You are on page 1of 4

WITHOUT RAIN

Rain, cepat kesini! panggilku.


Gadis kecil dengan rambut kuncir kuda khasnya itu berlari menghampiriku. Baju lusuh
dan kotor yang dikenakannya untuk bermandi hujan sedari tadi itu sama sekali tak
menghilangkan sisi kelembutan yang terlihat dari wajahnya. Gadis kecil bernama Rain itu
berlari secepat mungkin ke arahku. Dia tahu pasti apa yang ingin ku tunjukkan padanya.
Sebuah pelangi yang belakangan ini sangat jarang muncul saat hujan reda. Pelangi adalah hal
special buatnya. Rain pernah bilang, pelangi itu adalah tanda seluruh dunia bersukacita atas
kelahirannya. Sedikit menyombongkan diri memang, namun bagiku semua itu benar adanya.
Rain, gadis itu memang lahir disaat hujan dan hanya nama itu yang terlintas dibenak
kedua orang tua kami saat Rain menangis untuk pertama kalinya. Bayi kecil mungil itu kini
sudah tumbuh besar dan sangat menyukai filosofis namanya itu. Aku sangat membenci
kehadiran Rain pada awalnya. Makhluk kecil itu seakan menenggelamkan duniaku dan
merebut seluruh perhatian kedua orangtuaku. Akhirnya waktu lah yang menyadarkan aku,
betapa gadis kecil itu telah menjelma menjadi sosok yang sangat aku butuhkan. Rain adalah
salah satu hal terpenting dalam hidupku. Seandainya bisa, semua waktu yang kupunyai akan
kuhabiskan bersamanya.
Banyak orang yang bilang, adikku itu sangat manja karena selalu bergantung padaku.
Padahal,mereka salah besar. Akulah anak manja yang bergantung pada adikku sendiri. Aku
ulangi, akulah yang bergantung pada Rain, bukan sebaliknya. Karena aku lebih
membutuhkannya daripada dia membutuhkanku. Setidaknya, itulah yang kurasakan selama
ini.
Kini,gadis kecil itu telah duduk disisiku. Sesekali aku mengamati pandangannya yang
tak sedetikpun lepas dari pelangi itu. Tak lama, akhirnya pelangi itu menghilang dan raut
wajahnya pun langsung berubah kecewa.
Yaaaah, pelanginya udahan Yon. Serunya. Aku mengacak-acak rambutnya sambil
tersenyum. Kita tunggu yang berikutnya yaa.. jawabku seadanya. Pelangi yang berikutnya,
entah kapan akan muncul lagi, pikirku. Nyatanya momen itu sudah menjadi barang langka
saat ini. Tiba-tiba, Rain menyandarkan kepalanya ke bahuku. Jari-jari kecilnya pun mulai
menyelinap ke sela-sela telapak tanganku yang ukurannya jauh lebih besar dari tangannya.
Kelakuan Rain yang seperti ini selalu sukses membuat jantungku berdetak lebih cepat dari
biasanya, sekaligus membuat aku nyaman. Ah, kenapa perasaan gila ini selalu muncul saat
aku bersama Rain. Perasaan yang membuatku merasakan saat itu dunia hanya milik kami
berdua. Sebuah perasaan yang semestinya tak dimiliki seorang kakak terhadap adik
kandungnya sendiri.
Yon, kalau kamu disuruh milih, kamu pilih aku atau Vero? pertanyaan Rain seketika
membuyarkan pikiranku. Pertanyaan itu sebenarnya cukup sulit, karena Vero, dia juga orang
yang sangat special untukku. Aku terdiam cukup lama, memikirkannya jawabannya saja
sebenarnya sudah membuatku pusing, apalagi kalau aku harus menjawabnya.
Bodoh ya aku nanya itu, sudah pasti kamu milih Vero. Dia kan pacar. Belum selesai Rain
bicara, aku sudah memotongnya. Aku pilih kamu. Jawabku mantap pada akhirnya. Kedua
gadis itu memang orang penting dalam hidupku, tapi aku tidak mungkin memilih orang asing
yang kini telah meninggalkanku dibanding Rain, adikku sendiri yang selau ada disisiku.

Rain mengangkat kepalanya dan mengarahkan wajahnya ke arahku. Tatapannya tiba-tiba


menjadi lebih serius. Jangan bilang, Vero belum tahu perasaan kamu yang sebenarnya?
tanyanya. Aku pun menggeleng. Sudah pasti Rain kecewa mendengarnya. Mungkin baginya
kakaknya ini adalah seorang pengecut sejati. Laki-laki yang tak pernah berani menyatakan
perasaannya pada gadis yang disukainya sampai gadis itu pergi.
Semoga kamu ngga akan pernah nyesalin itu deh yon.. Sebuah jawaban singkat yang cukup
menusuk ke dalam hatiku. Ya, semoga aku tidak akan menyesalinya, gumamku dalam hati.

