You are on page 1of 12

1

Bab I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Pelaksanaan Magang
Setelah menjalani masa-masa kuliah yang mencerahkan intelektual seorang
lulusan SMA dengan teori-teori. Teranglah jika teori itu kemudian dipraktikkan
guna membuka perspektif baru mengenai dunia kerja sesungguhnya sebelum
mahasiswi ini beranjak ke dunia kerja, terjun ke masyarakat menjadi profesional.
Erfahrung ohne Theorie ist blind, aber Theorie ohne Erfahrung ist bloe
intellektuelle Spiel. (Schneider, 2012:2) Tepat rasanya pernyataan filsuf Jerman
Immanuel Kant dalam kutipan tersebut di atas. Pengalaman tanpa teori itu buta,
teori tanpa pengalaman adalah permainan intelektual belaka. Contohnya petani
yang setiap hari mengolah sawah, pengetahuannya diperoleh dari peng-alamannya seumur hidupnya, namun yang ia tahu sekadar mengolah sawah seperti
biasa. Ketika ditanya mengapa padi-padi tersebut ditanam demikian, berapa jarak
yang dibutuhkan untuk menanam padi lain di sekitarnya, petani tersebut
keheranan dan menjawab bahwa semuanya itu berdasarkan perkiraan saja. Akan
tetapi, ada pelajar yang membaca soal pertanian, tahu tata cara mengolah sawah
dan bertani modern. Ketika diminta bertani, padi yang ditanamnya tidak tumbuh
seperti yang diharapkan. Hal demikian terjadi karena si pelajar kurang
berpengalaman. Membaca teori-teori di buku memang terlihat mudah. Namun
seperti mata pisau, bila tidak digunakan lama-lama menjadi tumpul. Seperti
memasak, jangan hanya membaca buku resep atau menonton tayangan memasak
tapi juga rajin berlatih dan mempraktikkannya dengan tekun.

Demikian juga dalam mempelajari jurnalistik, penulis tidak bisa hanya


bergantung pada pengetahuan di bangku kuliah dan pemaparan teori-teori oleh
para dosen maupun yang dipelajari dari buku-buku. Penulis tidak bisa hanya
duduk dan membaca peristiwa-peristiwa dalam surat kabar. Penulis perlu
meninjau langsung dan meng-alam-i atmosfer jurnalistik tersebut.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan
jurnalistik ialah hal-hal yang menyangkut kewartawanan dan persuratkabaran.
Jurnalisme ialah pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menerbitkan
berita dalam surat kabar dan sebagainya; atau kewartawanan. Sementara, jurnalis
adalah orang yang pekerjaannya mengumpulkan dan menulis berita dalam surat
kabar, disebut juga sebagai wartawan.
Bicara

soal

jurnalistik,

erat

kaitannya

dengan

komunikasi

massa,

kemerdekaan pers dan pemerintah. Bisa ditilik dari sejarah pers di Indonesia,
bagaimana pemerintah sejak era kemerdekaan Indonesia telah begitu mesra
bermain informasi dengan wartawan melalui media massa. Namun, hubungan
yang mesra antara pemerintah dan pers acapkali bersifat talik ulur. Sehingga
kemerdekaan pers terancam, hak kebebasan informasi yang merupakan hak
masyarakat untuk tahu (right to know) terbungkam apabila pers sekali-kali berani
mengecam atau tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.
Pra Reformasi, media dimanfaatkan sebagai corong propaganda pemerintah.
Perlindungan terhadap kemerdekaan pers ada, tertuang dalam UU tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pers No. 11 Tahun 1966. Namun undang-undang

