You are on page 1of 43

RESUME SKENARIO 4

BLOK 13
Tutorial G

Kunthi Kencana Makayasa Putri

122010101002

Ardhina Mahadica Nugroho

122010101013

Edda Rachmadenawanti

122010101018

Rinda Yanuarisa

122010101024

Farmitalia Nisa Tristianti

122010101037

Firsty Demi C

122010101040

Niki Rahmawati

122010101048

Adhita Fitrina A

122010101049

Hans Kristian Owen

122010101053

Suci Rizalah I

122010101055

Ivan Kristantya

122010101064

Della Rahmaniar Amelinda

122010101075

Made Masagung K

122010101078

Abdurrozzaq

122010101086

Nindhya Kharisma

122010101097

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014Daftar Isi

Daftar Isi....................................................................................................................... 1
Gangguan Identitas Jenis Kelamin........................................................................................ 3
Transseksualisme.......................................................................................................... 3
Transvertisisme Peran Ganda........................................................................................... 3
Gangguan Identitas Jenis Kelamin Masa Kanak....................................................................3
Gangguan Kepribadian...................................................................................................... 4
Gangguan kepribadian khas............................................................................................. 4
Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)................................................................................. 7
Gangguan Campuran Anxietas Dan Depresi..........................................................................11
Sexual Pain Disorder...................................................................................................... 12
Gangguan Somatoform (Somatoform Disorders)....................................................................14
B. Body Dysmorphic Disorder....................................................................................... 16
C.Hypochondriasis...................................................................................................... 17
D. Conversion Disorder................................................................................................ 17
E. Somatization Disorder.............................................................................................. 19
Gangguan Preferensi Seksual............................................................................................ 22
Fetishisme................................................................................................................ 22
Transvestisme Fetishistik.............................................................................................. 22
Ekshibisionisme......................................................................................................... 22
Voyeurisme............................................................................................................... 22
Pedofilia................................................................................................................... 23
Sadomasokisme.......................................................................................................... 23
Frotteurisme.............................................................................................................. 23
Nekrofilia................................................................................................................. 23
Pygmalionisme.......................................................................................................... 23
Zoofilia.................................................................................................................... 23
Scatolofia................................................................................................................. 23
Coprofilia / Klismafilia................................................................................................ 23
Urofilia.................................................................................................................... 23
Gangguan Orgasme Dan Ejakulasi Dini...............................................................................24
Gangguan Panik............................................................................................................ 28
Gangguan Obsesif-Kompulsif........................................................................................... 32
1

Insomnia..................................................................................................................... 33
Gangguan Anxietas Menyeluruh........................................................................................ 38
Trikotilomania.............................................................................................................. 43

Gangguan Identitas Jenis Kelamin


Transseksualisme
Harus sudah menetap selama minimal 2 tahun dan bukan gejala dari gangguan jiwa
seperti skizofrenia atau berkaitan dengan kelainan interseks genetic atau kromosom.
Gambaran :
a. Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan
jenisnya,biasanya disertai perasaan risih atau ketidakserasian dengan anatomi
seksualnya
b. Adanya keinginan untuk mendapat terapi hormonal dan pembedahan untuk
membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan
Transvertisisme Peran Ganda
Mengenakan pakaian dari lawan jenisnya sebagai bagian dari ekstensi dirinya untuk
menikmati sejenak pengalaman sebagai anggota lawan jenisnya
Tanpa hasrat untuk mengubah jenis kelasmin secara lebih permanen atau berkaitan
dengan tindakan bedah
Tidak ada perangsangan seksual yang menyertai pemakaian pakaian lawan jenis
tersebut yang membedakan gangguan ini denan transvertisisme fethistik.

Gangguan Identitas Jenis Kelamin Masa Kanak


Keinginan anak yang mendalam (pervasive) dan menetap (persisten) untuk menjadi
atau keteguhannya bahwa dirinya adalah jenis kelamin lawan jenisnya, disertai
penolakan terhadap perilaku, atribut dan/atau pakaian yang sesuai untuk jenis
kelaminnya. Tidak ada rangsangan seksual dari pakaian
Khas
: manifestasi pertama timbul pada usia pra-sekolah. Gangguan sudah harus
tampak pada sebelum pubertas.
Pada kedua jenis kelamin kemungkinan ada penyangkalan terhadap struktur anatomi
jenis kelaminnya sendiri, jarang terjadi
Anak dengan gangguan ini menyangkal bahwa dirinya terganggu meskipun mereka
mungkin tertekan oleh konflik dengan keinginan orang tua, kawan sebaya dan oleh
ejekan dan/atau penolakan oleh orang yang berhubungan dengan dirinya.
Gangguan Kepribadian
Gangguan kepribadian khas
: Suatu gangguan berat dalam konstitusi karakteriologis dan
kecenderungan perilaku seseorang, biasanya meliputi beberapa dari kepribadian dan hampir
selalu berhubungan dengan kesulitan pribadi dan social.
Kondisi ini tidak berkaitan langsung dengan kerusakan atau penyakit otak berat atau gangguan
jiwa lain.
Gejala ini sudah timbul pada masa kanak atau remaja dan berlanjut sampai usia dewasa.
Gangguan ini lebih menjadi lebih nyata dalam perjalanannya lebih lanjut serta pikirannya masih
masuk akal dan realistic hanya sudah di luar proposi dari keadaan dan lingkungan. Karena itu ia
mengalami banyak kesulitan dalam relasi interpersonal dan mengalami banyak stress sehingga
disamping gangguan kepribadiannya ia sering menderita ganggua jiwa lain.

Gangguan Kepribadian Paranoid


Diagnosis
: paling sedikit 3 gejala
Kepekaan berlebihan terhadap kegagalan dan penolakan
Kecenderungan untuk tetap menyimpan dendam
Kecurigaan dan kecenderungan yang mendalam
Perasaan bermusuhan dan ngotot tentang hak pribadi
Kecurigaan yang berulang tanpa dasar tentang kesetian seksual dr pasangannya
Kecenderungan untuk merasa dirinya penting secara berlebihan
Preokupasi dengan penjelasan yang bersekongkol dan tidak substantive.
Penanganan
: Dalam bimbingan dititik-beratkan pada pengalaman subjektif
dalam interaksi dengan dokter dan jangan sering membantah kecurigaan.

Gangguan Kepribadian Skizoid


Diagnosis
: paling sedikit 3 gejala
Emosi dingin, afek mendatar atau tak peduli
Kurang mampu untuk mengekspresikan kehangatan, kelembutan atau kemarahan
Tampak nyata ketidakpedulian baik terhadap pujian atau ancaman
Kurang tertarik untuk mengalami pengalaman seksual
Hampir selalu memilih aktivitas yang dilakukan sendiri
3

Preokupasi dengan fantasi dan introspeksi yang berlebihan


Tidak mempunyai teman dekat atau hubungan pribadi yang akrab
Sangat tidak sensitf terhadap norma dan kebiasaan social yang berlaku.
Ciri Utama
: Menarik diri, mengasingkan diri dan sering aneh.
Penanganan
: psikoterapi supportif, bimbingan dalam cara hidup, anjuran untuk
mengambil bagian dalam kegiatan social dan latihan dalam mengadakan relasi
interpersonal.

Gangguan Kepribadian Disosial


Diagnosis
: paling sedikit 3 gejala
Bersikap tidak peduli dengan perasaan orang lain
Sikap yang amat tidak bertanggung jawab dan berlangsung terus menerus serta
tidak peduli terhadap norma peraturan dan kewajiban social
Tidak mampu memelihara suatu hubungan agar berlangsung lama
Toleransi terhadap frustasi sangat rendah dan ambang rendah untuk melampiaskan
agresi
Tidak mampu mengalami rasa salah dan menarik manfaat dari pengalaman
khususnya dari hukuman
Sangat cenderung menyalahkan orang lain atau menawarkan rasionalisasi yang
masuk akal untuk perilaku yang membuat pasien konflik dengan masyarakat
Penanganan
: Institusionalisasi terapi individual, terapi kelompok.

Gangguan Kepribadian Emosional tidak Stabil


Diagnosis
: paling sedikit 3 gejala
Terdapat kecenderungan yang mencolok untuk bertindak secara impulsive tanpa
mempertimbangkan konsekuensinya bersamaan dengan ketidak-stabilan
emosional
Berkaitan dengan impulsivitas dan kekurangan pengendalian diri.

Gangguan Kepribadian Histirionik


Diagnosis
: paling sedikit 3 gejala
Ekspresi emosi yang dibuat-buat, seperti bersandiwara yang dibesar-besarkan
Bersifat sugestif mudah dipengaruhi oleh orang lain atau keadaan
Keadaan afektif yang dangkal dan labil
Terus menerus mencari kegairahan, penghargaan dari orang lain dan aktivitas
dimana pasien menjadi pusat perhatian
Penampilan dan perilaku seductive
Terlalu peduli dengan daya tarik fisik

Gangguan Kepribadian Anankastik


Diagnosis
: paling sedikit 3 gejala
Perasaan ragu-ragu dan hati-hati berlebihan
Preokupasi dengan hal-hal rinci
Perfeksionisme yang mempengaruhi penyelesaian tugas
4

Ketelitian yang berlebihan, terlalu berhati-hati


Keterpakuan dan keterikatan yang berlebihan pada kebiasaan social
Kaku dan keras kepala
Pemaksaan yang tak beralasan agar orang lain mengikuti persis caranya
mengerjakan sesuatu, patuh berlebihan
Mencampur adukan pikiran dan dorongan yang memaksa dan yang enggan.
Gangguan Kepribadian Cemas
Diagnosis
: paling sedikit 3 gejala
Perasaan tegang dan takut yang menetap dan pervasive
Merasa dirinya tak mampu, tidak menarik atau lebih rendah dari orang lain
Preokupasi yang berlebihan terhadap kritik dan penolakan dalam situasi social
Keengganan untuk terlibat dengan orang kecuali merasa yakin akan disukai
Pembatasan dalam gaya hidup karena alasan keamanan fisik
Menghindari aktivitas social atau pekerjaan yang banyak melibatkan kontak
interpersonal karena takut dikritik, tidak didukung atau ditolak.

Gangguan Kepribadian Dependen


Diagnosis
: paling sedikit 3 gejala
Mendorong atau mebiarkan orang lain untuk mengambil sebagian besar
keputusan untuk dirinya
Meletakkan kebutuhan sendiri lebih rendah dari orang lain dan kepatuhan yang
tidak semestinya
Keengganan untuk mengajukan permintaan yang layak
Perasaan tidak enak atau tidak berdaya apabila sendirian
Preokupasi dengan ketakutan akan ditinggalkan oleh orang yg dekat dengannya
Terbatasnya kemampuan untuk membuat keputusan sehari-hari tanpa mendapat
nasehat yang berlebihan dan dukungan dari orang lain
Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Pengertian dan Gejala


Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi kesehatan mental yang dipicu oleh
peristiwa mengerikan. Gejala yang mungkin muncul termasuk kilas balik, mimpi buruk dan
kecemasan yang parah, serta pikiran tak terkendali tentang kejadian tersebut. PTSD banyak
menyerang tentara Amerika yang pulang dari perang di Afghanistan.
Banyak orang yang dalam hidupnya pernah melewati peristiwa traumatis mengalami, untuk
sementara waktu, kesulitan menyesuaikan diri dan mengatasi hal tersebut. Tapi dengan
berjalannya waktu dan upaya mengendalikan dan mengontrol diri sendiri, reaksi trauma tersebut
biasanya berangsur menjadi lebih baik. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus, gejala dapat
menjadi lebih buruk atau berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan ber-tahun tahun.
Pengobatan PTSD sesegera mungkin akan dapat mencegah berlarutnya dan berkembangnya
pasca-traumatic stress disorder menjadi kronis.Gejala gangguan stres pasca-trauma biasanya
mulai dalam waktu tiga bulan sejak peristiwa tersebut terjadi.
Gejala gangguan stres pasca-trauma umumnya dapatdi kelompokkan menjadi tiga
jenis:kenangan mengganggu (intrusive memories), menghindari dan mati rasa, dan kecemasan
atau peningkatan gairah atau emosi (hyperarousal).
5

Gejala dalam kelompok kenangan mengganggu (intrusive memories) antara lain:


Kilas balik (flash back), atau hidupnya kembali peristiwa traumatis selama beberapa
menit atau bahkan berhari-hari
Mengalami mimpi buruk tentang peristiwa traumatik
Gejala menghindari (avoidance) dan mati rasa (numbing) emosional dapat mencakup:
Mencoba untuk menghindari dari berpikir atau berbicara tentang peristiwa traumatik
Merasa mati rasa emosional
Menghindari aktivitas yang dulu Anda pernah sukai
Keputusasaan tentang masa depan
Gangguan memori
Kesulitan berkonsentrasi
Kesulitan mempertahankan hubungan dekat
Gejala kecemasan dan gairah emosional peningkatan meliputi:
Lekas marah atau marah marah
Rasa bersalah atau malu yang sangat
Perilaku merusak diri sendiri, seperti minum alkohol terlalu banyak
Sulit tidur
Menjadi mudah kaget atau ketakutan
Mendengar atau melihat hal yang tidak ada
Gejala gangguan stres pasca-trauma gangguan bisa datang dan pergi.
Faktor Resiko dan Diagnosa
Faktor tersebut antara lain:
Perempuan
Mengalami trauma intens atau trauma jangka lama
Memiliki trauma diawal kehidupan
Memiliki masalah kesehatan mental lainnya, seperti kecemasan atau depresi
Karena tidak memiliki sistem pendukung yang baik dari keluarga dan teman
Memiliki kerabat dekat dengan masalah kesehatan mental, termasuk PTSD
Memiliki kerabat dekat dengan depresi
Setelah dilecehkan atau disia-siakan sebagai seorang anak
Wanita mempunyai risiko terkena PTSD lebih besar karena mereka lebih mungkin untuk
mengalami jenis trauma yang dapat memicu timbulnya PTSD.
Jenis peristiwa traumatik
Post-traumatic stress disorder ini sangat umum di antara mereka yang telah ikut dalam
pertempuran. Ini kadang-kadang disebut shell shock, pertempuran kelelahan atau stres
pertempuran.
Peristiwa yang paling umum mengarah ke pengembangan PTSD meliputi:
Terlibat pertempuran
6

Perkosaan
Anak yang disia-siakan dan mengalami kekerasan fisik
Penganiayaan seksual
Serangan fisik
Diancam dengan senjata

Tetapi banyak peristiwa traumatis lain juga dapat menyebabkan pasca-traumatic stress disorder,
termasuk mengalami kebakaran, bencana alam, penjambretan, perampokan, penganiayaan,
konflik sipil, kecelakaan mobil, kecelakaan pesawat, penyiksaan, penculikan, mendapat diagnosa
penyakit yang mengancam kehidupan, serangan teroris dan ekstrimis lainnya atau peristiwa yang
mengancam jiwa.Post-traumatic stress disorder dapat mengganggu seluruh hidup pasien :
pekerjaan, hubungan dan bahkan kenikmatan dari kegiatan sehari-hari.
Memiliki PTSD juga dapat menempatkan pasien pada risiko lebih tinggi masalah kesehatan
mental, termasuk:
depresi
penyalahgunaan obat
penyalahgunaan alkohol
gangguan makan
Pikiran bunuh diri dan tindakan
Selain itu, PTSD dapat meningkatkan risiko terkena penyakit medis tertentu, seperti:
Penyakit kardiovaskular
Sakit kronis
Penyakit autoimun, seperti rheumatoid arthritis dan penyakit tiroid
Penyakit musculoskeletal
Untuk dapat didiagnosis dengan PTSD, Anda harus memenuhi kriteria yang dijabarkan dalam
Diagnostik dan Statistik Manual of Mental Disorders (DSM), diterbitkan oleh American
Psychiatric Association. Pedoman ini digunakan oleh profesional kesehatan mental untuk
mendiagnosis kondisi mental dan oleh perusahaan asuransi untuk menentukan penggantian biaya
perawatan.
Kriteria untuk diagnosa pasca-traumatic stress disorder meliputi:
Mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa yang melibatkan kematian atau cedera serius,
atau ancaman kematian yang serius
Tanggapan ke peristiwa tersebut termasuk ketakutan yang sangat, horor atau rasa tidak
berdaya
Mengalami kembali kejadian tersebut, seperti memiliki gambar menyedihkan dan
kenangan,mimpi buruk yang mengganggu, kilas balik atau bahkan reaksi fisik
Mencoba untuk menghindari situasi atau hal-hal yang mengingatkan kembali akan
peristiwa traumatik, atau merasakan mati rasa emosional
Merasa seolah-olah harus terus-menerus waspada atau waspada akan adanya tanda-tanda
bahaya, yang mungkin membuat sulit tidur atau berkonsentrasi
Gejala berlangsung lebih dari satu bulan
Gejala menyebabkan penderitaan yang signifikan dalam hidup pasien atau mengganggu
kemampuan pasien untuk pergi atau melakukan tugas-tugas normal sehari-hari
7

