You are on page 1of 19

Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Margaretha Meytha Marindra


102013088/E6
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat
Alamat korespodensi: meytham24@gmail.com

Pendahuluan
Indonesia termasuk negara yang padat akan penduduknya. Dengan kepadatan
penduduk sehingga asap kendaraan, asap rokok, asap pabrik yang membuat polusi udara
semakin meningkat dan menyebabkan berbagai penyakit, salah satunya penyakit pada saluran
pernapasan seperti Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). PPOK adalah keadaan penyakit
yang ditandai oleh keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible. Keterbatasan
udara ini biasanya progresif dan berhubungan dengan respons peradangan yang abnormal
dari paru terhadap partikel atau udara yang berbahaya.1
Pembahasan
Anamnesis
Menanyakan riwayat penyakit disebut anamnesa. Anamnesa berarti tahu
lahi,kenangan. Jadi anamnesa merupakan suatu percakapan antara penderita dan dokter,
peminta bantuan dan pemberi bantuan. Atas permintaan penderita maupun dokter, ada
baiknyabila hadir orang ketiga atau keempat, orang yang dipercaya, pasangan, atau anggota
keluarga. Tujuan anamnesa pertama-tama mengumpulkan keterangan yang berkaitan dengan
penyakitnya

dan yang dapat menjadi dasar penentuan diagnosis. Mencatat (merekam)

riwayat penyakut, sejak gejala pertama dan kemuadian perkembangan gejala, serta keluhan,
sangatlah penting. Perjalanan penyakit hamper selalu khas untuk penyakit bersangkutan.
Kedua, yang tidak kalah pentingnya adalah penderita dan dokternya saling belajar mengenal.

Disini pembicara, pendengar, penjawab, dan penanya menyeleksi dan mengingat secara
snegaja maupun tidak sengaja hal-hal yang dianggap penting.2
Anamnesis harus dilakukan sejak pertama kali pasien datang kepada kita. Anamnesis
yang harus ditanyakan adalah,
1.

Identitas.

2.

Keluhan utama.

3.

Riwayat penyakit sekarang.

4.

Keluhan penyerta

5.

Riwayat penyakit dahulu.

6.

Riwayat penyakit keluarga.

7.

Riwayat pemakaian obat.

8.

Riwayat kebiasaan & lingkungan sosial.

Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
Adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara melihat bagian tubuh yang
diperiksa melalui pengamatan. Cahaya yang adekuat agar dapat membedakan warna,
bentuk dan kebersihan tubuh pasien. Fokus inspeksi pada setiap bagian tubuh
meliputi : ukuran tubuh, warna, bentuk, posisi, simetris. Dan perlu dibandingkan hasil
normal dan abnormal bagian tubuh satu dengan bagian tubuh lainnya. Contohnya
pada PPOK: Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong), terdapat cara bernapas
purse lips breathing (seperti orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi
(pembesaran) otot bantu napas, pelebaran sela iga. 3
2) Palpasi
Palpasi adalah suatu teknik yang menggunakan indera peraba. Tangan dan jari-jari
adalah instrumen yang sensitif digunakan untuk mengumpulkan data, misalnya
tentang : temperatur, turgor, bentuk, kelembaban, vibrasi, ukuran, dll. Contohnya
pada PPOK: Pada umumnya normal jarang sekali ditemukan pembesaran organorgan. 3
3) Perkusi
Perkusi adalah pemeriksaan dengan jalan mengetuk bagian permukaan tubuh tertentu
untuk membandingkan dengan bagian tubuh lainnya (kiri kanan) dengan tujuan
menghasilkan suara. Perkusi bertujuan untuk mengidentifikasi lokasi, ukuran, bentuk

dan konsistensi jaringan. Perawat menggunakan kedua tangannya sebagai alat untuk
menghasilkan suara.contohnya pada PPOK: Ditemukan suara hipersonor.3
4) Auskultasi
Adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara mendengarkan suara yang
dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan alat yang disebut dengan stetoskop.
Hal-hal yang didengarkan adalah : bunyi jantung, suara nafas dan bising usus.
Contohnya pada PPOK: Fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah atau
normal, ekspirasi memanjang, mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi), ronki.3

Pemeriksaan Penunjang
1

Tes Fungsi Paru


PPOK ditegakkan dengan spirometri, yang menunjukkan volume ekspirasi paksa dalam 1
detik < 80% nilai yang diperkirakan, dan rasio FEV1 : kapasitas vital paksa < 70 %. Laju
aliran ekspirasi puncak menurun. Obstruksi saluran napas hanya reversible sebagian bila

diterapi dengan bronkodilator (atau obat lain).4


Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada dapat menggunakan APE
meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai

awal dan < 200 ml.4


Pemeriksaan Radiologi (Foto Thorax)
Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan
tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit
paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien. Seperti : 4
a Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan
garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang
b

bertambah. 4
Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi dengan gambaran
diafragma yang rendah dan mendatar, penciutan pembuluh darah pulmonal, serta
gambaran jantung tampak lebih kecil (jantung menggantung : Jantung pendulum / tear

drop / eye drop appearance.) 4


Analisis Gas Darah
Harus dilakukan apanila ada kecurigaan gagal napas dan gagal napas akut pada gagal
napas kronik. 4
Computed Tomography

