Professional Documents
Culture Documents
MAZAYA GHAISANI
ABSTRAK
MAZAYA GHAISANI. Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah:
Studi Kasus pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi. Dibimbing oleh DAHRUL
SYAH.
Tingginya konsumsi Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) oleh anak sekolah
yang tidak diikuti dengan penerapan cara produksi pangan yang baik (CPPB) oleh
para penjaja pangan berpotensi menyebabkan masalah keamanan pangan berupa
bahaya fisik, bahaya kimia, maupun bahaya mikrobiologi. Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) sebagai lembaga pemerintah yang
berwenang dalam pengawasan makanan melakukan pengujian terhadap sejumlah
PJAS yang dijual di 3950 SD/MI di Indonesia pada tahun 2011-2013 untuk
mengetahui kondisinya. Hasil pengawasan tersebut masih sebatas data persentase
PJAS yang memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS) sehingga
diperlukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui akar-akar masalah keamanan
pada PJAS dan dapat memberikan strategi perbaikan berkelanjutan untuk
meningkatkan keamanan dan mutu PJAS.
Analisis data yang dilakukan adalah analisis ragam dan pengambilan
keputusan dengan diagram Pareto. Analisis ragam digunakan untuk mengetahui
keragaman antara PJAS dengan provinsi lokasi pengambilan sampel dan parameter
keamanan. Diagram Pareto digunakan untuk memutuskan parameter keamanan
yang menjadi masalah utama pada tiap jenis PJAS.
Hasil analisis ragam menunjukkan adanya keragaman antara jenis PJAS
dengan provinsi lokasi pengambilan sampel pada taraf nyata 1%. Analisis ragam
yang dilakukan terhadap faktor jenis PJAS dengan parameter keamanan juga
menunjukkan adanya keragaman pada taraf nyata 1%. Hasil analisis ragam
kemudian diuji lanjut dengan LSD (Least Significant Difference). Hasil uji lanjut
LSD menunjukkan bahwa bakso, mi, dan makanan ringan adalah jenis PJAS
dengan persentase TMS yang paling rendah sehingga penilitian ini berfokus
terhadap ketiga jenis PJAS tersebut. Dengan diagram Pareto diketahui bahwa
parameter keamanan yang menjadi masalah utama pada PJAS jenis bakso adalah
angka lempeng total (ALT) dan koliform, pada makanan ringan adalah boraks dan
rhodamin B, sedangkan pada mi adalah formalin dan E. coli. Berdasarkan hasil
Pareto diketahui masalah utama keamanan pangan pada penelitian ini adalah
masalah cemaran mikrobiologis akibat sanitasi-higiene yang kurang baik pada
proses produksi dan penyiapan PJAS serta masalah cemaran kimiawi akibat
penyalahgunaan bahan kimia berbahaya pada pangan.
Kata kunci: cemaran kimia, cemaran mikrobiologi, keamanan pangan, PJAS
ABSTRACT
MAZAYA GHAISANI. The Problem Source of School Based Street Foods Safety:
Case Study on Meatball, Snack, and Noodle. Supervised by DAHRUL SYAH.
High consumption of school based street foods (PJAS) that are not followed
by the application of Good Manufacturing Practices (GMP) potentially lead to
many food safety problems. BPOM RI as government agency that authorize on food
controlling tested a number of PJAS that sold at 3950 elementary schools in
Indonesia on 2011-2013 to determine its condition. The result of monitoring only
show percentages of complied PJAS (MS/Memenuhi Syarat) and not complied
PJAS (TMS/Tidak Memenuhi Syarat). Further analysis is required to determine the
PJAS safety problems and strategies for sustainable improvement of its safety and
quality.
Data was analyzed with analysis of variance and Pareto diagram. Analysis of
variance was used to determine variability between PJAS with provinces as
sampling location. It also determine variability between PJAS with food safety
parameters. Pareto diagram was used to identify the main problems of food safety
parameters on each PJAS.
The result of analysis of variance showed that there is variability between
PJAS with provinces at 1% significance level. It also showed that there is variability
between PJAS with food safety parameters at 1% significance level. The result of
analysis of variance was followed by LSD (Least Significance Difference). The
result of LSD analysis showed that meatball, noodle, and snack are the lowest
percentage of not complied PJAS, so this study is focused to that foods. Pareto
diagram determined that the safety parameter that become the main problems of
meatball are total plate count (TPC) and coliform. The main problems of noodle are
formalin and E.coli, while the main problems of snack are borax and rhodamine B.
According to the result of Pareto analysis, the main problems of PJAS are
microbiological contaminant and chemical contaminant. Microbiological
contaminant caused by poor sanitation and hygiene on production and preparation
process, while chemical contaminant due to misused of hazardous chemicals in
food.
Keywords: food safety, school based street foods, microbiological contaminants,
chemical contaminants
MAZAYA GHAISANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Judul Skripsi : Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi
Kasus pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi
Nama
: Mazaya Ghaisani
NIM
: F24100027
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi Kasus pada Bakso,
Makanan Ringan, dan Mi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
selaku pembimbing serta kepada Ibu Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MSi dan Ibu Dian
Herawati, STP, MSi selaku penguji atas waktu, nasihat, dan arahannya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Ungkapan terima
kasih disampaikan pula kepada ayah, ibu, adik, seluruh keluarga, teman
sebimbingan, teman-teman ITP 47, sahabat-sahabat terdekat, dan semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuan, doa, kasih sayang, dan
semangat yang telah diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
METODE
Tahapan Penelitian
12
21
25
Simpulan
25
Saran
25
DAFTAR PUSTAKA
26
LAMPIRAN
30
RIWAYAT HIDUP
36
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
DAFTAR GAMBAR
1 Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat selama tahun 2011-2013 9
2 Persentase mi, makanan ringan, dan bakso yang tidak memenuhi
syarat
10
3 Masalah utama keamanan pangan pada bakso
12
4 Masalah utama keamanan pangan pada mie
16
5 Masalah utama keamanan pangan pada makanan ringan
19
DAFTAR LAMPIRAN
1 Perhitungan analisis ragam
2 Perhitungan uji lanjut LSD (Least Significant Difference)
30
32
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan jajanan merupakan makanan siap saji dan minuman yang
dipersiapkan dan/atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan atau tempat-tempat
lain sejenisnya (FAO 2009). Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) umumnya dikenal
sebagai pangan siap saji yang ditemui di lingkungan sekolah dan secara rutin
dikonsumsi oleh sebagian besar anak sekolah (Kementerian Kesehatan RI 2011).
PJAS menyumbang 31.1% kebutuhan kalori serta 27.4% protein dari
konsumsi pangan harian anak sekolah (BPOM RI 2009). Hasil survei Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) pada tahun 2010
menunjukkan bahwa terdapat 141 kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan
terjadi. Dari 141 kejadian, 15% disebabkan oleh PJAS dengan tingkat kejadian
tertinggi (69-79%) terjadi di Sekolah Dasar (BPOM RI 2011). Keracunan pangan
tersebut dapat diakibatkan oleh tingginya konsumsi PJAS oleh anak sekolah yang
tidak diikuti dengan penerapan cara produksi pangan yang baik (CPPB) oleh para
penjaja pangan.
BPOM RI sebagai lembaga pemerintah yang berwenang dalam pengawasan
makanan menginisiasi Gerakan PJAS. Gerakan PJAS tersebut disebut dengan Aksi
Nasional PJAS (AN PJAS) yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan, mutu,
dan gizi PJAS. Salah satu bentuk AN PJAS adalah program pengawasan PJAS
berupa sampling dan analisis sampel PJAS dari kantin dan penjaja makanan di
lingkungan sekolah. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan Petunjuk Teknis
Sampling PJAS yang dibuat oleh BPOM RI. Sampel tersebut kemudian dianalisis
di laboratorium Balai Besar/Balai POM atau di laboratorium keliling agar diketahui
kesesuaiannya dengan syarat yang telah ditentukan oleh BPOM RI. Hingga saat ini,
data-data hasil sampling dan analisis tersebut hanya sebatas mengetahui persentase
sampel yang memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS). Oleh sebab
itu, data dikaji lebih lanjut untuk mengetahui akar-akar masalah keamanan pada
PJAS sehingga dapat diberikan strategi perbaikan berkelanjutan untuk
meningkatkan keamanan dan mutu PJAS yang dijual.
Penelitian ini hanya berfokus terhadap 3 jenis PJAS yaitu bakso, makanan
ringan, dan mi. Hal tersebut disebabkan untuk PJAS jenis kudapan memiliki variasi
jajanan yang paling banyak dan beragam sehingga cukup sulit apabila dilakukan
analisis parameter keamanan pangan penyebab TMS serta telah dilakukan
penelitian serupa terhadap 3 jenis PJAS yang lain yaitu es, minuman berwarna/sirup,
dan agar/jeli.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan strategi perbaikan
berkelanjutan bagi 3 jenis PJAS (bakso, makanan ringan, dan mi) berdasarkan data
hasil pengawasan yang dilakukan oleh BPOM. Untuk mencapai tujuan umum
tersebut, disusun pula beberapa hal yang ingin dicapai pada penelitian ini, antara
lain:
1. Mengidentifikasi jenis PJAS yang paling sulit memenuhi syarat
2
2.
