You are on page 1of 7
LVLIs Batu Staghorn pada Wanita: Faktor Risiko dan Tata Laksananya M. Azharry Rully S Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Pendahuluan Batu ginjal (urolitiasis) merupakan_masalah Kesehatan yang cukup signifikan, baik di Indonesia ‘maupun di dunia, Prevalensi penyakit ini diperkirakan 13% pada laki-laki dewasa dan 7% pada perempuan dewasa, dengan puncak usin dekade ketiga sampai Keempat, Angka Kejadian batu ginjal berdasarkan data yang dikumpulkan dari rumah sakit di selurch Indonesia tahun 2002 adalah scbesar 37.636 kasus baru, dengan jumlah kunjungan sebesar $8.959 orang Selain itu,jumilah pasien yang dirawat mencapai 19.018 orang, dengan mortalitas sebesar 378 orang.’ Kemajuan dalam bidang endourologi secara drastis telah mengubah tatalaksana pasien batu simtomatik yang membutuhkan operasi_terbuka. Perkembangan terapi invasif minimal mutakhir, yaitu retrograde ureteroscopic intrarenal surgery (RIRS), pereutaneus nephrolithotomy (PNL), ureteroskopi (URS) dan extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL) telah memicu Kontroversi mengenai_ teknik ‘mana yang paling efektif-1-4 Dalam memilih pendekatan terapi optimal untuk pasien urolitiasis, berbagai faktor harus dipertimbangkan, Faktor-faktor tersebut adalah faktor batu (ukuran, jumlah, komposisi dan lokasi), faktor anatomi ginjal (derajat obstruksi, hidronefrosis, obstruksi uretero-pelvic junction, divertikel kaliks, dan Binjal tapal kuda), serta faktor pasien (adanya infeksi, ‘obesitas, deformitas habitus tubuh, koagulopati, usia anak, lanjut usia, riwayat hipertensi, dan riwayat gagal ginjal)." Laporan kasus ini akan memberikan pembahasan yang berfokus pada berbagai faktor risiko serta penatalaksanaan batu saluran kemih pada pasien wanita, Mustrasi Kasus Pasien wanita, Ny. SHL berusia 31 tahun, pekerjaan ibu rumah tangs, datang dengan keluhan nyeri pinggang kanan yang memberat sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Nyeri tersebut menjalar hingga ke perut bawah dan kemaluan. Nyeri pinggang Kiri (+), penjalaran tidak jelas. Nyeri saat BAK (4). BAK berwarna merah seperti teh (+). Sulit menahan BAK (1). Jumlah BAK sedikit berkurang (+). Rasa pegal-pegal di kedua pinggang (+). Pada riwayat Keluarga ditemukan bahwa ayah menderita batu ginjal. Kebiasaan kurang aktivitas (+) dan minum air + 600 mi/hari. Pasien sering mengonsumsi sayuran bayam ddan singkong. Pasien maken ikan teri 2-3x/minggu dan minum minuman bersoda 1-2 minagu sekali. Sumber air minum dari aie tanah, Pada pemeriksaan fisik pasien tampak sakit ingan, Kesadaran kompos mentis. Tanda vital dan status generalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan urologis terdapat nyeri ketok costo vertebra angle (CVA) pada kedua sisi (Kiri > kanan) dan nyeri tekan suprapubik (+). Pada hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kelainanurinalisisberupa proteinuria, darah_samar, leukositesterase (+3), leukosituria, hematuria, nitrit (+), dan bakteri. Pemeriksaan radiologis BNO memperoleh esan staghorn ginjal kiri, pada IVP ditemukan kesan neftolitiasis sinistra (staghorn). Fungsi eksresi dan sekresi ginjal kiri baik sementara terdapat sangguan fungsi ekskresi dan sekresi ginjal Kanan. USG kesan hidronefrosis dekstra grade 4 ec obstruksi di ureter dan staghorn stone sinistra Daftar masalah pada pasien ini adalah hidronefrosis desktra grade 4 susp.c.c obstruksi batu ureter proksimal, staghora stone sinistra, dan suspek infeksi saluran Kemih komplikata (sisttis akut) Pasien direncanakan untuk pemeriksaan renogram dan anterograde pielografi (APG). Rencana penatalaksanaan pada pasien ini jalah diet tinggi Kalori rendah protein (TKRP), pemberian antibiotik siprofloksasin 2x50 mg, dan analgesik 3x1. Untuk pembedahan berupa nefrostomi dekstra dan extended pyelolithotomy JIM | Vol. 1No, 04 | Januar - Juni 2010 — M-Azharry RS , Batu Staghorn