You are on page 1of 11

Penilaian morfologi sperma menurut kriteria WHO dan kriteria Strict :

perbandingan metode dan variabilitas intra-laboratorium


Andre ipak1*, Patrik Stani1, Koraljka uri2, Tihana Serdar3, Ernest Suchanek4. Penilaian morfologi
sperma berdasarkan WHO dan kriteria Strict: perbandingan metode dan variabilitas intra-laboratorium.
Biochemia Medica 2009; 19(1):87-94.http://dx.doi.org/10.11613/BM.2009.009
1

Departemen Kandungan dan Kebidanan, Rumah Sakit Universitas Zagreb, Zagreb, Kroasia.

Laboratorium Medis Biokimia, Poliklinik Sunce, Zagreb, Kroasia.

Departemen Laboratorium Medis, Rumah Sakit Universitas Dubrava, Zagreb, Kroasia.

Klinik Fertilitas, Rumah Sakit Tawam, John Hopkins Medicine, Al Ain, Abu Dhabi, U.A.E.

Penulis korespondensi*: andrea.cipak@gmail.com

ABSTRAK
Latar belakang: Penilaian morfologi sperma adalah salah satu langkah terpenting dalam mengevaluasi
pihak pria pada kasus pasangan yang infertil. Adanya variasi antar- maupun intra- laboratorium yang
bermakna dapat menyebabkan kesulitan dalam interpretasi, kesalahan interpretasi, bahkan menyebabkan
kebingungan. Untuk itu, diperlukan minimalisasi dari variasi-variasi ini untuk mengurangi kesalahan
bermakna dan memastikan reproduksibilitas dalam- dan antar-laboratorium.
Materi dan metode: Spesimen-spesimen semen diperoleh dari 49 pasien pria yang mendatangi
Laboratorium Andrologi secara berturutan untuk evaluasi fertilitas. Dua kriteria penilaian morfologi
sperma dibandingkan: 1) apusan semen dengan pewarnaan Giemsa yang dinilai dengan kriteria World
Health Organization (WHO); dan 2) apusan semen dengan pewarnaan Spermac dan dinilai dengan
kriteria Strict. Perbandingan pemeriksaan morfologis dalam laboratorium juga dilakukan.
Hasil: Diagnosa teratozoospermia baik dengan kriteria WHO maupun kriteria Strict tampak setara dalam
45 dari 49 kasus. Kesetaraan kemampuan penilaian di antara pengamat memberi hasil serupa baik dengan
kriteria WHO maupun kriteria Strict (kappa, 0.700 berbanding 0.715).
Kesimpulan: Penilaian morfologi dengan kriteria WHO dan kriteria Strict tidak jauh berbeda dalam
mendiagnosa teratozoospermia dan kesetaraan kemampuan pengamatan dapat diperoleh dengan pelatihan
yang sesuai, pemeriksaan apusan yang cermat dan penyesuaian sistem klasifikasi.
Kata Kunci: spermatozoa; infertilitas; pria; variasi pengamat

Diperoleh: 23 Oktober 2008


Diterima: 8 Desember 2008

Pendahuluan
Penilaian morfologi sperma sebagai komponen dari prosedur analisa semen merupakan
salah satu langkah terpenting dalam mengevaluasi pihak pria dari pasangan yang
infertil. Sampai saat ini, World Health Organization (WHO) telah menerbitkan
beberapa panduan untuk menyamaratakan prosedur analisa semen dan kriteria WHO
untuk pemeriksaan morfologi sperma telah diterima secara luas di laboratoriumlaboratorium andrologi di seluruh penjuru dunia (1,2). Pada 1990, Menkveld dkk.
memperkenalkan penilaian morfologi sperma dengan kriteria yang lebih ketat, kriteria
yang dikenal sebagai kriteria Tygerberg atau kriteria Strict ini meningkatkan objektifitas
dan memperkecil variabilitas intra-laboratorium (3). Namun, perbedaan sistem
klasifikasi memunculkan variasi antar- dan intra- laboratorium yang bermakna sebagai
akibat dari berbagai faktor seperti perbedaan teknik pembuatan apusan, pengalaman
teknisi dan interpretasi (4). Variasi-variasi seperti ini dapat menyebabkan kesulitan
interpretasi, kesalahan diagnosa, dan bahkan menyebabkan kebingungan. Untuk itu,
diperlukan minimalisasi dari variasi-variasi ini untuk mengeliminasi kesalahan
bermakna dan memastikan reproduksibilitas intra- dan antar- laboratorium.
Tujuan dari studi Penulis adalah untuk membandingkan dua kriteria penilaian
morfologi sperma: 1) apusan semen dengan Giemsa yang dinilai dengan kriteria WHO;
dan 2) apusan semen dengan Spermac yang dinilai dengan kriteria Strict. Penulis juga
ingin membandingkan variasi intra-laboratorium untuk pemeriksaan morfologi.
Menurut hemat penulis, artikel ini merupakan laporan pertama mengenai perbandingan
metode dan variasi intra-laboratorium di Kroasia.

Materi dan Metode


Pasien
Spesimen-spesimen semen diperoleh dari 49 pasien pria yang datang berurutan dalam
batas usia 18 hingga 50 tahun. Pasien-pasien ini mendatangi Laboratorium Andrologi,
Departemen Kandungan dan Kebidanan Universitas, Rumah Sakit Pusat Universitas
Zagreb, untuk pemeriksaan fertilitas dalam rentang periode Mei hingga Juli 2007.
Semua subjek diminta untuk tidak berhubungan seksual sekurang-kurangnya selama 2
hari sebelum pemeriksaan.

Kriteria
Menurut kriteria WHO (1), normozoospermia adalah hasil ejakulasi dengan konsentrasi
sperma > 20 x 106 spermatozoa/mL, motilitas sperma progresif > 50%, atau sekurangkurangnya 25% spermatozoa dengan motilitas progresif liniar dan 30% spermatozoa
memiliki morfologi normal. Kriteria-kriteria ini hanya dapat diterapkan bila analisa
sperma dilakukan pada suhu 37 oC. Motilitas sperma sangat dipengaruhi oleh suhu dan
penilaian harus dilakukan dengan suhu yang terjaga (5). Dikarenakan analisa motilitas
pada Laboratorium Andrologi dilakukan pada suhu ruangan (22 oC), penulis harus
menyesuaikan kriteria motilitas sperma. Menurut kriteria yang telah dimodifikasi ini,
diagnosa astenozoospermia dapat ditegakkan bila ditemukan < 40% spermatozoa
dengan motilitas progresif ditemukan dalam sampel semen (5). Teratozoospermia
didiagnosa bila ditemukan < 30% morfologi spermatozoa normal dalam sampel semen
menurut kriteria WHO atau < 15% menurut kriteria Strict. Oligozoospermia adalah
hasil ejakulasi dengan konsentrasi sperma < 20 x 106 spermatozoa/mL. Sedangkan,
oligoastenozoopermia adalah hasil ejakulasi dengan konsentrasi sperma dan motilitas
yang rendah.

Penilaian motilitas dan konsentrasi sperma


Evaluasi motilitas dan konsentrasi sperma dilakukan dengan menggunakan Autosperm,
sistem Amsaten Corp. (De Pinte, Belgia) untuk analisa ejakulasi. Setelah diencerkan, 10
L semen diteteskan ke kaca preparat dan ditutup dengan cover slip (ukuran 22 x 22
mm). Analisa dilakukan pada suhu ruang dengan perbesaran 500x. Motilitas dinilai dari
persentasi spermatozoa yang motil:
a) Spermatozoa dengan motilitas linier dan progresif (kecepatan linier 22 m/detik);
b) Spermatozoa dengan motilitas linier atau nonlinier lambat (kecepatan linier < 22
m/detik dan kecepatan 5 m/detik);
c) Lamban; dan
d) Spermatozoa tidak motil.

Penilaian morfologi sperma dengan kriteria WHO


Setelah diencerkan, 10 L semen diapuskan ke kaca preparat dan diangin-anginkan
hingga kering pada suhu ruang. Apusan kemudian dicat dengan pewarnaan Giemsa dan
morfologi sperma dinilai dengan kriteria WHO (1). Dua pemeriksa yang berbeda
menghitung 200 sel untuk setiap preparat menggunakan mikroskop medan terang
dengan pembesaran hingga 1000x dan minyak emersi. Menurut kriteria WHO, sebuah
spermatozoon dianggap berbentuk normal bila memiliki bentuk kepala oval dan
akrosom menutupi 40%-70% area kepala. Spermatozoon normal tidak memiliki leher,
midpiece, kelainan ekor ataupun tetesan sitoplasmik yang melebihi 50% ukuran kepala
sperma.

Perhitungan leukosit dan sel tunas imatur


Leukosit dan sel-sel benih imatur (spermatid bulat, spermatosit dan spermatogonia)
dinilai dengan pengecatan Giemsa dan dihitung menggunakan Autosperm, sistem
Amsaten Corp. (De Pinte, Belgia) untuk analisa ejakulasi.

Penilaian morfologi sperma dengan kriteria Strict


Setelah pengenceran dan sebelum pengecatan, sejumlah cairan semen dicuci dengan
medium pencucian sperma Quinn (Quinns Sperm Washing Medium), SAGE (USA) dan
disentrifugasi dengan kecepatan 300 g selama 10 menit. Supernatan dibuang dan 0.5
mL medium Quinn ditambahkan ke endapan. 10 L semen yang sudah dicuci
diapuskan ke kaca perparat, difiksasi dan diangin-anginkan hingga kering. Apusan
dicuci dengan akuades dan dicat dengan pewarnaan Spermac, FertiPro (Beernem,
Belgia). Setelah pengecatan, apusan dicuci dengan akuades. Dua pemeriksa yang
berbeda menghitung 200 sel untuk masing-masing preparat menggunakan mikroskop
medan terang dengan perbesaran hingga 1000x dan minyak emersi. Kriteria Strict (3)
diterapkan untuk evaluasi, dimana spermatozoon dinyatakan normal bila memiliki
kepala oval, panjang 4.0-5.0 m dan lebar 2.5-3.5 m, diukur dengan mikrometer
okuler. Rasio panjang:lebar harus berada di antara 1.50-1.75. Spermatozoon normal
memiliki akrosom utuh yang menutupi 40%-70% area kepala. Midpiece tipis, lebar
kurang dari 1 m, dengan panjang sekitar 1.5x kepala. Tetesan sitoplasma, bila ada,
tidak boleh melebihi setengah dari lebar kepala. Ekor tipis, seragam, tidak melingkar,
dengan panjang sekitar 45 m. Menurut sistem klasifikasi ini, semua bentuk yang
meragukan dianggap abnormal (3).

Indeks Teratozoospermia
Indeks teratozoospermia (TZI) didefinisikan sebagai jumlah kelainan yang ditemui dari
setiap spermatozoon abnormal. Semua spermatozoa abnormal dapat memiliki satu
hingga empat kelainan, mencakup kelainan kepala, leher/midpiece dan ekor atau
adanya tetesan sitoplasma (1). Klasifikasi spermatozoa untuk TZI dilakukan di dalam
laboratorium. Spermatozoa dicatat dalam kategori normal atau abnormal dan dibagi
dalam kelompok yang lebih spesifik (kelompok kelainan kepala, leher/midpiece dan
ekor atau tetesan sitoplasma). Kelainan tersebut dijumlah lalu dibagi dengan jumlah
spermatozoa yang abnormal.

Tes Eosin
Vitalitas dianalisa dengan pengeceatan apusan menggunakan eosin (1). Sperma vital
memiliki membran sel intak yang tidak akan terwarnai dan tetap putih dalam apusan,
sementara eosin berdifusi melalui membral sel yang rusak dari sperma yang sudah
tidak vital. Apusan dianginkan hingga kering dan evaluasi dilakukan dengan
menghitung spermatozoa yang tercat merah dan yang tidak tercat dengan optik medan
terang dan pembesaran maksimal 400x. Setidaknya 100 sel dihitung. Hasil ditampilkan
dalam bentuk persentasi (%) dari sperma eosin negatif (tidak tercat).

Analisa Statistik
Hasil digambarkan dengan nilai rerata aritmatik dan standar deviasi. Semua sampel
semen dinilai oleh satu pemeriksa. Perbedaan antara parameter semen dalam penilaian
dengan kriteria WHO dan kriteria Strict diuji dengan uji-t. Perbedaan parameter semen
dalam

subgrup

(normozoospermia,

astenozoospermia,

oligozoospermia

dan

oligoastenozoospermia) dinilai dengan analisis varians 1-jalan. Kesetaraan pengamatan


diperiksa dalam evaluasi morfologi sperma baik dengan kriteria WHO maupun kriteria
Strict. Nilai Kappa dihitung sebagai ukuran kesepakatan antar pengamat. Hasil
dianalisa dengan program SPSS, SPSS Inc. (Chicago, USA).

Hasil
Parameter semen, dengan usia dan jumlah hari tanpa hubungan seksual ditampilkan
dalam Tabel 1. Pasien dibagi menjadi 4 kelompok sebagai berikut: normozoospermia,
astenozoospermia, oligozoospermia, dan oligoastenozoospermia. Tidak terdapat
perbedaan statistik bermakna dari usia atau jumlah hari tanpa hubungan seksual di
antara keempat kelompok. Namun, di antara empat kelompok tersebut terdapat
perbedaan yang bermakna menyangkut konsentrasi sperma, jumlah total sperma,
motilitas dan vitalitas (P < 0.001 untuk setiap parameter). Selain itu, volume semen dan
jumlah sel tunas imatur dari setiap kelompok juga berbeda secara bermakna (P = 0.029
dan 0.024, berurutan).

Tabel 1. Parameter pasien dan cairan semen


Pasien

N (N = 15)

A (N = 13)

O (N = 7)

OA (N = 14)

Usia (tahun)

34 6

33 6

37 6

33 7

0.413

Hari tanpa hubungan seksual


(hari)

41

42

21

42

0.258

Volume cairan semen (mL)

4.07 1.25

3.73 1.09

2.24 0.82

3.22 1.77

0.029

pH cairan semen

7.90 0.21

7.92 0.24

8.11 0.38

7.97 0.31

0.380

2.36 1.40

2.00 2.30

0.71 0.82

0.85 0.50

0.024

0.16 0.13

0.16 0.26

0.61 1.36

0.40 0.57

0.316

67.60 28.11

35.04 15.80

14.11 4.45

9.56 4.69

< 0.001

268.92 134.37

130.70 63.74

32.47 17.23

30.91 21.57

< 0.001

53.60 6.51

21.53 11.70

49.42 8.69

17.78 10.78

< 0.001

76.40 4.74

53.23 18.58

70.00 5.03

46.42 16.49

< 0.001

Sel tunas imatur (x 10 /mL)


Leukosit dalam cairan semen
(x 106 /mL)
Konsentrasi sperma
(x 106 /mL)
Jumlah sperma terhitung
(x 106)
Motilitas sperma
(tingkat a+b) (%)
Vitalitas sperma (%)

N normozoospermia; A astenozoospermia; O oligozoospermia; OA - oligoastenozoospermia

Hasil penilaian morfologi sperma dan TZI ditampilkan dalam Tabel 2. Morfologi
sperma normal ditemukan sebanyak 18 dari 49 pria dengan kriteria WHO dan sebanyak
16 dari 49 pria dengan menggunakan kriteria Strict. Diagnosa teratozoospermia baik
dengan kriteria WHO dan kriteria ketat sama-sama berjumlah 45 dari 49 kasus.

Tabel 2. Hasil penilaian morfologi sperma


Pasien
Morfologi Normal (%)
Kelainan
kepala (%)
Kelainan
leher dan
Kategori
midpiece
kelainan
(%)
sperma
Kelainan
dalam
ekor (%)
sampel
Tetesan
cairan
sitoplasmi
semen
k (%)
Indeks
Teratozoospermia

WHO

N (N = 15)
SC

WHO

A (N = 13)
SC

WHO

O (N =7)
SC

OA (N = 14)
WHO
SC

29 8

16 6

0.001

24 9

11 4

0.001

26 9

14 73

0.018

13 7

64

0.001

74 4

71 4

0.001

68 4

66 4

0.020

69 2

66 4

0.088

65 7

637

0.031

12 3

12 4

0.551

15 3

15 3

0.964

14 2

15 2

0.752

14 3

16 3

0.005

12 3

15 2

0.002

15 3

18 3

0.005

15 2

17 41

0.236

19 4

19 4

0.313

21

21

1.000

21

11

0.527

22

21

0.655

22

21

0.132

1.16
0.42

1.27
0.32

0.040

1.44
0.09

1.47
0.09

0.278

1.27
0.81

1.46
0.07

0.352

1.50
0.13

1.46
0.42

0.451

WHO kriteria WHO; SC kriteria Strict


N normozoospermia; A astenozoospermia; O oligozoospermia; OA - oligoastenozoospermia

Nilai rerata persentasi kelainan kepala sperma tampak lebih tinggi pada kelompok
normozoospermia, astenozoospermia dan oligoastenozoospermia dengan penilaian
morfologi sperma berdasarkan kriteria WHO bila dibandingkan dengan kriteria Strict
(P = 0.001, 0.020 dan 0.031, berurutan). Nilai rerata persentasi kelainan leher dan
midpiece sperma pada kelompok oligoastenozoospermia (P = 0.005) dan nilai rerata
persentasi

kelainan

ekor

sperma

pada

kelompok

normozoospermia

dan

astenozoospermia secara bermakna lebih tinggi dengan penilaian menggunakan kriteria


Strict dibandingkan dengan kriteria WHO (P = 0.002 dan 0.005, berurutan). TZI
tampak lebih tinggi (P = 0.040) pada kelompok normozoospermia pada penilaian
morfologi dengan kriteria Strict dibandingkan dengan kriteria WHO.
Penulis mengamati adanya kesetaraan pengamatan untuk kedua kriteria
penilaian morfologi sperma. Kesetaraan pengamatan tampak sama baik untuk kriteria
WHO maupun kriteria Strict (kappa, 0.700 berbanding 0.715).

Diskusi
Temuan kunci dari studi penulis adalah perbandingan antara penilaian morfologi
sperma menurut kriteria WHO dan kriteria Strict menunjukkan kesetaraan maksimal
dalam mendiagnosa teratozoospermia. Selain itu, ditemukan kesetaraan pengamatan
yang baik untuk kedua kriteria dalam perbandingan variasi intra-laboratorium dari
penilaian morfologi.
Banyak penulis yang telah mempelajari efek dari perbedaan teknik pembuatan
preparat dan kriteria penelitian terhadap objektifitas penilaian morfologi dan variasi
intra-laboratorium. Namun, perbedaan rancangan penelitian menyebabkan kesulitan
dalam membandingkan hasil-hasil yang sudah diterbitkan dalam literatur. Pada 1993,
Meschede dkk. mempelajari efek dari tiga teknik pembuatan preparat yang berbeda,
yaitu Papanicolaou, pengecatan Shorr dan protokol preparat basah, terhadap hasil
penilaian morfologi sperma (6). Studi ini menunjukkan korelasi yang sangat rendah di
antara teknik-teknik tersebut; sehingga penulis merekomendasikan untuk menggunakan
satu saja metode pada laboratorium-laboratorium untuk memastikan hasil dari setiap

laboratorium dapat dibandingkan. Peneliti lain (7,8) menemukan adanya korelasi yang
baik antara teknik-teknik pewarnaan yang digunakan dalam studi mereka. Inkonsistensi
dalam hasil penelitian ini mungkin diakibatkan telah adanya perbaikan dalam
standarisasi penilaian morfologi sperma dan juga perbaikan kendali mutu dari analisa
semen dalam 15 tahun terakhir ini. Hasil dari studi penulis ini menyerupai hasil dari
penelitian terakhir, membuktikan bahwa kesetaraan dapat dicapai bila klasifikasi sistem
disesuaikan dengan teknik pengecatan.
Pengecatan

Giemsa,

yang

rutin

digunakan

di

laboratorium

penulis,

menghasilkan persentasi nilai rerata yang lebih tinggi dalam kelainan kepala pada
kelompok normozoospermia, astenozoospermia dan oligoastenozoospermia dengan
penilaian morfologi berdasarkan kriteria WHO dibandingkan dengan kriteria Strict. Hal
ini mungkin dikarenakan proses pengecatan seperti sampel yang tidak dicuci dan
pewarnaan serupa dari bagian sperma yang berbeda. Pada pengecatan dengan Spermac,
berbagai bagian sperma memberikan warna yang berbeda, yang memberikan persepsi
visual yang lebih baik dari kelainan-kelainan sperma.
Lebih lanjut, TZI juga secara bermakna dapat dipengaruhi oleh metode
pembuatan preparat (6). Namun, TZI nampaknya tidak terpengaruh oleh metode
pembuatan preparat dalam penelitian ini. Seperti yang sudah disebutkan, perbandingan
dari penilaian morfologi sperma dengan kedua kriteria tampak paling konsisten dalam
mendiagnosa teratozoospermia, sedangkan inkonsistensi terbesar ditemukan pada
kelompok normozoospermia.
Dari

hasil

penelitian

Penulis,

perbandingan

variasi

intra-laboratorium

menunjukkan kesetaraan antara kedua pengamat pada laboratorium penulis. Dimana


dalam sebuah studi terhadap 54 sampel semen dari delapan pria fertil dan 46 pasien
subfertil menggunakan sampel yang diencerkan dan dicuci lalu diwarnai dengan DiffQuick dan pewarnaan Papanicolaou, terdapat kesetaraan (variabilitas antar pemeriksa
untuk sample yang sudah diencerkan dan dicuci adalah 0.82 dan 0.93, berturutan) (9).
Dari kedua pemeriksa tersebut, satu adalah peneliti terlatih dengan pengalaman lebih
dari 5 tahun, dan lainnya adalah peneliti dengan pengalaman kurang dari 2 tahun.

Pengalaman praktek dan penyesuaian dengan metode yang direkomendasikan


sangatlah penting dalam mendiagnosa teratozoospermia dan dapat memberikan efek
yang sangat besar dalam hasil penilaian morfologi sperma (10). Salah satu pemeriksa
dari tim penulis baru saja mempelajari penilaian morfologi sperma. Hal ini bisa jadi
menyebabkan kurangnya kesetaraan dalam penilaian. Meskipun demikian, hal ini
memberikan gambaran yang baik bagaimana pelatihan yang tepat, pemeriksaan apusan
yang cermat dan penyesuaian dengan sistem klasifikasi; akan memberikan hasil yang
sama dengan mereka yang sudah terlatih. Banyak peneliti (3, 4, 10, 13) menyertakan
hasil perbandingan intra-/antar- pemeriksa dan/atau intra-/antar- laboratorium.
Sayangnya, hasil-hasil ini sulit dibandingkan, karena perbedaan besar dalam rancangan
penelitian dan pengukuran variabilitas.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis, dapat disimpulkan bahwa penilaian
morfologi menggunakan kriteria WHO dan kriteria Strict tidak jauh berbeda dalam
mendiagnosa teratozoospermia dan kesetaraan dapat diperoleh bila semua persiapan
yang diperlukan dari praktek laboratorium yang baik telah dipertimbangkan sebelum
evaluasi morfologi.
Morfologi sperma merupakan salah satu parameter semen yang paling
berhubungan dengan kemampuan pembuahan in vivo (11) dan in vitro (12). Namun,
saat ini terjadi perdebatan mengenai tingkat kepercayaan dari hasil analisa semen (13).
Hal

ini

mengacu

pada

perlunya

standarisasi

dan

pemantauan

kualitas

berkesinambungan. Besar harapan penulis bahwa studi ini akan merangsang


laboratorium-laboratorium andrologi lain di Kroasia untuk menyelidiki kesetaraan
pemeriksa mereka. Hal ini dapat menjadi rangsangan yang baik untuk standarisasi
penilaian morfologi sperma pada tingkat nasional.

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini didukung oleh Kementerian Ilmu Pengetahuan, Pendidikan, dan Olahraga,
Republik Kroasia, nomor proyek 108-1080399-0384.

Daftar Pustaka
1.

World Health Organization. WHO Laboratory Manual for the Examination of Human Semen and
Semen-Cervical Mucus Interaction. 3rd edition. Cambridge: Cambridge University Press; 1992.

2.

World Health Organization. WHO Laboratory Manual for the Examination of Human Semen and
Semen-Cervical Mucus Interaction. 4th edition. Cambridge: Cambridge University Press; 1999.

3.

Menkveld R, Stander FSH, Kotze TJVW, Kruger TF, van Zyl JA. The evaluation of morphological
characteristics of human spermatozoa according to stricter criteria. Hum Reprod 1990;5:586-92.

4.

Coetzee K, Kruger TF, Lobard CJ, Shaughnessy D, Oehringer S, zgr K, et al. Assessment of
interlaboratory and intralaboratory sperm morphology readings with the use of a Hamilton Thorne
Research integrated visual optical system semen analyzer. Fertil Steril 1999;71:80-4.

5.

Jeyendran RS. Protocols for Semen Analysis in Clinical Diagnosis. London: Parthenon Publishing
Group; 2003. pp. 31-32.

6.

Meschede D, Keck C, Zander M, Cooper TG, Yeung CH, Nieschlag E. Influence of three different
preparation techniques on the results of human sperm morphology analysis. Int J Androl
1993;16:362-9.

7.

Menkveld R, Lacquet FA, Kruger TF, Lombard CJ, Sanchez Sarmiento CA, de Villiers A. Effects of
different staining and washing procedures on the results of human sperm morphology evaluation by
manual and computerised methods. Andologia 1997;29:1-7.

8.

Henkel R, Schreiber G, Sturmhoefel A, Hipler UC, Zermann DH, Menkveld R. Comparison of three
staining methods for the morphological evaluation of human spermatozoa. Fertil Steril
2008;89:449-55.

9.

Barroso G, Mercan R, Ozgur K, Morshedi M, Kolm P, Coetzee K, et al. Intra- and inter-laboratory
variability in the assessment of sperm morphology by strict criteria: impact of semen preparation,
staining techniques and manual versus computerized analysis. Hum Reprod 1999;14:2036-40.

10. Eustache f, Auger J. Inter-individual variability in the morphological assessment of human sperm:
effect of level of experience and the use of standard methods. Hum Reprod 2003;18:1018-22.
11. Guzick DS, Overstreet JW, Factor-Litvak P, Brazil CK, Nakajima ST, Coutifaris C, et al. Sperm
morphology, motility and concentration in fertile and infertile men. N Engl J Med 2001;345:138893.
12. Kruger TF, Acosta AA, Simmons KF, Swanson RJ, Matta JF, Oehringer S. Predictive value of
abnormal sperm morphology in in vitro fertilization. Fertil Steril 1988;49:112-7.
13. Brooks AK. How reliable are results from the semen analysis? Fertil Steril 2004;82:41-4.

10

You might also like