3.
Mengkaji parameter keamanan pangan pada tiga jenis PJAS (bakso, mi, dan
makanan ringan) yang paling sulit memenuhi syarat
Merumuskan langkah-langkah perbaikan mutu dan keamanan pada tiga jenis
PJAS (bakso, mi, dan makanan ringan).
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi bagi berbagai pihak
terkait untuk meningkatkan keamanan dan mutu PJAS dengan mengkaji perubahan
tingkat keamanan PJAS pada tahun 2011-2013 dan parameter keamanan pangan
yang paling sulit memenuhi syarat.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Keamanan Pangan
Keamanan pangan didefinisikan sebagai jaminan bahwa suatu pangan tidak
menyebabkan bahaya bagi konsumen ketika pangan tersebut disiapkan atau
dimakan berdasarkan cara mengkonsumsinya (FAO 2009). Sedangkan menurut UU
No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya
yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis,
kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan
kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.
Pangan yang aman adalah pangan yang bebas dari bahaya biologis, bahaya
kimia, dan bahaya fisik (BPOM RI 2012). Bahaya biologis meliputi bahaya yang
disebabkan oleh makhluk hidup seperti bakteri, toksin yang diproduksi oleh
organisme, kapang, khamir, parasit, virus, dan prion. Bahaya kimia merupakan
bahaya yang disebabkan oleh senyawa kimia berupa toksin yang terbentuk secara
alami (seperti HCN pada tanaman ketela pohon), penggunaan bahan tambahan
pangan (BTP) yang melebihi batas maksimumnya, residu pestisida, kontaminasi
dari lingkungan, penyalahgunaan bahan kimia berbahaya (seperti formalin, boraks,
dan rhodamin B), kontaminasi senyawa kimia dari kemasan, dan alergen.
Sedangkan bahaya fisik adalah bahaya yang disebabkan benda-benda yang
seharusnya tidak berada dalam pangan seperti logam, kaca, batu, atau duri (FAO
2006).
Untuk menekan sekecil mungkin risiko yang dapat terjadi, diperlukan sistem
pengawasan yang komprehensif dari saat produk dibuat hingga beredar di pasaran.
Sistem pengawasan yang diterapkan oleh BPOM di Indonesia adalah Sistem
Pengawasan Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM). SisPOM terdiri dari tiga
lapis yakni subsistem pengawasan produsen, subsistem pengawasan konsumen, dan
subsistem pengawasan pemerintah (BPOM). Subsistem pengawasan produsen
adalah sistem pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan CPPB atau
GMP agar setiap bentuk penyimpangan dari standar mutu dapat dideteksi sejak
awal. Secara hukum, produsen bertanggung jawab atas mutu dan keamanan produk
yang dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap
3
standar yang telah ditetapkan maka produsen dikenakan sanksi, baik administratif
maupun pro-justisia. Subsistem pengawasan konsumen adalah sistem pengawasan
yang dilakukan oleh masyarakat melalui peningkatan kesadaran dan peningkatan
pengetahuan mengenai kualitas produk yang digunakannnya dan cara-cara
penggunaan produk yang rasional. Pengawasan oleh masyarakat merupakan hal
yang penting untuk dilakukan karena pada akhirnya masyarakat yang mengambil
keputusan untuk membeli dan menggunakan suatu produk. Konsumen dengan
kesadaran dan tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mutu dan kegunaan suatu
produk dapat terlindung dari penggunaan produk-produk yang tidak memenuhi
syarat dan tidak dibutuhkan. Selain itu, hal tersebut juga dapat mendorong produsen
untuk menjaga kualitas produk yang dihasilkan. Subsistem pengawasan pemerintah
(BPOM) adalah pengawasan oleh pemerintah melalui peraturan dan standardisasi;
penilaian kemanan, khasiat, dan mutu produk sebelum diijinkan beredar di
Indonesia; inspeksi, pengambilan sampel, dan pengujian laboratorium produk yang
beredar serta peringatan kepada publik yang didukung dengan penegakan hukum.
Selain melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, pemerintah juga melaksanakan
kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi untuk meningkatkan kesadaran dan
pengetahuan masyarakat konsumen terhadap mutu, khasiat, dan keamanan produk
(BPOM 2013).
Analisis risiko merupakan kerangka berpikir yang digunakan pemerintah
dalam upayanya untuk menurunkan risiko terjadinya masalah keamanan pangan.
Analisis risiko adalah suatu proses yang sistematis dan transparan dalam
pengumpulan, analisis, dan evaluasi informasi ilmiah maupun non-ilmiah yang
relevan tentang bahaya kimia, mikrobiologis, atau fisik yang mungkin terdapat
dalam pangan. Hasil analisis digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan
untuk memilih opsi terbaik untuk menangani risiko tersebut berdasarkan berbagai
alternatif yang diidentifikasi. Analisis risiko dibagi menjadi tiga komponen utama,
yaitu kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko. Kajian risiko adalah
suatu proses penentuan tingkat risiko yang berlandaskan data-data ilmiah. Kajian
risiko terdiri dari empat tahapan yaitu identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya,
kajian pemaparan, dan karakterisasi risiko. Manajemen risiko adalah suatu proses
yang meliputi pembuatan dan penerapan kebijakan dengan mempertimbangkan
masukan dari pihak-pihak terkait mengenai kajian risiko dan faktor lain yang
relevan. Tujuan dari kebijakan yang dibuat adalah untuk melindungi kesehatan
konsumen dan mempromosikan perdagangan yang adil. Jika diperlukan dapat
memilih opsi pencegahan dan pengendalian yang sesuai untuk menanggulangi
risiko. Komunikasi risiko adalah pertukaaran informasi dan opini secara interaktif
dalam pelaksanaan proses analisis risiko (mengenai risiko, faktor yang berkaitan
dengan risiko, dan persepsi risiko) antara pengkaji risiko, manajemen risiko, dan
pihak terkait lainnya, seperti pemerintah, konsumen, industri, dan konsumen.
Informasi yang diberikan termasuk penjelasan tentang temuan-temuan dalam kajian
risiko dan landasan keputusan manajemen risiko (BPOM RI 2005).
Analisis risiko pada sistem keamanan pangan di Indonesia diterapkan dalam
bentuk Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT). BPOM RI bekerja sama dengan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), produsen pangan, dan konsumen untuk
mengembangkan SKPT dan mewujudkan keamanan pangan di Indonesia. SKPT
diwujudkan dalam tiga jejaring, yaitu Jejaring Intelijen Pangan (JIP), Jejaring
Pengawasan Pangan (JPP), dan Jejaring Promosi Keamanan Pangan (JPKP). JIP
4
adalah sistem komunikasi untuk anggota SKPT yang memiliki tugas dan fungsi
dalam kajian risiko keamanan pangan. JPP adalah sistem komunikasi yang
menggalang kerjasama antar lembawa berwenang dalam manajemen risiko dalam
rangka meningkatkan efektivitas kerja sistem administrasi keamanan pangan
(kebijakan, peraturan pangan, dan koordinasi pelayanan), inspektorat keamanan
pangan, dan analisis. JPKP adalah kemitraan antara anggota dari berbagai instansi
dan asosiasi yang berhubungan dengan promosi keamanan pangan (BPOM RI
2005).
5
bahan tambahan pangan, kurangnya edukasi mengenai pangan yang aman kepada
murid sekolah, serta program pengawasan PJAS yang belum berjalan dengan baik.
METODE
Kerangka Pikir Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap pendahuluan dan tahap analisis
data. Tahap pendahuluan berupa pengumpulan data dan pengelompokan ulang data.
Data yang digunakan merupakan data sekunder hasil program pengawasan PJAS
yang dilakukan oleh Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi BPOM RI pada 31 provinsi
di Indonesia selama tahun 2011-2013. Setiap tahunnya dilakukan 2 tahap
pengambilan sampel sehingga terdapat total 6 set data. Data yang telah diperoleh
dikelompokkan ulang untuk memudahkan analisis data.
Tahap selanjutnya adalah analisis data. Analisis data yang dilakukan antara
lain untuk mengidentifikasi:
1. Perubahan persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat pada tahun 2011-2013.
Perubahan persentase PJAS tersebut dapat mencerminkan kondisi PJAS yang
umum dijual di lingkungan SD/MI.
2. Jenis PJAS yang paling sulit memenuhi syarat yaitu jenis PJAS dengan
persentase TMS yang paling tinggi.
