You are on page 1of 47

STATUS ILMU OBSTETRI

FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI


SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SOESELO SLAWI
Nama Mahasiswa

: Rachma Tia Wasril

NIM

: 030.10.228

Dokter Pembimbing

: Dr. Ratna, Sp. OG

I. Identitas Pasien
Nama

: Ny. C

Umur

: 25 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat Rumah

: Desa Karangjambu Kecamatan Balapulang

Agama

: Islam

Pendidikan

: SMP

Status pernikahan

: Menikah

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Nama Suami

: Tn. J

Tanggal masuk RS

: 19 Juni 2015

II. Anamnesis
Dilakukan anamnesis secara autoalloanamnesis pada tanggal 19 Juni 2015 pukul 22.00 WIB
di Ruang Ponek RSUD Dr. Soeselo Slawi.
A. Keluhan Utama:
Os datang ke PONEK RSUD Dr. Soeselo Slawi kiriman Puskesmas Kalibakung dengan
keluhan gelisah, mengigau, dan tidak sadarkan diri.
B. Keluhan Tambahan:
Pusing, nyeri tenggorokan, dan lemas.

C. Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke PONEK RSUD Dr. Soeselo Slawi pada tanggal 19 Juni 2015
dengan P2A0 25 tahun post partum 5 hari. Pasien diantar oleh keluarga dan petugas
kesehatan (bidan) membawa surat rujukan dari puskesmas Kalibakung dengan tekanan
darah 110/80 mmHg. Pada saat pasien datang ke PONEK RSUD Soeselo Slawi pada
pukul 07.45 keluarga pasien menyatakan pasien dalam keadaan gelisah dan tidak
sadarkan diri. Pasien mengaku bahwa sehari sebelumnya pasien tidak bisa tidur, merasa
pusing, mual, dan muntah 2 kali sejak kemarin. Lalu keluarga pasien membawa ke
puskesmas Kalibakung dan didiagnosis sebagai post partum baby blues. Lalu puskesmas
merujuk ke RSUD Soeselo Slawi. Lalu pada pukul 09.25 di RSUD Soeselo Slawi pasien
tidak sadarkan diri, kelojotan, menggigit lidah, sulit untuk bernapas.
Pasien menyangkal adanya tekanan darah tinggi sebelumnya. Keluhan pandangan
kabur (-), sesak(-), nyeri ulu hati(-), riwayat kejang(-) dan riwayat BAK sedikit dan
kental disangkal oleh pasien. Pasien juga tidak mengeluh kaki terasa bengkak. Pasien
mengatakan bahwa berat badan sebelum hamil adalah 55 kg sedangkan berat badan saat
ini adalah 65 kg dan pasien mengatakan tinggi badan pasien 155 cm. Pasien mengaku
BAB dan BAK lancar. Sebelum ke rumah sakit pasien tidak diberikan obat-obatan.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyangkal adanya riwayat

kencing manis, darah tinggi, penyakit

jantung,alergi, penyakit ginjal dan tidak pernah kejang sebelumnya.


E. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku tidak ada keluarga pasien yang memiliki penyakit serupa.
Riwayat asma (-), riwayat kencing manis (-), riwayat darah tinggi (-), kejang (-)
riwayat penyakit jantung (-).
F. Riwayat Kebiasaan
Pasien seorang ibu rumha tangga, pasien tidak merokok, tidak minum alkohol dan
tidak mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
G. Riwayat Pernikahan
Pasien sudah menikah 1x, hingga saat ini, tinggal serumah dengan orang tuanya
dan suami bekerja di Jakarta.

H. Riwayat Obstetri
P2A0 minggu
- Ante natal care: rutin kontrol ke bidan 1 bulan sekali pada trimester 1 dan 2.
-

Trimester 3 pasien kontrol 1 minggu sekali ke bidan. TT3 1x USG : (-)


Penyakit selama kehamilan: hipertensi (-)
Riwayat persalinan spontan pervaginam pada tanggal 14 Juni 2015 dengan jahit
perineum. Pasien mengaku tidak ditemukan masalah pada saat persalinan dan

melahirkan bayi perempuan dengan berat badan 2200 gram.


Riwayat persalinan anak pertama dilakukan secara spontan pervaginam.

I. Riwayat KB
Pasien pernah menggunakan alat suntik KB selama 2 bulan setelah melahirkan anak
pertama kemudian berhenti karena mengeluh kesakitan saat menstruasi. Lalu pasien
melanjutkan dengan pil KB selama 15 hari dan kembali berhenti lagi karena pasien
sering lupa untuk minum obat.
J. Riwayat Haid
Menarche pada usia 10 tahun, menstruasi teratur tiap bulan, siklus 28 hari, banyaknya
2-4 pembalut per hari tidak penuh, lama haid rata-rata 4-5 hari, dysmenorhea (-),
keputihan (-)

II. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal di Ruang Ponek RSUD Dr. Soeselo Slawi.
A. Keadaan umum
Kesadaran: compos mentis
Kesan sakit: tampak sakit ringan
Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif
B. Tanda vital
Tekanan darah : 144/102 mmHg
Nadi

: 98 x/menit

Suhu

: 36,6 0 C

Pernafasan

: 20 x/menit

C. Kulit
Kulit berwarna sawo matang , tidak ikterik, tidak ada efloresensi bermakna.
D. Kelenjar getah bening
Leher: tidak teraba membesar

Ketiak: tidak teraba membesar

Supraklavikuler: tidak teraba membesar

Inguinal: tidak teraba membesar

E. Kepala
Tampak normocephali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut.
F.

Wajah
Normal dan simetris

G. Mata
Alis: hitam, distribusi normal, tidak mudah rontok
Kelopak: tidak terdapat edema
Konjungtiva: tampak pucat (-/-)
Sklera: tidak tampak kuning (-/-)
Lensa: terlihat jernih (+/+)
Iris kripta tidak melebar
H. Hidung
Bentuk normal, tidak ada deformitas, tidak ada deviasi septum, mukosa tidak
hiperemis, konka normal, tidak ada sekret.

I.

Telinga
Normotia, sekret -/-, serumen -/-, tidak ada nyeri tekan, liang telinga lapang, membran
timpani intak

J.

Mulut
Bibir: kering, tidak pucat, tidak sianosis
Gusi dan mukosa: tidak hiperemis, tidak ada perdarahan spontan, tidak pucat, tidak
sianosis
Gigi geligi: lengkap, tidak ada karies, tidak keropos
Lidah: tidak ada papil atrofi, tampak agak kotor, hiperemis dan laserasi pada lateral
kanan lidah
Uvula: simetris, letak di tengah, tidak hiperemis

K. Tenggorokan
- Tonsil: T1-T1 tenang, tidak ada detritus, tidak ada kripta melebar
- Faring: arkus faring simetris, tidak hiperemis
- Laring: tidak dinilai
L. Leher
-

Tiroid: tidak teraba benjolan

M. Thorax
Inspeksi:
Bentuk normal, mendatar, tidak terdapat retraksi saat status dan dinamis.
Kulit: sawo matang, tidak terdapat spider nevi, tidak terdapat efluoresensi yang
bermakna
Iga: tidak ada retraksi sela iga, sela iga tidak melebar
Ictus cordis: tidak teraba pulsasi
Palpasi
-

Gerak nafas kanan-kiri simetris antara dua hemithorax

Vocal fremitus teraba sama kuat kanan dan kiri

Thrill: tidak teraba thrill pada ke-4 katup jantung

Ictus cordis teraba pada 1 cm medial garis midclavicula kiri

Perkusi paru: didapatkan suara sonor pada hemithorax kanan dan kiri
Auskultasi paru: terdengar suara napas vesikuler, wheezing -/- dan ronki -/ Auskultasi jantung: S1 reguler-S2 reguler, murmur (-), gallop (-), split (-)

N. Abdomen
Inspeksi
Bentuk abdomen datar, tidak terdapat efluoresensi yang bermakna, tidak terdapat
dilatasi vena maupun arterial bruit, tidak terdapat smiling umbilikus.
Auskultasi
Bising usus +
Palpasi
Teraba supel, tidak terdapat nyeri tekan.
Hepar dan lien dalam batas normal, tidak terdapat nyeri tekan pada bagian ginjal.
Perkusi
Terdengar timpani pada kuadran kanan kiri atas, tidak ada shifting dullness, tidak
terdapat nyeri ketuk pada bagian ginjal
O. Ekstremitas
Inspeksi: lengan terlihat simetris, tidak ada deformitas, kulit berwarna sawo matang,
tidak ikterik, tidak sianosis
Palpasi: Akral teraba hangat pada keempat ekstremitas, tidak terdapat oedem pada
ekstremitas inferior.
P.

Genitalia
Dalam batas normal.

Q. Anus/ Rektum : dalam batas normal.


Status Obstetrik
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 19 Juni 2015
1. Abdomen
Tinggi Fundus uteri : 2 Jari dibawah pusat
2. Genitalia
Vulva, vagina dalam keadaan tenang, oedem labia (-), lendir (-).
VT :
-

kelenjar bartolini tidak ada pembengkakan atau abses

Dinding vagina kasar bergaris-garis , polip (-), tumor (-)

Palapasi bimanual :
o Tinggi fundus uteri 2 jari dibawah pusar

o Uterus antefleksi , bentuk oval, sebesar kepalan tinju orang dewasa,


konsistensi keras, permukaan licin, mobilitas uteri (+)
o Perabaan parametrium dan adneksa tidak dilakukan karna pasien merasa
kesakitan

3. Inspekulo
Tidak dilakukan pemeriksaan inspekulo.

I.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan 19 Juni 2015 pukul 10.25
Pemeriksaan
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
Trombosit
Diff count
Eosinofil
Basofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
Golongan darah
Urin
Protein urin
Kimia Klinik
Gula darah Sewaktu
Ureum
Creatinin
Asam Urat
Kolesterol total
Trigliseride
Bilirubin total
Bilirubin direct
Bilirubin indirect
Total protein
Albumin
Globulin

Hasil
17.000
4,6
12,1
34
73
26
36
297.000

Nilai Rujukan
3.600-11.000 u/l
3.80-3.20 juta/ul
11,7-16,6 g/dL
35-47%
80-100 Fl
26-34 pg
32-36 g/dL
150.000-450.000 u/l

1,7
0,10
78,7
13,7
5,8
O Rhesus factor (+)

2-4
0-1
50-70
25-40
2-8

(+) 1

Negatif

97
9,3
0,5
9,7
206
144
0,5
0,1
0,4
6,7
3,8
2,9

75-140
17,1 42,0
0,40 1,00 mg/dL
2-7
150-200
35-140
0,2-1,3
0,1- 0,3
0-0,75
6,7-8,2
3,8-5,3
1,3-3,1
7

SGOT
SGPT
Chloride
Calcium
Kalium
SEROIMUNOLOGI
HbsAg

80
47
107
7,6
3,3

13-33
6-30
95-105
8,8-10
3,5-5

Non reaktif

Non reaktif

II. RESUME
Pasien datang ke PONEK RSUD Dr. Soeselo Slawi pada tanggal 19 juni 2015 pukul
07.45 dengan P2A0 tahun post partum 5 hari dengan keluhan penurunan kesadaran dan
mengigau. Pasien diantar oleh bidan (puskesmas) membawa surat rujukan dengan diagnosis
postpartum BLUES. Dari anamnesis didapatkan riwayat kejang di rumah sakit pada pukul
09.45.
Pasien menyangkal riwayat tekanan darah tinggi (-). Keluhan pandangan kabur, mual,
muntah, sesak, nyeri ulu hati, riwayat kejang, BAK sedikit, kaki bengkak disangkal oleh
pasien. Berat badan sebelum hamil 55 kg dan saat ini 65 kg. BAB dan BAK lancar. Sebelum
ke rumah sakit pasien tidak diberikan obat-obatan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 144/102, Nadi 98x/mnt. Pada
pemeriksaan status obstetrik didapatkan TFU 2 jari dibawah pusat, His (+). Saat dilakukan
vaginal touches tidak didapatkan kelainan.
Pada pemeriksaan penunjang tanggal 19 juni 2015 didapatkan kelainan laboratorium
leukosit (17.000), Protein urin (+1), SGOT (80), SGPT (47), asam urat (9,1).
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini maka
diagnosis pasien adalah P2A0 25 thn, post partum spontan H+5 dengan Eclampsia.
III. DIAGNOSA KERJA

o Diagnosa masuk
P2A0, 25 tahun post partum spontan H+5 dengan post partum Baby Blues
o Diagnosa akhir
o P2A0, 25 tahun post partum spontan H+5 dengan Eclampsia
IV. PENATALAKSANAAN

Terapi non-medikamentosa
- ABC ( jalan nafas )
- Pengawasan Tanda vital, balance cairan,
- Mencegah kejang berulang
- Observasi keadaan umum
- Mengatasi hipoksemia
- Mencegah trauma pada pasien sewaktu kejang
- Mengendalikan tekanan darah
- Pemberian obat anti kejang magnesium sulfat atau diazepam
Perawatan kejang
- Tempatkan diruang khusus, lampu terang
- Tempat tidur harus cukup lebar, dapat diubah dalam posisi Tredelenburg
-

dengan kepala lebih tinggi


Spatel lidah/ Guedel/oral airway agar tidak tergigit, dan tidak menutup

jalan napas
- Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor, menghindari fraktur
Perawatan Koma
- Derajat kedalaman diukur dengan GCS
- Terapi medikamentosa
o Rawat di rumah sakit
o Oksigenasi 3 liter/menit
o RL 20 tpm
o Pasang DC
o Loading: MgSO4 40% 4 gr bolus i.v dalam 15 menit
o Mentainance: MgSO4 20% 6 gr dalam 500 cc RL/6 jam
o Dopamet 3 x 500 mg tab.
o Cek urin

V.

PROGNOSIS
-

Ibu
Ad vitam
Ad sanationam
Ad functionam

: Dubia ad Bonam
: Dubia ad malam
: Dubia ad Bonam

10

VI. HASIL FOLLOW-UP

11

Tanggal
Ponek

S
Os dating kiriman bidan

O
KU: TSB

A
P2A0 25 thn, post

19/06/15 Muzayanah dengan P2A0

Kesadaran: CM

partum spontan 5 hari

07.45

dengan Post Partum hari

TD: 131/87 mmHg

dengan Post partum baby

ke 5 dengan Histeris (Os

HR: 84 x/m

blues

Suaminya Jarang pulang)

RR: 20 x/m

P
Advis dr. Jaga :
Konsul dr.Jiwa

S: 36,50C
Thorax: cor: dbn,
Abdomen: dbn,
TFU :3 Jari pusar
Extremitas: OE -/- AH +/+
VT :tidak dilakukan
Ponek

Os.Kejang

P2A0 25 thn, post

Penatalaksanaan ABC

19/06/15

partum spontan 5 hari

Pasang oral airway

09.45

dengan Eclampsia

Masker O2 10lt/menit

Suction catheter

Advice dr.Residen :
Rawat HCU
Periksa darah lengkap
EKG
Dopamet 3x500mg
Inj.MgSO4 20% 4gr bolus
perIV
Syringe Pump. MgSO4 20%
1gr/jam

Advice dr.arif SpOg :


Acc. Rawat HCU
Extra inj. Diazepam 1 amp

12

ANALISIS KASUS

Teori

Kasus

Anamnesa
Eklampsia Merupakan kasus akut pada penderita Pasien dengan tekanan darah 144/101 mmHg
preeclampsia,

yang

disertai

dengan

kejang dengan keluhan penurunan kesadaran dan

menyeluruh dan koma. Sama halnya dengan kejang. 1 hari sebelumnya dirumah pasien
preeclampsia, eklampsia dapat itmbul pada ante, merasa pusing, mual dan muntah-muntah.
intra dan post partum. Eklampsia post partum
umunya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama
setelah persalinan

Tidak ada riwayat hipertensi sebelumnya


Kesimpulan : mendukung diagnosis eklampsia,
yang sebelumnya didahului gejala prodoma

Pada pasien preeklampsia yang akan kejang, impending Eclampsia


umumnya memberi gejala-gejala atau tanda-tanda
Faktor resiko yang terdapat pada pasien :
yang khas , yang dapat dianggap sebagai tanda- Obesitas
BMI pasien : 27,08 kg/m2 obesitas kelas 12
tanda prodoma akan terjadinya kejang yang
disebut impending eclampsia atau imminent
eclampsia

RPD : DM(-) HT (-) Penyakit Jantung (-)


RPK : DM(-) HT (-) Penyakit Jantung (-)

PreEclampsia adalah Hipertensi yang timbul Preeklamsia (-)


Kesimpulan : tidak ada RPD atau RPK yang
setelah kehamilan 20 minggu disertai proteinuria.
mendukung
Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang
4 jam, tekanan darah diastol 90 mmHg
digunakan sebagai pedoman.2
Preeklamsia dapat terjadi saat ante, intra, dan Post
Partum
Faktor resiko 4,5:
Primigravida, primipaternitas
Hiperplasentosis : mola hidatidosa, kehamilan
multipel, diabetes mellitus, hidrops fetais, bayi
besar
13

Umur yang ekstrim ( <20 tahun, >35 tahun)


Riwayat keluarga pernah preeklamsi/eklamsi
Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang
sudah ada seblum hamil
Obesitas
Pemeriksaan fisik
Preeklamsia dikatakan berat apabila disertai salah
satu atau lebih dengan keadaan sebagai berikut3 :
1)
2)
3)
4)
5)

Tekanan darah 160/110 mmHg


Trombositopenia (<100.000) sel/mm3
Kenaikan kadar kreatinin plasma
Gangguan visus dan serebral
Nyeri epigastrium / kuadran kanan atas
abdomen

6)
7)
8)
9)

yang

tidak

mereda

TD: 144/102 mmHg


SGOT dan SGPT meningkat

diberika

pengobtaan
Edema paru dan sianosis
Hemolisis mikroangiopatik
Gangguan fungsi hepar
Sindrom HELLP

10) Pemeriksaan laboratorium


Preeklampsia berat2,8

Protein urin

: (1+)

Protein urin : proteinuria +2


Hepar: peningkatan SGOT dan SGPT
Hematologi: Trombositopenia berat ( <100.000/ul
atau penurunan trombosit dengan cepat)
Preeklamsia berat3
o Ditemukan protein urin 5mg selama 24
jam
o Metode dipstick tidak disarankan lagi
untuk mendiagnosis preeklamsi berat
o Proteinuria sudah tidak dijadikan patokan
lagi untuk mendiagnosis derajat preeklamsi

Penatalaksanaan

14

Perawatan dasar eklampsia yang utama Rawat inap dilakukan atas indikasi Eclampsia
ialah terapi suportif untuk stabilisasi Pada kasus dilakukan monitoring tanda vital
fungsivital, yang harus selalu diingat yaitu
Airway , Breathing , dan Circulation
(ABC), mengatasi dan mencegah kejang
berulang,

mengatasi

hipoksemia,

dmencegah trauma pada waktu kejang,


mengendalikan tekanan darah , khususnya

setiap 15 menit sekali


Pasien juga dirawat dalam pengawasan
(HCU)
Dilakukan pengukuran balance cairan namun
tidak 3 jam sekali

sesuai

pada waktu krisis hipertensi , melahirkan

Obat anti kejang : yang menjadi pilihan

Diazepam

dapat

menjadi

pilihan

pasien

untuk

hanya

diberikan

dopamet 3 x 500 mg dan extra Lasix 1x1.


Pada pasien pemberian terapi saat kejang
MgSO4 dan Diazepam.
Perawatan saat kejang juga sudah tepat
trauma pada saat kejang dengan pemasangan

Magnesium sulfat : pemberiaan obat

rail

hampir sama dengan preeclampsia berat

pemasangan oral airway.


Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan

tempat

tidur,

fiksasi

badan

Perawatan waktu kejang : mencegah pasien

juga

mengalami trauma akibat kejang. Dirawat

proteinuria,fungsi hati dan darah lengkap.

lengkap

dengan

dan

pemeriksaan

dikamar isolasi cukup terang, tidak dikamar


yang gelap, agar bila terjadi sianosis dapat
segera diketahui. Penderita dibaringkan di
tempat tidur yang lebar, dengan rail tempat
tidur dipasang dan dikunci dengan kuta.
Selanjutnya masukan sudap lidah yang
sedang tergigit karena dapat mematahkan
gigi. Fiksasi badan di tempat tidur.
-

obat

dengan memperhatikan ABC, lalu mecegah

alternative.
-

protap

sudah sesuai yaitu dengan memberikan

pertama adalah magnesium sulfat. Bila


dengan obat tersebut sukar diatasi maka

dengan

antihipertensi

pada waktu yang tepat.


-

Pada kasus sudah dilakukan tatalaksana yang

Perawatan edema paru : bila terjadi edema


paru sebaiknya penderita dirawat di ICU
karna membutuhkan perawatan animasi
dengan respirator.

15

Pemeriksaan

laboratorium

yang

dilakukan

meliputi darah rutin, protein urin, liver function

test, dan renal function test


Terapi
medikamentosa

untuk

pasien

preeklamsia berat adalah banyak istirahat


(berbaring/tidur miring), diet reguler (cukup
protein, rendah karbohidrat dan lemak, garam
dapur 4-6 gram/hari), dan perhitungan cairan
dengan urin output pada cateter, vitamin
prenatal, serta loading dose MgSO4 4gr/15
menit dan dilanjutkan MGSO4 maintance
1gr/jam sampai inpartu dan dilajutkan setelah
post partum 24 jam 1gr/jam selama 24 jam.dan
pemberian

obat

antihipertensi

diberikan

Dopamet 3x500 dan amlodipin 1x10mg.


Menurut NICE Clinical Guidelines tentang
manajemen penyakit hipertensi dalam kehamilan,
perawatan post partum dari wanita dengan
preeklamsia meliputi10 :

Pengukuran tekanan darah minimal 4 kali

sehari selama berada di rumah sakit.


Observasi keluhan pasien setiap

mengukur tekanan darah.


Pemeriksaan
jumlah

kali

trombosit,

transaminase, dan kreatinin serum 48-72

jam post partum.


Pemeriksaan carik

celup

urin

untuk

mendeteksi proteinuria. Apabila proteinuria


masih +2, maka dianjurkan melakukan
pemeriksaan ulang 3 bulan lagi untuk
mengevaluasi fungsi ginjal.

16

TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Hipertensi dalam kehamilan
Terminologi hipertensi dalam kehamilan (HDK) digunakan untuk menggambarkan
spektrum yang luas dari ibu hamil yang mengalami peningkatan tekanan darah yang ringan
atau berat dengan berbagai disfungsi organ. HDK adalah salah satu penyebab morbiditas dan
mortalitas ibu disamping perdarahan dan infeksi. Pada HDK juga didapati angka mortalitas
dan morbiditas bayi yang cukup tinggi. Di Indonesia preeklampsia dan eklamsia merupakan
penyebab dari 30-40% kematian perinatal, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia
telah menggeser perdarahan sebagai penyebab utama kematian maternal. Untuk itu
diperlukan perhatian serta penanganan yang serius tehadap ibu hamil dengan penyakit ini.
4.1.1 Klasifikasi
Pada saat ini, untuk lebih menyederhanakan dan memudahkan The Working Group Report
17

dan High Blood Pressure ini Pregnancy (2000) 1 menyarankan klasifikasi hipertensi dalam
kehamilan sebagai berikut :
1. Hipertensi gestasional
2. Hipertensi kronis
3. Superimposed preeklampsia
4. Preeklampsia ringan, preeklampsia berat dan eklampsia
Sebagai batasan yang disebut hipertensi dalam kehamilan adalah kenaikan tekanan darah
diastolik 90 mmHg dan tekanan darah sistolik 140 mmHg pada dua kali pemeriksaan yang
berjarak 4 jam atau lebih dan proteinuria, jika dijumpai protein dalam urine melebihi 0,3
gr/24 jam atau dengan pemeriksaan kualitatif minimal positif (+) satu.
4.1.2 Definisi2
1. Hipertensi gestasional

adalah kenaikan tekanan darah yang hanya dijumpai dalam

kehamilan sampai 12 minggu pasca persalinan, tidak dijumpai keluhan dan tanda-tanda
preeklampsia lainnya. Diagnosa akhir ditegakkan pasca persalinan.
2. Hipertensi kronis adalah hipertensi yang sudah dijumpai sebelum kehamilan, selama
kehamilan sampai sesudah masa nifas. Tidak ditemukan keluhan dan tanda-tanda
preeklampsia lainnya.
3. Superimposed preeklampsia adalah gejala dan tanda-tanda preeklampsia muncul
sesudah kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya menderita hipertensi kronis.
4. Preeklamsia ringan, preeklampsia berat, eklampsia : Hipertensi yang timbul setelah
kehamilan 20 minggu disertai proteinuria. Dahulu, disebut PE jika dijumpai trias tanda
klinik yaitu : tekanan darah 140/90 mmHg, proteinuria dan edema. Tapi sekarang edema
tidak lagi dimasukkan dalam kriteria diagnostik , karena edema juga dijumpai pada
kehamilan normal. Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam, tekanan
darah diastol 90 mmHg digunakan sebagai pedoman.
a. Preeklampsia ringan adalah jika tekanan darah 140/90 mmHg, dan proteinuria +1.
b. Preeklampsia berat adalah jika tekanan darah > 160/110 mmHg, proteinuria +2 atau
5g/24 jam, dapat disertai keluhan subjektif seperti nyeri epigastrium, sakit kepala,
gangguan penglihatan dan oliguria.
18

Menurut The American Congress of Obstetrician and Gynecologist (ACOG)


Preeklamsia dikatakan berat apabila disertai dengan keadaan sebagai berikut3:

Tekanan darah 160/110 mmHg


Trombositopenia (<100.000) sel/mm3
Kenaikan kadar kreatinin plasma
Gangguan visus dan serebral
Nyeri epigastrium / kuadran kanan atas abdomen yang tidak mereda diberika

pengobtaan
Edema paru dan sianosis
Hemolisis mikroangiopatik
Gangguan fungsi hepar
Sindrom HELLP

c. Eklamsia adalah kelainan akut pada wanita hamil dalam persalinan atau nifas yang
ditandai dengan timbulnya kejang dan atau koma. Sebelumnya wanita ini
menunjukkan gejala-gejala preeklampsia berat. (kejang timbul bukan akibat kelainan
neurologik).
4.1.3 Faktor Resiko
Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan, yang dapat
dikelompokan dalam faktor resiko, sebagai berikut:4,5
Primigravida, primipaternitas
Hiperplasentosis : mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus, hidrops fetais,

bayi besar
Umur yang ekstrim ( <20 tahun, >35 tahun)
Riwayat keluarga pernah preeklamsi/eklamsi
Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada seblum hamil
Obesitas

4.2 Preeklamsi dan Eklamsi


4.2.1 Patofisiologi
Penyebab hipertensi kehamilan sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Banyak
teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan tetapi tidak ada
satupun teori tersebut yang dianggap mutlak benar.

19

Teori kelainan vaskularisasi plasenta


Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-cabang
arteri uterine dan arteria ovarika.Kedua pembuluh darah tersebut menembus miometrium
berupa arteri akuarta dan arteri akuarta memberi cabang arteria radialis. Arteria radialis
menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis member cabang arteria
spiralis.6
Pada hamil normal, dengan sebab belum jelas, terjadi infasi trofoblas kedlam lapisan
otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi
dilatasi arteri spiralis.Infasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga
jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi
dan dilatasi.Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini member dampak penuruna
tekanan darah, penurunan resistensi vascular, dan peningkatan aliran darah pada darah utero
plasenta.Akibatnya, aliran darah kejanin cukup banyak dan perkusi jaringan juga meningkat,
sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik.Proses ini dinamakna remodeling
arteri spiralis.6
Pada Hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi infasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot
arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya.Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku
dan

keras

sehingga

lumen

areteri

spiralis

tidak

memungkinkan

distensi

dan

vasodilatasi.Akibatnya, arteri spiralis relative mengalimi vasokonstriksi, dan terjadi


kegagalanremodeling arteri spiralis, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun , dan
terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan
perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan pathogenesis HDK selanjutnya.6
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron , sedangkan
pada preeklamsia rata-rata 200 mikron.Pada hamil normal vasodilatasi lumen arteri spiralis
dapat mengkatkan 10 kali aliran darah ke uetero plasenta.6
Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam kehamilan
terjadi kegagalanremodeling atreri spiralis, dengan akibat plasenta menalami iskemia.
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (disebut juga
radikal bebas). Oksidan atau radikal bebas dalah senyawa penerim electron atau
atom/molekul yang mempunyai elekron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting
yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hoidroksil yang sangat toksis, khususnya
20

terhadap membrane sel endotel pembuluh darah.Sebenarnya produksi oksidan pada manusia
adalah suatu proses normal, Karen aoksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan
tubuh.Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai bahan toksin
yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut toxaemia.6
Radikal hidroksil akan merusak membrane sel, yang mengandung bayak asam lemak
tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membrane sel,
juga akan merusak nucleus, protein sel endotel.6
Produksi oksidan(radikal bebas)dalam tubuh yang bersifat toksis , selalu diimbangi
dengan produksi anti oksidan.
Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan, khususnya peroksid
lemak meningkat, sedangkan antioksidan ,missal vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan
menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang realtif tinggi.
Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini akan beredar diseluruh
tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membrane sel endotel. Membran sel endotel
lebuh mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak karena letaknya langsung
berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh.Asam
lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah
menjadi peroksida lemak.
Disfungsi sel endotel
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel,
yang kerusakannya dimulai dari membrane sel endotel.Kerusakan membrane sel endotel
mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel
endotel.Keadaan ini disebutDisfungsi endotel(endothelial dysfunction).Pada waktu terjadi
kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi
:Gangguan metabolism prostalglandin, Karena salah satu fungsi sel endotel adalah
prostalglandin, yaitu menurtnnya produksi prostasiklin(PGE2)suatu vasodilatator kuat.
Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.Agregrasi sel
trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat dilapisan endotel yang mengalami
kerusakan.Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA2)suatu vasokonstriktor kuat.
21

Dalam keadaan normalperbandingan kadar prostasklin/tromboksan lebih tinggi kadar


prostasiklin(lebih tinggi vasodilatator)pada preeklamsia kadar tromboksan lebih tinggi dari
kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi, dengan terjadi kenaikan tekanan darah.
Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus (glomerular endotheliosis). Peningkatan
permabilitas kapilar. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopersor, yaitu endotelin.Kadar
NO (vasodilatator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat. Peningkatan
factor koagulasi
Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Dugaan bahwa factor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam
kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut :
1)

Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadi hipertensi dalam kehamilan


jikadibandingkan dengan multigravida

2)

Ibu yang multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih besar
terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami
sebelumnya.

3)

Seks oral mempunya risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam


kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah
makin lama periode ini, makin kecil terjadinya hipertensi dalam kehamilan.

Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak adanya hasil konsepsi
yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLAG), yang berperan penting dalam modulasi respon imun,sehingga si ibu tidak menolak hasil
konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi troploblas janin dari
lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu.6
Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan
desidua ibu. Jadi hilang HLA-G merupakan prakondisi untuk terjadinya invasi trofoblas ke
dalam jaringan desidua ibu, disamping untuk menghadapi sel Natural Killer. Pada plasenta
hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresiHL-G. B erkurangnya HLA-G di
desudua daerah plasenta, menghambat invansi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas
sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan
terjadinya dilatasi arteri spiralis.

HLA-G juga merangsang terjadi sitikon, sehingga

22

memudahkan terjadinya reaksi inflamasi. Kemungkinan terjadi Imunne-Maladaptation pada


preeklamsi.6
Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunyai kecenderungan
terjadi preeklamsia, ternyata mempunyai proporsi Helper Sel yang lebih rendah disbanding
pada normotensif.
Teori adapatasi kardiovaskularori genetic
Pada hamil normal pembuluh darah rekfrakter terhadap bahan-bahan vasopresor.
Refrakter, berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan bahan vasopresor, atau
dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respons vasokonstriksi.
Pada kehamilan normal terjadi refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor adalah
akibat dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal
ini dibuktikan bahwa daya refrakter terhadap bahan vasepresor akan hilang bila diberi
prostaglandin sintesa inhibitor (bahan yangh menghambat produksi prostaglandin).
Prostaglandin ini

kemudian hari ternyata adalah prostasiklin. Pada hipertensi dalam

kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi
peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya, daya refrakterpembuluh
darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka
terhadap bahan vasopresor.

Banyak peneliti

telah membuktikan bahwa peningkatan

kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjdai
pada trimester 1 (pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjdi
hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan pada kehamilan dua
puluh moinggu. Fakta inin dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam
kehamilan.6
Teori Genetik
Ada factor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotype ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehemilan secara familial jika dibandingkan dengan
genotype janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklamsia ,26% anak
perempuannya akan mengalami preeklamsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu
mengalami preeklamsia.6

23

Teori defisiensi gizi


Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi berperan
dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di Inggris ialah penelitian tentang
pengaruh diet

pada preeklamsia beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Dunia II.

Suasana serba sulit mendapat gizi yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan
kenaikkan insiden hipertensi dalm kehamilan.
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk minyak hati
halibut, dapat mengurangi risiko preeklamsia. Minyak ikan mengandung banyak asam lemak
tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktifasi trombosit,
dan mencegah vasokonstriksipembuluh darah. Beberapa peneliti telah mencoba melakukan
uji klinik untuk memakai konsumsi minyak ikan atau bahan yang mengandung asam lemak
tak jenuh dalam mencegah preeklamsia. Hasil sementara menunjukkan bahwa peneliti ini
berhasil baik dan mungkin dapat dipakai sebagai alternative pemberian aspirin. Beberapa
peneliti juga mengganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet perempuan hamil
mengakibatkan risiko terjdinya preeklamsi atau eklamsia. Penelitian di Negara Ekuador
Andes

dengan metode uji klinis, ganda tersamar, dengan membandingkan pemberian

kalsium dan placebo. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi
suplemen, kalsium cukup, kasus yang mengalami preeklamsia adalah 14 % sedang yang
diberi glikosa 17 %.6
Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas didalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal plasenta
juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa prosen apoptosis dan nekrotik trofoblas
akibat reaksi stress oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian
meranbgsang timbulanya proses inflamasi.pada kehamilan normal jumlah debris trofoblas
masi dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal.Berbeda
dengan proses apoptosis pada preeklamsia, dimana pada preeklamsia terjadi peningkatan
stree oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat.
Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda, maka
reaksi stress oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga
meningkat.Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh
24

lebih besar dibanding reaksi inflamsi pada kehamilan normal.respon inflamasi ini akan
mengaktifasi sel endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula sehingga
terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala pereklamsia pada ibu.
Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preklamsia akibat produksi debris
trofoblas palesenta berlebihan tersebut diatas, mengkibatkanaktifitas leukosit yang sanagt
tinggipada sirkulasi ibu.Peristiwa ini oleh redman disebut sebagaikekacauan adapatasi dari
proses inflamasi intravascular pada kehamilan yang biasanya berlangsung normal dan
menyeluruh.6
4.2.2 Patologi
Akibat gejala preeklampsia, proses kehamilan maternal terganggu karena terjadi perubahan
patologis pada sistem organ, yaitu :
1. Jantung
Perubahan pada jantung disebabkan oleh peningkatan cardiac afterload akibat hipertensi dan
aktivasi endotel sehingga terjadi ekstravasasi cairan intravaskular ke ekstraselular terutama
paru. Terjadi penurunan cardiac preload akibat hipovolemia.
2. Paru
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat yang mengalami kelainan
pulmonal maupun non-pulmonal setelah proses persalinan. Hal ini terjadi karena peningkatan
cairan yang sangat banyak, penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria,
penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang
diproduksi oleh hati.
3. Hati
Pada preeklampsia berat terdapat perubahan fungsi dan integritas hepar, perlambatan ekskresi
bromosulfoftalein, dan peningkatan kadar aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar
peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal
dari plasenta. Pada penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk, dengan menggunakan sonografi
Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri hepatika.
4. Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus menyeluruh pada satu atau beberapa arteri,
jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan
adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan adalah
preeklampsia yang ringan. Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia
merupakan gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh
25

perubahan aliran darah pada pusat penglihatan di korteks serebri maupun didalam retina
(Wiknjosastro, 2006)
5. Ginjal
Lesi khas pada ginjal pasien preeklampsia terutama glomeruloendoteliosis, yaitu
pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan penurunan perfusi dan
laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat terutama pada
preeklampsia berat. Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan
ringan sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume
plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kadar
normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus preeklampsia berat,
kreatinin plasma meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar
hingga 2-3 mg/dl. Hal ini disebabkan perubahan intrinsik ginjal akibat vasospasme yang
hebat (Cunningham, 2005). Kelainan pada ginjal biasanya dijumpai proteinuria akibat retensi
garam dan air. Retensi garam dan air terjadi karena penurunan laju filtrasi natrium di
glomerulus akibat spasme arteriol ginjal. Pada pasien preeklampsia terjadi penurunan
ekskresi

kalsium

melalui

urin

karena

meningkatnya

reabsorpsi

di

tubulus

(Cunningham,2005). Kelainan ginjal yang dapat dijumpai berupa glomerulopati, terjadi


karena peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul
tinggi, misalnya: hemoglobin, globulin, dan transferin. Protein protein molekul ini tidak
dapat difiltrasi oleh glomerulus.

6. Otak
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan auto regulasi tak berfungsi. Jika autoregulasi
tak berfungsi, penghubung antara endotel akan menyebabkan ekstravasasi plasma dan sel sel
darah keluar mengisi ruangan ekstravaskuler.
7. Darah
Kebanyakan pasien preeklamsi akan mengalami koagulasi intravaskuler (DIC) dan destruksi
eritrosit. Trombositopenua merupakan kelainan yang sangat sering biasanya <150.000/uL
itemukan pada 15-20% pasien dan level fibrinogen meningkat pada pasien preeklamsi
dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Jika ditemukan level
fibrinogen yang rendah pada pasien preeklamsia ditakutkan terjadinya abruption placenta.
Pada 10% pasien PEB dapat terjadinya HELLP syndrome dengan adanya tanda anemia
hemolitik,peningkatan enxim hati dan penurunan jumlah platelet.
26

8. Sistem Endokrin dan Metabolisme Air dan Elektrolit


Pada preeklampsia, sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang, proses sekresi
aldosteron pun terhambat sehingga menurunkan kadar aldosteron didalam darah.
Pada ibu hamil dengan preeklampsia kadar peptida natriuretik atrium juga meningkat. Hal ini
terjadi akibat ekspansi volume yang menyebabkan peningkatan curah jantung dan penurunan
resistensi vaskular perifer.
Pada pasien preeklampsia terjadi pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial yang
disertai peningkatan hematokrit, protein serum, viskositas darah dan penurunan volume
plasma. Hal ini mengakibatkan aliran darah ke jaringan berkurang dan terjadi hipoksia.
9. Akibat preeklampsia pada janin
Penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Hal ini
mengakibatkan hipovolemia, vasospasme, penurunan perfusi uteroplasenta dan kerusakan sel
endotel pembuluh darah plasenta sehingga mortalitas janin meningkat (Sarwono
prawirohardjo, 2009). Dampak preeklampsia pada janin, antara lain: Intrauterine growth
restriction (IUGR) atau pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, prematur, bayi lahir
rendah, dan solusio plasenta.

4.2.3 Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Diagnosis eklampsia dibuat berdasarkan adanya kejang yang bersifat umum, sekali atau
lebih diikuti atau tidak dengan koma, dan tidak ditemukan adanya kondisi neurologis
lainnya yang berhubungan dengan kejang tersebut. Kejang pada eklampsia biasanya
berlangsung 60-75 detik dan tidak lebih dari 3-4 menit. Tergantung dari waktu
terjadinya, eklampsia bisa terjadi antepartum, intrapartum dan post partum. Eklampsia
sebagian besar didahului oleh tanda tanda prodroma yang kita sebut dengan tanda tanda
imiment eklampsia atau impending eklampsia. Tanda-tanda tersebut sesuai dengan
tanda-tanda ensefalopati hipertensif.3
Kejang pada eklampsia dibagi menjadi 4 fase yaitu10 :
Fase 1. Tingkat awal atau aura. Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata
penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar, demikian pula tangan dan
kepala yang berputar ke kanan dan kiri.

27

Fase 2. Kemudian timbul tingkat kekejangan tonik yang berlangsung kurang lebih 30
detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku sehingga wajah terlihat kaku, tangan
menggenggam dan kaki membengkok ke dalam. Pernafasan berhenti, muka mulai
menjadi sianotik. Lidah dapat tergigit.
Fase 3. Stadium ini kemudian disusul tingkat kekejangan klonik yang berlangsung
antara 1-2 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi dan berulangulang dalam tempo waktu yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat
tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut keluar ludah yang berbusa, muka
menunjukkan kongesti dan sianosis. Penderita menjadi tidak sadar. Kejang ini dapat
sedemikian hebatnya, sehingga seringkali tubuh penderita terjatuh dari tempat tidur.
Akhirnya, kejang berhenti dan penderita menarik nafas secara mendengkur.
Fase 4. Penderita memasuki tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama.
Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula
bahwa sebelum itu muncul serangan baru dan berulang, sehingga penderita tetap dalam
koma.
Penderita juga dapat mengalami kenaikan suhu tubuh sampai di atas 39C yang
disebabkan karena perdarahan intraserebral, dimana kenaikan suhu tubuh ini
merupakan salah satu tanda prognosis yang buruk. Pada eklampsia yang terjadi
antepartum, bisa timbul tanda-tanda persalinan, demikian juga pada eklampsia yang
terjadi intrapartum, kontraksi yang sudah ada bisa bertambah kuat, sehingga harus
diwaspadai terjadinya solusio plasenta, terutama bila disertai dengan fetal bradikardia
yang lebih dari 5 menit. Keadaan berbahaya lainnya yang bisa mengikuti kejang adalah
adanya edema paru. Edema paru merupakan salah satu komplikasi akut eklampsia.
Edema paru adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada interstitial paru dan ruang
alveoli. Keadaan ini merupakan komplikasi akut eklampsia, yang bisa terjadi
bersamaan atau segera setelah kejang berlangsung. Tanda penting dari edema paru
adalah sesak nafas dan pada pemeriksaan fisik paru didapatkan ronkhi pada paru.
Edema paru disebabkan karena aspirasi pneumonitis atau karena gagal jantung. Selain
edema paru komplikasi lainnya adalah keluhan tentang hilangnya penglihatan pada
penderita eklampsia (cortical blindness) yang terjadi sekitar 10% dari kasus preeklampsia dan eklampsia. Kebutaan ini disebabkan oleh ablasio retina atau iskemia
lobus optikus. Keadaan ini biasanya reversibel dan penglihatan kembali normal
beberapa saat sampai 1 minggu setelah melahirkan.4
28

4.2.4 Komplikasi Eklampsia


Munro (2000) melaporkan beberapa komplikasi eklampsia yang terjadi pada pengamatan
sebanyak 383 penderita eklamsia di Southern General Hospital, Glasgow tahun 1999 sebagai
berikut11:

Depresi pernafasan

(87) 23 %

DIC

(33) 9 %

Sindrom HELLP

(27) 7 %

Gagal ginjal

(24) 6 %

Edema paru

(18) 5 %

ARDS

(7 ) 1,8%

CVA

(7)

1,8%

Gagal jantung

(6)

1,6 %

Kematian

(6)

1,6 %

4.2.5 Diagnosis Banding Eklampsia


Beberapa kondisi klinis yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding eklampsia adalah
sebagai berikut12 :
Penyakit serebrovaskular

: perdarahan intraserebral, thrombosis arteri serebral

Penyakit hipertensi

: ensefalopati hipertensif, pheochromcytoma

Space-occupying lesion

: tumor atau abses otak

Gangguan metabolik

: hipoglikemia, uremia

Infeksi

: meningitis, encephalitis

4.2.6 Pemeriksaan Penunjang

29

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk menunjang diagnosis eklampsia


adalah, sebagai berikut :
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Hitung trombosit
3. Elektrolit
4. Protein kuantitatif
5. Fungsi liver
6. Blood smear
7. Asam urat
8. Glukosa serum
Pemeriksaan elektromedik yang diperlukan adalah pemeriksaan CT scan kepala tanpa
atau dengan kontras. CT scan merupakan teknik pemeriksaan radiologis yang aman
untuk kehamilan bila dikerjakan setelah trimester pertama. Pertimbangan untuk
melakukan CT scan pada penderita eklampsia terutama pada penderita yang mengalami
kejang ulangan, atau mengalami kelainan hasil laboratorium yang bermakna. Gambaran
lesi otak yang biasanya nampak adalah edema serebri, khususnya didaerah lobus
oksipitalis, perdarahan serebral dan infark serebri. Pemeriksaan elektromedik yang
lebih superior dibandingkan dengan CT scan adalah Magnetic Resonance Imaging
(MRI) dan Magnetic Resonance Angiography (MRA). Namun penggunaan MRA
sangat terbatas pada eklampsia karena dalam waktu 2 minggu lesi otak tersebut sudah
menghilang diikuti dengan membaiknya gejala-gejala klinis. Hampir semua lesi otak
pada eklampsia bersifat reversibel, karena disebabkan oleh kegagalan mekanisme
otoregulasi atau vasospasme transien.4
Edema serebri pada penderita pre-eklampsia dan eklampsia berhubungan
dengan kelainan laboratorium akibat adanya disfungsi endotel. Pada sebuah penelitian
digunakan morfologi sel sel darah merah dan LDH sebagai indikator disfungsi endotel,
karena iregularitas dinding endotel itu akan menyebabkan disrupsi dari sel darah merah
menjadi schistocyte, anisocytes, microspherpcytes dan terjadi pelepasan LDH.
Pemeriksaan marker endotel hendaknya dilakukan pada penderita pre-eklampsia dan
eklampsia. Apabila terdapat abnormalitas sebaiknya segera diberikan terapi
antihipertensi untuk mencegah ensefalopati hipertensif.3,4
30

4.2.7 Penatalaksanaan Eklampsia


Kejang pada penderita eklampsia merupakan suatu life-threatening emergency yang
harus mendapatkan penanganan yang adekuat untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas ibu dan anak. Sebanyak 60% kematian maternal pada eklampsia disebabkan
karena perdarahan serebral yang disebabkan oleh karena peningkatan tekanan darah.
Pada prinsipnya penanganan eklampsia terdiri dari 5 hal penting yaitu3,4:

1. Menjaga jalan nafas ibu


Pada penderita eklampsia yang sedang mengalami kejang, mencegah tergigitnya
lidah dan aspirasi dari cairan sekresi yang berasal dari saluran makanan harus
menjadi prioritas utama penanganan eklampsia. Penderita dengan eklampsia
hendaknya ditempatkan pada tempat yang cukup terang, tidak gelap. Pada
waktu kejang, penderita ditempatkan sedemikian rupa sehingga kepala dalam
posisi miring ke kiri untuk memperbaiki aliran darah ke uterus, dan tempatkan
bantalan lidah untuk melindungi lidah agar tidak tergigit. Sekresi yang banyak
di rongga mulut segera dihisap, namun terlalu jauh masuk ke dalam rongga
mulut untuk menghindari reflek vagal. Untuk menjamin oksigenasi, berikan
oksigen sungkup 5-6 L/menit.
2. Menghentikan kejang dan mencegah kejang ulangan
Sampai saat ini MgSO4 merupakan obat pilihan untuk menghentikan kejang dan
mencegah serangan kejang ulangan pada penderita eklampsia. Kerja MgSO 4
tidak saja sebagai anti kejang, namun juga bersifat sebagai vasodilator serebral
dengan cara menghambat masuknya ion Ca2+ ke dalam sel melalui NMDA (NMethyl-D-aspartate) yang merupakan subtipe dari glutamate channel. Di
samping itu MgSO4 juga dapat memperbaiki fungsi endotel. MgSO4 dapat
diberikan secara intermiten maupun kontinyu dengan pompa infus.

31

Gambar 2. Efek antikonvulsan


Magnesium sulfat

Sebagai fungsi neuroprotektif, MgSO4 menurunkan terjadinya pinositosis yang


terjadi akibat kerusakan sawar darah otak akibat hipertensi akut. Terapi MgSO4
akan merestriksi perpindahan air dan elektrolit ke otak melalui transpor
transeluler, sehingga membatasi terjadinya formasi edema dan meningkatkan
hasil akhir dari segi klinis pada eklampsia.

32

Gambar 3. Efek vaskular dari


magnesium sulfat

Gambar 4. Efek magnesium sulfat pada edema serebri dan


sawar darah otak

33

Rekomendasi pemberian MgSO4 sebagai berikut7 :


1. Loading dose:
a. Berikan 4 gram MgSO4 20% intravena; 1 gram per menit
b. Berikan 10 gram MgSO4 50% intramuskular:
Kuadran atas sisi luar kedua bokong:

5 gram pada bokong kanan

5 gram pada bokong kiri

2. Dosis pemeliharaan :
Berikan MGSO4 5 gram 50% tiap 4 jam bergantian salah satu bokong
dalam waktu 24 jam.
3. Syarat pemberian MgSO4 adalah :
a. Refleks patela harus positif
b. Tidak ada tanda-tanda depresi pernapasan (respirasi lebih
dari16x/menit)
c. Produksi urin tidak kurang dari 25 cc/jam atau 150 cc/ 6 jam
4. Apabila terdapat kejang-kejang lagi, diberikan sekali saja MgSO4 dan
bila masih timbul kejang lagi dapat diberikan Pentotal 5 mg/kg berat
badan IV pelan.
5. Bila terdapat tanda-tanda keracunan MgSO4, berikan Kalsium glukonas
10% sebagai antidotum, 10 cc IV pelan selama 3 menit atau lebih
6. Apabila sebelumnya sudah diberikan pengobatan diazepam, maka
dilanjutkan dengan pengobatan MgSO4.
Pemberian MgSO4 dengan cara diatas memberikan kadar plasma obat dalam
batas batas dosis terapi yang aman yaitu 4-7 mEq/L. Namun penderita yang
mendapatkan pengobatan dengan MgSO4 tetap harus diamati kemungkinan
adanya gejala-gejala toksisitas, yaitu hilangnya reflek patela dan depresi sampai
henti nafas. Kedua tanda klinis itu harus diperiksa setiap jam. Karena MgSO 4
diekskresikan lewat ginjal, maka pada penderita dengan kelainan ginjal atau
oliguria (produksi urin < 100 cc per 4 jam) harus dilakukan pemeriksaan kadar
MgSO4 serum. Dosis awal MgSO4 yang diberikan pertama kali aman untuk
penderita yang mengalami gangguan fungsi ginjal, namun pada pemberian dosis
ulangan, pemeriksaan fungsi ginjal harus dilakukan dimana bila kadar kreatinin
serum melebihi 1,3 mg/dl , maka dosis MgSO4 diberikan setengah dari dosis
standar. Reflek patella akan menghilang pada kadar MgSO 4 mencapai 10
34

mEq/L. Bila melebihi

10-12 mEq/L maka terjadi sedangkan depresi

nafas dan bila kadar plasma MgSO4 melebihi 12 mEq/L akan terjadi paralisis
otot pernafasan. Bila terjadi tanda-tanda toksisitas tersebut maka MgSO 4 harus
segera dihentikan dan diberikan antidotumnya yaitu kalsium gluconas 1 gram
intravenous.
3.

Pengendalian tekanan darah dan mencegah komplikasi


Tujuan dari penurunan tekanan darah pada eklampsia adalah untuk menurunkan
risiko terjadinya perdarahan serebral, gagal jantung, infark miokard dan solusio
plasenta. Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu cepat karena dapat
membahayakan ibu dan janin. Target terapi pada eklampsia adalah menurunkan
tekanan darah segera sebesar 10 mmHg sistolik dan diastolik dari prapengobatan dan mempertahankan MABP < 125 mmHg , tetapi tidak boleh lebih
kecil dari 105 mmHg, atau diastolik 90-110 mmHg.
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan pada pemberian obat antihipertensi
pada eklampsia adalah kapan memulai terapi, obat apa yang digunakan, berapa
besar dosisnya, bagaimana memantaunya dan kapan menghentikan terapi
antihipertensi. Hipertensi pada umumnya harus diterapi tanpa memandang
penyebabnya untuk mengurangi risiko perdarahan serebral, namun pada
eklampsia seringkali tingginya tekanan darah tidak sesuai dengan beratnya
gejala klinis atau makin tingginya kemungkinan kejadian kejang. Sebagian ahli
tidak memberikan antihipertensi pada hipertensi ringan, dimana tekanan darah
sistolik 140- 160 mmHg dan diastolic 90-110 mmHg, namun pada saat ini telah
disepakati untuk memberikan antihipertensi pada tekanan darah sistolik > 160
mmHg dan diastolik > 109 mmHg. Target terapi yang harus dicapai adalah
MABP 105-125 mmHg yang bertujuan untuk mempertahankan sistem
otoregulasi serebral, tetapi tetap dapat mempertahankan sirkulasi uteroplasenta.
Harus diingat bahwa tingginya tekanan darah bukanlah satu-satunya faktor
predisposisi untuk menentukan prognosis penyakit. Beberapa tanda klinis dan
laboratorium lainnya seperti nilai hematokrit, protenuria, peningkatan enzim
hati, ada tidaknya tanda-tanda IUGR (Intra Uterine Growth Restriction) harus
tetap diamati. Jadi tujuan utama dari pengobatan antihipertensi adalah untuk
mencegah komplikasi yang berbahaya pada ibu akibat tingginya tekanan darah,
35

tetapi tetap dapat melindungi kehamilan dan janin yang dikandungnya.


Pemberian obat antihipertensi tidak dapat mengendalikan penyakit secara
keseluruhan. Morbiditas dan mortalitas hanya dapat dicegah dengan cara
melahirkan bayi.4
Obat antihipertensi yang yang direkomendasikan untuk hipertensi akut adalah3 :
Nama Obat

Onset

Dosis Pemberian

1. Hydralazine

10-20 menit

5-10 mg setiap 20 menit sampai maksimal 30mg

2. Labetalol

10-15 menit

10-20 mg IV, kemudian 40-80 mg setiap 10 menit


sampai maksimal 300 mg/hari, infus lanjut 1-2
mg/jam.

3. Nifedipine

5-10 menit

10 mg PO, diulang setiap 30 menit, kemudian 1020 mg setiap 4-6 jam sampai maksimal 240 mg/ 24
jam.

4. Sodium

0,5-5 menit

0,25- 5 ug/kg/min IV infusion. Risiko keracunan

Nitroprusside

sianida pada fetus jika pengobatan lama.

Diantara obat-obat antihipertensi di atas yang sering diberikan saat ini adalah
nifedipine oral. Meskipun belum direkomendasikan oleh POGI namun
pemakaian obat ini didukung oleh banyak penelitian. Penelitian meta analisis
yang membandingkan hidralasine, labetalol, nifedipine dan antihipertensi yang
lainnya telah dilakukan oleh Magee (2003) dengan hasil bahwa hidralasine
berhubungan

dengan

kecenderungan

terjadinya

hipertensi

persisten

dibandingkan dengan nifedipine dan antihipertensi lainnya, juga lebih sering


menimbulkan

palpitasi

dan

flushing

dibandingkan

dengan

nifedipine.

Disimpulkan bahwa pemakaian hidralasin menimbulkan efek samping lebih


banyak dibandingkan dengan nifedipine.4
Adapula panduan yang meggunakan batasan penggunaan obat
antihipertensi bila tekanan darah sistol lebih atau sama dengan 180 mmHg atau
diastol lebih dari atau sama dengan 110 mmHg dapat digunakan injeksi 1 ampul
clonidine ynag dilarutkan dalam 10 cc larutan ( mula-mula disuntikkan 5 cc
per;ahan-lahan selam 5 menit, 5 menit kemudian tekanan darah diukur, bila
belum ada penurunan maka diberikan lagi 5 cc intravena dalam 5 menit sampai
tekanan darah diatol normal dilanjutkan dengan nifedipne 3x 10 mg). Namun
36

bila tekanan darah sistol kurang dari 180 mmHg dan diastol kurang dari 110
mmHg antihipertensi yang dapat digunakan adalah Nifedipin 3x 10 mg. Tujuan
terapi adalah tercapainya penurunan tekanan darah diastolik sampai 100-110
mmHg. 4
Salah satu komplikasi dari eklampsia adalah edema paru dan dapat
dipertimbangkan pemberian diuretik dan apabila terdapat kelainan fungsi ginjal
(bila faktor renal sudah teratasi) diberikan furosemid injeksi 40 mg/im. Begitu
juga pemberian terhadap kardiotonika, diberikan atas indikasi misalnya adanya
tanda-tanda parah jantung.4
4.

Manajemen cairan atau memperbaiki keadaan umum ibu


Salah satu penyebab kematian ibu pada eklampsia adalah kegagalan
kardiorespirasi.

Pada

seorang

penderita

eklampsia

terjadi

vasospame

menyeluruh yang mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi organ. Studi


tentang volume cairan ekstravaskuler pada penderita pre-eklampsia-eklampsia
menunjukkan bahwa volume plasma menurun sampai 50% dibandingkan
dengan kehamilan normal. Penurunan volume plasma ini adalah akibat
maldistribusi volume cairan ekstraseluler. Selain itu pada pre-eklampsia juga
terjadi penurunan aliran darah ke ginjal . Keadaan ini memudahkan penderita
mengalami edema dan pemberian cairan harus mempertimbangkan keadaan ini.
Untuk mencegah terjadinya komplikasi iatrogenik seperti edema paru, gagal
jantung kiri, dan adult respiratory distress syndrome maka kesimbangan antara
cairan masuk dan keluar harus dimonitor. Untuk menambah tekanan onkotik
plasma, seringkali digunakan cairan koloid, namun belum ada bukti pemberian
ini lebih bermanfaat dibandingkan dengan cairan kristaloid. Kecepatan
pemberian cairan intravenous yaitu 80 cc/jam (1 ml/kg/jam). Terdapat
kontroversi apakah monitoring dengan CVP dapat membantu mengetahui
adanya overload cairan, sebab pada pre-eklampsia terdapat korelasi yang buruk
dengan volume plasma. Bila CVP dipakai untuk monitoring maka nilainya harus
dipertahankan pada nilai dibawah 5 cm H2O.
Secara rutin kristaloid sering dipakai untuk hidrasi sebelum tindakan anestesia
regional. Pada penderita ini ekspansi volume bisa menurunkan COP lebih lanjut
dan karena itu secara teoritis akan lebih menguntungkan bila menggunakan
37

kristaloid dibandingkan dengan koloid. Karena belum terdapat bukti jenis cairan
mana yang lebih baik dipakai, maka bila kristaloid yang dipakai untuk hidrasi
monitor PCWP dianjurkan. Jenis cairan yang digunakan adalah ringer laktat
atau ringer asetat. Ringer asetat dianggap memiliki kelebihan karena proses
pembentukan bikarbonat dari asetat terjadi di otot, sedangkan laktat menjadi
bikarbonat memerlukan fungsi hepar yang baik, dimana pada pre-eklampsia
sering terjadi gangguan hepar. 4
5.

Manajemen persalinan
Melahirkan bayi merupakan terapi definitif dari eklampsia. Semua kehamilan
dengan eklampsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan
keadaan janin. Bila penderita ada dalam persalinan atau persalinan per vaginam
memenuhi syarat, maka persalinan pervaginam merupakan cara yang terbaik
untuk penderita pre-eklampsia-eklampsia. Sikap dasar adalah bila kehamilan
diakhiri bila sudah terjadi stabilisasi (pemulihan). Stabilisasi hemodinamik dan
metabolisme ibu dapat dicapai dalam 4-8 jam setelah sa;ah satu atau lebih dari
keadaan berupa 1.) setelah pemberian obat anti kejang terakhir; 2.)setelah
kejang terakhir; 3.) setelah pemberian obat anti hipertensi terakhir; 4.) penderita
mulai sadar (responsif dan orientasi).
Untuk memulai persalinan hendaknya diperhatikan hal-hal seperti kejang sudah
dihentikan dan diberikan antikejang untuk mencegah kejang ulangan, tekanan
darah sudah terkendali, dan hipoksia telah dikoreksi. Induksi persalinan dapat
dilakukan bila hasil KTG normal. Pemberian drip oksitosin dilakukan bila nilai
skor pelvik 5. Pada skor pelvik yang rendah dan kehamilan masih sangat
preterm, seksio sesaria lebih baik dibandingkan dengan persalinan pervaginam.
Seksio sesaria dilakukan bila : 1.) syarat drip oksitosin tidak dipenuhi atau
adanya kontraindikasi drip oksitosin; 2.) persalinan belum terjadi dalam waktu
12 jam; 3.) bila hasil KTG patologis. Pada seksio sesaria, analgesia epidural
menjadi pilihan untuk anestesia, karena tidak mempengaruhi COP, aliran darah
ke plasenta tidak dipengaruhi dan pengendalian tekanan darah lebih baik.
Hipovolemia bisa terjadi pada pemakaian obat obat regional anestesia, karena
itu diperlukan loading cairan sebanyak 400-500 ml kristaloid sebelum anestesia
regional dilakukan untuk mencegah hipotensi dan fetal distress. Kontraindikasi
38

anesthesia regional adalah bila terdapat DIC, atau bila kadar trombosit dibawah
100.000. Pada keadaan dimana harus dilakukan anestesia umum, maka
perhatian terhadap kemungkinan adanya edema laring, yang dapat mempersulit
intubasi serta dapat menyebabkan obstruksi respirasi post-operatif atau henti
jantung harus diperhatikan. Laringoskop telah diketahui dapat menyebabkan
reflek hipertensi yang dapat memperburuk keadaan penderita. Ergometrin tidak
boleh diberikan, sehingga untuk mencegah perdarahan post partum dapat
diberikan infus oksitosin (40 IU/dalam dekstrose).4
6.

Manajemen post-partum
Setelah melahirkan penderita masih harus diawasi selama 24 jam. Obat
antihipertensi harus tetap diberikan sampai MABP <125 mmHg. Post partum
eklampsia biasanya terjadi dalam 24-48 jam setelah melahirkan, karena itu
terapi MgSO4 tetap harus diberikan sampai 24 jam post-partum atau 24 jam
setelah kejang terakhir. Pemeriksaan laboratorium dilakukan setelah 24 jam
persalinan.4

4.2.8 Penatalaksanaan preEklampsia


Tujuan utama perawatan preeklamsia mengurangi terjadinya kejang, perdarahan
intrakranial, dan end organ damage dan mempertahankan serta menyelamatkan janin dalam
kandungan ibu.
4.2.8.1 Preeklamsia Ringan
A. Sikap yang dilakukan :
1. Rawat jalan (ambulatoir)
a. Dianjurkan stirahat (berbaring/tidur miring), tetapi tidak mutlak harus tirah baring.
Pada umur kehamilan di atas 20 minggu, tirah baring dengan posisi miring
menurunkan tekanan pada vena kava inferior, sehingga meningkatkan aliran darah
balik dan akan menambah curah jantung. Hal ini berarti pula meningkatkan darah
ke organ-organ vital, menambah oksigenasi plasenta dan memperbaiki kondisi
janin dalam rahim.
b. Diet reguler : Tidak perlu diet khusus. Diberikan cukup protein; rendah karbohidrat
dan lemak.
c. Vitamin prenatal.
d. Tidak perlu restriksi konsumsi garam (2 gram natrium atau 4-6 gram garam dapur).
39

e. Pemeriksaan laboratorium : Hb, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap, fungsi ginjal
f. Tidak perlu pemberian diuretik, antihipertensi, dan sedativum.
g. Kunjungan ke rumah sakit tiap minggu.
2. Rapat inap (hospitalisasi)7
Indikasi preeklamsia ringan dirawat inap :
a. Hipertensi yang menetap selama > 1 minggu.
b. Proteinuria menetap selama > 1 minggu.
c. Hasil tes laboratorium yang abnormal.
d. Adanya gejala atau tanda satu atau lebih dari preeklamsia berat.
Pemeriksaan dan monitoring pada ibu :
a. Pengukuran tekanan darah setiap 4 jam
b. Pengamatan yang cermat adanya edema pada muka dan abdomen.
c. Penimbangan berat badan pada waktu ibu masuk rumah sakit dan penimbangan
dilakukan setiap hari untuk pengukuran tumbuh kembang janin.
d. Pengamatan dengan cermat gejala preeklamsia dengan impending eklamsia :
Nyeri kepala frontal atau oksipital
Gangguan visus
Nyeri kuadran kanan atas perut
Nyeri epigastrium
e. Pengukuran produksi urin setiap 3 jam (tidak perlu dengan kateter).
f. Pemeriksaan laboratorium :
a. Proteinuria pada dipstick pada waktu masuk dan sekurang-kurangnya diikuti 2
hari setelahnya.
b. Hematokrit dan trombosit dua kali seminggu.
c. Tes fungsi hepar dua kali seminggu.
d. Tes fungsi ginjal dengan pengukuran kreatinin serum, asam urat, dan BUN.
Pemeriksaan kesejahteraan janin :
a.
b.
c.
d.
e.

Pengamatan gerak janin setiap hari


Non-stress test dua kali seminggu
Profil biofisik janin bila NST non reaktif
Evaluasi pertumbuhan janin dengan USG setiap 3-4 minggu
Ultrasound Doppler arteri umbilikalis dan arteri uterina

Terapi medikamentosa yang diberikan untuk pasien preeklamsia ringan yang dirawat di
rumah sakit adalah pada dasarnya sama dengan terapi ambulatoir. Bila terdapat perbaikan
gejala dan tanda-tanda preeklamsia dan umur kehamilan 37 minggu, ibu masih perlu
diobservasi selama 2-3 hari kemudian boleh dipulangkan. Selama dirawat di Rumah Sakit,
lakukan konsultasi kepada bagian penyakit mata, bagian penyakit jantung, dan bagian lain
atas indikasi

40

B. Sikap terhadap kehamilannya (pengelolaan obstetrik) pada pasien preeklamsia ringan


tergantung dari usia kehamilan:
1.

Bila pasien tidak inpartu :


a. Umur kehamilan < 37 minggu :

Bila tanda dan gejala tidak memburuk, kehamilan dapat dipertahankan sampai aterm.
b. Umur kehamilan 37 minggu :
Kehamilan dipertahankan sampai timbul onset partus
Bila serviks matang pada tanggal taksiran persalinan dapat dipertimbangkan untuk
dilakukan induksi persalinan.
Persalinan dapat dilakukan secara spontan; bila perlu memperpendek kala II
2. Bila pasien sudah inpartu : lakukan persalinan.

4.2.8.2 Preeklamsia Berat


Tujuan pengelolaan preeklamsia berat mencakup pencegahan kejang, pengobatan
hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan
saat yang tepat untuk persalinan.
A. Sikap terhadap penyakitnya (terapi medikamentosa):
1. Segera masuk rumah sakit.
2. Tirah baring miring ke kiri secara intermitten.
3. Infus 5% Ringer Dekstrose jumlah tetesan < 125cc/jam atau infus Desktrose 5% yang
tiap 1 liternya diselingi infus Ringer Laktat (60-125 cc/jam) 500cc.
4. Monitoring input carian (melalui oral ataupun infus) dan output cairan (melalui urin).
5. Oligouria terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam.
6. Antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat
menghindari risiko aspirasi asam lambung.
7. Pemberian antikejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang.
Cara pemberian regimen MgSO4 dibagi menjadi loading dose dan maintenance dose.
Loading dose : 4 gram MgSO4 IV (40% dalam 10 cc) selama 15 menit.
Maintenance dose : Infus 6 gram dalam larutan Ringer/6 jam; atau diberikan 4-5
gram IM, selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram IM tiap 4-6 jam.
Syarat pemberian MgSO4 :
Tersedia antidotum MgSO4 bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas 10% (1
gram dalam 10 cc) diberikan IV dalam 3 menit.
41

Refleks patella normal.


Frekuensi pernapasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distres pernapasan.
Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya > 100 cc; 0,5 cc/kgBB/jam.
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda-tanda intoksikasi, setelah 24 jam post
partum, atau 24 jam setelah kejang terakhir.
Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4 maka diberikan salah satu obat
berikut :
Sodium thipental 100 mg IV
Diazepam 10 mg IV
Sodium amobarbital 250 mg IV
Phenytoin : dosis awal 1000 mg IV dilanjutkan 16,7 mg/menit/1 jam dilanjutkan
500 gram oral setelah 10 jam dosis awal dalam 14 jam.

8. Antihipertensi
Obat antihipertensi menurut Belfort diberikan bila tekanan darah 160/110
mmHg dan MAP 126.6 Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran obat
antihipertensi sudah diberikan bila tekanan darah 140/90.8
Jenis obat : Nifedipine 10-20 mg PO, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120
mg daam 24 jam.

Nifedipin tidak dibenarkan diberikan di bawah mukosa lidah (sublingual) karena

absorpsi terbaik adalah melalui saluran pencernaan makanan.


Tekanan darah diturunkan secara bertahap : (1) penurunan awal 25% dari tekanan
sistolik, (2) tekanan darah diturunkan sampai mencapai <160/105 mmHg atau MAP <
125 mmHg.
Nicardipine-HCl : 10 mg dalam 100 cc atau 250 cc NaCl/RL diberikan secara IV
selama 5 menit. Bila gagal dalam 1 jam dapat diulang dengan dosis 12,5 mg selama 5
menit. Bila masih gagal dalam 1 jam bisa diulangi sekali lagi dengan dosis 15 mg
selama 5 menit.
Metildopa merupakan agonis -adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti
hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat ini
menurunkan resistensi total perifer tanpa menyebabkan perubahan pada laju jantung
dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor
sentral -2 lewat -metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil dopa.
42

Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat -2 perifer lewat efek


neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi cairan
dan efek anti hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya
dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis
awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi 2-3
jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam
setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering
dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat
ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk
memberhentikan obat ini.9

9. Diuretik
Diuretik tidak dibenarkan diberikan secara rutin karena memperberat penurunan perfusi
uteroplasenta, memperberat hipovolemia, dan meningkatkan hemokonsentrasi.
Diuretik yang diberikan hanya atas indikasi :

Edema paru
Payah jantung kongestif
Edema anasarka

Diuretik yang diberikan adalah furosemid.


10. Diet : diberikan secara seimbang, hindari protein dan kalori berlebih.
B. Sikap terhadap kehamilannya (pengelolaan obstetrik) pada pasien dengan preeklamsia
berat meliputi :
1.

Perawatan konservatif/ekspektatif
Tujuan : (1) Mempertahankan kehamilan, sehingga mencapai umur kehamilan yang
memenuhi syarat janin dapat dilahirkan. (2) Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir
tanpa mempengaruhi keselamatan ibu.
a. Indikasi : Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai gejala dan tanda impending eklamsia
dengan keadaan janin baik.
b. Terapi medikamentosa :
43

Sama dengan terapi medikamentosa pada preeklamsia berat.


Bila penderita sudah kembali menjadi preeklamsia ringan, maka masih dirawat 2-3
hari lagi baru diizinkan pulang
Pemberian MgSO4 sama seperti pemberian MgSO4 seperti di atas, tetapi tidak
diberikan loading dose intravena, tetapi cukup intramuskular
Pemberian glukokortikoid diberikan pada umur kehamilan 32-34 minggu selama
48 jam.
c. Perawatan di Rumah Sakit (sama seperti rawat inap pada preeklamsia ringan)
d. Penderita boleh dipulangkan : bila penderita telah bebas dari gejala-gejala preeklamsia
berat, masih tetap dirawat 3 hari lagi baru diizinkan pulang.
e. Cara persalinan
Bila penderita tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai aterm.
Bila penderita inpartu, perjalanan persalinan diikuti seperti lazimnya.
Bila penderita inpartu, maka persalinan diutamakan per vaginam kecuali bila ada
2.

indikasi untuk sectio caesaria.


Perawatan aktif/agresif
a. Tujuan : terminasi kehamilan
b. Indikasi
Indikasi Ibu :
o Umur kehamilan 37 minggu
o Kegagalan terapi medikamentosa :
i. Setelah 6 jam sejak dimulai terapi medikamentosa, terjadi kenaikan tekanan
ii.

c.
d.

darah yang persisten.


Setelah 24 jam sejak dimulainya terapi medikamentosa, terjadi kenaikan

tekanan darah yang persisten.


o Tanda dan gejala impending eklamsia
o Gangguan fungsi hepar
o Gangguan fungsi ginjal
o Dicurigai terjadi solusio plasenta
o Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, dan perdarahan.
o Indikasi Janin :
o Adanya tanda-tanda fetal distress
o IUGR berdasarkan pemeriksaan USG
o NST non reaktif dan profil biofisik abnormal
o Timbulnya oligohidramnion
o Indikasi Laboratorium :
o Trombositopenia progresif, yang menjurus ke sindroma HELLP.
Terapi medikamentosa (sama seperti di atas)
Cara persalinan
Persalinan sedapat mungkin diarahkan pervaginam.

Penderita belum inpartu :

44

o Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop 8. Bila perlu dilakukan


pematangan serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah
mencapai kala II dalam waktu 24 jam. Bila tidak, induksi persalinan dianggap

gagal dan harus disusul dengan sectio caesarea.


o Indikasi sectio caesarea :
i. Tidak ada indikasi untuk persalinan pervaginam
ii. Induksi persalinan gagal
iii. Terjadi gawat janin
iv. Umur kehamilan < 33 minggu
Penderita sudah inpartu :
o Perjalanan persalinan diikuti dengan grafik Friedman
o Memperpendek kala II
o Sectio caesarea dilakukan apabila terdapat kegawatan ibu dan gawat janin
o Primigravida direkomendasikan sectio caesarea
o Anestesi : regional anestesi, epidural anestesi.

4.2.3.3 Penatalaksanaan post partum


Menurut NICE Clinical Guidelines tentang manajemen penyakit hipertensi dalam
kehamilan, perawatan post partum dari wanita dengan preeklamsia meliputi:

Pengukuran tekanan darah minimal 4 kali sehari selama berada di rumah sakit.
Observasi keluhan pasien setiap kali mengukur tekanan darah.
Pemeriksaan jumlah trombosit, transaminase, dan kreatinin serum 48-72 jam post
partum.
Pemeriksaan carik celup urin untuk mendeteksi proteinuria. Apabila proteinuria masih

+2, maka dianjurkan melakukan pemeriksaan ulang 3 bulan lagi untuk mengevaluasi fungsi
ginjal.

45

KESIMPULAN
Eklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang disebabkan langsung
oleh kehamilan itu sendiri.
adalah kelainan akut pada wanita hamil dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan
timbulnya kejang dan atau koma. Sebelumnya wanita ini menunjukkan gejala-gejala
preeklampsia berat. (kejang timbul bukan akibat kelainan neurologik).
Etiologi penyakit ini sampai sekarang belum dapat diketahui dengan pasti. Diagnosis
ditegakkan melalui anamnesis danp emerikasan lainnya yang menunjang. Berbagai
komplikasi pre-eklampsia dan ekalmpsia dapat menyebabkan mortalitas dan mortalitas pada
ibu dan janin yang dapat terjadi seperti solusio plasenta, hipofibrinogenemia hemolisis,
perdarahan otak, kelainan mata, edema paru-paru, nekrosis hati, Sindroma HELLP
Komplikasi yang berat ialah kematian ibu dan janin.
Penatalaksanaan pada pre-eklampsia dan eklampsia terdiri dari tindakan konservatif
untuk mempertahankan kehamilan da ntindakan aktif sesuai dengan usia kehamilan ataupun
adanya komplikasi yang timbul pada pengobatan konservetif. Pada pre-eklampsia dan
eklampsia harus diobservasi kesejahteraan janin dan ibu. Sedangkan untuk terminasi
kehamilan pada Eklampsi harus dilakukan sesegera mungkin tanpa memandang usia
kehamilan, karna eklampsia dapat mengancam keselamatan ibu.

46

DAFTAR PUSTAKA
1.

Report of the national High Blood Pressure Education Program Working Group on High
Blood Pressure in Pregnancy, 2001, Am Fam Physician, 64: 263-70

2.

Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Penatalaksanaan Hipertensi dalam Kehamilan.


Jakarta:

Perkumpulan

Obstetri

dan

Ginekologi

Indonesia.

Available

at:

http://www.pogi.or.id.
3.

The American Congress of Obstetrician and Gynecologist. Hypertension in Pregnancy.


bstetrics & Gynecology, Vol. 122, No. 5, November 2013

4.

Deeker GA. Risk Factor for Preeclamsia. Clinical Obstetrics and Gynecology, 1999,
42:422-35

5.

Churchill D, Beevers DG. Definitions and Classification System of the Hypertensive


Disoreders in Pregnancy in Churcill D, Beevers DG. Hypertensiom. BMJ Books, London
1999.

6.

Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH, eds. Ilmu Kebidanan. 4th ed. Jakarta:
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2010.

7.

Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Penatalaksanaan Hipertensi dalam Kehamilan.


Jakarta:

Perkumpulan

Obstetri

dan

Ginekologi

Indonesia.

Available

at:

http://www.pogi.or.id.
8.

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. Rekomendasi Preeklamsi Berat. Perkumpulan


Obstetri dan Ginekologi Indonesia.

9.

Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY (eds). Williams
Obstetrics. 23rd ed, New York: McGraw Hill, 2010.

10. National Collaborating Centre for Womens and Childrens Health. Hypertension in
Pregnancy: the management of hypertensive disorders in Pregnancy. London: Royal
College of Obstetricians and Gynaecologists, 2011.

47

You might also like