Professional Documents
Culture Documents
Juga ada nama sekolah yang sengaja kusamarkan termasuk lokasi di mana sekolah it
u berada.
Kukira itu harus, agar tidak merembet menjadi suatu persoalan dengan pihak sekol
ah maupun dengan orang-orang yang bersangkutan.
8
Sekarang, saat kutulis buku ini, jam di kamarku sudah menunjukkan pukul 20:42, h
ari sabtu, tanggal 11 september tahun 2010.
Inilah rumahku, rumah yang aku tempati bersama suamiku sejak tahun 1997, yatu di
daerah kawasan Jakarta Pusat yang sedang hujan.
Ada hot lemon tea dan lagu-lagu Rolling Stones yang sedang menemani.
Di kamar lain, di kamarnya sendiri, anakku sudah tidur. Dia laki-laki dan masih
berusia 10 tahun. Sedangkan suamiku, dia belum pulang, katanya ada kerjaan kanto
r yang membuat dia harus lembur. Tapi sudahlah, mari kita mulai ceritanya:
---------------------II.
Sang Peramal
1
Pagi itu di Bandung, di akhir bulan September tahun 1990, bagiku ini adalah deka
de yang paling romantis di abad ke-20.
Setelah turun dari angkot, aku jalan menuju sekolahku sebagaimana yang lain yang
juga sama begitu. Bedanya, aku jalan sendirian, sedangkan yang lain ada berdua
atau lebih.
Ada juga sih yang sama sepertiku, berjalan sendirian, tapi gak tahu kenapa, mung
kin itu maunya atau kebetulan. Kalau aku sih jelas, karena masih murid baru, bel
um mengenal banyak teman kecuali satu dua orang saja di kelasku.
2
Di saat jalan menuju ke sekolah, aku mendengar suara motor dari arah belakangku.
Tentu saja keberadaannya sangat mudah kusadari, karena di masa itu belum ada ba
nyak siswa yang pergi sekolah dengan memakai sepeda motor.
Ketika motor itu sudah sejajar denganku, jalannya jadi lambat, kayak sengaja unt
uk menyamai kecepatanku berjalan.
Hal itu membuat aku jadi heran dan langsung menoleh kepadanya karena ingin tahu
apa maksudnya dan terkejut ketika aku melihat dia menatapku.
Pengendaranya adalah lelaki yang tidak kukenal, berseragam SMA. Langsung kutebak
dia pasti satu SMA denganku.
Dengan senyum lalu dia menyapaku
Pagi." Ia memberi salam
"Pagi," Jawabku dan itu pelan.
Aku merasa gugup. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan
"Kamu Milea, ya?... Kudengar suaranya sedikit agak serak.
Eh?," kutoleh dia, untuk memastikan barangkali kukenal juga dirinya. Tapi aku mer
asa belum pernah melihatnya.
"Iya
Aku berdialog dengannya sambil terus berjalan dengan dia di sampingku.
Boleh gak aku ramal?
Ramal?, Tanyaku untuk lebih memastikan apa yang barusan dia bilang. Ramal atau lam
ar? Sering itu terdengar sama.
Iya, ramal, katanya mempertegas.
Ramal apa?.
Sebetulnya aku bingung dengan maksud orang itu, mengapa tiba-tiba menawariku ram
alan dan itu masih pagi. Kenal juga enggak. Kukira dia cuma anak nakal yang suka
menggoda perempuan dan memberitahu teman-temannya apa yang sudah ia lakukan.
Aku ramal, kita akan ketemu di kantin, katanya
Oh,
Mau ikut?, dia nanya.
Makasih, jawabku. Enak aja, pikirku, kenal juga belum, sudah ngajak semotor, kala
u dia tukang ojek sih bisa kupahami.
Udah deket, kataku berbasa-basi dan aku merasa itu perlu, terlebih aku ini murid b
aru yang harus bisa nitip diri pada lingkunganku yang baru .
Oke..., katanya.
Aku diam.
Suatu hari, , Katanya lagi. Kamu akan naik motorku
Aku diam dan terus berjalan.
Udah ya? Aku duluan , katanya. Kupandang sebentar dirinya yang tersenyum.
"Iya", jawabku.
Habis itu, dia pergi, memacu motornya. Harusnya dia pakai jaket, tapi tidak, uju
ng baju seragamnya jadi berkibar-kibar.
Aku gak tahu siapa dia. Betul-betul gak tahu. Meski mungkin satu sekolah, tapi a
ku belum mengenal semua siswa yang ada di sekolah. Aku baru kira-kira dua minggu
bersekolah di situ.
3
Waktu jam istirahat, tadinya aku mau ke kantin, tapi sama sekali bukan untuk mem
enuhi ramalan anak itu. Ngapain!?
Sedikit mungkin kepikir, tapi tujuan utamaku ke kantin, jelas, lebih karena ada
yang mau kubeli untuk diminum.
Tapi sebelum aku pergi, Nandan, teman sekelas, Ketua Murid kelas 2 Biologi 3, mi
nta waktu ingin ngobrol denganku, katanya ada yang mau dibahas.
Oh? Ya udah, kataku setuju kepadanya.
Kalau mau minum nanti saya beliin, katanya
Eh? Gak usah, kataku. Biar aku aja.
Gak apa-apa, katanya. Tunggu ya.
Dia pergi, ke kantin, tanpa membawa uang dariku.
Tak lama kemudian dia datang lagi, membawa beberapa buah teh kotak. Baik sekali
orang ini, kupikir.
4
Di kelas, selain aku dengan Nandan, ada juga Rani dan Agus, semuanya adalah tema
n sekelas.
Hal yang kami bahas adalah tentang keinginan mereka untuk menunjuk aku menjadi s
ekertaris, dan juga sekaligus bendahara kelas 2 Biologi 3.
Di saat sedang ngobrol, tiba-tiba ada orang yang masuk ke dalam kelas. Nandan, R
ani dan juga Agus, tahu siapa dirinya.
Dia adalah Piyan, siswa kelas 2 Fisika 1. Rambutnya agak ikal. Dia memiliki soso
k yang ramping. Dari wajahnya orang akan langsung mengira dia turunan Arab, teta
pi bukan.
Aya naon, Yan?, tanya Agus, yang artinya: Ada apa, Yan? .
Ini nganterin titipan, jawabnya lalu bertanya kepadaku: Milea ya?
Iya?, aku mendongak kepadanya. Kenapa?
Ada surat, kata Piyan
Surat?, tanyaku heran. Buat aku?
Iya
Surat apa? Nandan nanya ke Piyan.
Buat Milea, jawab Piyan sambil menyerahkan surat itu kepadaku.
Dari?, tanya Nandan
Dari siapa?, tanyaku juga.
Dari teman, jawab Piyan.
Ya, udah, kataku sambil kumasukkan surat itu ke saku bajuku. Nanti kubaca ya. Makas
ih
Sama-sama, kata Piyan. Eh, maaf, katanya harus tandatangan
Tandantangan apa?, tanyaku heran
Buat bukti suratnya udah sampai he he he..., kata Piyan menyodorkan buku tulis yan
g sudah kebuka biar bisa langsung kuberi tandatangan.
Sedari tadi dia memang sudah memegang buku itu
Disuruhnya gitu he he he, kata Piyan lagi
Dari siapa sih?, tanyaku bingung
Dari siapa, Piyan?, tanya Rani bagai maksa.