pada Wanita: Fakior Risiko da Tatalaksananya sinistra. Pasien juga diedukasi untuk minum air ‘minimal 2-3 liter per hari, pembatasan konsumsi zat- zat pembentuk batu, dan meningkatkan aktivitas fisik, Dua hari setelah dirawat, pasien menjalani tindakan nefrostomi dekstra dan APG. Pada tindakan terscbut, pasien dalam posisi telungkup dan diberikan ‘anestesi lokal. Dilakukan tindakan a dan antisepsis pada lapangan operasi. Dengan guide USG dilakukan pungsi dengan jatum 17,5 G di CVA kanan. Kemudian dilakukan dilatasi fascia “dengan fascia dilator, dimasukkan pigtail no.8 fr. Pemeriksaan APG menemukan kesan hidronefrosis dan hidroureter hingea ureter distal kanan. Setelah itu dilakukan fiksasi pigtail dan operasi selesai (produksi inisial 50 cc). Selanjutnya pada pasien dilakukan observasi pada produksi nefrostomi dekstra serta rencana pemeriksaan renogram. Dari observasi selama 7 hari didapatkan produksi yang semakin berkurang, yakni dari 100ce/24 jam menjadi 80 cc/24 jam. Kemudian diambil tindakan untuk mengubah rencana extended pyelolithotomy sta menjadi percutaneus nephrolithotomy (PNL) stra Pada hari perawatan kelima pasien menjalani ‘iksaan renogram. Fase perfusi: _ perfusi kedua ginjal ada, perfusi ginjal kanan lebih rendah dibandingkan dengan ginjal kiri. Scintigrafi: aktivitas intrarenal ginjal kiri meningkat dan mencapai puncak pada T-maks menit ke 5,5 dan lebih tinggi dari aktivitas background. Aktivitas intrarenal ginjal kenan sangat rendah, tak jelas peningkatan atau penurunan aktivitas, tak tampak adanya aktivitas pada buli. Kurva renogram: kurva ginjal kiri cepat meningkat dan mencapai puncak pada T-maks menit ke 5,5 dan kemudian turun melandai pada akhir pemeriksaan. Kurva ginjal kiri terletak di atas kurva background, Kurva ginjal kanan mendater, tidak jelas peningkatan atau penurunan, —hampit berhimpit dengan kurva background. Nilai GFR: ginjal Kiri: 81,7 mi/menit, ginjal kanan: 6,08 ml/menit, total: 87,7 (nilai GFR normal minimal untuk pasien ini 86,0 ml/menit). Kesan: gangguan fungsi berat ginjal kanan (terminal stage), Fungsi sekresi dan ekskresi ginjal kiri baik, Akhirnya pasien menjalani PNL sinistra. Pasien iposisikan litotomi lalu dilakukan anestesi spinal, seria, tindakan asepsis dan antisepsis lapangan operasi juga sekitamya. Dilakukan insersi uk kiri, masuk sampa 30 em. Sheath dikeluarkan, kemudian’pasien berganti posisi menjadi prone. Kembali dilakukan asepsis dan antisepsis lapangan operasi serta sekitarnya, kemudian ilakukan pungsi pada kaliks inferior kiri 17,5 G sampai PCS dengan guiding C-arm. Dilakukan dijatasi dengan fascia dilator no.9-12, setelah itu dilakukan ilatasi dengan metal dilator sampai no.26, dan simasukkan amplatz no.30, Tampak batu pada pielum iri, dipecahkan sampai kecil-kecil dengan EKL dan Gievakuasi dengan stone tang. Dari C-arm kesan masih. JIMA | Vol No. oF | Januar - Juni 2010 ‘ada batu sisa. Dipasang DJ stent kiri secara anterograd. Kemudian pasang pigtail no.7 Fr dan operasi selesai Diskusi Kasus Penegakan Diagnosis Penegakan diagnosis pada pasien ini berdasarkan anammesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Dari hasil anamnesis didapatkan pasion Wanita, 31 tahun datang dengan keluhan utama nyeri pinggang kanan yang memberat sejak 2 bulan SMRS. Nyeri dirasakan hilang timbul seperti diremas, menjalar ke perut bawah, sekitar Kemaluan, dan tungkai atas. Pertama kali dirasakan 10 tahun yang lalu dan semakin sering kambuh dalam 6 tahun terakhir serta memuneak dalam 2 bulan SMRS. Selain itu, terdapat nyeri pinggang kiri yang tidak Sehebat disertai rasa pegal di antara keluhan nyeri serta BAK berwarna merah teh. Berdasarkan keluhan di atas, dapat dipikirkan nyeri tersebut bersifat kolil Nyeri yang demikian disebabkan oleh rangsangan pada organ yang dipersarafi nervus splanknikus kaudal pada ‘ingkat persarafan terutama thorakal 11 hingga lumbal 2 Untuk nyeri pinggang kanan dapat dipikirkan beberapa penycbab, antara lain gangeuan pada ‘muskuloskeletal seperti mialgia maupun low back pain (LBP), gangguan saluran cerna seperti apendisitis, kolesistitis, kolelitiasis, gangguan pada saraf yakni hernia nucleus pulposus (HNP), gangguan pada sistim reproduksi seperti kehamilan ektopik dan endometriosis, dan gangguan sistim kemih yakni batu ‘maupun infeksi pada ginjal dan ureter. Penyebab dari gangguan muskuloskeletal dapat disingkirkan karena tidak didapatkan keluhan nyeri yang dipengaruhi oleh aktivitas yakni memberat saat bekerja dan membaik seat istirahat, Keluhan berasal apendisitis bisa disingkirkan juga karena tidak didapatkan keluhan nyeri perut kanen bawah dan gangguan BAB serta posisi khas apendisitas yakni tungkai yang terfleksi juga tidak ditemukan pada pasien. Kolelitiasis matipun kolesistitis juga Gapat disingkirkan Karena tidak ditemukan keluhan nyeri yang menjalar ke punggung disertai demam maupun kuning. Adanya keluhan nyeri yang menjalat ke tungkai dapat mendukung ke arah hernia nucleus pulposus (HNP). Keluhan sensorik dan motorik tidak ada. Selain itu, dalam riwayat keseharian pasien, tidak éitemukan adanya pekerjaan yang mengharuskan pasien mengangkat beban berat. Kehamilan ektopik perlu dicurigai pada awal perjalanan keluhan nycti pinggana ini karena saat itu pasien sedang hamil. Namun setelah Kelahiran anak ke-3, pasien langsung memakai KB sehingga tidak mungkin terjadi kehamilan. Begitu Juga dengan endometriosis, adanya pemasangan KB 3 bulanan membuat pasien tidak haid lagi. Sehingga menyisakan gangguan dari sistim kemih yakni ginjal dan ureter. Penyebab dari gangguan saluran kemih didukung (53) Jurnal oleh letaknya yang sesuai dengan proyeksi ginjal sehingga kemungkinan ini merupakan nyeri kolik ginjal akibat adanya sumbatan di saluran kemih. Nyeri dirasakan menjalar dari pinggang kanan hingga daerah perut bagian bawah dan Kemaluan dapat dipikirkan diagnosis batu ureter Kanan tepatnya pada ureter ‘media (kanan). Kemungkinan trauma dan infeksi dapat disingkirkan secara anamnesis Karena pada pasien tidak didapatkan riwayat trauma dan demam. Adanya rasa pegal ataupun nycri dengan intensitas lebih ringan bisa merupakan nyeri somatik akibat adanya regangan pada kapsul ginjal. Pada pasien juge mengeluhkan adanya BAK seperti merah teh. Kemungkinan ini merupakan hematuria. Hematuria dapat disebabkan adanya trauma, batu, keganasan, maupun infeksi. Trauma dapat disingkirkan karena tidak ditemukan riwayatnya pada pasien. Keganasan juga dapat disingkirkan karena BAK ini disertai nyeri sedangkan pada keganasan cenderung tidak nyeri (painless hematuria). Selain itu, manifestasi umum penyakit keganasan seperti penurunan berat badan, nafsu makan, dan demam subfebris tidak ada. Infeksi dan batu merupakan diagnosis banding yang kuat. Keduanya bisa saja terjadi pada pasien, Scbagai mana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pasien dari anamnesis diduga kuat memiliki batu saluran kemih sehingga kemungkinan besar hematuria ini disebabkan oleh trauma mukosa oleh batu. Adanya keluhan jumlah BAK sedikit berkurang juga mendukung adanya obstruksi saluran kemih. Diagnosis batu saluran kemih didukung oleh pada pemeriksaan fisik khususnya pada status urologis didapatken nyeri ketok pada kedua CVA. Nyeri tekan suprapubik juga ditemukan pada pasien. Nyeri ini bisa diakibatkan adanya batu ataupun infeksi pada buli- uli. Namun, dari anamnesis tidak ditemukan keluhan BAK mengedan, pancaran lemah, tidak tampias, maupun terputus yang harus merubah posisi tubuh agar kembali BAK, yang merupakan gambaran klinis iritasi dan obstruksi dari batu buli-buli. Dari hasil BNO-IVP didapatkan gambaran radiopak lonjong di daerah perlvis curiga batu buli-buli, Akan tetapi bila dikorelasikan antara ukuran batu dan gejala tidaklah sesuai. Selain itu, pada beberapa foto didapatkan gambaran tersebut terletrak di luar buli-buli, Sehingga kemungkinan penyebab nyeri ini adalah batu buli-buli dapat disingkirkan dan cenderung ke arah infeksi. Hal ini Kembali ditunjang dari perbaikan klinis pasien setelah diberikan antibiotik beberapa hari Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil laboratorium darah menunjukkan leukosit yang normal sehingga kemungkinan infeksi pada ginjal dapat disingkirkan, Pada urinalisis didapatkan albuminuria proteinuria, darah samar, leukositesterase (+3), Ieukosituria, hematuria, nitrit (+), dan bakteri. Adanya albuminuria mengindikasikan adanya gangguan fungsi Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia sinjal khususnya fase fitrasi. Hal ini bisa terjadi oleh suata perjalanan penyakit ginjal yang kronik seperti nefropati diabetik ataupun obstruksi kronik. Nefropati dliabetikum dapat disingkirkan Karena tidak adanya riwayat DM dan pada laboratorium tidak ditemuken eadaan hiperglikemia maupun glukosuria, Penemuan dara samar (+3), hematuria, dan leukosituria. bisa menandakan adanya infeksi dan atau obstruksi bal pada saluran kemih. Namun, adanya leukositesterase (3), bakteri (#), dan nitrit (+) sangat kuat mendukung adanya diagnosis infeksi saluran kemih, Infeksi salvran kemih disertai abnormalitas struktural atau fungsional yakni atu sehingga kemungkinan diagnosisnya ialah infeksi saluran kemih komplikata. Akan tetapi, tidak dilokukannya Kultur urin pasien membuat diegnosis belum bisa tegak dengan tepat karena menurut European Association of Urology diperlukan hasil kultur urin positif dengan bakteriuri bermakna > 105 koloni/ ml.$ Dari pemeriksaan pencitraan BNO-IVP kesan Nefrolitiasis sinistra (staghorn) dengan fungsi eksresi dan sekresiginjal iri baik dan gangguan_fungsi ekskresi dan sckresi ginjal kanan. Ditemukan pula suata gambaran radioopak yang dicurigai massa di rongga pelvis. Kemungkinan massa ini menjadi penyebab obstruksi ureter dapat disingkirkan Karena bila ada obstruksi mekonik ckstralumen cenderung_persisten tanpa adanya nyeri kolik. Lalu dari hasil pemeriksaan USG didapatkon gambaran_ penipisan dinding yang menunjukkan terjadinya hidronefrosis dekstra (grade 4) ec obstruksi di ureter dan Staghorn stone sinistra Letak batu ureter yang berada bukan di proksimal idukung oleh pemeriksaan APG, yakni hidronefrosis dan hidroureter hingga ureter distal kanan. Schingga tegak sudah masalah pada pasien yakni hidronefrosis, dan hidroureter desktra.e.c obstruksi batu ureter distal, neffolitiasis sinistra (staghora). Pada pasien ini telah terjadi_ komplikasi hidronefrosis dan hidroureter dekstra. Kemungkinan penyebab lain seperti adanya Kelainan kongenital maupun steiktur dapat disingkirkan. Namun dari laboratorium tidak begitu mendukung dimana kadar ureum dan kreatinin darah masih dalam batas normal. Dari IVP biasanya dapat terlihat dan. ditentukan derajataya, akan tetapi hingga akhir pemeriksaan ginjal kanan tidak tervisualisasi. Visualsasi hideonefrosis pada IVP bisa berupa cupping, flattening, blunting, clubbing, dan ballooning tergantung derajat hidronefrosisnya.9 Dari hasil pemeriksaan USG barulah tegak, dimana ditemukan gambaran semua kaliks yang mencembung disertai beberapa pareakim yang menipis. Dari hasil renagram, didapatkan nilai GFR ginjal kiei 81,7 ml! menit, ginjal Kanan 6,08 ml/menit, dan total 87,7 mal/menit, Hal ini menjelaskan keadaan status ureum kreatinin yang normal walaupun terjadi hidronefrosis unilateral. JIM KE | VoL No. 01 Januari - Juni 2010 M Azharry RS Faktor risiko Terjadinya batu pada saluran kemih pasien tentunya disertai adanya multifaktor baik dari segi host, agent, maupun lingkungannya. Dari hasil_anamnesis didapatkan riwayat keluarga, kurangnya aktivitas, kebiasaan menahan BAK, konsumsi air yang kurang, diet tinggi oksalat (sayuran hijau, minuman bersoda) dan sumber air minum, Kass batu saluran kemih pada wanita dilaporkan lebih kecil dibandingkan pada pria. Hal ini dibuktikan oleh Ryal dkk. Diketahui bahwa pada anita memiliki 2 faktor yang menyebabkan rendahnya insiden batu saluran kemih khususnya batu kalsium. Pada wanita didapatkan ekskresi harian kalsium yang lebih rendah dan tingginya faktor inhibitor seperti glukosaminoglikan yang menghambat agregasi kristal dibandingkan pria.* Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Sarada B, dkk yang menyimpulkan bahwa pada urin ‘wanita memiliki konsentrasi kalsium dan oksalat yang rendah disertai tingginya sitrat yang mendukung bahwa risiko terjadinya batu pada wanita lebih rendah,” Beberapa faktor genetik telah diketahui perannya dalam pembentukan batu, khususnya batu kalsium oksalat yang mengakibatkan gangguan ekskresi dari kalsium, asam urat, sitrat dan inhibitor maupun promotor, Faktor yang diturunkan bersifat poligenik. Walaupun telah dilaporkan sedikit keluarga yang Konsisten terjadi batu memiliki gen yang diturunkan secara autosomal dominan monogenik dan X-linked resesif. Curhan dkk (1997) mencoba untuk mengetahui dampak adanya riwayat keluarga yang memiliki batu pada 37.999 pria dimana ditindaklanjuti selama 8 tahun dan didapatkan 79S kasus batu. Pada penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya riwayat keluarga merupakan suatu faktor risiko terjadinya batu dengan OR 2,57! Pada pasien didapatkan riwayat konsumsi air bersoda yang cukup sering. Kaitannya dengan terjadinya batu ginjal dilakukan oleh Vartanian dk dengan melakukan metaanalisis. Pada S studi yang ada melaporkan bahwa Konsumsi minuman ringan (minuman bersoda) berhubungan dengan kejadian batu saluran kemih ataupun ginjal. Namun terdapat 2 studi yang tidak menunjukkan adanya hubungan keduanya. Dua dari lima studi menemukan bahwa hubungan positit ini tidak begitu signifikan setelah adanya kendali diet makenan yang mengandung kalsium, potasium, dan gula (sukrosa).” Selain itu, Massey pada studi literaturnya ‘menyimpulkan bahwa efek dari glukosa dan fruktosa pada minuman ringan (cola) menyebabkan peningkatan Kadar oksalat di urin selain minuman tersebut mengandung oksalat. Shuster dkk menemukan bahwa pasien yang menghentikan konsumsinya menurunkan angka rekurensi sebesar 7%.” Pekerjaan pasien sebagai ibu rumah tangga (sesuai dengan deskripsinya) membuat pasien kurang JIMK1 | VoliNo. 01 | Januari - Juni 2010 Batu Staghorn pada Wanita: Faktor Risiko da Tatalaksananya melakukan aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik merupakan salah satu faktor risiko terjadinya bat saluran kemih. Hal ini didukung oleh penelitian Kim Chul ¥ dik, yang menemukan bahwa insiden tertinggi batu saluran kemih terjadi pada ibu rumah tangga yakni 20,8%."" Namun tingginya aktivitas tak selamanya membuat risiko terjadinya batu menjadi lebih rendah, Hal ini dibuktikan di Thailand oleh Tanthanuch dkk yang menemukan bahwa para pekerja seperti petani, laboran, dan penjaga rumah memilki insiden batw saluran’ kemih lebih tinggi dibandingkan sedentary workers seperti pegawai pemerintah dan_ pelajar, Penemuan ini sekaligus bertentangan epidemiologi di negera barat yang menunjukkan sedentary workers ‘memiliki insiden yang lebih tinggi."? Kurangnya asupan airharian berhubungan dengan risiko terjadi batu saluran kemih. Asupan air yang Kurang menyebabkan peningkatan osmolalitas plasma dan penurunan volume arteri efektif, Hasil akhitnya ‘menurunnya volume urin dan eksresi natrium. Adanya penurunan volume urin akan meningkatkan osmolalitas turin dnegan kata lain meningkatkan konsentrasi solut i urin, Sesuai dengan patogenesisnya, menurunnya volume urin serta kecepatan aliran urin akan meningkatkan saturasi zat pembentuk batu, Hal ini didukung oleh penelitian Borghi dkk yang menyatakan bahwa volume urin berperan dalam pengulangan terbentukny# batu kalsium, dan disarankan minimal volume urin 2 liter/24 jam.” Adanya