Professional Documents
Culture Documents
OLEH
KELOMPOK V (KELAS C) :
NIA HASNIATI
KARTINI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang komplek dan khas, serta
memiliki daya dukung cukup besar terhadap lingkungan sekitarnya. Hutan mangrove
terletak di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan pulau-pulau kecil, dan
merupakan potensi sumber daya alam yang sangat potensial. Hutan mangrove
memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi.
Keberadaan hutan mangrove di ekosistem sangat penting karena mereka
memiliki potensi ekologis dan ekonomi. Hutan mangrove memiki peran penting
sebagai nursery area dan habitat dari berbagai macam ikan, udang, kerangkerang dan
lain-lain. Di hutan ini pula banyak sumber-sumber nutrient yang penting sebagai
sumber makanan banyak species khususnya jenis migratory seperti burung-burung
pantai. Hutan mangrove juga berperan sebagai green belt yang melindungi pantai dari
erosi karena gelombang laut atau badai tsunami juga memerangkap sediment sebagai
aktivitas akresi. Lebih lanjut, mangrove memberikan kontribusi yang signifikan pada
produktifitas estuarine dan pesisir melalui aliran energi dari proses dekomposisi
serasah. Rantai makanan yang tergantung pada mikroba dan hasil dekomposisi
tumbuhan sangat mendukung berbagai jenis hewan yang tinggal di dalamnya.
Pentingnya keberadaan hutan mangrove juga diikuti dengan rentannya hutan ini
terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan, melestarikan,
dan mengelolanya. Kondisi hutan mangrove umumnya memiliki tekanan berat,
sebagai akibat dari tekanan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Selain dirambah
dan dialihfungsikan, kawasan mangrove di beberapa daerah kini marak terjadi.
Keberadaan hutan mangrove sekarang ini cukup mengkhawatirkan karena
ulah manusia untuk kepentingan konversi lahan sebagai tambak, pemukiman,
perhotelan, ataupun tempat wisata. Oleh karena itu sepanjang pesisir utara Jawa
hutan-hutan mangrove ditebang secara legal maupun illegal. Aktivitas ini mampu
menurunkan populasi mangrove hingga lebih dari 50% dalam kurun waktu 30 tahun.
Ekosistem hutan mangrove merupakan himpunan antara komponen hayati dan
non hayati yang secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi
membentuk suatu sistem. Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua
komponen tersebut, maka akan dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada
baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya.
Kelangsungan suatu fungsi ekosistem sangat menentukan kelestarian dari
sumberdaya hayati sebagai komponen yang terlibat dalam sistem tersebut. Dengan
demikian, untuk menjamin kelestarian sumber daya hayati, perlu diperhatikan
hubungan ekologis yang berlangsung di antara komponen-komponen sumber daya
alam yang menyusun suatu sistem. Oleh karena itu, penulisan makalah ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui tentang ekosistem mangrove, mencakup penyebab
kerisakan atau masalah yang terjadi pada ekosistem mangrove disertai dengan
penanggulangannya agar kelestaraian tetap terjaga dan pengelolaannya dapat
dilakukan secara efektif.
B. Identifikasi Masalah
1. Luas kawasan hutan mangrove di Indonesia menurun dari tahun ke tahun,
didukung bebrapa bukti atau data dibawah ini:
a. Berdasarkan Jurnal Teknologi Lingkungan (Vol. 7 no.3), penelitian yang
dilakukan oleh Kusno Wibowo (2006), luas kawasan hutan mangrove
pada tahun 1903 adalah 6450 ha. Keadaan ini menurun setiap tahun, dan
berdasarkan pengamatan peneliti, pada tahun 1992, luas kawasan hutan
mangrove menjadi 1800 ha.
b. Menurut (Dephut, 1994; Soenarko, 2002), di Indonesia luas hutan
mangrove terus menurun dari 5.209.543 ha (1982) menjadi 3.237.700 ha
(1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ekosistem Mangrove
Kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Melayu manggi-manggi dan
bahasa Arab el-gurm menjadi mang-gurm, keduanya sama-sama berarti Avicennia
(api-api), pelatinan nama Ibnu Sina, seorang dokter Arab yang banyak
laut. Wilayah mangrove mempunyai ekosistem yang rumit dan mempunyai kaitan
baik dengan ekosistem darat maupun ekosistem lepas pantai.
B. Manfaat Hutan Mangrove
Peranan ekosistem mangrove yang unik dan penting telah diketahui oleh
orang banyak. Mangrove dibagi menjadi dua bagian, dipandang dari sudut ekosistem
dan dari sudut komponennya. Dari sudut ekosistem, dilihat dari kegunaan kawasan
hutan mangrove secara utuh, termasuk daerah littoral dan pantai di sekitarnya, untuk
berbagai keperluan dan kesejahteraan umat manusia dan lingkungan secara umum.
Sedangkan dari sudut komponen, dilihat komponen biotik utama terutama tumbuhan
yang banyak dipergunakan untuk keperluan manusia.
Secara ekologis, hutan mangrove dapat menjamin terpeliharanya lingkungan
fisik, seperti penahan ombak, angin, dan intrusi air laut, serta tempat
perkembangbiakan berbagai jenis kehidupan laut, seperti ikan, udang, kepiting dan
jenis hewan lainnya.di smaping itu, hutan mangrove juga merupakan habitat bagi
satwa liar seperti monyet, ular, berang-berang, biawak, dan burung. Selain itu,
Adapun arti penting keberadaan hutan mangrove pada aspek ekonomi dapat
dibuktikan dari kegiatan manusia dengan memanfaatkan kawasan hutan mangrove
untuk mencari kayu dan menjadikannya objek wisata alam. Menurut Toro et al.,
(1991), produk udang windu di perairan segara anakan tahun 1968 - 1982 berkisar
dari 5,575 ton sampai dengan 104,70 ton. Produksi yang berasal dari perairan segara
anakan menyumbang 4,68 % pada periode 1967-1971; sebesar 1,77 %; pada periode
1972-1979, dan 8,39 % pada periode 1980-1982. Jadi hutan mangrove memberikan
sumbangan yang cukup besar bagi produksi perikanan.
Manfaat hutan mangrove yang terpenting bagi daerah pesisir adalah menjadi
penyambung antara darat dan laut, seperti peredam gejala-gejala alam yang
ditimbulkan oleh perairan, seperti abrasi, gelombang, badai dan juga menjadi
penyangga bagi kehidupan biota lainnya.
C. Kerusakan pada Kawasan Hutan Mangrove
produktif, sehingga dicari lahan baru seperti di Irian, Sulawesi, Kalimantan, dan
Maluku. Beberapa tambak besar di Indonesia merupakan milik pengusaha Thailand.
Mereka memindahkan lokasi usahanya ke Indonesia karena areal pertambakan di
negerinya tidak lagi produktif akibat kerusakan ekosistem mangrove (Martinez-Alier,
2001). Pembuatan tambak di sekitar muara sungai dan dataran pantai utara Jawa
menyebabkan perubahan vegetasi muara secara nyata. Ekosistem mangrove hanya
tersisa pada tempat-tempat tertentu yang sangat terisolasi atau ditanam di tepi tambak
yang berbatasan dengan pantai atau sungai untuk mencegah abrasi.
Berdasarkan penelitian Setiawan (2003), di sepanjang pantai utara Jawa
menunjukkan adanya tambak-tambak ikan yang dikelola secara intensif hingga jauh
ke arah daratan. Hampir semua pantai yang mengalami sedimentasi membentuk
dataran lumpur dan memiliki ekosistem mangrove diubah menjadi areal tambak.
Secara intensif hal ini berlangsung antara lain di pantai Indramayu, Brebes,
Pekalongan, Demak, Pati, Rembang, Lamongan, Gresik dan Situbondo, meskipun
beberapa areal tambak tampaknya tidak lagi produktif akibat perubahan kondisi
hidrologi, edafit (tanah sulfat asam), penyakit dan pencemaran lingkungan. Hal ini
dapat dijumpai di Brebes, Situbondo dan Probolinggo dimana ratusan hektar tambak
beserta sarana produksinya dibiarkan rusak tidak terurus.
2. Penebangan Hutan
Kerusakan ekosistem mangrove tidak hanya terjadi di luar kawasan hutan
namun juga di dalam hutan yang dikelola Perhutani. Berdasarkan identifikasi
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutaan Sosial Departemen Kehutanan,
kerusakan mangrove di dalam hutan mencapai 1,7 juta hektar (44,73%), sedangkan di
luar hutan mencapai 4,2 juta hektar (87,5%). Penebangan hutan hingga tingkat yang
tidak memungkinkan penyembuhan secara alami merupakan ancaman serius bagi
ekosistem mangrove (Hasmonel et al., 2000).
3. Reklamasi
Reklamasi pantai untuk kepentingan industri dan pelabuhan telah banyak
dilakukan di pantai utara Jawa. Di pantai ini kawasan pasang surut seluas 8000 ha dan
sedimen luar biasa. Setiap tahun sungai Citanduy mengangkut 5 juta m3 sedimen dan
sungai Cikonde/Cimeneng 770.000 m3, dimana sebagian besar diendapkan di Segara
Anakan.
Sedimentasi di pantai pantai utara Jawa, tampaknya tidak banyak
mempengaruhi ekosistem mangrove walaupun sangat merugikan perekonomian.
Sedimentasi merupakan faktor dinamis yang mendorong terbentuknya ekosistem
mangrove, namun sedimentasi yang berlebih di Segara Anakan akan mengubur
laguna dan merubahnya menjadi ekosistem daratan. Pada saat ini luasan Segara
Anakan diperkirakan hanya tinggal 600ha, dengan kedalaman pada saat surut tidak
lebih dari 50 cm.
5.
Pencemaran Lingkungan
Kawasan mangrove merupakan habitat antara laut dan daratan, sehingga
pencemaran yang terjadi di laut maupun di daratan dapat berdampak pada kawasan
ini. Sekitar 80% pencemaran di laut berasal dari daratan, seperti dari industri,
pertanian, dan rumah tangga. Sumber pencemar terbesar di laut berasal dari aliran
permukaan dari daratan (44%), emisi pesawat terbang (33%), pelayaran dan
tumpahan minyak (12%), pembuangan limbah ke laut (10%), dan kegiatan
penambangan lepas pantai (1%). Bahan pencemar seperti minyak, sampah, dan
limbah industri dapat menutupi akar mangrove sehingga mengurangi kemampuan
respirasi, osmoregulasi, dan mati. Tumpahan minyak mendapat perhatian besar
karena menyebabkan banyak kerusakan jangka panjang pada ekosistem mangrove,
sedangkan logam berat memiliki toksisitas, persistensi dan prevalensi yang sangat
tinggi.
Selama paruh akhir abad ke-20 kebutuhan industri di negara-negara maju
akan minyak bumi berkembang pesat, sehingga operasi pelayaran kapal tangker
berlangsung sangat intensif. Salah satu akibatnya adalah kecelakaan kapal tangker
dimana jutaan liter minyak bumi tumpah ke laut dan tersebar hingga kawasan pesisir
di sekitarnya. Kejadian terbaru adalah tenggelamnya kapal tangker Prestige yang
membawa 76 juta liter minyak di pantai utara Spanyol pada bulan Nopember 2002.
Kecelakaan kapal tangker paling terkenal adalah tenggelamnya Exxon Valdez pada
tahun 1989 di Alaska yang menyebabkan tumpahnya 40 juta liter minyak bumi.
Dampak tumpahan minyak akibat kecelakaan kapal tangker masih akan
terasa hingga puluhan tahun kemudian. Meskipun lapisan minyak telah hilang dari
permukaan air, hidrokarbon minyak masih tetap bertahan dalam sedimen pada
kedalaman 6-28 cm. Degradasi minyak bumi sangat lambat bahkan setelah 30 tahun.
Hal ini disebabkan ketiadaan oksigen dan sulfat dari sedimen yang dibutuhkan bakteri
pendegradasi untuk bertahan hidup. Di kawasan tropis laju degradasi minyak
biasanya lebih cepat, hambatan degradasi selain akibat sifat sedimen mangrove yang
anaerob, juga karena tingginya konsentrasi tannin pada lumpur mangrove sehingga
menghambat kehidupan bakteri pendegradasi.