Dengan cara menggunakan computer olahan sinar X untuk menghasilkan gambar


tomografi atau potongan dari daerah tertentu pada tubuh. Computed Tomography ini
digunakan untuk tujuan diagnostik dan terapi. Dengan bantuan computed tomography ini
6

kita dapat memastikan adanya bula emfisematosa. 4


Uji Provokasi Bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat

hipereaktiviti bronkus derajat ringan. 4


Mikrobiologi Sputum
Digunakan untuk pemilihan antibiotoka (bila terjadi eksaserbasi). 4

Diagnosis
Diagnosis Kerja
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
PPOK adalah keadaan penyakit yang ditandai oleh keterbatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversible. Keterbatasan udara ini biasanya progresif dan berhubungan dengan
respons peradangan yang abnormal dari paru terhadap partikel atau udara yang berbahaya.1

Diagnosis Banding
Asma Bronkial
Asma bronkial adalah satu hiper-reaksi dari bronkus dan trakea yang mengakibatkan
penyempitan saluran napas yang bersifat reversible. Asma ini merupakan kelainan inflamasi
kronik yang kambuhan ini ditandai oleh serangan bronkospasme yang paroksismal tapi
reversibel pada saluran napas trakeobronkial; serangan ini disebabkan oleh hiper-reaktivitas
otot polos.5
Terjadinya serangan asma tidak terduga dan bisa terjadi kapan saja, terutama diperkirakan
jika terkena alergen dan lingkungan pemicu. Penyakit asma dapat dipilah menurut intensitas
klinik, respon terhadap terapi dan agen pemicunya. Secara patofisiologi dikenali 2 tipe yang
utama:5
1) Asma atopik (alergik;reagin-mediated)

Merupakan tipe yang sering ditemukan. Tipe asma ini dipicu oleh antigen lingkungan
(misalnya debu, serbuk sari, makanan), perubahan cuaca, aktivitas dan sering disertai
riwayat atopi dalam keluarga. Lebih sering terjadi pada anak-anak.
2) Asma nonatopik (nonreaginik, nonimun)
Kerapkali dipicu oleh infeksi saluran napas, zat-zat iritan kimia atau obat-obatan,
pengaruh isiologis seperti stress dan biasanya tanpa riwayat keluarga dan tanpa
keterlibatan IgE yang nyata. Penyebab peningkatan reaktivitas saluran napas tidak
diketahui. Lebih sering mengenai orang dewasa di atas usia 40 tahun.
Asma bronkiale merupakan penyakit respiratorik kronik yang tersering dijumpai pada
anak. Asma dapat muncul pada usia berapa saja, mulai dari balita, prasekolah, sekolah atau
remaja. Prevalensi di dunia berkisar antara 4-30%, sedangkan di Indonesia sekitar 10% pada
anak usia sekolah dasar dan 6,7% pada anak usia sekolah menengah.5
Sebanyak 10-15% anak laki-laki dan 7-10% anak wanita dapat menderita asma pada
suatu saat selama masa kanak-kanak. Sebelum pubertas sekitar dua kali anak laki-laki yang
lebih banyak terkena daripada anak wanita, setelah itu insiden menurut jenis kelamin sama. 5
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama
ekspirasi, karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini
mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa di ekspirasi.
Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien
akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan
hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar.
Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas. Gangguan yang
berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif dengan VEP 1 (Volume Ekspirasi
Paksa detik pertama) dan APE (Arus Puncak Ekspirasi), sedangkan penurunan KVP
(Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas
dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi
menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang
kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi.5,6
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada daerahdaerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui daerah tersebut
mengalami hiposekmia. Penurunan O2 mungkin merupakan kelainan pada asma sub klinis.
Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi, agar kebutuan tubuh
terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan, sehingga tekanan CO2
menurun, yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih

berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus, sehingga tidak mungkin
lagi terjadinya pertukaran gas.5,6
Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah berat
serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan
penurunan ventilasi alveolus, menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan terjadi asidosis
respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis
metabolik dan kontriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu,
peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik, yang akibatnya memperburuk
hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan halhal sebagai berikut: 1.) Gangguan ventilasi berupa hiperventilasi, 2.) Ketidakseimbangan
ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak setara dengan sirkukasi darah paru, 3.)
Gangguan difusi gas di tingkat alveoli. Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan :
hipoksemia, hiperkapnia, asidosis respiratorik pada tahap yang lanjut.5,6
Gejala-gejala dari penyakit asma bronkiale, antara lain sebagai berikut:
1 Sesak napas yang diikuti suara mengi.
2 Pada umumnya disertai batuk dengan dahak yang lengket dan kental.
3

Gelisah dan cemas.

