You are on page 1of 15
—— 5 OTONOMI DAERAH, DEMOKRATISASI, DAN PENDEKATAN ALTERNATIF RESOLUSI KONFLIK PUSAT-DAERAH" Drs. Syamsuddin Haris, M.Si? Pengantar Penyelesaian konflik Aceh dan Papua yang berlarut-larut, dan muncalnya pro-kontra mengenai perlu-tidaknya revisi atas Undang- undarg (UU) No, 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pada dasamya merupakan indikasi bahwa masalah hubungan antara peme-intah pusat dan daerah -selanjutnya disebut Pusat-Daerah—di Indoresia hingga kini belum selesai. Meskipun pemerintah pusat dan DPR telah mensahkan UU Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) bagi ‘Aceh, dan menjanjikan untuk memberikan otonomi khusus dan sangat luas yang serupa bagi Papua, konflik Aceh-Jakarta serta juga Papua- Jakara tampaknya masih berpotensi menyulut ketegangan baru antara Pusat-Daerah jika pada saat yang sama tidak ada penyelesaian tuntas atas kasus-kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) di kedua Peagantar diskusi dalam Workshop “Desentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerimaban Lokal” yang dselenggarakan olgh Asosiasi mu Politik Indonesia (AIPD di Semarang, tanggal 25-27 Maret 2002. 2 Penelti pada Pusat Peneiton Politik (P2P) LIP 66 Desentaisasi dan Otonomi Daerah propinsi yang sangat kaya akan sumberdaya alam (SDA) tersebut. Konflik dan ketegangan serupa berpotensi muncul kembali apabila ren- cana revisi atas UU otonomi daerah yang diimplementasikan sejak tanggal 1 Januari 2001 yang lalu cenderung hanya mewadahi aspirasi sentralistik seperti disinyalir berbagai kalangan akhir-akhir ini’. Harus diakui bahwa pengelolaan hubungan Pusat-Daerah ke arah yang lebih harmonis serta memenuhi aspirasi kedua pihak secara adil dan proporsional bukanlah persoalan yang mudah. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia sendiri memperlihatkan tingginya tingkat fluktuasi konflik dan ketegangan dalam relasi Pusat-Daerah meskipun berbagai upaya penyelesaiannya telah dilakukan sejak periode 1950-an hingga erareformasi dewasa ini. Agenda penyelesaian yang ditawarkan peme- rintah pusat hampir selalu bermuara pada munculnya persoalan baru yang tidak atau Kurang diantisipasi dan diakomodasi dalam proposal kebijakan sebagai akibat dari besarnya kepentingan elite politik Jakarta untuk mepertahankan posisi superior dan dominasi Pusat atas Daerah. Mengapa hubungan Pusat-Daerah selama lebih dari 50 tahun mer- deka selalu diwarnai oleh konflik dan ketegangan di antara keduanya? ‘Sejauh mana peluang kebijakan otonomi luas bagi daerah menjadi solusi bagi penyelesaian konflik Pusat-Daerah di satu pihak, dan pemenuhan tuntutan keadilan dan kesejahteraan rakyat kita di tingkat lokal di pihak lain? Kalau ada peluang bagi kebijakan otonomi daerah setagai “jalan keluar” penyelesaian konflik dan ketegangan Pusat-Daerah, format, ‘otonomi daerah seperti apa sebenarnya yang bisa menjamin tegaknya Keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan bagi rakyat daerah sekaligus bisa menjaga hubungan harmonis Pusat-Daerah serta keutuhan bangsa? Dalam kaitan itu, tulisan ini mencoba menawarkan pemikiran dan pendekatan alternatif dalam rangka membangun fondasi hubungan Pusat-Daerah yang kokoh dan lebih menjanjikan bagi perbaikan relasi di antara keduanya di masa depan. Pada bagian awal tulisan didabului dengan memetakan kembali akar-akar konflik Pusat-Daerah, kemudian ‘Meskipon semangat Revisi UU No. 22iahun 1999 yang dilekukan pemerintah ivi bersifat resentralsasi, pemerintah hampir selalo membantahaya. Lihat misalaya, “Presiden Tak Bernat Tarik Otonomi Daerah’, dalam Kompas, 14 Maret 2002. ‘Otononé Daerah, Demokratissi dan Pendekatan Alematif Resolusi Konflik Pusat-Daerah 67 dilanjutkan dengan evaluasi atas agenda penyelesaian