You are on page 1of 87

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5- 15% penyulit kehamilan dan
merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu
bersalin. Di Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga
masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga oleh
perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medis dan sistem
rujukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh
semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi
dalam kehamilan harus benar- benar dipahami oleh semua tenaga medis baik di
pusat maupun di daerah (Prawirohardjo, 2008).
Asma adalah salah satu kondisi medis yang paling umum yang
mempengaruhi hidup wanita usia reproduksi (Daftary & Desay, 2008). Asma
merupakan kondisi medis yang serius berpotensi umum dapat mempersulit sekitar
4-8% dari kehamilan (ACOG, 2008). Rey dan Boulet pada tahun 2007
mendapatkan prevalensi wanita hamil dengan asma antara 3,4 - 12,4% (Subijanto,
2008). Keparahan pasien dengan asma selama kehamilan sangat bervariasi. Pada
sekitar sepertiga wanita asma menjadi lebih buruk, dalam satu sepertiga lainnya
menjadi kurang parah dan dalam sepertiga yang tersisa itu tetap tidak berubah
selama kehamilan (Manju & Hemali, 2014).
Pada pasien yang memiliki gejala asma, minggu kehamilan ke- 24 sampai
36 cenderung menjadi yang paling sulit. Hanya 10% dari wanita akan mengalami
eksaserbasi asma selama persalinan dan melahirkan, dan keparahan cenderung
untuk kembali ke semula setelah 3 bulan postpartum (Daftary & Desay, 2008).
Berdasarkan penelitian selama abad ke-20 menunjukkan bahwa pada
keparahan asma yang meningkat keluaran bayi dapat lebih buruk dan dengan
manajemen asma agresif keluaran bayi biasanya baik (Daftary & Desay, 2008).
B. Tujuan
Tujuan dari penyusunan presentasi kasus ini adalah :

Mengetahui cara penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan hipertensi


dalam kehamilan dan asma pada kehamilan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
1. TERMINOLOGI
Terminologi yang dipakai adalah
a. Hipertensi dalam kehamilan, atau
b. Preeklampsia eklampsia (Prawirohardjo, 2008).
2. KLASIFIKASI
Pembagian klasifikasi berdasarkan Report of The

National High Blood

Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in


Pregnancy tahun 2001, ialah:
a. Hipertensi kronik

Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum usia kehamilan


20 minggu dan berlangsung sampai setelah 12 minggu postpartum.
b. Preeklampsia- eklampsia
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan
disertai dengan proteinuria. Eklampia adalah preeclampsia yang disertai
dengan kejang- kejang dan atau koma.
c. Hipertensi kronik dengan superimposed preeclampsia
Hipertensi kronik dengan superimposed preeclampsia adalah hipertensi
kronik disertai tanda- tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai
proteinuria.
d. Hipertensi Gestasional
Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa
disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 12 minggu
postpartum (Whitty, 2004 Praorohardjo, 2008).
3. PATOFISIOLOGI
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui
dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi
dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap
mutlak benar. Teori- teori yang sekarang banyak dianut adalah:
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah
dari cabang- cabang arteri uterine dan arteri ovarika. Kedua pembuluh
darah tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuata dan arteri
arkuata member cabang arteria radialis. Arteria radialis menembus
endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis member cabang
arteria spiralis (Prawirohardjo, 2008).
Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi infasi
trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan
degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis.
Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga
jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis
mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri

spiralis ini member dampak penurunan tekanan darah, penurunan


resistensi vascular, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero
plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi
jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin
dengan baik. Proses ini dinamakan remodeling arteri spiralis
(Prawirohardjo, 2008).
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel- sel
trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya.
Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dank eras sehingga lumen
arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi.
Akibatnya, arteri spiralis relative mengalami vasokonstriksi, dan terjadi
kegagalan remodeling arteri spiralis, sehingga aliran darah utero
plasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dan
iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan- perubahan yang dapat
menjelaskan patogenesis hipertensi dalam kehamilan selanjutnya.
Diameter rata- rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500
mikron, sedangkan pada preeclampsia rata- rata 200 mikron. Pada hamil
normal vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran
darah ke utero plasenta (Prawirohardjo, 2008).
b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
1) Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/ radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada
hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan remodeling arteri
spiralis, dengan akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang
mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (radikal
bebas). Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima electron
atau atom/ molekul yang mempunyai electron yang tidak berpasangan.
Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah
radikal hidroksial yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel
endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan pada manusia
adalah suatu proses normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk
perlindungan tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin

dahulu dianggap sebagai bahan toksin yang beredar dalam darah,


maka

dulu

hipertensi

dalam

(Prawirohardjo, 2008).
Radikal hidroksil akan

kehamilan

disebut

merusak membrane

toxemia
sel,

yang

mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida


lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membrane sel, juga akan
merusak nukleus, dan protein sel endotel. Produki oksidan (radikal
bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan
produksi antioksidan 9Prawirohardjo, 2008).
2) Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar
oksidan,

khususnya

peroksida

lemak

meningkat,

sedangkan

antioksidan, missal vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan


menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak
yang relatif tinggi. Peroksida lemak ebagai oksidan, radikal bebas
yang sangat toksis ini akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah
dan akan merusak membrane sel endotel. Membran sel endotel lebih
mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak karena letaknya
langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak
asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan
terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi
peroksida lemah (Prawirohardjo, 2008).
3) Disfungsi sel endotel
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka
terjadi kerusakan sl endotel yang kerusakannya dimulai dari
membrane

sel

endotel.

Kerusakan

membrane

sel

endotel

mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluuh


strukur sel endotel. Keadaan ini disebut disfungsi endotel. Pada
waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel
endotel, maka akan terjadi:
a). Gangguan metabolism prostaglandin, karena salah satu fungsi sel
endotel adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya

produksi

prostasiklin

(PGE2),

suatu

vasodilatator

kuat

(Prawirohardjo, 2008).
b). Agregasi sel- sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi el trombosit ini adalah untuk menutup tempattempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan. Agregari
trombosit memproduksi tromboksan (TXA2) suatu vaskonstriktor
kuat. Dalam keadaan normal perbandingan kadar prostasiklin/
tromboksan

lebih

tinggi

kadar

prostasiklin

(lebih

tinggi

vasodilatator). Pada preeclampsia kadar tromboksan lebih tinggi


dari kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi dengan
terjadi kenaikan tekanan darah (Prawirohardjo, 2008).
c). Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular
endotheliosis) (Prawirohardjo, 2008).
d). Peningkatan permeabilitas kapilar (Prawirohardjo, 2008).
e). Peningkatan produksi bahan- bahan vasopresor, yaitu endotelin.
Kadar

NO

(vasodilatator)

menurun,

sedangkan

endotelin

(vasokonstriktor) meningkat (Prawirohardjo, 2008).


f). Peningkatan faktor koagulasi (Prawirohardjo, 2008).
c. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya
hipertensi dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut:
1). Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam
kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida.
2). Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih
besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan
suami yang sebelumnya.
3). Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam
kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai sat kehamilan
ialah makin lama periode ini, makin kecil terjadinya hipertensi dalam
kehanilan.
Pada perempuan hamilo normal, respons imun menolak adanya
hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini desebabkan adanya human
leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang berperan penting dalam
modulasi sistem imun sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi

(plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin


dari lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu (Prawirohardjo, 2008).
Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas
ke dalam jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk
terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, di samping
untuk menghadapi sel Natural Killer. Pada plasenta hipertensi dalam
kehamilan, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi
trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur
sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga
merangsang produksi sitikon, sehingga memudahkan terjadinya reaki
inflamasi. Kemungkinan erjadi immune Maladaptation pada preeklampsia
(Prawirohardjo, 2008).
Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunya
kecenderungan terjadi preeclampsia, ternyata mempunyai proporsi Helper
Sel yang lebih rendah disbanding pada normotensif (Prawirohardjo, 2008).
d. Teori adaptasi kardiovaskular
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahanbahan vasopresor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap
rangsangan bahan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih
tinggi untuk menimbulkan respons vasokonstriksi. Pada kehamilan normal
terjadinya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor adalah
akibat dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel
pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa daya refrakter terhadap bahan
vasopresor akan hilang bila diberi prostaglandin sintesa inhibitor (bahan
yang menghambat produksi prostaglandin). Prostaglandin ini di kemudian
hari ternyata adalah prostasiklin (Prawirohardjo, 2008).
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter
terhadap bahan vasokonstriktor dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan
terhadap bahan- bahan vasopresor. Artinya daya refrakter pembuluh darah
terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi
sangat

peka

terhadap

bahan

vasopresor. Banyak

peneliti

telah

membuktikan bahwa peningkatan kepekaan terhadap bahan- bahan

vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjadi pada trimester I


(pertama). Peningkatan kepekaan dalam kehamilan yang akan menjadi
hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua
puluh minggu. Fakta ini dipakai sebagai prediksi akan terjadinya
hipertensi dalam kehamilan (Prawirohardjo, 2008).
e. Teori genetik
Ada faktor keturunan dan familiar dengan model gen tunggal.
Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan
secara familial jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti
bahwa pada ibu yang mengalami preeclampsia 26% anak perempuannya
akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu
mengalami preeklampsia (Prawirohardjo, 2008).
f. Teori defisiensi gizi (teori diet)
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan
defisiensi gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di Inggris ialah penelitian
tentang pengaruh diet pada preeclampsia beberapa waktu bsebelum
pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapat gizi yang cukup
dalam persiapan perang menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam
kehamilan (Prawirohardjo, 2008).
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minya ikan
termasuk minyak hati halibut dapat mengurangi risiko preeclampsia.
Minyak ikan mengandung banyak asam lemah tidak jenuh yang dapat
menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit dan
mencegah vasokonstriksi pembuluh darah (Prawirohardjo, 2008).
Beberapa peneliti telah mencoba melakukan uji klinik untuk
memakai konsumsi minyak ikan atau bahan yang mengandung asam
lemah tak jenuh dalam mencegah preeclampsia. Hasil sementara
menunjukkan bahwa penelitian ini berhasil baik dan mungkin dapat
dipakai sebagai alternative pemberian aspirin (Prawirohardjo, 2008).
Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada
diet perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya preeclampsia/

eklampsia. Peneliti di Negara Equador Andes dengan metode uji klinik,


ganda tersamar, dengan membandingkan pemberian kalsium dan plasebo.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi suplemen
kalsium cukup, yang mengalami preeclampsia adalah 14% sedang yang
diberi glukosa 17% (Prawirohardjo, 2008).
g. Teori stimulus inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di
dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses
inflamasi. Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris
trofoblas, sebagai sisa- sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas akibat
reaksi stress oksidatif (Prawirohardjo, 2008).
Bahan- bahan ini sebagai bahan asing yang kemudia merangsang
timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris
trofoblas masih dalam batas wajar sehingga reaki inflamasi juga masih
dalam batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia
dimana pada preeklampsia terjadi peningkatan stress oksidatif sehingga
produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkt. Makin
banyak sel trofoblas plasenta misalnya pada plasenta besar, pada hamil
ganda, maka reaksi stress oksidatif akan sangat meningkt, sehingga jumlah
sisa debris plasenta juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan
beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar,
disbanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respons inflamasi ini
akan mengaktivasi sel endotel, dan sel- sel makrofag/ granulosit yang
lebih besar pula sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang
menimbulkan gejala- gejala preeclampsia pada ibu (Prawirohardjo, 2008).
Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preeclampsia
akibat produksi debris trofoblas plasenta berlebihan tersebut di atas,
mengakibatkanaktifitas leukosit yang sangat tinggi pada sirkulasi ibu.
Peristiwa ini oleh Redman disebut sebagai kekacauan adaptasi dari
proses

inflamasi

intravaskular

pada

kehamilan

yang

berlangsung normal dan menyeluruh (Prawirohardjo, 2008).

biasanya

10

4. FAKTOR RISIKO (Prawirohardjo, 2008)


1. Primigravida, primipaternitas
2. Hiperplasentosis (misalnya pada mola hidatidosa, kehamilan multiple,
diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar)
3. Umur
4. Riwayat keluarga pernah memiliki tekanan darah tinggi, preeclampsia/
eklampsia
5. Penyakit- penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6. Obesitas
5. PENEGAKKAN DIAGNOSIS (POGI, 2005)
1. Pengukuran tekanan darah
2. Pengukuran kadar proteinuria
a. Secara Escbach
b. Dipstik
6. PENATALAKSANAAN
1. Anti kejang
2. Anti hipertensi

B. ASMA DALAM KEHAMILAN


1. DEFINISI
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran nafas yang
melibatkan banyak sel dan elemen seluler yang mengakibatkan hiperresponsif
jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak
nafas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam hari dan atau
dini hari. Episode tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan nafas dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (GINA, 2012)

11

2. KLASIFIKASI KEPARAHAN ASMA


Dari National Institutes of Health, National Heart, Lung, and Blood
Institute. National Asthma Education Program (2007).

F
E
V
=
f
o
r
c
e

12

d
e
x
p
i
r
a
t
o
r
y
v
o
l
u
m
e
,
F
V
C
=
f
o
r
c
e
d
v
i
t
a
l
c
a
p
a

13

c
i
t
y
.
P
A
T
O
F
I
S
I
O
L
O
G
I

As
ma
me
rup
aka
n
infl
am
asi
kro
nik
sal
ura
n
nap

14

as.
Ber
bag
ai
sel
infl
am
asi
ber
per
an
ter
uta
ma
sel
ma
st,
eos
ino
fil,
sel
lim
fosi
t T,
ma
kro
fag
,
neu
trof

15

il
dan
sel
epit
el.
Fak
tor
lin
gku
nga
n
dan
ber
bag
ai
fak
tor
lain
ber
per
an
seb
aga
i
pen
yeb
ab
ata
u
pen

16

cet
us
infl
am
asi
sal
ura
n
nap
as
pad
a
pen
der
ita
as
ma.
Infl
am
asi
ter
dap
at
pad
a
ber
bag
ai
der
ajat

17

as
ma
bai
k
pad
a
as
ma
inte
rmi
ten
ma
upu
n
as
ma
per
sist
en.
Infl
am
asi
dap
at
dite
mu
kan
pad
a
ber

18

bag
ai
ben
tuk
as
ma
sep
erti
as
ma
aler
gik
,
as
ma
non
aler
gik
,
as
ma
ker
ja
dan
as
ma
yan
g
dic
etu

19

ska
n
asp
irin
.
IN
FL
A
M
AS
I
AK
UT
Pen
cet
us
ser
ang
an
as
ma
dap
at
dis
eba
bka
n
ole
h
sej

20

um
lah
fak
tor
ant
ara
lain
aler
gen
,
vir
us,
irit
an
yan
g
dap
at
me
ngi
ndu
ksi
res
pon
s
infl
am
asi
aku
t

21

yan
g
ter
diri
ata
s
rea
ksi
as
ma
tipe
cep
at
dan
pad
a
sej
um
lah
kas
us
dii
kut
i
rea
ksi
as
ma
tipe
lam

22

bat.
Re
aks
i
As
ma
Tip
e
Ce
pat
Ale
rge
n
aka
n
teri
kat
pad
a
IgE
yan
g
me
ne
mp
el
pad
a
sel
ma

23

st
dan
terj
adi
deg
ran
ula
si
sel
ma
st
ters
ebu
t.
De
gra
nul
asi
ters
ebu
t
me
nge
lua
rka
n
pre
for
me
d

24

me
dia
tor
sep
erti
hist
ami
n,
pro
tea
se
dan
ne
wly
ge
ner
ate
d
me
dia
tor
sep
erti
leu
kot
rin,
pro
sta
gla
ndi

25

n
dan
PA
F
yan
g
me
nye
bab
kan
kon
tra
ksi
oto
t
pol
os
bro
nku
s,
sek
resi
mu
kus
dan
vas
odi
lata
si.
Re

26

aks
i
Fas
e
La
mb
at
Re
aks
i
ini
tim
bul
ant
ara
6-9
jam
set
ela
h
pro
vok
asi
aler
gen
dan
mel
ibat
kan
pen

27

ger
aha
n
sert
a
akti
vas
i
eos
ino
fil,
sel
T
CD
4+,
neu
trof
il
dan
ma
kro
fag
.
IN
FL
A
M
AS
I

28

KR
ON
IK
Ber
bag
ai
sel
terl
ibat
dan
tera
kti
vas
i
pad
a
infl
am
asi
kro
nik
.
Sel
ters
ebu
t
iala
h
lim
fosi

29

t T,
eos
ino
fil,
ma
kro
fag
,
sel
ma
st,
sel
epit
el,
fibr
obl
ast
dan
oto
t
pol
os
bro
nku
s.
Li
mf
osit
T
Li

30

mf
osit
T
yan
g
ber
per
an
pad
a
as
ma
iala
h
lim
fosi
t TCD
4+
sub
tipe
Th
2).
Li
mf
osit
T
ini
ber
per