Pengobatan dan penanganan PTSD


Pengobatan Gangguan Stres pasca-trauma sering meliputi pengobatan dan psikoterapi.
Obat
Beberapa jenis obat dapat membantu gejala post-traumatic stress disorder membaik.
Antipsikotik. untuk meredakan kecemasan yang parah dan masalah yang terkait, seperti
sulit tidur atau ledakan emosional.
Antidepresan. Obat-obat ini dapat membantu gejala depresi dan kecemasan. Anti
depresan juga dapat membantu membantu mengatasi masalah tidur dan meningkatkan
konsentrasi. Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) obat sertraline (Zoloft) dan
paroxetine (Paxil) disetujui FDA untuk pengobatan PTSD.
Anti-kecemasan. Obat ini juga dapat mengurangi perasaan cemas dan stres.
Prazosin. Jika gejala termasuk insomnia atau mimpi buruk berulang, obat yang disebut
prazosin (Minipress) dapat membantu. Prazosin, yang telah digunakan selama
bertahun-tahun dalam pengobatan hipertensi, juga menghambat respon otak untuk
bahan kimia otak seperti adrenalin yang disebut norepinefrin. Meskipun obat ini tidak
secara khusus disetujui untuk pengobatan PTSD, prazosin dapat mengurangi atau
menekan mimpi buruk pada banyak orang dengan PTSD.
Psikoterapi
Beberapa jenis terapi yang digunakan dalam pengobatan PTSD meliputi:
Terapi kognitif. Jenis terapi bicara membantu mengenali cara berpikir (pola kognitif)
yang membuat pasien terjebak misalnya, cara-cara negatif atau tidak akurat dalam
memahami situasi normal. Dalam pengobatan PTSD, terapi kognitif sering digunakan
bersama dengan terapi perilaku yang disebut terapi eksposur.
Terapi Paparan(eksposur) . Teknik terapi perilaku membantu pasien secara aman
menghadapi hal yang sangat menakutkan yang ditemukan, sehingga dapat belajar
untuk mengatasi secara efektif. Sebuah pendekatan baru untuk terapi pemaparan
menggunakan program virtual reality yang memungkinkan untuk masuk kembali ke
pengaturan di mana pasien mengalami trauma misalnya, sebuah program Virtual
Irak.
Gerakan desensitisasi mata dan pengolahan ulang (EMDR). Jenis terapi ini
menggabungkan terapi pemaparan dengan serangkaian gerakan mata dipandu yang
membantu memproses kenangan traumatik. Semua pendekatan ini dapat membantu
menguasai rasa takut abadi setelah peristiwa traumatis. Jenis terapi yang mungkin
terbaik tergantung pada sejumlah faktor yang dapat Anda diskusikan dengan ahli
kesehatan.
Gangguan Campuran Anxietas Dan Depresi

Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, di mana masing-masing tidak


menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri.
Untuk anxietas, beberapa gejala otomik harus ditemukan walaupun tidak terus menerus,
disamping rasa cemas dan kekhawatiran berlebihan .
Gejala otonomik meliputi:
kepala terasa ringan
berkeringat
8

jantung berdebar-debar,
sesak napas
keluhan lambung
pusing kepala
mulut kering
Bila ditemukan anxietas berat disertai depresi yang lebih ringan, maka harus
dipertimbangkan kategori gangguan anxietas lainnya atau gangguan anxietas fobik.
Bila ditemukan sindrom depresi dan anxietas yang cukup berat untuk menegakkan
masing-masing diagnosis, maka kedua diagnosis tersebut harus dikemukakan, dan
diagnosis gangguan campuran tidak dapat digunakan. Jika karena sesuatu hal hanya dapat
dikemukakan satu diagnosis maka gangguan depresif harus diutamakan.
Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stres kehidupan yang jelas, maka harus
digunakan kategori gangguan penyesuaian.
Sexual Pain Disorder

1. Definisi
-

Dispareunia adalah keadaan nyeri pada waktu hubungan seksual, dapat terjadi pada
wanita maupun pria. Diagnosis ini dibuat hanya bila tidak ada kelainan seksual primer
lainnya (seperti vaginismus/keringnya vagina)
Vaginismus menunjukkan kesulitan persisten atau berulang dari wanita untuk
memungkinkan masuknya vagina penis, jari, dan / atau benda apapun, meskipun
keinginan mengungkapkan wanita untuk melakukannya. Hal ini terjadi karena ada
spasme otot-otot vagina, menyebabkan tertutupnya pembukaan vagina. Masuknya penis
menjadi tak mungkin atau nyeri.

2. Manifestasi Klinis
Kedua keluhan dapat terdiri,
a. masalah dengan ketegangan otot (voluntar, involuntar, terbatas pada sfingter vagina, atau
memperluas panggul, otot adduktor, punggung, rahang atau seluruh tubuh);
b. nyeri saat menyentuh kelamin: di entri vagina, vulva yang vestibulum dan / atau perineum;
asosiasi dengan menyentuh genital selama aktivitas seksual untuk hubungan yang lebih umum
dengan semua enis vulva / vagina tekanan / panggul (misalnya, duduk, naik kuda atau sepeda,
memakai celana ketat)
c. Takut sakit (baik secara khusus dikaitkan dengan genital menyentuh / hubungan seksual atau
lebih takut umum sakit, atau takut seks).
d.Kecenderungan untuk pendekatan perilaku atau penghindaran.
3. Prevalensi
a. Berbagai derajat dispareunia dilaporkan oleh 12-15% wanita subur sampai dengan 45,3%
dari wanita postmenopause.
b. Vaginismus dapat terjadi pada 0,5-1% wanita subur.
4. Patofisiologi
9

a. Vaginismus
- Reseptif vagina merupakan prasyarat untuk melakukan hubungan, dan membutuhkan
jaringan anatomi dan fungsional integritas, baik dalam beristirahat dan negara terangsang
Normal trophis, baik mukosa dan kulit, impregnasi hormonal yang memadai, kurangnya
peradangan, terutama pada introitus, tonisitas yang normal otot perivaginal, pembuluh
darah, integritas ikat dan neurologis dan kekebalan tubuh normal respon semua dianggap
perlu untuk menjamin vagina dapat digunakan dengan baik.
- Reseptif Vagina selanjutnya dapat dipengaruhi oleh faktor psikoseksual, mental dan
interpersonal, semua yang dapat mengakibatkan kurangnya gairah dengan kekeringan
vagina, takut penetrasi, dan gairah otot umum sekunder kecemasan, dapat menyebabkan
defensif kontraksi otot-otot perivaginal, menyebabkan vaginismus.
b. Dispareunia
- Dispareunia adalah gejala umum dari berbagai gangguan nyeri penyebab coital biasanya
dikarenakan vestibulitis vulva.
- Trias diagnostik adalah:
1) sakit parah pada sentuhan vestibular atau percobaan entri vagina
2) nyeri yang ketika kapas swab palpasi daerah introital (kebanyakan di 5 dan
7, ketika melihat introitus sebagai wajah jam);
3) dispareunia.
- Dari sudut pandang patofisiologi, vestibulitis vulva melibatkan up-regulasi:
a) sistem imunologi, yaitu tiang-sel introital (dengan hyperproduction kedua inflamasi
molekul dan faktor pertumbuhan saraf.
b) sistem nyeri, dengan proliferasi lokal serat nyeri yang disebabkan oleh NGF
terkait dengan nyeri neuropatik
c) hiperaktivitas levator ani, yang dapat mendahului vestibulitis vulva dan komorbiditas
dengan vaginismus dari derajat ringan atau sekunder terhadap rasa sakit introital.
5. Terapi
Pada frigiditas, disparenia dan vaginismus bila mungkin dicari penyebabnya disanmping
melakukan psikoterapi suportif untuk menghilangkan gangguan emosional yang
mendasarinya atau yang merupakan akibat kelainan sexual itu. Bila perlu dapat diberi
tranquilaizer atau neroleptik.
Perlu diketahui cara suami istri berhubunan sex, bagaimana teknik mereka, keinginan dan
anggapan istri dan suami mengenai hal ini yang mungkin berbeda. Kemudian baru diberi
penerangan secara sederhana tentang hubungan sex kepada kedua-duanya, istri dan suami,
mengenai anatomi, fisiologi, dan psikologi serta berbagai teknik hubungan sex, agar istri
tidak merasa khawatir lagi, tidak merasa malu atau malaha merasa harga diri direndahkan
bila suami hendak mencoba teknik yang tidak biasa sehingga kecemasannya bertambah.
Gangguan Somatoform (Somatoform Disorders)
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik
(sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis
yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan
10

emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi
di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan
penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset,
keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura
yang disadari atau gangguan buatan.
Ada
lima
gangguan
somatoform
yang
spesifik
adalah:
Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak sistem organ.

Gangguan
konversi
ditandai
oleh
satu
atau
dua
keluhan
neurologis.
Hipokondriasis ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan pasien
bahwa
ia
menderita
penyakit
tertentu.
Gangguan dismorfik tubuh ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang berlebih-lebihan
bahwa
suatu
bagian
tubuh
mengalami
cacat.
Gangguan nyeri ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan faktor
psikologis
atau
secara
bermakna
dieksaserbasi
oleh
faktor
psikologis.
DSM-IV juga memiliki dua kategori diagnostik residual untuk gangguan somatoform:
Undiferrentiated somatoform, termasuk gangguan somatoform, yang tidak digolongkan salah
satu
diatas,
yang
ada
selama
enam
bulan
atau
lebih.
Gangguan somatoform dibagi menjadi beberapa sub, namun yang paling sering dijumpai di
klinik adalah yang dinamakan gangguan somatisasi dan gangguan hipokondrik.
Gangguan Somatisasi, Ganguan ini ditandai dengan adanya keluhan-keluhan berupa gejala fisik
yang bermacam-macam dan hampir mengenai semua sistem tubuh. Keluhan ini biasanya sudah
berlangsung
lama
dan
biasanya
keluhannya
berulang-ulang
namun
berganti-ganti
tempat.
Pasien biasanya telah sering pergi ke berbagai macam dokter (doctor shopping). Beberapa pasien
bahkan ada yang sampai dilakukan operasi, namun hasilnya negatif. Keluhan yang paling sering
biasanya berhubungan dengan sistem organ gastrointestinal (perasaan sakit, kembung, bertahak,
mual dan muntah) dan keluhan pada kulit seperti rasa gatal, terbakar, kesemutan, baal dan pedih.
Pasien juga sering mengeluhkan rasa sakit di berbagai organ atau sistem tubuh, misalnya nyeri
kepala, punggung, persendian, tulang belakang, dada atau nyeri saat berhubungan badan. Kadang
juga terdapat keluhan disfungsi seksual dan gangguan haid. Gangguan ini lebih sering terjadi
pada
wanita
daripada
pria.
Biasanya bermula sebelum usia 30-an dan telah berlangsung beberapa tahun. Pasien biasanya
tidak mau menerima pendapat dokter bahwa mungkin ada dasar psikologis yang mendasari
gejalanya. (Andri Suryadi, 2007)
1.
Teori
Psikodinamika
Menurut teori psikodinamika, simtom histerikal memiliki fungsi : Memberikan orang tersebut
keuntungan primer dan keuntungan sekunder. Keuntungan primer, yang didapat adalah
memungkinkan individu untuk mempertahankan konflik internal direpresi. Orang tersebut sadar
akan simtom fisik yang muncul namun bukan konflik yang diwakilinya. Dalam kasus-kasus
11

seperti itu, simtom merupakan symbol dari, dan memberikan orang tersebut pemecahan
sebagian
untuk
konflik
yang
mendasarinya.
2.
Teori
Belajar
Dalam pandangan teori belajar, simtom dari gangguan hipokondrias dan gangguan dismorfik
tubuh dihubungkan dengan gangguan obsesif kompulsif (Barsky dkk., 1992; Cororve&Gleaves,
2001). Pada hipokandrias, orang terganggu oleh pikiran-pikiran yang obsesif dan menimbulkan
kecemasan mengenai kesehatan mereka. Pergi dari satu dokter ke dokter lain dapat merupakan
suatu bentuk dari perilaku kompulsif yang diperkuat oleh hilangnya kecemasan yang dialami
secara temporer saat mereka diyakinkan kembali oleh dokternya bahwa kekuatan mereka tidak
terbukti. Namun pikiran-pikiran yang menggangu kembali muncul, mendorong mereka
melakukan
konsultasi
ayng
berulang.
3.
Teori
Kognitif
Teori kognitif berspekulasi bahwa hipokondrias dapat mewakili sebuah tipe dari strategi selfhandicapping, suatu cara menyalahkan kinerja yang rendah pada kesehatan yang buruk (Smith,
Synder
&
Perkins,
1983).
Teori ini juga berspekulasi bahwa hipokondriasis dan gangguan panic yang sering kali terjadi
secara bersamaan, dapat memiliki penyebab yang sama, cara berpikir yang terdiostorsi yang
membuat orang tersebut salah mengartikan perubahan kecil dalam sensasi tubuh sebagai tanda
dari bencana yang akan terjadi (Salkovskis7 Clark, 1993). Perbedaan antara kedua gangguan itu
terletak pada apakah interpretasi yang salah dari tanda-tanda tubuh membawa sebuah persepsi
tentang ancaman yang akan segera terwujud dan lalu menyebabkan terjadinya kecemasan yang
berputar cepat ataukah tentang ancaman dengan kisaran yang lebih panjang dalam bentruk proses
penyakit
yang
mendasarinya.
A. Pain Disorder
Pada pain disorder, penderita mengalami rasa sakit yang mengakibatkan
ketidakmampuan secara signifikan;faktor psikologis diduga memainkan peranan penting pada
kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit yang dirasakan. Pasien kemungkinan tidak mampu
untuk bekerja dan menjadi tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul
dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat pula terjadi agar individu dapat
terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati
yang sebelumnya tidak didapat. Diagnosis akurat mengenai pain disorder terbilang sulit karena
pengalaman subjektif dari rasa nyeri selalu merupakan fenomena yang dipengaruhi secara
psikologis, dimana rasa nyeri itu sendiri bukanlah pengalaman sensoris yang sederhana, seperti
penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, memutuskan apakah rasa nyeri yang dirasakan
merupakan gangguan nyeri yang tergolong gangguan somatoform, amatlah sulit. Akan tetapi
dalam beberapa kasus dapat dibedakan dengan jelas bagaimana rasa nyeri yang dialami oleh
individu dengan gangguan somatoform dengan rasa nyeri dari individu yang mengalami nyeri
akibat masalah fisik. Individu yang merasakan nyeri akibat gangguan fisik, menunjukkan lokasi
rasa nyeri yang dialaminya dengan lebih spesifik, lebih detail dalam memberikan gambaran
sensoris dari rasa nyeri yang dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa nyeri yang
dirasakan menjadi lebih sakit atau lebih berkurang (Adler et al., dalam Davidson, Neale, Kring,
2004).
Kriteria
Diagnostik
untuk
Gangguan
Nyeri
a. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran klinis dan cukup parah
untuk
memerlukan
perhatian
klinis.
12

b. Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi
sosial,
pekerjaan,
atau
fungsi
penting
lain.
c. Faktor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, kemarahan, eksaserbasi
atau
bertahannnya
nyeri.
d. Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan
buatan
atau
berpura-pura).
e. Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau gangguan
psikotik dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.
Terapi
untuk
Pain
Disorder
Pengobatan
yang
efektif
cenderung
memiliki
hal-hal
berikut
:
memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada dalam pikiran penderita
relaxation
training
memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti orang yang mengalami rasa nyeri.
Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat dilakukan
oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita bagaimana caranya
menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan
kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan yang penderita rasakan.
B. Body Dysmorphic Disorder
Pada body dysmorphic disorder, individu diliputi dengan bayangan mengenai kekurangan dalam
penampilan fisik mereka, biasanya di bagian wajah, misalnya kerutan di wajah, rambut pada
wajah yang berlebihan, atau bentuk dan ukuran hidung. Wanita cenderung pula fokus pada
bagian kulit, pinggang, dada, dan kaki, sedangkan pria lebih cenderung memiliki kepercayaan
bahwa mereka bertubuh pendek, ukuran penisnya terlalu kecil atau mereka memiliki terlalu
banyak rambut di tubuhnya (Perugi dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Beberapa individu
yang mengalami gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam setiap harinya
untuk memperhatikan kekurangannya dengan berkaca di cermin. Ada pula yang menghindari
cermin agar tidak diingatkan mengenai kekurangan mereka, atau mengkamuflasekan kekurangan
mereka dengan, misalnya, mengenakan baju yang sangat longgar (Albertini & Philips daam
Davidson, Neale, Kring, 2004). Beberapa bahkan mengurung diri di rumah untuk menghindari
orang lain melihat kekurangan yang dibayangkannya. Hal ini sangat mengganggu dan terkadang
dapat mengerah pada bunuh diri; seringnya konsultasi pada dokter bedah plastik dan beberapa
individu yang mengalami hal ini bahkan melakukan operasi sendiri pada tubuhnya. Sayangnya,
operasi plastik berperan kecil dalam menghilangkan kekhawatiran mereka (Veale dalam
Davidson, Neale, Kring, 2004). Body dysmorphic disorder muncul kebanyakan pada wanita,
biasanya dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia social,
gangguan kepribadian (Phillips&McElroy, 2000; Veale et al.,1996 dalam Davidson, Neale,
Kring, 2004). Faktor social dan budaya memainkan peranan penting pada bagaimana seseorang
merasa apakah ia menarik atau tidak, seperti pada gangguan pola makan.
Kriteria
Diagnostik
untuk
Gangguan
Dismorfik
Tubuh
a. Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit anomali tubuh,
kekhawatiran
orang
tersebut
adalah
berlebihan
dengan
nyat.
b. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi
sosial,
pekerjaan,
atau
fungsi
penting
lainnya.
c. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya,
ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa).
13