3. Parameter keamanan PJAS yang paling sulit memenuhi syarat dengan melihat
persentase TMS pada parameter yang paling tinggi. Selanjutnya dilakukan
perumusan langkah-langkah perbaikan keamanan dan mutu PJAS sesuai
dengan parameter keamanan yang paling sulit memenuhi syarat.
Tahapan Penelitian
Penelitian terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap pendahuluan dan tahap analisis
data. Berikut uraiannya:
1. Tahap pendahuluan
Tahap pendahuluan terdiri dari pengumpulan data dan pengelompokan
ulang data. Data sekunder diperoleh dari hasil pengujian 7 jenis PJAS (bakso,
es, jeli/agar, kudapan, makanan ringan, mi, dan minuman berwarna/sirup) yang
umum dijual di lingkungan Sekolah Dasar dalam rangka program pengawasan
PJAS yang dilakukan oleh Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi BPOM RI.
6
Pengambilan sampel dilakukan di 31 provinsi di Indonesia selama tahun 20112013 dimana tiap tahunnya dilakukan 2 tahap pengambilan sampel sehingga
diperoleh 6 set data. Berdasarkan 6 set data yang diperoleh diketahui terdapat
3950 SD/MI sebagai lokasi sampling dan 26857 sampel PJAS telah diuji. Data
tersebut kemudian dikelompokkan ulang berdasarkan tujuan yang ingin dicapai,
yaitu:
a. Pengelompokan berdasarkan PJAS yang tidak memenuhi syarat (TMS)
b. Pengelompokan berdasarkan jenis PJAS dan parameter keamanannya
2. Tahap analisis data
Analisis data dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2013.
Berikut analisis data yang dilakukan:
a.
% =
b.
100%
Analisis data PJAS dan parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat
Tabel 1 Parameter keamanan PJAS
Jenis PJAS
Bakso
Makanan ringan
Mi
Parameter
Kadar formalin
Kadar boraks
Angka Lempeng Total
Bakteri koliform
Escherichia coli
Salmonella
Staphylococcus aureus
Clostridium perfringens
Rhodamin B
Methanil yellow
Kadar benzoat
Kadar sorbat
Kadar sakarin
Kadar siklamat
Kadar asam borat
Escherichia coli
Staphylococcus aureus
Kadar formalin
Kadar boraks
Methanil yellow
Escherichia coli
Staphylococcus aureus
Batas Maksimum
Negatif
Negatif
1 x 105 koloni/gr
10 APM/gram
< 3 APM/gram
Negatif/25 gram
1 x 102 koloni/gr
1 x 102 koloni/gr
Negatif
Negatif
Maks. 1000 mg/kg
Maks. 1000 mg/kg
Maks. 300 mg/kg
Maks. 300 mg/kg
Negatif
< 3 APM/gram
1 x 102 koloni/gr
Negatif
Negatif
Negatif
< 3 APM/gram
1 x 102 koloni/gr
7
Untuk menentukan parameter yang tidak memenuhi syarat, hasil yang
diperoleh dari pengujian sampel dibandingkan dengan parameter yang
terdapat pada Tabel 1. Berikut formula perhitungan persentase parameter
keamanan yang tidak memenuhi syarat:
% =
100%
c. Analisis Ragam
Analisis ragam dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya
keragaman rata-rata persentase TMS dengan provinsi serta keragaman ratarata PJAS dengan parameter keamanannya. Berikut model analisis ragam
dua faktor yang digunakan:
= + + + + ()
(Sudjana 1985)
Yijk
1 1
+
8
ri
rj
KTG
dbg
t
=
=
=
=
=
=
ulangan ke-i
ulangan ke-j
Kuadrat Tengah Galat yang diperoleh dari analisis ragam
taraf nyata
derajat bebas galat
nilai t diperoleh dari tabel t pada taraf nyata 2 dengan derajat bebas
sama dengan dbg
d. Analisis Pareto
Diagram Pareto digunakan untuk menentukan parameter keamanan
yang menjadi masalah utama pada tiap jenis PJAS. Diagram Pareto
merupakan diagram yang terdiri atas grafik balok dan grafik garis yang
menggambarkan perbandingan masing-masing jenis data terhadap
keseluruhan. Diagram Pareto menunjukkan masalah mana yang sedikit
tetapi dominan (vital few) dan masalah yang banyak tetapi kurang dominan
(trivial many). Teori Pareto menyatakan bahwa 20% kondisi dapat menjadi
penyebab bagi 80% akibat (Muhandri dan Kadarisman 2012).
Setelah mengetahui parameter keamanan yang menjadi masalah utama pada
tiap PJAS, selanjutnya dilakukan pengamatan dan wawancara terhadap produsen
dan pedagang PJAS di Kota dan Kabupaten Bogor. Pengamatan dan wawancara
bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai proses
produksi dan penyiapan PJAS sehingga dapat disusun langkah-langkah perbaikan
bagi produsen dan pedagang PJAS secara lebih komprehensif. Pengamatan
dilakukan terhadap masing-masing satu orang pedagang bakso dan pedagang mie
yang berlokasi di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Pengamatan produsen
bakso dilakukan di satu lokasi penggilingan bakso di Pasar Anyar, Kota Bogor.
Sedangkan pengamatan terhadap produsen mi dilakukan di satu lokasi produksi mi
basah mentah di Merdeka, Kota Bogor.
9
dilakukan enam tahap pengambilan sampel selama tiga tahun. Sebanyak 26857
sampel telah diambil selama enam tahap pengambilan sampel tersebut.
Berdasarkan data tersebut, dihitung persentase tingkat PJAS yang tidak
memenuhi syarat (TMS) parameter keamanannya. Persentase tersebut dapat
menggambarkan kondisi PJAS yang dijual di lingkungan SD/MI. Persentase PJAS
tidak memenuhi syarat yang tinggi menunjukkan kondisi keamanan PJAS yang
buruk dan memiliki risiko terjadinya cemaran yang tinggi. Persentase PJAS yang
tidak memenuhi syarat tertinggi adalah pada sampling tahun 2011 tahap II dan yang
terendah adalah pada sampling tahun 2012 tahap II sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 1.
60
56,76
50
46,39
%TMS
40
31,07
30
29,07
23,45
20
16,41
10
0
2011 Tahap I
2011 Tahap II
2012 Tahap I
2012 Tahap II
2013 Tahap I
2013 Tahap II
Tahun sampling
Gambar 1 Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat selama tahun 2011-2013
(n = 26857)
Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat pada tahun 2011 cukup tinggi
karena mencapai angka 50%, namun mengalami penurunan yang cukup drastis dan
mencapai angka 20% pada tahun selanjutnya. Tahun 2013 menunjukkan adanya
peningkatan kembali persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat meskipun tidak
setinggi pada tahun 2011.
Setelah mengetahui perubahan persentase seluruh PJAS yang tidak
memenuhi syarat, selanjutnya dilakukan perhitungan persentase TMS terhadap tiga
jenis PJAS yaitu bakso, mi, dan makanan ringan. Pemilihan ketiga jenis PJAS
tersebut didasari hasil uji lanjut LSD dan kategori PJAS yang sama yaitu makanan.
Gambar 2 menunjukkan bahwa persentase bakso yang tidak memenuhi syarat
cukup tinggi, yaitu berkisar antara 20-65% dengan persentase tertinggi terdapat
pada tahun 2011 tahap II dan yang terendah terdapat pada tahun 2012 tahap II.
Persentase makanan ringan yang tidak memenuhi syarat berkisar dari 8-20%.
Persentase tertinggi terdapat pada tahun 2011 tahap I dan yang terendah terdapat
pada tahun 2012 tahap II. Sedangkan pada mi, persentase sampel yang tidak
memenuhi syarat berkisar antara 7-43%. Persentase tertinggi mi yang tidak
memenuhi syarat terdapat pada tahun 2011 tahap II dan yang terendah terdapat pada
tahun 2012 tahap II. Berdasarkan grafik pada Gambar 1 dan Gambar 2, terlihat
bahwa perubahan kondisi PJAS memiliki tren yang fluktuatif dimana persentase
10
TMS paling tinggi terdapat pada tahun 2011, kemudian turun cukup drastis pada
tahun 2012, dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2013.
70
60
Mie
64,21
Makanan Ringan
56,14
Bakso
% TMS
50
40
32,83
43,04
31,65
30
20,13
19,50
20,99
20,83
10,12
8,92
8,77
7,74
2012 Tahap I
2012 Tahap II
20
10
12,88
15,63
0
2011 Tahap I
2011 Tahap II
10,70
2013 Tahap I
14,34
10,66
2013 Tahap II
Tahun sampling
11
dan beragam sehingga cukup sulit apabila dilakukan analisis parameter keamanan
pangan penyebab TMS. Berdasarkan pertimbangan tersebut penelitian ini berfokus
pada tiga jenis PJAS yaitu mi, makanan ringan, dan bakso.