31

an
seb
aga
i
orc
hes
tra
infl
am
asi
sal
ura
n
nap
as
den
gan
me
nge
lua
rka
n
sito
kin
ant
ara
lain
IL3,
IL-

32

4,I
L5,
IL13
dan
G
MCS
F.
Int
erle
uki
n-4
ber
per
an
dal
am
me
ngi
ndu
ksi
Th
0
ke
ara
h
Th
2

33

dan
ber
sa
ma
sa
ma
IL13
me
ngi
ndu
ksi
sel
lim
fosi
t B
me
nsi
nte
sis
IgE
.
IL3,
IL5
sert
a
G

34

MCS
F
ber
per
an
pad
a
mat
ura
si,
akti
vas
i
sert
a
me
mp
erp
anj
ang
ket
aha
nan
hid
up
eos
ino
fil.
Epi

35

tel
Sel
epit
el
yan
g
tera
kti
vas
i
me
nge
lua
rka
n
a.l
15HE
TE,
PG
E2
pad
a
pen
der
ita
as
ma.
Sel
epit

36

el
dap
at
me
nge
ksp
resi
me
mb
ran
ma
rke
rs
sep
erti
mo
lek
ul
adh
esi,
end
oth
elin
,
nit
ric
oxi
de
syn
tha

37

se
sito
kin
ata
u
khe
mo
kin
.
Epi
tel
pad
a
as
ma
seb
agi
an
me
nga
lam
i
she
edi
ng
Me
kan
ism
e
terj

38

adi
nya
ma
sih
dip
erd
eba
tka
n
teta
pi
dap
at
dis
eba
bka
n
ole
h
eks
uda
si
pla
sm
a,
eos
ino
phi
l
gra

39

nul
e
pro
tei
n
oxy
ge
n
fre
erad
ica
l
TN
Falfa
,
ma
stcel
l
pro
teo
lyti
c
enz
ym
dan
met
alo

40

pro
tea
se
sel
epit
el.
EO
SI
NO
FI
L
Eos
ino
fil
jari
nga
n
(tis
sue
eos
ino
phi
l)
kar
akt
eris
tik
unt
uk
as

41

ma
teta
pi
tida
k
spe
sifi
k.
Eos
ino
fil
yan
g
dite
mu
kan
pad
a
sal
ura
n
nap
as
pen
der
ita
as
ma
ada
lah

42

dal
am
kea
daa
n
tera
kti
vas
i.
Eos
ino
fil
ber
per
an
seb
aga
i
efe
kto
r
dan
me
nsi
nte
sis
sej
um
lah
sito

43

kin
ant
ara
lain
IL3,
IL5,
IL6,
G
MCS
F,
TN
Falfa
sert
a
me
diat
or
lipi
d
ant
ara
lain
LT
C4
dan

44

PA
F.
Seb
alik
nya
IL3,
IL5
dan
G
MCS
F
me
nin
gka
tka
n
mat
ura
si,
akti
vas
i
dan
me
mp
erp
anj

45

ang
ket
aha
nan
hid
up
eos
ino
fil.
Eos
ino
fil
yan
g
me
nga
ndu
ng
gra
nul
pro
tein
iala
h
eos
ino
phi
l
cat
ion

46

ic
pro
tei
n
(E
CP
),
ma
jor
bas
ic
pro
tei
n
(M
BP
),
eos
ino
phi
l
per
oxi
das
e
(EP
O)
dan
eos
ino

47

phi
l
der
ive
d
ne
uro
tox
in
(E
DN
)
yan
g
tok
sik
ter
had
ap
epit
el
sal
ura
n
nap
as.
Sel
Ma
st
Sel

48

ma
st
me
mp
uny
ai
res
ept
or
IgE
den
gan
afi
niti
yan
g
tin
ggi
.
Cr
oss
lin
kin
g
res
ept
or
IgE
den

49

gan
fa
cto
rs
pad
a
sel
ma
st
me
nga
ktif
kan
sel
ma
st.
Ter
jadi
deg
ran
ula
si
sel
ma
st
yan
g
me
nge
lua

50

rka
n
pre
for
me
d
me
dia
tor
sep
erti
hist
ami
n
dan
pro
tea
se
sert
a
ne
wly
ge
ner
ate
d
me
dia
tor
s

51

ant
ara
lain
pro
sta
gla
ndi
n
D2
dan
leu
kot
rin.
Sel
ma
st
jug
a
me
nge
lua
rka
n
sito
kin
ant
ara
lain
TN
F-

52

alfa
,
IL3,
IL4,
IL5
dan
G
MCS
F.

53

Tab
2.2.
kan
ism
infl

aku

54

dan

pad

dan

ing

Tab
2.3.
bun
gan

55

infl

aku
infl

dan

ing
den
gan

nis

56

Tab
2.4.

Thdan
EM
pad
oge

57

ma
F
A
K
T
O
R
R
I
S
I
K
O

58

Tabel 2.5. Faktor risiko asma (PDPI, 2010)

59

5. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis asma pada pasien hamil pada umumnya sama dengan pasien
tidak hamil. Asma biasanya memiliki karakteristik gejala (mengi, chest cough,
sesak napas, nafas pendek), intensitas berfluktuasi, memburuk pada malam
hari, dan adanya pemicu (misalnya alergen, latihan, infeksi). Mengi pada
auskultasi akan mendukung diagnosis, tetapi tidak adanya mengi tidak
mengecualikan diagnosis (ACOG, 2008).
Idealnya, diagnosis asma akan dikonfirmasi dengan menunjukkan
obstruksi jalan napas pada spirometri yang setidaknya sebagian reversibel
(lebih besar dari peningkatan 12% pada FEV1 setelah bronchodilator).
Namun, obstruksi jalan napas reversibel mungkin tidak dibuktikan pada
beberapa pasien dengan asma (ACOG, 2008).
6. PENGARUH ASMA PADA KEHAMILAN
Kehamilan ditandai dengan toleransi imunologi (kekebalan fisiologis)
yang menumpulkan respon imun maternal terhadap antigen paternal
diungkapkan oleh janin. Kehamilan fisiologis telah digambarkan sebagai Th2
dominasi, dan studi saat ini menunjukkan bahwa regulasi sel-sel T
berkembang

biak

(Tregs)

mungkin

memiliki

peran

penting

dalam

pemeliharaan toleransi perifer terhadap antigen paternal selama kehamilan.


Sel Treg, bagaimanapun, mengerahkan efek penghambatan pada pembunuh
alami limfosit bertanggung jawab untuk perlindungan terhadap virus yang
dapat menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi virus (misalnya
influenza), seperti yang diamati dengan H1N1 influenza pada ibu hamil.
Nomor berkurang sel Treg pada kehamilan dikaitkan dengan penolakan
kekebalan janin serta preeklampsia dan berat lahir rendah janin (tamasi,
2010).
Asma secara tradisional dianggap sebagai alergi T helper sel 2 (Th2)
tipe peradangan yang mengarah ke hiperresponsif bronkial, obstruksi jalan
napas dan dalam beberapa kasus jaringan renovasi. Perubahan imunologi pada
kehamilan asma tidak stabil. Dalam sebuah studi baru-baru ini kami
menemukan tanda-tanda pelemahan akibat kehamilan dengan alergi. Aktifasi

60

dalam sel CD4 dan CD8 T yang lebih besar, dan jumlah pembunuh alami T
(NKT) sel meningkat baik dalam asma tidak hamil dan dalam pasien hamil
yang sehat (dibandingkan dengan kontrol yang sehat yang tidak hamil), tetapi
dalam penderita asma hamil yang terkontrol baik, ada aktivasi limfosit lanjut
yang diamati menunjukkan bahwa efek imunosupresif tanpa komplikasi
kehamilan dapat menumpulkan aktivasi limfosit yang mencirikan asma. Di
sisi lain, dalam penelitian Tamasi sebelumnya sejumlah besar interferon (IFN)
- memproduksi sel terdeteksi dalam darah perifer diperoleh dari ibu hamil
dengan asma tidak dikontrol dan korelasi negatif yang signifikan terungkap
antara jumlah IFN- T positif -cells dan berat lahir bayi yang baru lahir,
menunjukkan retardasi pertumbuhan. Selain itu, mengingat penanda inflamasi
lainnya, protein heat shock (Hsp) -70, tingkat sirkulasi lebih tinggi terdeteksi
pada wanita asma hamil dibandingkan pada wanita hamil yang sehat. Berat
lahir janin lebih rendah pada kehamilan dengan komplikasi asma,
menunjukkan hubungan antara respon imun penderita asma dan perubahan
pertumbuhan janin berubah. Selain itu, efek samping yang mungkin akibat
peradangan asma pada kehamilan, dalam penelitian yang baru dari 13,100
penderita asma hamil, 35% peningkatan risiko kematian perinatal diamati
pada kehamilan wanita dengan asma. Faktor-faktor utama yang berkontribusi
terhadap meningkatnya angka kematian perinatal ini mungkin obesitas ibu dan
merokok, serta asma tidak terkontrol. Studi lain yang baru, menunjukkan ibu
hamil dengan didiagnosis dokter dengan asma, dievaluasi kontrol asma
mereka berulang kali selama kehamilan berdasarkan frekuensi gejala dan
gangguan dengan kegiatan sehari-hari dan tidur, dan melaporkan rawat inap
dan kunjungan klinik terjadwal untuk eksaserbasi asma. Menurut hasil
penelitian, kejadian kelahiran prematur lebih tinggi pada pasien dengan asma
dengan kontrol yang tidak memadai, gejala selama trimester pertama
kehamilan dibandingkan dengan pasien dengan kontrol asma yang memadai,
dan pasien yang dirawat di rumah sakit untuk asma selama kehamilan
memiliki insiden yang lebih tinggi kelahiran prematur dibandingkan pada

61

wanita asma tanpa riwayat rawat inap. Jadi mungkin ada risiko kelahiran
prematur yang ditimbulkan oleh asma ibu yang tidak terkontrol. Asma ibu
juga dikenal sebagai faktor risiko untuk pengembangan asma pada anak-anak
(Tamasi, 2010).
7. PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP JALANNYA ASMA
Kehamilan juga memiliki efek pada kasus asma. Asma membaik pada
sepertiga kasus selama kehamilan, stabil pada sepertiga kasus, dan memburuk
pada sepertiga dari wanita hamil. Asma yang lebih parah sebelum kehamilan
merupakan risiko yang lebih tinggi memburuk selama kehamilan dan ada
hubungan antara kondisi asma saat ini dengan selama kehamilan berikutnya.
Kualitas asma pada awal kehamilan berhubungan dengan morbiditas asma
selama kehamilan berikutnya.
Keparahan gejala asma selama kehamilan juga dapat dipengaruhi oleh
jenis kelamin janin. Gejala asma yang memburuk dan insiden yang lebih
tinggi adanya hambatan pertumbuhan dalam kandungan diamati pada
penderita asma hamil dengan janin perempuan. Di sisi lain, obesitas juga
dikaitkan dengan peningkatan risiko eksaserbasi asma selama kehamilan.
Selain itu, obesitas ibu tanpa pengaruh asma juga meningkatkan risiko untuk
hasil perinatal yang merugikan (preeklamsia, diabetes gestasional, retardasi
janin intrauterine dan kematian janin). Namun, mekanisme imunologi yang
mendasari perubahan jalannya asma selama kehamilan atau memprediksi
biomarker memburuk sebagian besar tidak diketahui (Tamasi, 2010).
8. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama terapi asma pada kehamilan adalah menjaga oksigenasi
yang memadai pada janin dengan mencegah episode hipoksia pada ibu.
Manajemen optimal asma selama kehamilan mencakup pemantauan fungsi
paru-paru, menghindari atau mengendalikan pemicu asma, mendidik pasien,
dan terapi farmakologis individu untuk mempertahankan fungsi paru normal
(ACOG, 2008).

62

PENILAIAN ASMA
a. Dianjurkan evaluasi rutin fungsi paru pada wanita hamil dengan asma
persisten. Untuk penilaian fungsi paru selama kunjungan rawat jalan
dengan menggunakan spirometri akan lebih baik, tetapi pengukuran arus
puncak ekspirasi dengan peak flow meter juga sudah cukup. Pasien
dengan gejala yang memburuk harus dievaluasi dengan pengukuran aliran
puncak dan auskultasi paru-paru.
b. Pada pasien yang tidak minum obat asma, hal ini berguna untuk menilai
kerusakan paru berdasarkan klasifikasi keparahan. Pasien dengan dua atau
lebih episode gejala eksaserbasi membutuhkan penggunaan kortikosteroid
oral dalam 12 bulan sebelumnya, selain itu juga harus dipertimbangkan
pasien memiliki asma persisten.
c. Pada pasien yang minum obat asma, hal ini berguna untuk menilai kontrol
penyakit asma. Menilai perbaikan pasien asma dapat dengan cara
menentukan frekuensi gejala siang hari, gejala nokturnal, pembatasan
aktivitas, frekuensi terapi penyembuhan, dan penilaian FEV1. Penilaian
pada pasien hamil dengan asma juga harus mencakup pengaruh dari setiap
kehamilan sebelumnya pada keparahan asma atau bagaimana kontrolnya
karena hal ini dapat memprediksi jalannya asma selama kehamilan
berikutnya.
d. Pada pasien dengan asma intermiten ringan (mild intermittent asthma),
tidak ada terapi pengendali/ kontrol yang diindikasikan. Penggunaan
kortikosteroid inhalasi adalah lini pertama obat pengendali untuk asma
persisten selama kehamilan. Untuk pasien dengan asma persisten ringan,
direkomendasikan penggunaan dosis rendah kortikosteroid inhalasi.
e. Untuk pasien dengan asma persisten sedang atau yang gejalanya tidak
terkontrol dengan penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis rendah, maka
diindikasikan dengan menggunakan dosis medium kortikosteroid inhalasi
atau dosis rendah kortikosteroid inhalasi dan long-acting -agonis.
f. Budesonide adalah kortikosteroid inhalasi yang disukai untuk digunakan
selama kehamilan. Namun, tidak ada data yang menunjukkan bahwa

63

persiapan kortikosteroid inhalasi lainnya tidak aman selama kehamilan.


Oleh karena itu, penggunaan setiap kortikosteroid inhalasi dapat
dilanjutkan pada pasien yang asma baik dikendalikan oleh agen-agen ini
sebelum hamil (ACOG, 2008).
TERAPI ASMA SECARA UMUM
a. Obat asma secara umum diklasifikasikan menjadi obat kontrol jangka
panjang dan terapi penyelamatan.
b. Obat kontrol jangka panjang digunakan sebagai terapi pemeliharaan
untuk mencegah manifestasi asma, dan termasuk kortikosteroid inhalasi,
kromolin, long acting -agonis, dan teofilin.
c. Terapi penyelamatan, paling sering short-acting -agonis inhalasi,
memberikan perbaikan gejala segera.
d. Kortikosteroid oral baik digunakan sebagai bentuk terapi penyelamatan
untuk mengobati eksaserbasi asma atau terapi kontrol jangka panjang
untuk pasien dengan asma persisten berat.
e. Obat-obat tertentu, mungkin digunakan selama persalinan, memiliki
potensi dapat memperburuk asma. Non selektif b-blocker, carboprost (15metil prostaglandin F2) dan ergonovine dapat memicu bronkospasme.
Magnesium

sulfat

adalah

bronkodilator,

tapi

indometasin

dapat

menyebabkan bronkospasme pada pasien yang sensitif terhadap aspirin.


f. Prostaglandin E2 atau prostaglandin E1 dapat digunakan untuk
pematangan serviks, pengelolaan aborsi spontan atau diinduksi, atau
pengelolaan perdarahan postpartum (ACOG, 2008).
PENATALAKSANAAN ASMA PADA KEHAMILAN
a. Terapi Non Medikamentosa
1) Mengidentifikasi kemungkinan alergen dan atau iritan. Langkahlangkah khusus yang tepat untuk mengurangi jamur, debu, paparan
tungau, bulu binatang, kecoa, dan pemicu lingkungan lainnya.
2) Jika gastroesophageal reflux memperburuk asma pasien, tindakan
nonfarmakologis, seperti mengangkat kepala pada tempat tidur, makan

64

makanan porsi kecil, tidak makan dalam waktu 2-3 jam sebelum tidur,
dan menghindari pemicu makanan, bisa dianjurkan (ACOG, 2008).
b. Terapi Obat
1) Inhalasi short acting 2-agonis adalah terapi penyelamatan pilihan
untuk asma selama kehamilan. Inhalasi albuterol adalah pilihan
pertama, short acting 2-agonis untuk wanita hamil, meskipun agen
lain juga mungkin tepat. Secara umum, pasien harus menggunakan
hingga dua perlakuan inhalasi albuterol (2-6 tiupan) atau albuterol
nebulasi pada interval 20 menit untuk sebagian gejala ringan sampai
sedang; dosis yang lebih tinggi dapat digunakan untuk gejala
eksaserbasi parah.
2) Kortikosteroid inhalasi adalah lini pertama obat pengendali untuk
asma persisten selama kehamilan. Budesonide adalah kortikosteroid
inhalasi yang disukai untuk digunakan selama kehamilan.
3) Penggunaan long-acting 2-agonis adalah pilihan terapi tambahan
kontroller untuk asma selama kehamilan. Terapi ini harus ditambahkan
bila gejala pasien tidak terkontrol dengan penggunaan dosis medium
kortikosteroid inhalasi. Terapi tambahan alternative adalah teofilin
atau antagonis reseptor leukotrien (montelukast, zafirlukast). Namun,
penggunaan long-acting inhalasi -agonis lebih disukai karena telah
terbukti menjadi terapi tambahan yang lebih efektif pada pasien hamil
daripada leukotrien reseptor antagonis atau teofilin.
4) Untuk pasien yang gejalanya tidak terkontrol dengan baik dengan
penggunaan dosis medium kortikosteroid inhalasi dan long-acting 2agonis inhalasi, pengobatan harus maju ke dosis tinggi kortikosteroid
inhalasi dan long-acting 2-agonis inhalasi (salmeterol, satu isapan
dua kali sehari). Beberapa pasien dengan asma berat mungkin
memerlukan penggunaan kortikosteroid oral secara teratur untuk
mencapai kontrol asma yang memadai. Untuk pasien yang gejalanya
sangat tidak terkontrol, kortikosteroid oral mungkin diperlukan untuk
mencapai kontrol, bersama dengan langkah- langkah terapi (ACOG,
2008).

65

Tabel 2.2. Pengobatan Asma (ACOG, 2008)


MANAJEMEN TERAPI RAWAT INAP
a. Penilaian awal dari pasien hamil yang mengalami asma akut termasuk
anamnesis riwayat kesehatan singkat, melakukan pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan fisiologis fungsi saluran napas dan kesejahteraan janin.
b. Penilaian fisiologis paru meliputi pengukuran FEV atau PEFR dan saturasi
oksigen. Penilaian janin tergantung pada tahap kehamilan, tetapi
electronic fetal monitoring terus menerus

atau profil biofisik atau

keduanya harus dipertimbangkan jika kehamilan telah mencapai tahap


viabilitas janin.
c. Setelah pengobatan awal, penilaian ulang pasien dan janin akan
menentukan kebutuhan untuk melanjutkan perawatan. Pasien membaik
apabila pasien dengan volume ekspirasi paksa (FEV) atau puncak laju
aliran ekspirasi (PEFR) pengukuran lebih besar dari atau sama dengan
70% bertahan selama 60 menit setelah pengobatan terakhir, tidak ada
kesulitan, dan status janin meyakinkan.

66

d. Untuk respon lengkap (FEV) atau PEFR pengukuran lebih besar dari atau
sama dengan 50% tetapi kurang dari 70%, gejala ringan atau sedang,
memerlukan disposisi / lanjutan perawatan di gawat darurat atau rumah
sakit.
e. Untuk pasien dengan respon yang buruk (FEV atau PEFR pengukuran
kurang dari 50%), rawat inap diindikasikan. Untuk pasien dengan respon
yang buruk dan gejala berat, mengantuk, kebingungan, atau tingkat PCO2
lebih dari 42 mm Hg, mengindikasikan masuk unit perawatan intensif
masuk dan dipertimbangkan untuk intubasi (ACOG, 2008).
MANAJEMEN PASIEN PULANG SETELAH EPISODE ASMA AKUT
a. Pasien yang dipulangkan setelah episode asma akut harus melanjutkan
pengobatan dengan 2-agonis short acting, 2-4 tiupan setiap 3-4 jam
sesuai kebutuhan.
b. Kortikosteroid oral harus dilanjutkan dengan dosis 40-60 mg dalam dosis
tunggal atau dua dosis terbagi selama 3-10 hari.
c. Kortikosteroid inhalasi harus dimulai atau dilanjutkan sampai diperiksa
ulang pada saat follow up medis (kontrol).
d. Follow up pasien rawat jalan harus diatur dalam waktu 5 hari sejak
kunjungan akut (ACOG, 2008).
ALERGI
a. Penggunaan imunoterapi alergen (suntikan alergi) telah terbukti efektif
dalam memperbaiki asma pada pasien dengan alergi. Namun, risiko
suntikan allergen adalah anafilaksis, terutama di awal perjalanan
imunoterapi ketika dosis sedang meningkat, dan anafilaksis selama
kehamilan telah dikaitkan dengan kematian ibu, kematian janin, atau
keduanya.
b. Pada pasien yang menerima dosis pemeliharaan immunoterapi, tidak
mengalami reaksi negatif terhadap suntikan dan tampak memiliki manfaat
klinis, kelanjutan imunoterapi dianjurkan. Pada pasien ini, pengurangan
dosis dapat dilakukan untuk lebih mengurangi kemungkinan anafilaksis.
c. Pertimbangan risiko dan manfaat biasanya tidak mendukung mulai
imunoterapi alergen selama kehamilan (ACOG, 2008).

67

PERAWATAN INTRAPARTUM
a. Penggunaan obat asma harus dapat dihentikan selama persalinan dan
melahirkan.
b. Pasien harus tetap terhidrasi dan harus menerima analgesia yang memadai
dalam rangka mengurangi risiko bronkospasme.
c. Wanita yang sedang menerima atau baru-baru ini menerima kortikosteroid
sistemik harus menerima pemberian intravena kortikosteroid (misalnya
hidrokortison 100 mg setiap 8 jam) selama persalinan dan 24 jam setelah
melahirkan untuk mencegah krisis adrenal.
d. Bedah caesar untuk eksaserbasi akut asma jarang diperlukan. Namun,
pengiriman dapat mengambil manfaat status pernapasan pasien dengan
asma stabil yang memiliki janin matang (ACOG, 2008)
MENYUSUI
a. Secara umum, hanya sejumlah kecil obat asma yang dapat masuk ke ASI.
The National Asthma Education and Prevention Program menemukan
bahwa penggunaan prednisone, teofilin, antihistamin, kortikosteroid
inhalasi, 2-agonis, dan kromolin tidak kontraindikasi untuk pada pasien
asma yang menyusui (ACOG, 2008).
9. KOMPLIKASI ASMA PADA KEHAMILAN BAGI IBU
Asma tak terkontrol dapat menyebabkan stres yang berlebihan bagi ibu.
Komplikasi asma tak terkontrol bagi ibu termasuk: Preeklampsia, ditandai
dengan peningkatan tekanan darah, retensi air serta proteinuria, hipertensi
kehamilan, yaitu tekanan darah tinggi selama kehamilan; Hiperemesis
gravidarum,

ditandai

dengan

mual-mua,

berat

badan

turun

serta

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; Perdarahan pervaginam Induksi


kehamilan dan atau komplikasi kehamilan (Subijanto, 2008; Schatz M,
Dombrowski, 2009).
10. KOMPLIKASI ASMA PADA KEHAMILAN BAGI JANIN

68

Kekurangan oksigen ibu ke janin menyebabkan beberapa masalah


kesehatan

janin,

termasuk:

Kematian

perinatal,

IUGR,

gangguan

perkembangan janin dalam rahim menyebabkan janin lebih kecil dari umur
kehamilannya, kehamilan preterm, hipoksia neonatal, oksigen tidak adekuat
bagi sel-sel, berat bayi lahir rendah (Subijanto, 2008; Schatz M, Dombrowski,
2009)
Mekanisme penyebab berat bayi lahir rendah pada wanita asma masih
belum diketahui, akan tetapi terdapat beberapa faktor yang mendukung seperti
perubahan fungsi plasenta, derajat berat asma dan terapi asma. Plasenta
memegang peranan penting dalam mengontrol perkembangan janin dengan
memberi suplai nutrisi dan oksigen dari ibu (subijanto, 2008).