Rain Kehadiran Vero


Hari ini hujan. Sedari pagi hujan sedikitpun tidak menunjukkan tanda bahwa ia akan pergi.
Aku mengamati suasana hujan diluar sana dari balik jendela kamarku. Secangkir coklat panas
dan buku diary masih setia menemani kesendirianku dari tadi.Sedang tidak ada orang di
rumah sekarang. Ayah dan Vero sedang menemani Rion yang tak kunjung diperbolehkan
pulang oleh dokter. Sementara aku memilih untuk tidak pergi. Terlalu banyak hal yang
mengusik pikiranku belakangan ini. Kini, aku hanya ingin sendiri.
Aku memandangi halaman belakang rumah. Dulu tempat itu adalah tempat favoritku di
rumah ini. Terlalu banyak kenangan yang terjadi disana yang mungkin tak akan mungkin bisa
aku lupakan. Aku ingat betul saat dulu Rion selalu menggendongku kesana saat hujan
berhenti turun.Kami menunggu pelangi disana, entah yang kami tunggu itu akan hadir atau
tidak. Menantinya saja sudah membuat kami bahagia.
Ada satu momen yang hingga kini begitu membekas di hatiku. Entah kenapa momen itu tibatiba terlintas dibenakku. Aku teringat saat Rion pertama kali membawa Vero ke rumah dan
mengenalkan gadis itu padaku.
Rain, ini Vero. Mulai sekarang, dia jadi teman kita. Jadi, kamu harus bersikap baik juga ya
sama dia. Pinta Rion saat itu.
Entah kenapa saat itu, aku langsung meninggalkan mereka berdua dan langsung berlari
menuju kamarku. Aku tak mengerti apa yang aku rasakan saat itu, hanya saja aku merasa
gadis yang tampak lebih tua dari Rion itu akan menjadi orang ketiga diantara kami.
Sejak saat itu, hampir setiap hari Vero datang ke rumah kami. Bahkan, orang tua kami mulai
menganggap Vero sebagai anak mereka sendiri. Semakin aku beranjak dewasa, aku pun
semakin menyadari bahwa kehadiran Vero bukanlah sesuatu yang buruk untuk aku dan Rion.
Sebelum Vero datang, aku adalah anak kecil yang tertutup. Aku merasa aku tidak pernah
punya teman akrab. Yang aku tahu hanya Rion, kakak kandungku sendiri. Rion adalah candu
buat aku, untuk alasan apapun aku hanya ingin Rion terus bersamaku. Pikirku dulu, Rion itu
sudah lebih dari cukup untuk membuat hidupku bahagia.

Kehadiran Vero diantara kami seolah membuka mataku, bahwa kehidupan tidak sesempit itu.
Vero bilang, nantinya aku pasti akan memerlukan teman di luar sana selain Rion. Dia juga
bilang, dunia ini luas dan kehidupan itu sulit. Aku pasti membutuhkan lebih dari satu orang
untuk membantuku menjalaninya dengan baik. Selain itu tidak mungkin Rion selamanya ada
di sisiku. Aku masih ingat jelas apa yang Vero katakan saat itu. Entah apa maksudnya
mengatakan itu, yang pasti aku masih merasa bahwa ucapannya benar.
Aku meneguk coklat panas yang kini mulai dingin digenggamanku. Mataku tertuju pada
sebuah foto lama yang terselip dibalik buku diaryku. Foto itu diambil 7 tahun yang lalu,
sebelum Vero pindah ke Amerika bersama ayahnya. Foto itu menunjukkan kami tampak
sangat bahagia saat itu. Namun, tak lama dari foto itu di ambil. Aku menyaksikan kejadian
yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku melihat Rion menangis. Seingatku Rion itu
anak laki-laki yang kuat, bahkan saat ia jatuh dari pohon dan harus merasakah beberapa
jahitan pun ia tak menangis sama sekali. Entah kenapa saat Vero pergi, ia menangis. Kejadian
itulah yang membuat aku menyadari, bahwa rasa sayang Rion terhadap Vero berbeda dengan
apa yang ia rasakan terhadapku.
Saat itu,aku memberanikan diri untuk menghampirinya. Aku berharap setidaknya
kehadiranku bisa mengurangi kesedihannya.
Kok Rion nangis sih? Nanti kan Vero bisa balik lagi ke sini.
Aku lihat dia buru-buru menyeka air matanya.
Aku bukan nangis karena Vero kok Rain.
Aku ngga pernah liat Rion nangis dan sampai kapanpun aku juga ngga mau liat Rion
nangis.
Rion kembali menyeka air matanya yang belum benar-benar kering lalu mengelus-elus
rambutku.
Aku janji ngga akan nangis lagi deh Rain.
Nah gitu dong. Kan kata papa anak laki-laki itu ngga boleh nangis. Aku janji kok ngga bakal
ninggalin Rion seperti Vero. Jadi, Rion ngga boleh sedih lagi ya.
Aku yang masih begitu polos saat itu langsung memeluk kakakku itu dengan erat. Aku hanya
tahu cara itu untuk menenangkan Rion. Karena Rion seringkali memelukku saat aku sedih.
Dan saat aku kehilangan Bayu, aku baru benar-benar mengetahui apa yang Rion rasakan saat
itu.
Karena itu pulalah aku sangat bahagia saat Vero kembali. Sejak kepergian mama, aku sudah
tidak bisa lagi menepati janjiku kepada Rion untuk tidak meninggalkannya dan membuatnya
sedih. Karenanya aku membutuhkan Vero, untuk membuat Rion bahagia. Setidaknya
walaupun kini aku tidak bisa lagi disisinya, Rion masih punya orang-orang yang
mencintainya dan senantiasa mensupportnya. Kehadiran Tama dan Vero membuat perasaanku
sedikit lega. Saat ini, aku masih belum bisa menerima Rion kembali. Masih ada sesuatu yang
mengganjal dalam hatiku yang membuat aku belum bisa memaafkannya dan aku tidak tahu
kapan ini akan berakhir. Karena sebenarnya, aku sangat merindukan Rion, merindukan
kebersamaan kami seperti dahulu. Aku tahu ada perasaan dan ikatan yang tak biasa diantara
aku dan Rion yang membuat keadaan ini semakin sulit untuk aku jalani.

Tiba-tiba aku menerima sebuah pesan masuk diponselku. Pesan itu dari Tama, aku pun
langsung membukanya.
Rion bilang, cepat lihat keluar. Akhirnya pelangi yang kita tunggu muncul juga.
Aku menengok keluar jendela dan tersenyum melihat ada pelangi di atas sana. Ternyata Rion
tidak pernah melupakan janjinya untuk memberitahuku kalau ada pelangi muncul. Aku pun
membalas pesan Tama dengan singkat.
Aku sudah tahu. Tapi, terima kasih karena sudah menepati janji.
Pesan dari Rion barusan benar-benar membuat aku semakin merindukannya. Aku ingin
menemani dia saat dia terbaring lemah seperti sekarang. Namun, aku masih tak mengerti,
hatiku belum juga tergerak untuk melakukan hal-hal yang harusnya aku lakukan. Aku cuman
bisa berharap, semoga Tuhan bersedia membuka hatiku untuk bisa menerima Rion kembali.
***
Rain memberanikan diri memasuki kamar orang tuanya saat ayahnya tak ada di rumah. Sudah
seminggu sejak kepergian ibundanya, namun kesedihan belum juga pergi dari hatinya. Dia
berniat mengambil beberapa helai pakaian ibundanya sekedar untuk mengobati kerinduannya
pada sang ibu. Saat tengah mencari pakaian favorit ibunya, Rain menemukan sebuah kotak di
dalam lemari itu. Karena penasaran, Rain membukanya. Matanya langsung terpaku pada
sebuah amplop bertuliskan Panti Asuhan Cahaya Kasih. Warna kertasnya yang sudah usang
menunjukkan bahwa amplop itu telah lama sekali berada di dalam kotak itu. Rain yang pada
awalnya hanya ingin membawa beberapa helai baju saja, kini turut membawa surat itu ke
kamarnya. Pasti ada sesuatu yang tidak ia ketahui di dalam amplop itu.
Setelah memastikan pintu kamarnya tertutup rapat, Rain membuka amplop itu dan
menemukan sebuah surat di dalamnya. Surat persetujuan adopsi, begitu yang tertera pada
bagian atas surat itu. Seketika Rain merasa tubuhnya melemas, pikirannya sudah kacau hanya
dengan membaca kalimat itu. Surat adopsi berada di dalam kotak pribadi ibundanya, itu
artinya sudah bisa dipastikan salah satu diantara ia dan Rion bukanlah anak kandung dalam
keluarga ini. Meski ia takut, ia tetap harus membaca surat itu untuk mengetahui
kebenarannya. Betapa hancur hatinya ketika melihat tahun 1989 tertera pada tahun
pembuatan surat itu. 1989 adalah tahun kelahiran Rion. Nama Rion dan kedua orang tuanya
pun tertera jelas pada isi surat itu. Rain membuag kertas itu jauh-jauh darinya. Kenyataan
pahit apalagi yang kini harus diterimanya. Bagaimana mungkin kakak yang sangat
dicintainya bukanlah kakak kandungnya sendiri? Terlebih lagi Rion menjadi penyebab
kepergian ibundanya. Rain sudah tidak bisa lagi membendung emosinya, dilemparnya
seluruh barang yang ada dihadapannya. Ia merasakan sedih dan marah disaat yang bersamaan
saat ini.
Mas rion, aku benci kamu. Aku benci karena kamu yang menjadi penyebab kematian mama.
Aku benci karena ternyata kamu hanya orang asing dalam keluarga ini. Aku benci diriku
sendiri karena terlalu tergantung padamu. Aku benci kamu mas Rion.

You might also like