kebiasaan menahan BAK belum diketahui berhubungan dengan Kejadian batu saluran kemih, Namun tidak halnya dengan risiko terjadinya infeksi saluran kemih. Beetz dkk. menyatakan bahwa adanya dehidrasi yakni terkait asupan air yang kurang dan adanya kebiasaan menahan BAK meningkatkan risiko terjadinya infeksi saluran kemih. Dari penclitian yang ada sampai sekarang ternyata urin yang pekat, bukan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman, diduga oleh karena kadar urea yang tinggi. Akan tetapi terdapat beberapa keadaan yang mendukung untuk terjadinya infeksi saluran kemih atas maupun bawah pada hidrasi yang kurang yakni volume urin yang turun, aliran urin yang turun, dan frekuensi kemih yang Kurang." ‘Air minum adalah air baku yang memenuhi kriteria tertentu yang telah ditentukan sebagai standart kualitas air minum. Untuk meneapai kriteria tersebut, air baku harusiah diolah terlebih dahulu dengan berbagai macam metoda. Air tanah merupakan sumber daya air yang secara alamiah mendekati standart air minum. Akan tetapi, air tanah mengalami suatu roses hidrogeokimia yang menyebabkan pelarutan mineral-mineral, sehingga terjadi perubahan pada Komposisi air tanah. Kandungan berbagai mineral ini akan memberikan dampak posilif maupun negatif pada Kesehatan manusia. Air yang biasa dikonsumsi pasien 155) Jurnal dan keluarga adalah air sumur (tanah) yang dikatakan, Belum dapat diketahui dengan pasti bagaimana kualitas air tersebut apakah kaya akan mineral yang meningkatkan risiko terjadinya batu.'= Penatalaksanaan Pada pasien ini dilakukan beberapa terapi yakni medikamentosa dan nonmedikamentosa (pembedahan) ‘Terdapat dua pembedahan yang telah dilakukan, yakni pemasangan nefrostomi dekstra dan PCNL Sinistra. Menurut hasil anamnesis, pemerikswan fisik, dan penunjang, didapatkan bahwa pasien mengalami obstruksi bilateral dengan salah satu ginjal sudah tidak berfungsi baik (single kidney). Pada ginjal kanan terjadi hidronferosis dan hidroureter dimana hhal ini menunjukkan adanya obstruksi kronik pada saluran kemih. Walaupun dari klinis tidak ada kesan piclonefritis ataupun glomerulonefritis, kecurigaan adanya proses infeksi perlu dilakukan. Dengan proses tersebut dibiarkan berlarut-larut akan semakin ‘meningkatkan tekanan intrapelvis. Akibatnya akan terjadi perlawanan terhadap gradien filtrasi glomerulus dan menyebabkan kuman masuk ke peredaran darah dan terjadi sepsis (urosepsis)."" Sehingga tindakan nefrostomi ini sudahlah tepat. Dengan pemasangan nefrostomi ini juga secara tidak langsung dapat menilai sejauh mana kerusakan fungsi ginjal kanan yakni dengan pemantaun produksi urin ke kateter, Pertama kali pembedahan dilakukan pada batw staghorn sinistra. Alasan dilakukannya tindakan ini karena pada hasil pemeriksaan laboratorium, radiologis (IVP, renogram) pada ginjal sinistra_ menunjukkan fungsi sekresi dan ckstesi yang normal. Schingga dengan melakukan intervensi pada ginjal sinistra I cm. Namun secara umum ureteroskopi merupakan pilihan pertama untuk semua keadaan batu ureter distal yang tidak terpengaruh oleh ukuran batu. Hal ini senada dengan penelitian Peschel R dkk yang ‘melakukan studi prospektif acak bertujuan menentukan terapi lini pertama untuk batu ureter distal. Hasilnya, ureteroskopi secara bermakna memberikan hasil lebih baik dalah hal lamanya prosedur, durasi fluoroskopi dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai bebas batu.” Semakin kecil batu, semakin besar perbedaan antar kedua modalitas terapi tersebut." Namun hal ini bertentangan dengan Pearle dkk menyatakan bahwa baik ureteroskopi maupun ESWL memberikan angka kesuksesan yang tinggi dan angka komplikasi rendah, SIMI | Vol. INo.01 | Januari - Juni 2010 M Azharry R Namun, ESWL membutuhkan waktu prosedur yang lebih rendah secara bermakna, serta menunjukkan Kecenderungan nyeri pinggang dan disuria yang lebih rendah, komplikasi yang lebih sedikit, serta penyembuhan yang lebih cepat.