Tabel 2 Signifikansi antara rata-rata persentase TMS dengan provinsi lokasi
pengambilan sampel
Jenis PJAS
Mi
Makanan ringan
Kudapan
Bakso
Jeli/agar
Minuman berwarna/sirup
Es
12
Parameter Keamanan Pangan pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi
Bakso
Bakso merupakan produk pangan yang bahan utama pembuatannya adalah
daging yang dilumatkan, selanjutnya dicampur dengan bahan-bahan lainnya,
dibentuk bulatan-bulatan, dan kemudian direbus. Istilah bakso umumnya diikuti
dengan nama jenis dagingnya, seperti bakso sapi, bakso ayam, atau bakso ikan.
Berdasarkan bahan bakunya, bakso dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu bakso
daging, bakso urat, dan bakso aci. Bakso daging dibuat dari daging yang sedikit
mengandung urat, bakso urat dibuat dari daging yang banyak mengandung urat,
sedangkan bakso aci dibuat dengan penambahan tepung yang lebih banyak
dibandingkan jumlah daging yang digunakan (Anonim 2010).
Tabel 4 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada bakso
Jumlah TMS
2011
I
23.90
20.18
6.14
3.95
0.44
0.22
0.00
0.66
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
% Kumulatif
Parameter
Jumlah TMS
Parameter Keamanan
% Kumulatif
13
hanya menghitung mikroba aerob mesofil dan anaerob mesofil (BPOM RI 2008).
Bakteri koliform dapat digunakan sebagai indikator sanitasi air dan berbagari
produk pangan. Kelompok koliform merupakan bakteri dari famili
Enterobacteriaceae yang terdiri dari empat genus, yaitu Escherichia, Enterobacter,
Klebsiella, dan Citrobacter. Koliform dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu koliform fekal dan koliform non fekal. Koliform fekal merupakan penghuni
normal saluran pencernaan manusia dan hewan yang dapat ditemukan pada feses
dan digunakan sebagai indikator pencemaran. Koliform non fekal tidak termasuk
mikroflora normal di dalam saluran pencernaan, melainkan ditemukan pada
tanaman atau hewan yang telah mati dan sering menimbulkan lendir pada makanan
(Fardiaz 1992).
Pengamatan dilakukan terhadap penjual bakso di salah satu SD di Kecamatan
Dramaga, Bogor dan penggilingan daging di Pasar Anyar, Bogor. Pengamatan
dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai proses
pembuatan dan penyajian bakso. Proses pembuatan adonan bakso dimulai dengan
menggiling daging sapi. Setelah daging sapi lumat maka dilakukan proses
pencampuran dengan tepung sagu, es batu, dan bumbu-bumbu lainnya. Proses
pencampuran memakan waktu yang cukup lama karena tepung sagu dan bumbubumbu yang ditambahkan harus tercampur dengan rata untuk mendapatkan tekstur
adonan bakso yang diinginkan. Proses pencampuran dilakukan dengan mixer
khusus untuk pembuatan bakso yang dibantu dengan tangan. Setelah adonan bakso
jadi kemudian diletakkan ke dalam ember-ember yang telah dilapisi kantong
plastik. Mesin penggiling dan mixer digunakan dari pukul 03.00 hingga selesai
yaitu sekitar pukul 07.30. Setiap pergantian daging yang digiling dan dilumatkan
tidak dilakukan pencucian alat. Pencucian mesin penggiling dilakukan hanya sekali
yaitu setelah penggilingan daging pada hari itu selesai. Tempat penggilingan daging
yang didatangi oleh penulis juga menjual daging untuk bakso. Daging diletakkan di
ruangan tanpa pendingin mulai dari dibukanya tempat penggilingan hingga tutup
sehingga daging disimpan dalam suhu ruang sekitar empat jam. Daging yang tidak
terjual kemudian disimpan di dalam freezer di lokasi penggilingan daging. Adonan
bakso tersebut kemudian dibawa ke lokasi pemasakan masing-masing pedagang
dan kemudian dijual dengan gerobak. Penjual bakso dengan gerobak umumnya
memiliki alat sanitasi yang minimal. Pedagang bakso yang ditemui oleh penulis
hanya memiliki seember air dan lap sebagai alat sanitasi. Air tersebut digunakan
untuk mencuci mangkok, sendok, dan garpu yang telah digunakan. Jika air di ember
sudah cukup kotor maka baru air dibuang dan diganti dengan yang baru. Mangkok
yang telah dicuci kemudian dikeringkan menggunakan kain lap. Kain lap tersebut
digunakan secara terus-menerus dari awal hingga selesai berjualan.
Mengingat penyebab utama bakso tidak memenuhi syarat adalah masalah
ALT dan koliform yang melebihi batas maksimal serta berdasarkan pengamatan
yang dilakukan, diketahui beberapa sumber kontaminasi terbesar pada bakso antara
lain:
1. Kontaminasi dari pekerja
Proses pencampuran daging dengan bahan lain dilakukan menggunakan
mesin mixer dengan bantuan tangan. Penggunaan tangan dilakukan untuk
mempermudah proses pencampuran daging dengan bahan lain. Selain pada
proses penggilingan daging, proses pembentukan bakso dan penyiapan bakso
14
juga dilakukan dengan menggunakan tangan. Penelitian Lues et al. (2006)
menunjukkan bahwa pekerja menyebabkan timbulnya bakteri seperti E.coli, S.
aureus, dan Salmonella. Sanitasi pada pekerja diperlukan untuk meminimalkan
atau bahkan mencegah perpindahan kontaminan dari tubuh pekerja ke makanan.
2. Mesin dan alat yang digunakan
Mesin penggiling dan mixer daging digunakan selama kurang lebih
empat jam sehari namun hanya dicuci sekali yaitu pada saat penggilingan pada
hari tersebut selesai. Ember digunakan sebagai wadah penampung adonan
bakso yang telah selesai digiling dan dicampur. Ember tersebut dilapisi kantong
plastik untuk membawa adonan bakso ke lokasi pedagang melakukan proses
perebusan bakso. Pada ember yang digunakan terlihat sisa-sisa daging yang
telah mengering, Daging yang tersisa pada alat merupakan sumber nutrisi bagi
mikroorganisme untuk tumbuh.
3. Bahan baku
Bahan baku bakso yang berupa daging sangat mudah ditumbuhi mikroba,
terutama mikroba perusak dan pembusuk karena mempunyai kadar air yang
tinggi (68-75%) serta mengandung nutrisi yang dibutuhkan mikroba untuk
tumbuh, seperti asam amino yang banyak mengandung nitrogen, karbohidrat
yang mudah difermentasi, dan mineral. Selain itu, pH daging yang mencapai
5.3-6.5 dapat menguntungkan sejumlah mikroorganisme (Soeparno 2005).
Mikroba yang dapat ditemukan pada daging mentah antara lain Micrococcus
spp., Staphylococcus spp., Bacillus spp., kelompok coryneform, dan
Brochothrix spp. Sedangkan mikroba pembusuk yang terdapat pada daging
yang telah digiling adalah Pseudomonas spp. dan Enterobacteriaceae
psikotropik (Cerveny et al. 2009).
Selain daging, es batu merupakan salah satu bahan baku pembuatan bakso
dengan resiko kontaminasi mikroba yang cukup tinggi. Es batu berfungsi untuk
mempertahankan suhu adonan bakso. Suhu optimum untuk ekstraksi protein
serabut otot adalah 4-5 C dan suhu untuk mempertahankan kestabilan emulsi
adonan adalah <20C. Es yang digunakan pada penggilingan daging yang
didatangi penulis merupakan es yang dibuat sendiri, namun apabila jumlah es
tidak mencukupi maka pemilik penggilingan akan membeli es balok.
Berdasarkan penilitian yang dilakukan oleh Fierliyanti (2006) koliform fekal
maupun non fekal relatif tahan terhadap suhu dingan termasuk pada es batu.
Apabila es batu tidak ditangani dengan baik maka resiko kontaminasi oleh
koliform akan sangat besar. SNI 01-3829-1995 tentang es batu menyatakan
bahwa syarat mikrobiologi pada es batu adalah tidak terdapat bakteri koliform
dan koliform tinja.
4. Sanitasi alat makan yang tidak bersih
Alat makan yang telah digunakan, seperti mangkuk, sendok, dan garpu,
umumnya dicuci dengan menggunakan air dan sabun. Air ditampung dalam
sebuah ember dan apabila dirasa air sudah cukup kotor maka pedagang akan
mengganti air tersebut dengan yang baru. Apabila sedang ramai pembeli dan
peralatan makan yang ada terbatas, maka pedagang kurang memperhatikan
kebersihan peralatan makan yang dicuci. Sisa makanan yang tertinggal dalam
15
ember dan pencucian yang kurang bersih dapat meninggalkan sisa makanan
pada peralatan makan yang dapat menjadi sumber nutrisi bagi bakteri
proteolitik seperti Staphylococcus sp (Agustina 2002).
