You are on page 1of 140

JURNAL FISIKA DAN TERAPANNYA

VOLUME 2, NOMOR 1, APRIL 2014

Penanggung Jawab
Prof.,Drs., Win Darmanto, M.Si,Ph.D.
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga, Indonesia

Dewan Redaksi (Editorial Board):


Ketua
: Drs. Siswanto, M.Si.
Wakil Ketua: Dr. Retna Apsari, M.Si.
Anggota
: Dr. Suryani Dyah Astuti, M.Si.
Mohammad Faried, ST.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah yang Maha Esa, berkat rahmat dan hidayahNya
semata jurnal online edisi pertama ini dapat diterbitkan.
E-jurnal Fisika dan Terapannya ini merupakan media publikasi bagi sivitas di
lingkungan departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Selain
itu melalui media ini diharapkan dapat mencegah terjadinya praktek plagiasi dalam penelitian.
Pada edisi pertama ini, diterbitkan sepuluh makalah hasil penelitian mahasiswa dari program
studi S1 Fisika dan program studi Teknobiomedik, masing-masing memberikan sumbangan
lima makalah. Topik makalah dari prodi S1 Fisika meliputi bidang biofisika, fisika material,
fotonik dan komputasi, sedangkan topik makalah dari prodi teknobiomedik meliputi bidang
biomaterial dan instrumentasi medis . Hal ini sesuai dengan kelompok bidang keahlian (KBK)
yang dikembangkan pada kedua program studi tersebut.
Semoga jurnal ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua.

Ketua Departemen Fisika


FST Universitas Airlangga

Drs. S i s w a n t o, M.Si.

Jurnal Fisika dan Terapannya


(Journal of Physics and Application)
Volume 2, Nomor 1,
APRIL 2014

DAFTAR ISI
Alwiyah
Siswanto
Nurul Taufiqu Rochman

Pengaruh Variasi Magnesium Oxide (MgO)


Terhadap Karakteristik Semen Gigi
Modifikasi Nano Zinc Oxide Eugenol (ZOE)

Bandiyah Sri Aprillia


Adri Supardi
Herlik Wibowo

Analisis Perturbasi Geometri Pada Proses


Disosiasi Molekul O2 Oleh Katalis Atom Fe
Metode Density Functional Theory

14

Intan Pamudiarti
Samian
Pujiyanto

Pemanfaatan Pengukuran Redaman


Serat Optik Menggunakan OTDR Untuk
Mendeteksi Kadar Glukosa Dalam Air

45

Istiqomah
Welina Ratnayanti K
Tri Anngono P

Analisis Perubahan Profil Potensial Otak


52
Akibat Kebisingan Pada Penderita Hipertensi

Nimatut Tamimah
Suryani Dyah Astuti
Mohammad Yasin

Potensi Pemaparan Light Emitting Diode


(LED) Untuk Fotoinaktivasi Bakteri
Streptococcus Mutans

59

Tri Saktini
Aminatun
Jan Ady

Optimalisasi Sifat Mekkanik Paduan Kobalt


Sebagai Implan Tulang Prosthesis Melalui
Proses Sintering

69

Affan Muhammad
Supadi
Tri Anggono P

Rancang Bangun Sistem Pengukuran Kadar


Hemoglobin Darah Berbasis Mikrokontroler

84

Ary Andini
Dyah Hikmawati
Sri Sumarsih

Potensi Kolagen Kulit Ikan Lele Sangkuriang


(Clarias gariepinus var) Sebagai Scaffold
Kolagen-Hidroksiapatit pada Bone Tissue
Engineering

93

Gilang Daril Umami


Aminatun
Dwi Winarni

Sintesis Dan Karakterisasi Biokompatibilitas 106


Si:Ca10(Po4)6(Oh)2 Dengan Metode
Hidrotermal Untuk Aplikasi Bone Filler

Rizky Justitian
Retna Apsari
Franky Chandra S A

Rancang Bangun Elektromiograf Berbasis


Personal Computer

118

Pengaruh Variasi Magnesium Oxide (MgO) Terhadap


Karakteristik Semen Gigi Modifikasi Nano Zinc Oxide Eugenol
(ZOE)
Alwiyah1, Drs. Siswanto, M.Si1, DR. Nurul Taufiqu Rochman, M.Eng2
1Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
2Pusat Penelitian Metalurgi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Alwiyahkuddah23@gmail.com

Abstract.
The purpose of this research was to determine the effect of the proper MgO and
MgO composition addition to produce the best ZOE dental cement. ZOE dental cement
has lower mechanical properties compared to other dental cement, so it needs the
addition of Al2O3

and MgO as dental cement powder. This research uses MgO

variation of 0%, 1%. 3%, 5%, 10%. ZOE cement powder mixture was done by sintering
the temperature of 1200C for 1 hour continued with characterization by using XRD
(X-Ray Diffraction). The mixing process of dental cement powder sintering results with
eugenol liquid was implemented gradually, so it will bring a paste mixture. Comparison
of dental cement powder and liquid is 2:1. Characterization of dental cement samples
include of SEM (Scanning Electron Microscopy), hardness test and compressive strength
test.The result and analysis shows that the surface morphology of dental cement samples
with the addition of 3% MgO was smoother than other sample surface which had
rough structure and many pores. Similarly, the analysis of the macroscopic yield the
most optimum value of the hardness value of (44,17 5,69) HVN and compressive
strength value of (23.00 0,12) MPa. This suggests that the addition of MgO can
improve the microstructure and physical properties of dental cements.

Keywords: Dental Cement, MgO Variation, Zinc Oxide Eugenol.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Abstrak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan MgO dan
komposisi MgO yang tepat untuk menghasilkan semen gigi ZOE yang terbaik. Semen
gigi ZOE mempunyai sifat mekanik yang rendah dibandingkan semen gigi yang lain,
sehingga perlu dilakukan penambahan Al2O3 dan MgO sebagai bahan aditif pada bubuk
semen gigi. Pada penelitian ini dilakukan variasi MgO sebesar 0%, 1%, 3%, 5%,
10%. Campuran bubuk semen ZOE tersebut dilakukan sintering dengan suhu 1200C
selama 1 jam yang selanjutnya dilakukan karakterisasi menggunakan XRD (X-Ray
Diffraction). Pencampuran bubuk semen gigi hasil sintering dengan cairannya eugenol
dilakukan sedikit demi sedikit sehingga menghasilkan pasta. Perbandingan bubuk dan
cairan semen gigi ini adalah 2:1. Karakterisasi sampel semen gigi ini meliputi
karakterisasi SEM (Scanning Electron Microscopy), uji kekerasan dan uji tekan. Dari
serangkaian penelitian dan analisis diperoleh bahwa morfologi permukaan sampel semen
gigi dengan penambahan MgO sebesar 3% menunjukkan permukaaan yang lebih halus
dibandingkan dengan sampel lain yang struktur permukaannya tampak kasar dan banyak
pori. Begitu pula dengan analisis makroskopis menghasilkan nilai yang paling optimum
yaitu nilai kekerasan (44,17 5,69) HVN dan nilai kekuatan tekan (23,00 0,12)
MPa. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan MgO dapat memperbaiki mikrostruktur
dan sifat fisis semen gigi.

Kata kunci : Semen gigi, Variasi MgO, Zinc Oxide Eugenol.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

PENDAHULUAN
Material penambal gigi mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini
membuat dokter gigi mempunyai banyak pilihan bahan tambalan atau restorasi gigi untuk
merawat dan memperbaiki gigi. Terdapat lima macam semen gigi sebagai bahan restorasi
gigi. Lima bahan tersebut adalah semen seng fosfat (zinc phosphate cement), semen seng
oksida eugenol (zinc oxide eugenol cement), semen polikarboksilat (polycarboxylate
cement), semen silikat dan semen gelas ionomer (glass ionomer cement) [1]. Masingmasing semen gigi memiliki karakteristik yang berbeda sehingga berimplikasi pada
aplikasinya.
Salah satu semen gigi yang sering dipakai untuk restorasi gigi adalah zinc oxide
eugenol (ZOE). Zinc oxide eugenol memiliki keunggulan dibandingkan semen gigi
lainnya. Keunggulan tersebut antara lain dapat mengurangi rasa nyeri pada pulpa gigi,
mempunyai sifat antiseptik, dapat beradaptasi dengan baik pada kavitas, tidak mengiritasi
pulpa sehingga dapat digunakan sebagai tambalan sementara yang berfungsi untuk
menutup kavitas gigi dalam jangka waktu tertentu yaitu 3 sampai 7 hari. Semen gigi ini
diharapkan dapat menjadikan pulpa sehat sebelum dilakukan tambalan tetap [2]. Namun,
zinc oxide eugenol memiliki kekurangan yaitu sifat mekanik yang rendah dan kelarutan
terhadap air tinggi.
Peningkatan kekuatan pada semen gigi dapat dilakukan dengan penambahan
bahan tertentu. Penambahan bahan tertentu tersebut harus memiliki kekuatan dan
ketahanan abrasinya yang baik. Bahan yang berpotensi memperbaiki karakteristik
tersebut adalah alumina (Al2O3). Hal ini disebabkan sifat alumina yang mudah dalam
proses fabrikasi, ketahanan korosi yang baik, ketahanan pemakaian yang cukup lama,
bioinert dan biokompabilitas yang baik.
Kelemahan sintesis ZOE- Al2O3

adalah memerlukan suhu sintering yang

tinggi dan selama proses sintering terjadi penggumpalan bahan pada batas butirnya. Oleh
sebab itu, untuk menurunkan suhu sintering ini dapat dilakukan dengan cara penambahan
bahan aditif tertentu misalnya MgO (magnesium oxide). Pemilihan aditif MgO
berdasarkan fungsinya yaitu sebagai flux (menurunkan titik lebur) dan mencegah
terjadinya pertumbuhan butir (grain) yang berlebih [3]. Penambahan MgO dalam
sintering Al2O3 juga dapat mengurangi pori hingga mendekati nol sehingga
meningkatkan densitas [4]. Maka dibutuhkan komposisi MgO yang tepat untuk
memperoleh karakteristik yang terbaik.
Pada penelitian ini, material penyusun semen gigi zinc oxide yang digunakan
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

berukuran nanometer karena dapat memperbaiki sifat fisis dan mekanis zinc oxide
eugenol cement [5]. Perubahan ukuran bahan dasar semen gigi ini dari mikro ke nano
menyebabkan perubahan kualitas semen gigi, terutama dari sifat fisis dan mekanik.

METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini bahan-bahan yang digunakan sebagai berikut: ZnO, MgO,
Al2O3, Cairan eugenol komersial dan non komersial. Sedangkan alat-alat yang
digunakan adalah spatula cement, cetakan akrilik, Pipet, mikrometer sekrup, neraca
Analitik, mixing slab, beban untuk sampel, furnace, mortar, XRD, SEM, autograph,
MicroVickers Hardness.
Penelitian ini diawali dengan mempersiapkan material bubuk semen gigi yang
dibuat dengan mencampurkan ZnO, Al2O3 dengan rasio massa 70:30 % dan divariasikan
komposisi MgO 1%, 3%, 5%, 10%, dan tanpa penambahan MgO. Tabel 1 menunjukkan
komposisi material semen gigi yang dibuat.
Tabel 1 Komposisi material semen gigi
Jenis

Komposisi

Keterangan

Sampel ZnO:Al2O3:MgO
A
70:30:0
B
C

70:29:1
70:27:3

D
E
F

70:25:5
70:20:10
70:25:5

Eugenol nonKomersial

Eugenol

Komersial
Proses pencampuran material menggunakan mortar yang diharapkan dapat
dihasilkan campuran yang homogen. Kemudian campuran disintering pada suhu 1200C
dengan waktu penahanan selama 1 jam. Material yang telah disintering, dicampurkan
dengan eugenol dengan rasio bubuk semen gigi dan cairan sebesar 2:1 (gr:mL). Setelah
sampel homogen maka dilakukan pencetakan sampel menggunakan cetakan yang terbuat
dari akrilik sesuai dengan ukuran standart sampel dalam pengujian. Cetakan semen gigi
dengan tebal 10 mm dan diameter 8 mm. Pengujian sampel ini membutuhkan permukaan
yang datar dengan meratakannya menggunakan spatula cement dan meletakkan beban 2
kg pada cetakan semen gigi supaya padat. Setelah mengeras, 30 menit berikutnya sampel
dapat dilepas dari cetakan. Sampel dibuat sebanyak 12 buah dan dapat dilakukan
karakterisasi.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Karakterisasi sampel semen gigi ZOE yang terbentuk akan dilihat melalui
beberapa uji. Uji tersebut meliputi uji mikroskopik dan makroskopik. Uji mikroskopik
meliputi karakterisasi XRD dan SEM yang secara berturut-turut untuk mengetahui
komposisi sampel dan menentukan struktur kristalnya serta untuk mengetahui struktur
mikronya. Uji makroskopik meliputi uji kekerasan dan tekan yang secara berturut-turut
berfungsi untuk mengetahui ketahanan sampel terhadap deformasi tekanan serta untuk
mengetahui kemampuan semen gigi menahan beban.
Karakterisasi dengan XRD (X-Ray Diffraction)
Persiapan sampel untuk karakterisasi XRD dapat dilakukan sebagai berikut.
Mula-mula sampel digerus sampai halus. Kemudian sampel yang telah menjadi serbuk
dengan permukaan rata dan mempunyai ketebalan yang cukup untuk meyerap sinar-x
ditempatkan pada preparat seperti pada Gambar 3.5. Preparat kemudian ditempatkan pada
sampel holder difraktometer sinar-X dengan menggunakan panjang gelombang target Cu
sebesar 1,541874 dan sudut 2 yang digunakan antara 0 - 80. Kemudian dilakukan
pengamatan data untuk menentukan kandungannya. Data yang dihasilkan dari
karakterisasi XRD adalah spektrum kontinu yang menggambarkan sudut-sudut terjadinya
difraksi pada atom-atom bahan (2) dan besar nilai intensitas.
Analisis terhadap spektrum data XRD dapat dilakukan menggunakan program
search match. Hasil search match berupa grafik dengan identifikasi fase dari senyawasenyawa pada puncak-puncak intensitasnya yang selanjutnya digunakan untuk
menentukan fraksi volume yang terbentuk menurut persamaan berikut:

Dimana, I(fn) adalah intensitas fase-n yang ditinjau dan Itotal adalah intensitas
keseluruhan dari data XRD yang dihasilkan.
Selain itu, XRD juga menginformasikan ukuran kristal suatu senyawa. Untuk
ukuran partikel, hasil XRD dianalisis dengan formula Scherrer yang diameter partikelnya
memenuhi persamaan:

Dimana, L adalah ukuran butir kristal (), k adalah konstanta dengan nilai 0,9,
adalah panjang gelombang sinar-X () nilainya : 1,541874, B adalah lebar puncak pada
setengah maksimum FWHM (rad), dan

adalah sudut Bragg ().