Napas terengah-engah akibat kejang dan rasa berat pada dada.

Sulit untuk berbicara.

Komplikasi terjadi akibat Keterlambatan penanganan dan penanganan yang tidak adekuat.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :5
1. Akut
2. Kronis
-

Dehidrasi
Gagal napas
Infeksi saluran napas
Kor-pulmonale
PPO kronis
Pneumotorak.

Pengobatan penyakit asma dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu jangka pendek dan
jangka panjang.
1

Pengobatan jangka pendek

Pengobatan jangka pendek dilakukan dengan pemberian obat-obatan untuk mengatasi


penyempitan saluran pernapasan, produksi dahak yang berlebihan, dan sembab pada
selaput lendir jalan napas.6
2

Pengobatan jangka panjang


Pengobatan jangka panjang dikenal dengan sebutan immunoterapi, yakni penyuntikan
bahan alergi terhadap pengidap alergi yang dosisnya terus dinaikkan secara bertahap.
Pengobatan ini bertujuan mengurangi atau menghilangkan kepekaan orang tersebut
terhadap bahan itu.6

Pencegahan pada pasien asma adalah sebagai berikut:5


1
2
3
4
5
6

Penyuluhan
Menghindari faktor pencetus
Fisioterapi
Pemberian Cairan
Pengobatan
Obat-obatan seperti orsiprenalin, aminofilin, teofilin
Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat pronosa adalah baik. Apabila

asma karena faktor imunologi (faktor ekstrinsik) yang muncul semasa kecil prognosanya
lebih baik dari pada yang muncul sesudah dewasa. Prognosis dan angka kematian akan
meningkat, bila tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai serta tidak ada penanganan yang
tepat. 5
Bronkhitis Kronik
Bronkhitis kronik adalah keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus
trakeobronkiale yang berlebihan sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan
ekspetorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-turut.
Terdapat beberapa subklasifikasi, diantaranya bronkitis kronik simpleks, bronkitis
mukopurulen kronik, dan bronkitis kronik dengan obstruksi. Bronkitis kronik simpleks
menjelaskan suatu keadaan yang ditandai dengan pembentukan sputum mukoil. Bronkitis
mukopurulen kronik ditandai dengan sputum purulent yang persisten maupun berulang pada
keadaan tidak ditemukannya penyakit supuratif

setempat seperti bronkiektasis. Karena

mungkin ada dan mungkin juga tidak ditemukan obstruksi yang dinilai dengan penggunaan
maneuver kapasitas vital ekspirasi paksa (force expiration capacity, FEC), bronkitis kronik
dengan obstruksi memerlukan klasifikasi yang terpisah. Selanjutnya ditemukan kelompok
7

pasien dengan bronkitis kronik dan obstruksi yang mengalami dyspnea berat dan mengi,
berkaitan dengan iritan yang terhirup atau sewaktu infeksi pernapasan akut. Pasien seperti ini
disebut menderita asma infektif kronik atau bronkitis asmatik kronik. Karena obstruksi jalan
napas dapat pulih kembali walau tidak menyeluruh melalui terapi bronkodilator dan
pengurangan inflamasi dan karena hiperresponsif jalan napas terhadap rangsangan
nonspesifik dapat dijumpai pada kelompok pasien ini, keraguan ditemukan pada pasien
keadaan ini dengan pasien asma yang juga mengalami obstruksi jalan napas kronik.
Perbedaan didasarkan terutama pada riwayat perjalanan penyakit. Pasien dengan bronkitis
asmatik kronik memiliki riwayat batuk lama dan pembentukan sputum dengan awitan
selanjutnya yaitu mengi , sedangkan pasien asma dengan obstruksi kronik memiliki riwayat
mengi yang lama dan awitan selanjutnya yaitu batuk produktif kronik.6
Kurang lebih 20% laki-laki dewasa menderita bronkitis kronik, namun hanya sejumlah
kecil darinya yang secara klinis cacat. Berdasarkan semua survey, laki-laki lebih sering
menderita dibandingkan perempuan. Akan tetapi, dengan meningkatnya jumlah perokok
perempuan, prevalensi bronkitis pada kelompok perempuan meningkat. Walaupun perokok
merupakan faktor etiologi tunggal yang paling penting, pemajanan akibat kerja dan
lingkungan sekarang ini cukup banyak, terutama sebagai unsur penambah bagi efek yang
ditimbulkan oleh merokok. 6
Bronkitis kronik berhubungan dengan hyperplasia atau hipertrofi kelenjar pembentuk
mukus yang ditemukan di dalam lapisan submukosa jalan napas kartilaginosa besar. Penilaian
perubahan ini dikenal sebagai indeks Reid, didasarkan pada rasio ketebalan kelenjar
submukosa dengan dinding bronkus. Pada pasien tanpa riwayat bronkitis kronik, rasio ratarata adalaj 0,44 dengan standar baku 0,09, sedangkan pada pasien dengan riwayat bronkitis
kronik rasio rata-rata adalah 0,52 0,08. Walaupun indeks yang rendah jarang sekali
berhubungan dengan gejala dan indeks yang tinggi pada umumnya berhubungan dengan
gejala sewaktu hidup, masih ditemukan adanya tumpang tindih. Oleh karena itu, banyak
pasien mengalami perubahan morfologik dalam jalan napas besar tanpa disertai bronkitis
kronik.6
Mungkin yang jauh lebih penting daripada kelainan yang ditemukan dalam jalan
napas besar adalah perubahan yang sering ditemukan di dalam jalan napas kecil yang tidak
mempunya tulang rawan. Hyperplasia sel goblet, sel radang mukosa dan submukosa, edema,
fibrosis peribronkiale, kumpulan mukus intraluminal dan peningkatan otot polos merupakan
penemuan khas dalam jalan napas kecil. Frekuensi ditemukan hal tersebut dalam
hubungannya dengan status klinis pascamati dan fungsional masih belum dapat ditemukan.
8