*" Akan tetapi, dari hasil renogram didapatkan hasil GFR ginjal kanan dibawah 10 sehingga ada indikasi untuk dilakukan nefrektomi. Pada pasien juga diberikan beberapa obat yakni antibiotik siprofloksasin. Pemberian antibiotile ini memiliki dua fungsi yakni sebagai terapi ISK sekaligus profilaksis perioperatif urologi. Fang Guodong dkk ‘membandingkan penggunaan siprofloksasin (SOO mg per 12 jam) dengan aminoglikosida (parenteral) pada kasus ISK komplikata selama 7-10 hari. Didapatkan hhasil perbaikan klinis pada kedua antibiotik 5-9 hari pasca terapi dimulai. Namun, pada siprofloksasin didapatkan hasil signifikan (p=0,0005) dari kultur urin yang steril pada hari 5-9 pasea terapi.® Pasien mengalami prosedur operasisaluran_kemih tanpa melibatkan segmen saluran cerna, Menurut panduan European Association of Urology (2001) penyebab tersering ialah Enterobaeteriaceae sp, Enterococcus sp, dan Staphylococcus sp yang sensitif terhadap floroquinolon.* Pencegahan (edukasi) dan prognosis Sebagai pencegahan dari rekurensi_batu, pasien harus diedukasi agar masukan eairan minimal adalah setengah dari berat badan pasien yakni 2-3 liter/heri yang terutama berasal dari air putih, Selain ‘memperbaiki asupan air harian, perlu dipantaw warna urin sebagai indikator sederhana hidrasi tubuh, yakni dengan PURI (periksa urin sendiri).*" Pergerakan juga ianjurkan untuk mencegah stasis urin, Selanjutnya, perlu dilakukan pengaturan diet dan dapat dilakukan berdasarkan hasil analisis batu yang diangkat pada operasi. Oleh karena adanya riwayat keluarga dan kecurigaan sumber air minum sebagai salah satu faktor risiko, disarankan kepada keluarga untuk melakukan skrinning setidaknya pada anggota keluarga dengan Klinis yang menjurus ke arah batu. Prognosis ad vitam pada pasien ini bonam karena penyakit ini tidak mengancam nyawa pasien, Walaupun status ginjal pada pasien ini adalah single kidney namun dengan fungsi yang baik sehingga prognosis ad funetionamnya ialah dubia ad bonam, Mengingat stone free rate dan angka rekurensi pasea tindakan PCNL. (kombinasi ESWL) cukup baik schingga prognosis ad sanactionam pasien ialah dubia ad bonam. Walaupun emikian jika faktor risiko pada pasien tidak dapat dikontrol, kemungkinan rekurensi tetap ada, Kesimpulan Batu Staghorn merupakan batu ginjal yang ‘menempati lebih dari satu collecting system, yaitu bate pielum yang berekstensi ke satu atau lebih kaliks. Seperti JEMKI | Vol ENO. ot | Januari - Juni 2010 Batu Staghorn pada Wanita: Faktor Risiko da Tatalaksananya - halnye batu saluran kemih lainnya, Batu Staghorn ini juga memiliki faktor risiko yang sama. Penegakan Giagnosis dapat dilakukan atas dasar manifestasi klinik dan berbagai pemeriksaan penunjang terutama Modalitas radiologi. Dalam —penatalaksanaannya diperlukan berbagai pertimbangan, antara lain ukuran, jumlah, komposisi, lokasi, primer/residif, dan tungsi kkedua ginjal, Laporan kasus yang disampaikan merupakan contoh Klasik dan lengkap penanganan pasien Batu Staghorn yang baik dan benar. Pasien pada kasus mendapatkan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Diagnosis Batu Staghorn berhasil ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, Diagnosis diperkuat dengan hasil pemeriksaan penuajang yang lengkap dari BNO-IVP, USG, APG, dan renogram, Penatalaksanaan pada pasien juga ‘telah dilakukan dengan baik dan Kkomprehensif, Identifikasi faktor risiko jugalah penting dalam pencegahan terjadinya rekurensi. Keputusan tindakan pembedahan kasus ini pun dilakukan dengan seksama. Semoga laporan kasus ini dapat_memberikan kontribusi—berupa —_pengetahuan—klinis. dan Penatalaksanaan pasien batu saluran kemih khususnya Batu Staghorn bagi para pembaca, baik mahasiswa kedokteran umum, mahasiswa program dokter spesialis ilmu penyakit dalam dan bedah, maupun para klinisi di lapangan, ‘cn Urine Color Chart 1 Scenes ‘ght gre ay to ‘Seyi. yuri arsine cir ‘howe. 2.¢3 you Se tates aroees ough 8 you sr thyrmed encase aa ‘Semone Daftar pustaka T-Rahardjo D, Hamid R. Perkembangan penatalaksansan bat sinjal di RSCM tahun 1997-2002. J { Bedah Indones. 2004; 32(2):58-63. 2.Purnomo, B. Basuki. Dasar-daser Urologi ed ke-dua, Jakarta: 187] urna Penerbit CY. Segung Seto. 2003: hal. 57-65. Stoller ML, Bolton DM. Urinary Stone Disease. In: Tanagho EA, MeAninch JW, eds. Smith's General Urology, 15th ed [New York: MeGraw-Hill; 2000, p, 291-313. Bumett AL, Rodrigues R, Jarrett TW. Genitourinary System: ‘Male Anatomy and Physiologi. In: Greenfield LJ, Mulholland MW, Oldham KT, Zelenock GB, Lilimoe KD, eds. Essentials of Surgery Scientifle Principles and Practice, nd ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 1997.p.1111-8, Naber KG, Bergman B, Bishop MC, Johansen TEB, Botto H, ‘Lobel B (ed). European Association of Urology : Guidelines on Urinary and Male Genital Tract Infeetions. 2001 ‘Ryall RL, Dik. Urinary Risk Factors In Caleium Oxalate Stone Disease: Comparison Of Men And Women. British Journal Of Urology. 1987.60: 480-88, Sarada B, Satyanarayana U, Urinary composition in men land women and the risk of wrolithiasis, Clin Biochem, 1991 Dee:24(6):487-90, ‘Curhan Ge, Walter C. Willett, Stampfer MJ. Family History ‘And Risk Of Kidney Stone. J Am Soe Nephrol 1997.8: 1568- 1373, Vartanian LR, Marlene B. Schwartz, Brownell KD. Effects of Soft Drink Consumption on Nutrition and Health: A Systematic ‘Review and Meta-Analysis, Am J Publie Health. 2007;97:667— 675, 10.Linda K. Massey. Dictary Influences On Urinary Oxalate And Risk OF Kidney Stones, Frontiers In Bioscience 8, 2003:S384- 594. 11.Kim Jul dkk, Incidence of Usinary tact ealeull in Korea. Kor Med J 2007;122(7):798-801 12Tanthanuch M, Apiwatgaroon A, Pripatnanont C Urinary Tract Calculi in Southern Thailand. J Med Assoe Th 88(1: 80-5 13,Borghi L, Coe FL, Deutsch L, Parks JH, Factors that predict elapse of calcium aeprolithiasis during treatment: a prospective 2005; limiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia study. Am J Med, 1982:72(1): 17-24 L4.Beetz R. Mild dehydration: a risk factor of urinary tra infection? Eur J Clin Nutr 2003. $7 Suppl 2: 52-8 1S.Hendrayana Hera. Sumber air minum dan karakteristiknya Proceeding book of Hydration and Healthy symposium.h.1-4. 16.Sumardi R, Taher A, Sugandi 8, dkk, Batu Ginjal, Dalam: ‘SumardiR, Taher A, SugandiS, dkk. Guidelines Penatalaksanaan_ Penyakit Batu Saluran Kemih 2007. Jakarta: lkatan fli Urologi Indonesia: 2007, 17 Rassweiler 1, Renner C, Eisenberger F. The Management of Complex Renal Stones. BIU Int 2000;86:919-28. 18.Jin Wei C, Min Chong C. Management of staghorn calculus (clinieal review). Medical Progress February 2003. National university of Singapore 19.Lee WI dkk. Complications of percutaneous nephrolithotomy. 1987, AJR 148:177-180. 2o.Peschel R, Janetschek G, Bartsch G. Extracorporeal Shock ‘Wave Lithotripsy Versus Ureterascopy for Distal Urete Calculis A Prospective Randomized Study. J Ur 1999;162:1909- 1912 21.Peasle M, Nadler R, Bercowsky, etal. Prospective Randomized Comparing Shock Wave Lithottipsy and Ureteroscopy for Management of Distal Ureteral Calculi. J Uro 2001:166:1255- 60 22.Fang G Dkk. Use Of Ciprofloxacin Versus Use Of Aminoglycosides For Therapy Of Complicated Urinary act Infection: Prospective, Randomized Clinical And Pharmacokinetic Study. Antimicrobial Agents And Chemotherapy. 1991, P 1849-1855 23.Naber KG, Bergman B, Bishop MC, Johansen TEB, Botto H, ‘Lobel B (ed). European Association of Urology : Guidelines on Urinary and Male Genital Tract Infections. 2001 24.Amstrong LE, Soto JA, Hacker FT, Casa DJ, Kavouras SA, ‘Mares. Urinary indices during dehydration, exercise, and rehydration, Int J Sport Nute. 1998 ;8(4):345-55. JIMKI | Vol EN. of | Januari - Juni 2010

You might also like