5. Udara
Adonan bakso yang telah digiling di lokasi penggilingan kemudian akan
dibentuk dan dimasak di lokasi masing-masing pedagang. Alat transportasi
yang umumnya digunakan oleh pedagang bakso adalah sepeda motor dan
angkutan umum (angkot). Lokasi penggilingan daging terkadang cukup jauh
dari rumah pedagang sehingga adonan bakso memiliki resiko kontaminasi yang
tinggi selama perjalanan tersebut. Resiko kontaminasi dari udara juga dapat
berasal dari udara di ruangan yang digunakan untuk menggiling dan memasak
bakso.
Mikroorganisme tidak dapat tumbuh di udara karena udara tidak
mengandung nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan dan metabolisme
mikroorganisme. Namun spora dan sel vegetatif dapat terbawa oleh partikel
debu dan droplet air di udara. Jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat
pada udara bervariasi tergantung keadaan lingkungan. Udara pada ruangan yang
dihuni oleh banyak manusia dengan sistem ventilasi yang buruk umumnnya
mengandung berbagai jenis mikroorganisme dalam jumlah yang besar (Csuros
dan Csuros 1999).
Mi
Menurut SNI 01-2987-1992, mi adalah produk pangan yang terbuat dari
terigu, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan
pangan yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Persentase mi
yang tidak memenuhi syarat tidak setinggi pada bakso. Hal tersebut dapat
disebabkan jenis mi yang dijual di sekolah beragam Jenis mi yang banyak dijual di
lingkungan SD/MI adalah bentuk olahan dari mi basah dan mi kering yang dapat
berupa mi ayam, mi goreng, mi bakso, ataupun mi instan. Mi kering seperti mi telor
dan mi instan umumnya dibuat oleh industri pangan skala besar dan telah
didaftarkan pada BPOM sehingga mutu dan keamanannya terjamin. Lain halnya
dengan mi basah yang umumnya diproduksi oleh industri kecil dan industri rumah
tangga.
Tabel 5 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada mi
Parameter
E. coli
Formalin
Boraks
S. aureus
Metanil Yellow
16
120
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Jumlah TMS
100
80
60
40
20
0
Formalin
E. coli
Boraks
S. aureus
Parameter Keamanan
% Kumulatif
Metanil
yellow
Jumlah TMS
% Kumulatif
17
Menurut pedagang dan produsen mi, mi basah mentah hanya mampu bertahan
sehari apabila disimpan di suhu ruang karena tidak ditambahkan BTP pengawet
pada mi, namun apabila dilakukan proses pengukusan maka mi basah mentah akan
bertahan sekitar dua hari. Pendeknya umur simpan mi dapat disebabkan oleh
sanitasi-higiene yang kurang terjaga pada proses pengolahan mi sehingga terjadi
kontaminasi mikroba dan mempercepat terjadinya kerusakan maupun kebusukan
pada mi. Hal tersebut dapat diatasi dengan menambahkan BTP pengawet, namun
penambahan pengawet tersebut dianggap kurang efektif dan membutuhkan biaya
yang lebih tinggi sehingga produsen mi memilih menggunakan formalin untuk
memperpanjang umur simpan mi.
Formalin merupakan nama dagang dari senyawa formaldehida. Formaldehid
umumnya digunakan sebagai desinfektan untuk rumah, perahu, gudang, dan kain.
Formaldehid murni tidak dijual secara komersial, namun dijual dalam 30-50% (b/b)
larutan mengandung air (Cahyadi 2008). Kandungan formalin rata-rata dalam mi
basah di pasar tradisional Jabotabek adalah 106 mg/kg (mi basah mentah) dan
2914.36 mg/kg (mi basah matang). Mi yang dijual oleh pedagang produk olahan mi
daerah Jabotabek rata-rata mengandung formalin 72.93 mg/kg (mi basah mentah)
dan 3423.51 mg/kg (mi basah matang). Mi yang dijual di supermarket daerah
Jabotabek mengandung formalin 113.45 mg/kg (mi basah mentah) dan 2914.82
mg/kg (mi basah matang) (Gracecia 2005, Priyatna 2005). Berdasarkan survei dan
pengujian yang dilakukan oleh IPB dengan AWB dan PT. Bogasari Flour Mills
terhadap pedagang mi basah mentah dan mi basah matang di Jabotabek pada tahun
2004-2005 menunjukkan bahwa semua sampel yang diambil positif mengandung
formalin. Kandungan formalin rata-rata yang ditemukan pada mi basah mentah
sebesar 113.4 mg/kg bb dan pada mi basah matang sebesar 3423.5 mg/kg bb. Hasil
uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang tidak terlalu kuat antara
peningkatan konsentrasi formalin terhadap laju pertumbuhan ALT, kapang, khamir,
dan koliform selama penyimpanan.
LD50 oral dari larutan formaldehid 2% pada tikus berkisar antara 500-800
mg/kg berat badan, sedangkan LD50 guinea pigs adalah 260 mg/kg berat badan.
Dosis mematikan larutan formaldehid 37% bagi pria dewasa adalah 523 mg/kg
berat badan (Bloemen dan Burn 1993 dalam Cahyadi 2008). Konsentrasi formalin
yang tinggi dalam tubuh menimbulkan reaksi kimia dengan hampir semua zat di
dalam sel sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kerusakan organ tubuh.
Hal tersebut terjadi karena formalin mengkoagulasi protein yang terdapat pada
protoplasma dan nukleus. Konsumsi formalin dalam jumlah yang tinggi dalam
tubuh akan bersifat toksik dan menyebkan gangguan fisiologis serta metabolisme
dalam tubuh (Cahyadi 2008).
Selain formalin, penyebab utama mi tidak memenuhi syarat adalah masalah
E. coli yang melebihi batas maksimal. Beberapa sumber kontaminasi E. coli
terbesar pada mi antara lain:
1.
18
langsung kontak dengan bahan pangan dapat meningkatkan jumlah cemaran
mikrobiologis pada produk pangan.
2.
3.
Bahan baku
Bahan baku pembuatan mi adalah tepung terigu dimana mikroorganisme
yang biasa terdapat pada tepung adalah kapang, khamir, dan bakteri. Kerusakan
akibat mikroba jarang terjadi pada produk serealia karena aw produk yang
rendah (<0.6) (Cook dan Johnson 2009). Bahan baku lain yang digunakan pada
pembuatan mi adalah air. E. coli merupakan bakteri indikator yang digunakan
untuk mendeteksi adanya kontaminasi oleh feses pada air dan mendeteksi
keberadaan patogen usus (Fardiaz dan Jenie 1989). Menurut SNI 01-35532006 tentang air minum dalam kemasan, jumlah maksimal bakteri bentuk koli
pada AMDK adalah sebesar <2 APM/100 ml.
4.
5.
Udara
Lokasi pembuatan mi umumnya cukup jauh dari lokasi pedagang
berjualan mi. Adonan mi beresiko terkontaminasi selama perjalanan dari lokasi
produksi ke lokasi berjualan. Namun kontaminasi dari udara dapat pula berasal
dari udara di ruangan yang digunakan untuk produksi maupun dari udara
selama berjualan.
Mikroorganisme tidak dapat tumbuh di udara karena udara tidak
mengandung nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan dan metabolisme
mikroorganisme. Namun spora dan sel vegetatif dapat terbawa oleh partikel
debu dan droplet air di udara. Jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat
pada udara bervariasi tergantung keadaan lingkungan. Udara pada ruangan
yang dihuni oleh banyak manusia dengan sistem ventilasi yang buruk
umumnnya mengandung berbagai jenis mikroorganisme dalam jumlah yang
besar (Csuros dan Csuros 1999).
19
Makanan Ringan
Menurut Surat Keputusan Ketua BPOM RI No. HK.00.05.52.4040 tentang
Kategori Pangan, makanan ringan siap santap meliputi semua jenis makanan ringan
asin atau gurih (savory) atau rasa lainnya. Makanan ringan yang umum ditemui di
lingkungan SD/MI antara lain, kerupuk, keripik kentang, krekers beras (rice
crackers), keripik singkong, keripik tahu, opak, pilus, jagung berondong (pop
corn), kacang garing, kacang bawang, dan masih banyak lagi.
Tabel 6 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada
makanan ringan
Siklamat
Benzoat
E. coli
Formalin
Sakarin
Rhodamin B
Boraks
S. aureus
Metanil Yellow
Sorbat
250
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Jumlah TMS
200
150
100
50
0
% Kumulatif
Parameter
Jumlah TMS
Parameter Keamanan
% Kumulatif
20
adalah masalah penambahan bahan tambahan berbahaya yaitu boraks dan rhodamin
B.