C.Hypochondriasis
Hypochondriasis adalah gangguan somatoform dimana individu diliputi dengan ketakutan
memiliki penyakit yang serius dimana hal ini berlangsung berulang-ulang meskipun dari
kepastian medis menyatakan sebaliknya, bahwa ia baik-baik saja. Gangguan ini biasanya dimulai
pada awal masa remaja dan cenderung terus berlanjut. Individu yang mengalami hal ini biasanya
merupakan konsumen yang seringkali menggunakan pelayanan kesehatan; bahkan terkadang
mereka manganggap dokter mereka tidak kompeten dan tidak perhatian (Pershing et al., dalam
Davidson, Neale, Kring, 2004). Dalam teori disebutkan bahwa mereka bersikap berlebihan pada
sensasi fisik yang umum dan gangguan kecil, seperti detak jantung yang tidak teratur,
berkeringat, batuk yang kadang terjadi, rasa sakit, sakit perut, sebagai bukti dari kepercayan
mereka. Hypochondriasis seringkali muncul bersamaan dengan gangguan kecemasan dan mood.
Kriteria
Diagnostik
untuk
Hipokondriasis
a. Pereokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia menderita, suatu penyakit serius
didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejalagejala tubuh.
b. Perokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat dan
penentraman.
c. Keyakinan dalam kriteria A tidak memiliki intensitas waham (seperti gangguan delusional, tipe
somatik) dan tidakterbatas pada kekhawatiran tentang penampilan (seperti pada gangguan
dismorfik
tubuh).
d. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara kilnis atau gangguan dalam
fungsi
sosial,
pekerjaan,
atau
fungsi
penting
lain.
e.
Lama
gangguan
sekurangnya
6
bulan.
f. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum, gangguan
obsesif-kompulsif, gangguan panik, gangguan depresif berat, cemas perpisahan, atau gangguan
somatoform lain.
Terapi
untuk
Hypochondriasis
Secara umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti efektif dalam mengurangi
hypochondriasis (e.g. Bach, 2000; Feranandez, Rodriguez&Fernandez, 2001, dalam Davidson,
Neale, Kring, 2004). Penelitian menujukkan bahwa penderita hypochondriasis memperlihatkan
bias kognitif dalam melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu kesehatan (Smeets et al., dalam
Davidson, Neale, Kring, 2004). Cognitive-behavioral therapy dapat bertujuan untuk mengubah
pemikiran pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya dikaitkan dengan strategi yang
mengalihkan penderita gangguan ini dari gejala-gejala tubuh dan meyakinkan mereka untuk
mencari kepastian medis bahwa mereka tidak sakit (e.g. Salkovskis&Warwick,
1986;Visser&Bouman, 1992;Warwick&Salkovskis, 2001 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
D. Conversion Disorder
Pada conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya penglihatan atau
kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan rusaknya sistem
saraf, padahal organ tubuh dan sistem saraf individu tersebut baik-baik saja. Aspek psikologis
dari gejala conversion ini ditunjukkan dengan fakta bahwa biasanya gangguan ini muncul secara
tiba-tiba dalam situasi yang tidak menyenangkan. Biasanya hal ini memungkinkan individu
untuk menghindari beberapa aktivitas atau tanggung jawab atau individu sangat ingin
mendapatkan perhatian. Istilah conversion, pada dasarnya berasal dari Freud, dimana disebutkan
bahwa energi dari instink yang di repress dialihkan pada aspek sensori-motor dan mengganggu
14

fungsi normal. Untuk itu, kecemasan dan konflik psikologis diyakini dialihkan pada gejala fisik.
Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa dewasa, dimana
biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup. Prevalensi dari
conversion disorder kurang dari 1 %, dan biasanya banyak dialami oleh wanita (Faravelli et
al.,1997;Singh&Lee, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Conversion disorder biasanya
berkaitan dengan diagnosis Axis I lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan zat-zat terlarang,
dan dengan gangguan kepribadian, yaitu borderline dan histrionic personality disorder (Binzer,
Anderson&Kullgren, 1996;Rechlin, Loew&Jorashky, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring,
2004).
Kriteria
diagnostik
untuk
Gangguan
Konversi
a. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau sensorik yang
mengarahkan
pada
kondisi
neurologis
atau
kondisi
medis
lain.
b. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau defisit karena awal atau
eksaserbasi gejala atau defisit adalah didahului oleh konflik atau stresor lain.
c. Gejala atau defisit tidak ditimbulkkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan
buatan
atau
berpura-pura).
d. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan, dijelaskan sepenuhnya oleh
kondisi medis umum, atau oleh efek langsung suatu zat, atau sebagai perilaku atau pengalaman
yang
diterima
secara
kultural.
e. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain atau memerlukan pemeriksaan medis.
f. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi semata-mata
selama perjalanan gangguan somatisasi, dan tidak dapat diterangkan dengan lebih baik oleh
gangguan mental lain.
Teori
Psikoanalisis
dari
Conversion
Disorder
Pada Studies in Hysteria (1895/1982), Breuer dan freud menyebutkan bahwa conversion disorder
disebabkan ketika seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang
besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan dan ingatan tentang peristiwa tersebut
dihilangkan dari kesadaran. Gejala khusus conversion disebutkan dapat berhubungan seba-akibat
dengan
peristiwa
traumatis
yang
memunculkan
gejala
tersebut.
Freud juga berhipotesis bahwa conversion disorder pada wanita terjadi pada awal kehidupan,
diakibatkan oleh Electra complex yang tidak terselesaikan. Berdasarkan pandangan
psikodinamik dari Sackheim dan koleganya, verbal reports dan tingkah laku dapat terpisah satu
sama lain secara tidak sadar.Hysterically blind person dapat berkata bahwa ia tidak dapat melihat
dan secara bersamaan dapat dipengaruhi oleh stimulus visual. Cara mereka menunjukkan bahwa
mereka dapat melihat tergantung pada sejauh mana tingkat kebutaannya.
Teori
Behavioral
dari
Conversion
Disorder
Pandangan behavioral yang dikemukakan Ullman&Krasner (dalam Davidson, Neale, Kring,
2004), menyebutkan bahwa gangguan konversi mirip dengan malingering, dimana individu
mengadopsi simtom untuk mencapai suatu tujuan. Menurut pandangan mereka, individu dengan
conversion disorder berusaha untuk berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai
bagaimana seseorang dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan motorik atau sensorik,
akan bereaksi. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan : (1) Apakah seseorang mampu berbuat
demikian? (2) Dalam kondisi seperti apa perilaku tersebut sering muncul ?
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, maka jawaban untuk pertanyaan (1) adalah ya. Seseorang
15

dapat mengadopsi pola perilaku yang sesuai dengan gejala klasik conversion. Misalnya
kelumpuhan, analgesias, dan kebutaan, seperti yang kita ketahui, dapat pula dimunculkan pada
orang yang sedang dalam pengaruh hipnotis. Sedangkan untuk pertanyaan (2) Ullman dan
Krasner mengspesifikasikan dua kondisi yang dapat meningkatkan kecenderungan
ketidakmampuan motorik dan sensorik dapat ditiru. Pertama, individu harus memiliki
pengalaman dengan peran yang akan diadopsi. Individu tersebut dapat memiliki masalah fisik
yang serupa atau mengobservasi gejala tersebut pada orang lain. Kedua, permainan dari peran
tersebut harus diberikan reward. Individu akan menampilkan ketidakampuan hanya jika perilaku
itu diharapkan dapat mengurangi stress atau untuk memperoleh konsekuensi positif yang lain.
Namun pandangan behavioral ini tidak sepenuhnya didukung oleh bukti-bukti literatur.
Faktor
Sosial
dan
Budaya
pada
Conversion
Disorder
Salah satu bukti bahwa faktor social dan budaya berperan dalam conversion disorder ditunjukkan
dari semakin berkurangnya gangguan ini dalam beberapa abad terakhir. Beberapa hipotesis yang
menjelaskan bahwa gangguan ini mulai berkurang adalah misalnya terapis yang ahli dalam
bidang psikoanalisis menyebutkan bahwa dalam paruh kedua abad 19, ketika tingkat kemunculan
conversion disorder tinggi di Perancis dan Austria, perilaku seksual yang di repress dapat
berkontribusi pada meningktnya prevalensi gangguan ini. Berkurangnya gangguan ini dapat
disebabkan oleh semakin luwesnya norma seksual dan semakin berkembangnya ilmu psikologi
dan kedokteran pada abad ke 20, yang lebih toleran terhadap kecemasan akibat disfungsi yang
tidak
berkaitan
dengan
hal
fisiologis
daripada
sebelumnya.
Selain itu peran faktor sosial dan budaya juga menunjukkan bahwa conversion disorder lebih
sering dialami oleh mereka yang berada di daerah pedesaan atau berada pada tingkat
sosioekonomi yang rendah (Binzer et al.,1996;Folks, Ford&Regan, 1984 dalam Davidson, Neale,
Kring, 2004). Mereka mengalami hal ini dikarenakan oleh kurangnya pengetahuan mengenai
konsep medis dan psikologis. Sementara itu, diagnosis mengenai hysteria berkurang pada
masyarakat industrialis, seperti Inggris, dan lebih umum pada negara yang belum berkembang,
seperti
Libya
(Pu
et
al.,
dalam
Davidson,
Neale,
Kring,
2004
).
Faktor
Biologis
pada
Conversion
Disorder
Meskipun faktor genetic diperkirakan menjadi faktor penting dalam perkembangan conversion
disorder, penelitian tidak mendukung hal ini. Sementara itu, dalam beberapa penelitian, gejala
conversion lebih sering muncul pada bagian kiri tubuh dibandingkan dengan bagian kanan
(Binzer et al.,dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Hal ini merupakan penemuan menarik
karena fungsi bagian kiri tubuh dikontrol oleh hemisfer kanan otak. Hemisfer kanan otak juga
diperkirakan lebih berperan dibandingkan hemisfer kiri berkaitan dengan emosi negatif. Akan
tetapi, berdasarkan penelitian yang lebih besar diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang dapat
diobservasi dari frekuensi gejala pada bagian kanan versus bagian kiri otak (Roelofs et al., dalam
Davidson,
Neale,
Kring,
2004).
E. Somatization Disorder
Etiologi
dari
Somatization
Disorder
Diketahui bahwa individu yang mengalami somatization disorder biasanya lebih sensitive pada
sensasi fisik, lebih sering mengalami sensasi fisik, atau menginterpretasikannya secara
berlebihan (Kirmayer et al.,1994;Rief et al., 1998 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Kemungkinan lainnya adalah bahwa mereka memiliki sensasi fisik yang lebih kuat dari pada
16

orang lain (Rief&Auer dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Pandangan behavioral dari
somatization disorder menyatakan bahwa berbagai rasa sakit dan nyeri, ketidaknyamanan, dan
disfungsi yang terjadi adalah manifestasi dari kecemasan yang tidak realistis terhadap sistem
tubuh. Berkaitan dengan hal ini, ketika tingkat kecemasan tinggi, individu dengan somatization
disorder memiliki kadar cortisol yang tinggi, yang merupakan indikasi bahwa mereka sedang
stress (Rief et al., daam Davidson, Neale, Kring, 2004). Barangkali rasa tegang yang ekstrim
pada otot perut mengakibatkan rasa pusing atau ingin muntah. Ketika fungsi normal sekali
terganggu, pola maladaptif akan diperkuat dikarenakan oleh perhatian yang diterima.
Terapi
untuk
Somatization
Disorder
Para ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya tingkat kecemasan yang
diasosiasikan dengan somatization disorder dipicu oleh situasi khusus. Akan tetapi semakin
banyak pengobatan yang dibutuhkan, bagi orang yang sakit sekian lama maka akan tumbuh
kebiasaan akan ketergantungan untuk menghindari tantangan hidup sehari-hari daripada
menghadapi tantangan tersebut sebagai orang dewasa. Dalam pendekatan yang lebih umum
mengenai somatization disorder, dokter hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan
fisik, tetapi perlu diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dan obat-obatan, mempertahankan
hubungan dengan mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang penyakitnya atau tidak
(Monson&Smith dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Kriteria
diagnostik
untuk
Gangguan
Somatisasi
a. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama periode
beberapa tahun dan membutuhkan terapi, yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi
sosial,
pekerjaan,
atau
fungsi
penting
lain.
b. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi pada
sembarang
waktu
selama
perjalanan
gangguan:
Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya empat tempat atau
fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum,
selama
menstruasi,
selama
hubungan
seksual,
atau
selama
miksi)
Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal selain nyeri
(misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap
beberapa
jenis
makanan)
Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduktif selain dari nyeri
(misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur,
perdarahan
menstruasi
berlebihan,
muntah
sepanjang
kehamilan).
Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit yang mengarahkan
pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan
koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan di
tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi atau nyeri, pandangan ganda,
kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti amnesia; atau hilangnya kesadaran selain
pingsan).
c.
Salah
satu
(1)atau
(2):
Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek langsung dan suatu zat
(misalnya
efek
cedera,
medikasi,
obat,
atau
alkohol)
Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang
ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
atau
temuan
laboratorium.
17

d. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti gangguan buatan atau purapura).
KRITERIA DIAGNOSTIK UNTUK GANGGUAN SOMATOFORM YANG TIDAK
DIGOLONGKAN
A. Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu makan, keluhan
gastrointestinal
atau
saluran
kemih)
B.
Salah
satu
(1)atau
(2)
1. Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis
umum yang diketahui atau oleh efek langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi,
obat,
atau
alkohol)
2. Jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan fisik atau gangguan sosial atau
pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan menurut riwayat
penyakit,
pemeriksaan
fisik,
atau
temuan
laboratonium.
C. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi
sosial,
pekerjaan,
atau
fungsi
penting
lainnya.
D.
Durasi
gangguan
sekurangnya
enam
bulan.
E. Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya gangguan
somatoform, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan tidur, atau
gangguan
psikotik).
F. Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau
berpura-pura)
Gangguan Preferensi Seksual
Fetishisme
Mengandalkan pada beberapa benda mati (non-living object) sebagai rangsangan untuk
membangkitkan keinginan seksual dan memberikan kepuasan seksual . Kebanyakan
benda tersebut (objek fetish) adalah ekstensi dari tubuh manusia, seperti pakaian atau
sepatu.
Diagnosis ditegakkan apabila objek fetish benar-benar merupakan sumber yang utama
dari rangsangan seksual atau penting sekali untuk respons seksual yang memuaskan.
Fantasi fetishistik adalah lazim, tidak menjadi suatu gangguan kecuali apabila menjurus
kepada suatu ritual yang begitu memaksa dan tidak semestinya sampai mengganggu
hubungan seksual dan menyebabkan penderitaan bagi individu.
Fetishisme terbatas hampir hanya pada pria saja.
Transvestisme Fetishistik
Mengenakan pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk mencapai kepuasan
seksual.
Gangguan ini harus dibedakan dari fetishisme . Di mana pakaian sebagai objek fetish
bukan hanya sekedar dipakai, tetapi juga untuk menciptakan penampilan seorang dari
lawan jenis kelaminnya. Biasanya lebih dari satu jenis barang yang dipakai dan seringkali
suatu perlengkapan yang menyeluruh, termasuk rambut palsu dan tata rias wajah.
Transvestisme fetishistik dibedakan dari transvestisme transsexual oleh adanya hubungan
yang jelas dengan bangkitnya gairah seksual dan keinginan /hasrat yang kuat untuk
melepaskan baju tersebut apabila orgasme sudah terjadi dan rangsangan seksual menurun.
18

