Professional Documents
Culture Documents
Pripsip terjadinya prolaps uteri adalah terjadinya Defek pada dasar pelvik yang disebabkan oleh
proses melahirkan akibat regangan dan robekan fasia endopelvik, muskulus levator serta perineal body.
Neuropati perineal dan parsial pudenda juga terlibat dalam proses persalinan. Sehingga, wanita multipara
sangat rentan terhadap faktor resiko terjadi nya prolaps uteri (Prawirohardjo, 2005).
2. Etiologi
Partus yang berulang kali dan terjadi terlampau sering, partus dengan penyulit, merupakan penyebab
prolapsus genitalis, dan memperburuk prolaps yang sudah ada. Faktor-faktor lain adalah tarikan pada
janin pada pembukaan belum lengkap, prasat Crede yang berlebihan untuk mengeluarkan plasenta, dan
sebagainya. Jadi, tidaklah mengherankan bila prolapsus genitalis terjadi segera sesudah partus atau
dalam masa nifas. Asites dan tumor-tumor di daerah pelvis pada nullipara, faktor penyebabnya adalah
kelainan bawaan berupa kelemahan jaringan penunjang uterus.
Faktor penyebab lain yang sering adalah melahirkan dan menopause. Persalinan yang lama dan
sulit, meneran sebelum pembukaan lengkap, laserasi dinding vagina bawah pada kala II, penataksanaan
pengeluaran plasenta, reparasi otot-otot dasar panggul yang tidak baik. Pada Menopause, hormon
esterogen telah berkurang sehingga otot-otot dasar panggul menjadi atrofi dan melemah (Wiknjosastro,
2008).
3. Klasifikasi prolapus uteri
Mengenai istilah dan klasifikasi prolapus uteri terdapat perbedaan pendapat antara ahli ginekologi.
Friedman dan Little (1961) mengemukakan beberapa macam klasifikasi yang dikenal yaitu:
3.1. Prolapsus uteri tingkat I, dimana servik uteri turun sampai introitus vaginae; proplasus uteri tingkat II,
dimana serviks menonjol keluar dari introitus vaginae; prolapsus uteri tingkat III, seluruh uterus keluar dari
vagina, prolapsus ini juga dinamakan prosidensia uteri.
3.2. Prolapsus uteri tingakat I, serviks masih berada didalam vagina; prolapsus uteri tingkat III, serviks keluar
dari introitus, sedang pada prosidensia uteri, uterus seluruhnya keluar dari vagina.
3.3. Prolapsus uteri tingkat I, serviks mencapai introitus vaginae; prolapsus uteri tingkat II, uterus keluar dari
introitus kurang dari bagian ; prlapsus uteri tingkat III, uterus keluar dari introitus lebih besar dari
bagian.
3.4. Prolapsus uteri tingkat I, serviks mendekati prosessus spinosus; prolapsus uteri tingkat II, serviks
terdapat antara prosessus spinosus dan introitus vaginae; prolapsus uteri tingkat III; serviks keluar dari
introitus.
3.5. Klasifikasi ini sama dengan klasifikasi D, ditambah dengan prolapsus uteri tingkat IV (prosidensia uteri)
Dianjurkan klasifikasi berikut:
Desensus uteri, uterus turun, tetapi serviks masih didalam vagina. Prolapsus uteri tingkat I,
uterus turun dengan serviks uteri turun paling rendah sampai introitus vaginae; prolapsus uteri tingkat II,
uterus untuk sebagian keluar dari vagina; prolapsus uteri tingkat III, atau prosidensia uteri, uterus keluar
seluruhnya dari vagina, disertai dengan inversio vagina.
4. Manifestasi Klinik
Gejala sangat berbeda-beda dan bersifat individual. Kadang kala penderita yang satu dengan
prolaps yang cukup berat tidak mempunyai keluhan apapun, sebaliknya penderita lain dengan prolaps
ringan mempunyai banyak keluhan.
Keluhan-keluhan yang hampir selalu dijumpai:
4.1. Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal atau menonjol di genitalia eksterna
4.2. Rasa sakit di panggul dan pinggang (backache). Biasanya jika penderita berbaring, keluhan menghilang
atau menjadi kurang .