Akan tetapi, pada pasien dengan PPOM yang telah diamati pascamati, obstruksi aliran udara
yang utama telah ditunjukkan pada jalan napas kecil.6
Bronkitis kronik diduga terjadi karena merokok, terpajan polusi udara, debu, infeksi,
bahkan faktor genetik.

Merokok
Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa aktivitas merokok yang lama
mengganggu pergerakan silia, mengahmbat fungsi makrofag alveolus dan akhirnya
menyebabkan hipertrofi dan hyperplasia kelenjar pengsekresi mukus. Disamping efek
kronik ini, kemungkinan merokok menghambat antiprotease dan menyebabkan sel
PMN melepaskan enzim proteolitik secara tiba-tiba. Menghirup asap rokok dapat
menghasilkan peningkatan resistensi jalan napas secara tiba-tiba akibat konstriksi otot
polos melalui saraf vagus, diduga melalui perangsangan reseptor iritan submukosa.
Hubngan antara episode konstriksi bronkiale akut berulang dengan perkembangan dan
kemajuan obstruksi jalan napas berhubungan dengan kemajuan yang lebih cepat pada
pasien dengan obstruksi jalan napas kronik.6

Polusi udara
Insidensi dan angka kematian akibat bronkitis kronik dapat lebih tinggi di
daerah urban yang padat industrialisasi, eksaserbasi bronkitis jelas berhubungan
dengan periode polusi berat dengan sulfur dioksida (SO 2) dan unsur yang sangat kecil.
Sementara nitrogen oksida (NO2) dapat menimbulkan obstruksi jalan napas kecil
(bronkitis) pada binatang percobaan yang terpajan dengan konsentrasi, tidak ada data
yang secara pasti melibatkan NO2 pada proses pathogenesis atau perburukan obstruksi
jalan napas pada manusia, bahkan pada kadar polutan yang sangat tinggi sekalipun.6

Pekerjaan
Bronkitis kronik lebih serinng ditemukan pada pekerja yang berhubungan
dengan pekerjaan yang terpajan dengan debu anorganik, organic, ataupun terhadap
gas beracun. Penelitian epidemiologik telah berhasil menunjkkan percepatan
penurunan fungsi paru pada banyak pekerja tersebut. Misalnya pada pekerja di pabrik
plastic yang terpapar oleh toluene diisosianida dan pekerja pemintal kapas.6

Infeksi
Morbiditas, mortalitas, dan frekuensi penyakit pernapasan akut lebih tinggi
pada pasien dengan bronkitis kronik. Banyak usaha telah dilakukan untuk
menghubungkan penyakit ini dengan infeksi virus, mikoplasma dan bakteri. Akan
9

tetapi, hanya rhinovirus yang lebih sering menyebabkan eksaserbasi. Berdasarkan


intuisi sangat menarik menentukan beberapa peran infeksi saluran napas dalam
pathogenesis dan progresi PPOm dan walaupun pertanyaan ini masih dipelajari, masih
belum ada kesepakatan sampai saat ini. Akan tetapi, penelitian epidemiologik
menunjukkan bahwa penyakit pernapasan akut merupakan salah satu faktor yang
berhubungan dengan etiologi, demikian juga dengan perkembangan obstruksi jalan
napas kronik. Telah ditunjukkan bahwa perokok secara transien dapat menderita atau
memperburuk obstruksi jalan napas kecil yang berhubungan dengan infeksi virus
pernapasan yang ringan sekalipun. Juga ditemukan bukti bahwa pneumonia berat
akibat virus pada awal masa kehidupan dapat mengarah pada obstruksi kronik,
terutama pada jalan napas kecil.6

Faktor familial dan genetik


Kumpulan bronkitis kronik yang bersifat familia telah diperlihatkan dengan
baik di masa lalu. Penelitian baru-baru ini menujukkan bahwa anak dari orang tua
perokok dapat menderita penyakit pernapasan lebih sering dan lebih berat dan
prevalensi terhadap gejala gangguan pernapasan kronik lebih tinggi. Selain itu, pasien
yang tidak merokok yang tinggal dengan perokok (perokok pasif) mengalami
peningkatan kadar karbon monoksida darah yang menunjukkan bahwa pasien juga
secara bermakna terpajan oleh asap rokok. Bentuk polusi udara dalam ruangan yang
terdokumentasi dengan baik berhubungan dengan penggunaan gas alam untuk
memasak. Akan tetapi, beberapa penelitian terhadap kembar monozigot menyatakan
bahwa beberapa faktor predisposisi genetik terhadap perkembangan bronkitis kronik
tidak bergantung pada kebiasaan individu atau familial perokok dan polusi udara
rumah lainnya. Model transmisi genetik yang sesungguhnya, bila ada, masih belum
dapat dipastikan.6
Kondisi yang terlihat pada bronkitis kronik adalah hipersekresi mukus, dimulai dari

jalan napas besar. Iritan-iritan lingkungan seperti asap rokok, SO2, dan NO2, menginduksi
hipertrofi kelenjar mukus pada trakea dan cabang utama bronkus dan berkembang menuju
peningkatan populasi sel goblet pengsekresi-musin pada permukaan epitel bronkus kecil dan
bronkiolus. Selai itu, zat-zat irirtan ini menyebabkan peradangan dangen inflitrasi sel T
CD8+, makrofag, dan netrofil. Berbeda dengan asma, eosinophil jarang ditemukan pada
bronkitis kronis kecuali pasien mengalami bronkitis asmatik. Meskipun penampang dari
bronkitis kronik merupakan bayangan dari gangguan bronkus primer, landasan morfologis
10

dari obstruksi jalan napas pada bronkitis kronik lebih perifer dan berasal dari (1) small
airway disease, yang diinduksi oleh metaplasia sel goblet dengan sumbatan mukus pada
lumen bronkiolus, peradangan, dan fibrosis dinding bronkiolus. (2) emfisema koeksis. Secara
umum dipercaya bahwa ketika small airway disease adalah komponen penting dalam
obstruksi ringan dini, bronkitis kronik dengan obstruksi jalan napas yang asignifikan selalu
berkomplikasi menjadi emfisema. Dipostulasikan bahwa banyak efek epithelial respirasi yang
dicetuskan iritan lingkungan dimediasi oleh pelepasan local sitokin sel T seperti IL-13.
Trasnkripsi gen musin, dan netrofil elastase MUC5AC, dimana bertambah sebagai
konsekuensi dari terpajan terhadap asap rokok secara in vitro maupun in vivo. Infeksi
mikroba sering terjadi sebagai infeksi sekunder, terjadi karena peradangan dan gejala
eksaserbasi.6
Pada bronkitis kronis biasanya mempunyai riwayat batuk dan produksi sputum yang
mengesankan serta sudah berlangsung bertahun-tahun dengan kebiasaan merokok yang
cukup berat. Pada mulanya batuk hanya terjadi di musim dingin dan pasien cenderung untuk
minta pertolongan dokter paling tidak pada saat sering terdapat relaps mukopurulen yang
semakin berat. Dalam beberapa tahun, gejala batuk berlanjut dari hibernal menajdi perennial
dan frekuensi, durasi serta intensitas relaps mukopurulen semakin bertambah. Setelah mulai
mengalami gejala dyspnea pengerahan tenaga, pasien sering mencari pertolongan dokter dan
derajat obstruksi paru yang cukup berat akan ditemukan dalam keadaan ini. Kadang-kadang
pasien tersebut akan memeriksakan dirinya ke dokter sesudah timbulnya edema perifer yang
terjadi sekunder akibat gagal ventrikel kanan yang nyata. Lebih jarang lagi, kontak medis
yang pertama terjadi atas inisiatif keluarga yang membawa pasien dengan gejala sianosis
berat, edema dan dalam keadaan stupor yang menyertai insufisiensi respirasi akut.6
Pasien ini seringkali memiliki berat badan berlebih dan tampak sianotik. Biasanya
pada saat istirahat tidak terlihat gangguan, frekuensi pernapasan tampak normal atau hanya
sedikit meningkat dan juga tidak dijumpai penggunaan otot-otot aksesorius. Perkusi dada
akan memberikan suara sonor yang normal dan dengan auskultasi, kita biasanya dapat
mendengar suara ronki kasar serta mengi yang lokasi dan intensitasnya berubah-ubah setelah
batuk yang dalam serta produktif. Pulsasi yang menetap mungkin terlihat di sepanjang margo
sternalis kiri bawah yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kanan. Dengan adanya gagal
ventrikel kanan kerapkali terdengar irama gallop diastolik yang dini dan kadang-kadang
bising holosistolik yang keduanya bertambah jelas pada saat inspirasi. Bising yang
disebutkan terakhir ini merupakan petunjuk adanya regurgitasi fungsional tricuspid yang

11

sering disertai dengan distensi pembuluh vena leher. Dengan terdapatnya gagal ventrikel
kanan, gejala sianosis makin bertambah dan edema perifer semakin nyata.6
Desaturasi serta eritrositosis secara bersama-sama akan menyebabkan sianosis dan
vasokonstriksi pulmonal yang hipoksik dan menambah berat gagal jantung kanan. Karena
sianosis dan edema yang terjadi sekunder akibat gagal jantung, pasien tersebut pernah disebut
blue bloaters. Blue bloaters terjadi akibat serangan berulang desaturasi oksigen nokturnal
yang berat dengan disertai serangan apnea waktu tidur atau periode hipoventilasi yang
bertambah buruk. Kejadian respirasi yang berhubungan dengan tidur semacam itu akan
memperberat derajat hipertensi pulmonal dan eritropoiesis sekunder. 6
Nilai kapasitas paru total seringkali normal dan terdapat kenaikan nilai volume
residual yang sedang. Kapasitas vital sedikit menurun dan kecepatan aliran ekspirasi yang
maksimal selalu rendah. Sifat recoil elastic pada paru tetap normal atau hanya sedikit
terganggu dan kapasitas patu untuk mengalihkan karbon monoksida dapat normal atau sedikit
menurun.6
Pada pemeriksaan radiologic terlihat lengkungan diafragma yang baik, corakan
bronkovaskuler bertambah pada lapangan paru bawah dan bayangan hitam jantung agak
melebar. Berkaitan dengan gagal ventrikel kanan, bayangan hitam jantung lebih melebar lagi,
gambaran arteri pulmonalis menjadi lebih nyata dan distribusi perfusi yang melawan gaya
berat terlihat jelas.6
Meskipun penanganan sudah direncanakan dengan baik, pasien bronkitis kronik dapat
mengalami episode gagal napas yang kesembuhannya seringkali terjadi setelah dilakukan
terapi yang tepat. Akhirnya, paru pasien pada pemeriksaan pascamati akan memperlihatkan
perubahan bronkitis yang berat baik pada jalan napas yangbesar maupun yang kecil dan
hanya menunjukkan emfisema yang sedang.6
Penatalaksanaan dari bronkitis kronis antara lain menghentikan kebiasaan merokok,
penggunaan antibiotic terutama untuk H. influenza dan S. pneumonia 7-10 hari, pemberian
nutrisi yang adekuat dan latihan, obat bronkodilator, serta kortikosteroid yang diberikan
setelah pemberian adekuat bronkodilator.6
Emfisema
Emfisema adalah keadaan paru yang abnormal, yaitu adanya pelebaran rongga udara
pada asinus yang sifatnya permanen. Pelebaran ini disebabkan karena adanya kerusakan
dinding asinus. Asinus adalah bagian paru yang terletak di bronkiolus terminalis distal.7
12

Sesuai dengan morfoliginya, terdapat tiga jenis emfisema, yaitu emfisema panlobular
(panasinar), emfisema sentrilobular, dan emfisema paraseptal. Kerusakan alveoli disebabkan
oleh adanya proteolysis (degradasi) elastin oleh enzim elastase yang disebut protease. Elastin
adlaah komponen jaringan ikat yang meliputi kira-kira 25% jaringan ikat di paru. Dalam
keadaan normal, terdapat keseimbangan antara degradasi dan sintesis elastin atau
keseimbangan antara protease yang mendegradasi jaringan paru dan protease-inhibitor yang
menghambat kerja protease. Pada perokok, jumlah protease meningkat karena jumlah lekosit
dan makrofag di paru meningkat. Makrofag dan lekosit ini mengandung elastase dalam
jumlah tinggi.7
Gejala yang spesifik adalah sesak napas saat melakukan kegiatan (exertional
breathlessness) yang disertai batuk kering dan mengi. Sesak napas tampak jelas pada
penyakit yang telah parah. Penderita menunjukan hyperinflated lung dengan berkurangnya
ekspansi dada saat inspirasi, perkusi hipersonor dan napas pendek.7

Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya PPOK, baik faktor
eksogen (dalam hal ini lingkungan) maupun faktor endogen (dalam hal ini faktor host atau
faktor dari penderita sendiri).8
Faktor Lingkungan : 8

