You are on page 1of 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1.

Definisi
Delirium adalah suatu keadaan yang ditandai dengan adanya gangguan

kesadaran yang terjadi secara akut yang disertai dengan kurangnya daya perhatian
maupun perubahan fungsi kognitif dan gangguan fungsi persepsi. Delirium bukan
merupakan suatu penyakit, melainkan manifestasi klinis dari suatu keadaan
mental yang abnormal yang bersifat sementara dan biasanya terjadi secara
mendadak,

dimana

penderita

mengalami

penurunan

kemampuan

dalam

memusatkan perhatiannya dan menjadi linglung, mengalami disorientasi dan


tidak mampu berpikir secara jernih. Pasien mungkin akan mengalami hiperaktif
delirium (agitasi, kurang istirahat, selalu berkeinginan untuk melepas kateter,
maupun emosional yang labil), hipoaktif delirium (afek datar, apatis, dan menarik
diri dari lingkungan).1,2
II.2. Etiologi
Hampir semua penyakit medis, intoksikasi atau medikasi dapat
menyebabkan delirium. Seringkali delirium merupakan multifaktorial dalam
etiologinya. Dibawah ini merupakan multifaktorial etiologi:3,4
1. Penyebab reversible antara lain:
1. Hipoksi
2. Hipoglikemia
3. Hipertermia
4. Antikolinergik delirium
5. Putus alkohol atau sedatif
Perubahan struktural :
1. Trauma tertutup kepala atau perdarahan cerebral
2. Kecelakaan
cerebrovaskular
antara
lain

infark

perdarahansubarachnoid, hipertensif encephalopathi


3. Tumor kepala primer maupun metastase.
4. Abses otak
Akibat metabolik
1. Gangguan air dan elektrolit, gangguan asam basa, hipoksia.
2. Hipoglikemia
3

cerebri,

3. Gagal ginjal atau gagal hati.


4. Defisiensi vitamin terutama thiamine dan cyanocobalamin.
5. Endokrinopati terutama berhubungan dengan tiroid dan paratiroid
Keadaan hipoperfusi :
1.
2.
3.
4.
2.

Syok
CHF (Congestif heart failure).
Cardiac aritmia.
Anemia
Infeksi

1. Infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis


2. Ensephalitis
3. Infeksi otak yang berhubungan dengan HIV
4. Septicemia
5. Pneumonia
6. URTI (urinaria tractus infection )
3. Toksik :
1. Intoksikasi substansi illegal : alkohol, heroin, ganja, LSD
2. Delirium yang dipicu oleh obat antara lain : Antikolinergik
(Benadryl, tricyclic antidepressant), Narkotik (meperidine), Hipnotik
sedatif

(benzodiazepine),

Kortikosteroid Antihipertensif

Histamine-2

blocker

(cimetidine),

(methyldopa,reserpine), Antiparkinson

(levodopa)
4. Penyebab lainnya :
1. Lingkungan yang tidak nyaman bagi pasien demensia menjadi pencetus
delirium
2. Retensio urin, gangguan tidur, perubahan lingkungan.
II.3.

Epidemiologi
Angka kejadian delirium di Amerika Serikat cukup banyak yaitu sekitar

14-56 % dari seluruh pasien lansia yang dirawat. Delirium dijumpai pada 10-22 %
penderita lansia saat awal masuk rumah sakit, dan meningkat 10-30 % setelah
perawatan di rumah sakit. Delirium juga banyak didapat pada pasien yang dirawat

di ICU (Intensive Care Units) yaitu sekitar 40% dari seluruh pasien ICU.
Sebanyak 80% pasien delirium berkembang menjadi kritis.5
Pasien yang menderita delirium mempunyai rasio mortalitas sebesar 10-26
%. Delirium umumnya dapat mengenai semua usia, namun kejadian terbanyak
dialami oleh pasien lansia. Pasien lansia dan pasien yang selesai menjalani operasi
mengakibatkan lama rawat inap yang lebih lama, meningkatknya komplikasi,
meningkatknya biaya pengobatan, dan kelumpuhan jangka panjang.6
II.4.