4.3. Sistokel dapat menyebabkan gejala-gejala:
a. Miksi sering dan sedikit-sedikit. Mula-mula pada siang hari, kemudian bila lebih berat juga pada malam
hari;
b. Perasaan seperti kandung kencing tidak dapat dikosongkan seluruhnya;
c. Stress incontinence, yaitu tidak dapat menahan kencing jika batuk mengejan. Kadang- kadang dapat
terjadi retensio uriena pada sistokel yang besar sekali.
4.4. Rektokel dapat menjadi gangguan pada defekasi:
a. Obstipasi karena faeses berkumpul dalam rongga rektokel;
b. Baru dapat defeksi, setelah diadakan tekanan pada rektokel dari vagina.
4.5. Prolapsus uteri dapat menyebabkan gejala sebagai berikut:
a. Pengeluaran serviks uteri dari vulva mengganggu penderita waktu berjalan dan bekerja. Gesekan porio
uteri oleh celana menimbulkan lecet sampai luka dan dekubitus pada porsio uteri
b. Leukorea karena kongesti pembuluh darah di daerah serviks, dan karena infeksi serta luka pada porsio
uteri
4.6. Enterokel dapat menyebabkan perasaan berat di rongga panggul dan rasapenuh di vagina.
5. Anatomi dan fisiologi Uterus
Uterus (rahim)
Uterus adalah organ yang tebal, berotot, berbentuk buah pir, terletak di dalam pelvis (panggul),
antara rektum di belakang dan kandung kencing di depan. Berfungsi sebagai tempat calon bayi
dibesarkan. Bentuknya seperti buah alpukat dengan berat normal 30-50 gram. Pada saat tidak hamil,
besar rahim kurang lebih sebesar telur ayam kampung. Diding rahim terdiri dari 3 lapisan :
Peritoneum
Yang meliputi dinding uterus bagian luar, dan merupakan penebalan yang diisi jaringan ikat dan
pembuluh darah limfe dan urat saraf. Bagian ini meliputi tuba dan mencapai dinding abdomen (perut).
Myometrium
Merupakan lapisan yang paling tebal, terdiri dari otot polos yang disusun sedemikian rupa hingga dapat
mendorong isinya keluar saat proses persalinan.Diantara serabut-serabut otot terdapat pembuluh darah,
Penderita dalam posisi jongkok disuruh mengejan, dan ditentukan dengan pemeriksaan dengan jari,
apakah porsio uteri pada posisi normal, atau porsio sampai introitus vagina, atau apakah serviks uteri
sudah keluar dari vagina. Selanjutnya dengan penderita berbaring dengan posisi litotomi, ditentukan pula
panjangnya servik uteri. Serviks uteri yang lebih panjang biasanya dinamakan elongsio kolli
(Wiknjosastro, 2005).
Pada sistokel dijumpai di dinding vagina depan benjolan kistik lembek dan tidak nyeri tekan. Benjolan ini
bertambah besar jika penderita mengejan. Jika dimasukkan kedalam kandung kencing kateter logam,
kateter itu diarahkan kedalam sistokel, dapat diraba keteter tersebut dekat sekali pada dinding vagina.
Uretrokel letaknya lebih kebawah dari sistokel, dekat pada orifisium urethrae eksternum (Wiknjosastro,
2005).
Menegakkan diagnosis rektokel mudah, yaitu menonjolnya rectum ke lumen vagina sepertiga bagian
bawah. Penonjolan ini berbentuk lonjong, memanjang dari proksimal ke distal, kistik dan tidak nyeri.
Untuk memastikan diagnosis, jari dimasukkan kedalam rectum, dan selanjutnya dapat diraba dinding
rektokel yang menonjol lumen vagina. Enterokel menonjol ke lumen vagina lebih atas dari rektokel. Pada
pemeriksaan rectal dinding rectum lurus, ada benjolan ke vagina terdapat diatas rectum (Wiknjosastro,
2008).
7. Penatalaksanaan dan Pengobatan Medis
Pengobatan cara ini tidak seberapa memuaskan tetapi cukup membantu. Cara ini dilakukan pada
prolapsus uteri ringan tanpa keluhan, atau penderita masih ingin mendapatkan anak lagi, ata penderita
menolak untuk dioperasi, atau kondisinya tidak mengizinkan untuk dioperasi.