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Karakterisasi Struktur Mikro (SEM)


Preparasi sampel sebelum dilakukan karakterisasi SEM dengan pengampelasan
menggunakan ampelas ukuran tingkat kekasaran 120, 400, 800, dan 1200 secara bertahap.
Kemudian setelah pengampelasan sampel dilakukan micropolish alumina dengan ukuran
0,3 mikro, 1 mikro, dan 5 mikro secara bertahap menggunakan mesin grinding. Sampel
diamati dengan mikroskop optik untuk melihat keadaan permukaan sampel hingga dapat
diteruskan untuk preparasi. Selanjutnya sampel harus bebas dari H2O, setelah sampel
kering maka sampel ditempel pada specimen holder kemudian dibersihkan menggunakan
hand blower. Sampel ini tidak dilakukan proses coating karena sampel tersebut akan
dilakukan uji kekerasan. Setelah sampel siap maka dapat dimasukkan ke dalam specimen
chamber untuk diamati struktur mikronya pada layar SEM dan dianalisis. Hasil dari SEM
image yang akan menampilkan topografi (tekstur permukaan sampel) dan morfologinya
(bentuk dan ukur dari partikel penyusun sampel).
Uji Kekuatan Tekan (Compressive strength)
Pengujian kuat tekan dilakukan dengan menggunakan alat autograph. Pengujian
kekuatan dilakukan dengan menggunakan sampel berbetuk silinder yang bagian atas dan
bawahnya telah dihaluskan dengan amplas. Sampel yang telah siap diuji ditempatkan
pada bagian penekan mesin uji tekan, kemudian mesin dinyalakan dan mengatur
kecepatan serta memilih range beban yang akan diukur. Load cell perlahan lahan
diturunkan kemudian distop dan mencatat besarnya gaya.
Data yang diperoleh dari eksperimen yaitu diameter sampel dan gaya yang
dibutuhkan untuk menekan sampel. Nilai dari Compressive Strength dapat diperoleh dari
persamaan :

Dengan F dan A berturut-turut adalah besarnya gaya dan luas permukaan sampel
Uji kekerasan (Hardness)
Pengukuran tingkat kekerasan dilakukan dengan menggunakan alat uji Micro
Vickers Hardness. Pengujian ini meggunakan pembebanan sebesar 200 gf (1,96 N) dan
mempunyai beberapa ketentuan yaitu sampel yang digunakan benar-benar halus dan rata
pada permukaannya. Salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan sampel yang
memiliki permukaan rata adalah dengan metode molding. Proses molding dilakukan
dengan cara menambahkan epoxy resin dan hardener pada sampel yang berbentuk
silinder di suatu cetakan. Pengukuran tingkat kekerasan dilakukan dengan penekanan

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

pada permukaan sampel dengan menggunakan intan piramid dengan sudut kemiringan
136. Pengukuran tingkat kekerasan dilakukan pada tiga titik yang berbeda.
Dari hasil pengukuran uji kekerasan, nilai kekerasan dapat ditentukan dengan
menggunakan persamaan :

Dengan, VHN adalah bilangan kekerasan Vickers, P adalah beban atau gaya (kgf), d
adalah diagonal rata-rata (mm)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Karakterisasi XRD (X-Ray Diffraction)
Uji XRD hanya dilakukan untuk sampel A, C dan E. Hasil uji XRD tersebut
ditunjukkan oleh Gambar 1. Data XRD Gambar 1 selanjutnya dilakukan search match.
Dari hasil karakterisasi XRD dilakukan analisa kualitatif dengan cara pencocokan (search
match) spektrum hasil karakterisasi XRD dengan standar file data yang telah diketahui
yaitu data JCPDS (Joint Committee on Powder Diffraction Standard). Hal ini dilakukan
untuk mengetahui senyawa-senyawa yang terkandung dalam bubuk modifikasi semen
zinc oxide eugenol.
Dari data XRD menunjukkan bahwa karakterisasi XRD pada sampel A senyawa
yang terbentuk pada hasil sintering adalah ZnO dan ZnAl2O4 (Gambar 1a). Pada sampel
C senyawa yang terbentuk adalah ZnO, ZnAl2O4, dan MgAl2O4 (Gambar 1b). Pada
sampel E senyawa yang terbentuk adalah ZnO, ZnAl2O4, dan MgAl2O4 dan MgO
(Gambar 1c). Pembentukan senyawa ZnAl2O4 dan MgAl2O4 menunjukkan terjadinya
reaksi sebagai berikut:
ZnO + Al2O3 ZnAl2O4

(5)

MgO + Al2O3 MgAl2O4

(6)

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

(a)

(b)

(c)
Gambar 1 Hasil Karakterisasi XRD Sampel Semen Gigi Zinc Oxide Eugenol (a) Sampel
A (b) Sampel C (c) Sampel E

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Berdasarkan

pada Gambar 1 dapat dilihat puncak-puncak senyawa yang

terbentuk pada bubuk semen gigi Zinc Oxide Eugenol dengan menggunakan Persamaan
(1) fraksi volumenya dinyatakan dalam Tabel 2 dan Lebar puncak XRD memberikan
informasi tentang ukuran kristal. Dari grafik dengan menggunakan Persamaan Scherrer
(2) ukuran kristal dinyatakan dalam Tabel 3.

Tabel 2 Fraksi Volume Senyawa yang Terbentuk Pada Sampel


Sampel

Fraksi Volume (%)


ZnO

ZnAl2O4

MgAl2O4

MgO

58,93

41,07

79,24

17,11

3,65

75,58

15,97

5,38

3,07

Tabel 3 Ukuran Kristal Senyawa


Jenis Sampel

Ukuran Kristal ()

Ukuran Kristal ()

ZnO
533

ZnAl
518 2O4

614

606

539

536

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh sampel C memiliki ukuran kristal ZnO


maupun ZnAl2O4 yang tertinggi. Hal ini dapat dijelaskan oleh konsep pembentukan
senyawa. Ketika suatu senyawa diberi perlakuan suhu serta lama pemanasan yang sama,
sedangkan pada saat itu pula ditambahkan komposisi bahan lain dalam hal ini senyawa
MgO. Maka untuk membentuk senyawa baru diperlakukan waktu relatif lama ketika
komposisi bahan aditif semakin bertambah. Hasil karakterisasi XRD ini mendukung hasil
uji kekerasan dan kekuatan tekan. Semakin kecil lebar puncak maka sifat mekanisnya
semakin baik, hal ini dikarenakan ukuran kristalnya yang besar.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Hasil Karakterisasi Struktur Mikro (SEM)


Gambar 2 menunjukkan penampakan mikrostruktur pada permukaan semen gigi.

(a)

(b)

(c)
Gambar 2 Hasil Karakterisasi SEM Semen Gigi ZOE dengan (a) Penambahan MgO 0%
(b) Penambahan MgO 3% (c) Penambahan MgO 10%
Dapat terlihat bahwa struktur mikro dari semen gigi modifikasi ZOE sampel A
memiliki permukaan yang kasar dan terdapat banyak pori-pori antar partikelnya. Pada
sampel ini juga terlihat adanya retakan (Gambar 2a). Sedangkan Pada semen gigi sampel
C terlihat permukaan yang lebih halus dan berkurangnya pori dibandingkan sampel tanpa
penambahan MgO dan MgO 10%. Struktur mikro sampel ini juga terlihat ikatan antar
butir partikel yang satu dengan partikel yang lain dalam jumlah banyak dan sebagian
sudah membentuk kesatuan yang utuh. Dari hasil SEM ini terlihat bahwa struktur
permukaannya kurang homogen karena proses mixing yang kurang sempurna (Gambar
2b). Pada semen gigi sampel E terlihat permukaan yang kasar dan terdapat pori-pori antar

10

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

partikelnya. Peristiwa ini dikarenakan efek jenuh untuk penambahan MgO yang terlalu
banyak (Gambar 2c).
Hasil Uji Kekuatan Tekan
Pengukuran uji kekuatan tekan sampel dilakukan dengan memberikan beban pada
sampel sampai patah.

Gambar 3 Grafik Hubungan Antara Sampel (Variasi Komposisi MgO) Terhadap


Kekuatan Tekan
Pada Gambar 3 diketahui bahwa pengaruh penambahan MgO terhadap nilai
kekerasan memberikan nilai optimum pada sampel C yaitu (23,00 0,12) Mpa. Pada
literatur nilai compressive strength untuk semen gigi zinc oxide eugenol yaitu berkisar 630 MPa. Namun nilai kekuatan tekan setelah sampel C mengalami penurunan karena
adanya titik jenuh dengan penambahan MgO yang berlebih. Hasil ini juga didukung
dengan karakterisasi XRD dimana pada sampel C memiliki ukuran kristal yang paling
tinggi sehingga mengakibatkan kekuatan tekan yang paling tinggi. Serta karakterisasi
SEM, dari hasil tersebut menunjukkan terbentuknya ikatan antar partikel yang lebih baik
dibandingkan dengan sampel A maupun sampel E. Selain itu pada sampel C jumlah
porositas yang jauh berkurang juga berkontribusi pada peningkatan nilai kekuatan tekan.

Hasil Uji Kekerasan


Pengujian kekerasan sampel dilakukan dengan metode microvickers hardness.
Pemberian beban saat pengambilan data yaitu 200 gf atau 1,94 N. Pengukuran tingkat

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

11

kekerasan dilakukan pada tiga titik yang berbeda. Dari ketiga titik nilai kekerasan
masing-masing sampel tersebut kemudian diperoleh rata-rata nilai HVN.

Gambar 4 Grafik Hubungan Antara Sampel (Variasi Komposisi MgO) Terhadap


Kekerasan
Pada Gambar 4 diketahui bahwa pengaruh penambahan MgO terhadap nilai
kekerasan memberikan nilai optimum pada sampel C yaitu (44,17 5,69) HVN. Nilai
kekerasan yang meningkat seiring semakin bertambahnya komposisi MgO dalam bubuk
semen gigi zinc oxide eugenol. Namun nilai kekerasan setelah sampel C mengalami
penurunan karena adanya titik jenuh dengan penambahan MgO yang berlebih. Hasil ini
juga didukung dengan karakterisasi XRD dimana pada sampel C memiliki ukuran kristal
yang paling tinggi sehingga mengakibatkan kekerasan yang paling tinggi. Serta didukung
dengan karakterisasi SEM melalui struktur mikronya. Dari hasil tersebut menunjukkan
terbentuknya ikatan antar partikel yang lebih baik dibandingkan dengan sampel A
maupun sampel E. Selain itu pada sampel C jumlah porositas yang jauh berkurang juga
berkontribusi pada peningkatan nilai kekerasan.

KESIMPULAN
Dari serangkaian penelitian dan analisis tentang penambahan MgO terhadap
modifikasi semen gigi Zinc Oxide Eugenol, diperoleh kesimpulan bahwa seiring
bertambahnya komposisi MgO maka sifat mikroskopis (karakterisasi XRD dan XRD)
maupun makroskopis (uji kekerasan dan kuat tekan) semakin baik. Namun hasil
karakterisasi setelah penambahan 3% MgO mengalami penurunan karena adanya titik

12

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

jenuh dengan penambahan MgO yang berlebih. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa
penambahan 3% MgO (sampel C) menghasilkan nilai yang terbaik untuk kekerasan yaitu
(44,17 5,69) HVN dan kuat tekan yaitu (23,00 0,12) MPa. Serta didukung oleh hasil
struktur morfologinya yang lebih halus dibandingkan sampel lainnya. Ini membuktikan
bahwa penambahan MgO dapat memperbaiki mikrostruktur dan meningkatkan sifat
fisisnya yaitu mengurangi porositas.

SARAN
Penelitian modifikasi semen gigi zinc oxide eugenol ini merupakan langkah awal
untuk memperbaiki kekurangan dari semen gigi zinc oxide eugenol. Untuk memperoleh
hasil yang lebih baik maka disarankan pencampuran bubuk semen gigi

dengan

menggunakan HEM (High Energy Milling) yang berfungsi untuk memperkecil ukuran
partikel sehingga menjadi serbuk yang berukuran yang lebih halus dan melakukan
perbandingan bubuk dan cairan yang lebih variatif. Hal ini dikarenakan semakin
meningkatnya jumlah serbuk pada perbandingan serbuk dan cairan maka semakin
meningkat pula kekerasannya dan semakin berkurang pula kelarutannya. Selain hal di
atas, disarankan proses pengujian dan penelitian lebih lanjut yang harus dilakukan
diantaranya uji biokompatibilitas dan uji kelarutan pada semen gigi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih penyusun sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu selama penyusunan laporan ini diantaranya Bapak Drs. Siswanto, M.Si. selaku
pembimbing I, dan Dr. Nurul Taufiqu Rochman, M.Eng selaku pembimbing II atas
bantuan dan dukungan yang diberikan selama pengerjaan jurnal ini.

DAFTAR PUSTAKA
[1]Noort, RV. 1994. Introduction to Dental Material. Monley: London.
[2]Astuti, Malia Widhi dkk. 2007. Daya Anti Bakteri Bahan Tumpatan Sementara Zinc
Oxide Eugenol. Universitas Hang Tuah: Surabaya.
[3]Muljadi, Perdamean. 1999. Pengaruh Aditif MgO terhadap Sifat Fisis Al2O3 untuk
Substrat Elektron. LIPI Puspiptek: Tangerang.
[4]Ramlan. 2010. Karakterisasi Keramik Na2O-Al2O3 Dengan Variasi MgO Sebagai Komponen Elektrolit
Padat. Jurusan Fisika FMIPA Universitas Sriwijaya: Sumatera Selatan.
[5]Prihatini, Ardini. 2011. Sintesis dan Karakterisasi Semen Gigi Berbasis Nano Zinc
Oxide. Skripsi Fsaintek UNAIR: Surabaya.
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

13

Analisis Perturbasi Geometri Pada Proses Disosiasi Molekul O2


Oleh Katalis Atom Fe Dengan Metode Density Functional Theory
Bandiyah Sri Aprillia1, Drs. Adri Supardi, M.S 1, Herlik Wibowo, S.Si, M.Si 1
1 Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : sriapriliabandiyah@gmail.com

Abstract.
Density Functional Theory (DFT) is a method to calculate energy based on the
charge density. DFT used Kohn-Sham equation which was the numerical equation of
Schrodinger equation. The purpose of this research was to analyze the effect of geometry
perturbation in dissociation mechanism by Fe atom toward molecular structure,
vibration frequency, and dissociation energy of O2. The calculations were performed by
DFT method and basis-set of 6-31G(d). The result obtained by this research was
the energy level diagram of O2 molecule toward inter-atomic distances. The result
showed that both oxygen atoms no longer interact with each other at the distance R =
2,8 . The O2 dissociation energy by catalyst Fe atom obtained was 0,30 eV.
Keywords: DFT, dissociation Fe-O2, vibration frequency, electronic structure.

Abstrak.
Density Functional Theory (DFT) adalah metode penghitungan energi
berdasarkan pada kerapatan muatan. DFT menggunakan persamaan Kohn-Sham yang
merupakan persamaan numerik dari persamaan Schrodinger. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis pengaruh perturbasi geometri dalam proses disosiasi molekul O 2 oleh
atom Fe terhadap struktur elektronik molekul O2, frekuensi vibrasi molekul O2 dan
energi disosiasi molekul O2. Perhitungan dilakukan dengan metode DFT dengan basis
set 6-31G(d). Dari hasil perhitungan diperoleh diagram tingkat energi orbital molekul
O2 terhadap jarak antaratom yang menunjukkan bahwa kedua atom oksigen tidak lagi
berinteraksi pada jarak R = 2,8. Energi disosiasi molekul O2 dengan katalis atom Fe
0.30 eV.
Kata kunci : DFT, disosiasi Fe-O2, frekuensi vibrasi, struktur elektronik

14

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

PENDAHULUAN
Oksigen merupakan elemen yang banyak terdapat di bumi secara berlimpah.
Oksigen dengan konfigurasi elektron [He] 2s2 adalah unsur yang sangat elektronegatif
(skala paulling = 3,5), nomor dua terbesar setelah fluor (skala paulling = 4,1). Sifat
elektronegatif yang tinggi dari atom oksigen berkontribusi dalam sifat kereaktifannya
sehingga, pada temperatur dan tekanan standar, dua atom oksigen ini berikatan
menjadi gas diatomik dengan rumus molekul O2. Sifat kereaktifan oksigen dapat digunakan untuk
mengontrol reaksi reaksi redoks.
Reaksi reduksi oksigen merupakan reaksi yang sangat penting dalam proses
kehidupan, misalnya pada konversi energi pada fuel cell. Pada bagian katode inilah terjadi
reaksi reduksi dimana elektron e- dan proton H+ bergabung dengan molekul O2 yang
dialirkan pada sisi katode sehingga menghasilkan air (H 2O) sebagai buangannya. Pada
kenyataanya, reaksi reduksi yang terjadi pada katalis katode berbahan platina sangat
lambat jika dibandingkan dengan reaksi oksidasi yang terjadi pada anode,
(Prabowo, 2010). Telah diselidiki, keberadaan atom Fe pada permukaan logam platina
telah berhasil meningkatkan kegiatan katalitik dan kesetabilan kimia, (J .W. Gadzuk
dan S. Holloway, 1985). Peran katalis pada katode berfungsi sebagai pemercepat reaksi
pemutusan ikatan rangkap ( reaksi disosiasi) molekul O2 .
Pada umumnya reaksi disosiasi molekul O2 tidak terjadi secara alamiah (tidak
merupakan proses spontan ataupun proses eksotermis) sehingga, dibutuhkan energi
eksternal untuk memulai proses tersebut. Proses disosiasi molekul O2 ini dimulai dari
penyerapan (adsorpsi) molekul O2 oleh permukaan katalis, membentuk molekul Fe-O2
yang terikat secara kovalen. Kemudian dilanjutkan dengan pemutusan ikatan kimia O--O
sehingga, dihasilkan dua buah atom O (Wilkinson, 1980). Proses disosiasi molekul O 2
secara utuh hanya dapat dipahami pada level fundamental, yaitu mekanika kuantum
(Quantum Mechanic, QM). Mekanika kuantum memberikan informasi mengenai energi
disosiasi melalui energi total orbital atom. Perhitungan energi total dan kerapatan elektron
merupakan besaran terpenting yang dapat diberikan oleh struktur elektronik. Struktur
elektronik dari molekul direpresentasikan oleh molecular orbital (MO) yang ditentukan
oleh konfigurasi elektron pada atom tersebut.
Penentuan energi tiap atomic orbital (AO) membutuhkan fungsi gelombang tiap
AO tersebut sesuai dengan persamaan Schrdinger. Fungsi gelombang AO merupakan
kombinasi linear dari semua AO yang tersedia dan memenuhi syarat simetrisasi untuk
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

15

fermion. Apabila dua atom memiliki dua AO yang identik didekatkan, misalnya pada
kasus dua atom H maka masing-masing AO {1s} akan saling beririsan (overlapped). Di
dalam irisan terjadi interaksi antara AO {1s} atom H pertama dan atom H kedua.
Interaksi dua AO ditentukan melalui hasil integral tumpang tindih. Interaksi tarik menarik
terjadi jika hasil integral tumpang tindih bernilai antara nol dan satu sedangkan, interaksi
tolak menolak terjadi jika integral tumpang tindih bernilai nol. Integral tumpang tindih
merupakan fungsi jarak antarinti. Variasi jarak antaratom akan mempengaruhi posisi
atom-atom terhadap interaksi orbital, dapat disebut perturbasi geometri. (House, 2008).
Penelitian bertujuan mengkaji proses disosiasi molekul O2

dan peranan katalis

Fe pada level fundamental yaitu mekanika kuantum, melalui perturbasi geometri dengan
memvariasikan jarak antaratom. Proses disosiasi dimulai dari, proses adsorpsi molekul
O2 yang dimodelkan sebagai molekul Fe-O2

yang terikat secara kimia dengan

sejumlah variasi geometri. Sedangkan, proses disosiasi molekul O 2 dimodelkan sebagai


perturbasi geometri yang dialami oleh molekul Fe-O2, maka akan diperoleh struktur
elektronik, frekuensi vibrasi dan besarnya energi disosiasi molekul O 2. Struktur
elektronik sebuah molekul dapat dipelajari melalui komputasi kuantum,

metode

komputasi kuantum yang sesuai untuk mengkaji struktur elektronik molekul O2, yakni
berdasarkan density functional theory (DFT).

METODE PENELITIAN
Prosedur penelitian terbagi menjadi tiga tahapan. Pada tahap pertama, dilakukan
pemindaian energi Fe-O2

dengan variasi jarak antaratom untuk setiap

variasi

ketinggian yang dimulai dari 2,5 hingga 0,5 terhadap atom Fe. Tahap kedua adalah
perhitungan energi titik tunggal (single point energy) pada setiap ketinggian, yakni 2,5
hingga 0,5. Pada tahap ketiga dilakukan perhitungan frekuensi vibrasi pada setiap
variasi ketinggian dari 2,5 hingga 0,5. Masing-masing tahap dapat dijelaskan sebagai
berikut.
Memindai energi dengan variasi jarak antaratom
Tahap pemindaian energi dengan variasi jarak antaratom merupakan tahap awal
untuk analisis struktur elektronik molekul O2 dalam proses disosiasi akibat perturbasi
geometri oleh atom Fe. Ilustrasi sistem yang akan dihitung pada tahap ini sebagai berikut.

16

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Gambar 1 Model sistem


Gambar 1 menggambarkan sistem yang dikaji. Sistem tersebut terdiri dari
molekul O2 (2 atom berwarna merah) dengan jarak R terhadap dummy atom (atom
berwarna hijau). Pada kasus ini mengindikasikan jarak antar dua atom oksigen adalah 2R.
Dummy atom dipisahkan setinggi h terhadap atom Fe (atom berwarna biru). Gambar 1
bermanfaat untuk mendeskripsikan sistem molekul yang akan dihitung dalam koordinat
kartesian atau Z-matriks pada bagian molecule specifikation di program Gaussian.
Hasil perhitungan pemindaian energi pada molekul diatomik umumnya
memberikan kecenderungan kurva energi seperti diilustrasikan Gambar 2 berikut.

Gambar 2 Interaksi dua atom hidrogen yang membentuk molekul H 2. (House, 2008)
Kurva energi pada Gambar 2 dapat diamati bahwa energi menjadi tinggi ketika R
mendekati nol hal ini karena gaya Coulomb antar inti atom menghalangi kedua atom
untuk berada sangat dekat. Energi mencapai satu titik minimum (lembah kurva) pada nilai
Re, menunjukkan terjadi kesetimbangan gaya pada

jarak ini (ekuilibrium). Energi

akan kembali naik ketika nilai R bertambah dan pada satu

titik energi akan relatif

konstan meskipun nilai R terus bertambah. Pada kondisi ini kedua atom tersebut telah
terpisah dan tidak ada lagi interaksi antar orbital di antara kedua atom ini. Dengan kata
lain, molekul telah membelah menjadi atom-atom penyusunnya (disosiasi). Inilah cara
mekanika kuantum menjelaskan proses disosiasi molekul dalam kimia.
Energi ikat (D0) diperoleh dari energi pada keadaan jarak setimbang
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

17

antaratom (R0). Energi disosiasi (De) dihitung dari selisih energi pada jarak antaratom
mendekati tak hingga dengan energi yang dicapai pada

R0, yakni pada kedalaman

lembah kurva. Kurva seperti Gambar 2.4 dapat diperoleh dengan membuat grafik energi
fungsi jarak antaratom, yang dalam tahap ini dilakukan untuk setiap variasi ketinggian
terhadap atom Fe. Variasi ketinggian molekul O2 terhadap atom Fe secara menurun
dimulai dari 2,5 hingga mencapai 0,5.
Berdasarkan kalkulasi pemindaian energi diperoleh R0 dan D0 pada ketinggian
h(). Lintasan proses disosiasi molekul O2 pada permukaan (diwakili oleh atom Fe)
dapat diperoleh dengan membuat grafik hubungan R0 dengan ketinggian (h).
Kurva lintasan disosiasi akan menjelaskan kehadiran penghalang yang harus
dilalui oleh molekul O2

sebelum terdisosiasi. Kehadiran penghalang pada lintasan

proses disosiasi diindikasikan dari gangguan kemulusan grafik pada ketinggian h().
Informasi besarnya energi disosiasi molekul O2 diperoleh dari hasil perhitungan energi
titik tunggal (single point energy).
Perhitungan energi titik tunggal (single point energy)
Perhitungan energi titik tunggal adalah prediksi energi total elektronik dari sistem
yang dihitung (Gambar 1). Ungkapan titik tunggal merupakan kata kunci dalam
perhitungan ini karena perhitungan dilakukan pada satu titik tetap yakni, pada titik
kesetimbangan molekul (R0). Hasil kalkulasi energi titik tunggal diperoleh 4 besaran
fisis yang penting yakni, energi total elektronik, jarak antaratom, distribusi muatan
dan momen dipol. Informasi energi total elektronik ini sangat penting untuk
mendeskripsikan energi disosiasi.
Mekanisme terjadinya disosiasi hingga mendapatkan energi disosiasi terkait
kehadiran penghalang yang harus dilewati molekul O 2, dapat dilustrasikan berdasarkan
grafik hubungan energi total elektronik setiap ketinggian.
Mekanisme terjadinya disosiasi juga diamati berdasarkan perubahan orbital
molekuler untuk setiap ketinggian. Molekul dikatakan terdisosiasi apabila orbital
molekuler telah menjadi orbital atom.
Struktur elektronik sebuah molekul ditentukan oleh the highest occupied
molecular orbital (HOMO) dari sistem . HOMO merupakan orbital molekuler tertinggi
yang ditempati oleh elektron valensi. Selain HOMO, orbital molekuler juga memiliki
LUMO (the lowest unoccupied molecular orbital), yaitu orbital molekuler terendah yang
tidak terisi elektron. Secara umum energi HOMO molekul lebih kecil dari pada energi

18

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

HOMO orbital atomik, hal ini dikarenakan adanya tambahan suku interaksi antar
elektron (interaksi positif) dan ini mengurangi kestabilan sistem. Jadi untuk mempelajari
struktur elektronik dalam proses disosiasi (pemutusan ikatan) maka dilakukan
pengamatan terhadap energi HOMO molekul O2 setiap ketinggian (h) terhadap atom Fe.
Perhitungan frekuensi vibrasi
Perhitungan frekuensi vibrasi bertujuan untuk memperkuat hasil penelitian telah
terdisosiasinya molekul O2 menjadi atom-atom penyusunnya. Secara matematis
frekuensi vibrasi berbanding lurus dengan konstanta gaya. Konstanta gaya dalam ikatan
antaratom menyatakan kuat lemahnya interaksi antaratom. Konstanta gaya juga berkaitan
dengan probabilitas ditemukannya elektron dan orde ikatan antaratom.

Orde ikatan

antaratom yang tinggi akan memiliki nilai konstanta gaya yang makin tinggi. Berikut
contoh hasil spektroskopi infra merah (IR) untuk beberapa molekul.
Tabel 1 Hasil spektroskopi IR Vibrasi molekul (Sitorus, 2009)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Memindai energi Fe-O2 dengan variasi jarak antaratom
Pada tahap pemindaian energi

Fe-O2 dengan variasi jarak antaratom,

didapatkan dua besaran fisis penting. Kedua besaran fisis tersebut adalah jarak antaratom
(R) dan energi total elektronik (E). Jarak antaratom dan energi total elektronik pada
ketinggian (h) 2,5 , 2 , 1,5 , 1 dan 0,5 secara rinci ditabulasikan pada Tabel 2
berikut.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

19

Tabel 2 Hasil pemindaian energi Fe-O2

20

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

21

Kurva energi didapatkan dari Tabel 2(a) sampai Tabel 2 (b). Kurva energi yang
diperoleh dari hasil pemindaian energi terhadap variasi jarak antaratom diberikan oleh
Gambar 3(a) sampai Gambar (e) berikut.

22

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Gambar 3 Hasil Pemindaian energi Fe-O2.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

23

Pada kurva energi yang ditunjukkan oleh Gambar 3(a) sampai Gambar 3(e),
plot yang dihasilkan pada daerah R

1,5 tidak memiliki interpretasi secara fisis

untuk mengkaji peranan atom Fe dalam proses disosiasi molekul O 2. Pada keadaan
terisolasi pemindaian energi terhadap variasi jarak antaratom diberikan energi disosiasi
molekul O2 pada

jarak antaratom oksigen 2R = 3,5 (Fatimatuzzahroh, 2013).

Berdasarkan hasil analisis orbital molekuler, orbital molekul O 2 telah berubah menjadi
orbital atom pada jarak 2R = 2,5 (Fatimatuzzahroh, 2013).
Kurva energi pada Gambar 3(a) sampai Gambar 3(c) memiliki dua lembah.
Lembah pada Gambar 3(a) berada pada R0 = 0,6 dan R0= 1,5, lembah pada
Gambar 3(b) terjadi di R0 = 0,7 dan R0 = 1,4 dan Gambar 3(c) lembah terbentuk
pada R0 = 0,8 dan R0 = 1,1. Gambar 3(d) memiliki satu lembah dan Gambar 3(e)
tidak memiliki lembah. Lembah pada Gambar 3(d) berada pada R0 = 1,4. Sementara
daerah R

1,7 pada Gambar 3(e) sudah dapat disebut lembah. Kehadiran lembah

kedua pada sistem Fe- O2, berkaitan erat dengan peranan atom Fe. Kehadiran atom Fe
telah mengganggu geometri molekul O2. Tanpa kehadiran atom Fe kurva energi hasil
pemindaian energi variasi jarak antaratom molekul O2

pada keadaan terisolasi,

memberikan kecenderungan kurva seperti pada Gambar 2.


Berdasarkan kurva energi Gambar 3(a), 3(b) dan 3(c) kedua lembah terlihat
semakin dekat seiring dengan bergeraknya molekul O2 mendekati atom Fe. Peristiwa
ini dapat dianalisis dengan mengamati pergeseran kesetimbangan pada setiap
ketinggian yang meghasilkan lintasan proses disosiasi molekul O 2, sebagai keterkaitan
peran serta atom Fe. Lintasan merah untuk atom O1 (atom oksigen pertama) dan lintasan
biru untuk atom O2 (atom oksigen kedua). Lintasan proses disosiasi molekul Fe-O2
diilustrasikan pada Gambar 4 berikut.

24

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Gambar 4 Lintasan Proses Disosiasi Fe-O2


Kurva

lintasan

proses

disosiasi

molekul

O2

Gambar

telah

memberikan gambaran bahwa, gerak molekul O2 yang semakin mendekati permukaan


(diwakili oleh atom Fe) menyebabkan kesetimbangan sistem bergeser dan jarak
antaratom makin panjang. Kemulusan lintasan proses disosiasi molekul O2
Gambar 4 terganggu di ketinggian h

= 1,5

. Gangguan

pada

kemulusan lintasan

dikarenakan jarak antaratom O hampir mencapai jarak antaratom untuk terdisosiasi.


Secara detailnya proses disosiasi molekul O2 pada permukaan dijelaskan oleh kurva
energi fungsi ketinggian pada R0 yang dihasilkan dari perhitungan titik tunggal pada
bagian 4.
Perbandingan pemindaian energi Fe-O2 dengan pemindaian energi Zn-O2
Komparasi hasil pemindaian energi Fe-O2 dengan hasil pemindaian energi ZnO2 bertujuan untuk mengkaji lebih lanjut peran atom Fe. Analisis komparasi juga terkait
untuk mempelajari struktur elektronik molekul O2 sehingga, memilih atom Fe yang
memiliki orbital d terisi setengah penuh dan atom Zn yang memiliki orbital d terisi
penuh. Perbedaan konfigurasi elektron atom Fe dan Zn juga memberikan pemahaman
sifat kemagnetan yang kontradiksi. Atom Fe bersifat feromagnetik sedangkan atom Zn
bersifat diamagnetik. Pemindaian energi dengan variasi jarak antaratom dimulai dari
ketinggian
2,5 hingga mencapai 0,5 secara rinci di tabulasikan pada Tabel 3.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

25

Tabel 3 Hasil pemindaian energi Zn-O2

26

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

27

Kurva energi didapatkan dari Tabel 3, berikut kurva energi yang diperoleh dari
hasil pemindaian energi terhadap variasi jarak antaratom.

28

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Gambar 5 Hasil Pemindaian energi Zn-O2.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

29

Seperti halnya kurva energi pada Gambar 5 (a) sampai Gambar 5 (c) yang
memiliki dua lembah. Lembah pertama terbentuk karena adanya medan potensial atom
O1 (atom oksigen pertama) yang dirasakan atom O2 (atom oksigen kedua) sampai terjadi
kesetimbangan gaya pada R0 (titik setimbang). Selanjutnya energi akan naik seiring
bertambahnya nilai R dan pada satu titik energi akan relatif konstan, dilanjutkan dengan
penurun energi pada titik tertentu. Penurunan energi ini dapat diidentifikasi dengan
munculnya lembah ke dua pada jarak R. Terbentuknya dua lembah ini tentu karena ada
peran atom Zn yang menyebabkan molekul O2 memiliki dua keadaan stabil akan tetapi,
energi potensial kembali meningkat melebihi energi total sistem seiring bertambahnya R.
Mekanisme proses disosiasi molekul O2 pada sistem Zn-O2 menghasilkan
kurva lintasan disosiasi yang hampir sama dengan lintasan disosiasi sistem Fe-O2.
Perbedaan kurva terlihat mencolok pada h= 1,5 yang memiliki jarak antaratom lebih
panjang dibandingkan

sistem

Fe-O2.

Lintasan

proses

disosiasi

molekul

O2

diilustrasikan sebagai berikut.

Gambar 6 Lintasan Proses Disosiasi Zn-O2


Kurva

lintasan

proses

disosiasi

molekul

O2

Gambar

telah

memberikan gambaran bahwa, gerak molekul O2 yang semakin mendekati permukaan


(diwakili oleh atom Zn) juga menyebabkan kesetimbangan sistem bergeser dan jarak
antaratom makin panjang.
Kemulusan lintasan proses disosiasi molekul O2 pada Gambar 6 terganggu di
ketinggian h = 1,5 . Gangguan kemulusan lintasan ini dikarenakan jarak antaratom O
hampir mencapai jarak antaratom untuk terdisosiasi. Secara detailnya proses disosiasi
molekul O2 pada permukaan dijelaskan oleh kurva energi fungsi ketinggian pada R0.

30

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Perhitungan energi titik tunggal Fe-O2


Hasil kalkulasi energi titik tunggal didapatkan 4 besaran fisis yang penting.
Empat besaran tersebut adalah energi total elektronik, jarak antaratom, distribusi muatan
dan momen dipole yang ditabulasikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil perhitungan energi titik tunggal Fe-O2

Pada Tabel 4, E adalah energi total elektronik dalam satuan eV. q adalah muatan
listrik dalam satuan atomik (a.u) yang setara dengan

Coulomb dan
C

adalah besar momen dipol listrik dalam satuan debye yang setara dengan 3,34 X
m.
Energi total elektronik Fe-O2

Energi total elektronik dari Fe-O2 adalah penjumlahan dari semua orbital
atomik. Tidak semua energi total elektronik dapat diamati dalam eksperimen karena
alasan

teknis.

Namun,

informasi

energi

total

elektronik

ini

penting

untuk

mendeskripsikan energi disosiasi (pemutusan ikatan rangkap).


Energi total elektronik untuk setiap R0 pada Gambar 3(a) sampai Gambar 3(e)
diplot terhadap ketinggian dan ditampilkan pada Gambar 7. Gambar 7 menjelaskan peran
atom Fe yang telah mengganggu geometri molekul O2.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

31

Gambar 7 Energi total elektronik setiap ketinggian molekul O2 terhadap atom Fe pada
titik setimbang molekul O2 (R0).
Kurva energi Gambar 7 menjelaskan perubahan energi molekul O 2

yang

mendekati atom Fe. Pada h = 2,5 energi total elektronik sistem paling tinggi. Energi
total sistem mengalami penurunan pada h = 2 . Energi total sistem kembali naik pada h
= 1,5 namun energi turun lagi pada h = 1. Kehadiran atom Fe telah mempengaruhi
energi total elektronik molekul O2.
Pada penelitian ini, atom Fe memiliki peran untuk memisahkan ikatan molekul
O2 sehingga molekul O2 harus bergerak mendekati atom Fe

untuk terdisosiasi.

Berdasarkan Gambar 7 diketahui energi total elektronik sistem berbeda untuk setiap
ketinggian. Dalam perspektif mekanika kuantum Gambar 7 menunjukkan dinamika gerak
partikel terjebak dalam sumur potensial satu dimensi yang tidak bergantung waktu.
Kenaikan energi potensial yang melebihi energi total sistem pada h

= 1,5

kemudian kembali menuju tak hingga. Keadaan di mana partikel mampu menembus
potensial yang cenderung menahan partikel dapat disebut scattering state (keadaan
terhambur) (Griffith,
1995). Keadaan terhambur ini yang menjelaskan kurva energi Gambar 3(d) hanya
memiliki satu lembah dan Gambar 3(e) tidak memiliki lembah serta membuktikan bahwa
pada h = 1 dan h = 0,5 molekul O2 telah terdisosiasi.
Posisi h = 1,5 adalah penghalang yang harus dilewati molekul O 2 untuk dapat
terdisosiasi menjadi dua atom O. Selisih energi pada h = 1,5 dengan h = 2 sekaligus
menjadi energi disosiasi molekul O2

pada sistem Fe-O2 yang besarnya 0,30 eV.

Molekul O2 terdisosiasi setelah melewati h = 1,5 sampai mendekati permukaan pada


ketinggian h = 0,5 . Jika molekul O2 gagal melewati h = 1,5 , molekul O2 akan
tertolak menjauhi permukaan dan terperangkap di dalam lembah energi pada ketinggian h
= 2 .

32

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Besarnya energi disosiasi molekul O2

pada keadaan terisolasi secara

eksperimen telah diteliti sebesar 5,15 eV (D. R. Lide, 2005). Sedangkan secara komputasi
menggunakan metode DFT, energi disosiasi diperoleh sebesar 9,07 eV (Fatimatuzzahroh,
2013). Energi disosiasi molekul O2

setelah kehadiran atom Fe sebesar 0,30 eV

dengan demikian, kehadiran atom Fe telah memperkecil energi disosiasi molekul O 2.


Distribusi muatan dan momen dipol Fe-O2
Distribusi muatan adalah salah satu besaran fisis yang dapat langsung diukur
melalui eksperimen. Distribusi muatan secara matematis sebanding dengan probabilitas
keberadaan elektron dalam dimensi ruang yang dapat dituliskan sebagai

Metode DFT dapat menghitung distribusi muatan molekul, baik total


maupun setiap orbital molekuler. Distribusi muatan listrik pada masing-masing atom
Fe dengan dua atom O diberikan oleh Tabel 4. Dua atom oksigen memiliki sebaran
muatan negatif sedangkan atom Fe bermuatan positif. Pada keadaan terisolasi molekul
O 2 memberikan sebaran muatan nol. Jadi peran atom Fe pada sistem Fe-O2 telah
menjadikan molekul O2 bermuatan negatif.
Distribusi muatan sebuah molekul memiliki kaitan erat dengan spektrum vibrasi
molekul tersebut. Spektrum vibrasi berasal dari vibrasi atom-atom penyusun molekul
tersebut. Jika atom-atom tersebut mengalami perubahan posisi, maka momen dipol listrik
molekul tersebut juga mengalami perubahan karena momen dipol listrik adalah fungsi
dari vektor posisi (r) dan distribusi muatan ( (r))

Molekul O2

pada awalnya bersifat netral. Setelah kehadiran atom Fe,

elektron- elektron pada ketiga atom bergerak sedemikian rupa mencari kesetimbangan
muatan baru yang mengakibatkan dua atom oksigen lebih negatif dari atom Fe sehingga
sistem memiliki momen dipol listrik. Arah momen dipol listrik secara umum dari muatan
negatif menuju

muatan

positif,

arah

momen

dipol

sekaligus

memberikan

gambaran gerak molekul O2 yang menuju permukaan yang diwakili oleh atom Fe.
Besarnya momen dipol Fe-O2 untuk setiap ketinggian ditabulasikan pada Tabel 4.
Kehadiran atom Fe telah membuat molekul O2 memiliki dipol listrik.
Orbital molekuler Fe-O2.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

33

Susunan MO Fe-O2
Susunan MO Fe-O2

hasil pemindaian energi terhadap

variasi jarak

antaratom secara rinci ditabulasikan pada Tabel 5 berikut.


Tabel 5 Susunan MO Fe-O2

Susunan MO Fe-O2 pada Tabel 5 jika dibandingkan dengan susunan MO


hasil pemindaian energi dengan variasi jarak antaratom molekul O 2 sama persis pada
keadaan terisolasi.
susunan

Pada

MO .

hasil eksperimen

keadaan

terisolasi

molekul

O2

memiliki

HOMO sistem Fe-O2 sesuai dengan HOMO


yaitu pada

Diagram tingkat energi Fe-O2


Mekanisme terjadinya disosiasi juga diamati berdasarkan perubahan orbital
molekuler untuk setiap ketinggin. Molekul dikatakan terdisosiasi apabila orbital
molekuler telah menjadi orbital atom. Berdasarkan hasil susunan MO pada Tabel 5 maka
diperoleh kurva orbital molekul Fe-O2 sebagai berikut.

34

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

(a)

(b)
Gambar 8 : Diagram tingkat energi MO Fe-O2 dari hasil pemindaian energi pada nilai
R0 = 0,6

, R0 = 1,1 dan R0 = 1,7

. (a) Pemindaian energi molekul untuk AO 2s

dan 2p, (b) pemindaian energi molekul untuk AO 1s.


Gambar 8 (a) menunjukkan bahwa orbital ikatan dan orbital anti-ikatan pada
orbital 2p bertemu pada R0 = 1,4

. Sedangkan pada gambar 8 (b) orbital ikatan

dan orbital anti-ikatan pada orbital 1s bertemu pada R0 = 0,6


bahwa pada R0 = 1,4

. Dapat disimpulkan

MO telah berubah menjadi AO yaitu 1s 2s 2p. Dengan

demikian berdasarkan perubahan susunan MO terhadap variasi jarak, molekul O2


berpisah menjadi dua atom oksigen pada ketinggian 1

. Hasil pemindaian energi

dengan variasi jarak antaratom pada sistem Fe-O2 juga, mendukung analisis hasil
pemindaian energi yang menunjukkan setelah h = 1,5 atom oksigen kedua tidak lagi
merasakan pengaruh potensial dari atom oksigen pertama.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

35

Bentuk MO Fe-O2
Gambar 9 adalah visualisasi tujuh MO teratas yg terisi (HOMO) dari sistem FeO2 di h=2.5 pada jarak antaratom 0,6 hasil perhitungan energi titik tunggal dengan
metode DFT. Gambar-gambar tersebut diambil pada isosvalue yang sama, yaitu 0.02.
Isovalue artinya pada permukaan itu semua titik memiliki kuadrat fungsi gelombang yang
sama (seperti permukaan ekuipotensial). Dalam orbital molekuler Isovalue berarti nilai
fungsi gelombang. Pada koordinat sferis, fungsi gelombang merupakan perkalian antara
fungsi radial dan fungsi anguler. Nilai Isovalue terkait dengan fungsi radial.

Gambar 9 Visualisasi tujuh MO pada HOMO sistem Fe-O2 di h=2.5.


Gambar 9 diperoleh berdasarkan hasil pembacaan keluaran perhitungan energi
titik tunggal pada lampiran D. Pada lampiran D tertera koefisien bobot orbital yang
menunjukkan kontribusi orbital dalam pembentukan MO pada tujuh HOMO sistem FeO2 di h = 2,5. Nilai koefisien bobot bernilai positif yang diwakili oleh warna hijau dan
negatif yang diwakili warna merah. Pada bagian 2.2.1 telah dijelaskan bahwa interaksi
tarik menarik menarik antara dua AO terjadi jika nilai koefisien bobot pada fase yang
sama. Orbital molekuler (MO) nomor 24 memiliki koefisien bobot terbesar pada AO 3d
yang dimiliki atom Fe sebesar +0,32. MO-22 dapat dikatakan
koefisien bobot 2px (O1) dan 2px (O2) masing-masing

karena

+0,49 dan -0,49 (berbeda

fase). MO-23 pada pembacaan keluaran didapatkan pada orbital 2pz, hal ini tidak sesuai
dengan HOMO molekul O2 hasil eksperimen yang terletak pada
4.7(b) dapat dilihat bahwa

MO-22

pada

berinteraksi

. Pada Gambar
dengan

MO-23

sepanjang sumbu-z yang menghubungkan dua atom O dengan demikian, MO-23 dapat
dikatakan

36

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Interaksi MO-23 (HOMO molekul O2 ) dengan MO-24 (HOMO atom Fe)


secara jelas diilustrasikan pada Gambar 9(b). Pada Gambar 9(b) dapat diamati

MO-23

berinteraksi tolak-menolak dengan MO-24 atom Fe pada orbital atomik d dibidang


yz (AO d_yz), dengan demikian MO-23 disebut orbital tidak berikatan hasil interaksi
MO-24 dengan MO-23. Pada Gambar 4.7(d) MO-23 dengan MO-21 (orbital molekuler
atom Fe ) terlihat berinteraksi tarik-menarik dengan AO d_yz atom Fe. MO-21 dapat
disebut orbital ikatan hasil interaksi

(molekul O2) dengan orbital atom d_yz atom

Fe. Gambar 10 berikut menggambarkan secara jelas interaksi antara MO-23 dengan MO21.

Gambar 10 Interaksi MO-23 dengan MO-21.


Gambar 10 menunjukkan bahwa sebagian elektron valensi pada atom Fe telah
mengisi HOMO molekul O2 (

). Hasil interaksi MO-24 dengan MO-23 dan

interaksi MO-21 dengan MO-23 dapat diilustrasikan pada Gambar 11 berikut.

Gambar 11 Interaksi MO-23 dengan MO-21 dan interaksi MO-23 dengan


MO-24.
Gambar 9(e) dan Gambar 9(f) secara berurutan merupakan ilustrasi dari interaksi
tolak menolak antara MO-23 (HOMO O2) dengan MO-20 (orbital atomik Fe) dan MO19 (orbital atomik Fe), menghasilkan orbital tidak berikatan. Gambar 9(g)
mengilustrasikan adanya interaksi tarik menarik antara MO-23 dengan MO-18 (orbital
atomik Fe) menghasilkan orbital ikatan yang disebut MO-18. Gambar 9(d) dan Gambar
9(f) telah memberikan gambaran terjadinya optimisasi geometri antara atom Fe dengan

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

37

molekul O 2 yang menyebabkan molekul O2 memiliki dua keadaan stabil. Dua keadaan
stabil molekul O2 seperti yang diilustrasikan gambar 2(a) sampai 2(c).
Analisis LCAO Sistem Fe-O2
Gambar 10 menunjukan keberadaan atom Fe telah mengisi HOMO molekul
O2

sehingga, analisis LCAO diamati pada HOMO moleku O2 dimana atom Fe

tidak lagi memberikan kontribusi elektron pada HOMO molekul O2. Kombinasi linear
molekul O2 direpresentasikan dengan simbol

yang tersusun dari MO-23 dan MO-

22, secara rinci ditabulasikan pada tabel 6 berikut.


Tabel 6 Analisis LCAO HOMO molekul O2 pada setiap ketinggian

Tabel 6 menunjukkan bahwa pada h = 2,5 sampai h = 1,5 kontribusi


koefisien bobot HOMO molekul O2 terdiri dari dua orbital atomik. Pada ketinggian h =
1 hanya terdiri dari satu orbital atomik. Berdasarkan analisis LCAO, dapat disimpulkan
bahwa orbital molekuler O2 telah bertransformasi menjadi orbital atomik pada ketinggian
1.
Struktur elektronik Fe-O2
Struktur elektronik sebuah molekul ditentukan oleh HOMO sistem . HOMO
merupakan orbital molekular tertinggi yang ditempati oleh elektron valensi. Selain
HOMO, terdapat juga LUMO (the lowest unoccupied molecular orbital), yakni orbital
molekuler terendah yang tidak terisi elektron. HOMO molekul O2 setelah kehadiran
atom Fe ditabulasikan senagai berikut
Tabel 7 Transformasi HOMO Fe-O2

38

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Berdasarkan tabel 7 menunjukkan, HOMO Fe-O2 pada h = 2,5 sampai h =


1,5 berada di sedangkan pada h=1, HOMO Fe-O2 berada di Transformasi HOMO
Fe-O2

secara konsisten telah mendukung hasil analisis LCAO bahwa

orbital

molekuler O2 telah bertransformasi menjadi orbital atomik pada ketinggian 1. Peranan


atom Fe dalam mekanisme disosiasi adalah sebagai katalis. Peranan atom Fe sebagai
katalis dibuktikan dari HOMO Fe-O2 yang sama persis dengan HOMO molekul O2,
yakni

. Berdasarkan tabel 7 diperoleh plot transformasi HOMO Fe-O2 sebagai

berikut.

Gambar 12 Transformasi HOMO molekul O2.


Gambar 12 menunjukkan energi HOMO semakin tinggi ketika molekul O2
semakin mendekati atom Fe. Semakin molekul O2 mendekati atom Fe maka akan
semakin panjang juga ikatan antaratom O dan energi total elektroniknya makin besar.
Dapat disimpulkan, energi HOMO molekul lebih kecil daripada energi HOMO orbital
atomik.
Perhitungan frekuensi vibrasi Fe-O2
Pada tahap perhitungan frekuensi vibrasi bertujuan menganalisa frekuensi vibrasi
molekul O2 akibat perturbasi geometri atom Fe. Pada pembacaan keluaran hasil

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

39

perhitungan Gaussian 03 pada lampiran E diperoleh 3 mode vibrasi Fe-O2. Pada keadaan
terisolasi molekul O2 hanya memiliki satu mode vibrasi. Vibrasi molekul O 2 akibat
peran atom Fe dapat dipilih melalui kontribusi gerak dominan yang dilakukan molekul
O 2. Hasil kalkulasi frekuensi vibrasi secara rinci ditabulasikan sebagai berikut.
Tabel 8 Frekuensi vibrasi Fe-O2

Berdasarkan Tabel 8 dapat diamati bahwa semakin molekul O2 bergerak


mendekati atom Fe maka frekuensi vibrasi semakin menurun. Pelemahan frekuensi
vibrasi di ketinggian 2 sebesar 7,65%. Pelemahan frekuensi vibrasi secara signifikan
terjadi di ketinggian 1,5 yakni sebesar 29,43%. Frekuensi

vibrasi

secara

umum

berbanding lurus dengan konstanta gaya. Konstanta gaya dalam ikatan antaratom
menyatakan kuat lemahnya interaksi antaratom.
Konstanta gaya juga berkaitan dengan probabilitas ditemukannya elektron
dan orde ikatan antaratom.

Orde ikatan antaratom yang tinggi akan memiliki nilai

konstanta gaya yang makin tinggi (ditunjukkan pada Tabel 1). Penurunan besarnya
konstanta gaya secara signifikan terjadi pada ketinggian 1,5 , hal ini berkaitan dengan
semakin melemahnya ikatan antaratom O sebelum terdisosiasi.
Perhitungan energi titik tunggal Zn-O2
Perhitungan

energi titik

tunggal pada

sistem Zn-O2 bertujuan untuk

dibandingkan dengan sistem Fe-O2. Komparasi bertujuan mendapatkan peranan atom


Fe yang tidak dimiliki logam transisi lainnya pada proses disosiasi molekul O2. Secara
rinci hasil perhitungan energi titik tunggal ditabulasikan pada tabel 9.
Tabel 9 Hasil perhitungan energi titik tunggal Zn-O2

40

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Pada tabel 9 E adalah energi total elektronik dalam satuan eV. q adalah muatan
listrik dalam satuan atomik (a.u) yang setara dengan

Coulomb dan
C

adalah besar momen dipol listrik dalam satuan debye yang setara dengan 3,34 X
m.
Perbandingan energi total elektronik Fe-O2 dengan energi total elektronik Zn-O2
Secara detailnya proses disosiasi molekul O 2

pada permukaan dijelaskan

oleh kurva energi fungsi ketinggian pada R0 dapat dilustrasikan sebagai berikut.

Gambar 13 Energi total elektronik setiap ketinggian molekul O2 terhadap atom Zn pada
titik setimbang molekul O2 (R0).
Kurva energi potensial yang dibentuk dari mekanisme disosiasi permukaan
seperti Gambar 7 begitu juga kurva energi Gambar 13 telah menerangkan kedaan
terhambur dan membuktikan bahwa pada Gambar 5(d) dan Gambar 5(e) h = 1 dan h
= 0,5 molekul O2 telah terdisosiasi. Perbedaan kurva energi Gambar 7 dengan Gambar
13 hanya pada tingginya penghalang pada ketinggian 1,5 yang harus dilewati molekul
O2 agar terdisosiasi.
Posisi h = 1.5 adalah penghalang yang harus dilewati molekul O2 untuk dapat
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

41

terdisosiasi menjadi dua atom O. Selisih energi pada h = 1,5 dengan h = 2 sekaligus
menjadi energi disosiasi molekul O2 pada sistem Zn-O2 yang besarnya 1,42 eV.
Dengan kata lain, setelah melewati h = 1,5 molekul O2 dapat terdisosiasi dan
setiap atom O mendekati permukaan sampai pada ketinggian h = 0,5 . Jika atom O2
gagal melewati h = 1,5 , O2 akan tertolak menjauhi permukaan dan terperangkap di
dalam lembah energi pada ketinggian h = 2 .
Besarnya

energi

disosiasi

molekul

O2

setelah

kehadiran

atom

Fe

diperoleh sebesar 0,30 eV. Energi disosiasi molekul O2 setelah kehadiran atom Zn
hampir 5 kali lebih besar dibandingkan dengan energi disosiasi pada permukaan (yang
diwakili atom Fe). Perbedaan energi disosiasi molekul O2

sekaligus menjelaskan

perbedaan besarnya penghalang pada kurva energi Gambar 13 dengan Gambar 7 yang
harus dilewati molekul O2

sebelum terdisosiasi. Perbedaan energi disosiasi yang

signifikan ini dapat dijelaskan melalui perbedaan orbital d pada Fe dan Zn. Orbital d
pada Zn terisi penuh hal ini menyebabkan Zn bersifat kurang reaktif dibandingkan atom
Fe yang memiliki orbital d terisi setengah penuh sehingga atom Fe ini bersifat reaktif
dan mudah berinteraksi dengan molekul O2.
Energi disosiasi molelekul O2 pada keadaan terisolasi secara komputasi
menggunakan metode DFT, diperoleh sebesar 9,07 eV. Energi disosiasi molekul O 2
pada keadaan terisolasi hampir 6 kali lebih besar dibandingkan dengan energi disosiasi
setelah adanya atom Zn. Sedangkan Energi disosiasi molekul O 2

pada keadaan

terisolasi hampir 30 kali lebih besar dari energi disosiasi setelah adanya atom Fe.
Dengan demikian, kehadiran atom Fe dan atom Zn telah memperkecil energi disosiasi
molekul O 2 namun lebih mudah untuk memutus ikatan rangkap molekul O 2 pada
permukaan yang diwakili oleh atom Fe.

KESIMPULAN
1. Proses disosiasi molekul O2 melalui perturbasi geometri dapat dimodelkan
menggunakan metode DFT sebagai perturbasi geometri yang dialami oleh molekul
Fe-O2.
2. Pemindaian energi terhadap variasi jarak antaratom menunjukkan transformasi
orbital dari MO menjadi AO. Hasil pindaian energi, analisis LCAO dan transformasi
MO Fe-O2

42

menjadi orbital atom dengan metode DFT menunjukkan bahwa

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

molekul O2 terdisosiasi pada ketinggian 1 . Pada ketinggian 1

jarak antaratom

O mencapai 2,8 . Energi disosiasi molekul O2 setelah kehadiran atom Fe sebesar


0,30 eV.
3. Transformasi energi HOMO Fe-O2 menunjukkan HOMO yang sama dengan
molekul O2 yakni

sehingga peranan atom Fe dalam proses disosiasi

molekul O2 adalah sebagai katalis.


4. Frekuensi vibrasi semakin menurun ketika molekul O2

mendekati atom

Fe.Konstanta gaya semakin kecil ketika frekuensi vibrasi menurun.

SARAN
Pada penelitian ini, perhitungan pemindaian energi Fe-O2

dimulai dari

ketinggian 2,5 sampai 0,5 karena mengalami kesulitan dalam konvergensi.


Pemindaian energi Fe-O2 sebaiknya dilakukan sampai ketinggian 5 untuk memperoleh
posisi O 2 tepat akan merasakan interaksi dengan atom Fe sehingga memperoleh tahap
inisiasi proses disosiasi. Diharapkan, pada penelitian selanjutnya dapat meningkatkan
resolusi pemindaian energi Fe-O2.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Alfianto, Enggar., 2011, Perhitungan Numerik Energi Total Keadaan
Dasar Untuk Molekul Sederhana Dengan Density Functional Theory
(Skripsi), Departemen Fisika, Universitas Airlangga.
[2] Demtroder, Wolfgang., 2003, Molecular Physics : Wiley-VCH, Jerman.
[3] Demtroder, Wolfgang., 2010, Atoms, Molecules, and Photons : Springer, Jerman
[4] Fatimatuzzahroh., 2013, Investigasi Variasi Jarak Antaratom Terhadap Susunan
Orbital Molekul Oksigen Dengan Metode Ab Initio (Skripsi), Departemen Fisika,
Universitas Airlangga.
[5] Feresman.B.J., 1996,

Exploring chemistry with electronic structure methods :

Gaussian.inc. USA.
[6] Griffith, D.J., 1995, Introduction to Quantum Mechanics : Pearson
Prentice Hall, New York.
[7] Haken, Hermann, Wolf, H.C., 1994, Molecular Physics and Elements of
Quantum Chemistry : Springer, USA.
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

43

[8] Feresman.B.J., 1996,

Exploring chemistry with electronic structure methods :

Gaussian.inc. USA.
[9] House, James.E., 2008, Inorganic Chemistry : Elsevier, USA
[10] J .W. GADZUK

and S. HOLLOWAY,1985, On the dissociation of diatomic

molecules at metal surfaces, Vol.3, journal of chemical physics letters


[11] Lide, D.R, Handbook of Chemistry and Physics, ed. (CRC Press, Boca
Raton, FL, 2005) 86th ed.
[12] Prabowo, Eko, Wahyu, Aji., 2010, Studi Energi Adsorbsi O2 dan OH Pada
Paduan Pd-Cu Sebagai Katalis Fuel Cell Hidrogen dengan Metode Ab Initio
(Skripsi), Departemen Fisika, Universitas Airlangga.
[13] Parr, Robert G. 1989. Density-Functional Theory of Atoms and Molecules.
New York: Oxford University Press, Inc.
[14] Sitorus, Marham., 2009, Spektroskopi Elusidasi Struktur Molekul
Organik, Graha Ilmu, Yogyakarta.
[15] Steckel, Janice A and Sholl, David S., 2009, Density Functional Theory. John
Willey and Sons.
[16] Wilkinson, Frank., 1980, Chemical kinetics and reaction mechanisms,
230-131, Van Nostrand Reinhold, Australia

44

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Pemanfaatan Pengukuran Redaman Serat Optik Menggunakan


OTDR Untuk Mendeteksi Kadar Glukosa Dalam Air
Intan Pamudiarti, Samian, Pujiyanto
Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga Surabaya

Abstrak
Metode pengukuran redaman serat optik singlemode menggunakan OTDR
(Optical Time Domain Reflectometer) mampu dikembangkan untuk mendeteksi kadar
glukosa dalam air. Mekanisme kerja sistem deteksi konsentrasi larutan glukosa
dilakukan melalui pengukuran nilai redaman serat optik menggunakan OTDR. Prinsip
deteksi kadar glukosa didasarkan pada pemantulan Fresnell di bidang batas antara core
ujung serat optik dengan larutan glukosa. Penelitian ini dilakukan dengan mengkopling
sumber cahaya dari OTDR dengan salah satu ujung serat optik singlemode, sedangkan
ujung serat optik lainnya disentuhkan dengan larutan glukosa. Variasi konsentrasi larutan
glukosa yang digunakan pada penelitian ini sebesar 0%, 5%, 10%, 15%, 20%,25%, 30%,
35%, 40%, 45% dan 50%. Hasil penelitian memperlihatkan perubahan nilai redaman
serat optik ketika kadar glukosa dalam air berubah. Hal ini menunjukkan metode
pengukuran redaman serat optik singlemode menggunakan OTDR dapat digunakan untuk
mendeteksi perubahan kadar glukosa dalam air yang terletak pada ujung serat optik.
Sistem deteksi kadar glukosa melalui pengukuran redaman serat optik menghasilkan
jangkauan deteksi sebesar 0% - 50%, perubahan konsentrasi terkecil sebesar 5%,
rentang daerah liniernya 0% - 50% dan sensitivitas sebesar 0.045

Kata Kunci : Pemantulan Fresnell, OTDR, serat optik singlemode

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

45

Pendahuluan
Glukosa (gula monosakarida) merupakan karbohidrat terpenting sebagai
sumber tenaga bagi tubuh. Deteksi kadar glukosa dapat dilakukan menggunakan metode
spektrofotometri serat optik dengan sumber cahaya tampak (Prihatiningrum,2011),
metode berbasis Fiber Coupler ( Fina Nurul A,2012) yang menggunakan sensor
pergeseran, metode pengukuran sensor pergeseran menggunakan fiber bundel (Yasin,
dkk, 2010).
Serat optik (fiber optic) adalah pemandu gelombang cahaya (light wave guide)
dari bahan transparan. Serat optik terdiri dari dua bagian utama, yaitu teras (core) dan
selubung (cladding). Serat optik mempunyai redaman yaitu berkurangnya sinyal cahaya
karena adanya hamburan dan pembiasan di dalam serat optik. Redaman dapat diukur
menggunakan OTDR (Optical Time Domain Reflectometry). Mekanisme pengukuran
daya optis keluaran di bagian ujung serat optik oleh OTDR dilakukan dengan mengukur
daya optis cahaya balik akibat pantulan Fresnel yang terjadi pada bidang batas ujung
serat optis dengan udara. Besaran redaman sebuah serat optis dinyatakan satuan dB/km
(km satuan merupakan panjang serat optik).
Dalam makalah ini akan dikemukakan pendeteksian konsentrasi larutan glukosa
melalui pengukuran redaman serat optik menggunakan OTDR.
Mekanisme Kerja Sensor

Gambar 1.1. Set-Up Alat Penelitian


OTDR merupakan suatu peralatan optoelektronik yang digunakan untuk
mengukur

parameter-parameter

seperti

pelemahan/redaman(attenuation),

panjang,

kehilangan pencerai dan penyambung, dalam sistem telekomunikasiserat optik. Pada


penggunaan OTDR untuk mengukur redaman serat optik, digunakan prinsip pemantulan
Fresnell. Pemantulan Fresnel berlaku apabila cahaya memasuki medium-medium bahan
yang mempunyai indeks bias yang berbeda, fenomena ini dapat diperhatikan pada
tampilan grafik ujung serat optik.

46

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Besar proporsi cahaya yang menembus bidang perbatasan dan besar cahaya yang
terpantul kembali dapat ditentukan oleh besarnya perubahan indeks bias di bidang
perbatasan, dan ditentukan menggunakan persamaan:

Karena sinar datang tegak lurus, maka persamaan Reflektivitas dapat ditulis
sebagai berikut:

Untuk penghitungan loss atau redaman dinyatakan :

Pada set-up alat penelitian, seperti yang diperlihatkan pada gambar 3.2 salah satu
ujung cahaya dan OTDR dikoplingkan ke serat optik sedangkan ujung yang lainnya di
masukkan ke larutan glukosa. Serat optik ini akan membantu mentransmisikan cahaya
yang di hasilkan oleh OTDR, yang kemudian akan dilewatkan menuju larutan glukosa.
Di dalam

larutan glukosa serat optik mengalami pemantulan Fresnel, cahaya akan

dipantulkan kembali menuju OTDR. Pada penelitian ini OTDR juga berfungsi sebagai
detektor. Cahaya yang ditangkap kembali oleh OTDR akan berupa nilai perubahan
redaman dari serat optik yang dimasukkan pada larutan glukosa.
Eksperimen
Pada tahap awal dilakukan pembuatan sampel larutan yang akan dideteksi
kadarnya. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan glukosa dengan
konsentrasi 0, 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45 dan 50

gr glukosa yang dilarutkan

ke dalam 100 mL air destilasi dengan menggunakan sistem pengenceran. Persamaan


yang digunakan untuk membuat larutan glukosa adalah sebagai berikut:

Dengan M1 adalah konsentrasi glukosa awal, sedangkan M2 konsentrasi glukosa


yang diinginkan. V1 adalah volume yang ditambahkan untuk pengenceran dan V2
adalah volume total pelarut (air destilasi).Sehingga dihasilkan larutan glukosa dengan
kadar 0%, 5%, 10%, 15%,20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45% dan 50%.
Set up alat penelitian yang digunakan untuk mendeteksi kadar glukosa

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

47

menggunakan OTDR ditunjukkan pada foto di bawah ini :

Gambar 1.2. Foto Set-Up Alat Penelitian


Untuk pengambilan data mendeteksi kadar glukosa menggunakan OTDR, salah
satu ujung serat optik yang menggunakan pathcore di couplingkan ke alat OTDR. Pada
langkah awal, ujung lainnya di biarkan di udara. Untuk selanjutnya ujung serat optik
dimasukkan ke dalam larutan glukosa dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Cahaya
dari serat optik yang ditransmisikan melalui serat optik akan diteruskan ke dalam larutan
glukosa. Karena adanya pemantulan Fresnel, maka cahaya dipantulkan kembali ke
OTDR. Pada OTDR nilai yang dideteksi adalah perubahan redaman (attenuation) larutan
glukosa.

Hasil dan Pembahasan


Hasil

pengukuran

redaman

serat

optik

menggunakan

OTDR

untuk

mendeteksi kadar glukosa 50% yang ditampilkan pada layar OTDR diperlihatkan pada
gambar 4.1

48

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Gambar 1.3. Nilai redaman pada OTDR (Optical Time Domain Reflectometer)
Dari gambar 2, dapat diketahui bahwa jangkauan kadar glukosa dalam air
yang dapat di deteksi melalui nilai redaman serat optik adalah 0%

50%.

Perubahan konsentrasi larutan glukosa yang di deteksi meliputi konsentrasi 0%, 5%,
10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45% dan 50%. Dengan demikian perubahan
konsentrasi glukosa terkecil yang dapat dideteksi (resolusi) pada penelitian ini adalah
5%.

Gambar 1.4. Grafik hubungan Redaman Sebagai Fungsi Dari Konsentrasi Larutan
Glukosa

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

49

Sebagai sistem deteksi, maka pengukuran redaman serat optik menggunakan


OTDR harus memiliki parameter detektor perubahan konsentrasi larutan glukosa
antara

lain

jangkauan detektor, perubahan konsentrasi glukosa terkecil yang dapat

dideteksi (resolusi), memiliki da erah linier dan sensitivitas. Untuk mendapatkan daerah
linier dan mengetahui nilai sensitivitas dari hasil penelitian yang di peroleh, maka
digunakan uji regresi linier terhadap data pada gambar 1.2. Hasil uji regresi linier
ditampilkan pada gambar 1.4.

Gambar 1.5. Grafik Linieritas hubungan Redaman Sebagai Fungsi Dari Konsentrasi
Larutan Glukosa
Nilai sensitivitas merupakan nilai slope pada persamaan (1.4) Dengan demikian
nilai sensitivitas yang dihasilkan nilainya sebesar 0.045

. Parameter

parameter pendeteksian larutan glukosa dalam air melalui pengukuran redaman serat
optik diperlihatkan pada tabel 1.1.

Tabel 1.1. Parameter detektor perubahan konsentrasi larutan glukosa


Parameter Sensor Deteksi
Jangkauan Detektor (%)
Resolusi (%)
Daerah Linier (%)
Sensitivitas (dB/km
)

50

Nilai
0 50
5
0 50
0.045

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Berdasarkan pada data hasil penelitian dan pembahasannya, maka dapat diketahui
bahwa alat OTDR dapat digunakan untuk mendeteksi konsentrasi larutan glukosa dalam
air. Hal tersebut dijelaskan dari adanya perubahan nilai redaman

serat optik yang

dipengaruhi oleh perubahan konsentrasi larutan glukosa dalam air.


Tabel 1.1 memperlihatkan parameter parameter sensor / sistem deteksi
perubahan konsentrasi larutan glukosa, sehingga fungsi OTDR dapat juga digunakan
untuk mendeteksi konsentrasi larutan glukosa dalam air selain untuk mengukur redaman
dan patahan serat optik yang selama ini digunakan di perusahaan Telekomunikasi.
Dengan demikian nilai guna pada OTDR jadi bertambah yaitu dapat dijadikan sebagai
metode baru untuk mendeteksi konsentrasi larutan glukosa dalam air.

Kesimpulan
1. Metode pengukuran redaman serat optik menggunakan OTDR dapat dimanfaatkan
untuk mendeteksi kadar glukosa dalam air menggunakan prinsip pemantulan
Fresnell di bidang batas antara core serat optik dengan larutan glukosa.
2. Pendeteksian kadar glukosa dalam air dengan memanfaatkan pengukuran redaman
serat optik singlemode menggunakan OTDR memiliki resolusi sebesar 5%,
rentangnya 0% - 50% dan nilai sensitivitas pada sensor ini adalah 0.045

Daftar Pustaka
Crisp,

Jhondan

Elliot

Barry,2008,

SeratOptik

:SebuahPengantar,

AlihBahasa:

SoniAstranto,S.Si,PenerbitAirlangga, Jakarta.
Keiser, G., 1991, Optical Fiber Communications, MC Graw Hill, Inc, New York.rd
Krohn, D.A, 2000,Fiber Optic Sensor, Fundamental and Aptication 3, ISA. New York.
Telkom, 2004, Dasaralatukurdanpenyambungan

OPTICAL

ACCESS

NETWORK, PT.Telekomunikasi Indonesia, Tbk, Bandung

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

51

Analisa Perubahan Profil Potensial Otak Akibat Kebisingan Pada


Penderita Hipertensi
Istiqomah (080810493), Ir. Welina Ratnayanti, Drs. Tri Anggoro Prijo

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan profil potensial otak terhadap
kebisingan sehingga dapat mempengaruhi perubahan tekanan darah. Penenlitian ini
merupakan jenis penelitian observasi yang dilakukan dengan memberi perlakuan pada
testi hipertensi dan testi tekanan darah normal. Perlakuan yang diberikan adalah dengan
merekam gelombang otak yang diberi gangguan vareasi taraf intensitas bunyi 100 dB,
110 dB dan 120 dB dengan frekuensi tunggal= 12.000 Hz yang didapat dari sumber
bunyi bising nyamuk. Perekaman dilakukan selama 60 detik untuk tiap-tiap perlakuan
dan pengambilan datanya diambil tiap 2 detik pada hasil Electroencephalogram (EEG).
Analisa yang digunakan adalah dengan uji FFT yang dihasilkan dari rekamam
Electroencephalogram (EEG) melalui program Iworx Labscribe dan Uji t berpasangan
dengan menggunakan program SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan
vareasi taraf intensitas bunyi dan frekuensi 12.000 Hz menghasilkan gelombang otak
tetha (hipertensi) dan alfa (tekanan darah normal) yang menghasilkan hormon serotonim
dan menyebabkan pelebaran pembuluh darah sehingga tekanan darah menurun. Hasil uji
t menunjukkan adanya pengaruhnya pada testi normal pada diastole dan tidak ada
pengaruhnya pada sistole.

Kata kunci : profil potensial otak, kebisingan,hipertensi

52

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

PENDAHULUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan profil potensial otak
terhadap kebisingan sehingga dapat mempengaruhi perubahan hipertensi. Faktor lain
yang mempengarui tekanan darah adalah Aktivitas fisik, aktivitas fisik dan kegiatan
sehari-hari sangat mempengaruhi tekanan darah. Semakin tinggi aktivitas yang dilakukan
tekanan darah semakin meningkat. Emosi perasaan takut, cemas cenderung membuat
tekanan darah meningkat. Umur semakin tua umur seseorang tekanan sistoliknya semakin
tinggi. Biasanya dihubungkan dengan timbulnya arteriosclerosis (Guyton dan Hall, 1997).
Stres keadaan pikiran juga mempengarui takanan darah sewaktu mengalami pengukuran.
Selain faktor-faktor diatas, tekanan darah dipengaruhi oleh lingkungan antara
lain; kebisingan dan tekanan panas (Sumamur dalam Anang, 2009).
Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO (Sani, 2008)

Kategori

Tekanan Darah Sistole

Tekanan Darah

(mmHg)

Diastole(mmHg)

Optimal

< 120

< 80

Normal

< 130

< 85

Normal-Tinggi

130-139

85-89

Tingkat 1 (Hipertensi Ringan)

140-159

90-99

Sub-group: perbatasan

140-149

90-94

Tingkat 2 (Hipertensi Sedang)

160-179

100-109

Tingkat 3 (Hipertensi Berat)

180

110

Hipertensi sistol terisolasi

140

< 90

140-149

<90

(Isolated systolic hypertension)


Sub-group: perbatasan

Tekanan darah dipengaruhi oleh kebisingan yang berhubungan dengan intensitas


intensitas I dari sebuah gelombang adalah daya yang dibawa melalui area yang tegak
lurus tarhadap aliran energi:
=

= 2 2 2 A2

Hubungan ini menunjukkan secara eksplisit bahwa intensitas gelombang


sebanding dengan kuadrat amplitudo gelombang A pada titik manapun dan dengan
kuadrat frekuensi (Giancoli, 2001).

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

53

Jenis tingkat tekanan bunyi (Ackerman, 1988)


Taraf Intensitas (dB)

Contoh keadaan

Ambang pendengaran

20

Ruang yang sangat sunyi

40

Ruang duduk

60

Suara orang berbicara normal

80

Radio berbunyi keras;ruang kuliah

100

Kendaraan bermotor;mesin pabrik

120

Ambang ketidaknyamanan

140

Ambang sakit

160

Kerusakan mekanik selaput telinga

METODE EKSPERIMEN
Alat dan Bahan Penelitian:
Alat penelitian yang digunakan adalah Tensimeter digital, Sound Level Meter,
Sound Sistem, Perangkat keras IWX/214, Komputer dengan perangkat lunak IWORX
Labscribe, sumber bunyi nyamuk, Elektroda, Probe, kabel penghubung dan pengikat
kepala.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah pasta elektrolit yang berfungsi
menghilangkan gelembung-gelembung udara yang terdapat antara permukaan kulit
dengan elektrode pada saat perekaman.
Obyek Penelitian:
Pada penelitian ini digunakan 16 orang testi perempuan dewasa yang terdiri dari
8 orang penderita hipertensi yang berusia 47-57 tahun dan 8 orang normal yang berusia
20-25 tahun. Semuua testi dipilih secara acak, untuk testi penderita hipertensi dipilih
berdasarkan data Puskesmas Mulyorejo atas persetujuan Dinas Kesehatan Kota Surabaya
sedangkan untuk testi dengan tekanan darah normal dipilih berdasarkan hasil tensi.

54

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Skema Penelitian:

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil gelombang otak pada testi Hipertensi adalah dominan pada gelombang otak
tetha kanan dengan perubahan tensi darah sebagai berikut:

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

55

Testi

Tensi darah

Sebelum

Sesudah

Sistole/diastole

Sistole/diastole

137/77

117/71

140/70

168/83

170/76

151/81

155/85

126/68

130/62

136/67

160/95

148/90

182/89

198/106

143/77

128/74

Hasil pada testi Normal adalah dominan pada gelombang otak Alpha kiri dengan
perubahan tensi darah sebagai berikut:

Testi

Tensi darah

Sebelum

Sesudah

Sistole/diastole

Sistole/diastole

110/64

102/67

111/70

100/62

101/77

100/67

100/60

75/55

100/70

80/55

102/68

92/62

120/77

108/68

120/83

118/82

56

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Hasil uji t berpasangan tensi sebelum dan sesudah perlakuan


Testi

Tekanan

keterangan

Darah
Hipertensi

Sistole

0.078 Tidak ada hubungan tekanan darah sebelum dan


sesudah vareasi taraf intensitas bunyi.

Diastole

0.128 Tidak ada hubungan tekanan darah sebelum dan


sesudah vareasi taraf intensitas bunyi.

Hipertensi

Sistole

0.007 Ada hubungan tekanan darah sebelum dan sesudah


vareasi taraf intensitas bunyi.

Diastole

0.002 Ada hubungan tekanan darah sebelum dan sesudah


vareasi taraf intensitas bunyi.

Hasil pengukuran tensi dan perekaman otak akibat kebisingan dengan vareasi
taraf intensitas bunyi 100 dB, 110 dB dan 120 dB dapat dianalisis hubungannya. Dimana
tekanan darah dipengaruhi oleh intensitas, frekuensi dan lamanya pemaparan. Semakin
tinggi frekuensi, intensitas dan lamanya pemaparan akan semakin tinggi tekanan yang
diberikan. Dengan vareasi taraf intensitas pada frekuensi 12.000 Hz akan menghasilkan
profil potensial otak yang tetap dominan pada gelombang otak tetha kanan. Gelombang
otak tetha kanan menghasilkan hormone Melatonin yang dapat memperlebar pembuluh
darah dan akhirnya tekanan darahnya turun. Dan pada testi normal, dominan pada
gelombang alpha kiri yang menghasilkan hormon Serotonim dan Endorphine yang
menyebabkan, pembuluh darah terbuka lebar, detak jantung stabil sehingga dapat
menurunkan tekanan darah. Hal ini juga dipengaruhi oleh kerja saraf parasimpetis pada
korteks ceribi (otak) yang menyalurkan impuls parasimpatis ke jantung sehingga
menyebabkan frekuensi dan curah jantung menurun dan tekanan darahpun menurun.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa hubungan profil potensial otak dan kebisingan dapat mempengaruhi perubahan
tekanan darah. Pada penderita hipertensi pemberian taraf intensitas 100 dB, 110 dB dan
120 dB dengan frekuensi 12.000 Hz menghasilkan profil gelombang otak yang selalu
dominan pada tetha kanan. Dan pada testi normal, dominan pada gelombang alpha kiri
sehingga tekanan darahnya menurun.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

57

DAFTAR PUSTAKA
Ackerman, E,1989, Ilmu Biofisika, Alih bahasa oleh Redjani dan Abdul Basir, Airlangga
University press, Surabaya.
Babba, Jennie, 2007, Hubungan antara Intensitas Kebisingan di Lingkungan Kerja
dengan Tekanan Darah (Penelitian pada Karyawan PT.Semen Sentosa di
Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan), Universitas Diponegoro, Semarang.
Cameron, J.R, 2006, Fisika Tubuh Manusia, Edisi ke-2, Alih Bahasa Brahm U, CV EGC
Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Gabriel, J.F., 1996, Fisika Kedokteran, Fisika Udayana, Bali.
Giancoli, Dauglasc., 2001, Fisika, Edisi ke lima, Airlangga University press, Jakarta.
Gibson, John., 2002, Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat, CV EGC Penerbit
Buku Kedokteran, Jakarta.
Guyton, Arthur C., 1990, Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit (Human
Physiology and Mechanisms of Disease), Alih bahasa oleh Petrus Andrianto,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Guyton & Hall, 1997, Bahan Ajar Fisiologi Kedokteran (Texbook of Medical
Physiology), Diterjemahkan oleh Irawati Setiawan, Edisi 1, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

58

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Potensi Pemaparan Light Emitting Diode (LED) Untuk


Fotoinaktivasi Bakteri Streptococcus Mutans
Nimatut Tamimah1,, Suryani Dyah Astuti1, Moh Yasin 1
1,Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga

*,nimatuttamimah@gmail.com

Abstrak.
Pada penelitian kali ini bertujuan untuk mengetahui potensi pemaparan LED pada
spektrum gelombang tertentu untuk fotoinaktivasi bakteri Streptococcus mutans dengan
cara mengetahui terlebih dahulu panjang gelombang cahaya yang sesuai dengan
spektrum serap fotosensitiser bakteri Streptococcus mutans. Penelitian ini menggunakan
metode total plate counting untuk mengetahui jumlah persentase kematian koloni
bakteri. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pemaparan LED ungu dengan panjang
gelombang 408,6 nm dan energi sebesar 61,2 joule berpotensi untuk fotoinaktivasi
bakteri Streptococcus mutans dengan menghasilkan efek fotoinaktivasi bakteri sebesar
42,11%.

Kata kunci: Fotoinaktivasi, streptococcus mutans, fotosensitiser, Light Emitting


Diode (LED).

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

59

1. Pendahuluan
Rongga mulut merupakan salah satu tempat dalam tubuh yang mengandung
mikroorganisme dengan keanekaragaman paling tinggi dibanding tempat lain.
Mikroorganisme yang paling banyak di rongga mulut yaitu Streptococcus sp yang
berperan terhadap awal terjadinya proses karies gigi (Brotosoetarno, 1997). Selain itu,
koloni bakteri yang ditemukan pada awal pembentukan plak adalah bakteri Streptococcus
mutans yang banyak diyakini para ahli sebagai penyebab utama terjadinya karies pada
gigi (Michalek and Mc Ghee, 1982).
Streptococcus mutans bersifat asidogenik yaitu menghasilkan asam, asidodurik,
mampu tinggal pada lingkungan asam, dan menghasilkan suatu polisakarida yang lengket
disebut dextran. Oleh karena kemampuan ini, Stertococcus mutans bisa menyebabkan
lengket dan mendukung bakteri lain menuju ke email gigi, pertumbuhan bakteri
asidodurik yang lainnya, dan asam melarutkan email gigi (Hamada, 1980).
Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan mulut dan
mencegah karies gigi, salah satunya yang paling efektif adalah penggunaan obat kumur.
Menurut Widodo (1980) obat kumur digunakan karena kemampuannya sangat efektif
menjangkau tempat yang sulit dibersihkan jika dibandingkan dengan sikat gigi dan dapat
mencegah pembentukan plak. Namun efek negative dari obat kumur adalah mengandung
bahan kimia sintetik yang dapat meninggalkan noda hitam pada gigi. Selain itu, limbah
obat kumur yang tidak bisa ditelan langsung dan harus dibuang di selokan dapat merusak
keseimbangan lingkungan. Oleh karena itu dibutuhkan alternatif lain yang lebih aman
untuk menjaga kesehatan mulut dan mencegah karies gigi yang ramah lingkungan dan
tanpa efek samping yang berbahaya.
Secara alamiah bakteri Stertococcus mutans menghasilkan endogen porfirin yaitu
molekul pengabsorpsi cahaya yang bersifat fotosensitiser (peka terhadap cahaya). Setiap
molekul porfirin berkemampuan mengabsorpsi cahaya bersifat spesifik, yaitu bergantung
pada panjang gelombang tertentu.Penyinaran cahaya pada panjang gelombang dan
dosis energi yang tepat dapat menimbulkan fotoinaktivasi pada bakteri (Papageorgiou
et al., 2000). Setiap bakteri
bergantung

memiliki potensi fotoinaktivasi

yang berbeda-beda

pada jenis dan kuantitas dari porfirin yang berperan sebagai molekul

pengabsorpsi cahaya.
Fotoinaktivasi adalah penghambatan aktivitas metabolisme sel karena kerusakan
membran sitoplasmik akibat peroksidasi oleh oksigen reaktif pada lipid dan protein
mengakibatkan lisis sel atau inaktivasi sistem transport membran dan sistem enzim

60

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

transport membran pada bakteri tersebut (Hamblin & Hasan, 2003). Mekanisme
fotoinaktivasi pada bakteri melibatkan proses fotosensitisasi, yaitu proses penyerapan
cahaya oleh porfirin yang selanjutnya mengaktivasi reaksi dalam suatu substrat.
Berbagai peristiwa berlangsung selama proses pemaparan cahaya terhadap
bakteri. Peristiwa tersebut dimulai dengan tahap fotofisika, yakni dimulai dengan absorpsi
foton cahaya oleh molekul porfirin. Penyerapan cahaya ini berlangsung sangat cepat
dengan

waktu

sebesar 10-15

detik. Tahap selanjutnya diikuti proses fotokimia

yang berperan dalam perubahan energi dan struktur elektron akibat eksitasi molekul
setelah peristiwa absorpsi. Selain tahap fotofisika dan fotokimia, terdapat tahapan lain
yaitu fotobiologi (Grossweiner, 2005). Proses fotobiologi melibatkan perubahan sel
organisme akibat interaksi cahaya. Astuti (2010) melaporkan bahwa efek fotobiologi
dalam SEM akibat bakteri S. aureus dengan penyinaran lampu Light-emitting diode
(LED) terjadi kerusakan dinding sel pada bakteri dan kerusakan pompa membran
konsetrat sehingga menimbulkan lisis dalam tubuh bakteri tersebut.
Salah satu sumber cahaya yang memiliki rentang spektrum absorpsi porfirin type
fotosensitiser adalah Light-emitting diode (LED), yaitu suatu semikonduktor kompleks
yang dapat mengkonversi energi listrik menjadi cahaya, memiliki kelebihan antara
lain hanya menghasilkan sejumlah kecil panas dalam cahaya yang ditimbulkan
(Schubert,

2006).

Dari

beberapa penelitian melaporkan bahwa reaksi pada cahaya

LED bergantung pada fotoaktivasi dan aktivitas fotobiomodulasi seluler oleh foton yang
kemudian diubah menjadi energi sel, serta bersifat termal sehingga sangat aman dan tidak
menimbulkan kerusakan pada lapisan dermis (Karu, 2003).

LED merupakan suatu semikonduktor kompleks yang dapat mengkonversi energi listrik
menjadi cahaya. LED merupakan salah satu sumber cahaya yang memiliki rentang
spektrum absorpsi porfirin type fotosensitiser. Selain itu LED memiliki kelebihan
dibanding sumber cahaya lain untuk proses fototerapi karena LED hanya menghasilkan
sejumlah kecil panas dalam cahaya yang ditimbulkan (Schubert, 2006) sehingga tidak
menimbulkan kerusakan pada lapisan dermis (Karu, 2003). LED menghasilkan cahaya
dengan berbagai macam warna dengan panjang gelombang tertentu. Warna cahaya yang
diemisikan oleh LED bergantung pada komposisi dan kondisi dari material
semikonduktor yang digunakan, baik infrared, visible, atau ultraviolet (Schubert,
2006).

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

61

Banyak penelitian tentang fotodinamik yang berhasil menunjukkan bahwa


keberhasilan fotinaktivasi pada bakteri ditentukan oleh kesesuaian panjang gelombang
cahaya dengan skektrum serap porfirin bakteri untuk terjadinya eksitasi molekul porfirin.
Oleh karena itu penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui potensi pemaparan
LED pada spektrum gelombang tertentu untuk fotoinaktivasi bakteri Streptococcus
mutans sebagai upaya alternatif menjaga kesehatan mulut dan pencegahan karies gigi
yang ramah lingkungan dan tanpa efek samping yang berbahaya.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui panjang gelombang (dari
lampu LED ungu = 408.6 nm, biru = 430.05 nm, hijau = 527.5 nm, dan merah =
430.05 nm) yang berpotensi fotoinaktivasi terhadap bakteri

Streptococcus

mutans.

Penelitian tersebut merupakan penelitian eksperimen laboratoris dengan rancangan


acak lengkap (RAL) pola faktorial
pre test-post test control group design dengan cara menyediakan satu kelompok kontrol
selain kelompok perlakuan. Kelompok kontrol yang tidak diberi pemaparan tersebut
bertujuan untuk memastikan bahwa penurunan jumlah
bakteri yang terukur adalah benar-benar hanya disebabkan karena perlakuan yang
diberikan. Hal tersebut dapat dilihat dengan cara membandingkan antara kelompok
kontrol dengan kelompok perlakuan.

Kelompok perlakuan dilakukan dengan faktor

panjang gelombang (dari LED ungu, biru, hijau dan merah) dan daya pemaparan PWM
75% serta lama waktu pemaparan 30 menit. Pada penelitian tahap pertama ini jumlah
perlakuan yang diberikan adalah 4 sehingga replikasi 6 kali sehingga disediakan 6 x 4 =
24 satuan percobaan yang dilaksanakan secara acak.
Prosedur penelitian ini diawali dengan set up alat dan pengkalibrasian alat.
Setelah proses tersebut dilanjutkan dengan suspensi bakteri, pemaparan cahaya terhadap
bakteri, dan proses penghitungan bakteri dengan metode TPC (Total Plate Count)

62

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Gambar 2.1 Diagram alur mekanisme penelitian potensi pemaparan LED untuk
fotoinaktivasi bakteri Streptococcus mutans

3. Hasil dan Pembahasan


Prosentase Penurunan
jumlah koloni bakteri

Pada

penelitian

potensi

pemaparan

LED

untuk

fotoinaktivasi

bakteri

Streptococcus mutans yang menggunakan variasi panjang gelombang dari LED ungu,
biru, hijau, dan merah, dengan daya konstan (PWM 75%) dan waktu konstan (30
menit) ini.(408.6 nm)
ang

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

63

Gambar.3.1 Diagram batang persentase penurunan bakteri Streptococcus mutans terhadap


variasi panjang gelombang.

Pada Gambar 3.1 menyatakan bahwa pemaparan dengan LED ungu (408,6 nm)
menghasilkan penurunan jumlah koloni bakteri yang tumbuh paling tinggi jika
dibandingkan dengan pemaparan menggunakan sumber LED yang lainnya yaitu sebesar
42,11%. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa LED ungu (408,6 nm) berada pada
spektrum serap porfirin bakteri Streptococcus mutans. Hal tersebut disebabkan karena
pemaparan cahaya dengan spektrum panjang gelombang yang sesuai dengan spektrum
serap porfirin dapat menyebabkan fotoinaktivasi sel bakteri (Papageorgiou et al., 2000).
Sumber cahaya LED ungu 408,6 nm sebagai sumber cahaya untuk fotoinaktivasi
bakteri Streptococcus mutans tersebut sesuai dengan penelitian Metcalf (2006) dan
Nisnevitch (2010) yang menunjukkan bahwa sumber cahaya dalam rentang panjang
gelombang 380 nm-520 nm dapat menyebabkan efek fotoinaktivasi pada mikroorganisme
mulut.
Proses fotoinaktivasi bakteri diawali dengan proses fotosensitisasi yakni
penyerapan cahaya oleh porfirin selanjutnya mengaktivasi terjadinya reaksi kimia
yang menghasilkan berbagai spesies oksigen reaktif bergantung pada jenis dan
kuantitas dari porfirin yang berperan sebagai molekul pengabsorpsi cahaya (Nitzan,
2004). Mekanisme fotosensitisasi melibatkan proses fotofisika, fotokimia dan fotobiologi
(Grossweiner, 2005).
Pada proses fotofisika yaitu penyerapan cahaya oleh elektron di dalam molekul
dan mengalami perubahan keadaan energi. Porfirin (molekul yang peka terhadap cahaya)
mampu menyerap foton dari sumber cahaya yang spektrum serapnya sesuai hingga

64

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

tereksitasi dari tingkat vibrasi dasar dalam keadaan singlet (S0) menuju tingkat vibrasi
yang lebih tinggi (S 1, S2, S3, dll). Pada saat proses perubahan tingkat vibrasi tersebut
energi molekul berkurang atau hilang menjadi energi panas (kalor) karena antar reaksinya
dengan molekul-molekul lain.
Pada saat berada di tingkat vibrasi yang tinggi, molekul berada pada keadaan
yang tidak stabil sehingga akan kembali menuju ke tingkat vibrasi dasar. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan dua cara. Yang pertama, yakni dengan melepaskan
tambahan energi yang diterimanya dengan meningkatkan intraksi antar molekul. Yang
kedua, molekul akan memancarkan sebuah foton sehingga molekul tersebut dapat
langsung kembali

menuju

keadaan vibrasi dasar

(S0) yang disebut

internal

conversion atau melewati keadaan triplet terlebih dahulu (T) yang disebut dengan
intersystem crossing.
Dalam mekanisme fotosensitisasi intersystem crossing sangat berperan penting
dalam keberhasilan fotoinaktivasi bakteri karena menghasilkan spesies oksigen reaktif.
Setelah molekul mengalami intersystem crossing, maka terjadilah proses fotokimia. Pada
proses fotokimia menghasilkan molekul oksigen reaktif dari reaksi fotokimia tipe 1 dan
oksigen singlet pada fotokimia tipe 2 yang bersifat racun dan dapat menghancurkan selsel target.
Proses terakhir adalah proses fotobiologi yang melibatkan perubahan sel
organisme akibat interaksi cahaya pada tingkat kompleksitas yang berbeda- beda. Pada
hasil percobaan telah dibandingkan penampang bakteri Streptococcus mutans dari
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengan menggunakan SEM (Gambar 3.2).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa terjadi kerusakan membran sel pada bakteri.
Membran sel sangat penting dalam proses metabolisme bakteri sehingga kerusakannya
dapat menyebabkan lisis dalam tubuh bakteri tersebut.