yang ditawarkan, dan ciakhiri dengan pemikiran serta pendekatan altemnatif sebagai kerangka penyelesaian menyeluruh atas konflik Pusat-Daerah, Akarakar Konflik Secara historis konflik dan gejolak yang bersifat kedaerahan seberamya bukan fenomena baru, Namun demikian, pergolakan politik di dacrah-daerah yang terjadi pasca-Orde Baru tak bisa dipisahkan dari dimulainya era keterbukaan politik menyusul berakhirnya rejim otoritarian yang dipimpin Socharto sejak 1966. Hakikat pergolakan di tingkat lokal itu bersumber pada akumulasi kekecewaan rakyat terhadap arah dan ke-cenderungan pembangunan yang eksploitatif dan ‘memarjinalkan peran dan Kontribusi rakyat lokal di dalamnya di satu pihak, serta mengabaikan rasa keadilan masyarakat di lain pihak. Pergolakan daerah yang memperuncing relasi Pusat-Daerah telah mewarnai perjalanan Republik sejak awal kelahirannya. Tak lama sesudah merdeka, terjadi konflik yang bersifat kelas seperti revolusi sosialdi Sumatera Timur den pemberontakan PKI di Madiun. Menjelang, akhir periode revolusi, pergolakan lokal diwamai oleh tarik-menarik Pusat-Daerah dalam hubungannya dengan pembentukan negara-negara agian atas dukungan pemerintah Kerajaan Belanda, seperti Negara Indonesia Timur, Sumatera Timur, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Sumétera Selatan, Negara RI-Yogya, dalam Negara Republik Indone- sia Serikat, Sementara itu sembilan daerah lainnya, yaitu Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur berstatus sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri*. Pada era Demokrasi Parlementer dan bahkan menjelang Demokrasi Parlementer, pemerintah pusat dihadapkan pada pemberontakan Darul Islan/Tentara Islam Indonesia (DTI) pimpinan Kartosuwirjo di Jawa Baral, yang kemudian didukung oleh Teungku Daud Beureuh yang, Gleam Aired, “Pederalisme Mungkinkah bagi Indonesia, dalam Adnan Buyung Nasution, etal, Federalisme untuk Indonesia, Sakarta: Kompas, 1998, hal. 5-6 6 Deseatralisasi dan Otonomi Daerah memproklamasikan berdirinya Negara Bagian Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NID°. Di Ambon, Maluku, Soumokil mempro- Klamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) sebagai ung- apn kekecewaan terhadap proses kembali ke Negara Kesetuan setelah dicapainya kesepakatan antara Indonesia dengan Belanda dalam Kon- ferensi Meja Bundar di Den Haag’. Belum usai dengan serangkaian pergolakan tersebut, pada paruh kedua 1950-an, muncul pemberontakan PRRI yang berpusat di Sumatera Barat dan Permesta dengan basis di Sulawesi Utara’. Betapa pun banyak faktor yang melatarbelangi pemberontakan PRRW/Permesta, namun ia berakar pada kekecewaan Daerah terhadap pemerintah pusat yang dianggap mengabaikan aspirasi dan kepentingan rakyat setempat. Maka tidak mengherankan apabila dalam salah satu dokumen yang dibuat pimpinan Permes‘a misalnya dikemukakan tuntutan desentralisasi dan otonomi luas sebagai akibat kekecewaan mereka terhadap sentralisasi, Korupsi, imoralitas, dan kebejatan birokrasi pemerintah pusat®. Dari uraian di atas terlihat bahwa akar-akar konflik Pesat-Daerah bersumber pada sejumlah faktor di antaranya, ketimpangan struktur ekonomi antara Jawa dan Luar Jawa, kebijakan sentralisasi politik secara berlebihan, konflik ideologis antara Islam dan Pancasila sebagai akibat rendahnya tingkat konsensus keduanya— dan juga faktor konflik in- ternal TNI Angkatan Darat yang berimbas pada konflik sipil-militer?, Sementara itu selama Orde Baru, sebagai akibat kebijakan sentrali- sasi politik yang berlebihan dan peranan distortif tentara dalam politik, ngensi DUTH Ach, likat Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaw Republik: Kasus Darul Islam Ace, kana: Graft Pts, 1990 * Tentang pemberontakan RMS, lihat RZ. Leirissa, “Pemberontakan ‘Republik Maluku Selatan", dalam Prisma, No. S/Agustus 1978, hal. 25-39, > Leirssa, PRRI Permesta: Sirategi Membangu Indonesia tanpa Komanis, laksa: Gea Pers, 1991; juga Barbara S. Harvey, Peres, Pemberonakan Setengah Hat, lakers: Graft Pers, 1985. * Leirissa, PRRI Permesta, Lampiran LV, hal. 236-249, * Mengenei pergolakan foal, hat antaa lain Ichlasul Amal, “Dimensi Poltik Habungan Pusat-Dacrah Sumatera Barat dan Sulawest Selatan”, dalam Colin Macndrevs dn least Amal, ed,, Hubungan Pusat-Daerak dalam Pembangunan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cetakan Ketiga, 2000, hal, 137-162. ‘Otononi Daerah, Demokraisasi, dan Pendekalan Akeratif Resolsi Konflik Pust-Daerah 69 konflik dikendalikan secara represif oleh militer dengan modus oper- andi penciptaan “kambing hitam” yang bersifat aten, yaitu “ekstreem kiri” (golongan komunis dan nasionalis radikal yang dianggap ber-sim- pati kepadanya) dan ekstreem kanan (para simpatisan DI/TI, pendukung, partai Masyumi dan para penganut “Islam politik” lainnya). Politik sentralisasi, dominasi, dan eksploitasi atas masyarakat secara umum ataupun terhadap Daerah khususnya, berlangsung lebih intens dan represif, sehingga tak hanya bermuara pada penyalahgunaan kekuasaan secar: luas, melainkan juga pada salah-urus negara yang sangat parah Dalam hubungan ini, pergolakan dan konflik lokai pasca-Orde Baru seperti terjadi di Aceh, Riau, dan Irian Jaya, tampaknya merupakan produk sekaligus dampak dari salah-urus negara yang sudah sangat akut tersebut. Evaluasi atas Agenda Penyelesaian Konflik Dalam rangka penyelesaian konflik Pusat-Daerah di satu pihak di satu pihak, dan implementasi asas desentralisasi yang diamanatkan oleh onstitusi seria mengakomodasi kepentingan masyarakat di tingkat Lokal di lain pihak, sejak lama pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan otonomi bagi daerah, Paling tidak sudah ada lima UU tentang peme- rintaban daerah yang berlaku secara nasional, yakni UU No. 1 tahun 1945, UU No, 22 tahun 1948, UU NIT No. 44 tahun 1950, UU No. | tahun 1957, UU No. 18 tahun 1965, UU No. 5 tahun 1974, dan terakhir adalah paket UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Peme- rintah Pusat dan Daerah yang merupakan produk pemerintahan Habibie. Walaupun demikian, nasib rakyat kita bisa dikatakan tidak pemah berutah, yakni menjadi korban eksploitasi negara di dalam hampir semua aspek kehidupan. Mengapa demikian? Di sinilah letak urgensi peninjauan secara men- dasar atas agenda penyclesaian yang dilakukan pemerintah, terutama berkaitan dengan paket kebijakan otonomi daerah yang berlaku selama ini, Kebutuhan akan suatu evaluasi mendasar atas materi perundang- undangan otonomi daerah dan implementasi atasnya berhubungan 70 esentraisasi dan Otonomi: Daerah dengan kebutuhan bangsa kita akan suatu format otonomidaerah yang bisa menjamin tetap beilangsungnya proses reformasi dan demokratisasi 4i satu pihak, dan tercapainya keadilan serta kesejahteraan bagi mayo- ritas masyarakat kita di tingkat Jokal di pihak fain. Selain itu, urgensi evaluasi berkaitan dengan tingkat kemampuan paket kebijakan otonomi daerah yang ada saat ini meminimalisasi konflik dan ketegangan relasi Pusat-Daerah. Ketiga tolok ukur ini dipakai untuk melihat Gan meninjau Kembali apakah paket kebijakan otonomi daerah yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001 yang lalu itu dapat memenuhi kebutuhan kolektif kita sebagai bangsa akan suatu format ideal otonomi daerah. ‘Tolok ukur pertama berkaitan dengan kelangsungan proses reformasi dan demokratisasi, tak bisa dipisahkan dari konsep desentralisasi dan otonomi daerah dalam paket kebijakan yang ada. Artinya, apakah paket kebijakan yang ada telah mengakomodasi kebutuhan kita akan per- ubahan perspektif desentralisasi, dari desentralisasi yang bersifat ad- ministratif menuju desentralisasi politik, yakni berlangsuagnya trans- fer sebagian kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah- pemerintah lokal. Seperti diketahui, selama periode Orde Baru, otonomi daerah tidak pernah menjadi kenyataan Karena didesain dalam kerangka desentralisasi administratif. Undang-undang No. 5 tahun 1974 tentang, Pokok-pokok Pemerintahan di Dacrah yang menjadi dasar bagi pelak- sanaan agenda desentralisasi dan otonomi daerah bahkan cenderung melestarikan sentralisasi politik secara berlebihan melalui kebijakan penyeragaman di hampir semua bidang kehidupan. Tolok ukur kedua berhubungan dengan pertanyaan, apakah kebijakan otonomi daerah telah dinikmati oleh mayoritas rakyat kica di tingkat Jokal. Salah satu perangkap besar kebijakan otonomi daerah yang ber- aku dewasa ini adalah kecenderungannya untuk melestarikan otonomi dacrah dalam arti sempit, yaitu sekadar otonomi bagi pemerintah daerah (Pemda), lebih Khusus lagi, otonomi bagi segelintir elite politik lokal, baik eksekutif maupun legislatif (DPRD). Perangkap demikian berpeluang menjadi besar apabila tidak cukup tersedia mekanisme bagi masyarakat untuk ikut menikmati implementasi otonomi daerah melalui kesempatan dan akses bagi mereka, baik dalam proses pembuatan kebijakan publik maupun produk akhir dari kebijakan itu sendiri, ‘Otononi Daerah, Demotcatisas, dan Pendekatan Alteratif Resolusi Konlik Pusat Daerah 71 Menurut Smith’®, pelaksanaan desentralisasi tidak hanya ditujukan untuk kepentingan pemerintah pusat, melainkan juga dalam rangka kepentingan lokal. Di antara kepentingan daerah yang penting itu adalah terwujudnya persamaan politik (political equality), munculnya peme-intahan lokal yang bertanggung jawab (local accountability), dan responsifitas masyarakat setempat (local responsiveness) terhadap masalah-masalah obyektif masyarakat di tingkat lokal"'. Dalam hu- bungen ini menjadi penting untuk dipersoalkan, apakah paket kebijakan otonomi dacrah melalui UU No. 22/1999 dan No. 25/1999 memberi ruang dan peluang bagi terwujudnya hal itu, atau sebaliknya merupakan kendzla, Sedangkan tolok ukur ketiga berkaitan dengan kemampuan paket Kebijakan yang ada meminimalisasi konflik dan ketegangan dalam hubungan Pusat-Daerah. Dalam hubungan ini, agenda desentralisasi dan otonomi daerah harus pula didasarkan pada identifikasi atas akar- akar Lonflik Pusat-Daerah, sehingga marjinalisasi kepentingan daerah seperti berlaku di masa lalu tidak terjadi lagi. Artinya, rumusan materi desentralisasi dan otonomi daerah yang diagendakan itu harus labir dari “ersepsi bersama” antara pemerintah pusat dan wakil-wakil rakyat daerah, bukan sekadar persepsi sepihak Pusat atas kebutuhan daerah. Hal ini tentu saja meniscayakan berlakunya cara pandang otonomi daeraa sebagai suatu “kontrak” antara Pusat dan Daerah, melalui wakil- wakildaerah yang terpilih secara demokratis dalam pemilu’?. Kalau kita sepakat bahwa persoalan relasi Pusat-Daerah tidak ssemata-mata berkaitan dengan ketimpangan ekonomi, khususnya antara Jawa-luar Jawa, tetapi juga berkaitan dengan ketidakadilan politik dan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) maka kerangka desentralisasi dan otonomi daerah yang dibutubkan tampaknya dituntut ith, Decentralization: The Territorial Dimension of the State, London: Asia Publish- House, 1985. "© Seajutnya lat Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hoessein, “Desentralisasi dan Otonomt Dasrah: Perspektf Teoritis dan Perbandingan”, dalam Syamsuddin Haris, etal, Paradigima Bas, hal 21-58. "2 Mengenai cara pandang otonomi daerah sebagai suatu “konirak" antara pemerinta Pusat ‘dar Daerah, lihatselanjutnya Syamsudéin Haris, “Menuju Paradigma Bary’ hal 181-216. 2 ‘Desentralisasi dan Otonorni Daerah bersifat komprehensif. Artinya, Konflik Pusat-Daerah tak dapat disele- saikan sekadar melalui perimbangan keuangan yang lebih proporsional bagi dacrah-daerah, melainkan juga diperlukan sharing of power yang lebih luas, termasuk hak bagi daerah untuk ikutmengelola pemerintahan dan sumberdaya lokalnya sendiri. Urgensi perspektif desentralisasi politik dan otonomi daerah yang berorientasi sekaligus sebagai instru- men demokratisasi terlihat di sini, yakni sebagai cara pandang bar dalam rangka membangun format otonomi daerah yang ideal bagi masa depan bangsa kita. Seperti diketahui, UU No. 5 tahun 1974 yang berlaku pada masa Orde Baru, lebih didesain dalam kerangka sentralisasi ketimbang desen- tralisasi, sehingga cenderung menciptakan ketergantungen permanen Daerah-dacrah kepada Pusat!®. Namun ironisnya, paket kebijekan otonomi daerah yang bart pun tidak bebas dari sejumlah distorsi, mulai dari kuatnya kecenderungan munculnya “persepsi sepihak” Pusat atasnya; pendangkalan pemahaman otonomi sebagai otonomi Pemda; ambivalensi posisi propinsi sebagai daerah otonom dan wilayah ad- ministratif sekaligus; penyempitan tujuan otonomi daerah sebagai upaya Pemda menggali pendapatan asli daerah (PAD) sebanyak-banyaknya; tidak adanya pengaturan penyelesaian konflik antar daerah; dan juga tidak adanya mekanisme institusional bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses politik lokal"*, Pendekatan dan Cara Pandang Alternatif Paket kebijakan otonomi daerah yang baru seperti tertuang dalam ‘UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan "Lihat, 8. Pamuaji,“Pelaksansan Asas Desentraisasi dan Otonom Daerah di Dalam Sistem ‘Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia", dalam Jurnallinw Politik 1, Jakarta: PT Gramedia, 1986, hal. 67 ™ Tentang distrs-dstors ini, antaa lin iat, Syamsuddin Hats, “Distors Kebijakan Otonomi Daerah dan Dampaknya bagi Kenfik Lokal", Makalsh Workshop “Decentralization and [Regional Autonomy in indonesia: Problems and Prospects" nggal 28 September 2000, di LIP, Fakarta, ‘Otonomi Daerah, Demokratisasi, dan Pendekatan Altemnatif Resolusi Konflik Pusat-Daerah 73 antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada hakikatnya merupakan cara pandarg dan pendekatan baru atas penyelesaian persoalan hubungan Pusat-Daerah. Namun demikian, seperti dikemukakan di atas, kebijakan baru yeng diintrodusir pada era pemerintahan Habibie terscbut mengan- dung sejumlah distorsi, baik yang bersumber pada filosofi tentang otonomi daerah, Kualitas representasi pibak-pihak yang terlibat dalam perumusan kebijekan, kesenjangan antara gagasan awal para perumus dan materi atau naskah UU hasil rumusannya, maupun yang berasal dari penafsiran atas materi UU yang kemudian diturunkan dalam bentuk sejumlah peraturan pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksanaannya. Filosofi Otonomi Daerah Meskipun UU No. 22/1999 jauh lebih maju dan revolusioner diban- dingkan UU No. 5/1974, namun filosofi dasar otonomi itu sendiri masih berkisar pada otonomi pemerintahan daerah, bukan otonomi masyarakat lokal. Perangkap dari kecenderungan itu adalah terjadinya distorsi dalam implenentasi, yaitu bahwa otonomi daerah temnyata hanya dinikmati oleh elite politik daerah, baik di jajaran Pemda (Kepala daerah dan aparaturnya) maupun DPRD (baca: elite partai pemenang pemilu) setempat, Masyarakat sebagai subyektif terpenting dari kebijakan otonomi daerah masih termarjinalisasi dalam proses politik di tingkat Jokal. Realitas dan kecenderungan semacam ini tentu saja berpeluang, munculnya kesenjangan antara orientasi proses politik pada tingkat elite i satu pihak, dan masyarakat di pihak Jain. Penolakan masyarakat Sumatra Barat (Sumbar) atas APBD Sumbar tahun 2001 di mana berbagai unsur masyarakat melakukan gugatan secara class action pada Gubemur dan DPRD merupakan contoh paling menarik'’. Cara pandang alternatif yang ditawarkan dalam hubungan ini adalah (1) matihat otonomi daerah sebagai otonomi masyarakat daerah, bukan "= Mergenai kasus ini, lihat Syamsuddia Haris, “Dinamika DPRD Sumatera Bart: Ketika ‘Kelecewaan Masyarakat Menggumpal" dalam Moch. Nuthasim, ed, Kualitas Keterwakilan Legslatf: Kaus Sulsel, Sumbar,Jateng, dan Jatin, Jakarta: Pusat Peneltan Politik LIPL 2001 74 Desentraisasi dan Otonomi Daerah “sekadar” otonomi pemerintahan daerah, dan (2) memandang otonomi daerah sebagai hak dacrah yang sudah ada pada masyarakat setempat. Preseden bagi cara pandang semacam ini adalah pengakuan pemerintah tethadap status istimewa Yogyakarta sebagai kesultanan otonom kendati hak-hak politiknya telah dicabut. Sedangkan kutub ekstrim dari cara pandang ini misalnya dianut oleh sebagian masyarakat Aceh, terutama kalangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang melihat bahwa pemerintah Jakarta pada dasamnya “hadit” kemudian, yakniketika Aceh bahkan sudah otonom dari penindasan kolonial Belanda. Konsekuensi logis dari cara pandang yang disebut pertama adalah bahwa paket kebijakan otonomi daerah harus berorientasi pada pem- berdayaan dan kesejahteraan bagi masyarakat lokal. Sedangkan konsekuensi logis dari cara pandang kedua adalah bahwa otonomi daerah sebagai hak masyarakat tidak dapat dicabut oleh pemerintah usat. Dalam Kaitan ini, otoritas pemerintah pusat hanya terbatas pada penyerahan dan pengaturan wewenang yang sudah ada pada daerah melalui berbagai bentuk kebijakan yang disepakati bersame oleh kedua pihak. Sifat Relasi Pusat-Daerah Dalam konteks relasi Pusat-Daerah, cara pandang sentralistik yang cenderung hirarkis-dominatif dan melihat daerah sebagai sub-ordinasi Pusat, sudah tentu tidak sesuai lagi dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi relasi Pusat-Daerah. Resistensi Daerah terhadap Pusat pada dasamya bersumber dari kecenderungan cara pandang hirarkis- dominatif, sehingga tidak ada peluang bagi daerah untuk berkembang sesuai kemampuan, potensi, dan keanekaragaman lokal masing-masing. Oleh Karena itu dalam rangka penataan kembali huburgan Pusat- Daerah ke arah yang lebih harmonis, sudah waktunya dikembangkan pemikiran progresif yang didasarkan pada relasi yang bersifat partner- ship dan interdependensi. Artinya, meskipun secara hirarkis pemerintah- pemerintah dacrah berkedudukan lebih rendah, namun karena komu- nitas-komunitas lokal pada dasarnya sudah otonom, maka pengaturan (Otonomi Daerah, Demokratsasi, dan Pendekatan Alteratif Resolusi Konflk Pusat-Daerah 75 ‘hubungan Pusat-Daerah meniscayakan berlakunya asas kemitraan dan saling ketergantungan di antara keduanya. Korsekuensi logis dari pemikiran ini adalah keperluan berlakunya ‘cara pandang otonomi daerah sebagai “kontrak” antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui wakil-wakil rakyat daerab. Cara pandang baru ini diharapkan bukan hanya yang bisa menjamin hubungan yang bersifat kemitraan dan saling ketergantungan antara Pusat-Daerah, melainkan juga dapat menjadi dasar bagi hubungan yang lebih harmonis di antara dua pihak di masa depan. Kontrak yang bersifat kesepakatan Pusat-Daerah ini penting diagendakan untuk menjaga konsistensi implementasi desentralisasi di satu pihak, dan menjamin agar daerah- daerah tidak memisahkan diri dari Republik di pihak lain. Keterlibatan dua pihak, Pusat dan Daerah, dalam perumusan kebijak- an otonomi daerah, merupakan keniscayaan dalam pola relasi yang. bersifat kemitraan dan saling ketergantungan tersebut. Dalam