1) Latihan-latihan otot dasar panggul
Latihan ini sangat berguna pada prolapsus uteri ringan, terutama yang terjadi pada pasca persalinan
yang belum lewat 6 bulan. Tujuannya untuk menguatkan otot-otot dasar panggul dan otot-otot yang
mempengaruhi miksi. Latihan ini dilakukan selama beberapa bulan.
2) Stimulasi otot-otot dengan alat listrik
Kontraksi otot-otot dasar panggul dapat pula ditimbulkan dengan alat listrik, elektrodenya dapat
dipasang dalam pessarium yang dimasukkan ke dalam vagina.
3) Pengobatan dengan pessarium
Pengobatan dengan pessarium sebenarnya hanya bersifat paliatif, yakni menahan uterus
ditempatnya selama dipakai. Oleh karena itu jika pessarium diangkat, timbul prolapsus lagi. Prinsip
pemakaian pessarium ialah bahwa alat tersebut mengadakan tekanan pada dinding vagina bagian atas,
sehingga bagian dari vagina tersebut beserta uterus tidak dapat turun dan melewati vagina bagian
bawah. Pessarium yang paling baik untuk prolapsus genitalia adalah pessarium cincin, terbuat dari
plastik. Jika dasar panggul terlalu lemah dapat digunkan pessarium Napier. Pessarium ini terdiri atas
suatu gagang (steam) dengan ujung atas suatu mangkok (cup) dengan beberapa lubang, dan ujung
bawah 4 tali. Mangkok ditempatkan dibawah serviks dengan tali-tali dihubungkan dengan sabuk pinggang
untuk memberi sokongan kepada pessarium. Pessarium dapat dipakai selama beberapa tahun, asal saja
penderita diawasi secara teratur. Periksa ulang sebaiknya dilakukan 2-3 bulan sekali. Vagina diperiksa
dengan inspekulo untuk menentukan ada tidaknya perlukaan, pessarium dibersihkan dan disucihamakan,
dan kemudian dipasang kembali. Kontraindikasi terhadap pemasangan pessarium adalah adanya radang
pelvis akut atau sub akut, dan karsinoma.
4) Pengobatan Operatif
Prolapsus uteri biasanya disertai prolapsus vagina. Maka, jika dilakukan pembedahan untuk
prolapsus uteri, prolapsus vagina perlu ditangani pula. Ada kemungkinan terdapat prolapsus vagina yang
membutuhkan pembedahan, padahal tidak ada prolapsus uteri, atau prolapsus uteri yang ada belum
perlu dioperasi. Indikasi untuk melakukan operasi pada prolapsus vagina ialah adanya keluhan dan
tergantung beberapa faktor, seperti umur penderita, keinginan mendapat anak atau mempertahankan
-
8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat menyertai prolapsus uteri ialah:
8.1. Keratinisasi mukosa vagina dan porsio uteri.
Prosidensia uteri disertai degan keluarnya dinding vagina (inversio); karena itu mukosa vagina dan
serivks uteri menjadi tebal serta brkerut, dan berwarna keputih-putihan.
8.2. Dekubitus
Jika serviks uteri terus keluar dari vagina, ujungnya bergeser dengan paha dan pakaian dalam, hal itu
dapat menyebabkan luka dan radang, dan lambat laun timbul ulkus dekubitus. Dalam keadaan demikian,
perlu dipikirkan kemungkinan karsinoma, lebih-lebih pada penderita berusia lanjut. Pemeriksaan
sitologi/biopsi perlu dilakukan untuk mendapat kepastian akan adanya karsinoma.
8.3. Hipertrofi serviks dan elangasio kolli
Jika serviks uteri turun dalam vagina sedangkan jaringan penahan dan penyokong uterus masih kuat,
maka karena tarikan ke bawah di bagian uterus yang turun serta pembendungan pembuluh darah
serviks uteri mengalami hipertrofi dan menjadi panjang dengan periksa lihat dan periksa raba. Pada
elangasio kolli serviks uteri pada periksa raba lebih panjang dari biasa.
8.4. Gangguan miksi dan stress incontinence
Pada sistokel berat- miksi kadang-kadang terhalang, sehingga kandung kencing tidak dapat dikosongkan
sepenuhnya. Turunnya uterus bisa juga menyempitkan ureter, sehingga bisa menyebabkan hidroureter
dan hidronefrosis. Adanya sistokel dapat pula mengubah bentuk sudut antara kandung kencing dan
uretra yang dapat menimbulkan stress incontinence.