Merokok
Asap tembakau
Polisi udara di tempat kerja atau di dalam kota

Faktor Host : 8
1

Genetik
Karena defisiensi alfa 1 antitripsin. Suatu kelainan herediter yang jarang
ditemukan.ini merupakan predisposisi untuk berkembangnya PPOK dini. Alfa 1
antitripsin ini merupakan sejenis protein tubuh yang diproduksi oleh hati, dimana
berfungsi dalam melindungi paru-paru dari kerusakan. Enzim ini juga berfubgsi untuk
menetralkan tripsin yang berasal dari rokok. Jika enzin ini rendah sedangkan asupan
rokok tinggi maka akan mengganggu system kerja enzim tersebut, yang bisa
13

mengakibatkan infeksi saluran pernapasan. Defisiensi enzim ini menyebabkan


emfisema pada usia muda, yaitu pada mereka yang tidak merokok (onsetnya sekitar
2

usia 53 tahun) dan bagi mereka yang merokok sekitar 40 tahun.8


Hipereaktifitas Bronkus
Asma dan hiperaktivitas bronkus saluran napas merupakan faktor resiko yang
memberi andil timbulnya PPOK. Apabila ditambah dengan faktor merokok maka
akan lebih meningkatkan resiko untuk menderira PPOK disertai dengan penurunan
fungsi dari paru-paru yang drastis. Hipereaktivitas dari bronkus juga dapat terjadi
akibat dari peradangan pada saluran napas atas.8

Epidemiologi
PPOK merupakan masalah kesehatan utama dimasyarakat yang menyebabkan 26.000
kematian per tahun di Inggris. Prevalensinya > 600.000. Angka ini lebih tinggi di daerah
maju, daerah perkotaan, kelompok masyarakat menengah ke bawah, perokok berat dan pada
manula. Insidensi pada pria > wanita. Namun akhir-akhir ini insiden pada wanita meningkat
dengan semakin bertambahnya jumlah perokok wanita.8
Patofisiologi
PPOK yang diakibatkan oleh asap rokok terjadi karena di dalam paru-paru yang
terpapar terjadi oxidative stress karena tingginya konsentrasi radikal bebas dalam asap rokok.
Partikel iritan dalam asap rokok juga mengakibatkan pelepasan sitokin yang menimbulkan
proses inflamasi dalam paru. Radikal bebas dalam asap rokok juga mengakibatkan kerusakan
enzim antiprotease seperti alfa-1-antitripsin sehingga mempercepat kerusakan paru akibat
enzim protease dari proses inflamasi. Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas
yang besar dan kecil disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap
respon inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel squamous akan
mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi.
Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja
proses remodeling ini akan merangsang dan mempertahankan inflamasi dimana CD8 dan
limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam
lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel
radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.9
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang
diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan
pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan
14

anti protease serta defisiensi 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi
yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator
inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara
umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat
keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok. Peningkatan netrofil,
makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi
ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit,
diantaranya adalah leucotrien B, chemotacticfactors seperti CXC chemokines, interlukin 8
dan growth related oncogene , TNF , IL-1 dan TGF. Selain itu ketidakseimbangan
aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko
juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan makrofag serta aktivasi
faktor transkripsi seperti nuclear factor sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor
inflamasi yang sebelumnya telah ada. Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif
yang kronik serta disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan
menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm
dan air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan berlanjut kepada
abnormalitas perbandingan ventilasi perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia
arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal
dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri
pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis
(hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi Pulmonary capillary bad menjadi faktor
yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi pulmonal.9
Manifestasi Klinik
Pasien biasanya mengeluhkan 2 keluhan utama yaitu, sesak napas dan batuk. Adapun
gejala yang terlihat seperti :10
a)

Sesak Napas
Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula ringan lebih
lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak napas bertambah berat

b)

d)

mendadak menandakan adanya eksaserbasi.


Batuk Kronis
Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memberat waktu pagi hari.
Dahak biasanya mukoid tetapi bertambah purulen bila eksaserbasi.
Batuk Darah
15

Bisa dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari saluran napas
e)

yang radang dan khasnya blood streaked purulen sputum.


Anoreksia dan berat badan menurun
Penurunan berat badan merupakan tanda progresif jelek.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan harus mencakup pemeriksaan dan pengurangan faktor risiko selain
penatalaksanaa PPOK yang stabil maupun eksaserbasi. Harus ada peningkatan bertahap
pada pengobatan sesuai dengan keparahan penyakit, yang bisa dikelompokkan sebagai
berikut (Berdasarkan ketentuan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia/PDPI) : 1
Stadium 0 (beresiko)
Spirometri normal ; Batuk atau sputum kronis
Stadium 1 (ringan)
FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan FEV1 =80 %
Gejala klinis : - dengan atau tanpa gejala
-

sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1

Stadium 2 (sedang)
FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan 30% <FEV1 <80 %
Gejala klinis : - dengan atau tanpa gejala
-

sesak napas derajat sesak 2

Stadium 3 (berat)
FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan FEV1 <30 % atau FEV1 < 50 %
Gejala klinis : - Ekserbasi lebih sering terjadi
-

sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik

Disertai dengan komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan

Pasien mendapat manfaat dari program rehabilitasi dan olahraga. Pendidikan bisa
membantu pasien mengatasi dan mencapai tujuan tertentu, termasuk berhenti merokok.1
Tak ada satu pun pengobatan yang tersedia untuk PPOK yang terbukti mengubah
penurunan fungsi paru dalam jangka panjang.1
Bronkodilator digunakan untuk mencegah atau mengurangi gejala: agonis 1
misalnya salbutamol (vetolin), terbutaline (bricanyl), obat antikolinergik ipratropium
(atrovent), atau gabungan obat-obat tersebut diberikan aerosol dengan pengukur atau
nebulizer sesuai kebutuhan atau secara teratur. Teofilin juga bisa membantu.1

16

Pengobatan rutin dengan steroid inhalasi bisa memberi manfaat bagi pasien yang
simtomatik disertai respons spirometrik tercatat terhadap steroid, atau mengalami
eskasernasi berulang yang memerlukan pengobatan dengan antibiotic atau steroid oral.
Pengobatan jangka panjang dengan steroid sistemik harus dihindari. Oksigen jangka
panjang untuk dipakai dirumah (>15 jam/hari) meningkatkan angka bertahan hidup pada
pasien dnegan gagal napas kronis. Pasien harus mendapat vaksinasi influenza tahunan.1
Eksaserbasi diobati dengan bronkodilator inhalasi, teofilin dan steroid sistemik adalah
pengobatan yang efektif. Walaupun penyebabnya seringkali tak ditemukan, infeksi
merupakan pemicu yang umum dan pasien dengan tanda-tanda infeksi diberi antibioticamoksisilin atau makrolid (eritromisin atau kalritromisin). Sensitivitas bakteri berguna
jika tidak terjadi perbaikan klinis.1
Ventilasi tekanan positif intermiten noninvasive (Non-Invasive Intermittent Positive
Pressure Ventilation/NIPPV) bisa mengurangi perlunya dilakukan intubasi dan ventilasi
mekanik.1
Prognosis
Prognosis penyakit ini bervariasi. Bila pasien tidak berhenti merokok, penurunan
fungsi paru akan lebih cepat daripada bila pasien berhenti merokok. Terapi oksigen jangka
panjang merupakan satu-satunya terapi yang terbukti memperbaiki angka harapan hidup.4
Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditemukan pada pasien PPOK bila tidak tidak ditangani secara
lanjut antara lain:
1

Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,
dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan
mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.8

Asidosis respiratorik
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara
lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.8

Infeksi pernapasan

17

Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan


rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan
meningkatkan kerja napas dan timbulnya dyspnea.8
4

Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi
terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan
dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami
masalah ini.8

Cardiac disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.8

Status asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit
ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon
terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernapasan dan distensi
vena leher seringkali terlihat.8

Pencegahan
Pencegahan PPOK yang paling utama adalah penghentian kebiasaan merokok dalam
upaya memperlambat progresivitas penyakit. Selain itu perlu juga diperhatikan kesehatan
bekerja terutama pada lingkungan pekerjaan yang berpolutan. Tindakannya berupa
pengaturan ventilasi yang baik, penggunaan respirator, dan upaya mengurangi debu yang
beterbangan terutama pada lingkungan pertambangan.9

Penutup
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyakit paru yang terjadi karena
adanya sumbatan pada jalan napas yang berlangsung lama. PPOK terdiri dari 4 jenis, yaitu
bronkiektasis, asma bronkiale, bronchitis kronis, dan emfisema. Gejalanya terdiri dari sesak
napas dan batuk produktif yang cukup lama. Penyebab dari penyakit ini adalah terutama
karena terpajan asap rokok, polusi, dan faktor genetik. Penanganannya dapat diberikan obat
bronkodilator dan pemberian oksigen.
Daftar Pustaka

18

1. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture notes: kedokteran klinis. Ed ke-6. Alih


Bahasa: dr. Annisa Rahmalia. Jakarta: Erlangga; 2003.h. 273-5.
2. Supartondo, Setiyohadi B. Buku ajar penyakit dalam. Jilid II ed-VI. Jakarta;
InternaPublishing: 2014.h.126.
3. Bickley L.S. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates. 5th ed.
Jakarta: EGC; 2006. h.155-75.
4. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. At a glance sistem respirasi. Jakarta :
Erlangga .2008. h. 52-72.
5. McPhee SJ, Ganong WF. Patofisiologi penyakit. Edisi ke-5. Jakarta :
EGC;2007.h.255-9.
6. Sibuea WH, Panggabean MM, Gultom SP. Asma Bronkial. Dalam : Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Rineka Cipta. 2005. 53.
7. Djojodibroto D. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta: EGC; 2009.h.116-20
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Pulmonologi. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2006. h. 994-6.
9. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi, pemeriksaan & manajemen. Jakarta: EGC;
2008.h.84-6.
10. Robbins, Cotran. Buku saku dasar patologis penyakit. Edisi 7. Jakarta:EGC. 2009.
h.434-5.

19

You might also like