tersebut tidak sempurna. Pasal 20 ayat 1 dalam Bab 1X tentang peralihan


misalnya, memuat :
a. Dalam masa peralihan keharusan mendapatkan Surat Ijin Terbit (SIT)
masih berlaku sampai ada keputusan pencabutan oleh pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR);
b. Ketentuan-ketentuan mengenai SIT dalam masa peralihan diatur oleh
pemerintah bersama Dewan Pers.
Dengan adanya pasal peralihan ini, seluruh ketentuan yang ada dalam UU No.
11 Tahun 1966 yang memberikan kemerdekaan pers, praktis menjadi tidak ada
artinya lagi (Sukardi; 2013:15). Apalagi Dewan Pers yang dibentuk hanya
merupakan perpanjangan tangan pemerintah karena dipimpin langsung oleh
Menteri Penerangan.
Ditambah lagi, pada masa orde baru, kemerdekaan pers semakin dikebiri
dengan meratifikasi UU No. 11/1966 menjadi UU No. 21 Tahun 1982 yang
memberlakukan SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) sebagai kamuflase
pembenaran tindak bredel dan sensor atas pemberitaan media.
Ranah jurnalistik memang rawan intervensi. Sesuai salah satu fungsi media,
menjadi watchdog, pengawas atau pengontrol pemerintah, jurnalis perlu dan wajib
menjaga independensinya. Jangan sampai, era kemerdekaan pers yang kini telah
diraih melalui UU Pers No. 40 Tahun 1999 menggantikan UU No. 21/1982 raib
begitu saja atau mengalami kemunduran kembali.
Namun demikian, betapapun terkesan mulia tugas jurnalis - yang loyalitas
utamanya pada publik - jurnalis sejatinya juga manusia yang bisa salah. Dalam

menjalankan tugasnya sebagai wartawan, ada 2 pedoman yang wajib dianut yakni
UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Kedua hal tersebut wajib dipatuhi setiap jurnalis profesional. Pasalnya,
kekeliruan yang dilakukan jurnalis baik individu maupun yang melibatkan
institusi atau perusahaan pers tidak hanya berupa kelalaian (human error)
melainkan adanya unsur kepentingan pemilik modal, politik bahkan egoisme
ideologi.
1.1.1. Latar Belakang Institusi
Untuk itulah, penulis memilih tempat pelaksanaan magang di Dewan Pers.
Tempat yang menjadi saksi sejarah perkembangan jurnalistik, khususnya
kemerdekaan pers di Indonesia. Lembaga bentukan negara yang dulu berperan
sebagai perpanjangan tangan pemerintah saja dan kini telah lahir kembali menjadi
lembaga negara yang independen. Bukan sebagai penasihat pemerintah,
melainkan sebagai penjaga kemerdekaan atau kebebasan pers, sebagai penegak
etika pers, sebagai mediator penyelesaian permasalahan antara pers dan
masyarakat, serta sebagai pranata pendidikan pers. (Bagir Manan, 2013:IX)
1.1.2. Latar Belakang Topik yang Dipilih
Kemerdekaan pers sejatinya adalah hak asasi setiap warga negara. Demikian
yang tertuang dalam pasal 4 butir 1 UU Pers No. 40 Tahun 1999, bunyinya:
kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Akan tetapi, faktanya
belum banyak yang paham apa fungsi dan peranan Dewan Pers. Lebih dari itu,
bahkan masyarakat selaku konsumen media banyak yang tidak tahu cara
menyikapi pemberitaan pers yang merugikan mereka. Jurnalis yang terpasung

dalam konglomerasi media pun bergeming, tidak tahu cara menggunakan UU Pers
sebagai senjata dan menjadikan Dewan Pers sebagai tameng melawan intervensi
pemilik modalnya.
Dengan demikian, melalui laporan magang ini, topik yang hendak diusung
penulis ialah peran dan tata cara kerja Dewan Pers dalam menjalankan amanat UU
Pers dan menegakkan Kode Etik Jurnalistik.

1.2. Identifikasi Masalah


Dalam laporan magang di Dewan Pers ini, penulis berupaya mengidentifikasi
beberapa masalah yang perlu dijawab:
Apa yang dimaksud dengan proses mediasi dan ajudikasi sengketa
pers di Dewan Pers?
Bagaimana prosedur pendataan perusahaan pers di Dewan Pers?
1.3. Tujuan Magang
Tujuan dari pelaksanaan magang yang dilakukan penulis di Dewan Pers adalah
sebagai berikut:
1.3.1. Tujuan Umum
Melatih kemampuan mahasiswa-mahasiswi untuk beradaptasi dengan

lingkungan kerja
Melihat secara langsung aktivitas yang terkait dengan bidang ilmu

komunikasi (dalam hal ini jurnalistik)


Menambah wawasan mengenai sistem komunikasi dan efektifitas
komunikasi (dalam hal ini jurnalistik) dengan bawahan, rekan
sejawat dan atasan dalam suatu institusi

Memberi

kesempatan

kepada

mahasiswa-mahasiswi

untuk

mengaplikasikan teori dan atau konsep jurnalistik yang diperoleh

selama kuliah dengan keadaan sebenarnya yang ada di institusi


Melatih kedisiplinan, kemampuan bekerja, dan menambah

pengalaman praktis
Memberi kesempatan

kepada

mahasiswa-mahasiswi

untuk

menemukan masalah-masalah dan menganalisis kegiatan yang terkait


dengan bidang peminatan (dalam hal ini jurnalistik) pada suatu
institusi atau organisasi
1.3.2. Tujuan Khusus
Mengetahui dan memahami kinerja Dewan Pers dalam ranah

jurnalistik
Melihat dari dekat bagaimana kode etik jurnalistik dan UndangUndang Pers No. 40/1999 ditegakkan

1.4. Manfaat Magang


Berdasarkan tujuan mulia di atas, pelaksanaan magang oleh mahasiswamahasiswi juga diharapkan bermanfaat secara akademis maupun praktis. Berikut
ialah manfaat-manfaat magang yang hendak disampaikan penulis:

1.4.1. Manfaat Akademis


Menambah pengetahuan dan wawasan penulis dalam memahami salah
satu lembaga negara yang independen dan berada dalam ranah
jurnalistik, yakni Dewan (kehormatan) Pers. Dimana lembaga ini
sedemikan terkenal namun belum banyak yang tahu fungsi dan
peranan dan kewenangannya. Dengan demikian, kiranya laporan
magang ini juga bisa menjadi gambaran yang tepat dan memadai bagi

studi praktis mengenai lembaga penegak kemerdekaan pers di


Indonesia ini.
1.4.2. Manfaat Praktis
Laporan magang ini hendaknya juga dapat menjadi pedoman bagi para
konsumen media dan profesional jurnalistik dalam menghadapi arus
kebebasan informasi yang berkaitan erat dengan kemerdekaan pers di
Indonesia. Ketahui, bahwa di Indonesia ada lembaga independen yang
memperjuangkan kemerdekaan pers, diamanatkan undang-undang
menangani hal-hal terkait pemberitaan dan dapat menjadi tempat
mengadu bagi para konsumen media yang merasa dirugikan akan
pemberitaan pers. Terakhir, penulis juga berharap laporan magang ini
dapat menjadi masukan yang membangun bagi Dewan Pers.
1.5. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Magang
Adapun mengenai waktu dan tempat penulis melaksanakan praktik kerja
magang ialah sebagai berikut.
1.5.1. Waktu
Berdasarkan standar minimum waktu pelaksanaan magang yang
ditentukan oleh Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara (Fikom
Untar), pelaksana magang wajib menempuh waktu kerja minimal 168 jam.
Pada kesempatan ini, penulis telah menempuh 213 jam yang terhitung sejak
01 Juli 2014 s.d. 15 Agustus 2014, yakni selama 28 hari.
Dari tempat magang, penulis diperbolehkan mulai masuk bekerja
antara pukul 08.00 sampai 10.00. Toleransi jam kerja tersebut diberikan
karena menyesuaikan dengan agenda kerja dan atau acara yang berlangsung di
tempat magang. Dimana acara normalnya berlangsung dari pagi hingga sore,
tetapi bisa juga mulai siang sampai mahgrib. Oleh sebab penulis menjalankan

magang saat bulan puasa, waktu kerja seharusnya selesai pada pukul 15.00.
Namun dalam beberapa kesempatan, ada hari dimana penulis harus mengikuti
acara di tempat magang yang berlangsung hingga waktu berbuka puasa, yakni
pukul 18.00.
1.5.2. Tempat
Penulis melaksanakan praktik magang di Dewan Pers Divisi Hukum
dan Divisi Pengaduan. Dewan Pers berlokasi di Gedung Dewan Pers lantai 7
dan 8, Jalan Kebon Sirih No.32-34, Jakarta Pusat, Indonesia. Penulis
melakukan praktik magang di salah satu lembaga pers yang independen dan
tertinggi di Indonesia guna melihat, mengalami, merasakan dan memahami
seluk beluk praktik jurnalistik, penerapan kode etik jurnalistik dan
pelaksanaan amanah UU Pers No. 40 Tahun 1999 oleh para profesional
langsung dari kacamata dewan kehormatan pers.

1.6. Metode Magang


Metode penyusunan laporan magang yang digunakan yaitu teknik
pengumpulan data secara kualitatif, sebagai berikut:
1.6.1. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa
berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.
(Sugiyono, 2011: 329-330)
Metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data
historis. Oleh karena sebenarnya sejumlah besar fakta dan data sosial tersimpan

dalam bahan yang berbentuk dokumentasi (Bungin, 2011:124), penulis pun


memanfaatkan metode dokumenter sebagai salah satu teknik pengumpulan data
untuk laporan magang ini.
Adapun yang termasuk bahan dokumenter terbagi beberapa macam, yaitu:
a. Otobiografi;
b. Surat-surat pribadi, buku-buku, atau catatan harian, memorial;
c. Kliping;
d. Dokumen pemerintah maupun swasta;
e. Cerita roman dan cerita rakyat;
f. Data di server dan flashdisk;
g. Data tersimpan di website, dan lain-lain. (Bungin, 2011:125)
Dari Dewan Pers, penulis dibekali buku-buku terbitan Dewan Pers yang
disusun langsung oleh anggota Dewan Pers, dan bersifat non-profit atau tidak
diperjualbelikan. Dengan demikian, penulis beroleh data dokumenter untuk
dimanfaatkan sebagai salah satu metode pengumpulan data laporan magang.
1.6.2. Observasi
Observasi adalah bagian dari pengumpulan data. Observasi berarti
mengumpulkan data langsung dari lapangan. (Raco, 2010: 112)
Dalam membuat laporan magang, penulis perlu meninjau langsung kondisi
dan situasi di lapangan. Dengan kata lain, penulis perlu memerhatikan sendiri
berbagai fenomena berdasarkan pengamatan sendiri. Untuk itulah, penulis dalam
hal ini juga melakukan observasi. Observasi atau pengamatan dapat didefinisikan

10

sebagai perhatian yang terfokus terhadap kejadian, gejala, atau sesuatu. (Emzir,
2012:37, 38)
Dalam hal ini, penulis melakukan observasi mengenai sistem dan tata cara
kerja Dewan Pers secara menyeluruh, baik mengenai kinerja anggota dewan, juga
kinerja staf sekretariat Dewan Pers.
Pengamatan langsung yang dilakukan penulis meliputi, keikutsertaan dalam
sidang-sidang ajudikasi, rapat-rapat mediasi, rapat-rapat pokja Dewan Pers,
menghadiri forum group discussion (FGD) yang diselenggarakan divisi hukum
Dewan Pers, dan keseharian staf sekretariat Dewan Pers dalam menerima dan
membalas surat-surat pengaduan dan email konsultasi yang masuk ke meja
Dewan Pers.
Secara spesifik, jenis observasi yang penulis lakukan adalah observasi
partisipan atau pengamatan secara terlibat. Observasi partisipan adalah suatu
bentuk observasi khusus dimana mahasiswi praktik kerja lapangan tidak hanya
menjadi pengamat yang pasif, melainkan juga mengambil berbagai peran dalam
situasi tertentu dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang akan diteliti.
(Soefijanto, 2012:166) Pengamatan terlibat dalam hal ini juga berarti pengamatan
yang melibatkan mahasiswi praktik kerja lapangan dalam kegiatan orang yang
menjadi sasaran mahasiswi praktik kerja lapanganan, tanpa mengakibatkan
perubahan pada kegiatan atau aktivitas yang bersangkutan dan tentu saja dalam
hal ini mahasiswi praktik kerja lapangan tidak menutupi dirinya selaku pengamat.
Untuk menyempurnakan aktivitas pengamatan partisipatif ini, mahasiswi praktik
kerja lapangan harus mengikuti kegiatan keseharian yang dilakukan informan

11

dalam waktu tertentu, memerhatikan apa yang terjadi, mendengarkan apa yang
dikatakannya, mempertanyakan informasi yang menarik, dan mempelajari
dokumen yang dimiliki. (Idrus, 2009:101)
1.6.3. Wawancara Langsung
Salah satu sumber data yang juga bisa penulis gunakan dalam penyusunan
laporan magan ini ialah wawancara. Wawancara (interview) dilakukan untuk
mendapatkan informasi, yang tidak dapat diperoleh melalui observasi atau
kuesioner. (Raco, 2010: 116)
Seperti yang diungkapkan Yin dalam buku Intergrated Marketing
Communication: Success Story, wawancara yaitu sumber informasi yang sangat
penting bagi studi kasus karena berkenaan dengan urusan kemanusiaan. Urusan
kemanusiaan ini dilaporkan dan diinterpretasikan melalui penglihatan pihak yang
diwawancarai, dan para responden yang mempunyai informasi dapat memberikan
keterangan penting dengan baik ke dalam situasi yang berkaitan. (Soefijanto,
2012: 166)
Menurut KBBI, wawancara dapat didefinisikan sebagai tanya jawab dengan
seseorang yang diperlukan untuk dimintai keterangan atau pendapatnya mengenai
suatu hal; tanya jawab mahasiswi praktik kerja lapangan dengan narasumber.
Guna melengkapi celah-celah pengumpulan data melalui kedua metode di
atas, penulis perlu melakukan metode wawancara langsung. Berdasarkan metode
ini, penulis berupaya melengkapi data, informasi, observasi dan penilaian melalui
tanya jawab langsung dengan pembimbing magang di Dewan Pers, beberapa
anggota dewan kehormatan pers dan staf sekretariat Dewan Pers.
Seperti yang diungkapkan Prof. Dr. Emzir, M.Pd. dalam buku Analisis Data
(2012: 50, 51), wawancara memungkinkan mahasiswi praktik kerja lapangan
mengamati perilaku individu dan kelompok dan mengetahui pendapat dan

12

keyakinan mereka dan terhadap apa yang berubah dengan perubahan pribadi dan
kondisi mereka. Wawancara dengan demikian dapat membantu menetapkan
keabsahan data yang telah diperoleh penulis dari sumber-sumber lain atau melalui
instrumen-instrumen lain atau untuk mengungkapkan berbagai pertentangan yang
muncul di antara sumber-sumber tersebut.
Dan oleh karena, penulis dalam pelaksanaan praktik magang ini melakukan
kegiatan pengamatan dan wawancara sekaligus, metode pengumpulan data ini
bisa juga disebut sebagai pengamatan dan teknik wawancara mendalam (depth
interview). (Idrus, 2009: 109)
Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa
menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan
terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. (Bungin, 2010: 108)

You might also like