8.5. Infeksi jalan kencing
Adanya retensi air kencing mudah menimbulkan infeksi. Sistitis yang terjadi dapat meluas ke atas dan
dapat menyebabkan pielitis dan pielonefritis. Akhirnya, hal itu dapat menyebabkan gagal ginjal.
8.6. Kemandulan
Karena serviks uteri turun sampai dekat pada introitus vaginae atau sama sekali keluar dari vagina, tidak
mudah terjadi kehamilan.
8.7. Kesulitan pada waktu partus
Jika wanita dengan prolapsus uteri hamil, maka pada waktu persalinan dapat timbul kesulitan di kala
pembukaan, sehingga kemajuan persalinan terhalang.
8.8. Hemoroid
Feses yang terkumpul dalam rektokel memudahkan adanya obstipasi dan timbul hemoroid.
8.9. Inkarserasi usus halus
Usus halus yang masuk ke dalam enterokel dapat terjepit dengan kemungkinan tidak dapat direposisi
lagi. Dalam hal ini perlu dilakukan laparotomi untuk membebaskan usus yang terjepit itu (Wiknjosastro,
2008).
B. Tinjauan Teoritis Keperawatan
1. Pengkajian
1.1.Data Subyektif
Sebelum Operasi
Adanya benjolan diselangkangan/kemaluan.
Nyeri di daerah benjolan.
Mual, muntah, kembung.
Konstipasi.
Tidak nafsu makan.
Sesudah Operasi
Nyeri di daerah operasi.
Lemas.
Pusing.
Mual, kembung.
1.2.Data Obyektif
Sebelum Operasi
2. Diagnosa Keperawatan
Sebelum Operasi
1) Diagnosa Keperawatan 1.
Nyeri berhubungan dengan eliminasi urin
Hasil yang diharapkan :
Nyeri berkurang sampai hilang secara bertahap.
Pasien dapat beradaptasi dengan nyerinya,
Rencana tindakan :
1. Observasi tanda-tanda vital
2. Observasi keluhan nyeri, lokasi, jenis dan intensitas nyeri
3. Jelaskan penyebab rasa sakit, cars menguranginya.
4. Beri posisi senyaman mungkin bunt pasien.
5. Ajarkan tehnik-tehnik relaksasi = tarik nafas dalam.
6. Bed obat-obat analgetik sesuai pesanan dokter.
7. Ciptakan lingkungan yang tenang.
2) Diagnosa Keperawatan 2.
Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan pembedahan.
Hasil yang diharapkan :
Ekspresi wajah tenang.
Rencana tindakan :
1. Kaji tingkat kecemasan pasien.
2. Jelaskan prosedur persiapan operasi seperti pengambilan darah, waktu puasa, jam operasi.
3. Dengarkan keluhan pasien
4. Beri kesempatan untuk bertanya.
5. Jelaskan pada pasien tentang apa yang akan dilakukan di kamar operasi dengan terlebih dahulu
dilakukan pembiusan.
6. Jelaskan tentang keadaan pasien setelah dioperasi.
3) Diagnosa Keperawatan 3.
Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan inkontenensia urin
Hasil yang diharapkan :
Turgor kulit elastis.
Rencana tindakan
1)
2)
3)
4) Diagnosa Keperawatan 4.
Resiko Tinggi hypertermi berhubungan dengan infeksi pada luka operasi.
Hasil yang diharapkan :
1. Luka operasi bersih, kering, tidak bengkak. tidak ada perdarahan.
2. Suhu dalam batas normal (36-37C)
Rencana tindakan :
1. Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam.
2. Beri terapi antibiotik sesuai program medik.
3. Beri kompres hangat.
4. Monitor pemberian infus.
5. Rawat luka operasi dengan tehnik steril.
6. Jaga kebersihan luka operasi.
5)
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes E. Marlynn & Moerhorse, M. F. (2001). Rencana Perawatan Maternal / Bayi. Jakarta: EGC.
Mitayani. (2013). Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika.
Pearce, E. C. (2009). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
Prawirohardjo, S. (2005). Ilmu Kebidanan. Yogyakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Wiknjosastro, H. (2008). Ilmu Kebidanan. Yogyakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Wilkinson, J. M. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC