Professional Documents
Culture Documents
Kehadiran Vero diantara kami seolah membuka mataku, bahwa kehidupan tidak sesempit itu.
Vero bilang, nantinya aku pasti akan memerlukan teman di luar sana selain Rion. Dia juga
bilang, dunia ini luas dan kehidupan itu sulit. Aku pasti membutuhkan lebih dari satu orang
untuk membantuku menjalaninya dengan baik. Selain itu tidak mungkin Rion selamanya ada
di sisiku. Aku masih ingat jelas apa yang Vero katakan saat itu. Entah apa maksudnya
mengatakan itu, yang pasti aku masih merasa bahwa ucapannya benar.
Aku meneguk coklat panas yang kini mulai dingin digenggamanku. Mataku tertuju pada
sebuah foto lama yang terselip dibalik buku diaryku. Foto itu diambil 7 tahun yang lalu,
sebelum Vero pindah ke Amerika bersama ayahnya. Foto itu menunjukkan kami tampak
sangat bahagia saat itu. Namun, tak lama dari foto itu di ambil. Aku menyaksikan kejadian
yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku melihat Rion menangis. Seingatku Rion itu
anak laki-laki yang kuat, bahkan saat ia jatuh dari pohon dan harus merasakah beberapa
jahitan pun ia tak menangis sama sekali. Entah kenapa saat Vero pergi, ia menangis. Kejadian
itulah yang membuat aku menyadari, bahwa rasa sayang Rion terhadap Vero berbeda dengan
apa yang ia rasakan terhadapku.
Saat itu,aku memberanikan diri untuk menghampirinya. Aku berharap setidaknya
kehadiranku bisa mengurangi kesedihannya.
Kok Rion nangis sih? Nanti kan Vero bisa balik lagi ke sini.
Aku lihat dia buru-buru menyeka air matanya.
Aku bukan nangis karena Vero kok Rain.
Aku ngga pernah liat Rion nangis dan sampai kapanpun aku juga ngga mau liat Rion
nangis.
Rion kembali menyeka air matanya yang belum benar-benar kering lalu mengelus-elus
rambutku.
Aku janji ngga akan nangis lagi deh Rain.
Nah gitu dong. Kan kata papa anak laki-laki itu ngga boleh nangis. Aku janji kok ngga bakal
ninggalin Rion seperti Vero. Jadi, Rion ngga boleh sedih lagi ya.
Aku yang masih begitu polos saat itu langsung memeluk kakakku itu dengan erat. Aku hanya
tahu cara itu untuk menenangkan Rion. Karena Rion seringkali memelukku saat aku sedih.
Dan saat aku kehilangan Bayu, aku baru benar-benar mengetahui apa yang Rion rasakan saat
itu.
Karena itu pulalah aku sangat bahagia saat Vero kembali. Sejak kepergian mama, aku sudah
tidak bisa lagi menepati janjiku kepada Rion untuk tidak meninggalkannya dan membuatnya
sedih. Karenanya aku membutuhkan Vero, untuk membuat Rion bahagia. Setidaknya
walaupun kini aku tidak bisa lagi disisinya, Rion masih punya orang-orang yang
mencintainya dan senantiasa mensupportnya. Kehadiran Tama dan Vero membuat perasaanku
sedikit lega. Saat ini, aku masih belum bisa menerima Rion kembali. Masih ada sesuatu yang
mengganjal dalam hatiku yang membuat aku belum bisa memaafkannya dan aku tidak tahu
kapan ini akan berakhir. Karena sebenarnya, aku sangat merindukan Rion, merindukan
kebersamaan kami seperti dahulu. Aku tahu ada perasaan dan ikatan yang tak biasa diantara
aku dan Rion yang membuat keadaan ini semakin sulit untuk aku jalani.
Tiba-tiba aku menerima sebuah pesan masuk diponselku. Pesan itu dari Tama, aku pun
langsung membukanya.
Rion bilang, cepat lihat keluar. Akhirnya pelangi yang kita tunggu muncul juga.
Aku menengok keluar jendela dan tersenyum melihat ada pelangi di atas sana. Ternyata Rion
tidak pernah melupakan janjinya untuk memberitahuku kalau ada pelangi muncul. Aku pun
membalas pesan Tama dengan singkat.
Aku sudah tahu. Tapi, terima kasih karena sudah menepati janji.
Pesan dari Rion barusan benar-benar membuat aku semakin merindukannya. Aku ingin
menemani dia saat dia terbaring lemah seperti sekarang. Namun, aku masih tak mengerti,
hatiku belum juga tergerak untuk melakukan hal-hal yang harusnya aku lakukan. Aku cuman
bisa berharap, semoga Tuhan bersedia membuka hatiku untuk bisa menerima Rion kembali.
***
Rain memberanikan diri memasuki kamar orang tuanya saat ayahnya tak ada di rumah. Sudah
seminggu sejak kepergian ibundanya, namun kesedihan belum juga pergi dari hatinya. Dia
berniat mengambil beberapa helai pakaian ibundanya sekedar untuk mengobati kerinduannya
pada sang ibu. Saat tengah mencari pakaian favorit ibunya, Rain menemukan sebuah kotak di
dalam lemari itu. Karena penasaran, Rain membukanya. Matanya langsung terpaku pada
sebuah amplop bertuliskan Panti Asuhan Cahaya Kasih. Warna kertasnya yang sudah usang
menunjukkan bahwa amplop itu telah lama sekali berada di dalam kotak itu. Rain yang pada
awalnya hanya ingin membawa beberapa helai baju saja, kini turut membawa surat itu ke
kamarnya. Pasti ada sesuatu yang tidak ia ketahui di dalam amplop itu.
Setelah memastikan pintu kamarnya tertutup rapat, Rain membuka amplop itu dan
menemukan sebuah surat di dalamnya. Surat persetujuan adopsi, begitu yang tertera pada
bagian atas surat itu. Seketika Rain merasa tubuhnya melemas, pikirannya sudah kacau hanya
dengan membaca kalimat itu. Surat adopsi berada di dalam kotak pribadi ibundanya, itu
artinya sudah bisa dipastikan salah satu diantara ia dan Rion bukanlah anak kandung dalam
keluarga ini. Meski ia takut, ia tetap harus membaca surat itu untuk mengetahui
kebenarannya. Betapa hancur hatinya ketika melihat tahun 1989 tertera pada tahun
pembuatan surat itu. 1989 adalah tahun kelahiran Rion. Nama Rion dan kedua orang tuanya
pun tertera jelas pada isi surat itu. Rain membuag kertas itu jauh-jauh darinya. Kenyataan
pahit apalagi yang kini harus diterimanya. Bagaimana mungkin kakak yang sangat
dicintainya bukanlah kakak kandungnya sendiri? Terlebih lagi Rion menjadi penyebab
kepergian ibundanya. Rain sudah tidak bisa lagi membendung emosinya, dilemparnya
seluruh barang yang ada dihadapannya. Ia merasakan sedih dan marah disaat yang bersamaan
saat ini.
Mas rion, aku benci kamu. Aku benci karena kamu yang menjadi penyebab kematian mama.
Aku benci karena ternyata kamu hanya orang asing dalam keluarga ini. Aku benci diriku
sendiri karena terlalu tergantung padamu. Aku benci kamu mas Rion.