Adanya riwayat transvestisme fetishistik biasanya dilaporkan sebagai suatu fase


awal oleh para penderita transseksualisme dan kemungkinan merupakan suatu stadium
dalam perkembangan transseksualisme.
Ekshibisionisme
kecenderungan yang berulang atau menetap untuk memamerkan alat kelamin kepada
orang lain (biasanya lawan jenis kelamin) atau kepada orang banyak di tempat umum,
tanpa ada ajakan atau niat untuk berhubungan lebih akrab.
Ekshibisionisme hampir sama sekali terbatas pada laki-laki heteroseksual yang
memamerkan pada wanita, remaja atau dewasa, biasanya menghadap mereka dalam jarak
yang aman di tempat umum. Apabila yang menyaksikan itu terkejut, takut, atau
terpesona, kegairahan penderita menjadi meningkat.
Pada beberapa penderita, ekshibisionisme merupakan satu-satunya penyaluran seksual,
tetapi pada penderita lainnya kebiasaan ini dilanjutkan bersamaan (simultaneously)
dengan kehidupan seksual yang aktif dalam suatu jalinan hubungan yang berlangsung
lama, walaupun demikian dorongan menjadi lebih kuat pada saat menghadapi konflik
dalam hubungan tersebut.
kebanyakan penderita ini mendapatkan kesulitan dalam mengendalikan dorongan tersebut
dan dorongan ini bersifat ego-alien (suatu benda asing bagi dirinya).
Voyeurisme
kecenderungan yang berulang atau menetap untuk melihat orang yang sedang
berhubungan seksual atau berprilaku intim seperti sedang menanggalkan pakaian.
Hal ini biasanya menjurus kepada rangsangan seksual dan masturbasi, yang dilakukan
tanpa orang yang diintip menyadarinya.
Pedofilia
Preferensi seksual terhadap anak-anak, biasanya pra-pubertas atau awal masa pubertas,
baik laki-laki maupun perempuan.
Pedofilia jarang ditemukan pada perempuan.
Preferensi tersebut harus berulang dan menetap.
Termasuk : laki-laki dewasa yang mempunyai preferensi partner seksual dewasa, tetapi
karena mengalami frustasi yang kronis untuk mencapai hubungan seksual yang
diharapkan, maka kebiasaannya beralih kepada anak-anak sebagai pengganti.
Sadomasokisme
Preferensi terhadap aktivitas seksual yang melibatkan pengikatan atau menimbulkan rasa
sakit atau penghinaan; (individu yang lebih suka untuk menjadi resipien dari
perangsangan demikian disebut masochism, sebagai perilaku = sadism)
Seringkali individu mendapatkan rangsangan seksual dari aktivitas sadistik maupun
masokistik.
Kategori ini hanya digunakan apabila aktivitas sadomasokistik merupakan sumber
rangsangan yang penting untuk pemuasan seks.
harus didbedakan dari kebrutalan dalam hubungan seksual atau kemarahan yang tidak
berhubungan dengan erotisme.
Frotteurisme
Menggosok-gosokkan alat kelaminnya kepada orang yang tidak dikehendaki.

19

Nekrofilia
lebih senang berhubungan seksual dengan mayat. Hal ini biasanya terjadi pada laki-laki
Pygmalionisme
Lebih senang berhubungan seksual dengan manikin/patung/boneka.
Zoofilia
Lebih senang berhubungan seksual dengan binatang, misalnya pada sapi
Scatolofia
Cybersex, lebih terangsang apabila mendengarkan suara desahan di telpon ataupun dari
komputer dan sejenisnya.
Coprofilia / Klismafilia
Kemampuan seks sambil defekasi (buang air besar) terhadap pasangannya, bahkan bisa jadi
pasangannya memakan feces yang diekskresikan oleh pasangannya.
Urofilia
Sama dengan Scatolofia, tapi bedanya adalah pasangannya mengeluarkan urine.
Gangguan Orgasme Dan Ejakulasi Dini
A. DEFINISI
Gangguan orgasme pada laki-laki yaitu terhambatnya atau tidak tercapainya orgasme yang
bersifat persisten atau berulang setelah memasuki fase rangsangan (excitement phase) selama
melakukan aktivitas seksual.
Gangguan orgasme pada perempuan adalah lambatnya atau tidak tercapainya klimaks seks
(orgasme) walaupun rangsangan seksual cukup lama dan kuat dimana hambatan tersebut
berulang atau menetap.
B. ETIOLOGI
Diketahui bahwa yang menjadi penyebab terjadinya penyakit ini adalah adalah karena gangguan
organ fungsi seksual atau bisa juga karena tingkat stres seksual. Tapi dugaan kuat bahwa
penyakit ini bersifat sementara, meski bisa juga terjadi selama bertahun-tahun hingga kemudian
fungsi seks akan kembali normal.
D. RESPON SEKSUAL NORMAL
Respon seksual adalah pengalaman psikologis yang sebenarnya. Rangsangan dicetuskan oleh
stimulus psilokogis maupun fisik, tingkat ketegangan dialami secara fisiologis maupun
emosional dan pada orgasme, normalnya terdapat persepsi subjektif akan puncak reaksi fisik dan
pelepasan.
Perkembangan psikologis, sikap psikologis terhadap seksualitas dan sikap terhadap pasangan
seksual secara langsung terlibat dan mempengaruhi respon fisiologi seksual seseorang. Laki-laki
dan perempuan normal mengalami serangkaian respon fisiologis terhadap rangsangan seksual.
William Master dan Virginia Johnson mengamati bahwa proses fisiologis melibatkan
peningkatan tingkat vasokongesti dan miotonia (tumescence) kemudian diikuti pelepasan
aktivitas vaskular dan tonus otot sebagai hasil orgasme (de tumescence). Revisi teks edisi
keempat Dignostic and Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR) menjelaskan siklus respon
empat fase, yaitu fase I (hasrat), fase 2 (gairah), fase 3 (orgasme), fase 4 (resolusi).
20

Fase 1 : Hasrat (Desire)


Klasifikasi fase hasrat (nafsu), berbeda dengan fase lain, hanya diidentifikasi melalui fisiologi,
mencerminkan hubungan kejiwaan dengan motivasi, dorongan dan kepribadian. Fase ini ditandai
dengan fantasi seksual dan hasrat untuk melakukan aktivitas seksual.
Fase 2 : Gairah (Excitement)
Fase gairah dan rangsangan ditimbulkan oleh stimulasi psikologis (fantasi atau adanya objek
yang dicintai) maupun stimulasi fisiologis (belaian atau ciuman) atau kombinasi keduanya,
terdiri dari perasaan senang yang subjektif. Selama fase ini, pembendungan penis menimbulkan
ereksi padalaki-laki dan lubrikasi vagina pada perempuan. Puting susu keduanya menjadi tegang
walaupun ereksi puting susu lebih lazim terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Klitoris
perempuan menjadi keras dan membengkak serta labia minora menjadi lebih tebal akibat
pembendungan vena.
Kegairahan awal dapat berlangsung beberapa menit hingga beberapa jam. Dengan berlanjutnya
rangsangan, ukuran testis membesar 50% dan menaik. Saluran vagina menunjukkan konstriksi
khas di sepanjang sepertiga luar vagina, dikenal sebagai orgasmic platform. Klitoris menaik dan
tertarik ke belakang simfisis pubis sehingga tidak mudah dijangkau. Meskipun demikian
rangsangan pada daerah tersebut menyebabkan tarikan labia minora dan preputium serta terdapat
gerakan intrapreputium pada korpus klitoris. Ukuran payudara meningkat 25%. Berlanjutnya
pembendungan penis dan vagina menimbulkan perubahan warna terutama pada labia minora
yang warnanya menjadi merah terang atau merah gelap. Kontraksi volunter otot-otot besar
terjadi, laju denyut jantung dan pernapasan meningkat, serta tekanan darah naik. Penguatan
kegairahan bertahan 30 detik hingga beberapa menit.
Fase 3 : Orgasme (Orgasm)
Fase orgasme tersdiri atas memuncaknya kesenangan seksual dengan pelepasan ketegangan
seksual serta kontraksi ritmik otot perineum dan organ reproduksi pelvis.Perasaan subjektif
ejakulasi yang tidak dapat ditahan mencetuskan orgasme pada laki-laki, kemudian diikuti
pengeluaran semen secara kuat.
Orgasme pada laki-laki disertai 4 hingga 5 spasme ritmik prostat, vesikula seminalis, vas
deferens dan uretra. Pada perempuan orgasme ditandai dengan 3 hingga 15 kontraksi involunter
bagian sepertiga bawah vagina dan kontraksi kuat uterus, berjalan dari fundus ke arah bawah ke
serviks. Laki-laki dan perempuan mengalami kontraksi involunter sfingter ani interna dan
eksterna.
Jarak antara satu kontraksi dengan kontraksi lain selama orgasme terjadi dalam interval 0,8 detik.
Manifestasi lain mencakup gerakan volunter dan involunter kelompok otot besar, tekana darah
meningkat 20 hingga 40 mmHg (sistolik dan diastolik), denyut jantung meningkat hingga 160
kali/menit. Orgasme berlangsung 3 hingga 25 detik dan disertai sedikit kesadaran berkabut.
Fase 4 : Resolusi ( Resolution)
Resolusi terdiri atas mengempisnya darah dari genitalia (detumescence), yang membuat tubuh
kembali pada fase istirahat. Jika terjadi orgasme, resolusi terjadi cepat dan ditandai dengan
perasaan senang subjektif, relaksasi menyeluruh dan relaksasi otot. Jika tidak terjadi gangguan
orgasme, resolusi biasanya berlangsung 2 hingga 6 jam dan dapat disertai dengan iritabilitas dan
rasa tidak nyaman. Setelah orgasme, laki-laki mengalami periode refrakter yang dapat
berlangsung beberapa menit hingga jam, pada periode ini mereka tidak dapat dirangsang lagi
untuk mendapatkan orgasme. Perempuan tidak mengalami periode refrakter dan bisa
mendapatkan orgasme multipel dan berturut-turut.
C. GEJALA KLINIK
21

Gangguan Orgasme Pada Perempuan


Gangguan orgasme pada perempuan, kadang-kadang disebut hambatan orgasme pada perempuan
atau anorgasmia, didefinisikan sebagai hambatan berulang atau menetap pada orgasme
perempuan seperti yang ditunjukkan dengan :
penundaan berulang atau tidak adanya orgasme setelah fase gairah seksual, yang oleh kliniki,
fokus, intensitas dan lamanya dianggap adekuat, dengan kata lain ketidakmampuan
perempuan mendapatkan orgasme melalui masturbasi atau hubungan seksual.
Perempuan dengan gangguan orgasme seumur hidup tidak pernah mengalami orgasme
dengan stimulasi apapun (lebih lazim ditemukan pada perempuan yang tidak menikah).
Monorgasmik dapat juga bebas gejala atau dapat mengalami frustasi dalam berbagi cara,
dapat memiliki keluhan pelvis seperti nyeri perut bagian bawah, gatal dan keputihan serta
meningkatnya ketegangan, iritabilitas dan lelah.
Gangguan Orgasme Pada Laki-Laki
Gangguan orgasme pada laki-laki, kadang-kadang disebut hambatan orgasme atau ejakulasi
tertunda :
Seorang laki-laki sangat sulit atau bahkan tidak dapat memperoleh ejakulasi saat
berhubungan seksual.
Seorang laki-laki dengan gangguan orgasme seumur hidup tidak pernah mampu ejakulasi
saat berhubungan intim.
Mengalami ejakulasi, tetapi mengeluhkan berkurangnya atau tidak adanya perasaaan
subjektif akan kenikmatan saat pengalaman orgasme (anhedonia orgasmik).
Ejakulasi Dini
Didalam ejakulasi dini, laki-laki secara berulang atau menetap mencapai orgasme dan ejakulasi
sebelum menginginkannya. Masters dan Jhonson mengkonsepkan gangguan ini pada pasangan
dan menganggap seorang laki-laki mengalami ejakulasi dini jika ia tidak dapat mengendalikan
ejakulasi untuk waktu yang cukup selama penisnya berada dalam vagina untuk memuaskan
pasangannya sedikitnya selama setengah dari episode hubungan seksual mereka.
D. DIAGNOSIS
Khusus untuk penyakit ini, upaya mendiagnosis harus didasarkan pada penjelasan penderota
sendiri mengenai masalah yang dihadapi hingga menjadi latar belakang timbulnya penyakit ini,
khususnya ketika melakukan hubungan seksual. Dan untuk mengetahui hal ini penderita juga
akan ditanyakan mengenai riwayat kesehatan keluarganya yang berhubungan dengan penyakit
ini. Dari hal itu didapat kesimpulan bahwa ini adalah penyakit psikologi.
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Orgasme Pada Perempuan
1. Penundaan atau tidak adanya orgasme setelah fase gairah seksual normal yang berulang atau
menetap. Perempuan menunjukkan keberagaman luas jenis atau intensitas stimulasi yang
mencetuskan orgasme. Diagnosis gangguan orgasme pada perempuan harus didasarkan pada
penilaian klinisi bahwa kapasitas orgasmik perempuan tersebut kurang daripada yang sesuai
dengan usianya, pengalaman seksual dan stimulasi seksual adekuat yang ia terima.
2. Gangguan ini menimbulkan penderitaan yang nyata atau kesulitan interpersonal.
3. Disfungsi orgasme tidak lebih mungkin disebabkan oleh gangguan aksis I lain (kecuali
disfungsi seksual lain) dan tidak hanya disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (contoh
penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum.
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Orgasme Pada Laki-Laki

22

1. Penundaan atau tidak adanya orgasme, yang terjadi berulang atau menetap setelah fase gairah
seksual normal saat aktivitas seksual yang oleh klinisi diperhitungkan menurut usia orang
sebagai adekuat dalam fokus, intensitas, dan durasinya.
2. Gangguan ini menimbulkan penderitaan yang nyata atau kesulitan interpersonal.
3. Disfungsi orgasme tidak lebih mungkin disebabkan oleh gangguan aksis I lain (kecuali
disfungsi seksual lain) dan tidak hanya disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (contoh
penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum.
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Ejakulasi Dini1
1. Ejakulasi berulang atau menetap dengan stimulasi seksual yang minimal sebelum pada saat
atau segera setelah penetrasi dan sebelum orang tersebut menginginkannya. Klinisi harus
mempertimbangkan faktor yang mempengaruhi durasi fase gairah, seperti usia pasangan
seksual yang baru/tidak berpengalaman, situasi dan frekuensi aktivitas seksual baru-baru ini.
2. Gangguan ini menimbulkan penderitaan yang nyata atau kesulitan interpersonal.
3. Ejakulasi dini tidak hanya disebabkan efek langsung suatu zat (contoh : putus zat opioid).
E. TERAPI
Upaya pengobatan yang dilakukan juga adalah menggunakan metode psikologi dimana penderita
harus rutin melakukan pemeriksaan pada orang yang ahli dalam hal ini, yaitu seksiolog dimana
mereka adalah orang yang memahami masalah gangguan seksual dan dapat membantu penderita
secara psikologi.
Terapi berfokus pada penggalian konflik yang tidak disadari, motivasi, fantasi dan berbagai
kesulitan interpersonal.
1) Terapi Seks-Dual
Dasar terapi seks-dual adalah konsep unit perkawinan atau pasangan sebagai objek terapi,
pendekatan ini menunjukkan kemajuan utama dalam diagnosis dan terapi gangguan seks abad
ini.1Didalam terapi seks-dual, terapi didasarkan pada konsep bahwa pasangan harus diterapi
ketika orang mengalami disfungsi berada di dalam suatu hubungan.
Kunci program ini adalah sesi meja bundar yaitu tim terapi laki-laki dan perempuan
mengklarifikasi, mendiskusikan dan menyelesaikan masalah dengan pasangan. Terapis dan
pasien mendiskusikan aspek fisiologis dan psikologis fungsi seksual dan terapis memiliki sikap
edukatif. Terapis menyarankan aktifitas seksual tertentu yang dilakukan pasangan tersebut di
rumah mereka.Tujuan dari terapi ini adalah menegakkan kembali komunikasi dalam perkawinan.
Latihan awal berfokus meningkatkan kesadaran sensorik untuk menyentuh, melihat, mendengar
dan membaui. Awalnya hubungan seks dilarang dan pasangan belajar memberikan serta
menerima kesenangan terkait tubuh tanpa adanya tuntutan performa dan penetrasi. Pada saat
bersamaan mereka belajar komunikasi nonverbal dengan cara saling memuaskan dan mereka
belajar bahwa pemanasan seksual adalah alternatif menyenangkan untuk hubungan seks dan
orgasme.
2) Teknik dan Latihan Khusus
Pada kasus ejakulasi dini, satu latihan yang dikenal sebagai teknik meremas (squeeze technique)
digunakan untuk menigkatkan ambang eksitabilitas penis.1,5 Dalam latihan ini, laki-laki atau
perempuan merangsang penis yang ereksi sampai dirasakan sensasi awal akan terjadinya
ejakulasi. Pada saat ini, perempuan meremas dengan kuat tepi koronal glans penis, ereksi
berkurang dan ejakulasi dihambat.
Program latihan ini akhirnya meningkatkan ambang sensasi ketidaktahanan ejakulasi dan
memungkinkan laki-laki menjadi waspadaakan sensai seksualnya dan percaya diri akan performa
seksualnya.
23

Suatu varian dalam latihan ini adalah teknik berhenti-mulai yang dikembangkan oleh James H
Semans, yaitu perempuan menghentikan semua stimulasi penis ketika laki-laki pertama kali
merasakan akan ejakulasi, tidak dilakukan peremasan.
3) Hipnoterapi
Memfokuskan diri pada gejala yang menimbulkan ansietas yaitu disfungsi seksual tertentu.Fokus
terapi ini adalah membuang gejala dan merubah sikap. Pasien diminta menghadapi situasi yang
mencetuskan ansietas, yaitu menghadapi hal-hal yang berkaitan dengan seksual, cara alternatif
yang membangun.
4) Terapi Kelompok
Digunakan untuk memeriksakan masalah interpersonal dan intrapsikik pada pasien dengan
gangguan seksual.1 Kelompok terapi memberikan sistem dukungan yang kuat kepada pasien
yang merasa malu, cemas atau bersalah akan masalah seksual tertentu. Kelompok ini merupakan
forum berguna untuk melawan mitos seksual, memperbaiki kesalahan konsep dan memberikan
informasi yang akurat mengenai anatomi seksual, fisiologi dan berbagai perilaku.
F. PROGNOSIS
Gangguan orgasme dapat bersifat sementara, bisa bertahun-tahun dan bahkan seumur
hidup. Prognosis dapat menjadi baik, jika faktor psikologis dapat teratasi dan pasangan saling
mendukung satu sama lain dan menjalani psikoterapi.
Gangguan Panik
Gangguan panik mencangkup munculnya serangan panik yang berulang dan tidak terduga.
Serangan-serangan panik melibatkan reaksi kecemasan yang intens disertai dengan simtomsimtom fisik seperti jantung berdebar-debar, nafas cepat, nafas tersenggal atau kesulitan
bernafas, berkeringat banyak dan rasa lemas serta pusing tujuh keliling (Glass, 2000). Seranganserangan ini disertai dengan perasaan teror yang luar biasa dan perasaan akan adanya bahaya
yang akan segera menyerang atau malapetaka yang akan segera menimpa serta juga disertai
dengan suatu dorongan untuk melarikan diri dari situasi ini. Orang yang mengalami serangan
panikcenderung sangat menyadari adanya perubahan pada degub jantung mereka (Ricard, Edgar,
& Gibbon, 1996). Serangan panik terjadi secara tiba-tiba dan mencapai puncak intensitas dalam
10-15 menit. Serangan biasanya berlangsung selama beberapa menit, tetapi dapat berlanjut
sampai berjam-jam, dan diasosiasikan dengan dorongan yang kuat untuk melarikan diri dari
situasi dimana serangan itu terjadi. Beberapa orang dengan serangan panik, takut untuk pergi
keluar sendiri. Serangan panik yang berulang kemungkinan menjadi sulit untuk dihadapi
sehingga penderitanya mempunyai keinginan untuk bunuh diri.
Suatu diagnosis gangguan panik didasarkan pada kriteria berikut :
1. Mengalami serangan panik secara berulang dan tak terduga (sedikitnya dua kali)
2. Sedikitnya satu dari serangan tersebut diikuti oleh paling tudak satu bulan rasa takut yang
persisten akan adanya serangan berikutnya, atau rasa cemas akan implikasi atau konsekuensi
dari serangan (misalnya takut kehilangan akal atau menjadi gila atau menderita serangna
jantung), atau perubahan tingkah laku yang signifikan (misalnya, menolak meninggalkan
rumah atau keluar ke masyarakat karena takut mendapat serangan lagi)
Prognosis
Gangguan panik biasanya dimulai pada akhir masa remaja sampai pertenghan 30 tahunan (APA,
2000). Perempuan mempunyai kemungkina dua kali lebih besar untuk mengembangkan
gangguan panik (USDHHS, 1999a).
Ciri-ciri diagnostik dari serangan Panik
24

Serangan panik mencangkup suatu episode ketakutan yang intens atau perasaan tak nyaman di
mana sedikitnya empat dari ciri-ciri berikut ini tiba-tiba muncul dan mencampai puncaknya
dalam jangka waktu 10 menit :
- Palpitasi jantung, jantung berdegub-degub, tachycardia (denyut jantung cepat)
- Berkeringat
- Bergetar atau gemetar
- Nafas pendek atau sensasi seperti terselubung sesuatu
- Sensasi seperti tercekik
- Sakit atau perasaan tak nyaman di dada
- Perasaan mual atau tanda-tanda distres abdominal lainnya
- Perasaan pusing, ketidakseimbangan, kepala enteng, atau seperti mau pingsan
- Perasaan aneh atau tidak riil tentang lingkungannya (derealisasi) atau perasaan asing tentang
dirinya sendiri (depersonalisasi)
- Perasaan takut kehilangan kendali atau akan menjadi gila
- Takut akan mati
- Mati rasa atau sensasi kesemutan
- Merasa kedinginan atau kepanasan
Perspektif Biologis
a. Peran genetik
Ada petunjuk kuat faktor genetik ikut berperan. Angka prevalensi tinggi pada anak dengan orang
tua yang menderita gangguan panik. Demikian juga pada kembar monozigot. Gangguan panik
tampaknya berjalan dalam keluarga (Craske & Waters, 2005). Sebuah studi yang
menggambarkan riwayat keluarga yang mengalami gangguan panik menemukan bahwa sekitar
10 persen dari keluarga terdekat orang-orang dengan gangguan panik juga memiliki gangguan
panik. Sebagai perbandingan, hanya sekitar 2 persen dari keluarga terdekat tanpa gangguan panik
memiliki gangguan (Hettema, Neale, & Kendler, 2001). Secara khusus, anak-anak dari orang tua
dengan gangguan panik akan meningkatkan risiko mengalami gangguan panik (Biederman et al,
2001). Studi mengenai anak kembar dengan gangguan panik pada berbagai tingkat kesesuaian
untuk kembar monozigot dan dizigot, tetapi umumnya menemukan bahwa 30 sampai 40 persen
dalam tingkat gangguan panik adalah karena genetika.
Kerentanan stress model gangguan panik menunjukkan bahwa kerentanan biologis untuk
mengalami hipersensitif atau tanggapan peningkatan berinteraksi dengan kecenderungan untuk
terlibat dalam kognisi menganggap sesuatusebagai bencana untuk menciptakan serangan panik
dan gangguan panik.
a. Neurotransmitter dan Otak
Terdapat hipotesis yang melibatkan disregulasi sistem saraf perifer dan pusat di dalam
patofisiologi gangguan panik. Adanya peningkatan tonus simpatik pada beberapa orang dengan
gangguan panik. Sistem neurotransmiter utama yang terlibat adalah norepinefrin, serotonin, dan
gamma-aminobutyric acid (GABA). Dalam lingkungan penelitian telah ditemukan zat penyebab
panik (seringkali disebut panikogen) yang menyebabkan stimulasi respirasi dan pergeseran
keseimbangan asam basa.Beberapa penelitian menunjukkan bahwa infus laktat, PET scan, dan
prolaps valvula mitral ditemukan pada pasien dan diperkirakan menjadi penyebab/faktor
biologik pada gangguan ini.
Sebagian besar teori-teori neurologis modern, gangguan panik adalah hasil dari penemuan
kebetulan oleh psikiater Donald Kleinin tahun 1960-an bahwa obat antidepresan mengurangi
serangan panik (Klein, 1964). Karena obat ini mempengaruhi tingkat neurotransmiter
25

norepinefrin di otak, Klein beralasan norepinefrin yang mungkin terlibat dalam gangguan panik.
Selama bertahun-tahun, bukti telah dipasang neropinephrine yang mungkin kurang diatur pada
orang dengan gangguan panik, terutama di daerah batang otak yang disebut lokus seruleus.
Penelitian menunjukkan bahwa, ketika orang diberi obat yang mengubah aktivitas norepinefrin,
particuarly di lokus seruleus mengalami perubahan dan dapat menimbulkan serangan panik.
Neurotransmiter lain, serotonin particullary, gamma aminobutyric acid (GABA), dan
cholecystokinin (CCK), telah terlibat dalam gangguan panik. Penelitian juga telah difokuskan
pada serotonin, berikut bukti-bukti bahwa obat yang mengubah fungsi sistem serotonin sangat
membantu dalam mengurangi serangan panik (Bell & Nutt, 1998). Beberapa teori menyatakan
bahwa gangguan panik ini disebabkan tingkat serotonin berlebihan dalam area utama otak,
namun teori lain menyatakan itu adalah karena kekurangan kadar serotonin (Bell & Nutt, 1998;
Bourin et al, 1998). Studi menunjukkan bahwa peningkatan serotonin di daerah tertentu dari
batang otak (khusus abu-abu periaqueductal) mengurangi respon seperti panik, sedangkan
peningkatan soerotonin dalam peningkatan kecemasan amigdala, khususnya kecemasan
antisipatif.
Beberapa wanita yang dengan gangguan panik mengalami peningkatan gejala kecemasan selama
periode pramenstruasi mereka dan periode postpartum. Ini mungkin bahwa hormon ovarium
tersebut, khususnya progesteron, memainkan peran dalam kerentanan terhadap serangan panik.
Progesteron dapat mempengaruhi aktivitas baik serotonin dan sistem neurotransmitter GABA.
Fluktuasi kadar progresteron dengan siklus menstruasi atau pada periode postpartum sehingga
mungkin mengakibatkan ketidakseimbangan di dalam atau disfungsi dari serotonin atau sistem
GABA, sehingga mempengaruhi mereka mengalami kerentanan panik. Selain itu, peningkatan
progresteron dapat menyebabkan hiperventilasi kronis. Pada wanita rentan terhadap serangan
panik,
ini
mungkin
cukup
untuk
menginduksi
serangan
panik
penuh.
Perspektif Psikologis
a. Model Cognitive
Teori kognitif berpendapat bahwa orang rentan terhadap serangan panik cenderung (1)
memberikan perhatian yang pernah dekat dengan sensasi tubuh mereka, (2) salah menafsirkan
sensasi tubuh dengan cara yang negatif dan (3) terlibat dalam pemikiran bencana terus
membesar, melebih-lebihkan gejala mereka dan konsekuensi dari gejala. Keyakinan bahwa tubuh
memiliki konsekuensi gejala berbahaya telah diberi label sensitivitas kecemasan. Beberapa studi
telah menunjukkan bahwa orang yang memiliki sensitivitas kecemasan tinggi, lebih cenderung
memiliki gangguan serangan panik lebih sering, atau serangan panik berkembang dari waktu ke
waktu, dibandingkan dengan orang-orang sensitivitas kecemasan rendah.
Dalam studi, peneliti yang meneliti apakah orang-orang dengan gangguan panik dapat
menghindari serangan panik, bahkan setelah menghirup dioxcide karbon, dengan memiliki
"orang aman" di dekatnya. Orang dengan gangguan panik terkena karbon dioksida dengan
kehadiran orang mereka menyelamatkan jauh lebih kecil kemungkinannya untuk ecxperience
gejala emosional dan fisik dari kecemasan dibandingkan mereka yang terkena dioxcide karbon
tanpa orang terdekat. Selain itu, orang-orang dengan gangguan panik yang tidak memiliki orang
yang aman di dekatnya ketika mereka menghirup karbon dioksida dilaporkan mlebih
catastrophic kognisi, seperti "Saya kehilangan kendali" dan "Saya mengalami serangan jantung".
Tampaknya ada orang yang aman di dekatnya mengurangi kecenderungan untuk menafsirkan
perubahan tubuh yang mereka alami sebagai berbahaya.
b. Integrasi model

26

Orang-orang ini biasanya tidak mengalami serangan panik yang sering atau gangguan panik,
kecuali mereka juga terlibat dalam membuat bencana kognisi tentang gejala fisiologis mereka.
Kognisi ini meningkatkan intensitas ringan mereka awalnya sistem fisiologis ke titik serangan
panik. Mereka juga menyebabkan menjadi waspada untuk tanda-tanda serangan panik, yang
menempatkan mereka terus-menerus pada ringan sampai sedang tingkat kecemasan. Tingkat
kecemasan ini meningkatkan kemungkinan bahwa mereka akan menjadi panik lagi, dan siklus
terus.
Faktor Psikososial
Teori psikososial menyatakan bahwa panik terjadi karena kegagalan mekanisme pertahanan
terhadap impuls yang menyebabkan kecemasan.Faktor sosial satu-satunya yang dikenali
berperan dalam perkembangan gangguan panik adalah riwayat perceraian atau perpisahan yang
belum lama.
Baik teori kognitif perilaku dan psikoanalitik telah dikembangkan untuk menjelaskan
patogenesis gangguan panik dan agoraphobia. Teori kognitif perilaku menyatakan bahwa
kecemasan adalah suatu respon yang dipelajari baik dari perilaku modeling orang tua atau
melalui proses pembiasan klasik. Teori psikoanalitik memandang serangan panik sebagai akibat
dari pertahanan yang tidak berhasil dalam melawan impuls yang menyebabkan kecemasan. Apa
yang sebelumnya merupakan suatu sinyal kecemasan ringan menjadi suatu perasaan ketakutan
yang melanda, lengkap dengan gejala somatik.Penyebab serangan panic kemungkinan
melibatkan arti bawah sadar peristiwa yang menegangkan dan bahwa patogenesis serangan panik
mungkin berhubungan dengan faktor neurofisiologis yang dipicu oleh reaksi psikologis.
Pengobatan untuk Panic Disorder
Beberapa obat yang paling efektif untuk pengobatan gangguan panik diklasifikasikan sebagai
obat antidepresan. Ini termasuk antidepresan trisiklik dan serotonin reuptake inhibitor. Selain itu,
benzodiazepin, yang obat anti ansietas, membantu beberapa orang. Obat antidepresan dan
benzodiazepin menumpas gejala gangguan panik langsung, tetapi kebanyakan orang kambuh jika
mereka menghentikan obat. Tingkat kambuh dapat sangat berkurang, jika terapi perilaku kognitif
dikombinasikan dengan benzodiazepin atau antidepresan.
a. Antidepresan Tricylic
Tricylic antidepresan, seperti imipramine, dapat mengurangi serangan panik pada kebanyakan
pasien (Doyle & Pollack, 2004). Salah satu neurotransmitter yang mungkin terlibat dalam
gangguan panik adalah norepenipherine. Antidepresan tricylic diperkirakan untuk meningkatkan
fungsi dari sistem norepinepherine, dan ini mungkin efektif dalam mengobati panik. Obat ini
juga dapat mempengaruhi tingkat dari sejumlah neurotransmiters lainnya, termasuk serotonin,
sehingga mempengaruhi tingkat kecemasan. Efek samping yang mungkin termasuk penglihatan
kabur, mulut kering, kesulitan buang air kecil, sembelit, berat badan, dan disfungsi sexsual.
b. Selective serotonin reuptake inhibitor
Tipe lain dari obat yang digunakan untuk mengobati orang dengan gangguan panik adalah
selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI). Beberapa SSRI yang umum digunakan termasuk
Paxil, Prozac, Zoloft, dan Celexa. Obat ini meningkatkan tingkat fungsional dari
neurotransmitter serotonin di otak. Kemungkinan efek samping dari obat ini termasuk gangguan
pencernaan dan mudah tersinggung, insomia, mengantuk, tremor, dan disfungsi seksual.
Penelitian menunjukkan bahwa SSRI lebih efektif daripada plasebo dan seefektif antidepresan
trisiklik dalam mengurangi gejala kecemasan akut (Culpepper, 2004; Doyle & Polack, 2004).
c. Benzodiazepin