Pengaruh tumpahan minyak pada sedimen mangrove dapat berlangsung
selama puluhan tahun, namun di kawasan tropis setahun setelah terjadinya tumpahan,
restorasi mangrove sudah dapat dilakukan. Semakin lama masa jeda, maka semakin
tinggi tingkat keberhasilan pertumbuhan propagule. Hal ini tergantung pada jenis
minyak yang tumpah, tipe tanah, pola pasang-surut dan intensitas hujan.
harus diperhatikan mangrove jenis apa yang cocok dengan karakteristik desa
tersebut. Menurut BPLHD Prov. Jawa Barat pada tahun 2006, Dinas Kelautan
dan Perikanan Kab. Subang telah melaksanakan pemeliharaan sempadan dengan
penanaman 7200 pohon api-api di Desa Mayangan dengan menggunakan pola
green-belt, namun mangrove yang baru ditanam sudah rusak lagi terkena ombak.
Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pun perlu diperhatikan, karena
keterlibatan masyarakat akan menciptakan hasil yang lebih baik sehingga rasa
tanggung jawab bersama akan terbina yang nantinya menghasilkan hasil yang
baik. Berdasarkan kuosioner kepada 21 orang responden di Desa Mayangan, 7
orang tidak pernah mengikuti kegiatan rehabilitasi di Desa Mayangan, 6 orang
tidak mengetahui pengetahuan tentang kegiatan rehabilitasi, dan 8 orang tidak
mengetahui model rehabilitasi apa yang cocok untuk diterapkan di desa mereka.
2. Membangun breakwater (pemecah ombak) yang berfungsi untuk meredam
gelombang, sehingga memberikan kesempatan kepada tanaman bakau untuk
tumbuh dan berkembang. Sebelum membangun breakwater perlu diketahui
terlebih dahulu tipe ombaknya.
pemerataan luas lahan bagi masyarakat. Harapan ini dapat terwujud dengan catatan
tidak ada pemilik modal yang menguasai lahan secara berlebihan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2006) di daerah
Blanakan, Subang, ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengelola tambak dalam
penerapan sistem mina hutan antara lain menjaga perbandingan hutan dan tambak
sebesar 80% hutan dan 20% kolam. Dengan pengembangan mina hutan secara lebih
tertata dan perbandingan antara hutan dan tambak sebesar 80% : 20%, diharapkan
dapat meningkatkan produksi per satuan luas. Harapan tersebut didasarkan
pada`asumsi bahwa hutan di sekitar kolam yang lebih baik akan meningkatkan
kesuburan kolam dengan banyaknya detritus, yang secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap produksi. Di samping itu, hutan yang lebih baik akan menjadi
tempat mengasuh anak yang cukup bagi udang, melindungi udang dari suhu tinggi
dan menyediakan makanan yang lebih banyak bagi udang dan ikan.
Adapun sistem mina hutan yang dapat diaplikasikan adalah sistem empang
parit dan komplangan (sistem empang parit inti). Sistem empang parit adalah sistem
mina hutan dimana hutan bakau berada di tengah dan kolam berada di tepi
mengelilingi hutan. Sebaliknya komplangan adalah sistem mina hutan dengan kolam
di tengah dan hutan mengelilingi kolam.
Penerapan kegiatan mina hutan di kawasan ekosistem hutan mangrove
secara umum diharapkan dapat mencegah perusakan kawasan tersebut oleh
masyarakat karena akan memberikan alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat
di kawasan tersebut. Sedangkan untuk perambah hutan, dapat disediakan lapangan
kerja sebagai pedagang dengan menjadikan kawasan mina hutan sebagai kawasan
wisata sseperti yang terjadi di Blanakan dan Cikeong, Bali, dan Sinjai Sulawesi
Selatan. Dengan demikian, kawasan mina hutan dapat bergungsi ganda yaitu menjaga
dan memelihara ekosistem serta menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Beradsarkan permasalahan-permaslahan yang
disimpulkan bahwa:
1. Kerusakan yang terjadi pada kawasan hutan mangrove dapat disebabkan oleh
ulah manusia, misalnya penambakan secara liar, penebangan hutan secara liar,
reklamasi, sedimentasi dan pencemaran lingkungan. Sedangkan kerusakan yang
bersifat alami diantaranya karena adanya hama tanaman dan abrasi.