Boraks biasa digunakan dalam industri gelas, porselin, alat pembersih, dan
antiseptik (Saparinto dan Hidayati 2006). Penambahan boraks pada bahan pangan
dilarang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 033 Tahun 2012 tentang
Bahan Tambahan Pangan, namun masih banyak produsen yang menambahkan
boraks pada produk pangan yang dijual. Boraks sering ditambahkan pada makanan
ringan seperti kerupuk dengan tujuan memperbaiki tekstur dan kerenyahan produk
kerupuk dan sejenisnya. Boraks dapat memperkuat tekstur karena boron dapat
berikatan silang dengan protein dan karbohidrat (Nugrahani 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan (2010) menunjukkan bahwa bakso
yang dijual di kota Medan mengandung boraks sebesar 0.08-0.29%. Sedangkan
penelitian Juliana (2005) menunjukkan bahwa bakso yang dijual di swalayan Kota
Semarang mengandung boraks hingga 0.345 ppm. LD50 oral asam borat pada tikus
jantan sebesar 3450 mg/kg berat badan sedangkan pada tikus betina sebesar 4080
mg/kg berat badan. LD50 oral natrium tetraborat (boraks) pada tikus jantan sebesar
4550 mg/kg berat badan dan pada tikus betina sebesar 4980 mg/kg berat badan
(NPIC 2012). Keracunan boraks kronis dapat disebabkan oleh absorpsi dalam
waktu lama. Akibat yang ditimbulkan karena keracunan boraks antara lain
anoreksia, berat badan turun, muntah, diare, ruam kulit, alposia, dan konvulsi
(Saparinto dan Hidayati 2006).
Sedangkan rhodamin B adalah zat warna sintetis yang biasa digunakan pada
industri tekstil dan kertas. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
239/Men.Kes/Per/V/85 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai
Bahan Berbahaya menyebutkan bahwa rhodamin B termasuk salah satu dari 30 zat
warna yang dilarang, namun penggunaannya pada produk pangan masih sering
ditemukan di pasaran. Rhodamin B sering ditambahkan pada produk makanan
ringan seperti kerupuk untuk meningkatkan daya tarik terhadap konsumen. LD50
oral rhodamin B pada mencit sebesar 887 mg/kg berat badan. Terdapat beberapa
gejala keracunan akibat rhodamin B, antara lain iritasi saluran pernapasan apabila
terhirup, iritasi kulit apabila terkena kulit, iritasi mata apabila kontak dengan mata,
dan dapat menyebabkan kerusakan hati apabila tertelan dalam jangka panjang
(BPOM RI 2011).
Meskipun lebih banyak makanan ringan yang diproduksi oleh industri besar,
namun tidak sedikit pula makanan ringan yang dibuat oleh industri kecil dan
industri rumah tangga (IRT). Makanan ringan yang diproduksi oleh industri kecil
dan IRT inilah yang seringkali menggunakan bahan tambahan yang dilarang seperti
boraks dan rhodamin B. Faktor dan alasan yang menyebabkan terjadi
penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan antara lain ketidaktahuan,
ketidakpedulian, motif ekonomi untuk meraih keuntungan yang lebih besar,
kurangnya akses ke lokasi penjual BTP, bahan-bahan kimia berbahaya tersebut
lebih mudah didapat daripada BTP, dan lemahnya pengawasan pemerintah (Wijaya
2009, Saparinto dan Hidayati 2006).
21
Langkah-langkah Perbaikan Mutu dan Keamanan PJAS
Cemaran Mikrobiologis
Berdasarkan analisis Pareto yang telah dilakukan, diketahui bahwa cemaran
mikrobiologis merupakan penyebab utama bakso dan mi tidak memenuhi syarat.
Langkah-langkah perbaikan pada Tabel 7 disusun berdasarkan studi pustaka serta
pengamatan langsung terhadap produsen maupun pedagang bakso dan mi.
Tabel 7 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya cemaran mikrobiologis
Pemangku
Langkah-langkah Perbaikan
Kepentingan
Produsen dan Pekerja:
pedagang PJAS Sanitasi pekerja dapat dilakukan dengan cara:
a. Mandi sebelum melakukan proses produksi pangan dan
mengenakan pakaian yang bersih.
b. Mencuci tangan dengan sabun sebelum dan setelah kontak
langsung dengan bahan pangan. Pada proses penggilingan dan
pencampuran adonan bakso maupun pada proses pencetakan mi,
pekerja sebaiknya mencuci tangan setiap kali selesai menggiling
satu pesanan.
c. Menggunakan sarung tangan saat kontak dengan bahan pangan.
d. Pekerja yang sedang menangani bahan pangan dilarang sambil
merokok, mengunyah permen karet, makan, minum, bersin,
batuk, menggunakan aksesoris (seperti gelang, cincin, jam
tangan), menyentuh anggota badan, menggaruk bagian tubuh,
mengupil, mengorek telinga, menjilat jari, menggigit kuku, dan
meludah (Kementerian Kesehatan RI 2011).
Mesin dan Alat yang Digunakan:
a. Sebaiknya mesin yang digunakan (mesin penggiling daging,
mixer, dan mesin pencetak mi) dibersihkan menggunakan air
bersih (disarankan air panas untuk mesin penggiling dan mixer
bakso untuk melarutkan lemak yang tertinggal) dan langsung
dikeringkan pada setiap interval waktu tertentu, misalnya setiap
satu jam, untuk meminimalisir terjadinya kontaminasi.
b. Pencucian peralatan makan hendaknya menggunakan air
mengalir dan sabun agar mengurangi kemungkinan adanya
kontaminasi
c. Pengeringan alat makan menggunakan lap yang kering dan bersih
juga harus dilakukan untuk mengurangi risiko kontaminasi.
d. Pada tahap penyiapan bakso atau mi dapat menggunakan capitan
atau sendok untuk mengurangi resiko kontaminasi.
Bahan Baku:
a. Pemilik penggilingan bakso harus menjaga keamanan bahan baku
yang digunakan. Hal-hal berikut dapat dilakukan untuk menjaga
keamanan bahan baku yang digunakan:
Daging yang dijual sebaiknya tidak disimpan pada suhu ruang,
melainkan disimpan pada freezer dengan suhu -2C sampai 5C
untuk menghambat tumbuhnya mikroorganisme perusak atau
pembusuk dan mencegah hampir semua mikroorganisme
patogen. Suhu 5C ini dianggap sebagai suhu kritis selama
22
Tabel 7 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya cemaran mikrobiologis (lanjutan)
Sekolah
23
Tabel 7 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya cemaran mikrobiologis (lanjutan)
Indonesia.
b. Menggali informasi dan teks laporan buku tentang makanan dan
rantai makanan, kesehatan manusia, keseimbangan ekosistem,
serta alam dan pengaruh kegiatan manusia dengan bantuan guru
dan teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis dengan
memilih dan memilah kosakata baku.
c. Mengamati, mengolah, dan menyajikan teks laporan buku
tentang makanan dan rantai makanan, kesehatan manusia,
keseimbangan ekosistem, serta alam dan pengaruh kegiatan
manusia secara mandiri dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis
dengan memilih dan memilah kosakata baku.
Konsumen
a. Orang tua siswa memiliki peran untuk mengawasi kebiasaan jajan
(siswa sekolah
anak, mengarahkan, memberikan pemahaman, dan memberikan
dan orang tua
contoh kepada anak untuk mengkonsumsi jajanan yang aman.
siswa)
b. Membeli jajanan yang layak konsumsi dengan ciri-ciri sebagai
berikut (Kementerian Kesehatan RI 2011):
Jajanan disimpan dalam wadah yang bersih dan tertutup
Tidak banyak lalat yang menghinggapi jajanan
Tidak beraroma basi/busuk
Bila dimakan terasa pahit atau tidak enak
Jajanan memiliki kemasan yang tertutup rapat
c. Mencuci tangan sebelum makan karena cemaran mikroorganisme
dapat berasal dari konsumen yang kurang memperhatikan
kebersihan. Berikut merupakan 10 langkah mencuci tangan yang
benar (Kementerian Kesehatan RI 2011):
1. Basahi tangan dengan air dan tuang sabun ke telapak tangan
2. Gosok telapak tangan
3. Gosok punggung tangan kanan dan kiri secara bergantian
4. Gosok sela-sela jari tangan kanan dan kiri secara bergantian
5. Gosok ujung-ujung jari tangan kanan dan kiri secara
bergantian
6. Gosok ibu jari dan pergelangan tangan kanan dan kiri secara
bergantian
7. Gosok telapak tangan dengan ujung-ujung jari kanan dan kiri
secara bergantian, ini dilakukan sambil membersihkan kuku
8. Bilas kedua tangan dengan air bersih
9. Keringkan tangan dengan menggunakan tisu atau lap kering
yang bersih
10. Matikan kran air dan bersihkan kran air yang digunakan
untuk mencuci tangan
Cemaran Kimiawi
Selain cemaran mikrobiologis, cemaran kimiawi juga merupakan salah satu
penyebab PJAS tidak memenuhi syarat. Cemaran kimiawi berasal dari
penyalahgunaan bahan-bahan berbahaya seperti formalin, boraks, dan rhodamin B.