27

Jenis ketiga obat yang digunakan untuk mengobati gangguan panik adalah benzodiazepin, yang
menekan sistem saraf pusat dan berfungsi pengaruh di neropinephrine, GABA, dan sistem
serotonin neurotransmitter. Para benzodiazepin disetujui untuk mengobati panik alprazolam dan
clonazepam. Obat ini bekerja dengan cepat untuk mengurangi serangan panik dan gejala umum
kecemasan pada kebanyakan orang dengan gangguan panik (Culpepper, 2004). Sayangnya,
benzodiazepin memiliki tiga kelemahan utama. Pertama, mereka secara fisik dan psikologis
adiktif. Orang membangun toleransi terhadap obat ini, sehingga mereka perlu meningkatkan
dosis obat untuk mendapatkan efek positif. Pada gilirannya, ketika mereka berhenti
menggunakan obat tersebut, mereka mengalami gejala penarikan yang sulit, termasuk irritability,
tremor, insomia, kecemasan, sensasi kesemutan, kejang dan paranoia. Kedua, dapat mengganggu
fungsi kognitif dan motorik. Kemampuan orang untuk mengendarai atau untuk menghindari
kecelakaan terganggu, dan kinerja mereka dalam pekerjaan, di sekolah, dan di rumah. Gangguan
ini bisa sangat parah jika benzodiazepin yang dikombinasikan dengan alkohol.
Ketiga, sekitar setengah dari pasien mulai mengalami serangan panik lagi sesaat setelah
penghentian pengobatan dengan obat-obatan, dan 90 persen pasien akhirnya kambuh dalam
gangguan panik setelah menghentikan obat-obatan (Fyer et al., 1987; Spiegel, 1998).
Gangguan Obsesif-Kompulsif
Istilah obsesi berarti suatu idea tau bayangan mental yang mendesak ke dalam pikiran
secara berulang. Pikiran atau bayangan obsesif dapat berupa kekhawatiran yang biasa tentang
apakah pintu sudah dikunci atau belum, sampai fantasi yang aneh dan menakutkan tentang
bertindak kejam terhadap orang yang disayangi.
Istilah kompulsi adalah dorongan atau impuls yang tidak dapat ditahan untuk melakukan
sesuatu. Sering suatu pikiran obsesif mengakibatkan suatu tindakan kompulsif. Tindakan
kompulsif dapat berupa berulang kali memeriksa pintu yang sudah terkunci, kompor yang sudah
mati atau menelepon orang yang dicintai untuk memastikan keselamatannya.
Individu menghilangkan kecemasanya dengan perbuatan atau buah pikiran yang
berulang-ulang. Pasien mengetahui bahwa perbuatan dan pikiranya itu tidak masuk akal, tidak
pada tempatnya atau tidak sesuai dengan keadaan, tetapi ia tida dapat menghilangkannya dan ia
juga tidak mengerti mengapa ia mempunyai dorongan yang begitu kuat untuk berbuat dan
berpikir demikian. Bila ia tidak menurutinya, maka akan timbul kecemasan yang hebat.
Pedoman Diagnosis
1) Gejala-gejala obsesif atau tindakan kompulsif atau kedua-duanya, harus ada hampr setiap
hari selama sedikitnya dua minggu berturut-turut
2) Merupakan sumber penderitaan/ menggangu aktivitas penderita
3) Gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut :
- Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri
- Sedikitnya ada satu piiran/ tindakan yang tidak berhasil dilawan, meskipun ada
lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita
- Bukan merupakan hal yang member kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan
lega dari ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai kesenangan seperti
dimaksud di atas)
- Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang
tidak menyenangkan

28

4) Diagnosis ditegakkan hanya bila tidak ada gangguan depresif pada saat gejala obsesif
kompulsi tersebut timbul. Bila dari keduanya tidak ada yang menonjol, maka lebih baik
menganggap depresi sebagai diagnosis primer
5) Gejala obsesif sekunder terjadi pada gangguan skizofrenia, sindrom Tourette,atau
gangguan mental organic, harus dianggap sebagai bagian dari kondisi tersebut
Insomnia
1. Pengertian
Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan tidur baik kualitas
maupun kuantitas. Jenis insomnia ada 3 macam yaitu insomnia inisial atau tidak dapat memulai
tidur, insomnia intermitten atau tidak bisa mempertahankan tidur atau sering terjaga dan
insomnia terminal atau bangun secara dini dan tidak dapat tidur kembali.
Untuk menyembuhkan insomnia, maka terlebih dahulu harus dikenali penyebabnya.
Artinya, kalau disebabkan penyakit tertentu, maka untuk mengobatinya maka penyakitnya yang
harus disembuhkan terlebih dahulu.
2. Penyebab insomnia
Sebab-sebab terjadinya insomnia antara lain :
a. Suara atau bunyi : Biasanya orang dapat menyesuaikan dengan suara atau bunyi sehingga
tidak mengganggu tidurnya. Misalnya seseorang yang takut diserang atau dirampok, pada
malam hari terbangun berkali-kali hanya suara yang halus sekalipun.
b. Suhu udara : Kebanyakan orang akan berusaha tidur pada suhu udara yang menyenangkan
bagi dirinya. Bila suhu udara rendah memakai selimut dan bila suhu tinggi memakai pakaian
tipis, insomnia ini sering dijumpai didaerah tropic.
c. Tinggi suatu daerah ; Insomnia merupakan gejala yang sering dijumpai pada mountain
sickness (mabuk udara tipis), terjadi pada pendaki gunung yang lebih dari 3500 meter diatas
permukaan air laut.
d. Penggunaan bahan yang mengganggu susunan saraf pusat : insomnia dapat terjadi karena
penggunaan bahan-bahan seperti kopi yang mengandung kafein, tembakau yang mengandung
nikotin dan obatobat pengurus badan yang mengandung anfetamin atau yang sejenis.
e. Penyakit psikologi : Beberapa penyakit psikologi ditandai antara lain dengan adanya insomnia
seperti pada gangguan afektif, gangguan neurotic, beberapa gangguan kepribadian, gangguan
stress pascatrauma dan lain-lain.
3. Tipe-tipe insomnia
Insomnia terdiri atas tiga tipe :
a. Tidak bisa masuk atau sulit masuk tidur yang disebut juga insomnia inisial dimana keadaan ini
sering dijumpai pada orang-orang muda. Berlangsung selama 1-3 jam dan kemudian karena
kelelahan ia bisa tertidur juga. Tipe insomnia ini bisa diartikan ketidakmampuan seseorang untuk
tidur.
b. Terbangun tengah malam beberapa kali, tipe insomnia ini dapat masuk tidur dengan mudah,
tetapi setelah 2-3 jam akan terbangun dan tertidur kembali, kejadian ini dapat terjadi berulang
kali. Tipe insomnia ini disebut jaga intermitent insomnia.
c. Terbangun pada waktu pagi yang sangat dini disebut juga insomnia terminal, dimana pada tipe
ini dapat tidur dengan mudah dan cukup nyenyak, tetapi pada saat dini hari sudah terbangun dan
tidak dapat tidur lagi
4. Dampak insomnia
29

Insomnia dapat memberi efek pada kehidupan seseorang, antara lain :


a. Efek fisiologis : Karena kebanyakan insomnia diakibatkan oleh stress
b. Efek psikologis : Dapat berupa gangguan memori, gangguan berkonsentrasi, kehilangan
motivasi, depresi dan lain-lain.
c. Efek fisik/somatic : Dapat berupa kelelahan, nyeri otot, hipertensi dan sebagainya.
d. Efek sosial : Dapat berupa kualitas hidup yang terganggu, seperti susah mendapat promosi
pada lingkungan kerjanya, kurang bisa menikmati hubungan sosial dan keluarga.
e. Kematian orang yang tidur kurang dari 5 jam semalam memiliki angka harapan hidup lebih
sedikit dari orang yang tidur 7-8 jam semalam.Hal ini mungkin disebabkan karena penyakit yang
mengindiksi insomnia yang memperpendek angka harapan hidup atau karena high arousal state
yang terdapat pada insomnia. Selain itu, orang yang menderita insomnia memiliki kemungkinan
2 kali lebih besar untuk mengalami kecelakaan lalu lintas jika dibandingkan dengan orang yang
normal.
Pedoman Diagnosis
1) Diagnosis pasti dengan :
- Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur
yang buruk
- Gangguan terjadi minimal 3 kali dalam semingu selama minimal satu bulan
- Adana preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleeplessness) dan peduli yang berlebihan
terhadap akibatna pada malam hari dan sepanjang siang hari
- Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan
yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam social dan pekerjaan
2) Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti depresi, anxietas, atau obsesi tidak
menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan. Semua kormobiditas harus dicantumkan
karena membutuhkan terapi tersendiri
3) Kriteria lama tidur (kuantitas) tidak digunakan untuk menentukan adanya gangguan,
oleh karena luasnya variasi individual. Lama ganguan yang tidak memnuhi criteria di atas
(seperti ada transient insomnia) tidak didiagnosis di sini
Terapi :
Insomnia adalah merupakan suatu gejala, bukan merupakan suatu diagnosis, maka terapi
yang diberikan adalah secara simtomatik. Walaupun insomnia merupakan suatu gejala,
namun gejala ini bisa menjadi sangat mengganggu aktivitas dan produktivias penderita,
terutama penderita dengan usia produktif. Oleh karena itu, penderita berhak mendapatkan
terapi yang sewajarnya. Pendekatan terapi pada penderita insomnia ini bisa dengan
farmakologi atau non-farmakologi, berdasarkan berat dan perjalanan gejala insomnia itu
sendiri.1,2,5,6,7 Farmakologi Meresepkan obat-obatan untuk penderita dengan insomnia
harus berdasarkan tingkat keparahan gejala di siang hari, dan sering diberikan pada penderita
dengan insomnia jangka pendek supaya tidak berlanjut ke insomnia kronis. Terdapat
beberapa pertimbangan dalam memberikan pengobatan insomnia :
1) memiliki efek samping yang minimal;
2) mempunyai onset yang cepat dalam mempersingkat proses memulai tidur; dan
3) lama kerja obat tidak mengganggu aktivitas di siang hari.
Obat tidur hanya digunakan dalam waktu yang singkat, yaitu sekitar 2-4 minggu.4,5 Secara
dasarnya, penanganan dengan obat-obatan bisa diklasifikasikan menjadi : benzodiazepine,
non-benzodiazepine dan miscellaneous sleep promoting agent.
1. Benzodiazepine
30

Golongan benzodiazepine telah lama digunakan dalam menangani penderita insomnia


karena lebih aman dibandingkan barbiturate pada era 1980-an. Namun akhir-akhir ini, obat
golongan ini sudah mulai ditingalkan karena sering menyebab ketergantungan, efek toleran
dan menimbulkan gejala withdrawal pada kebanyakan penderita yang menggunakannya.3
Selain itu, munculnya obat baru yang lebih aman yang sekarang menjadi pilihan berbanding
golongan ini. Kerja obat ini adalah pada resepor -aminobutyric acid (GABA) post- synaptic,
dimana obat ini meningkatkan efek GABA (menghambat neurotransmitter di CNS) yang
memberi efek sedasi, mengantuk, dan melemaskan otot. Beberapa contoh obat dari golongan
ini adalah : triazolam, temazepam, dan lorazepam.4 Namun, efek samping yang dari obat
golongan ini harus diperhatikan dengan teliti. Efek samping yang paling sering adalah,
merasa pusing, hipotensi dan juga distress respirasi. Oleh sebab itu, obat ini harus diberikan
secara hati-hati pada penderita yang masalah respirasi kronis seperti penyakit paru obstrutif
kronis (PPOK).4,5 Dari hasil penelitian, obat ini sering dikaitkan dengan fraktur akibat jatuh
pada penderita dengan usia lanjut dengan pemberian obat dengan kerja yang lama maupun
kerja singkat.
2. Non-benzodiazepine
Golongan non-benzodiazepine mempunyai efektifitas yang mirip dengan benzodiazepine,
tetapi mempunyai efek samping yang lebih ringan. Efek samping seperti distress pernafasan,
amnesia, hipotensi ortostatik dan jatuh lebih jarang ditemukan pada penelitian-penelitian
yang telah dilakukan. Zolpidemmerupakan salah satu derivate non-benzodiazepine yang
banyak digunakan untuk pengobatan jangka pendek. Obat ini bekerja pada reseptor selektif
-1 subunit GABAAreseptor tanpa menimbulkan efek sedasi dan hipnotik tanpa
menimbulkan efek anxiolotik, melemaskan otot dan antikonvulsi yang terdapat pada
benzodiazepine. Pada clinical trial yang dilakukan, obat ini dapat mempercepat onset tidur
dan meningkatkan jumlah waktu tidur dan mengurangi frekuensi terjadinya interupsi sewaktu
tidur tanpa menimbulkan efek rebound dan ketergantungan pada penderita. Zaleplonadalah
pilihan lain selain zolpidem, adalah derivat pyrazolopyrimidine. Obat ini mempunyai waktu
kerja yang cepat dan sangat pendek yatu 1 jam. Cara kerjanya sama seperti zolpidem yaitu
pada reseptor subunit -1 GABAAreseptor.2,3 Efektivitasnya sangat mirip dengan zolpidem,
tetapi, pada suatu penelitian, dikatakan obat ini memiliki efek yang lebih superior berbanding
zolpidem. Sering menjadi pilihan utama pada penderita dengan usia produktif karena masa
kerja obat yang sangat pendek sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pada
sesetengah penelitian, ada menyatakan pilihan lain seperti eszopiclone dan Ramelteon
dimana mempunyai efektifitas yang mirip dengan zolpidem dan zaleplon. Miscellaneous
sleep promoting agent2 Obat-obat dari golongan ini dikatakan mampu mempersingkat onset
tidur dan mengurangi frekuensi terbangun saat siklus tidur. Namun keterangan ini masih
belum mempunyai dibuktikan secara signifikan.
Non-farmakologi
Terapi tanpa obat-obatan medis bisa diterapkan pada insomnia tipe primer maupun
sekunder. Banyak peneliti menyarankan terapi tanpa medikamentosa pada penderita insomnia
karena tidak memberikan efek samping dan juga memberi kebebasan kepada dokter dan
penderita untuk menerapkan terapi sesuai keadaan penderita.5,6 Terapi tipe ini sangat
memerlukan kepatuhan dan kerjasama penderita dalam mengikuti segala nasehat yang
diberikan oleh dokter. Terdapat beberapa pilihan yang bisa diterapkan seperti yang dibahas di
bawah ini :
1. Stimulus Control
31

Tujuan dari terapi ini adalah membantu penderita menyesuaikan onset tidur
dengan tempat tidur. Dengan metode ini, onset tidur dapat dapat dipercepat. Malah
dalam suatu studi menyatakan bahwa jumlah tidur pada penderita insomnia dapat
meningkat 30-40 menit. Metode ini sangat tergantung kepada kepatuhan dan motivasi
penderita itu sendiri dalam menjalankan metode ini, seperti :
- Hanya berada ditempat tidur apabila penderita benar-benar kelelahan atau tiba waktu
tidur
- Hanya gunakan tempat tidur untuk tidur atau berhungan sexual. Membaca, menonton
TV, membuat kerja tidak boleh dilakukan di tempat tidur
- Tinggalkan tempat tidur jika penderita tidak bisa tidur, dan masuk
kembali jika penderita sudah merasa ingin tidur kembali
- Bangun pada waktu yang telah ditetapkan setiap pagi Hindari tidur di siang hari
2. Sleep Restriction
Dengan metode ini, diharapkan penderita menggunakan tempat tidur hanya waktu
tidur dan dapat memperpanjang waktu tidur, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kualitas tidur penderita. Pendekatan ini dilakukan dengan alasan,
berada di tempat tidur terlalu lama bisa menyebabkan kualitas tidur terganggu dan
terbangun saat tidur. Metode ini memerlukan waktu yang lebih pendek untuk
diterapkan pada penderita berbanding metode lain, namun sangat susah untuk
memastikan penderita patuh terhadap instruksi yang diberikan. Protocol sleep
restriction seperti di bawah :
- Hitung rata-rata total waktu tidur pada penderita. Data didapatkan melalui catatan
waktu dan jumlah tidur yang dibuat penderita
sekurang-kurangnya 2 minggu
- Batasi jam tidur berdasarkan perhitungan jumlah waktu tidur
- Estimasi tidur yang efisien setiap minggu dengan menggunakan rumus (jumlah jam
tidur/jumlah waktu di tempat tidur x 100)
- Tingkatkan jam tidur 15-20 menit jika efisiensi tidurr > 90%, sebaliknya kurangi 1520 menit jika < 80%, atau pertahankan jumlah jam tidur jika efisiensi tidur 80-90%
- Setiap minggu sesuaikan jumlah tidur berdasarkan perhitungan yang dilakukan
- Jangan tidur kurang dari 5 jam
- Tidur di siang hari diperbolehkan, tetapi tidak melebihi 1 jam
- Pada usia lanjut, jumlah jam tidur dikurangi hanya apabila efisiensi tidur kurang dari
75%
3. Sleep Hygiene
Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan merubah cara hidup dan
lingkungan penderita dalam rangka meningkatakan kualitas tidur penderita
itu sendiri. Sleep hygiene yang tidak baik sering menyebabkan insomnia tipe primer.
Pada suatu studi mendapatkan, seseorang dengan kualitas buruk biasanya mempunyai
kebiasan sleep hygiene yang buruk. Penelitian lain menyatakan, seseorang dengan
sleep hygiene yang baik, bangun di pagi hari dalam suasana yang lebih bersemangat
dan ceria. Terkadang, penderita sering memikirkan dan membawa masalah-masalah
ditempat kerja, ekonomi, hubungan kekeluargaan dan lain-lain ke tempat tidur,
sehingga mengganggu tidur mereka. Terdapat beberapa hal yang perlu dihindari dan
dilakukan penderita untuk menerapkan sleep hygiene yang baik, seperti dibawah :
- Hindari mengkonsumsi alkohol, kafein dan produk nikotin sebelum
32

tidur
Meminimumkan suasana bising, pencahayaan yang terlalu terang, suhu ruangan yang
terlalu dingin atau panas
Pastikan kamar tidur mempunyai ventilasi yang baik
Menggunakan bantal dan kasur yang nyaman dengan penderita
Hindarimakanan dalam jumlah yang banyak sebelum tidur
Elakkan membawa pikiran yang bisa mengganggu tidur sewaktu di tempat tidur
Lakukan senam secara teratur (3-4x/minggu), dan hindari melakukan aktivitas yang
berat sebelum tidur
4. Cognitive Therapy
Pendekatan dengan cognitive therapy adalah suatu metode untuk mengubah pola
pikir, pemahaman penderita yang salah tentang sebab dan akibat insomnia.
Kebanyakan penderita mengalami cemas ketika hendak tidur dan ketakutan yang
berlebihan terhadap kondisi mereka yang sulit tidur. untuk mengatasi hal itu, mereka
lebih sering tidur di siang hari dengan tujuan untuk mengganti jumlah tidur yang
tidak efisien di malam hari. Namun itu salah, malah memperburuk status insomnia
mereka. Pada studi yang terbaru, menyatakan cognitive therapy dapat mengurangi
onset tidur sehingga 54%. Pada studi lainnya menyatakan, metode ini sangat
bermanfaat pada penderita insomnia usia lanjut, dan mempunyai efektifitas yang
sama dengan pengobatan dengan medikamentosa.
Gangguan Anxietas Menyeluruh

A. DEFINISI
Gangguan anxietas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder, GAD) merupakan
kondisi gangguan yang ditandai dengan kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan
dan tidak rasional bahkan terkadang tidak realistik terhadap berbagai peristiwa kehidupan
sehari-hari. Kondisi ini dialami hampir sepanjang hari, berlangsung sekurang-kurangnya
selama 6 bulan. Kecemasan yang dirasakan sulit untuk dikendalikan dan berhubungan
dengan gejala-gejala somatik seperti ketegangan otot, iritabilitas, kesulitan tidur, dan
kegelisahan sehingga menyebabkan penderitaan yang jelas dan gangguan yang bermakna
dalam
fungsi
sosial
dan
pekerjaan.
GAD ditandai dengan kecemasan yang berlebihan dan khawatir yang berlebihan tentang
peristiwa-peristiwa kehidupan sehari-harinya tanpa alasan yang jelas untuk khawatir.
Kecemasan ini tidak dapat dikontrol sehingga dapat menyebabkan timbulnya stres dan
mengganggu
aktivitas
sehari-hari,
pekerjaan
dan
kehidupan
sosial.
Pasien dengan GAD biasanya mempunyai rasa risau dan cemas yang berlanjut dengan
ketegangan motorik, kegiatan autonomik yang berlebihan, dan selalu dalam keadaan
siaga. Beberapa pasien mengalami serangan panik dan depresi.
B. EPIDEMIOLOGI
Angka prevalensi untuk gangguan anxietas menyeluruh 3-8% , dengan prevalensi pada
wanita > 40 tahun sekitar 10%. Rasio antara perempuan dan laki-laki sekitar 2:1. Onset
penyakit biasanya muncul pada usia pertengahan hingga dewasa akhir, dengan insidens
yang cukup tinggi pada usia 35-45 tahun. GAD merupakan gangguan kecemasan yang
paling sering ditemukan pada usia tua. [4,5]

33

C. ETIOLOGI
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan faktor yang diduga menyebabkan terjadinya
gangguan anxietas menyeluruh. Teori-teori tersebut antara lain :
a. Teori
Biologi
Area otak yang diduga terlibat pada timbulnya GAD adalah lobus oksipitalis yang
mempunyai reseptor benzodiazepine tertinggi di otak. Basal ganglia, sistem limbik,
dan korteks frontal juga dihipotesiskan terlibat pada etiologi timbulnya GAD. Pada
pasien GAD juga ditemukan sistem serotonergik yang abnormal. Neurotransmiter
yang berkaitan dengan GAD adalah GABA, serotonin, norepinefrin, glutamate, dan
kolesistokinin. Pemeriksaan PET (Positron Emision Tomography) pada pasien GAD
ditemukan penurunan metabolisme di ganglia basal dan massa putih otak. [3,6]
b. Teori
Genetik
Pada sebuah studi didapatkan bahwa terdapat hubungan genetik pasien GAD dan
gangguan Depresi Mayor pada pasien wanita. Sekitar 25% dari keluarga tingkat
pertama penderita GAD juga menderita gangguan yang sama. Sedangkan penelitian
pada pasangan kembar didapatkan angka 50% pada kembar monozigotik dan 15%
pada kembar dizigotik. [3,6]
c. Teori
Psikoanalitik
Teori ini menghipotesiskan bahwa anxietas adalah gejala dari konflik bawah sadar
yang tidak terselesaikan. Pada tingkat yang paling primitif, anxietas dihubungkan
dengan perpisahan dengan objek cinta. Pada tingkat yang lebih matang lagi, anxietas
dihubungkan dengan kehilangan cinta dari objek yang penting. Anxietas kastrasi
berhubungan dengan fase oedipal, sedangkan anxietas superego merupakan ketakutan
seseorang untuk mengecewakan nilai dan pandangannya sendiri (merupakan anxietas
yang paling matang). [3,6]
d. Teori
kognitif-perilaku
Penderita GAD berespon secara salah dan tidak tepat terhadap ancaman, disebabkan
oleh perhatian yang selektif terhadap hal-hal yang negative pada lingkungan, adanya
distorsi pada pemrosesan informasi dan pandangan yang sangat negative terhadap
kemampuan diri untuk menghadapi ancaman.
D. GAMBARAN
KLINIS
Gambaran klinis dinilai dari 2 hal, yaitu gejala somatik dan gejala psikologik
1. Gejala
somatik
[3,6]

Gemetar

Nyeri
punggung
dan
nyeri
kepala

Ketegangan
otot

Napas
pendek,
hiperventilasi

Mudah
lelah,
sering
kaget
Hiperaktivitas otonomik (wajah merah dan pucat, takikardia, palpitasi, tangan rasa
dingin,
diare,
mulut
kering,
sering
kencing)

Parestesia
Sulit menelan
2. Gejala
psikologik
[3,6]

Rasa
takut
yang
berlebihan
dan
sulit
untuk
dikontrol
34

Sulit
Rasa
Hipervigilance (siaga berlebih)

Libido
mual

di

konsentrasi
Insomnia
menurun
perut

Gangguan anxietas menyeluruh juga memiliki pengaruh terhadap tekanan darah.


Ada dua faktor yang paling berpengaruh pada tekanan darah, yaitu curah jantung
(cardiac output) dan tahanan perifer (peripheral resistance). Anxietas akan
merangsang respon hormonal dari hipotalamus yang akan mengsekresi CRF
( Cortisocoprin- Releasing Factor) yang menyebabkan sekresi hormon-hormon
hipofise. Salah satu dari hormon tersebut adalah ACTH (Adreno- Corticotropin
Hormon). Hormon tersebut akan merangsang korteks adrenal untuk mengsekresi
kortisol kedalam sirkulasi darah. Peningkatan kadar kortisol dalam darah akan
mengakibatkan peningkatan renin plasma, angiotensin II dan peningkatan kepekaan
pembuluh darah terhadap katekolamin, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah.
Selain itu hipotalamus juga berfungsi sebagi pusat dari system saraf otonom. Sistem
ini terbagi atas sistem simpatis dan sistem parasimpatis. Pada anxietas terjadi sekresi
adrenalin berlebihan yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, sedanngkan
pada anxietas yang sangat berat dapat terjadi reaksi yang dipengaruhi oleh komponen
parasimpatis sehingga akan mengakibatkan penurunan tekanan darah dan frekuensi
denyut jantung. Pada kecemasan yang kronis, kadar adrenalin terus meninggi,
sehingga kepekaan terhadap rangsangan yang lain berkurang dan akan terlihat
tekanan darah meninggi.Pada gangguan anxietas menyeluruh yang terutama berperan
adalah neurotransmiter serotonin. Pada saat ini telah diidentifikasi tiga reseptor
serotonin, yaitu : 5-HT1, 5-HT2 dan 5-HT3 . Menurut Kabo reseptor 5-HT1 bersifat
sebagai inhibitor, sedangkan reseptor 5-HT2 dan reseptor 5-HT3 bersifat sebagai
eksitator. Menurut Gothert, aktivasi reseptor 5-HT1 akan mengurangi kecemasan
sedangkan aktivasi reseptor 5-HT2 akan meningkatkan tekanan darah.
E. DIAGNOSIS
Kriteria diagnostik gangguan anxietas menyeluruh menurut DSM IV-TR :
a. Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir setiap hari,
sepanjang hari, terjadi selama sekurangnya 6 bulan, tentang sejumlah aktivitas atau
kejadian (seperti pekerjaan atau aktivitas sekolah)
b. Penderita merasa sulit mengendalikan kekhawatirannya
c. Kecemasan atau kekhawatiran disertai tiga atau lebih dari enam gejala berikut ini
(dengan sekurangnya beberapa gejala lebih banyak terjadi dibandingkan tidak terjadi
selama enam bulan terakhir). Catatan : hanya satu nomor yang diperlukan pada anak :
1.
Kegelisahan
2.
Merasa
mudah
lelah
3.
Sulit
berkonsentrasi
atau
pikiran
menjadi
kosong
4.
Iritabilitas
5.
Ketegangan
otot
6. Gangguan tidur (sulit tertidur atau tetap tidur, atau tidur gelisah, dan tidak
memuaskan)
35

d. Fokus kecemasan dan kekhawatiran tidak terbatas pada gangguan aksis I, misalnya
kecemasan atau ketakutan adalah bukan tentang menderita suatu serangan panik
(seperti pada gangguan panik), merasa malu pada situasi umum (seperti pada fobia
sosial), terkontaminasi (seperti pada gangguan obsesif kompulsif), merasa jauh dari
rumah atau sanak saudara dekat (seperti gangguan anxietas perpisahan), penambahan
berat badan (seperti pada anoreksia nervosa), menderita keluhan fisik berganda
(seperti pada gangguan somatisasi), atau menderita penyakit serius (seperti pada
hipokondriasis) serta kecemasan dan kekhawatiran tidak terjadi semata-mata selama
gangguan stres pasca trauma.
e. Kecemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis, atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
f. Gangguan yang terjadi adalah bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat
(misalnya penyalahgunaan zat, medikasi) atau kondisi medis umum (misalnya
hipertiroidisme), dan tidak terjadi semata-mata selama suatu gangguan mood,
gangguan
psikotik,
atau
gangguan
perkembangan
pervasif.
Penegakan diagnosis gangguan anxietas menyeluruh berdasarkan PPDGJ-III sebagai
berikut [9] :
- Pasien harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung
hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak
terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya
free floating atau mengambang)
- Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut :
a. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit
konsentrasi, dan sebagainya)
b. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai); dan
c. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebardebar, seska napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering dan
sebagainya)
- Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan
(reassurance) serta keluhan-keluhan somatic berulang yang menonjol
- Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari),
khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan Anxietas
Menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode
depresif (F32.-), gangguan anxietas fobik (F40.-), gangguan panik (F41.0), atau
gangguan obsesif-kompulsif (F42.-).
F. PENATALAKSANAAN
1. Farmakoterapi
a. Benzodiazepin
Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian benzodiazepine dimulai dengan
dosis terendah dan ditingkatkan sampai mencapai respons terapi. Pengguanaan
sediaan dengan waktu paruh menengah dan dosis terbagi dapat mencegah
terjadinya efek yang tidak diinginkan. Lama pengobatan rata-rata 2-6 minggu,
dilanjutkan dengan masa tapering off selama 1-2 minggu. Spektrum klinis
Benzodiazepin meliputi efek anti-anxietas, antikonvulsan, anti-insomnia, dan
36

premedikasi tindakan operatif. Adapun obat-obat yang termasuk dalam golongan


Benzodiazepin antara lain : [10]
Diazepam, dosis anjuran oral = 2-3 x 2-5 mg/hari; injeksi = 5-10 mg 9im/iv),
broadspectrum
Chlordiazepoxide, dosis anjuran 2-3x 5-10 mg/hari, broadspectrum
Lorazepam, dosis anjuran 2-3x 1 mg/hari, dosis anti-anxietas dan anti-insomnia
berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas, untuk pasien-pasien
dengan kelainan hati dan ginjal
Clobazam, dosis anjuran 2-3 x 10 mg/hari, , dosis anti-anxietas dan anti-insomnia
berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas, psychomotor
performance paling kurang terpengaruh, untuk pasien dewasa dan usia lanjut yang
masih ingin tetap aktif
Bromazepam, dosis anjuran 3x 1,5 mg/hari, , dosis anti-anxietas dan antiinsomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas.
Alprazolam, dosis anjuran 3 x 0,25 0,5 mg/hari, efektif untuk anxietas tipe
antisipatorik, onset of action lebih cepat dan mempunyai komponen efek antidepresi

b. Non-benzodoazepin
(Buspiron)
Buspiron efektif pada 60-80% penderita GAD. Buspiron lebih efektif dalam
memperbaiki gejala kognitif disbanding gejala somatik. Tidak menyebabkan
withdrawal. Dosis anjuran 2-3x 10 mg/hari. Kekurangannya adalah, efek klinisnya
baru terasa setelah 2-3 minggu. Terdapat bukti bahwa penderita GAD yang sudah
menggunakan Benzodiazepin tidak akan memberikan respon yang baik dengan
Buspiron. Dapat dilakukan penggunaan bersama antara Benzodiazepin dengan
Buspiron kemudian dilakukan tapering Benzodiazepin setelah 2-3 minggu, disaat
efek
terapi
Buspiron
sudah
mencapai
maksimal.[10]
2.
a.

Psikoterapi
Terapi
kognitif
perilaku
Teori Cognitive Behavior pada dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran
manusia terbentuk melalui proses rangkaian stimulus-kognisi-respon, dimana
proses kognisi akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana
manusia berpikir, merasa dan bertindak. Terapi kognitif perilaku diarahkan kepada
modifikasi fungsi berpikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan peran otak
dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat dan memutuskan kembali.
Dengan mengubah arus pikiran dan perasaan, klien diharapkan dapat mengubah
tingkah lakunya, dari negatif menjadi positif. Tujuan terapi kognitif perilaku ini
adalah untuk mengajak pasien menentang pikiran (dan emosi) yang salah dengan
menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang
masalah yang dihadapi. Pendekatan kognitif mengajak pasien secara kangsung
mengenali distorsi kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik
secara langsung. Teknik utama yang digunakan pada pendekatan behavioral
adalah relaksasi dan biofeedback. [5,10]
b.

Terapi

suportif
37

Pasien diberikan re-assurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi yang ada


dan belum tampak, didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi optimal dalam
fungsi sosial dan pekerjaannya. [5]
c.

Psikoterapi
Berorientasi
Tilikan
Terapi ini mengajak pasien ini untuk mencapai penyingkapan konflik bawah
sadar, menilik egostrength, relasi objek, serta keutuhan self pasien. Dari
pemahaman akan komponen-komponen tersebut, kita sebagai terapis dapat
memperkirakan sejauh mana pasien dapat diubah untuk menjadi lebih matur, bila
tidak tercapai, minimal kita memfasilitasi agar pasien dapat beradaptasi dalam
fungsi sosial dan pekerjaannya. [5]
Trikotilomania
DEFINISI
Trikotilomania adalah salah satu bentuk gangguan kompulsif yang ditandai dengan
kegiatan menarik-narik rambut berulang (di kepala, alis, bulu mata, ketiak, pubis) yang didahului
dengan ketegangan kemudian diikuti dengan rasa puasa atau lega setelahnya. Kegiatan ini
ditandai dengan adanya kerontokan rambut yang mencolok dan tidak disebabkan oleh kelainan
kulit kepala atau rambut lain atau kegiatan stereotipi yang lain.1,2
Trikotilomania adalah hilangnya rambut sebagai akibat dari dorongan yang kuat untuk
menarik-narik rambut. Hilangnya rambut bisa membentuk suatu bercak bundar atau tersebar di
kulit kepala. Trikotilomania merupakan suatu perilaku kompulsif, yang mungkin berasal dari
adanya stres emosional maupun stres fisik. Paling sering ditemukan pada anak-anak, tetapi
kebiasaan ini bisa menetap sepanjang hidup penderita.2
Penyakit ini dapat dikategorikan berdasarkan onset menjadi: prasekolah, praremajadewasa muda, dewasa. Dari klasifikasi tersebut didapatkan perbedaan gejala dan responterapi
dimana pada pasien prasekolah dan dewasa memiliki kebiasaan menarik rambut otomatis dan
tanpa disadari serta memiliki respon yang baik terhadap pengobatan konservatif. Pada pasien
dewasa biasanya memiliki kecendrungan menarik rambut sebagai bentuk dari fokus penderita
terhadap kebiasaan tersebut, sebagai bagian rutinitas yang disadari termasuk dalam memilah
jenis rambut tertentu untuk dicabuti misalnya yang memiliki ujung bulat dan pipih, yang kasar
atau pun karena letaknya yang salah.Responterapi konservatif pada pasien dewasa biasanya lebih
buruk mengingat kebiasaan menarik rambut ini dapat disertai gangguan psikis lain yang
memerlukan tenaga spesialis dalam menanganinya.3
ETIOLOGI
Meskipun dianggap ditentukan oleh banyak hal, onsetnya dihubungkan pada situasi yang
penuh stress. Gangguan hubungan ibu dan anak, rasa takut ditinggal sendirian dan kehilangan
objek yang belum lama seringkali dinyatakan sebagai faktor penting yang berperan dalam
gangguan ini. Penyalahgunaan zat mungkin mendorong perkembangan gangguan.4
Dinamik depresif sering dinyatakan sebagai faktor predisposisi tetapi tidak ada ciri atau
gangguan kepribadian tertentu atau yang khas pada pasien trikotillomania. Beberapa ahli melihat
stimulasi terhadap diri sendiri merupakan tujuan utama perilaku mencabut rambut.
Trikotilomania semakin sering dipandang memiliki substrat yang ditentukan secara
biologis yang dapat mencerminkan aktivitas motorik yang dikeluarkan dengan tidak tepat. Teori
biologi juga mengacu pada perbedaan metabolik dalam sistem serotonin dan opioid. Anggota
38

keluarga pasien dengan trikotilomania sering memiliki riwayat tic, gangguan pengendalian
impuls, dan gangguan obsesif kompulsif, yang lebih menyokong lagi kemungkinan predisposisi
genetik.
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data epidemiologi didapatkan bahwa puncak onset trikotilomania ini
berkisar antara usia 12-13 tahun.7 Pada anak-anak tidak ada perbandingan yang berarti antara
populasi laki-laki atau pun perempuan yang terkena trikotilomania. Pada orang dewasa
ditemukan adanya prevalensi sebesar 0.6-3.4% dengan kecenderungan lebih banyak pada
perempuan dibandingkan laki-laki. Namun data ini masih dikacaukan dengan tipikal pencarian
pertolongan yang cenderung dimiliki perempuan dibandingkan laki-laki.6
Jumlah pasien yang mengalami trikotilomania di masyarakat secara relatif masih sedikit
yang diketahui. Secara klinis, mencabut-cabut rambut yang cocok dengan kriteria trikotilomania
ditemukan pada 0.6%-3.9% mahasiswa yang disurvei. Penelitian lain menunjukkan perbedaan
tingkat trikotilomania dalam pengobatan ditemukan 4.4% pada pasien psikiatri yang rawat inap
dan 4.6% pada pasien gangguan obsesif-kompulsif.3
Prevalensi trichotillomania berkisar antara 0,5-3,5 % dengan onset usia rata-rata 10
sampai 13 tahun. Penyakit ini tujuh kali lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan orang
dewasa dan anak perempuan 2,5 kali lebih sering daripada anak laki-laki.4
Tidak ada informasi mengenai familial, tetapi satu studi melaporkan bahwa 5 dari 19
orang anak memiliki riwayat keluarga yang mengalami beberapa bentuk alopesia. Gangguan
yang berhubungan adalah obsesif kompulsif, kepribadian ambang dan gangguan depresif.
2.1 PATOFISIOLOGI
Hingga saat ini penyebab trikotilomania itu sendiri masih belum jelas. Menurut teori
neuro-kognitif gangguan ini disebabkan oleh adanya kelainan pada basal ganglia pasien
sebagaimana diketahui bahwa basal ganglia memiliki peran dalam membentuk kebiasaan.
Kegagalan lobus frontal dalam menghambat kebiasaan tertentu juga diperkirakan bagian dari
pathofisiologi gangguan ini.7
Sebuah studi pencitraan menggunaan Magnetic Resonance Image (MRI) juga
menyatakan bahwa substansi grasia (gray matter) pasien dengan trikotilomania lebih meningkat
kapasitasnya dibandingkan yang tidak memiliki penyakit ini. Peranan genetik terhadap penyakit
ini pun tidak luput dari perhatian peneliti.
Pada suatu penelitian ditemukan adanya mutasi pada gen SLITRK1 sedangkan pada
penelitian lainnya mendapatkan adanya perbedaan pada receptor gen serotonin 2A. Mutasi gen
HOXB8 juga menunjukkan perubahan kebiasaan pada tikus dalam menarik-narik rambut.
Pendekatan ilmiah terhadap gen ini merupakan fenomena baru namun masih belum dapat
ditentukan apakah memang ada hubungan genetic dalam menyebabkan penyakit ini.4,7
Trikotilomania juga biasa disebut trikotilosis atau TTM. Orang dengan trikotilomania
memiliki dorongan yang sangat kuat untuk menarik rambut. Tidak hanya rambut di kepala,
penderita trikotilomania juga kerap merasakan kepuasan dan kenikmatan setelah mencabut
rambut di bagian tubuh yang lain, seperti rambut kemaluan, rambut ketiak dan sebagainya.
Selain kecenderungan yang kuat untuk menarik rambut berulang-ulang, penderita sering kali
merasakan peningkatan ketegangan sebelum mencabut rambut atau saat mencoba melawan
keinginan mencabut rambut. Kesenangan, kepuasan atau lega tercipta ketika menarik keluar
rambut (Davies, 2004).
Bila diperhatikan, penderita trikotilomania kerap meninggalkan jejak buruk terutama
pada bagian yang ditumbuhi rambut. Yang sangat jelas adalah kebotakan. Beberapa orang juga
39

terlihat memiliki alis atau bulu mata yang tipis, bahkan tidak ada, karena terlalu sering dicabut.
Rambut pada penderita trikotilomania tidak berkembang dengan baik. Sering kali ditemukan
helai-helai rambut lama yang rusak ujungnya. Helai-helai rambut patah dengan ujung yang tak
rata. Trikotilomania akan menyebabkan pertumbuhan rambut baru dengan ujung meruncing
(Davies, 2004).
MANIFESTASI KLINIS
Menurut The American Psychiatric Associations Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5), trikotilomania termasuk dalam kategori gangguan
obsesif kompulsif dan gangguan terkait. Gangguan ini ditandai dengan suatu tindakan khusus
berupa kebiasaan menarik rambut. Kebiasaan ini terjadi baik dalam keadaan santai maupun
keadaan yang penuh tekanan.
Kriteria diagnosis menurut DSM V, antara lain:
Mencabut rambut sendiri secara rekuren yang menyebabkan kebotakan yang jelas.
Peningkatan perasaan tegang segera sebelum mencabut rambut atau jika berusaha untuk
menahan perilaku tersebut.
Rasa senang, puas atau reda jika mencabut rambut.
Gangguan tidur tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain dan bukan
karena kondisi medis umum (misalnya, kondisi dermatologis).
Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.
Gambaran yang esensial dari gangguan ini adalah:
1. Kerontokan rambut kepala yang tampak jelas (noticeable) disebabkan oleh berulangkali
gagal menahan diri terhadap impuls untuk mencabut rambut.
2. Pencabutan rambut biasanya didahului oleh ketegangan yang meningkat dan setelahnya
diikuti dengan rasa lega atau puas (Maslim, 2003).
Diagnosis jangan dibuat apabila sebelumnya ada inflamasi kulit atau apabila pencabutan
rambut dilakukan akibat suatu waham atau halusinasi. Periode transien menarik rambut pada
anak usia dini dapat dianggap suatu "kebiasaan" ringan dengan jangka waktu terbatas.2
Individu yang hadir dengan trikotilomania kronis di masa dewasa sering melaporkan
onset masa remaja awal. Beberapa individu memiliki gejala terus menerus selama beberapa
dekade. Bagi yang lain, gangguan tersebut dapat datang dan pergi untuk minggu, bulan atau
tahunan. Tempat-tempat menarik rambut dapat bervariasi dari waktu ke waktu.2
Banyak individu dengan trikotilomania mencabut rambut dari kepala mereka, bulu mata,
alis, kaki, lengan, wajah, dan region kemaluan. Mereka menarik helai rambut dengan jumlah
yang yang cukup banyak, menjadikan kerontokan rambut menjadi terlihat. Hal ini menyebabkan
banyak ketidaknyamanan, terutama dalam situasi sosial, dimana mereka akan dapat diamati.
Akibatnya, individu dengan masalah ini berusaha keras untuk menyembunyikan kehilangan
rambut ini dengan memakai topi, wig, kemeja lengan panjang, atau dengan menutup area
kebotakan dengan make up.
Individu trikotilomania bahkan mungkin tidak menyadari bahwa mereka menarik rambut
mereka dan kebanyakannya mengatakan bahwa mereka merasa bosan atau gugup sebelum
mencabut rambut mereka, tapi setelah menariknya keluar, mereka merasa bersalah, sedih atau
marah. Ada juga melaporkan bahwa mereka mencabut rambut mereka ketika sedang menonton
televisi, membaca, berbicara di telepon atau membawa kendaraan.7
40

DIAGNOSIS
Kriteria Diagnosis menurut PPDGJ-III Maslim (2003):
1. Mencabut rambut sendiri secara rekuren yang menyebabkan kebotakan yang jelas.
2. Peningkatan perasaan tegang segera sebelum mencabut rambut atau jika berusaha untuk
menahan perilaku tersebut.
3. Rasa senang, puas atau reda jika mencabut rambut
4. Gangguan tidur tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain dan bukan
karena kondisi medis umum (misalnya, kondisi dermatologis).
5. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.
Diagnosis ini jangan dibuat apabila sebelumnya sudah ada peradangan kulit, atau apabila
pencabutan rambut adalah respons terhadap waham atau halusinasi (Maslim, 2003).
TATALAKSANA
Penelitian tentang pengobatan untuk gangguan kebiasaan dan impuls sebagian besar
berfokus pada penggunaan terapi perilaku kognitif dan obat-obatan. Terapi perilaku kognitif
(Cognitif Behaviour Therapy, CBT) menggabungkan unsur-unsur dari kedua terapi kognitif dan
terapi perilaku. Terapi kognitif meneliti cara pikiran orang tentang diri mereka sendiri, orang lain
dan dunia yang mempengaruhi kesehatan mental mereka. Terapi perilaku menyelidiki cara
tindakan masyarakat mempengaruhi kehidupan mereka sendiri dan interaksi mereka dengan
orang lain. Dengan menggabungkan kedua terapi tersebut, CBT meneliti cara orang agar dapat
mengubah pikiran mereka dan perilaku dalam rangka meningkatkan kehidupan mereka. Terapi
perilaku kognitif dapat membantu seseorang belajar untuk rileks, mengatasi stres, memerangi
pikiran negatif dan mencegah perilaku merusak. Dalam penelitian kecil, jenis pengobatan ini
telah terbukti efektif untuk kleptomania, judi patologis, trikotilomania dan isu-isu seksualitas
kompulsif.7
Terapi perilaku yang berhasil, seperti biofeedback, pengawasan diri sendiri, desensitisasi
sendiri dan pembalikan kebiasaan telah dilaporkan, tetapi sebagian besar laporan adalah kasus
individual atau sejumlah kecil penelitian dengan periode follow up yang relative singkat.2
Trikotilomania kronis yang berhasil diterapi adalah dengan psikoterapi berorientasi pada
tilikan. Hipnoterapi dan terapi perilaku telah dinyatakan berpotensi efektif dalam terapi
gangguan dermatologis dengan keterlibatan faktor psikologis karena kulit telah terbukti rentan
terhadap saran hipnotik.
Berdasarkan saran Trichotillomania Impact Project, penggunaan farmakoterapi dengan
SSRI merupakan terapi yang paling sering digunakan bahkan lebih dianjurkan penggunaannya
dibandingkan Clomiperamine. Namun bila pasien dengan respon buruk dengan SSRI dapat
membaik dengan tambahan pimozide (Orap), suatu antagonis reseptor dopamine. SSRI berperan
sebagai antidepresan yang akan meningkatkan neurotransmisi serotonin dalam otak dengan cara
menghambat reuptake serotonin oada membran presinaptik. 8
Selain itu psikofarmakologi yang telah digunakan adalah steroid topikal dan
hydroxinehydrochloride, suatu ansiolitik dengan sifat antihistamin, antidepresan, obat
serotonergik dan antipsikotik.4
Bila terdapat depresi, agen anti depresan dapat memberikan perbaikan dermatologis.
Antidepresan, seperti fluoxetine (Prozac), fluvoxamine (Luvox), sertraline (Zoloft) dan
venlafaxine (Effexor), sering digunakan untuk mengobati trikotilomania, kleptomania dan judi
patologis. Obat antipsikotik olanzapine, (Zyprexa) juga telah menunjukkan efektivitas dalam
mengobati trikotilomania.7
41

Selain itu, ada beberapa teknik perawatan yang terbukti ampuh. Perawatan dengan terapi
perilaku pada banyak kasus bisa mengenali dorongan mencabut rambut sebelum nantinya
dorongan tersebut sangat susah dilawan. Penderita bisa belajar untuk melawan dorongan tersebut
seperti mengupayakan agar tangan selalu sibuk dengan aktivitas (meremas-remas, merajut
sambil menonton televise dan sebagainya) pada saat dorongan untuk menarik rambut semakin
kuat. Dengan demikian dorongan tersebut semakin melemah dan tidak tertutup kemungkinan
hilang sama sekali (Videbeck, 2008).

42

You might also like