
kapiler paru (darah vena paru) adalah sama dengan tekanan parsial O2 dan CO2
yang masuk ke alveoli setelah tercapai kesetimbangan. Pada keadaan setimbang,
tekanan parsial O2 dan CO2 dihasilkan dari kesetimbangan dinamik antara
deliveri O2 ke alveolus dan ekstraksi O2 dari alveolus, dan deliveri CO2 ke
alveolus dan CO2 yang dibuang/dikeluarkan (Shapiro dan Peruzzi, 1994).
Pertukaran O2 ke alveolus berhubungan langsung dengan kecepatan aliran
masuk udara (ventilasi) dan komposisi gas yang dihirup (tekanan parsial O2 pada
udara inspirasi; FIO2). Pada umumnya, tekanan O2 alveolar (PAO2) meningkat
dengan peningkatan tekanan O2 inspirasi dan peningkatan ventilasi. Ekstraksi O2
dari alveolus ditentukan oleh saturasi, kualitas dan kuantitas haemoglobin darah
yang memperfusi alveoli. Saturasi O2 pada haemoglobin dalam pembuluh darah
kapiler paru dipengaruhi oleh pasokan O2 ke jaringan (cardiac output) dan
ekstraksi O2 oleh jaringan (metabolism). Pada umumnya, saturasi Hb yang lebih
rendah terdapat dalam darah yang diperfusi ke kapiler paru sebagai akibat cardiac
output yang rendah dan atau peningkatan metabolism jaringan, ekstraksi O2 yang
tinggi di alveoli dan kesetimbangan tekanan parsial O2 yang rendah. Dengan cara
yang sama, kuantitas Hb absolut dalam sirkulasi darah paru juga akan
meningkatkan atau menurunkan ekstraksi O2, meskipun faktor ini kadang kurang
begitu penting. Tekanan parsial O2 dalam alveolus lebih lanjut dipengaruhi oleh
tekanan parsial CO2 dalam pembuluh kapiler paru. Seperti telah disebutkan
sebelumnya tekanan parsial CO2 dalam alveolus karena kesetimbangan dinamik

antara CO2 yang diangkut ke dalam alveolus dan CO2 yang keluar dari alveolus.
Jumlah dan tekanan parsial CO2 dalam alveolus meningkat dengan meningkatnya
metabolism jaringan dan dengan adanya cardiac output yang rendah (CO2 yang
dihasilkan dalam jaringan diangkut dalam jumlah yang sedikit dalam darah vena)
(Shapiro dan Peruzzi, 1994).
Ventilasi dan perfusi lebih lanjut dipengaruhi oleh adanya variasi dalam
distribusi ventilasi dan perfusi. Faktor penentu utama dalam distribusi aliran darah
pulmoner adalah cardiac output, tekanan arteri pulmonalis, gravitasi, postur dan
interaksi tekanan arteri pulmonalis dengan tekanan jalan nafas dan tekanan vena
pulmonalis. Secara umum, perfusi lebih banyak di basal paru dibanding dengan di
apeks dan perbedaan ini meningkat dengan penurunan cardiac output, hipotensi
dan dengan aplikasi pemberian ventilasi tekanan positif. Distribusi ventilasi
dipengaruhi oleh gradient tekanan tranpulmoner (TPP=Transpulmonary Pressure)
regional dan perubahan TPP selama inspirasi. Pada umumnya volume alveolar
lebih besar di daerah apeks dibanding dengan daerah basal dan ventilasi lebih
banyak di daerah apeks dari pada di basal. Secara teori, pertukaran gas yang
paling efesien akan terjadi jika perbandingan (match) yang sempurna antara
ventilasi dan perfusi dalam tiap unit fungsional paru. Tekanan parsial O2 dan CO2
yang terdapat dalam alveolus dimana terdapat pembuluh kapiler yang
melewatinya, utamanya ditentukan oleh rasio ventilasi-perfusi pada alveolus
tersebut (West ,1977).
Menurut West (1977) dan Nemaa (2003) unit fungsional tersebut dapat
berada dalam salah satu dari 4 hubungan absolut berikut: (1) Unit normal dimana
ventilasi dan perfusi keduanya matched; (2) Unit dead space dimana alveolus
terventilasi normal tetapi tidak ada aliran darah pada kapiler.; (3) Unit shunting
dimana alveolus tidak terventilasi tetapi ada aliran darah normal melalui kapiler;
dan (4) Unit silent dimana alveoli tidak terventilasi dan tidak ada perfusi juga.
Kompleknya hubungan ventilasi-perfusi (VA/Q) utamanya disebabkan oleh
karena luasnya spektrum diantara unit dead space sampai dengan unit shunting.

B. GAGAL NAFAS
1. DEFINISI GAGAL NAFAS
Gagal nafas didefinisikan secara numerik sebagai kegagalan pernapasan
bila tekanan parsial oksigen arteri (atau tegangan, PaO2) 50 sampai 60 mmHg
atau kurang tanpa atau dengan tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2)
50 mmHg atau lebih besar dalam keadaan istirahat pada ketinggian permukaan
laut saat menghirup udara ruangan (Irwin dan Wilson, 2006).
2. KLASIFIKASI GAGAL NAFAS
Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3
tipe. Tipe I merupakan kegagalan oksigenasi, Tipe II yaitu kegagalan
ventilasi , tipe III adalah gabungan antara kegagalan oksigenasi dan ventilasi
(Nemaa, 2003).
a) Gagal Nafas Tipe I (Kegagalan Oksigenasi; Hypoxaemia arteri)
Tekanan parsial O2 dalam arteri mencerminkan: (1) Tekanan parsial
O2 gas inspirasi; (2) ventilasi semenit; (3) kuantitas darah yang mengalir
melalui pembuluh kapiler paru; (4) Saturasi O2 dalam Hb darah yang
mengalir dalam kapiler paru (dipengaruhi metabolism jaringan dan
cardiac output); (5) difusi melalui membrane alveolar; dan (6) ventilationperfusion matching.
Gagal nafas tipe I ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri yang
abnormal rendah. Mungkin hal tersebut diakibatkan oleh setiap kelainan
yang

menyebabkan

rendahnya

ventilasi

perfusi

atau

shunting

intrapulmoner dari kanan ke kiri yang ditandai dengan rendahnya tekanan


parsial O2 arteri (PaO2 < 60 mm Hg saat menghirup udara ruangan),
peningkatan perbedaan PAO2 PaO2, venous admixture dan Vd/VT
(Shapiro dan Peruzzi, 1994).
Patofisiologi mekanisme hipoksemia arterial:
1) Penurunan tekanan parsial O2 dalam alveoli
1. Hipoventilasi
2. Penurunan tekanan parsial O2 udara inspirasi

3. Underventilated alveoli (areas of low ventilation-perfusion)


2) Shunting intrapulmoner (areas of zero ventilation-perfusion)
3) Penurunan mixed venous O2 content (saturasi haemoglobin yang
rendah)
1. Peningkatan kecepatan metabolisme
2. Penurunan cardiac output
3. Penurunan arterial O2 content (Shapiro dan Peruzzi, 1994).
Penyebab gagal nafas tipe I (Kegagalan Oksigenasi):
1) Adult respiratory distress syndrome (ARDS)
2) Asthma
3) Oedem Pulmo
4) Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)
5) Fibrosis interstitial
6) Pneumonia
7) Pneumothorax
8) Emboli Paru
9) Hipertensi Pulmonal (Kreit dan Rogers, 1995)
b) Gagal Nafas Tipe II (Kegagalan Ventilasi: Arterial Hypercapnia)
Tekanan parsial CO2 arteri mencerminkan efesiensi mekanisme
ventilasi yang membuang (washes out) produksi CO2 dari hasil
metabolism jaringan. Gagal nafas tipe II dapat disebabkan oleh setiap
kelainan yang menurunkan central respiratory drive, mempengaruhi
tranmisi sinyal dari CNS (central nervous system), atau hambatan
kemampuan otot-otot respirasi untuk mengembangkan paru dan dinding
dada. Gagal nafas tipe II ditandai dengan peningkatan tekanan parsial
CO2 arteri yang abnormal (PaCO2 > 46 mm Hg), dan diikuti secara
simultan dengan turunnya PAO2 dan PaO2, oleh karena itu perbedaan
PAO2 - PaO2 masih tetap tidak berubah (Kreit dan Rogers, 1995).
Penyebab gagal nafas tipe II:
A. Kelainan yang mengenai central ventilatory drive
1. Infark atau perdarahan batang otak

2. Penekanan masa supratentoral pada batang otak


3. Overdosis obat, narkotik, Benzodiazepines, agen anestesi, dll.
B. Kelainan yang mengenai tranmisi sinyal ke otot-otot respirasi
1. Myasthenia Gravis
2. Amyotrophic lateral sclerosis
3. Gullain-Barr syndrome
4. Spinal Cord injury
5. Multiple sclerosis
6. Paralisis residual (pelumpuh otot)
C. Kelainan pada otot-otot pernafasan dan dinding dada
1. Muscular dystrophy
2. Polymyositis
3. Flail Chest (Kreit dan Rogers, 1995)
c) Gagal Nafas Tipe III (Gabungan kegagalan oksigenasi dan ventilasi)
Gagal nafas tipe III menunjukkan gambaran baik hipoksemia dan
hiperkarbia (penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2). Penilaian
berdasarkan pada persamaan gas alveolar menunjukkan adanya
peningkatan perbedaan antara PAO2 PaO2, venous admixture dan
Vd/VT. Dalam teori , seriap kelainan yang menyebabkan gagal nafas tipe
I atau tipe II dapat menyebabkan gagal nafas tipe III (Nemaa, 2003).
Penyebab tersering gagal nafas tipe III:
1. Adult respiratory distress syndrome (ARDS)
2. Asthma
3. Chronic obstructive pulmonary disease (Kreit dan Rogers, 1995)
3. MEKANISME KOMPENSASI PADA GAGAL NAFAS
Respon terhadap hipoksemia tergantung pada kemampuan pasien untuk
mengenali adanya keadaan hipoksemia dan kemudian untuk meningkatkan
cardiac output dan ventilasi semenit untuk memperbaiki situasi tersebut.
Kemoreseptor perifer yang berlokasi di arkus aorta dan bifurcation arteri carotis
mengirim sinyal aferen ke otak (Nemaa, 2003).

4. KRITERIA GAGAL NAFAS


Kriteria Gagal Nafas menurut Pontoppidan yaitu menentukan kriteria gagal
nafas berdasarkan mechanic of breathing, oksigenasi dan ventilasi seperti pada
tabel 1 berikut ini.
Mekanisme
bernafas

Oksigenasi
Ventilasi

Acceptable
RR
12-15
Kapasitas vital 70-30

Gawat nafas
25-35
30-15

Gagal nafas
>35
<15

( ml/ kg )
Inspriatory

100-50

50-25

<25

force (cm H20)


AaDo2
PaO2(mmHg)
VD/VT
PaCo2

50-200
100-75
0,3-0,4
35-45

200-350
200-70
0,4-0,6
45-60
FIsioterapi

>350
<70
>0,6
>60
Intubasi

Terapi

dada
Oksigenasi

Trakeostomi
Ventilasi

Dari tabel di atas, kolom paling kanan menunjukkan gagal nafas yang harus
dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomy dan bantuan ventilasi.
Fisioterapi, oksigenasi dan monitoring ketat perlu dilakukan pada gawat nafas
sehingga pasien tidak jatuh ke tahap gagal nafas. Kesemuanya ini hanyalah
merupakan pedoman saja, yang paling penting adalah mengetahui keseluruhan
keadaan pasien dan mencegah agar pasien tidak mengalami gagal nafas
(Wirjoatmodjo, 2000).
Kriteria Gagal Nafas menurut Shapiro (Rule of Fifty)
-

Tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 50 mmHg dan,

Tekanan parsial CO2 arteri (PaCO2) > 50 mmHg.

Kriteri Gagal Nafas menurut Petty.


-

Acute Respiratory failure:

PaO2 < 50, tanpa atau disertai kenaikan PaCO2


-

Acute Ventilatory Failure:


PaCO2 > 50 mmHg (Wirjoatmodjo, 2000)

5. PENATALAKSANAAN GAGAL NAFAS:


Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non spesifik dan
kausatif/spesifik. Umumnya dilakukan secara simultan antara keduanya.
a. Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung
ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas.
b. Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan
untuk masing-masing penyakit akan berlainan (Muhardi, 1989).
C. PENEMUAN PADA OTOPSI
Dalam kedoteran forensik, gagal napas sering diistilahkan sebagai
asfiksia dimana secara etiologi dapat dibagi menjadi almiah, mekanik, dan
keracunan.
1.

Pemeriksaan Luar
a) Lebam mayat jelas terlihat (livide) karena kadar karbondioksida yang
tinggi dalam darah
b) Sianosis
Sianosis adalah warna kebiruan dari kulit dan membran mukosa yang
merupakan

akibat

dari

konsentrasi

yang

berlebihan

dari

deoksihemoglobin atau hemoglobin tereduksi pada pembuluh darah


kecil. Sianosis terjadi jika kadar deoksihemoglobin sekitar 5 g/dL.
Dapat dengan mudah terlihat pada daerah ujung jari dan bibir.
c) Pada mulut bisa ditemukan busa
d) Karena otot sfingter mengalami relaksasi, mungkin bisa terdapat
feses, urin atau cairan sperma

e) Bercak Tardieu yaitu bercak peteki di bawah kulit atau konjungtiva


2.

Pemeriksaan Dalam
a) Mukosa saluran pernapasan bisa tampak membengkak
b) Sirkulasi pada bagian kanan tampak penuh sedangkan bagian
kirikosong
c) Paru-paru mengalami edema
d) Bercak-bercak perdarahan peteki tampak di bawah membran mukosa
pada beberapa organ
e) Hiperemi lambung, hati dan ginjal
f) Darah menjadi lebih encer (Knight, 2001; Apuranto, 2007)
Pada pemeriksaan dalam, kelainan yang ditemukan dapat berbeda
pada masing-masing kasus.
a) Asma bronkhiale
Tampak paru hiperinflasi dan mengembang dengan bentuk seperti
balon dan memenuhi seluruh cavitas thorkas. Petechia hemoragic
kadang dapat ditemukan dapat tidak. Tampak lendir dengan warna
putih keabuan yang menutupi permukaan saluran nafas dan
berkonsistensi mukopurulen.

Gambaran organ pada Asma bronkhiale


b) Edema pulmo atau perdarahan pulmo
Tampak cairan atau darah yang terpancar pada permukaan luar paru.

Pada perabaaan akan tampak berat paru lebih berat

Gambaran organ pada edema pulmo


c) Infark paru
Biasanya akan terlihat pada lobus inferior paru pada pasien dengan
riwayat penyakit jantung dan paru dan pada pasien lanjut usia. Pada
bagian yang terkena infark akan terlihat lebih tinggi, hiperemis ,
seperti baji semakin meningkat pada bagian perifer paru. Pada emboli
paru pada pemeriksaan dapat terlihat adanya obstruksi atai bifukatio
di sisi yang lain.
d) Tuberkulosis
Temuan otopsi akan berbeda pada mayat sesuai dengan tingkat
keparahan dan daya tahan tubuh penjamu. Tampak lesi ghon biasanya
terlihat pada lobus superior. Pada sebagian akan tampak fibrosis dan
kalsifikasi.
e) Bronkopneumonia
Berkarakteristik dengan area konsolidasi, pneumonia lobaris.
Bronkopneumonia ditandai dengan daerah tambal sulam konsolidasi;
lobar pneumonia biasanya melibatkan seluruh lobus dengan
penampilan

kotor

variabel

tergantung

pada

tahap

penyakit

10

(kemacetan, hepatization merah, hepatization abu-abu, dan resolusi)


dengan atau tanpa eksudat pleura fibrinous; pneumonia virus dan
atipikal memiliki area merata kemacetan dengan distribusi variabel
seluruh satu atau semua lobus; identifikasi kotor konsolidasi dan
pneumonia ditingkatkan dengan perfusi formalin dan fiksasi.
f) Pneumothoraks
Pada sayatan pisau yang dimasukkan bersama dengan air maka dapat
ditemukan adanya gelembung udara.
g) PPOK
Pada bagian lobus media dan superior dapat terdapat perubahan
menjadi bulla diamter raksasa, selain itu terdapat aterosklerosis pada
aorta abdominalis dan arteri iliaca. Pada pemeriksaan mikroskopis
emfisema alveoli , atelektasis , fibrosis dan konsentrasi hemosiderin
pada makrofag.

Temuan pada pemeriksaan dalam korban dengan PPOK


3.

Patofisiologi
Kondisi-kondisi yang berkaitan dengan asfiksia adalah sebagai berikut:
a) Gangguan pertukaran udara pernapasan.
b) Penurunan kadar oksigen (O2) dalam darah (hipoksia).
c) Peningkatan kadar karbondioksida (CO2) dalam darah (hiperkapnea).
d) Penurunan suplai oksigen (O2) ke jaringan tubuh (Lawrence, 2005)
11

Kerusakan akibat asfiksia disebabkan oleh gagalnya sel menerima


atau menggunakan oksigen. Kegagalan ini diawali dengan hipoksemia.
Hipoksemia adalah penurunan kadar oksigen dalam darah. Manifestasi
kliniknya terbagi dua yaitu hipoksia jaringan dan mekanisme kompensasi
tubuh. Tingkat kecepatan rusaknya jaringan tubuh bervariasi. Yang paling
membutuhkan oksigen adalah sistem saraf pusat dan jantung. Terhentinya
aliran darah ke korteks serebri akan menyebabkan kehilangan kesadaran
dalam 10-20 detik. Jika PO2 jaringan dibawah level kritis, metabolisme
aerob

berhenti

dan

metabolisme

anaerob

berlangsung

dengan

pembentukan asam laktat (Port, 2004; Grey, 2006)


Tanda dan gejala hipoksemia dibagi menjadi 2 kategori yaitu akibat
ketidakseimbangan fungsi pusat vital dan dan akibat aktivasi mekanisme
kompensasi. Hipoksemia ringan menyebabkan sedikit manifestasi yaitu
gangguan ringan dari status mental dan ketajaman penglihatan, kadangkadang hiperventilasi. Hal ini karena saturasi Hb masih sekitar 90%
ketika PO2 hanya 60 mmHg (Grey, 2006).
Terdapat empat fase dalam asfiksia, yaitu:
1. Fase Dispneu.
Pada fase ini terjadi penurunan kadar oksigen dalam sel darah merah
dan penimbunan CO2 dalam plasma akan merangsang pusat pernapasan
di medulla oblongata. Hal ini membuat amplitude dan frekuensi
pernapasan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi, dan mulai
tampak tanda-tanda sianosis terutama muka dan tangan.
2. Fase Konvulsi.
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap
susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula
kejang berupa kejang klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik dan
akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut
jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini berkaitan dengan
paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akobat kekurangan O2.

12

3. Fase Apneu.
Pada fase ini, terjadi depresi pusat pernapasan yang lebih hebat.
Pernapasan melemah dan dapat berhenti, kesadaran menurun,dan akibat
dari relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urine, dan
tinja.
4. Fase Akhir.
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti
setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung
masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan berhenti. Masa dari
saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 4-5 menit.
Fase 1 dan 2 berlangsung 3-4 menit. Hal ini tergantung dari tingkat
penghalangan O2. Bila penghalangan O2 tidak 100 %, maka waktu
kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan
lengkap.
Stadium asfiksia adalah:
1. Stadium pertama.
Gejala yang terjadi pada stadium ini adalah pernapasan dirasakan
berat. Kadar CO2 yang meningkat menyebabkan pernapasan menjadi
cepat dan dalam (frekuensi pernapasan meningkat), nadi menjadi cepat,
tekanan darah meningkat, muka dan tangan menjadi agak biru.
2. Stadium kedua.
Gejala yang terjadi adalah pernapasan menjadi sukar, terjadi kongesti
di vena dan kapiler sehingga terjadi perdarahan berbintik-bintik
(petechie), kesadaran menurun, dan timbul kejang.
3. Stadium ketiga.
Gerakan tubuh terhenti, pernapasan menjadi lemah dan lama
kelamaan berhenti, pingsan, muntah, pengeluaran kencing dan tinja, dan
meninggal dunia. Korban laki-laki dapat mengeluarkan mani dan korban
wanita mengeluarkan darah dari vagina.

13

Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam


dua golongan (Islam, 2006):
1. Primer ( akibat langsung dari asfiksia )
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung
pada tipe dari asfiksia. Sel - sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan
O2. Apa yang terjadi pada sel yang kekurangan O 2 belum dapat diketahui,
tapi yang dapat diketahui adanya perubahan elektrolit dimana kalium
meninggalkan sel dan diganti natrium mengakibatkan terjadinya retensi
air dan gangguan metabolisme. Di sini sel - sel otak yang mati akan
digantikan oleh jaringan glial. Akson yang rusak akan mengalami
pertumbuhan (sprouting) pada kedua ujung yang terputus oleh jaringan
parut tersebut. Akan tetapi hal ini tidak mengakibatkan tersambungnya
kembali akson yang terputus, karena terhalang oleh jaringan parut yang
terdiri dari sel glia.
Bila orang yang mengalami kekurangan anoksia dapat hidup
beberapa hari sebelum meninggal perubahan tersebut sangat khas pada
sel - sel serebrum, serebelum dan ganglia basalis. Akan tetapi bila
orangnya meninggal cepat, maka perubahannya tidak spesifik dan dapat
dikaburkan dengan gambaran postmortem autolisis. Pada organ tubuh
yang lain yakni jantung, paru - paru, hati, ginjal dan yang lainnya
perubahan akibat kekurangan O2 langsung atau primer tidak jelas.

14

Gambar 5. Lingkaran setan pada asfiksia (Dikutip dari kepustakaan 3)

2. Sekunder ( berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari


tubuh )
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen
yang rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan
arteri dan vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang
terus dan tidak cukup untuk kerja jantung maka terjadi gagal jantung
dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada :
a. Penutupan mulut dan hidung ( pembekapan )
b. Obstruksi jalan nafas seperti pada mati gantung, penjeratan,
pencekikan dan korpus alienum dalam saluran nafas atau pada
tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru paru
c. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan
( traumatic asphyxia )
d. Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat
pernafasan, misalnya pada keracunan.

15

BAB III
PENUTUP
Simpulan:
1. Gagal nafas didefinisikan sebagai kegagalan pernapasan bila tekanan
parsial oksigen arteri (PaO2) 50 sampai 60 mmHg atau kurang tanpa
atau dengan tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) 50 mmHg
atau lebih besar dalam keadaan istirahat pada ketinggian permukaan
laut saat menghirup udara ruangan.
2. Klasifikasi gagal nafas menurut pemeriksaan AGD dapat dibagi
menjadi 3 tipe. Tipe I merupakan kegagalan oksigenasi, tipe II yaitu
kegagalan ventilasi, tipe III adalah gabungan antara kegagalan
oksigenasi dan ventilasi.
3. Kriteria gagal nafas adalah mechanic of breathing, oksigenasi, dan
ventilasi.
4. Dalam kedoteran forensik, gagal napas sering diistilahkan sebagai
asfiksia dimana secara etiologi dapat dibagi menjadi almiah, mekanik,
dan keracunan.
5. Temuan otopsi yang bisa ditemukan pada pemeriksaan luar adalah
labam mayat yang terlihat livide, sianosis, ditemukan busa pada
mulut, bercak Tardieu, dan mungkin bisa terdapat feses, urin, serta
cairan sperma.
6. Temuan otopsi yang bisa ditemukan pada pemeriksaan dalam adalah
mukosa saluran napas tampak membengkak, sirkulasi pada bagian
kanan tampak penuh sedangkan bagian kiri kosong, edema pulmo,
bercak-bercak perdarahan petekie tampak di bawah membran mukosa,
hiperemi lambung-hati-ginjal.
7. Mengetahui gambaran asfiksia, khususnya pada postmortem serta
keadaan apa saja yang dapat menyebabkan asfiksia, khususnya
asfiksia mekanik mempunyai arti penting terutama dikaitkan dengan
proses penyidikan.

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Apuranto H, Asphyxia. In: Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan


Medikolegal. Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.2007.p:71-99
2. Dahlan, S., Ilmu Kedokteran Forensik. Cetakan VI. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro: 2008
3. Grey TC, McCance KL. Altered Cellular and Tissue Biology. In:
Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children.
Fifth Edition. Philadelphia: Mosby, Inc.2006.p:67
4. Irwin RS and Mark M. 2006. A Physiologic Approach To Managing
Respiratory Failure. Manual Of Intensive Care Medicine, 4th Edition; 2514
5. Islam MS. Terapi Sel Stem pada Cedera Medula Spinalis. In: Cermin
Dunia Kedokteran No. 153. 2006. p.17
6. Knight B. Asphyxia and pressure on the neck and chest. In: Simpsons
forensic medicine, eleventh ed. London, Oxford University Press,Inc.
2001. p:87-90
7. Kreit JW and Rogers RM. 1995. Approach to the patient with respiratory
failure. In Shoemaker, Ayres, Grenvik, Holbrook (Ed) Textbook of Critical
Care. WB Saunders, Philadelphia,Pp 680-7.
8. Lawrence GS, Asphyxia. Makassar, 2005, slide 1-38. Forensic Medicine &
Medicolegal Faculty of Medicine, Hasanuddin University.
9. Muhardi, OET. 1989. Penatalaksanaan Pasien di Intensif Care Unit,
Bagian Anestesi dan Terapi Intensif FKUI, Penerbit FKUI, Jakarta, Hal 19
10. Porth CM. Alterations in Respiratory Function: Disorders of Gas
Exchange. In: Essential of Pathophysiology, Concepts of Altered Health
States. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2004.p:397
11. Price & Wilson. 2005. Gagal Napas : Patofisiologi Konsep Klinis Proses
Penyakit. EGC; Edisi 6; Bab 41; 824-37
12. Shapiro BA and Peruzzi WT. 1994. Physiology of respiration. In Shapiro
BA and Peruzzi WT (Ed) Clinical Application of Blood Gases. Mosby,
Baltimore, Pp. 13-24.

17

13. West JB.1977.Ventilation-perfusion relationships. Am Rev Respir Dis Vol


116: 919-25.
14. Wujoso, Hari. 2009. THANATOLOGI. Cetakan I. Surakarta: UNS Press.

18

You might also like