Langkah-langkah perbaikan pada Tabel 8 disusun berdasarkan studi pustaka yang
dilakukan.
24
Tabel 8 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya cemaran kimiawi
Pemangku
Langkah-langkah Perbaikan
Kepentingan
Produsen
dan a. Menerapkan sanitasi dan higiene yang baik pada proses
pedagang PJAS
pengolahan maupun penyiapan bahan pangan. Hal tersebut
dilakukan agar dapat menurunkan resiko kontaminasi dan
memperpanjang umur simpan produk pangan sehingga tidak perlu
menambahkan formalin sebagai bahan pengawet.
b. Menggunakan bahan tambahan pangan (BTP) yang diijinkan oleh
BPOM.
Sekolah
Sekolah dapat memberi edukasi mengenai bahan kimia berbahaya
yang sering disalahgunakan serta bahayanya dan bahan tambahan
pangan yang diijinkan. Selain itu, pihak sekolah dapat pula
mengedukasi cara memilih jajanan yang bebas dari bahan kimia
berbahaya kepada siswa-siswanya melalui kegiatan belajar mengajar
di kelas. Berikut beberapa mata pelajaran dan kompetensi dasar pada
Kurikulum SD/MI 2013 yang sesuai dengan materi tersebut:
Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan Kelas IV dengan
Kompetensi Dasar:
a. Memahami gizi dan menu seimbang dalam menjaga kesehatan
tubuh.
Bahasa Indonesia Kelas V dengan Kompetensi Dasar:
a. Memiliki kepedulian dan tanggung jawab terhadap makanan
dan rantai makanan serta kesehatan melalui pemanfaatan
bahasa Indonesia.
b. Menggali informasi dan teks laporan buku tentang makanan
dan rantai makanan, kesehatan manusia, keseimbangan
ekosistem, serta alam dan pengaruh kegiatan manusia dengan
bantuan guru dan teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis
dengan memilih dan memilah kosakata baku.
c. Mengamati, mengolah, dan menyajikan teks laporan buku
tentang makanan dan rantai makanan, kesehatan manusia,
keseimbangan ekosistem, serta alam dan pengaruh kegiatan
manusia secara mandiri dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis
dengan memilih dan memilah kosakata baku.
Konsumen
a. Orang tua siswa memiliki peran untuk mengawasi kebiasaan jajan
(siswa sekolah
anak, mengarahkan, memberikan pemahaman, dan memberikan
dan orang tua
contoh kepada anak untuk mengkonsumsi jajanan yang aman.
siswa)
b. Membeli jajanan yang tidak mengandung bahan kimia berbahaya.
Ciri-ciri jajanan yang mengandung bahan-bahan kimia berbahaya
antara lain (Kementerian Kesehatan RI 2011):
Tanda jajanan yang mengandung rhodamin B atau pewarna
berbahaya lain adalah berwarna mencolok namun warnanya
tidak merata, warna tertinggal di tangan, terasa sedikit pahit,
dan gatal di tenggorokan setelah dikonsumsi.
Tanda mi basah yang mengandung formalin adalah tampak
lebih mengkilap, tidak lengket, dan tidak mudah mengalami
kerusakan (tahan dua hari pada suhu ruang dan 15 hari pada
pendingin).
Tanda bakso yang mengandung boraks adalah tampak lebih
putih dan sangat kenyal.
25
Saran
Kegiatan sampling PJAS yang dilakukan harus sesuai dengan Petunjuk
Teknis Sampling PJAS agar data yang diperoleh lebih representatif. Selain itu,
dibutuhkan analisis data lebih lanjut untuk mengetahui tingkat penyebaran PJAS
yang tidak memenuhi syarat di Indonesia. Wawancara dan observasi lebih lanjut
terhadap produsen dan pedagang PJAS juga diperlukan untuk menyusun langkahlangkah perbaikan yang lebih komprehensif.
Sedangkan saran untuk pemerintah adalah mengedukasi siswa SD/MI melalui
kegiatan belajar mengajar di sekolah dengan memasukkan materi mengenai
keamanan pangan pada kurikulum SD/MI 2013 yang sesuai.
26
DAFTAR PUSTAKA
Agustina C. 2002. Keamanan mikrobiologis makanan jajanan dari tiga kantin
sekolah di Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Anonim. 2010. Bakso daging [Internet]. [diunduh 2014 Sep 30]. Tersedia pada:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/27073/Tekno%20Pan
gan_Bakso%20daging.pdf?sequence=1.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2005.
Analisis risiko dalam sistem keamanan pangan. Keamanan Pangan. 4(8):1-2.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2006. Surat
Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.52.4040 tentang Kategori
Pangan. Jakarta (ID): BPOM RI.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2008.
Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) serta upaya
penanggulangannya. InfoPOM. 9(6):4-7.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2009. Sistem
keamanan pangan terpadu pangan jajanan anak sekolah. Food Watch. 1:1-4.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2009.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No
00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan
Kimia dalam Makanan. Jakarta (ID): BPOM RI.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2011. Peduli
pangan jajanan anak sekolah. InfoPOM: 12(1):1-4
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2011.
Rhodamin B [Internet]. [diunduh 2014 Okt 13]. Tersedia pada:
http://ik.pom.go.id/v2012/katalog/Rodamin%20B.pdf.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012. Cara
Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga. Jakarta (ID):
BPOM RI.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 tentang Bahan
Tambahan Pangan. Jakarta (ID): BPOM RI.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012.
Masyarakat merupakan bagian penting dalam pengawasan pangan.
WartaPOM. 15:5.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Nomor 01-2987-1992.
Tentang Mi Basah. Jakarta: BSN.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia Nomor 013829-1995. Tentang Es Batu. Jakarta: BSN.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia Nomor 013553-2006. Tentang Air Minum dalam Kemasan. Jakarta: BSN.
Cahyadi W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta
(ID): Bumi Aksara.
Cerveny J, Meyer JD, Hall PA. 2009. Food Microbiology and Food Safety
Compendium of the Microbiological Spoilage of Food and Beverages.
Sperber WH, Doyle MP, editor. Griffin (US): Springer.
27
Cook FK dan Johnson BL. 2009. Food Microbiology and Food Safety Compendium
of the Microbiological Spoilage of Food and Beverages. Sperber WH, Doyle
MP, editor. Griffin (US): Springer.
Csuros M dan Csuros C. 1999. Microbiological Examination of Water and
Wastewater. Boca Raton (US): CRC Press.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2006. Food Safety Risk Analysis: A
Guide for National Food Safety Authorities. Roma (IT): FAO.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2009. Ensuring quality and safety of
street foods [Internet]. [diunduh 2014 Nov 4]. Tersedia pada:
ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/011/ak003e/ak003e09.pdf.
[FAO] Food and Agricultural Organization. 2009. Food Hygiene. Roma (IT): FAO.
Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Fardiaz S dan Jenie BSL. 1989. Mikrobiologi Pangan II. Bogor (ID): Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
Fierliyanti AS. 2006. Evaluasi bakteri indikator sanitasi di sepanjang rantai
distribusi es batu di Bogor. J. Il. Pert. Indon. 11(2): 28-36.
Gracecia D. 2005. Profil mi basah yang diperdagangkan di Bogor dan Jakarta
[skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Juliana AM. 2005. Identifikasi boraks pada bakso sapi bermerek yang dijual di
pasar swalayan Kota Semarang [skripsi]. Semarang (ID): Universitas
Diponegoro.
Kementerian Kesehatan RI. 1985. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 239/Men.Kes/Per/V/85 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan
sebagai Bahan Berbahaya. Jakarta (ID): Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Keamanan Pangan di Sekolah Dasar.
Jakarta: Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS). Jejaring
Informasi Pangan dan Gizi. 27(2):4.
Legnani P, Leoni E, Berveglieri M, Mirolo G, Alvaro N. 2004. Hygienic control of
mass catering establishments, microbiological monitoring of food and
equipment. Food Control. 15: 205-211.
Lues JF, Rasephel MR, Venter P, dan Theron MM. 2006. Assessing food safety and
associated food handling practices in street food vending. Int. J. Environ
Health. 16(5): 319-328.
Muhandri T dan Kadarisman D. 2012. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan.
Bogor (ID): IPB Press.
[NPIC] National Pesticide Information Center. 2012. Boric acid technical fact sheet
[Internet]. [diunduh 2014 Nov 24]. Tersedia pada: http://npic.orst.edu/
factsheets/borictech.pdf.
Nughrahani MD. 2005. Perubahan karakteristik dan kualitas protein pada mi basah
matang yang mengandung formaldehid dan boraks [skripsi] Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Panjaitan L. 2010. Pemeriksaan dan penetapan kadar boraks dalam bakso di
Kotamadya Medan [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.
Priyatna N. 2005. Profil mi basah yang diperdagangkan di Tangerang dan Bekasi
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Saparinto C dan Hidayati D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
28
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta (ID): Gajah Mada
University Press.
Sudjana. 1985. Disain dan Analisis Eksperimen. Bandung (ID): Tarsito.
Undang-Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2012 tentang Pangan .
Wijaya R. 2009. Penerapan peraturan dan praktek keamanan pangan jajanan anak
sekolah di sekolah dasar Kota dan Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
29
LAMPIRAN
30
Lampiran 1 Perhitungan analisis ragam
Tabel 1.1 Hasil analisis ragam jenis PJAS dengan provinsi lokasi pengambilan
sampel
Sumber Variasi
Rata-rata
Perlakuan
Provinsi
Jenis PJAS
Provinsi*PJAS
Kekeliruan
Jumlah
dk
1
JK
1351984.58
RJK
1351984.58
30
6
180
859
1076
122210.73
271868.78
179220.71
601935.56
2527220.35
4073.69
45311.46
995.67
700.74
5.813**
64.662**
1.421**
Pada kelompok provinsi, rata-rata TMS berbeda nyata antar kelompok karena
nilai F hitung (5.813) > F tabel (1.717) pada taraf nyata 0.01.
Pada kelompok PJAS, rata-rata TMS berbeda nyata antar kelompok karena
nilai F hitung (64.662) > F tabel (2.827) pada taraf nyata 0.01.
Rata-rata TMS sangat berbeda nyata antar provinsi dan PJAS karena nilai F
hitung (1.421) > F tabel (1.309) pada taraf nyata 0.01.
Tabel 1.2 Hasil analisis ragam jenis PJAS dengan parameter keamanan PJAS
Sumber Variasi
Rata-rata
Perlakuan
Parameter
Jenis PJAS
Parameter*PJAS
Kekeliruan
Jumlah
dk
1
JK
16971.47
RJK
16971.47
17
6
102
292
418
33853.37
3683.09
2240.34
9619.88
66368.14
1991.37
613.85
21.96
32.94
60.446**
18.633**
0.667
dk
1
7
40
48
JK
3593.75
6588.68
193.72
10376.15
RJK
3593.75
941.24
4.84
F
194.35**
Hasil analisis ragam menunjukkan rata-rata TMS antar kelompok sangat berbeda
nyata atau F hitung (194.35) > F tabel (3.12) pada taraf nyata 0.01
31
Tabel 1.4 Hasil analisis ragam pengaruh parameter uji pada mi
Sumber Variasi
Rata-rata
Parameter Uji
Kekeliruan
Jumlah
dk
1
4
25
29
JK
378.84
226.70
383.99
989.53
RJK
378.84
56.67
15.36
F
3.69
Hasil analisis ragam menunjukkan rata-rata TMS antar kelompok berbeda nyata
atau F hitung (3.69) > F tabel (2.76) pada taraf nyata 0.05
Tabel 1.5 Hasil analisis ragam pengaruh parameter uji pada makanan ringan
Sumber Variasi
Rata-rata
Parameter Uji
Kekeliruan
Jumlah
dk
1
9
49
59
JK
200.24
320.35
142.68
663.27
RJK
200.24
35.60
2.91
F
12.22**
Hasil analisis ragam menunjukkan rata-rata TMS antar kelompok sangat berbeda
nyata atau F hitung (194.35) > F tabel (2.79) pada taraf nyata 0.01
32
Lampiran 2 Perhitungan uji lanjut LSD (Least Significant Difference)
2.1
1
1
+
)
154 131
= 5.8054
Selisih rata-rata TMS
Karena nilai LSD > selisih rata-rata, maka rata-rata TMS bakso dan jeli tidak
berbeda nyata. Berikut matriks hasil uji LSD pada kelompok PJAS:
PJAS
ratarata
MI
15.8746
M.
RINGAN
16.0508
KUDAPAN
BAKSO
JELI
27.3895
35.1184
38.7221
MINUMAN
52.7584
MI
15.8746
0.0000
M.RINGAN
16.0508
0.1762
0.0000
KUDAPAN
27.3895
11.5149
11.3386
BAKSO
35.1184
19.2438
19.0676
7.7289
0.0000
JELI
38.7221
22.8475
22.6713
11.3327
3.6037
0.0000
MINUMAN
52.7584
36.8838
36.7076
25.3689
17.6400
14.0363
0.0000
ES
59.8296
43.9550
43.7788
32.4401
24.7112
21.1075
7.0712
59.8296
0.0000
ES
0.0000
33
Karena setiap kelompok memiliki ulangan yang berbeda, maka nilai LSD
akan berbeda pada tiap pasangan kelompok.
Jika ingin melihat perbedaan nyata rata-rata TMS antara ALT dan koliform:
/2, = 0.05/2,292
/2, = 1.9683
= 1.9683 . 32.945 (
1
1
+ )
24 29
= 3.1176
Selisih rata-rata TMS
Karena nilai LSD > selisih rata-rata, maka rata-rata TMS ALT dan koliform
tidak berbeda nyata. Berikut matriks hasil uji LSD pada kelompok PJAS:
34
Matriks Hasil Uji LSD Kelompok Parameter
Metanil
yellow
Sorbat
Salmo
nella
C.
perfri
ngens
S.
aureus
Benzoat
Rhoda
min b
Logam
Sakarin
Forma
lin
Nitrit
Boraks
E. coli
Asesul
fam
Siklamat
Koli
form
AKK
ALT
Ratarata
0.087
0.231
0.564
0.888
1.097
1.108
1.562
1.634
1.983
2.237
2.504
3.878
4.038
5.870
15.802
21.307
24.483
29.832
Metanil
yellow
0.087
0.000
Sorbat
0.231
0.144
0.000
Salmonella
0.564
0.477
0.333
0.000
C. perfringens
0.888
0.801
0.657
0.324
0.000
S. aureus
1.097
1.011
0.867
0.533
0.210
0.000
Benzoat
1.108
1.021
0.878
0.544
0.221
0.011
0.000
Rhodamin b
1.562
1.476
1.332
0.998
0.675
0.465
0.454
0.000
Logam
1.634
1.548
1.404
1.070
0.747
0.537
0.526
0.072
0.000
Sakarin
1.983
1.896
1.752
1.419
1.095
0.885
0.874
0.420
0.348
0.000
Formalin
2.237
2.151
2.007
1.674
1.350
1.140
1.129
0.675
0.603
0.255
0.000
Nitrit
2.504
2.417
2.273
1.940
1.616
1.406
1.395
0.941
0.869
0.521
0.266
0.000
Boraks
3.878
3.791
3.647
3.314
2.990
2.780
2.769
2.315
2.243
1.895
1.640
1.374
0.000
E. coli
4.038
3.951
3.807
3.474
3.150
2.941
2.930
2.476
2.404
2.055
1.801
1.534
0.160
0.000
Asesulfam
5.870
5.783
5.639
5.306
4.982
4.773
4.762
4.308
4.236
3.887
3.633
3.366
1.992
1.832
0.000
Siklamat
15.802
15.716
15.572
15.238
14.915
14.705
14.694
14.240
14.168
13.820
13.565
13.299
11.925
11.764
9.932
0.000
Koliform
21.307
21.220
21.076
20.743
20.419
20.209
20.198
19.744
19.672
19.324
19.069
18.803
17.429
17.269
15.437
5.504
0.000
AKK
24.483
24.396
24.252
23.919
23.595
23.386
23.375
22.921
22.849
22.500
22.246
21.979
20.605
20.445
18.613
8.681
3.176
0.000
ALT
29.832
29.745
29.601
29.268
28.944
28.735
28.724
28.269
28.198
27.849
27.594
27.328
25.954
25.794
23.962
14.030
8.525
5.349
0.000
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Mei 1993 di
Surabaya sebagai anak pertama pasangan Wikan Sutirto
Aribowo dan Endang Mardiati. Penulis menyelesaikan
pendidikan menengah di SMA Negeri 1 Gresik pada tahun
2010 dan melanjutkan pendidikan tinggi S1 di Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undang Seleksi Masuk
IPB (USMI).
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa
kegiatan kemahasiswaan, antara lain anggota Himpunan
Mahasiswa Surabaya (HIMASURYA), anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu dan
Teknologi Pangan (HIMITEPA), dan anggota Food Processing Club (FPC), serta
pernah menjadi panitia BAUR dan ACCESS 2012. Penulis juga pernah mengikuti
Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan didanai oleh DIKTI. Selain itu, penulis
pernah memperoleh beasiswa dari PT. Kelola Mina Laut.
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian,
penulis menyusun skripsi dengan judul Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan
Anak Sekolah: Studi Kasus pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi.