Professional Documents
Culture Documents
Departemen Kandungan dan Kebidanan, Rumah Sakit Universitas Zagreb, Zagreb, Kroasia.
Klinik Fertilitas, Rumah Sakit Tawam, John Hopkins Medicine, Al Ain, Abu Dhabi, U.A.E.
ABSTRAK
Latar belakang: Penilaian morfologi sperma adalah salah satu langkah terpenting dalam mengevaluasi
pihak pria pada kasus pasangan yang infertil. Adanya variasi antar- maupun intra- laboratorium yang
bermakna dapat menyebabkan kesulitan dalam interpretasi, kesalahan interpretasi, bahkan menyebabkan
kebingungan. Untuk itu, diperlukan minimalisasi dari variasi-variasi ini untuk mengurangi kesalahan
bermakna dan memastikan reproduksibilitas dalam- dan antar-laboratorium.
Materi dan metode: Spesimen-spesimen semen diperoleh dari 49 pasien pria yang mendatangi
Laboratorium Andrologi secara berturutan untuk evaluasi fertilitas. Dua kriteria penilaian morfologi
sperma dibandingkan: 1) apusan semen dengan pewarnaan Giemsa yang dinilai dengan kriteria World
Health Organization (WHO); dan 2) apusan semen dengan pewarnaan Spermac dan dinilai dengan
kriteria Strict. Perbandingan pemeriksaan morfologis dalam laboratorium juga dilakukan.
Hasil: Diagnosa teratozoospermia baik dengan kriteria WHO maupun kriteria Strict tampak setara dalam
45 dari 49 kasus. Kesetaraan kemampuan penilaian di antara pengamat memberi hasil serupa baik dengan
kriteria WHO maupun kriteria Strict (kappa, 0.700 berbanding 0.715).
Kesimpulan: Penilaian morfologi dengan kriteria WHO dan kriteria Strict tidak jauh berbeda dalam
mendiagnosa teratozoospermia dan kesetaraan kemampuan pengamatan dapat diperoleh dengan pelatihan
yang sesuai, pemeriksaan apusan yang cermat dan penyesuaian sistem klasifikasi.
Kata Kunci: spermatozoa; infertilitas; pria; variasi pengamat
Pendahuluan
Penilaian morfologi sperma sebagai komponen dari prosedur analisa semen merupakan
salah satu langkah terpenting dalam mengevaluasi pihak pria dari pasangan yang
infertil. Sampai saat ini, World Health Organization (WHO) telah menerbitkan
beberapa panduan untuk menyamaratakan prosedur analisa semen dan kriteria WHO
untuk pemeriksaan morfologi sperma telah diterima secara luas di laboratoriumlaboratorium andrologi di seluruh penjuru dunia (1,2). Pada 1990, Menkveld dkk.
memperkenalkan penilaian morfologi sperma dengan kriteria yang lebih ketat, kriteria
yang dikenal sebagai kriteria Tygerberg atau kriteria Strict ini meningkatkan objektifitas
dan memperkecil variabilitas intra-laboratorium (3). Namun, perbedaan sistem
klasifikasi memunculkan variasi antar- dan intra- laboratorium yang bermakna sebagai
akibat dari berbagai faktor seperti perbedaan teknik pembuatan apusan, pengalaman
teknisi dan interpretasi (4). Variasi-variasi seperti ini dapat menyebabkan kesulitan
interpretasi, kesalahan diagnosa, dan bahkan menyebabkan kebingungan. Untuk itu,
diperlukan minimalisasi dari variasi-variasi ini untuk mengeliminasi kesalahan
bermakna dan memastikan reproduksibilitas intra- dan antar- laboratorium.
Tujuan dari studi Penulis adalah untuk membandingkan dua kriteria penilaian
morfologi sperma: 1) apusan semen dengan Giemsa yang dinilai dengan kriteria WHO;
dan 2) apusan semen dengan Spermac yang dinilai dengan kriteria Strict. Penulis juga
ingin membandingkan variasi intra-laboratorium untuk pemeriksaan morfologi.
Menurut hemat penulis, artikel ini merupakan laporan pertama mengenai perbandingan
metode dan variasi intra-laboratorium di Kroasia.