BAB III

69

LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama
Usia
Agama
Suku/bangsa
Pekerjaan
Alamat

: Ny. K
: 37 tahun
: Islam
: Jawa
: Ibu Rumah Tangga
: Cipete RT 4 RW 4, Cilongok, Kabupaten Banyumas,
Jawa Tengah

Nomor CM
Tanggal/Jam Masuk
Tanggal/ Jam keluar
Ruang Rawat

: 885666
: 06 Agustus 2014/ Pukul 11.38 WIB
: 11 Agustus 2014/ Pukul 12.00 WIB
: VK IGD dan Ruang Flamboyan

B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Tekanan Darah Tinggi
2. Keluhan tambahan
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang rujukan dari Puskesmas Cilongok dengan G 3P2A0 usia 37 tahun
dengan preeklampsia berat dan asma pada tanggal 06 Agustus 2014. Pasien
datang dengan keluhan tekanan darah tinggi sejak hari yang sama. Pada saat
datang ke VK IGD, pasien tidak merasakan sesak nafas. Namun, setiap pagi
pasien harus minum teosal. Pasien akan merasakan sesak apabila tidak minum
teosal. Pasien tidak merasakan pusing, tidak ada mual, tidak ada muntah, tidak
ada pandangan kabur, tidak ada nyeri ulu hati. Pada saat datang, pasien tidak
merasakan kenceng- kenceng, tidak merasakan keluar lendir atau darah, dan
tidak merasakan pengeluaran air ketuban dari jalan lahir.
Hari Pertama Haid Terakhir : Awal bulan Februari 2014.
Taksiran Persalinan
: Awal bulan November 2014
Usia Kehamilan
: 26 minggu 1 hari
Riwayat Menstruasi
Teratur setiap bulan, selama 7 hari
Riwayat Pernikahan
Menikah 1 kali selama 19 tahun

70

Riwayat Antenatal Care


Teratur, periksa di bidan
Riwayat KB
Pil dan suntik
Riwayat Obstetrik
G3P2A0
Anak pertama : Laki- laki, usia 18 tahun, lahir spontan, ditolong bidan,
-

berat lahir 2800 gram


Anak kedua : Laki- laki, usia 6,5 tahun, lahir spontan, ditolong bidan,

berat lahir 2700 gram


Anak ketiga : Hamil ini
4. Riwayat penyakit dahulu
:
a. Riwayat darah tinggi sebelum hamil
b. Riwayat asma
c. Riwayat alergi
d. Riwayat kejang
e. Riwayat kencing manis
f. Riwayat penyakit jantung
g. Riwayat penyakit ginjal
h. Riwayat penyakit kandungan

: disangkal
: diakui
: diakui (dingin)
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

5. Riwayat penyakit keluarga :


a. Riwayat darah tinggi
: disangkal
b. Riwayat asma
: disangkal
c. Riwayat kencing manis
: disangkal
d. Riwayat penyakit jantung
: disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal
: disangkal
f. Riwayat penyakit kandungan
: disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama suami, kedua anak, dan ibunya. Suami bekerja
serabutan. Kebutuhan sehari-hari dicukupi dari penghasilan suami. Pasien
berobat ke RSUD Prof.DR. Margono Soekarjo dengan menggunakan biaya
BPJS.
7. Data rujukan pasien dari Puskesmas Cilongok
a. Hasil pemeriksaan
TD
: 170/100 mmHg
N
: 90 x/menit
RR
: 24 x/menit
Suhu
: 370 C
DJJ
: 108 x/menit
Laboraturium tidak terlampir dalam surat rujukan.
b. Diagnosis rujukan

71

G3P2A0 usia 37 tahun usia kehamilan 26 minggu 1 hari dengan


preeklampsia berat dan asma bronkhial.
c. Terapi
IVFD RL
20 tpm
C. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan Umun
2. Kesadaran
3. Vital Sign
a. Tekanan Darah
b. Nadi
c. Respirasi
d. Suhu
e. Tinggi Badan
f. Berat badan
4. Mata

: Baik
: Compos mentis
:
: 170/100 mmHg
: 96 x/ menit, isi dan tegangan cukup
: 20 x/ menit
: 37 C
: 153 cm
: 64,6 Kg

: Konjungtiva palpebra mata kanan dan kiri tidak anemis, tidak


ada skela ikterik pada mata kanan dan kiri.

5. Telinga

: tidak ada ottorhea.

6. Hidung

: tidak keluar sekret

7. Mulut

: mukosa bibir tidak sianosis

8. Leher

: Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid

9. Thorax
a. Paru Paru
Inspeksi

:
:

: Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris (tidak ada


gerakan nafas yang tertinggal), retraksi spatium intercostalis
(-/-).

Palpasi

: Gerakan dada simetris, vocal fremitus dextra = sinistra

Perkusi

: Sonor pada seluruh lapang paru

Auskultasi : Suara dasar nafas vesikuler (+/+), ronkhi basah kasar (-/-) di
parahiler, dan ronkhi basah halus (-/-) di basal pada kedua
lapang paru, wheezing (+/+).
b. Jantung
Inspeksi

: Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada dinding dada sebelah


kiri atas.

72

Palpasi

: Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC V, 2 jari medial


LMC sinistra

Perkusi

: Batas jantung kanan atas SIC II LPSD


Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kiri bawah SIC V, 2 jari medial LMCS

Auskultasi : S1>S2 reguler, murmur (-/-), gallop (-/-).


10. Ekstrimitas
Superior
Inferior

:
: Edema (-/-), akral hangat (+/+)
: Edema (-/-), akral hangat (+/+)

Pemeriksaan Lokalis:
11. Regio Abdomen
Inspeksi
: Cembung gravid
Auskultasi
: DJJ (+) 108 x/menit , Bising Usus (+) Normal
Perkusi
: Pekak janin
Palpasi
: TFU
: Setinggi pusat
HIS (-)
Leopold I
: Bulat, Lunak
Leopold II : Teraba tahanan memanjang di sebelah kiri
Leopold III : Bulat, Keras
Leopold IV : Konvergen
12. Regio Genitalia
Inspeksi
: Rambut pubis tersebar merata
Edema vulva tidak ada
Benjolan tidak ada
Varises tidak ada
Fluor tidak ada
Fluxus tidak ada
D. DIAGNOSIS DI VK IGD
Gravida 3 Para 2 Abortus 0, Usia 37 Tahun, Hamil 26 Minggu 1 Hari,
JTHIU, Presentasi kepala, Pungggung kiri, Belum Inpartu dengan Preeklampsia
Berat, dan Asma Bronkhial.
E. PENATALAKSANAAN DAN SIKAP DI VK IGD
1. Sikap: Observasi
2. Pemberian oksigen 4 liter/ menit NK
3. Pemberian IVFD RL 20tpm

73

4. Injeksi MgSO4 4 gram iv bolus


MgSO4 6 gram drip (menunggu hasil lab)
5. Injeksi Dexamethason 2 x 1 ampul iv (2 hari)
6. P.O. Nifedipin 3 x 10 mg
7. P.O. Aminofilin 3 x 500 mg bila sesak
8. Pasang DC- UT
9. Cek DL, PT, APTT, Elektrolit, Kimia klinik, Urin lengkap, dan EKG
10. Konsul dokter Spesialis Paru
11. Lapor dr residen obstetri dan ginekologi dengan instruksi:
a. P.O. Nifedipin tab 3 x 10 mg
b. Injeksi MgSO4 4 gram iv
c. Rawat Ruang Flamboyan untuk besok dikonsulkan ke Penyakit Dalam
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 6 Agustus 2014
Darah Lengkap
Hb

: 12,2 gr/dl

Normal: 12-16 gr/dl

Leukosit

: 11410 l (H)

Normal: 4.800-10.800/l

Hematokrit

: 36 %

Normal: 37%-47%

Eritrosit

: 4,3 juta/l

Normal: 4,2-5,4 juta/l

Trombosit

: 433.000/l

Normal: 150.000-450.000/l

MCV

: 82,8 fL

Normal: 79-99 fL

MCH

: 28,4 pg

Normal: 27-31 pg

MCHC

: 34,4 gr/dl

Normal: 33-37gr/dl

Basofil

: 0,4 %

Normal: 0-1 %

Eosinofil

:2%

Normal: 2-4 %

Batang

: 3,5 %

Normal: 2-5 %

Segmen

: 69,6 %

Normal: 40-70%

Limfosit

: 17,5 %

Normal: 25-40%

Monosit

: 7,0 %

Normal: 2-8 %

PT

: 12,2 detik

Normal : 11,5-15,5 detik

APTT

: 34,2 detik

Normal : 25-35 detik

Hitung Jenis

74

Kimia Klinik
SGOT

: 23 U/L

Normal : 15-37 U/L

SGPT

: 20 U/L

Normal : 30-65 U/L

Ureum Darah

: 4,9 mg/dL

Normal : 14,98-38,52 mg/dL

Kreatinin Darah

: 0,57 mg/dL

Normal : 0,60-1,00 mg/Dl

Elektrolit
Natrium

: 144 mmol/L

Normal : 136-145 mmol/L

Kalium

: 2,9 mmol/L

Normal : 3,5-5,1 mmol/L

Klorida

: 97 mmol/L (L)

Normal : 98-107 mmol/L

Kalsium

: 9,0 mg/dL

Normal : 8,4-10,2 mg/Dl

: - mg/dL

Normal : Negatif

Urin Lengkap
Protein

Pemeriksaan EKG

75

Interpretasi : Sinus takikardi. EKG dinyatakan normal.


G. PERKEMBANGAN PASIEN SELAMA PERAWATAN
Hasil Pemeriksaan
Diagnosis
Sikap/Tindakan
RUANG FLAMBOYAN Tanggal 06-08-2014 16.30 WIB H+0
S: Sesak
Gravida 2 Paritas 1 Observasi
KU: sedang/CM

Abortus 0 Usia 37

TD:160/100 mmHg

Tahun

N: 88 x/menit

Kehamilan

RR: 24 x/ menit

Minggu

S: 37,2o C

Janin

Status Lokalis Abdomen:

Hidup Intra Uteri Pasang DC

I: Cembung gravid

Presentasi

A: BU (+) Normal, DJJ (+) Punggung


136 x/menit

Belum

Usia 16.30 :
26 O2 3 liter/ menit
1

Hari Nifedipin P.O 3 x 10 mg

Tunggal Infus RL + MgSO4 8 gr


Kepala 19.00 :
Kiri Biosanbe P.O.
Inpartu

76

Per: Pekak janin

dengan

Pal: Supel, NT (-), TFU 2 Preeklampsia Berat


jari di atas pusat

dan

L1: Bulat, lunak

Bronkhial

Asma

L2: Puki
L3: Bulat, keras
L4: Konvergen
RUANG FLAMBOYAN Tanggal 07-04-2014 06.30 WIB H+1
S: Sesak
Gravida 2 Paritas 1 07.00:
KU: sedang/CM

Abortus 0 Usia 37 Nifedipin P.O.

TD: 140/120 mmHg

Tahun

N: 80 x/menit

Kehamilan

RR: 24 x/menit

Minggu

S: 36,6o C

Janin

Status Generalis:

Hidup Intra Uteri Infus RL + MgSO4 8 gr

Mata : CA -/-, SI -/-

Presentasi

Hidung: Discharge -/-

Punggung

Mulut : sianosis

Belum

Cor: S1>S2, M(-), G(-)

dengan

Usia Biosanbe P.O.


26 Salbutamol 1 x 1 tab
2

Hari

Tunggal 11.00:
Kepala O2 3 liter/ menit
Kiri
Inpartu 17.00:
Inj

Dexamethason

Pulmo : Sd ves +/+, Wh -/-, Preeklampsia Berat ampul


Rh -/-

dan

Status Lokalis Abdomen:

Bronkhial

Asma
19.00:

I: cembung

Nifedipin

A: BU + Normal, DJJ (+)

160/100)

132 x/ menit

Infus RL + MgSO4 8 gr

Per: timpani
Pal: supel, NT-, TFU 2 jari
di atas pusat
L1: Bulat, lunak
L2: Puki

P.O

(TD

77

L3: Bulat, keras


L4: Konvergen
St. gen Eksterna: PPV-,
FAStatus Vegetatif:
BAB -, BAK +, Flatus +
RUANG FLAMBOYAN Tanggal 08-04-2014 06.30 WIB H+2
S: Sesak
Gravida 2 Paritas 1 07.00:
KU: sedang/CM

Abortus 0 Usia 37 Inj

Dexamethason

TD: 150/110 mmHg

Tahun

N: 80 x/menit

Kehamilan

RR: 24 x/menit

Minggu

S: 36,6o C

Janin

Status Generalis:

Hidup Intra Uteri Salbutamol

Mata : CA -/-, SI -/-

Presentasi

Hidung: Discharge -/-

Punggung

Mulut : sianosis

Belum

Cor: S1>S2, M(-), G(-)

dengan

Usia ampul
26 Infus RL + MgSO4 8 gr
2

Hari Nifedipin P.O.

Tunggal Biosanbe P.O.


Kepala
Kiri 14.00:
Inpartu Infus RL + MgSO4 8 gr
Konsul Sp Paru

Pulmo : Sd ves +/+, Wh -/-, Preeklampsia Berat Jawaban: Terapi


Rh -/-

dan

Status Lokalis Abdomen:

Bronkhial

I: cembung

Asma Seretide diskus 2 x 250


mg k/p sesak
Ventolin MDI k/p sesak

A: BU + Normal, DJJ (+)


139 x/ menit

19.00:

Per: timpani

Inj

Pal: supel, NT-, TFU 2 jari

ampul

di atas pusat

Nifedipin P.O.

L1: Bulat, lunak

Biosanbe P.O.

L2: Puki

Salbutamol

L3: Bulat, keras

Dexamethason

78

L4: Konvergen

21.00:

St. gen Eksterna: PPV-,

Infus RL + MgSO4 8 gr

FAStatus Vegetatif:
BAB -, BAK +, Flatus +
RUANG FLAMBOYAN Tanggal 09-04-2014 06.30 WIB H+3
S: Sesak berkurang
Gravida 2 Paritas 1 05.00:
KU: sedang/CM

Abortus 0 Usia 37 Inj

Dexamethason

TD: 140/80 mmHg

Tahun

N: 80 x/menit

Kehamilan

RR: 24 x/menit

Minggu

S: 36,6o C

Janin

Status Generalis:

Hidup Intra Uteri Nifedipin P.O.

Mata : CA -/-, SI -/-

Presentasi

Kepala Biosanbe P.O.

Hidung: Discharge -/-

Punggung

Kiri Salbutamol

Mulut : sianosis

Belum

Cor: S1>S2, M(-), G(-)

dengan

Usia ampul
26
2

Hari 07.00:

Tunggal Infus RL + MgSO4 8 gr

Inpartu
19.00:

Pulmo : Sd ves +/+, Wh -/-, Preeklampsia Berat Nifedipin P.O.


Rh -/-

dan

Status Lokalis Abdomen:

Bronkhial

Asma Biosanbe P.O.

I: cembung

21.00:

A: BU + Normal, DJJ (+)

Infus RL + MgSO4 8 gr

140 x/ menit
Per: timpani
Pal: supel, NT-, TFU 2 jari
di atas pusat
L1: Bulat, lunak
L2: Puki
L3: Bulat, keras
L4: Konvergen

79

St. gen Eksterna: PPV -,


FAStatus Vegetatif:
BAB -, BAK +, Flatus +
RUANG FLAMBOYAN Tanggal 10-04-2014 06.30 WIB H+4
S: Sesak berkurang
Gravida 2 Paritas 1 07.00:
KU: sedang/CM

Abortus 0 Usia 37 Infus RL + MgSO4 8 gr

TD: 150/80 mmHg

Tahun

N: 80 x/menit

Kehamilan

RR: 24 x/menit

Minggu

S: 36o C

Janin

Status Generalis:

Hidup Intra Uteri

Mata : CA -/-, SI -/-

Presentasi

Hidung: Discharge -/-

Punggung

Mulut : sianosis

Belum

Cor: S1>S2, M(-), G(-)

dengan

Usia evaluasi
26 Dopamet 3 x 250 mg
2

Hari Nifedipin P.O.

Tunggal Biosanbe P.O.


Kepala 13.00:
Kiri Nifedipin P.O.
Inpartu
19.00:

Pulmo : Sd ves +/+, Wh -/-, Preeklampsia Berat Nifedipin P.O.


Rh -/-

dan

Status Lokalis Abdomen:

Bronkhial

I: cembung
A: BU + Normal, DJJ (+)
140 x/ menit
Per: timpani
Pal: supel, NT-, TFU 2 jari
di atas pusat
L1: Bulat, lunak
L2: Puki
L3: Bulat, keras
L4: Konvergen
St. gen Eksterna: PPV-,

Asma Biosanbe P.O.

80

FAStatus Vegetatif:
BAB -, BAK +, Flatus +
RUANG FLAMBOYAN Tanggal 11-04-2014 06.30 WIB H+5
S: Sesak berkurang
Gravida 2 Paritas 1 07.00:
KU: sedang/CM

Abortus 0 Usia 37 Nifedipin P.O.

TD: 170/110 mmHg

Tahun

N: 82 x/menit

Kehamilan

RR: 24 x/menit

Minggu

S: 37o C

Janin

Status Generalis:

Hidup Intra Uteri mmHg

Mata : CA -/-, SI -/-

Presentasi

Hidung: Discharge -/-

Punggung

Mulut : sianosis

Belum

Cor: S1>S2, M(-), G(-)

dengan

Usia Biosanbe P.O.


26
2

Hari 10.00:

Tunggal Tekanan darah: 140/80


Kepala
Kiri 12.00:
Inpartu Pasien pulang
Hipertensi

Pulmo : Sd ves +/+, Wh -/-, Gestasional


Rh -/Status Lokalis Abdomen:
I: cembung
A: BU + Normal, DJJ (+)
144 x/ menit
Per: timpani
Pal: supel, NT-, TFU 2 jari
di atas pusat
L1: Bulat, lunak
L2: Puki
L3: Bulat, keras
L4: Konvergen
St. gen Eksterna: PPV -,
FA-

Asma Bronkhial

dan

81

Status Vegetatif:
BAB -, BAK +, Flatus +
H. PROGNOSIS
Ibu:
Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad sanam

: dubia ad bonam

Ad functionam

: dubia ad bonam

Janin:
Ad vitam

: dubia

Ad sanam

: dubia

Ad functionam

: dubia

BAB IV
PEMBAHASAN
A. ANALISIS DIAGNOSIS
APAKAH DIAGNOSIS PADA PASIEN INI SUDAH BENAR?
Pasien datang pukul 11.38 dengan diagnosis di IGD Gravida 3 Paritas 2
Abortus 0 Usia 37 tahun Janin Tunggal Hidup Intra Uteri Presentasi Kepala

82

Punggung Kiri Usia Kehamilan 26 minggu + 1 hari Belum Inpartu dengan


PEB dan asma degan dasar:
1. Riwayat Obstetri G3P2A0 : Gravida 3, tidak memiliki riwayat melahirkan
dan abortus sebelumnya (Cunningham et al, 2010).
2. Usia 37 tahun merupakan usia yang berisiko untuk terjadinya kehamilan.
Usia reproduksi sehat yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah
20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada
usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian
maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal
meningkat kembali setelah usia 30-35 tahun (Winkjosastro, 2009).
3. Usia kehamilan pasien menurut diagnosis kurang lebih adalah 26 minggu
+ 1 hari disebabkan karena pasien lupa tanggal HPHT secara tepat. Jika
dihitung dengan rumus naegele, maka usia kehamilan pasien kurang lebih
sesuai dengan HPHT (Cunningham et al, 2010).
4. Belum inpartu karena pada pasien ini belum didapatkan tanda-tanda
inpartu, yaitu:
a. Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering dan teratur.
b. Keluar lendir bercampur darah yang lebih banyak karena robekanrobekan kecil pada serviks.
c. Adanya ketuban pecah dini.
d. Pada pemeriksaan dalam, serviks mendatar dan terjadi pembukaan
serviks
5. Diagnosis penyerta pada pasien ini adalah:
6. Komplikasi kehamilan pada pasien

tersebut

didiagnosis

dengan

reeklampsia berat karena hasil pengukuran tekanan darah pasien adalah


170/ 110 mmHg. Pada saat itu belum dilakukan tes dipstick maupun
laboratorium.
Setelah didapatkan hasil tes laboratorium menunjukkan bahwa proteinuria
negative. Oleh karena itu, diagnosis komplikasi kehamilan pada pasien
tersebut adalah hipertensi gestasional. Namun, pada saat pasien pindah ke
ruang perawatan flamboyan dan selama 3 hari perawatan di ruang
Flamboyan pasien masih didiagnosis preeklampsia berat.

83

7. Penyakit penyerta pada pasien tersebut adalah asma bronchial karena pasien
sering merasakan sesak nafas terutama saat pagi hari dan malam hari. Selain
itu pasien sering mengkonsumsi obat asma secara rutin sejak kurang lebih 5
tahun yang lalu.
B. ANALISIS TATALAKSANA
APAKAH TATALAKSANA PADA PASIEN INI SUDAH BENAR?
a Pemberian anti kejang (sudah tepat)
Walaupun pada pasien tersebut tidak terdapat proteinuria, pasien tetap
diberikan antikejang. Anti kejang yang digunakan yaitu MgSO4 4 gr bolus
dan 8gr dalam infuse RL 500 cc. Hal ini berdasarkan pengalaman klinis
RS bahwa pasien pasien tanpa proteinuria dapat pula mengalami kejang
sehingga demi keselamatan pasien sebagai pencegahannya diberikan
b

Magnesium Sulfat.
Pemberian kortikosteroid (sudah tepat)
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita
usia kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur,
termasuk pasien dengan PEB. Preeklampsia sendiri merupakan penyebab
15% dari seluruh kelahiran prematur. Ada pendapat bahwa janin
penderita preeklampsia berada dalam keadaan stres sehingga mengalami

percepatan pematangan paru (Prawirohardjo,2008).


Pemberian obat antihipertensi
Pada pasien ini terdapat hipertensi yang muncul saat hamil sehingga
diberikan obat anti hipertensi.
Wanita dengan hipertensi
peningkatan

respon

terhadap

pada

berbagai

kehamilan
substansi

dapat

mengalami

endogen

(seperti

prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi


platelet sehingga diperlukannya pemberian obat anti hipertensi.
1 Obat pilihan adalah hidralazin, yang diberikan 5 mg intravena pelan-pelan
2
3

selama 5 menit sampai tekanan darah turun.


Jika perlu, pemberian hidralazin dapat diulang setiap jam, atau 12,5
intramuskular setiap 2 jam.
Jika hidralazin tidak tersedia, dapat diberikan:
a Nifedipine dosis oral 10 mg yang diulang tiap 30 menit.
b Labetalol 10 mg intravena sebagai dosis awal, jika tekanan darah tidak

84

membaik dalam 10 menit, maka dosis dapat ditingkatkan sampai 20


mg intravena (Cunningham, 2010).
Pada pasien tersebut juga diberikan dopamet 3 x 250mg.
d

Untuk mengatasi asma bronchial, pada pasien tersebut diberikan salbutamol,


seretide diskus 2 x 250 mg, dan ventolin MDI. Pemberian obat asma tersebut
sudah tepat.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Gravida 3 Para 2 Abortus 0, Usia 37 Tahun, Hamil 26 Minggu 1 Hari, Janin
Tunggal Hidup Intra Uterin, Presentasi kepala, Punggung kiri, Belum Inpartu
dengan Hipertensi Gestasional dan Asma Bronkhial.
2. Penatalaksaan pada pasien ini sudah tepat
B. Saran
1. Diperlukan pengawasan yang ketat pada pasien hipertensi dalam kehamilan
dan asma bronkhial agar tidak terjadi mortalitas pada ibu dan janin.
Pengambilan keputusan untuk terminasi kehamilan demi menyelamatkan ibu

85

dan janin juga perlu diperhatikan. Pemberian terapi yang tepat juga mencegah
kejang dan komplikasi lain.
2. Penanganan yang komprehensif pada kasus ini dapat memperbaiki kondisi
kondisi ibu dan janin.

86

DAFTAR PUSTAKA
1. ACOG Practice Bulletin Number 90, February 2008, Asthma in Pregnancy.
2. Angsar, Dikman dkk. 2005. Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan.
Edisi Kedua. Semarang: Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI.
3. Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Hauth, J.C, Rouse D.J., Spong,
C.Y. 2010. Williams Obstetrics 23rd Edition. New York: The McGraw-Hill
Companies
4. Daftary, N Shirish; Desai, V Shyam. 2008. Selected topics in Obstetrics and
Gynaecology 4 For Postgraduate and Practitioners. New Delhi: BI Publications
pvt ltd.
5. Global Initiative for Asthma (GINA), Management and Prevention Update.
Defenisi and overview; 2012; p.2
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2010. Pedomkan Diagnosis

dan

Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta.


7. Prawirohardjo, Saryono. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
8. Tamsi*, Lilla, Anik Bohcs, Ildik Horvth and Gyrgy Losonczy.
Asthma

in

pregnancy

from

immunology

to

clinical

2010.

management.

Multidisciplinary Respiratory Medicine 2010, 5:259-263 doi:10.1186/2049-69585-4-259


9. Schatz M, Dombrowski M , Asthma in Pregnancy. N Engl J Med 2009; 360:18629.
10. Subijanto, A.A.. Keanekaragaman genetik HLA-DR dan variasi kerentanan
terhadap penyakit asma; tinjauan khusus pada asma dalam Kehamilan
BIODIVERSITAS. ISSN: 1412-033XVolume 9, Nomor 3 Juli 2008;Hal: 237-243
11. Whitty E Janice et al. 2004. Respiratory Disease in Pregnancy. Dalam: Maternal
Fetal Medicine Principles and Practice. Edisi ke-5. Phyladelphia: Saunders.

87

You might also like