kaitan ini, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), salah satu kamar dari sistem parlemen dua kamar (bicameral) yang hendak dibangun, dapat menjadi wadah bagi rakyat daerah memperjuangkan aspirasi dan kepentingan mereke dalam berhadapan dengan Pusat, Melalui keterlibatan wakil- wakil rakyat daerah ini diharapkan dapat dicapai kesepakatan bersama yang bisa menjamin kepentingan Pusat maupun Daerah secara adil dan proporsional. Aspek-aspek lain Di samping berbagai aspek di atas, sejumlah aspek lain yang perlu diageniakan dalam rangka perspektif baru otonomi daerah adalah (selanjatnya lihatLampiran), pertama, otonom fleksibel atau otonomi yang bersifat kondisional bagi daerah. Perbedaan dan keragaman po- tensi, kemampuan, dan kebutuhan daerah meniscayakan diagen- dakanrya otoromi daerah yang bersifat fleksibel atau kondisional. Ini berartiharus terbuka peluang bagi daerah untuk mengimplementasikan otonomi dengan skala relatif penuh (otonomi khusus), otonomi luas, dan otonomi secara terbatas —di mana bobot administratifnya lebih 16 Deseauatisasi dan Otonomi Daerah besar ketimbang bobot politiknya. Karena itu, besaran dan cakupan otonomi harus bersifat fleksibel dan kondisional, sesuai dengan kebu- tuhan dan keperluan daerah setempat. Kedua, sebagai konsekuensi logis cara pandang di atas, maka paradigma baru meniscayakan pula dilakukannya reorganisasi peme- rintahan dacrah sesuai potensi, kemampuan, dan kebutuhan masing- masing daerah, Skala dan besaran kebutuhan setiap daerah hampir pasti tidak sama sebagai konsekuensi logis dari heterogenitas dan keragaman potensi daerah. Organisasi pemda yang dibutuhkan oleh DKI Jakarta yang tidak memiliki hutan jelas tidak sama dengan kebutuhan Pemda Kaltim yang memerlukan institusi daerah yang mengelola potensi kehutanan. Begitu pula kebutuhan Kabupaten Malang dan keperluan ‘Kabupaten Pacitan di Jawa Timur hampir pasti berbeda sebagai kon- sekuensi logis perbedaan potensi sumberdaya dan kebutuhan obyektif dalam pengelolaan rumah tangga daerah masing-masing. Ketiga, pelembagaan mekanisme bagi partisipasi rakyat. Untuk menghindari kecenderungan terjadinya perpindahan KKN dari pusat ke daerah dan munculnya raja-raja kecil baru di daerah, maka diperlukan partisipasi masyarakat di dalamnya. Partisipasi tersebut terutama diper- Jukan dalam rangka keterlibatan masyarakat dalam proses politik lokal di satu pihak, dan dalam upaya mendorong transparansi proses peru- musan kebijakan di Daerah. Dimensi partisipasi masyarakat ini diharap- kan akan mendorong terbangunnya kepercayaan masyarakat lokal terhadap pemerintahan Daerah, Keempat, pelembagaan kontrol masyarakat terhadap proses pe~ merintahan lokal. Melalui pengawasan masyarakat diharapkan bisa ‘muncul transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk itu masyarakat perlu diberdayakan dalam Pengertian penyadaran atas hak-hak dan kewajiban mereka dalam proses pemerintahan lokal. Di luar kebutuhan akan partisipasi mereka dalam proses politik lokal, tentu diperlukan pula kesadaran masyarakat dalam. melakukan fungsi kontrol terhadap perilaku elite politik daerah maupun penyelenggaraan pemerintah daerah itu sendiri. Namun fungsi kontrol masyarakat itu perlu dilembagakan melalui cara dan mekanisme de- ‘Otonomi Dacrah, Demokratisas, dan Pendekatan Altmatif Resolusi Koaflik PusatDaerah 77 mokratis agar kesadaran masyarakat yang melampaui batas tidak terjebak pada avarki yang merugikan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu paket kebijakan otonomi daerah mestinya mencakup pula kewajiban elite pclitik daerah di tingkat legislatif maupun eksekutif mendorong institusionalisasi kepentingan rakyat daerah. Institusionalisasi itu bisa mencakup misalnya fasilitasi bagi terbentuknya organisasi agama, adat, LSM, pers, dan kalangan perguruan tinggi yang kemudian berpartisipasi dalam proses politik sekaligus melakukan kontrol terhadap penyeleng- garaan pemerintahan lokal. Keloa, perluasan sumber pendapatan Daerah. Mengingat bahwa tidak akan pernah ada otonomi tanpa sumberdaya ekonomi dan ke- uangan, maka paradigma pendapatan asli daerah (PAD) yang dianut selama ini perlu diubah ke arah yang lebih adil dan proporsional bagi Daerah. Apabila paradigma lama “pendapatan asli” tersebut tetap dipertatankan, maka bisa dikatakan, sampai kapan pun Daerah tidak akan pernah memiliki sumber pendapatan yang memadai untuk mem- biayai kebutuhan daerah mereka. Dalam kaitan ini perlu redefinisi atas “pendapatan asli” yang scharusnya menjadi hak daerah pada khususnya, dan cacupan perimbangan keuangan pusat-daerah pada umumnya. ‘Tanpa perubahan dan redefinisi demikian dikhawatirkan bahwa agenda ‘otonomi daerah menjadi sekadar janj-janji politik baru pemerintah pusat, atas rakyat kita di tingkat Lokal. Catatan Penutup Otonomi daerah pada dasarnya bukanlah tujuan, melainkan alat dalam rangka terwujudnya cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat. Kebijakan otonomi daerah yang berorientasi kepentingan rakyat tidak akan pernah tercapai apabila pada saat yang sama tidak berlang-sung agenda demokratisasi. Dengan kata lain, otonomi daerah yang bisa meminimalisasi konflik Pusat-Daerah di satu pibak, dan dapat menjamin cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan bagi masya-rakat lokal di lain pihak, hanya dapat dicapai di dalam kerangka besar demokratisasi kehidupan bangsa di bidang. B Desentralisasi dan Otonomi Daerah politik, hukum, dan ekonomi. Ini berarti bahwa otonomi daerah harus diagendakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari demokratisasi Kehidupan bangsa seperti restrukturisasi lembaga perwakilan, restrukturisasi sistem pemilihan bagi eksekutif dan legislatif, penegakan hukum, dan pemberdayaan masyarakat lokal itu sendiri"®. Lihat miselnya, Syamsuddin Haris, “Menuju Paradigma Baru Hubungan PusatDaerah”, alam Syamsuddin Haris, eta, Paradigma Baru Otonomi Daerah, lakarta: Pusat Penelitian Politik LIP, 2001, ha. 181-216. (Otonomi Daerah, Demokratisas, dan Pendekatan Altematif Resolusi Konflik PusatDaerah 79 Lampiran PARADIGMA BARU HUBUNGAN PUSAT DAERAH KATSGORI RELASI PARADIGMA LAMA BARU 1 Tujanissaran —Persatuan Feat, Demokrasi dan stabilitas, pembangunan, | eseableran dslam ‘alam rangka sangka keutuhan bangsa “imegralisme” 2. Tekanan = SenralisasiRekuasaan | Distbusi kekuasaan + Desentalisasi Desenralisasi plik sdrinisiasi = Desenralisasi politike 3. Sif! Hoboogan ~ Hirarkis dan dominasi¢ | - Partnership dan Komplementer 4. Keluasaza Pusat : 5. Kediulatan : 6. Orieatasi Otonomi : ‘Ska Otonomi : “Ti borat 2 Cakspan kekuaszan den) — Kownangan 10, Peraa masyarat - 1 Rekrstmen elite : 12, Instrument Kebijakan 12.1 Jumlah kebijakan | = 122 Proses pembuatan | - 123 Cakupan : 13, Bkoromi : 14, Sisten bagi hasit : 15. Komponen bagi hasit | - 16. Dana alokast - 17. Sumber PAD : ‘Tak trbatas dan tae terkontrol Pada negara (manipulasi edaulatan rakyat) ‘Otonom pemerintahan eerah Seragam Kabupaten/kots “Blas Kasitan” pusat Pasif dan mobilized ‘Tidak langsong dan rerutup ‘Tunggal Sepiak Searah Exsploitait ‘Tidak proporsional dan tidak al ‘Terbatas Pola seragam ‘Terbatas dan seragara ‘Terbatas dan terkontol Paci rakyat ‘Otonom masyarakat Propi Kesepakatan wakil-wakil rakyat pusat dan deerah Alsi dan parisipati [Langsung,dan terbuka Banyak Bersama-sama/diatog Dua arah dan beregam Distributif > Keadilan dan kesejabieran ‘Sesuai kontibusi dacrah Diperluas (termasuk Palak dan cai) Serua kot loka Diperoas dan kondisional,

You might also like