Kriteria
Menurut kriteria WHO (1), normozoospermia adalah hasil ejakulasi dengan konsentrasi
sperma > 20 x 106 spermatozoa/mL, motilitas sperma progresif > 50%, atau sekurangkurangnya 25% spermatozoa dengan motilitas progresif liniar dan 30% spermatozoa
memiliki morfologi normal. Kriteria-kriteria ini hanya dapat diterapkan bila analisa
sperma dilakukan pada suhu 37 oC. Motilitas sperma sangat dipengaruhi oleh suhu dan
penilaian harus dilakukan dengan suhu yang terjaga (5). Dikarenakan analisa motilitas
pada Laboratorium Andrologi dilakukan pada suhu ruangan (22 oC), penulis harus
menyesuaikan kriteria motilitas sperma. Menurut kriteria yang telah dimodifikasi ini,
diagnosa astenozoospermia dapat ditegakkan bila ditemukan < 40% spermatozoa
dengan motilitas progresif ditemukan dalam sampel semen (5). Teratozoospermia
didiagnosa bila ditemukan < 30% morfologi spermatozoa normal dalam sampel semen
menurut kriteria WHO atau < 15% menurut kriteria Strict. Oligozoospermia adalah
hasil ejakulasi dengan konsentrasi sperma < 20 x 106 spermatozoa/mL. Sedangkan,
oligoastenozoopermia adalah hasil ejakulasi dengan konsentrasi sperma dan motilitas
yang rendah.
Indeks Teratozoospermia
Indeks teratozoospermia (TZI) didefinisikan sebagai jumlah kelainan yang ditemui dari
setiap spermatozoon abnormal. Semua spermatozoa abnormal dapat memiliki satu
hingga empat kelainan, mencakup kelainan kepala, leher/midpiece dan ekor atau
adanya tetesan sitoplasma (1). Klasifikasi spermatozoa untuk TZI dilakukan di dalam
laboratorium. Spermatozoa dicatat dalam kategori normal atau abnormal dan dibagi
dalam kelompok yang lebih spesifik (kelompok kelainan kepala, leher/midpiece dan
ekor atau tetesan sitoplasma). Kelainan tersebut dijumlah lalu dibagi dengan jumlah
spermatozoa yang abnormal.
Tes Eosin
Vitalitas dianalisa dengan pengeceatan apusan menggunakan eosin (1). Sperma vital
memiliki membran sel intak yang tidak akan terwarnai dan tetap putih dalam apusan,
sementara eosin berdifusi melalui membral sel yang rusak dari sperma yang sudah
tidak vital. Apusan dianginkan hingga kering dan evaluasi dilakukan dengan
menghitung spermatozoa yang tercat merah dan yang tidak tercat dengan optik medan
terang dan pembesaran maksimal 400x. Setidaknya 100 sel dihitung. Hasil ditampilkan
dalam bentuk persentasi (%) dari sperma eosin negatif (tidak tercat).
Analisa Statistik
Hasil digambarkan dengan nilai rerata aritmatik dan standar deviasi. Semua sampel
semen dinilai oleh satu pemeriksa. Perbedaan antara parameter semen dalam penilaian
dengan kriteria WHO dan kriteria Strict diuji dengan uji-t. Perbedaan parameter semen
dalam
subgrup
(normozoospermia,
astenozoospermia,
oligozoospermia
dan
Hasil
Parameter semen, dengan usia dan jumlah hari tanpa hubungan seksual ditampilkan
dalam Tabel 1. Pasien dibagi menjadi 4 kelompok sebagai berikut: normozoospermia,
astenozoospermia, oligozoospermia, dan oligoastenozoospermia. Tidak terdapat
perbedaan statistik bermakna dari usia atau jumlah hari tanpa hubungan seksual di
antara keempat kelompok. Namun, di antara empat kelompok tersebut terdapat
perbedaan yang bermakna menyangkut konsentrasi sperma, jumlah total sperma,
motilitas dan vitalitas (P < 0.001 untuk setiap parameter). Selain itu, volume semen dan
jumlah sel tunas imatur dari setiap kelompok juga berbeda secara bermakna (P = 0.029
dan 0.024, berurutan).
N (N = 15)
A (N = 13)
O (N = 7)
OA (N = 14)
Usia (tahun)
34 6
33 6
37 6
33 7
0.413
41
42
21
42
0.258
4.07 1.25
3.73 1.09
2.24 0.82
3.22 1.77
0.029
pH cairan semen
7.90 0.21
7.92 0.24
8.11 0.38
7.97 0.31
0.380
2.36 1.40
2.00 2.30
0.71 0.82
0.85 0.50
0.024
0.16 0.13
0.16 0.26
0.61 1.36
0.40 0.57
0.316
67.60 28.11
35.04 15.80
14.11 4.45
9.56 4.69
< 0.001
268.92 134.37
130.70 63.74
32.47 17.23
30.91 21.57
< 0.001
53.60 6.51
21.53 11.70
49.42 8.69
17.78 10.78
< 0.001
76.40 4.74
53.23 18.58
70.00 5.03
46.42 16.49
< 0.001
Hasil penilaian morfologi sperma dan TZI ditampilkan dalam Tabel 2. Morfologi
sperma normal ditemukan sebanyak 18 dari 49 pria dengan kriteria WHO dan sebanyak
16 dari 49 pria dengan menggunakan kriteria Strict. Diagnosa teratozoospermia baik
dengan kriteria WHO dan kriteria ketat sama-sama berjumlah 45 dari 49 kasus.
WHO
N (N = 15)
SC
WHO
A (N = 13)
SC
WHO
O (N =7)
SC
OA (N = 14)
WHO
SC
29 8
16 6
0.001
24 9
11 4
0.001
26 9
14 73
0.018
13 7
64
0.001
74 4
71 4
0.001
68 4
66 4
0.020
69 2
66 4
0.088
65 7
637
0.031
12 3
12 4
0.551
15 3
15 3
0.964
14 2
15 2
0.752
14 3
16 3
0.005
12 3
15 2
0.002
15 3
18 3
0.005
15 2
17 41
0.236
19 4
19 4
0.313
21
21
1.000
21
11
0.527
22
21
0.655
22
21
0.132
1.16
0.42
1.27
0.32
0.040
1.44
0.09
1.47
0.09
0.278
1.27
0.81
1.46
0.07
0.352
1.50
0.13
1.46
0.42
0.451
Nilai rerata persentasi kelainan kepala sperma tampak lebih tinggi pada kelompok
normozoospermia, astenozoospermia dan oligoastenozoospermia dengan penilaian
morfologi sperma berdasarkan kriteria WHO bila dibandingkan dengan kriteria Strict
(P = 0.001, 0.020 dan 0.031, berurutan). Nilai rerata persentasi kelainan leher dan
midpiece sperma pada kelompok oligoastenozoospermia (P = 0.005) dan nilai rerata
persentasi
kelainan
ekor
sperma
pada
kelompok
normozoospermia
dan
Diskusi
Temuan kunci dari studi penulis adalah perbandingan antara penilaian morfologi
sperma menurut kriteria WHO dan kriteria Strict menunjukkan kesetaraan maksimal
dalam mendiagnosa teratozoospermia. Selain itu, ditemukan kesetaraan pengamatan
yang baik untuk kedua kriteria dalam perbandingan variasi intra-laboratorium dari
penilaian morfologi.
Banyak penulis yang telah mempelajari efek dari perbedaan teknik pembuatan
preparat dan kriteria penelitian terhadap objektifitas penilaian morfologi dan variasi
intra-laboratorium. Namun, perbedaan rancangan penelitian menyebabkan kesulitan
dalam membandingkan hasil-hasil yang sudah diterbitkan dalam literatur. Pada 1993,
Meschede dkk. mempelajari efek dari tiga teknik pembuatan preparat yang berbeda,
yaitu Papanicolaou, pengecatan Shorr dan protokol preparat basah, terhadap hasil
penilaian morfologi sperma (6). Studi ini menunjukkan korelasi yang sangat rendah di
antara teknik-teknik tersebut; sehingga penulis merekomendasikan untuk menggunakan
satu saja metode pada laboratorium-laboratorium untuk memastikan hasil dari setiap
laboratorium dapat dibandingkan. Peneliti lain (7,8) menemukan adanya korelasi yang
baik antara teknik-teknik pewarnaan yang digunakan dalam studi mereka. Inkonsistensi
dalam hasil penelitian ini mungkin diakibatkan telah adanya perbaikan dalam
standarisasi penilaian morfologi sperma dan juga perbaikan kendali mutu dari analisa
semen dalam 15 tahun terakhir ini. Hasil dari studi penulis ini menyerupai hasil dari
penelitian terakhir, membuktikan bahwa kesetaraan dapat dicapai bila klasifikasi sistem
disesuaikan dengan teknik pengecatan.
Pengecatan
Giemsa,
yang
rutin
digunakan
di
laboratorium
penulis,
menghasilkan persentasi nilai rerata yang lebih tinggi dalam kelainan kepala pada
kelompok normozoospermia, astenozoospermia dan oligoastenozoospermia dengan
penilaian morfologi berdasarkan kriteria WHO dibandingkan dengan kriteria Strict. Hal
ini mungkin dikarenakan proses pengecatan seperti sampel yang tidak dicuci dan
pewarnaan serupa dari bagian sperma yang berbeda. Pada pengecatan dengan Spermac,
berbagai bagian sperma memberikan warna yang berbeda, yang memberikan persepsi
visual yang lebih baik dari kelainan-kelainan sperma.
Lebih lanjut, TZI juga secara bermakna dapat dipengaruhi oleh metode
pembuatan preparat (6). Namun, TZI nampaknya tidak terpengaruh oleh metode
pembuatan preparat dalam penelitian ini. Seperti yang sudah disebutkan, perbandingan
dari penilaian morfologi sperma dengan kedua kriteria tampak paling konsisten dalam
mendiagnosa teratozoospermia, sedangkan inkonsistensi terbesar ditemukan pada
kelompok normozoospermia.
Dari
hasil
penelitian
Penulis,
perbandingan
variasi
intra-laboratorium
ini
mengacu
pada
perlunya
standarisasi
dan
pemantauan
kualitas
Daftar Pustaka
1.
World Health Organization. WHO Laboratory Manual for the Examination of Human Semen and
Semen-Cervical Mucus Interaction. 3rd edition. Cambridge: Cambridge University Press; 1992.
2.
World Health Organization. WHO Laboratory Manual for the Examination of Human Semen and
Semen-Cervical Mucus Interaction. 4th edition. Cambridge: Cambridge University Press; 1999.
3.
Menkveld R, Stander FSH, Kotze TJVW, Kruger TF, van Zyl JA. The evaluation of morphological
characteristics of human spermatozoa according to stricter criteria. Hum Reprod 1990;5:586-92.
4.
Coetzee K, Kruger TF, Lobard CJ, Shaughnessy D, Oehringer S, zgr K, et al. Assessment of
interlaboratory and intralaboratory sperm morphology readings with the use of a Hamilton Thorne
Research integrated visual optical system semen analyzer. Fertil Steril 1999;71:80-4.
5.
Jeyendran RS. Protocols for Semen Analysis in Clinical Diagnosis. London: Parthenon Publishing
Group; 2003. pp. 31-32.
6.
Meschede D, Keck C, Zander M, Cooper TG, Yeung CH, Nieschlag E. Influence of three different
preparation techniques on the results of human sperm morphology analysis. Int J Androl
1993;16:362-9.
7.
Menkveld R, Lacquet FA, Kruger TF, Lombard CJ, Sanchez Sarmiento CA, de Villiers A. Effects of
different staining and washing procedures on the results of human sperm morphology evaluation by
manual and computerised methods. Andologia 1997;29:1-7.
8.
Henkel R, Schreiber G, Sturmhoefel A, Hipler UC, Zermann DH, Menkveld R. Comparison of three
staining methods for the morphological evaluation of human spermatozoa. Fertil Steril
2008;89:449-55.
9.
Barroso G, Mercan R, Ozgur K, Morshedi M, Kolm P, Coetzee K, et al. Intra- and inter-laboratory
variability in the assessment of sperm morphology by strict criteria: impact of semen preparation,
staining techniques and manual versus computerized analysis. Hum Reprod 1999;14:2036-40.
10. Eustache f, Auger J. Inter-individual variability in the morphological assessment of human sperm:
effect of level of experience and the use of standard methods. Hum Reprod 2003;18:1018-22.
11. Guzick DS, Overstreet JW, Factor-Litvak P, Brazil CK, Nakajima ST, Coutifaris C, et al. Sperm
morphology, motility and concentration in fertile and infertile men. N Engl J Med 2001;345:138893.
12. Kruger TF, Acosta AA, Simmons KF, Swanson RJ, Matta JF, Oehringer S. Predictive value of
abnormal sperm morphology in in vitro fertilization. Fertil Steril 1988;49:112-7.
13. Brooks AK. How reliable are results from the semen analysis? Fertil Steril 2004;82:41-4.
10