Disuruh jangan bilang he he he, jawab Piyan
Kamu mah..., kata Rani
Ya udah, kataku pelan sambil meraih pulpen yang ada di mejaku. Kuambil buku itu, l
alu kuberi tandatangan. Dah!, kataku, maksudnya: Sudah
Sip, kata Piyan. Makasih
Kayak tukang pos aja, ujar Rani
He he he. Wati di kantin ya?, tanya Piyan ke Rani.
Wati adalah temanku sekelas.
Iya kayaknya, jawab Rani.
Oke. Makasih ya semuanya. Makasih, Milea, kata Piyan sambil bergerak untuk pergi.
Yuk!, jawab Nandan membiarkan Piyan pergi
Dari siapa ya,? tanya Rani
Gak tahu, kataku
Paling juga dari penggemar, kata Agus
He he he, aku ketawa.
5
Acara ngobrol selesai pada waktu jam istirahat sudah habis. Tiap siswa pada data
ng dari kantin, lalu duduk di bangkunya masing-masing. Aku pun begitu, untuk men
gikuti pelajaran berikutnya.
Tapi guru belum datang, kulihat Rani sedang ngobrol dengan Nandan di depan kelas
di dekat meja guru. Kuambil surat itu yang ada di saku bajuku dan langsung kuba
ca:
Milea,
Ramalanku, kita akan ketemu di kantin, ternyata salah.
Maaf.Tapi aku mau meramal lagi: Besok kita akan ketemu
Oh? Sejenak aku sempat terperangah oleh membaca isinya, sambil senyum kecil kuma
sukkan lagi surat itu ke saku bajuku, entah mengapa aku merasa itu harus kulakuk
an.
Langsung bisa kuduga, ini pasti dari dia, orang yang tadi pagi naik motor dan bi
lang mau meramal.
Ih? Siapa sih dia itu? Bahkan aku belum tahu namanya.
6
Hari sedang hujan pada saat bubar sekolah. Aku pulang dijemput paman yang bawa m
obil ayahku.
Pamanku itu, mahasiswa tingkat akhir di perguruan tinggi swasta, namanya Fariz,
adik dari ayahku.
Dia sudah lama di Bandung dan kost di daerah Setiabudi. Ayah sengaja nyuruh pama
n menjemputku, supaya bisa lekas datang ke rumah dinasnya untuk ada sedikit kepe
rluan.
Sebetulnya, sebelum tadi masuk mobil, aku sempet nyari-nyari orang itu, walau ga
k jelas untuk apa juga kucari. Tapi tidak kutemukan.
7
Di mobil, sambil ngobrol dengan Bang Faris, aku terus berpikir tentang ramalan a
nak itu. Aku tahu harusnya tidak perlu kupikirkan dengan terlalu serius soal itu
.
Termasuk tidak perlu memikirkan apa yang akan menjadi tujuan anak itu dengan sel
alu membuat beberapa ramalan.
Aku tidak percaya ramalan. Ramalannya sudah pasti 100% akan gagal. Besok Minggu.
Bagaimana mungkin besok bisa ketemu, kalau tidak di sekolah? Gak mungkin, kecua
li dia datang ke rumahku, tapi mau apa?
Kukira dia hanya tukang ramal amatir! Aslinya sih cuma seorang anak nakal, yang
hobi iseng menggoda perempuan.
Huh!
8
Pada hari minggu, di rumah hanya ada aku dan si Bibi. Ayah, ibu dan adik bungsuk
u sedang pergi ke acara pernikahan saudara di daerah Cijerah. Aku gak ikut karen
a malas dan juga ada banyak PR yang harus kukerjakan.
Waktu aku sedang mencuci sepatu, kudengar ada bel rumah berbunyi.
Bi! Ada tamu, kataku setengah berteriak
Iya, jawab Si Bibi yang sedang masak di dapur, lalu ke sana menemui tamu itu. Tapi
tak lama Si Bibi balik lagi
Tamu. Mau ke Lia, kata si Bibi. Lia itu nama panggilanku di rumah.
Siapa?
Gak kenal, jawab Si Bibi bagai berbisik.
Oh...., kataku sambil kubersihkan tanganku dari sabun. Tadinya mau ganti baju dulu
, tetapi kupikir itu akan lama.
Dengan hanya memakai tshirt dan celana blue jeans yang dipotong setengah paha, la
ngsung kutemui tamu itu.
9
Dan kamu harus tahu siapa tamu itu. Dia adalah Sang Peramal! Aku langsung kaget.
Ngapain dia ke rumah?, tanyaku dalam hati.
Aku senyum. Pertama untuk basa-basi, kedua menyangkut soal ramalannya. Kukira it
u sengaja dia datang hanya untuk membuktikan bahwa apa yang diramalnya itu benar
. Wajahnya tenang dan tampak berseri-seri.
Dilan, Piyan (tengah) dan Aku
Dia tidak datang sendirian tapi bersama Piyan. Keduanya berdiri di depan pintu r
umah yang sudah terbuka.
Hei, kusapa dia dengan berusaha terdengar santai
Hei, dia menjawab sambil memandangku.
Masuk?!, kutawari untuk masuk.
Gak usah! Cuma sebentar .
Oh
Ini ada undangan . Katanya, seraya memberi aku amplop.
Undangan apa?
Bacalah, katanya, tapi nanti
Oke, kataku, setelah kudapatkan amplop itu.
Bacalah, bahasa arabnya apa, Yan?
Dia menoleh ke arah Piyan yang berkacak pinggang tetapi tampak ramah.
Apa ya?, Piyan balik nanya
Oh! Iqra, dia jawab sendiri. Iqra, Milea!
He he he, aku ketawa tapi sedikit.
Aku langsung ya? Dia bilang untuk permisi mau pergi
Kok tahu rumahku?, aku tanya serius
Aku juga akan tahu kapan hari ulangtahunmu
He he
Tadinya mau kutanya soal surat kemarin yang dianterin oleh Piyan, tapi gak jadi.
Aku pergi dulu ya?, katanya dengan setengah berkacak pinggang.
Iya, jawabku
Assalamualaikum jangan?!, dia nanya setelah menurunkan kedua tangannya dari berkac
ak pinggang.
Assalamualaikum, kujawab dengan sedikit agak canggung.
Oh. Alaikumsalam , katanya, malah menjawab salamku.
He he he
Langsung tutup pintunya ya?, kata dia bagai merintah.
Iya, jawabku. Kubilang iya, maksudku biar cepet. Lagian kalau lama-lama juga aku b
ingung, tidak tau harus gimana.
Harus ditutup. Kamu jangan tahu gimana caranya kami pergi, kata dia sambil senyum.
Oh, kataku, Ya udah, kututup ya?, .
Iya. Ada pesen gak?, kata dia ke Piyan
Gak ada. Cukup, jawab Piyan..
Oke. Dadah, Milea..., katanya
Dah..., jawabku sambil lalu kututup pintunya.
Aku langsung berpikir tentang apa yang dikatakannya untuk tidak boleh melihat ba
gaimana caranya pergi. Itu membuatku jadi penasaran.
Dari dalam rumah, diam-diam aku intip mereka, karena penasaran ingin lihat. Adak
ah bedanya dengan yang lain? Tidak mungkin kalau terbang.
Kusingkap sedikit tirai jendela, sambil sedapat mungkin berusaha jangan sampai k
etahuan.
Tetapi yang bisa kusaksikan ternyata mereka pergi biasa saja. Berdua naik motor,
Piyan dibonceng, terus berlalu meninggalkan halaman rumahku.
5
Aduh, Tuhan, siapa sih dia itu?
Iya, aku tahu dia teman satu sekolah dan sok jadi tukang ramal yang tadi aku mer
-------------------------III.
Gengster
1
Hari senin, di tengah barisan upacara bendera, aku berharap tak ada satu pun ora
ng tahu bahwa diam-diam mataku mencari Sang Peramal di barisan kelasnya, meskipu
n aku sendiri gak ngerti untuk apa juga kucari.
Ini membingungkan untuk berpikir seperti itu. Mungkin cuma ingin lihat saja. Tid
ak lebih dari itu.
2
Sampai upacara mau selesai, orang itu tak berhasil kutemukan.
Di mana dia? Hatiku bertanya. Mungkin ada di barisan kelas yang lain. Atau janga
n-jangan tidak sekolah? Aku gak tahu. Tapi jujur, aku penasaran!
Seorang guru, dengan menggunakan speaker, tiba-tiba, memberi komando, agar siswa
jangan dulu bubar dari barisan.
Kupandang ke depan karena ingin tahu ada soal apa gerangan, di saat itulah aku b
isa melihat dirinya.
Dia berdiri di sana, di depan, menghadap ke arah kami, bersama dua kawannya, beb
erapa meter di depan barisan guru-guru.
Harus berdiri di sana karena dibawa oleh guru BP, setelah berhasil ditemukan dar
i tempatnya sembunyi, untuk menghindar ikut upacara bendera.
Dia dipampang sebagai contoh siswa yang buruk dan menjadi peringatan bagi siapa
pun siswa yang berbuat seperti dia akan mendapat hukuman yang sama: dipermalukan
di depan masyarakat dunia.
Ini perbuatan Komunis! kata guru BP.
Aku tidak mengerti apa sebabnya seseorang sampai disebut komunis hanya gara-gara
tidak ikut upacara. Entahlah, tapi kukira itu sangat gak nyambung.
Dia berdiri dengan tangan yang dipangku ke belakang. Kepalanya tegak dengan waja
h yang dingin, seolah-olah baginya tak ada penyesalan dengan apa yang sudah dipe
rbuatnya.
Aku bisa memandangnya dari jauh, dengan perasaan yang sulit kumengerti.
Dia lagi!, bisik Revi seperti ngomong sendiri.
Revi adalah teman sekelas, yg berdiri di sampingku
Siapa dia?. kutanya Revi
Dilan
Oh.
Itulah harinya di mana aku mulai tahu namanya.
3
Kata Rani, di kelas, Dilan itu anak kelas 2 Fisika 1 dan anggota gengmotor yang
terkenal di Bandung. Jabatannya Koordinator Perang atau Panglima Tempur.
Beberapa kali aku sering membaca namanya ditulis pakai pilox di tembok-tembok.
Perasaanku menjadi campur aduk memikirkan tentang dirinya, dan sulit untuk kujel
askan.
Sebagian perempuan kadang-kadang tertarik dengan anak nakal karena bisa memberi
sensasi dalam hidup mereka. Tetapi aku harus menjauh darinya.
Jangan biarkan dia melakukan apa pun yang akan membuatku dalam kesulitan.
Aku tidak ingin membuang-buang waktu untuk mengenal anak nakal seperti itu secar
a lebih jauh.
Dia pasti sangat nakal atau lebih parah lagi dari itu, sebagaimana yang kudengar
dari banyak cerita tentang anak-anak geng motor.
Ia sangat mungkin akan menjadi pengaruh buruk bagiku. Aku berfikir mungkin aku a
kan mendapat masalah besar seandainya kubiarkan terus berhubungan dengannya.
Aku merasa tidak perlu lagi menanggapi apa pun yang ia lakukan padaku sebelum se
muanya terlambat. Ini adalah apa yang harus kulakukan untuk kebaikan diriku send
iri.
Aku tidak bermaksud kasar kepadanya, tapi aku tahu itu harus.
4
Bubar dari sekolah, cuaca sedang mendung, aku pulang bersama Diah dan Endang.
Dilan datang menyusulku dengan sepeda motornya.
Aku yakin dia pasti akan menawariku untuk pulang naik motor bersamanya. Langsung
aku berfikir untuk menyiapkan alasan bisa menolak ajakannya.
Kamu pulang naik angkot?, dia nanya di atas motornya yang sengaja dibikin pelan un
tuk sejajar denganku. Kujawab dengan anggukan.
Harusnya itu cukup untuk membuat dia tahu bahwa aku sedang judes dan tidak ingin
diganggu. Tapi aku yakin dia tahu.
Aku ikut.... katanya.
Ikut apa?, tanyaku. Diah dan Endang nampaknya berusaha tidak ingin ikut campur.
Naik angkot
Gak usah.
Angkot kan buat siapa aja. Lupa ya?
Kamu kan naik motor?.
Motorku bisa dibawa kawan, jawabnya.
Aku merasa tidak perlu menjawabnya.
Atau....., katanya lagi. Atau motornya kumasukin ke angkot ya? .
Dia seperti bertanya pada dirinya sendiri. Dan jika itu bermaksud untuk membuatk
u tersenyum, dia langsung tahu, usahanya sia-sia.
Susah kayaknya, kata dia lagi. Oke, aku simpen motor dulu ya
Dia langsung pergi meninggalkanku.
5
Sebelum aku tiba di tempat biasa naik angkot, dia sudah bergabung bersama kami.
Kuhela nafasku. Sama sekali aku tak ingin tahu di mana ia simpan motornya. Bukan
urusanku, termasuk kalau pun harus hilang.
Di angkot, dia duduk paling belakang, di samping kananku. Aku benar-benar jadi k
ikuk, dan harus kuakui, aku juga mati gaya.
Ini hari pertama, aku duduk denganmu , katanya santai tapi tidak kurespon dan lalu
sunyi.
Beberapa saat kemudian kataku ke Diah yang duduk di depanku:
Eh, eh, tau gak, tadi Nandan ngasih apa ke aku?
Ngasih apa? , tanya Diah
Cokelat he he he
Oh ya? Waah
Dia itu baik ya?, kataku dengan harapan Dilan betul-betul mendengarnya, meski dia
malah asik nengok ke arah kaca angkot di bagian belakang, seperti penting baginy
a menikmati pemandangan jalan raya.
Tapi aku yakin dia dengar, dan dengan itu dia jadi tahu bahwa aku sedang menyuka
i seseorang yang bukan dia, agar membuatnya jadi mikir untuk berhenti mengejarku
.
Iya, kata Diah
Pintar lagi, kataku
Suka yaa? He he he, tanya Diah
Cuma suka aja he he.
Aku nyaris bingung menjawabnya. Dengan ujung mataku, sebentar kulirik Dilan, tap
i dia masih tetap memandang ke arah kaca bagian belakang mobil angkot.
6
Apa yang kudialogkan dengan Diah, sebetulnya adalah perbuatan nekat yang penuh r
esiko.
Bisa saja Diah atau Endang nanti bilang ke Nandan apa yang sudah kukatakan tenta
ng Nandan.
Ini bahaya karena Nandan pasti akan menganggapnya hal itu sebagai sesuatu yang b
eneran.
Aku memutuskan untuk telepon Diah dan Endang nanti sore, menjelaskan semuanya ba
hwa pembicaraanku soal Nandan adalah cuma karanganku belaka.
Jangan sampai terlanjur mereka bilang ke Nandan atau lebih parah lagi sudah meny
ebar jauh sampai kepada orang lain.
Akan kubilang, meskipun nampak kasar, tapi hal itu terpaksa kulakukan untuk memb
uat Dilan tahu bahwa di sekolah ada seseorang yang sedang kuperhatikan dan itu j
elas bukan dirinya.
Aku tidak bermaksud buruk kepadanya, aku hanya berharap dengan itu Dilan akan se
gera mengendurkan usahanya mendekatiku.
7
Milea , Tiba-tiba Dilan berbisik di saat aku sedang membuka-buka buku.
Suaranya ditahan untuk memastikan bahwa hanya aku saja yang bisa dengar.
Aku diam dengan mata sedikit kuangkat ke atas, lalu menunggu apa yang akan dikat
akannya.
Kamu cantik, katanya, dengan suara yang sama ketika dia sebut namaku. Aku nyaris t
ermangu mendengarnya.
Hampir-hampir gak percaya bahwa hari itu dia akan bilang begitu. Lalu aku merasa
ada semacam keheningan yang canggung.
Aku gak tahu harus gimana selain memastikan bahwa Diah dan Endang, juga siapa pu
1
Hari itu adalah hari selasa. Aku bertemu dengan Rani di kelas, sebelum upacara b
endera dimulai.
Ada surat , kata Rani menyerahkan surat itu
Dari?, kuraih surat itu
Dari Piyan, jawab Rani. Kata Piyan dari temannya
Oh
Gak ngasih tahu dari siapa?, kata Rani. Perasaan dia ngirim surat terus? Dari siapa
sih?
Temennya
Siapa?
Gak tahu. Gak kenal
Sebetulnya aku sudah langsung menduga, itu pasti dari Dilan.
Kumasukkan surat itu ke dalam saku bajuku. Aku tak ingin membaca surat itu di de
pan Rani.
Jadi ketika Rani pergi ke sana dan aku sudah duduk di bangkuku, itu adalah kesem
patan untuk aku membacanya.
Isi surat itu adalah:
Pemberitahuan:
Sejak sore kemaren, aku sudah mencintaimu
Dilan!
Aku langsung tersenyum, tapi sekaligus juga merinding.
Ruangan rasanya jadi berbeda, entah apa namanya. Kamu mungkin bisa menganggapnya
biasa saja, tapi aku bukan dirimu.
Aku gak tahu harus berpikir apa dan harus gimana.
Hanya ada satu hal yang harus segera kulakukan, tidak perlu membacanya dua kali.
Langsung kututup surat itu dan kumasukkan kembali ke dalam saku bajuku.
Aku tak ingin ambil resiko membiarkan orang lain membacanya.
2
Saat pelajaran sudah berlangsung, aku terus mencoba memahami apa yang dijelaskan
oleh guru, tapi selalu gagal.
Pikiranku sepenuhnya berpusat pada isi surat itu dan juga kepada penulisnya.
Diam-diam kuhela napasku dan senyum.
Itulah harinya, hari aku makin yakin bahwa Dilan memang menyukaiku.
3
Sejak itu, sampai hari minggu, dia tak pernah ngirim surat lagi. Tidak pernah me
lakukan hal-hal yang bersangkutpaut denganku. Aku juga tidak pernah melihatnya.
Aku sempat berfikir, dia mungkin sembunyi karena malu sudah mengirim surat cinta
. Atau mungkin hilang ditelan bumi.
Di hari Senin, pada waktu upacara bendera, aku sudah berada di barisan kelasku.
Kau harus tahu, diam-diam kucari Dilan dengan pura-pura nengok ke kanan dan ke
kiri.
Tapi aku tidak bisa melihatnya. Aku langsung yakin bahwa hari itu dia tidak iku
t lagi upacara bendera.
Huh , kataku dalam hati seperti kesal.
Saat itulah aku mendengar ada suara dengan nada seperti berbisik:
Aku di belakangmu .
Jelas itu untukku, dan aku sedikit mengenal suaranya: itu adalah Dilan, yang ent
ah gimana caranya, tanpa bisa kusadari, tahu-tahu sudah berada di barisan kelask
u, tepat di belakangku.
Aku langsung gugup dan tidak tahu harus gimana. Suaranya seperti tidak datang da
ri mulutnya, tetapi dari suatu tempat di kejauhan.
Jika aku adalah kamu, mungkin akan berbeda. Tapi saat itu aku betul-betul merasa
tidak bisa menjadi diriku sendiri.
Kuusahakan tetap tenang dan mengambil napas dalam-dalam, agar bisa mendapat kemb
ali kesadaran lingkunganku dan untuk perubahan suasana hatiku, meskipun susah.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Sebagian dari diriku seperti sedang dipandangnya, tetapi aku tidak bisa melihatn
ya dan aku tidak bisa membayangkan bahwa itu akan berlangsung cukup lama, sampai
selesai upacara.
Aku tenggelam di dalam pikiranku sendiri untuk merasa malu bahwa dia mungkin tah
u diam-diam aku tadi mencarinya.
Ngapain ke sini?, tanyaku pelan, asal cukup untuk didengar oleh Dilan.
Hijrah, jawab Dilan dengan suara yang sama pelannya.
Sekitar satu menit kemudian, aku merasa seperti ada orang yang datang dan lalu b
erdiri di samping Dilan.
Di mana barisanmu?
Aku cukup yakin itu adalah Pak Suripto, menegur Dilan dengan suara yang ditahan
agar tidak mengganggu berlangsungnya upacara bendera.
Aku tidak mendengar Dilan menjawab, tetapi bisa merasakan dia pergi. Pasti untuk
kembali ke barisan kelasnya tanpa aku bisa melihatnya karena aku saat itu sedan
g menjadi robot, demikian juga dengan teman-temanku.
Satu-satunya hal yang aku lakukan adalah fokus ke depan mendengar pembacaan Teks
Proklamasi untuk kesekian ratus kalinya.
---------------------------V.
Nandan
Nandan
1
Suatu hari, di kantin, pada jam istirahat, aku duduk satu meja dengan Nandan, de
ngan Dito, Jenar dan Rani. Masing-masing makan batagor sambil bicara ini itu yan
g gak perlu.
Jenar tidak sekelas denganku, dia teman Nandan, anak kelas 2 Sosial.
Hari itu, di kantin sedang ramai dan memang selalu ramai kalau sedang istirahat.
Sebagian besar siswa pada makan di situ, kecuali Dilan dan beberapa orang lainn
ya.
Semua siswa makan di sini ya? , tanyaku seolah-olah pada diriku sendiri.
Sebetulnya itu adalah caraku untuk ingin tahu mengapa aku tidak pernah melihat D
ilan di kantin?
Kata Rani beberapa siswa memilih nongkrong di warung Bi Eem, yaitu di sebuah war
ung kecil yang ada di seberang Gereja itu, kira-kira 30 meter dari sekolah.
Oh , kataku.
Langsung kutebak Dilan pasti di sana.
Biar pada bisa merokok, kata Nandan
Iya, kata Rani
Kan dijadiin basecamp gengmotor juga kata Nandan
Iya?, tanyaku dengan diriku yang makin yakin bahwa Dilan selalu nongkrong di sana
setiap waktu istirahat.
Iya, jawab Nandan
Pada gak berani datang ke situ, kata Jenar
Kenapa? , tanyaku
Gak tahu, males aja kali gabung sama mereka , jawab Jenar
Emangnya pada galak?, tanyaku
Enggak sih. Ya, anak-anak nakal gitu lah , jawab Rani
Katanya suka pada minum-minum di situ....., kata Nandan
Oh, ya?, tanyaku, sedikit agak kaget mendengar informasi dari Nandan.
Di sana? Rani juga nanya
Katanya.... jawab Nandan
Anak SMA lain juga suka pada nongkrong di situ , kata Dito
Iya, kan markasnya... Nandan menimpali
2
Setiap aku ke kantin, aku selalu berharap bisa bertemu dengannya. Seperti hari i
tu, tapi aku tidak akan menyebut aku rindu meskipun itu hampir ada.
Pantas tak pernah kutemukan, ternyata dia selalu nongkrong di warungnya Bi Eem s
etiap kalau istirahat.
Dilan, sini, hatiku tiba-tiba seperti bicara sambil mengunyah batagor.
Kira-kira beberapa menit setelah aku selesai makan, aku terkejut karena melihat
Dilan masuk ke kantin.
Dia bersama Piyan dan satu orang lagi yang kemudian kukenal sebagai Akew, anak k
elas 3 sosial 2. Dia keturunan Tionghoa.
Entah bagaimana perasaanku saat itu, pokoknya aku menjadi salah tingkah. Aku bah
kan bingung tapi aku benar-benar senang bisa bertemu dengannya di kantin.
Dia datangi meja kami, dan menyapa kepadaku:
Hei!
Hei , kataku berusaha terdengar santai sambil memandangnya sebentar.
Sebagian dari diriku menyembunyikan rasa senang karena bisa bertemu dengannya.
Aku punya begitu banyak hal untuk bicara dengannya, tapi keadaanku baru saja gro
gi saat itu.
Idealnya aku ingin bilang ke Dilan untuk gabung dengan kami, tapi rasanya susah
kukatakan.
Cuma mau nyapa , katanya, lalu dia pergi ngambil kue.
Yan, Wati gak masuk?, Rani nanya ke Piyan soal Wati yang gak masuk sekolah.
Iya, kayaknya, jawab Piyan.
Itu, bukunya kebawa sama saya. Nitip ya? kata Rani
Nanti aja pas pulang, jawab Piyan. Dilan kulihat balik lagi dengan memegang bala-b
ala ( atau bakwan) yang tinggal setengah karena yang sebagian laginya sudah seda
ng dia kunyah.
Makan, Yan? Kew? Dilan nawarin makan ke Piyan dan Akew
Kenyang euy, jawab Akew.
Apa tuh? Piyan nanya apa yang sedang dimakan oleh Dilan
Bala-bala jawab Dilan.
Mau ah, kata Piyan sambil pergi ke sana, disusul oleh Akew
Eh, kamu tau? , kata Dilan tiba-tiba sambil memegang bahu Nandan.
Apa? , tanya Nandan dengan sedikit mendongak
Aku suka Milea, kata Dilan mengunyah makanan.
He he he. Nandan senyum sambil sekilas memandangku yang sedang makan dalam keadaan
tidak khusyu.
Dito dan Jenar justeru ketawa. Rani hanya senyum. Aku juga senyum, tapi mukaku p
asti merah.
Tapi malu mau bilang he he he, kata Dilan. Aku senyum dan tidak tahu harus bersika
p bagaimana.
Itu, kan sudah bilang? He he he, kata Nandan sambil ketawa dan memandangku.
Aku kan bilang ke kamu, bukan ke dia, jawab Dilan
Kan dia denger? , tanya Nandan
Mudah-mudahan, kata Dilan
3
Gak suka saya ke dia kata Nandan. Setelah Dilan pergi bersama Piyan dan Akew.
Kenapa gitu?, kutanya
Gak suka aja
Cemburu ya?, kata Rani menggoda Nandan. Aku senyum.
Bukan. Ya gak suka aja. Anak nakal
Aku suka kataku, entah mengapa aku tidak bisa menahan kata-kata itu untuk aku ungk
apkan.
Pacarnya banyak, kata Nandan
Iya gitu?, tanya Rani
Udah ah, ngapain bahas dia, jawab Nandan. Hayu ah!, kata Nandan.
Tak lama kemudian kami pergi.
4
Sekarang, aku ingin membahas sedikit soal Nandan dulu.
Kata Rani, pada suatu hari ketika aku dengannya di tempat tukang photo copy, dia
m-diam sebenarnya Nandan naksir aku.
Aku cuma bisa senyum mendengarnya, karena soal itu aku juga sudah tahu. Aku bisa
merasakannya dari sikap Nandan kepadaku selama ini.
Bagiku, termasuk Nandan suka nelepon malam hari untuk nanya-nanya soal PR, nrakt
ir kami kalau makan di kantin, dan berusaha membuatku ketawa dengan aneka macam
lawakan, itu semua adalah modus demi bisa mendapat perhatian dariku.
Pernah suatu hari, Nandan mampir ke rumahku bersama Rani, lalu dengan mobilnya k
ami pergi menuju alun-alun, katanya ada barang-barang yang harus dibeli untuk ke
lengkapan ruang kelas.
Tapi aku tahu itu cuma alasan, agar dia bisa jalan-jalan denganku, dan pulangn
ya jajan dulu di daerah Burangrang.
Barang yang dibeli cuma vas bunga, kemoceng, dan taplak meja, padahal untuk memb
eli barang itu di toko dekat sekolah juga ada.
Dan harus bawa Rani, meskipun aku yakin Nandan inginnya berdua denganku, tapi mu
ngkin dia malu.
Aku setuju, kalau ada orang yang bilang bahwa Nandan itu baik.
Dan, kalau aku boleh jujur, Nandan lebih tampan dari Dilan. Nandan juga jago bas
ket, orang kaya, dan lain-lain yang membuatnya cukup untuk disebut lelaki idaman
wanita, apalagi Nandan masih jomblo, masih belum punya pacar.
Kata Rani, Nandan pernah dekat dengan Pila, anak kelas 2 Sosial, tapi gak tahu k
enapa belakangan hubungan mereka jadi renggang.
Gara-gara kamu ha ha ha, kata Rani
Masa sih?
Beneran. Tapi gak tahu ya. Menurutku sih begitu
Emang asalnya pacaran?
Ya deket aja
Oh
5
Setelah istirahat, kami masuk lagi ke kelas untuk ikut pelajaran berikutnya.
Kamu harus tahu, saat itu Dilan masuk ke kelasku, dan duduk di bangku sebelahku,
membuat Rani jadi pindah ke kursi belakang yang memang kosong.
Heran, kenapa tidak seorang pun yang berusaha ngusir Dilan?
Atau memang gak perlu diusir, toh kalau nanti guru datang, dengan sendirinya dia
juga akan pergi.
Sejujurnya, aku sendiri merasa risih dengan adanya Dilan itu. Tapi mau gimana la
gi.
Dilan minta kertas, aku kasih. Di kertas itu, dia nulis:
Informasi:
Daftar orang-orang yang ingin jadi pacarmu:
1.
Nandan (Kelas 2 Biologi)
2.
Pak Aslan (Guru Olah Raga)
3.
Tobri (Kelas 3 Sosial)
4.
Acil (Kelas 2 Fisika)
5.
Dilan (Manusia)
Aku senyum membacanya.
Kemudian kulihat dia mencoreti semua nama di daftar itu, kecuali nama dirinya.
Kenapa?, kutanya sambil sebentar memandangnya.
Semuanya akan gagal, dia bilang begitu dengan berbisik dan senyum.
"Kecuali kamu?"
"Iya," jawabnya sambil memandangku dan senyum. Doain .
Aku senyum.
Pak Atam! , tiba-tiba si Dadang, terman sekelasku, teriak, memberi informasi bahwa
guru yang akan ngajar sudah datang dan segera masuk kelas, tapi aku merasa bahwa
secara tidak langsung sebetulnya ia tujukan untuk Dilan.
Kawan-kawanku mulai sibuk mengatur dirinya untuk duduk di bangkunya masing-masin
g.
Sejak itu, aku yakin, semua orang dalam kelas pada heran oleh Dilan yang tidak j
1
Aku belum ngantuk, masih terus ingin nulis. Suamiku masih juga belum pulang. Mic
k Jagger bersama Rolling Stonesnya, sudah habis. Giliran Bob Dylan yang nyanyi.
Hmm, oke aku teruskan ceritanya.
2
Oh ya. Dilan datang! Benar-benar dia datang.
Itu kira-kira pada pukul tujuh malam, atau mungkin lebih. Waktu itu aku sedang d
uduk di ruang tengah, makan malam sambil nonton televisi yang gak rame.
Di ruang tamu, ayahku sedang sibuk membetulkan pesawat radio CBnya, duduk bersam
a ibuku yang harus mencatat beberapa data urusan organisasinya.
Biasanya ayahku jarang di rumah, karena harus tinggal di rumah dinasnya, tapi su
dah hampir tiga hari itu dia cuti.
Sementara Airin sedang mengerjakan PR di kamarnya dan si Bibi mungkin dia sudah
tidur.
Ketika kudengar ada suara motor yang masuk ke halaman rumahku, aku langsung bisa
yakin itu pasti Dilan.
Ah, gila!
Pokoknya aku sudah melarang dia datang. Apa pun yang terjadi tanggungjawab sendi
ri.
Aku bukan gak mau menemui, tapi entah mengapa aku merasa itu bukan waktu yang ba
ik untuk aku temui.
Berlekas aku pergi masuk kamar, bersama piring makan malamku, juga bersama pikir
an dan perasaanku yang langsung tidak karuan.
Sudah pasti, jika bel rumah berbunyi, salah satu di antara mereka yang akan memb
ukanya. Bisa ayah, bisa ibu, menyambut Dilan kalau memang itu Dilan, dan tunggu
apa yang akan terjadi.
Ayahku adalah tipe pria yang serius. Dia mungkin tidak akan bereaksi dengan cara
yang keras. Dia mungkin akan bersikap biasa saja dan menganggap itu hanya teman
ku yang ingin bertemu denganku.
Tapi aku deg-degan, sampai-sampai berasa ke bagian belakang kepalaku.
Saat kudengar bel rumah berbunyi, perasaanku makin jadi gelisah.
Ya, Tuhan, bisikku dalam hati.
Kututup kepalaku dengan bantal, sambil tiduran di kasur dan mengunyah makanan, b
erharap dengan itu bisa menghentikan hatiku yang berdebar.
Mudah-mudahan siapa pun yang membuka pintu itu berada di dalam suasana hatinya y
ang sedang baik
Entah siapa yang kemudian buka pintu, aku gak tahu. Di sana pasti ada dialog ant
ara tuan rumah dan si tamu, tapi tidak bisa kudengar.
Kan kamu tahu aku ada di kamar menjadi orang yang sedang kebingungan, dan jantun
gku rasanya bagai berdegup makin kencang.
Kau mungkin bisa tidak sepertiku. Bisa memulai semuanya dengan tenang, pelan-pel
an ngambil napas dan hembuskan, lalu datang menemui sendiri tamu itu, menyuruh d
ia masuk dan kau kenalkan dia kepada orangtuamu.
Lalu orangtuamu menyuruhmu memberi suguhan, yaitu setelah mereka duduk dan ngobr
ol dengannya, diskusi dari mulai soal militer Indonesia sampai soal perawatan ke
sehatan.
Masalahnya adalah aku bukan dirimu?
Dan menurut pendapatku, walau ini cuma dugaan, ayahku mungkin adalah jenis manus
ia yang tidak akan membiarkan orang sembarangan bertemu denganku apalagi di mala
m hari.
3
Beberapa menit kemudian, kudengar lagi suara motor, keluar dari halaman rumahku.
Jika itu Dilan, dia sudah pergi.
Aku langsung duduk di kursi belajarku, meneruskan makan malam sampai habis dan l
alu keluar dari kamar untuk menyimpan piring makanku dan terus ke kamar mandi un
tuk bersih-bersih dan gosok gigi.
Setelah selesai di kamar mandi, aku bermaksud kembali ke kamarku.
Tadi ada tamu, kata ibu yang berpapasan denganku.
Oh? Siapa?, tanyaku pura-pura tidak tahu.
Katanya yang dagang di kantin sekolah, jawab ibu sambil memasukkan buku ke dalam l
aci di meja tengah.
Hah?
Aku nyaris ketawa. Aku makin yakin itu pasti Dilan.
Apa itu? Nawarin menu baru, jawab ibu.
Ha ha ha ha
Ngapain?,
tanyaku.
Boro-boro ketawa, bicaraku juga sebisa mungkin kubikin singkat. Entah mengapa ak
u tidak ingin ayah dan ibu tahu bahwa itu dari si pedagang kantin sekolah yang t
adi datang ke rumah menawarkan menu baru.
Sebetulnya aku yakin mereka tak akan menelisik siapa yang sedang nelepon dengank
u.
4
Selesai nerima telepon dari Dilan, aku langsung masuk kamar untuk menyelesaikan
tugas PR sebelum pergi tidur.
Sebagian otakku kugunakan untuk menjawab soal-soal PR, sebagiannya lagi untuk me
mikirkan dialog terakhir dengan Dilan di telepon:
Boleh aku ramal? , Dilan nanya
Iya
Iya apa?
Boleh, jawabku
Aku ramal, nanti kamu akan jadi pacarku!
He he he
Percaya tidak?
Musyrik
Ha ha ha"
"He he he."
Mendadak aku merasa senang berbicara dengannya.
"Hey, Milea"
"Iya"
"Kau tahu kenapa aku tidak langsung jujur ke kamu?
Jujur apa?
Ya, Jujur, bilang ke kamu aku mencintaimu?"
"He he he.
Mukaku pasti merah.
Kan sudah lewat surat? He he he, kutanya dia
Maksudku ngomong langsung ke kamu?
Enggak"
"Kalau mau, aku bisa. Itu gampang
Kenapa enggak?
Kalau langsung, gak seru. Biasa
He he he
Ah, Dilan. Dia selalu pasti bisa bagaimana caranya membuat aku ketawa.
Nanti kalau kamu mau tidur, hey, katanya di telepon
Iya?
Kau harus tahu
Tahu apa?
Setiap kau mau tidur, aku sedang mengucapkan selamat tidur. Kamu gak akan denger,
karena jauh
He he he. Makasih
5
Di atas kasur, selagi mau tidur, aku dilanda kebimbangan yang hebat menyangkut r
ealitas yang sedang kualami dengan hadirnya Dilan dalam hidupku dan menempatkan
semuanya dalam konteks bahwa aku sudah punya pacar.
Haruskah aku terus terang, bilang ke Dilan, bahwa aku sudah punya pacar? Sebelum
perasaanku ke Dilan menjadi sesuatu yang jauh lebih kuat dan tumbuh menjadi mak
in subur, dan memudarkan hubunganku dengan Beni?
Tentu saja, aku tidak ingin menyakiti hati Beni. Kupikir siapa pun orangnya akan
merasa sakit hati kalau hubungannya tidak berjalan seperti yang dia harapkan, d
an lalu sakit hati dengan dirinya merasa dibuang.
Aku mencoba untuk menempatkan pikiran itu. Tapi aku tidak tahu bagaimana mengata
kannya ke Dilan tanpa harus menghancurkan egonya.
Ah!
Saat itu aku betul-betul merasa yakin bahwa hal itu sangat kejam seandainya aku
katakan ke Dilan. Dia pasti akan sedih, dan aku juga akan sedih karena sudah mem
buat dia sedih dan karena ditinggal oleh dia yang pergi menjauh.
Terus terang, seandainya aku boleh menjadi lebih egois ketika dengan Dilan aku b
enar-benar bisa merasa senang dan mendapat kesenangan yang lebih besar daripada
yang kudapatkan dari Beni
saat itu aku merasa tak ingin Dilan pergi.
Dari Dilan kudapati banyak hal baru, kesenangan baru, pengetahuan baru, kehidupa
n baru, dan menumbuhkan perasaan baru yang aku tidak bisa membuatnya sendirian t
anpa Dilan.
Dia selalu mendatangiku, tapi pada dasarnya dirinyalah yang menunggu untuk aku d
atangi, menuntaskan rasa penasaranku untuk mengenalnya lebih jauh. Mungkin bagim
u aku memiliki pikiran yang bodoh.
Tapi aku lebih suka dibilang bodoh daripada harus menjauh darinya.
Atau haruskah aku bilang ke Beni? Bahwa ada orang di Bandung, dan dia satu sekol
ah denganku, namanya Dilan, sedang berusaha mendekatiku?
Kayaknya jangan, aku tahu Beni, jika kukatakan, justeru malah akan nambah masala
h dari pada berusaha menyelesaikannya.
Mengapa aku tidak bertemu Dilan sejak awal, sebelum aku bertemu Beni?
Ah, pusing. Lebih baik aku tidur.
Di luar mulai turun hujan menimpa genting rumahku.
Kamu di mana sekarang, Dilan? Aku seperti bertanya kepada Dilan yang ada di dalam
kepalaku.
Oh iya, sudah kau bilang tadi di Mars. Hati-hati di jalan.
Kututup mataku dengan bantal sambil senyum dan menggumam:
Selamat tidur juga, Dilan
BERSAMBUNG
Diposkan oleh pidi baiq di 15.30
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Reaksi:
383 komentar:
1 200 dari 383 Lebih baru
Terbaru
Imam mengatakan...
Ramalanku...
cerita selanjutnya pasti lucu
15 Oktober 2013 17.53
Imam mengatakan...
Ramalanku...
Sambunganya akan lebih lucu lagi...mungkin
15 Oktober 2013 17.54
Anonim mengatakan...
dilan itu sweet tapi goblog juga hahaha
5 November 2013 09.09
Talytha Alethea mengatakan...
dan memang benar ada Dilan di dunia ini. aku akan segera mencari. menjadi Mi
lea-nya.
5 November 2013 09.24
Talytha Alethea mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh penulis.
5 November 2013 09.26
chiaki zhou mengatakan...
Dih, Surayah knp ceritanya makin kereeennnn...! Lanjutkan kesukaanmu ini bua
t nulis! He he..
5 November 2013 15.17
Anonim mengatakan...
keren !!!!!!!! tinggal lanjutannya gak sabar pengen baca lagi !!!!!!
5 November 2013 18.45
zoel razoel mengatakan...
Hanya butuh cara yg biasa utk mendapatkan yg luar biasa . . .
5 November 2013 20.03
pandu pranata mengatakan...
silahkan baca blog saya.. http://doerimawar.blogspot.com/ makasih
5 November 2013 23.34
wi3nd mengatakan...
ih seruuu..
**masih nunggu sambungannya
daaan milea cantik yah :)
6 November 2013 01.27
zoel razoel mengatakan...
Slh satu hal positif dari seorang Dilan adalah jujur dlm tindakan & perkataa
n membuat seseorg merasa dperlakukan selayaknya sbg seorang manusia . . .
Shgga timbullah Cinta, cinta yg teramat sangat dalam, hingga sulit utk diung
kapkan . . .
6 November 2013 01.38
mier,,, mengatakan...
gila ini surayah, ceritanya racun pisan, hahaha... :))
6 November 2013 03.10
zoel razoel mengatakan...
Bersikap dan berpikir berdasarkan logika . . .
6 November 2013 03.41
HappyFita mengatakan...
semakin jatuh cinta sama Dilan...... iri ih sama Milea .......
6 November 2013 03.41
Deasi Amela mengatakan...
ayaaahhhhhhhh terusinnya yang banyaaak
6 November 2013 05.18
Anonim mengatakan...
udah dua ratus tiga puluh lima tahun ga ada cerita sekeren ini di bumi, ayuk
terusin yah..penasaran nih :)
6 November 2013 05.30
Armiastho Adi Saputro mengatakan...
foto Milea koq hilang yah?
apa komputer saya yg error?
6 November 2013 06.29
Anonim mengatakan...
surayah juaraa!!!!
6 November 2013 06.33
Anonim mengatakan...
surayah juaraa!!!
6 November 2013 06.34
Irwan Rinaldi mengatakan...
Ha ha ha ha, seru euy.
komo pas BERSAMBUNGna matak panasaran yah.
6 November 2013 07.18
zakiniku mengatakan...
aku membayangkan setting lokasi dan suasananya kayak di film Lupus jamannya
Irgi sama Lupus yang Bangun Lagi Dong..... aaaaaa udah lama ga ke Banduung
6 November 2013 08.13
naweq19@gmail.com mengatakan...
Kamu mau nyamuk nih ada dua Kamu satu Aku satu. ini jenis kalimat yg penuh s
kill banget Ayah. good job
6 November 2013 08.39
Anonim mengatakan...
keren ih bikin gemes.
jangan lanjutin di blog deh om, di novel aja biar seru :p
6 November 2013 10.24
agustinwardani mengatakan...
Ini aku nggak bs bs komen ih ngeselin. Ayaaah.. dilan itu seperti kawanku wa
ktu kuliah. Gaya bicaranya dan tingkahnya. Mungkin mirip karena kau inspirasinya
yah.. lama-lama nyecroll kebawahnya pegel ih udah banyak banget. Heheheh
6 November 2013 13.47
cucuchaos mengatakan...
rock n roll pisan ,,,ada bob dylan dan roling stones dalam tiap katanya,,,ma
ntap,,,,,
6 November 2013 14.55
cucuchaos mengatakan...
cerita yang nyetones dengan aroma kritik bob dylan,,,,,sruput kopi pait,,,ma
ntap yah...lanjutkan!!!!
6 November 2013 15.00
Anonim mengatakan...
Sadis si Ayah, guru diajak gelut, tp salut Yah, berani keluar jalur selama i
tu benar. Tiap hari nongkrongin twitter pengen tau lanjutannya
6 November 2013 15.58
chiaki zhou mengatakan...
Hiyah... makin seru, makin keren, makin seneng bacanya... pas bgt td aku sel
esai baca udah nyampe sekolah dianterin ayahku naik motor.... makasih Surayah, u
dah disambung lagi ceritanya...
6 November 2013 16.04
Sandi Arjanggi mengatakan...
waduh, yah! sy rela telat ngantor demi baca novel ini. sy bergegas mandi dul
u. mari! ditunggu lanjutannya!
6 November 2013 16.42
Asri Rahmaniar mengatakan...
ayah ih ini rame banget. aku jadi tiap hr cek blog ini buat baca lanjutannya
. lanjutin terus ya ayah :D
6 November 2013 19.27
babaenciel mengatakan...
wah kayanya poto meila udah dihapus. untung gue udah liat cantiknya milea uh
uuy
6 November 2013 20.31
Wahyu Sovian mengatakan...
Lanjut dui Kang Pid
6 November 2013 21.09
Indra Abdurojak mengatakan...
karunya eta Kang Adi , diantepkeun kitu, hha :))
6 November 2013 22.33
BundaRaka mengatakan...
Yup betul,,,langsung dechh bikin bukunya,,,pasti laris manis,,,
6 November 2013 22.34
Indra Abdurojak mengatakan...
karunya eta Kang Adi dianggurkeun, haha
6 November 2013 22.34
Anggia Fariska mengatakan...
yah... aq tau itu dilanmu dan aq berharap dilanmu berakhir dengan happy endi
ng...
7 November 2013 00.26
BundaRaka mengatakan...
Apalagi kalo dibikin film,,,,best dechhh
7 November 2013 01.04
Anita Rohani mengatakan...
Jangan sad ending, please jangan sad ending yahhh....
7 November 2013 03.28
suryana atmaja mengatakan...
ayah tulisanmu bagus menghibur dan ada pelajarannya yg bisa saya ambil.
7 November 2013 05.10
HappyFita mengatakan...
argh....bersambung...meni asa masih keneh dina elak-elakan............. diat
osan pisan sambunganna saenggalna heheheheheheh :)
7 November 2013 06.00
cikal pranata mengatakan...
ngegemesin dah ceritanya. jadi inget masa muda. hha
ayo di
@cowokmasukin
8 November 2013 03.18
Dapur Kita mengatakan...
Mata udah 5 watt juga kelawan euy saking penasaran sama ceritanya. Seru asli
iiiii !!!
8 November 2013 11.31
anisa widia mengatakan...
Dilaaan...
adakah seperti Dilan ini yg masih tersisa d'bumi ini :)
gregetan aku liatnya
hahahaaa...
d'tunggu klanjutan ceritanya ya ayah :)
8 November 2013 15.06
Diani Magasida mengatakan...
ayah aku mah peupeujeuh yah Dilannya jangan dibikin mati, soalnya akunya suk
a olohok kalo ada cerita gitu teh. tiba2 yang punya lalakonnya mati we. yey .. y
ah ayah yahh... surayah.
8 November 2013 20.05
RizyadOiOiOi mengatakan...
si milea cantik banget, pantes dilan ngejar .. ngomong itu poto tahun berapa y
ah?
8 November 2013 21.40
RizyadOiOiOi mengatakan...
Si milea cantik bener, pantesan dilan ngejar .. ngomong itu poto milea waktu t
ahun berapa yah?
8 November 2013 21.43
Anonim mengatakan...
Kereen uy, inspirasi banget, hhha
D tunggu updatennya HHH
8 November 2013 22.21
Anonim mengatakan...
Apa ku bilang! Pidibaiq itu keren! :)
Salam. - Pandal Medan.
9 November 2013 00.38
Anonim mengatakan...
Ayaaaaaah..... mana lanjutannyaaaaaaa...
Meski udah baca disini kalo dibikin novel saya beli 2 Yah, satu buat disimpe
n sbg cerita terbaik yg pernah saya baca...
9 November 2013 13.57
fardhini nur hafidah mengatakan...
Ayaaah kenalin aku sama Milea dong yah
9 November 2013 16.20
muthia karima mengatakan...
ayah carikan Dilan untukku
9 November 2013 17.35
Armiastho Adi Saputro mengatakan...
waw foto baru..Milea-nya cantik..ga bosan
9 November 2013 19.15
SmartBeauty mengatakan...
membaca tulisan K'Pidi sprt aku jaman SMA dulu, walau tempatnya berbeda, cew
eknya beda, kelakuan cowoknya beda, kejadiannya pun tidak ada yg mirip sama seka
li
10 November 2013 20.38
Mas Asep Situmorang mengatakan...
baca tulisan k'Pidi spt aku pas jaman SMA lho :) walau tmpatnya berbeda, cwe
knya beda, cwoknya kelakuanya beda, n kejadiany ga ada yg mirip
10 November 2013 20.41
Anonim mengatakan...
juara milea... tak pernah bosan apalg liat scra langsung. :p. syg bukan jodo
hku dia punya dilan #egh hadeuh.
11 November 2013 01.09
Pelancongmalas mengatakan...
Si ayah ngelanjutnya segituh ... ah bikin penasaran makin makin ...
11 November 2013 01.18
Lisa Anis Sawitri mengatakan...
Menunggu novelnya dicetak dan sampe ke toko buku! >.< Kirim ke penerbit, deh
. InsyaAllah diterima. :))
11 November 2013 03.06
Anonim mengatakan...
Gak sia sia bacanya, sampai lupa mandi. Keren
11 November 2013 04.37
alfian_047 mengatakan...
aku belum selesai bacanya tapi udah kebayang serunya. heheheh keren lah poko
knya.. seandainya aku produser pasti udah kuangkat jadi pilem ini cerita.hehehe
11 November 2013 05.26
Anonim mengatakan...
Sekalian banyak dong yah klo nerusin ceritanya :D
I live Dilan :)
Terimakasih ayah sdh menciptajan karakter seperti Dilan
11 November 2013 06.19
Bundanya Hana mengatakan...
kereeeeen..
yah cepet lanjutin ya
makin penasaran
hhe
11 November 2013 08.08
Pingkan Permatasari mengatakan...
ayah..cerita ini keren banget :') aku sampai terharu membacanya.
Ditunggu sambungannya :)
11 November 2013 09.46
nurfadli zul mengatakan...
Orgasme jiwa yg tertahan
11 November 2013 09.57
aband aband mengatakan...
salam buat mama milea sama bunda dilan, dari saya ketua dewan pengurus dan p
embina ibu-ibu PKK seluruh Dubai
11 November 2013 09.58
aband aband mengatakan...
Sampaikan Salam hangat kepada mama Milea dan Bundanya Dilan, dari saya Ketua
Dewan Pembina dan Pengurus Ibu-ibu PKK seluruh Dubai.
11 November 2013 10.00
Soraya Paramita Ananda mengatakan...
Yach cuma dikiit.. makin penasaran... :(
11 November 2013 13.36
Anonim mengatakan...
Yg nebak2 endingnnya, sama aja kayak ibadah ngarep surga, ga asyik.....
11 November 2013 14.05
Atiek mengatakan...
nice story ever.. :')
11 November 2013 14.57
Anonim mengatakan...
nice story ever.. :')
11 November 2013 15.02
thecrasher mengatakan...
kayanya sih ini cerita pribadi nih..... :D
seru banget hidupnya ya :D
11 November 2013 15.35
@Bankeray mengatakan...
Aaaaakkkk...jus duren stroberi..buruan tuang gelas kedua ayah pidi baiq
11 November 2013 16.15