Patofisiologi
Tanda dan gejala delirium merupakan manifestasi dari gangguan neuronal,

biasanya melibatkan area di korteks serebri dan reticular activating system. Dua
mekanisme yang terlibat langsung dalam terjadinya delirium adalah pelepasan
neurotransmiter yang berlebihan (kolinergik muskarinik dan dopamin) serta
jalannya impuls yang abnormal. Aktivitas yang berlebih dari neuron kolinergik
muskarinik pada reticular activating system, korteks, dan hipokampus berperan
pada gangguan fungsi kognisi (disorientasi, berpikir konkrit, dan inattention)
dalam delirium. Peningkatan pelepasan dopamin serta pengambilan kembali
dopamin yang berkurang misalnya pada peningkatan stress metabolik. Adanya
peningkatan dopamin yang abnormal ini dapat bersifat neurotoksik melalui
produksi oksiradikal dan pelepasan glutamat, suatu neurotransmiter eksitasi.
Adanya gangguan neurotransmiter ini menyebabkan hiperpolarisasi membran
yang akan menyebabkan penyebaran depresi membran.5 Berdasarkan tingkat
kesadarannya, delirium dapat dibagi tiga:
1. Delirium hiperaktif
Ditemukan pada pasien dalam keadaan penghentian alkohol yang tibatiba,intoksikasi Phencyclidine (PCP), amfetamin, dan asam lisergic dietilamid
(LSD)5
2. Delirium hipoaktif
Ditemukan pada pasien Hepatic Encefalopathy dan hiperkapnia5
3. Delirium campuran5

Mekanisme delirium belum sepenuhnya dimengerti. Delirium dapat


disebabkan oleh gangguan struktural dan fisiologis. Hipotesis utama adalah
adanya gangguan yang irreversibel terhadap metabolisme oksidatif otak dan
adanya kelainan multipel neurotransmiter.5
Asetilkolin
Obat-obat anti kolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan acute confusional
states dan pada pasien dengan gangguan transmisi kolinergik seperti pada
penyakit Alzheimer. Pada pasien dengan post-operative delirium, aktivitas serum
antikolinergik meningkat.7
Dopamin
Di otak terdapat hubungan reciprocal antara aktivitas kolinergik dan
dopaminergik. Pada delirium, terjadi peningkatan aktivitas dopaminergik.5
Neurotransmitter lain
Serotonin: Ditemukan peningkatan serotonin pada pasien hepatic encephalopathy
dan sepsis delirium. Agen serotoninergic seperti LSD dapat pula menyebabkan
delirium.5
Cortisol dan beta-endorphins: Pada delirium yang disebabkan glukokortikoid
eksogen terjadi gangguan pada ritme circadian dan beta-endorphin.5
Mekanisme inflamasi
Mekanisme inflamasi turut berperan pada patofisiologi delirium, yaitu karena
keterlibatan sitokoin seperti intereukin-1 dan interleukin-6, Stress psikososial dan
gangguan tidur berperan dalam onset delirium.8
Mekanisme struktural
Formatio retikularis batang otak adalah daerah utama yang mengatur perhatian
kesadaran dan jalur utama yang berperan dalam delirium adalah jalur tegmental
dorsalis yang keluar dari formatio reticularis mesencephalic ke tegmentum dan
6

thalamus. Adanya gangguan metabolik (hepatic encephalopathy) dan gangguan


struktural (stroke,trauma kepala) yang mengganggu jalur anatomis tersebut dapat
menyebabkan delirium.5
II.5. Manifestasi Klinis
Gejala delirium sangat beragam dan, walaupun tidak spesifik, sifatnya
yang fluktuatif sangat nyata dan merupakan indikator diagnostik yang sangat
penting. Terdapat tiga bentuk delirium yang telah diketahui, yaitu: tipe hiperaktif,
hipoaktif, dan campuran. Tipe hipoaktif seringkali tidak dikenali dan dihubungkan
dengan prognosis yang buruk secara keseluruhan. Tipe ini juga sering terjadi pada
pasien yang usianya cenderung lebih tua. Gangguan yang penting melibatkan
suatu hendaya fungsi kognitif yang akut dan menyeluruh yang mempengaruhi
kesadaran, perhatian, memori dan kemampuan perencanaan dan organisasi.
Gangguan lain, misalnya pola tidur yang berubah, gangguan proses pikir, afek,
persepsi dan tingkat keaktifan, walaupun dipandang tidak bermakna mempunyai
kontribusi yang besar dalam mengidentifikasi dan menatalaksana delirium.9
Menurut DSM-IV-TR, pasien delirium menunjukkan gambaran klinis
sebagai berikut:
1. Gangguan kesadaran, penurunan kemampuan untuk fokus, inatensi, dan
penurunan kesadaran terhadap lingkungan.10
2. Perubahan kognisi atau gangguan persepsi termasuk penurunan memori,
disorientasi dan gangguan bahasa.10
3. Kedua konsisi di atas yang berkembang dalam 10-24 jam dan berfluktuasi
setiap harinya.10
Terdapat beberapa manifestasi klinis terkait dengan delirium yang
ditunjukkan pada Tabel 1. Pasien lansia dengan delirium terkadang tidak
menunjukkan kelainan maupun perubahan tingkah laku.11
Tabel 1. Manifestasi Klinis Delirium
Gambaran Utama

Gambaran Variabel

Onset akut

Gangguan Persepsi

Berfluktuasi

Hiper/Hipoaktif

Inatensi

Gangguan siklus tidur

Disorganisasi dalam berpikir dan

Gangguan Emosional

berbahasa
Gangguan Kesadaran
Defisit Kognisi
Pemeriksaan Fisik
Disarthria

Disfungsi Otonom
Takikardi

Disomnia

Hipertensi

Disgrafi

Berkeringat

Afasia

Dilatasi pupil

Ataksia
Tremor
Mioklonus
Dikutip dari: Inouye SK. Delirium in Older Persons. NEJM; 354:1157-65.

II.6.

Penegakkan Diagnosis
Diagnosis delirium pada pasien demensia cukup sulit karena gejala

delirium dan demensia yang saling tumpang tindih. Suatu penelitian dilakukan
untuk mengidentifikasikan gejala delirium yang khas pada pasien demensia untuk
membantu penegakan diagnosis delirium. Pasien demensia yang mengalami
delirium memperlihatkan lebih banyak agitasi psikomotor, disorientasi, dan
pikiran yang tidak terorganisasi.9
Secara klinis penegakkan diagnosis delirium dapat menggunakan DSM IVTR. Di bawah ini adalah kriteria diagnostik delirium berdasarkan DSM IV-TR;
keempat kriteria ini harus dipenuhi untuk menegakkan diagnosis delirium.9
8

Tabel 2. Kriteria Diagnostik Delirium Berdasarkan DSM IV-TR


A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kewaspadaan terhadap lingkungan)
dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan dan
mengalihkan perhatian
B. Perubahan kognisi (seperti kemunduran ingatan, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau adanya gangguan persepsi yang tidak dapat dimasukkan ke
dalam pre-demensia, demensia yang sudah ada atau demensia yang sedang
muncul.
C. Gangguan berlangsung dalam waktu yang singkat (biasanya jam sampai
beberapa hari) dan cenderung untuk berfluktuasi selama berlangsungnya.
D. Adanya bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan penemuan
pemeriksaan laboratorium yang mengindikasikan bahwa gangguan ini
merupakan konsekuensi fisiologis dari kondisi medis umum.
Dikutip dari: Andri, 2007. Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan
Delirium Pasien Giriatri. Maj Kedokt Indon, Volum:57, Nomor:7.
Untuk kesempurnaan fenomenologi delirium tercermin pada kriteria
diagnostik International Classification of Disease 10 (ICD 10).12

Tabel 3. Kriteria Diagnostik Delirium Berdasarkan ICD 10


A. Penurunan kesadaran dan atensi
B. Gangguan kognisi (distorsi persepsi, ilusi, dan halusinasi visual, kelemahan
dalam berpikir, dengan atau tanpa delusi, kelemahan dalam mengingat memori
singkat, disorientasi waktu, tempat, dan orang)
C. Gangguan psikomotor (hipo-hiperaktivitas, meningkat atau menurunnya alur
bicara)
D. Gangguan tidur atau siklus bangun (insomnia, untuk beebrapa kasus yang
parah daat terjadi hilangnya waktu tidur total, rasa kantuk yang

berkepanjangan, gejala yang bertambah berat pada malam hari, mimpi buruk
yang terkadang berlanjut dengan halusinasi saat terbangun)
E. Gangguan emosional, seperti depresi, kecemasan, ketakutan, euforia, apatis,
mudah marah, kebingungan)
Dikutip dari: Burns, A.; Gallagley, A. And Bayne, J. 2002. Delirium. J Neurol
Neurosurg Psychiatry. 75:362-367.
Selain itu terdapat alat bantu lain yang biasa digunakan di kalangan nonpsikiater yaitu Confusion Assesment Method (CAM). CAM memiliki 4 komponen
diagnostik, antara lain:
1. Onset akut dan gejala yang berfluktuasi
2. Inatensi
3. Kegagalan dalam mengorganisasi pikiran
4. Gangguan kesadaran
Dalam mendiagnosis delirium, harus terdapat kriteria 1 dan 2, dengan atau
tanpa 3 maupun 4. CAM memiliki Positive Pridictive Value sebesar 90% dan
Negative Predictive Value sebesar 90-100 %.13
Cognitive Test for Delirium (CTD) berkembang sebagai metode alternatif
untuk diagnosis delirium yang hanya semata-mata berdasarkan gambaran kognitif.
CTD memberikan pemeriksaan terperinci mengenai fungsi neuropsikologikal
(orientasi, perhatian, memori, komprehensi, dan konsentrasi) dan baik diunakan
pada penderita dengan keterbatasan kemampuan dalam berinteraksi akibat
immobilitas, intubasi, dan tidak adanya kempuan verbal. Oleh karena itu, metode
ini dibuat untuk digunakan pada kondisi intensive care di mana penderita dapat
mengalami gangguan verbal dan motorik. Metode ini hanya memerlukan respons
nonverbal dalam bentuk pointing, menganggukkan kepala, atau mengangkat
tangan.14
CTD terdiri dari lima subtes yang menunjukkan orientasi (orientation),
rentang

perhatian

(comprehension)

(attention

span),

pertimbangan

memori

konsepsi

(memory),

(conceptual

komprehensi

reasoning),

dan

kewaspadaan (vigilance). Skor mentah dari masing-masing subtes dikonversi


dalam bentuk skor yang berkisar dari 0-6, yang kemudian dijumlahkan untuk
10

mendapat skor total 0-30. Skor yang semakin kecil menunjukkan semakin
besarnya kemungkinan delirium.14
Selain itu penting bagi klinisi untuk membedakan antara delirium,
demensia, dan depresi. Tabel di bawah ini akan menunjukkan perbedaan antara
delirium, demensia, dan depresi.
Tabel 4. Perbedaan antara Delirium, Demensia, dan Depresi
Delirium
Akut
Berfluktuasi
Terganggu
Inatensi
Lemah pada

Demensia
Tersembunyi
Progresif
Baik
Normal
Lemah pada

memori jangka

memori jangka

Cara Berpikir

pendek
Disorganisasi,

pendek
Kesulitan dalam

Rendah diri, dan

Persepsi

tidak logis
Misinterpretasi,

pemikiran abstrak
Normal

putus asa
Dapat terjadi delusi

Onset
Tipe Gejala
Kesadaran
Atensi
Memori

halusinasi,

Depresi
Bervariasi
Harian
Baik
Lemah
Normal

yang kompleks.

delusi
Psikosis paranoid
Dikutip dari: Suzanne, Penelope, J., Webster, Balakrishnan, R., 2008. Delirium in
the Elderly: A Review. Oman Medical Journal 2008, Volume 23, Issue 3.
II.7.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan delirium tentunya tidak terpisah dari penyebabnya.

Identifikasi penyakit yang mendasari serta pengobatannya secara tepat perlu


dilakukan. Pasien dengan gangguan medis umum yang disertai dengan delirium
akan menjalani masa tinggal rumah sakit yang lebih lama daripada yang tidak
mengalami delirium. Delirium sendiri dapat menimbulkan komplikasi lain yang
banyak terjadi pada pasien, misalnya geriatri seperti jatuh dan infeksi. Pasien
dengan delirium juga biasanya lebih membutuhkan perawatan di institusi.
II.7.1. Terapi Non Farmakologis

11

Lingkungan di sekitar pasien memegang peranan yang sangat penting


dalam proses perbaikan kondisi delirium ataupun saat delirium sudah teratasi. Hal
ini disebabkan pada saat pasien pulang dari perawatan terkadang terdapat gejala
sisa delirium sehingga keluarga dan pengasuh memainkan peran penting dalam
perawatan pasien terutama di rumah. Pengasuh dan keluarga pasien dapat
memberikan bantuan psikososial yang bersifat mendorong pasien untuk dapat
kembali kepada fungsi awal sebelum terjadinya delirium. Untuk itulah anggota
keluarga dan pengasuh pasien harus diberi penjelasan tentang delirium sehingga
dapat menghadapi pasien dengan baik. Terkadang informasi yang salah tentang
delirium dapat membuat keluarga atau pengasuh menjadi tidak sabar atau marah
terhadap pasien yang dapat mencetuskan distress pada pasien.9,15
Berkaitan dengan pentingnya peranan keluarga dan pengasuh pasien dalam
upaya penatalaksanaan pasien delirium, suatu penelitian bahkan mengatakan
bahwa delirium sebaiknya ditangani di rumah dalam lingkungan keluarga di mana
terdapat dukungan sosial yang adekuat. Hal ini dapat dilaksanakan terutama bila
penyakit medis yang menyertai tidak memerlukan pelayanan medis di rumah
sakit. Namun jika memang memerlukan perawatan maka penatalaksanaan transisi
yang hati-hati dan pendampingan pihak keluarga serta penjelasan yang jelas
tentang apa yang terjadi dapat meminimalkan peningkatan kebingungan yang
biasanya terjadi pada perubahan lingkungan.9,15
Beberapa penanganan secara psikososial dapat dilihat di bawah ini:
a. Penyediaan bantuan suportif dan orientasi:

Berkomunikasi secara jelas dan tegas; berikan pengulangan secara verbal


tentang hari, tanggal, lokasi dan identitas kunci orang-orang yang bermakna,
misalnya anggota tim medis dan saudara.

Sediakan beberapa petanda seperti jam, kalender dan jadwal harian di dekat
pasien.

Bawalah barang-barang yang cukup akrab bagi pasien dari rumah untuk
ditaruh di sekitar pasien.

Sediakan televisi dan radio untuk relaksasi dan membantu pasien untuk
mempertahankan kontak terhadap dunia luar.
12

Libatkan keluarga dan pengasuh dalam meningkatkan perasaan aman dan


orientasi pasien.9,15

b. Penyediaan lingkungan yang tidak ambigu:

Sederhanakanlah ruang dengan memindahkan objek-objek yang tidak perlu


untuk mempertahankan ruang yang cukup luas di kamar tidur.

Pertimbangkan untuk mengambil ruang yang tunggal untuk membantu


istirahat dan menghindari pengalaman sensori yang berlebihan.

Hindari penggunaan istilah-istilah medis di tengahtengahkeberadaan pasien


karena hal itu dapat menimbulkan paranoid.

Gunakan penerangan yang adekuat, gunakan lampu antara 40-60 Watt untuk
mengurangi salah persepsi.

Atur sumber suara (baik dari staf medis, paralatan, ataupun pengunjung),
setara tidak lebih dari 45 desibel di waktu siang dan 20 desibel di waktu
malam.

Jaga temperatur ruangan tetap di antara 21,1o C sampai 23,8o C.9,15

c. Pertahankan kemampuan pasien

Identifikasi dan perbaiki kesalahan sensorik, jamin keberadaan kacamata, alat


bantu dengar atau gigi palsu untuk membantu pasien. Bila ada kesulitan dalam
bahasa, pertimbangkan jasa penerjemah.

Berikan dukungan untuk perawatan mandiri dan partisipasi dalam pengobatan.

Pengobatan dilakukan untuk memperoleh tidur yang tidak tertunda.

Pertahankan akitivitas fisik: bagi pasien yang dapat bergerak lakukan jalan
kaki tiga kali dalam sehari, bagi yang tidak dapat berpindah tempat berikan
pergerakan selama 15 menit tiga kali sehari.9,15
II.7.2. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis sebaiknya diberikan pada pasien-pasien dengan gejala

yang dapat membahayakan nyawanya sendiri maupun orang lain. Beberapa


prinsip pemberian obat-obatan dalam manajemen delirium ialah:

Gunakan hanya satu macam obat dalam sekali pemberian,


13

Gunakan dosis seminimal mungkin pada obat-obatan sedatif dan antipsikotik,

Sesuaikan dosis sesuai umur, ukuran tubuh, dan derajat agitasi pasien,

Titrasi dosis terhadap efeknya,

Penggunaan obat biasanya dihentikan setelah 7-10 hari hilangnya gejala.


II.7.2.1. Obat Antipsikotik
Antipsikotik efektif dalm penanganan gejala delirium baik tipe hiperaktif

maupun hipoaktif.
II.7.2.1.1. Antipsikotik Tipikal
Penggunaan

haloperiperidal

dapat

diberikan

secara

intavena,

intramuskuler, maupun oral.


Penggunaan benzodiazepin seharusnya dihindari, kecuali bila sumber
deliriumnya adalah reaksi putus zat alkohol atau sedatif atau ketika agitasi yang
berat tidak dapat dikontrol oleh obat neuroleptik. Hal ini disebabkan karena
benzodiazepin dapat menyebabkan reaksi berkebalikan yang memperburuk
delirium. Reaksi berkebalikan yang diakibatkan oleh benzodiazepin adalah sedasi
yang berlebihan yang dapat menyulitkan penilaian status kesadaran pasien itu
sendiri.9
Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik, obat yang sering
dipakai pada kasus delirium adalah Haloperidol. Haloperidol digunakan karena
profil efek sampingnya yang lebih disukai dan dapat diberikan secara aman
melalui jalur oral maupun parenteral. Dosis yang biasa diberikan adalah 0,5 - 1,0
mg per oral (PO) atau intra muscular maupun intra vena (IM/IV); titrasi dapat
dilakukan 2 sampai 5 mg tiap satu jam sampai total kebutuhan sehari sebesar 10
mg terpenuhi. Setelah pasien lebih baik kesadarannya atau sudah mampu menelan
obat oral maka haloperidol dapat diberikan per oral dengan dosis terbagi 2-3 kali
perhari sampai kondisi deliriumnya teratasi. Haloperidol intravena lebih sedikit
menyebabkan gejala ekstrapiramidal daripada penggunaan oral.9
Antipsikotik yang lebih baru, misalnya risperidon, olanzapin dan quetiapin
juga membantu dalam penatalaksanaan delirium. Namun penelitian dan bukti
yang mendukung penggunaan antipsikotik atipikal pada delirium belum terbukti

14

jelas sehingga obat-obat tersebut tidak dapat digunakan sebagai terapi lini
pertama. Akan tetapi, obat-obatan ini dihubungkan dengan lebih sedikitnya
gangguan pergerakan akibat obat dibandingkan penggunaan haloperidol. Oleh
karena itu, antipsikotik atipikal mungkin merupakan obat pilihan untuk pasien
dengan penyakit Parkinson dan gangguan neuromuskular yang berhubungan, serta
pasien dengan riwayat adanya gejala ektrapiramidal pada penggunaan antipsikotik
lama.9
Dosis awal olanzapin adalah 5 mg per oral setiap hari, setelah satu
minggu, dosis dapat ditingkatkan menjadi 10 mg sehari dan dititrasi menjadi
20mg sehari. Quetiapin diberikan 25 mg per oral dua kali sehari yang dapat
ditingkatkan menjadi 25-50mg per dosis tiap 2 sampai 3 hari sampai tercapai
target 300-400 mg perhari yang terbagi dalam 2-3 dosis. Risperidon diberikan 1-2
mg per oral pada malam hari dan secara gradual ditingkatkan 1 mg tiap 2-3 harus
sampai dosis efektif tercapai (4-6 mg per oral). Quetiapin adalah obat antipsikotik
baru yang paling menimbulkan sedasi dan paling aplikatif dalam pengobatan
delirium yang agitasi.9
II.8.

Prognosis
Penelitian menunjukkan bahwa hampir 50 % pasien-pasien dengan

delirium mengalami gejala-gejala yang menetap setelah dirawat di rumah sakit,


20-40 % pasien masih menderita delirium selama 12 bulan. 10 Pada penderita yang
lebih tua dan pada periode pasca operasi, delirium dapat menyebabkan masa rawat
inap di rumah sakit menjadi lebih lama, meningkatkan komplikasi medis,
meningkatkan biaya pengobatan, dan menyebabkan kecacatan dalam jangka
waktu yang lama.5

15

You might also like