(a)

(b)

Gambar 3.2 (a) Bentuk bakteri S.mutans kelompok kontrol (b) Bentuk bakteri
S.mutans kelompok perlakuan yang terjadi kerusakan pada membran sel.
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

65

4. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data hasil penelitian, diperoleh bahwa pemaparan Light
Emitting Diode (LED) ungu dengan panjang gelombang 408,6 nm dengan energi sebesar
61,2 joule berpotensi untuk fotoinaktivasi bakteri Streptococcus mutans dengan
menghasilkan efek fotoinaktivasi bakteri sebesar 42,11%.

5. Daftar Pustaka
Ackerman E, Ellis L, Williams L, 1988, Ilmu Biofisika, Airlangga University
Press.
Ashkenzi H., Malik Z., Harth Y., Nitzan Y., 2003, Eradication of Propionibacterium
acnes by its endogenic porphyrin after illumination with high intensity blue
light, FEMS Imunol. Med. Micobiol 35 p. 684-688.
Astuti, Suryani Dyah., 2010. Potensi Light Emitting Diode (LED) Biru Untuk
Fotoinaktivasi Bakteri Staphylococcus Aureus Dengan Porphyrin Endogen.
Pascasarjana Universitas Airlangga
Beiser, Arthur. 1987. Konsep Fisika Modern, edisi keempat. PT Gelora Aksara
Pratama: ITB
Brotosoetarno S., 1997, Peran Serta Mikroorganisme dalam Proses Terjadinya Karies
Gigi dalam Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.Volume 7.Edisi
Khusus KPPIKG IX. Jakarta : FKG Universitas Indonesia.
Fekrazad, Reza, 2011, Evaluation of the effect of photoactivated disinfection with
Radachlorin against Streptococcus mutans (an in vitro study), Photodiagnosis
and Photodynamic Therapy (2011) 8, 249-253.
Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Cet. IV.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro : Semarang.
Grossweiner LI, 2005.The Science of Phototherapy: AnIntroduction, Springer: USA.
Haken, Hermann dan Wolf, Hans Christoph. 1995. Molecular Physics and Elements
of Quantum Chemistry: Introduction to Experiment and Teory. Springer:
German.
Hamada Shigeyuki, 1980, Isolation And Serotyping Of Streptococcus Mutans From
Teeth And Feces Of Children, Journal Of Clinical Microbiology, Vol. 11, No. 4,
pp. 314-318.
Hamblin, M.R., Hasan, T., 2003, Photodynamic therapy: a new antimicrobial approach to

66

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

infectious disease?, Journal of Photochemistry and Photobiology B: Biology,


Science, 3,436-450
Karu, Tiina. 2003. Low Power Laser Therapy CRC Press LLC: New York
Knig K, et. al, 2000, Red light kills bacteria via photodynamic action, Institute of
Anatomi II, Universitas Friedrich Schiller Jena, Jerman. kkoe@mti-n.uni-jena.de
[2000, 46 (7) :1297-1303].
Juzenas P., 2002, Investigation of Endogenous Photosensitizer Protoporphyrin IX in
Hairless Mouse Skin by Means of Fluoresence Spectroscopy, Group of
Photodynamic Therapy Departement of Biophysics, Institute for Cancer Research
The Norwegian Radium Hospital.
Metcalf, D., Robinson, C., Devine, D., Wood, S., 2006, Enhancement of
erythrosinemediated photodynamic therapy of Streptococcus mutans biofilms by
light fractionation, J. Antimicrobial. Chemother. 58 (2006) 190192.
MichalekS M, McGhee J R, 1982, Oral streptococci with emphasis on Streptococcus
mutans.In: McGhee J R et al. (eds) Dental microbiology. Harper and Row,
Philadelphia, pp679-690.
Nisnevitch, M., Nakonechny, F., Nitzan, Y. Bioorg, K., 2010, Photodynamic
antimicrobial

chemotherapy

by

liposome-

encapsulated

water-soluble

photosensitizers, Bioorg. Khim. 6 (2010) 396402.


Nitzan, Y., Gutterman, Z., Malik and Ehrenberg, B., 1992, Inactivation ofgramnegative

bacteria

by

photosensitized

porphyrins, Photochem, Photobiol,

vol 55, pp. 89-96.


Nugraha Ari W, 2008, Streptococcus mutans si Plak Dimana-mana, Fakultas Farmasi
USD, Yogyakarta.
Papageorgiu, P. et al., 1999, Phototherapy with Blue (415nm) and Red (660nm)
Light in The Treatment of Acne Vulgaris, British Journal of Dermatology:
2000.
Paulino, Tony P., 2005, Use of hand held photopolymerizer to photoinactivate
Streptococcus mutans, Archives of Oral Biology (2005) 50, 353359.
Paulo de Tarso Camillo de Carvalho, et. al, 2006, Photodynamic inactivation of in vitro
bacterial cultures from pressure ulcers, Acta Cirrgica Brasileira - Vol 21
(Suplemento 4).
Peck, Edson R., 1963, Gaertner-Peck Spectrometer Manual, Gaertner Scientific
Corporation, Chicago.
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

67

Pelczar, Michael J., Chan E.C.S, 2007, Dasar-dasar Mikrobiologi 1, Penerbit Universitas
Indonesia (UI Press).
Plaetzer K, Krammer B, BerlandaJ, Berr F, dan Kiesslich T.,2008.
Photophysics and Photochemistry of photodynamic therapy : fundamental aspecs.
doi: 10.1007/s10103-008-0539-1.
Rolim Juliana P.M.L. et al., 2011, The antimicrobial activity of photodynamic therapy
against Streptococcus mutans using different photosensitizers, Journal of
Photochemistry and Photobiology B: Biology 106 (2012) 4046.
Schubert E.F., 2006, Light Emitting Diodes, 2nd

ed., Cambridge University

Press, USA.
Wainwright, Mark., 2009, Photosensitisers in Biomedicine. Wiley- Blackwell:UK
Wibowo, Arief, dkk, 2008, Modul SPSS, Departemen Biostatistika & Kependudukan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Uiversitas Airlangga: Surabaya.

68

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Optimalisasi Sifat Mekkanik Paduan Kobalt Sebagai Implan


Tulang Prosthesis Melalui Proses Sintering
Aminatun1, Jan Ady2, Tri Saktiani3
1,2,3 Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga
Email : tri.saktiani@gmail.com

Abstract.
This study aimed to determine the effect of temperature and holding time in
sintering on microstructure and mechanical properties of cobalt alloy as bone implant.
The producing process material was using powder metallurgy method. Mixing is
done by milling at a speed of 350 rpm for 15 minutes. The compositions of cobalt
alloy are Co-30%Cr-5%Mo-0,5%Mn-0,5%Si-0,25%N adapted to the ASTM F75
(American Society for Testing and Materials F75). Variation of sintering temperature
1100C, 1200C and 1300C with a holding time 2 hours, while the variation of holding
time in sintering are 1 hour and 3 hours with a constant temperature of 1300C.
Mechanical properties (hardness) test results, the percentage of shrinkage, XRD and
SEM-EDX showed that increasing the sintering temperature makes the higher value of
the mechanical properties as well as the percentage of shrinkage that occurs, while the
XRD results showed the formation of

- phase at the highest temperature. The

variation of holding time in sintering, the mechanical properties got

the highest value

(304.7 9.0) VHN and phase appears with the best results in the holding time of
sintering at 2 hours. Based on the results obtained, cobalt alloys which has potential as
a bone implant is sintering at temperature 1300C for 2 hours.

Keywords: cobalt alloy, powder metallurgy, sintering

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

69

Abstrak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari suhu sintering dan
waktu penahanan sintering terhadap sifat mikro dan mekanik paduan kobalt sebagai
implan tulang. Proses pembuatan bahan meggunakan metode metalurgi serbuk.
Pencampuran dilakukan dengan milling pada kecepatan 350 rpm selama 15 menit.
Komposisi paduan kobalt Co-30%Cr-5%Mo-0,5%Mn-0,5%Si-0,25%N disesuaikan
dengan ASTM F75 (American Society for Testing and Materials F75). Variasi suhu
sintering 1100C, 1200C, dan 1300C dengan waktu penahanan 2 jam, sedangkan
variasi waktu penahanan sintering 1 jam dan 3 jam dengan suhu konstan 1300C. Hasil
uji sifat mekanik (kekerasan), persentase penyusutan, XRD dan SEM-EDX menunjukkan
bahwa semakin meningkat suhu sintering maka makin tinggi pula nilai sifat mekanik
serta persentase penyusutan yang terjadi, sedangkan hasil XRD menunjukkan
terbentuknya fasa pada suhu tertinggi. Dari variasi waktu sintering, didapatkan nilai
sifat mekanik tertinggi yaitu (304.7 9.0) VHN dan muncul fasa dengan hasil terbaik
pada waktu penahanan sintering 2 jam. Berdasarkan hasil yang diperoleh, paduan kobalt
yang memiliki potensi sebagai bahan implan tulang adalah pada sintering suhu 1300C
dengan penahanan 2 jam.

Kata kunci : paduan kobalt, metalurgi serbuk, sintering

70

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

PENDAHULUAN
Kerusakan yang terjadi pada tulang merupakan masalah kesehatan yang serius
karena tulang adalah salah satu organ tubuh yang sangat penting bagi manusia.
Dalam anatomi tubuh manusia, penghubung antara dua tulang yang bisa ditekuk terdapat
tulang yang berbentuk bola atau setengah bola, seperti sendi, siku penghubung tulang
lengan bawah dan atas, penghubung tulang lengan atas dengan tulang belikat, siku
penghubung tulang kaki bagian atas dan bawah. Kerusakan pada tulang bentuk bola ini
sulit untuk disembuhkan, kecuali disubstitusi oleh tulang buatan (Yuswono & Andika,
2010).
Material yang digunakan sebagai implan tulang harus memenuhi beberapa
karakteristik yaitu bahan tersebut harus aman, tidak beracun, ringan, tahan korosi dan
bersifat poros (Priyotomo,

2005). Selain itu harus bersifat biokompatibel yaitu tidak

ditolak tubuh, tidak menimbulkan alergi dan dapat menyatu dengan jaringan, seperti
jaringan

tulang

(Yuswono,

2005).

Pada

prinsipnya,

material

logam

dapat

dimanfaatkan sebagai material implan tulang karena mempunyai sifat kekuatan,


ketangguhan dan kekerasan

sebagai

biomaterial.

Pada

saat

material

logam

diimplankan ke dalam tubuh tidak patah dan tetap kaku, tidak seperti material keramik
dan plastik (Prasetyo,

2010). Ada dua

jenis paduan logam yang bisa digunakan

sebagai perangkat prosthesis (implan yang sifatnya permanen), yaitu paduan kobalt (Co
alloy) dan paduan titanium (Ti alloy), artinya bahwa kedua logam paduan buatan tersebut
dapat digunakan di dalam sistem biologi sebagai pengganti jaringan tulang manusia
yang telah rusak. Kedua jenis logam paduan tersebut dapat diterima tubuh sebagai
implan permanen dan bisa bertahan selama pasien masih hidup (Prasetyo, 2010).
Untuk implan tulang bentuk bola umumnya digunakan paduan kobalt sebagai
penggantinya. Pembuatan komponen logam paduan kobalt dapat dilakukan melalui
proses metalurgi serbuk. Pembuatan komponen logam melalui proses metalurgi serbuk
menggunakan serbuk logam sebagai bahan baku kemudian dilanjutkan dengan
pengerjaan kompak dan sinter.
Masalah yang dihadapi adalah belum ada informasi yang jelas berapa suhu dan
waktu yang optimal dalam proses sintering untuk meningkatkan sifat mekanik paduan
kobalt sebagai bahan implan tulang prosthesis. Hal ini bisa dimengerti, karena unsur
pemadu masing - masing logam Cr dan Mo mempunyai titik lebur (1903 oC dan 2610oC)
yang jauh lebih tinggi dari pada Co (1490oC) (Yuswono & Andika, 2010). Jadi ada

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

71

kemungkinan logam pemadunya tidak larut homogen di dalam logam dasarnya karena
suhu berpengaruh terhadap sifat mikro (struktur kristal dan morfologi permukaan)
dan sifat mekanik (kekerasan) bahan.
Telah dilakukan penelitian oleh Kamardan et al. (2010), pembuatan spesimen
paduan kobalt dengan perbandingan komposisi Co dan Cr sebesar 7:3 melalui metode
metalurgi serbuk dengan variasi suhu sintering yaitu 1000 oC, 1100 oC, 1200 oC, 1300
oC, dan 1400 oC dalam waktu 1 jam. Hasil pengamatan uji kekuatan tekan meningkat
dari 91 MPa sampai 95 MPa, dan uji kekerasan Vickers juga meningkat dari 140
sampai 203 VHN. Untuk hasil SEM paduan kobalt yang telah disinter dengan dialiri gas
argon pada suhu sintering 1000 oC, 1200 oC, dan 1400 oC menunjukkan bahwa pada
suhu 1400 oC bahan tersebut retak.
Sedangkan penelitian yang telah dilakukan oleh Yuswono dan Andika
Pramono(2010), pembuatan spesimen paduan kobalt (Co-30%Cr-6%Mo) melalui
pengerjaan sinter dilakukan pada suhu 1250oC selama 2 jam. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa setelah pengerjaan sinter, masing-masing serbuk logam Cr dan Mo
larut padat homogen di dalam Co melalui proses difusi. Sedangkan dari hasil pengamatan
struktur mikro setelah etsa ditunjukkan adanya bintik-bintik fasa yang terbentuk.
Pemanasan pada suhu 1250 oC menyebabkan adanya tranformasi fasa (kisi kristal
heksagonal) ke fasa (kisi kristal kubik). Secara termodinamika fasa berstruktur kristal
lebih stabil pada suhu kamar sehingga umumnya paduan kobalt menahan gerak
perubahan struktur FCC pada suhu kamar. Namun demikian pembentukan fasa (rapuh)
sangat mungkin terjadi karena fasa dengan kisi kristal tetragonal masih tetap
terbentuk pada suhu tinggi hingga 1283 oC. Sehingga sangat penting untuk menghindari
pembentukan fasa (rapuh) dan menjaga matriks dalam struktur kristal FCC.
Peningkatan struktur kristal FCC dapat dilakukan dengan perlakuan panas dan tempa.
Terbentuknya fasa bergantung pada komposisi masing masing unsur
penyusunnya, suhu serta waktu proses sintering. Suhu dan waktu proses sintering
akan mempengaruhi porositas paduan yang terbentuk yang pada akhirnya mempengaruhi
sifat mekanik paduan. Pada suhu dan waktu yang tepat akan dihasilkan paduan dengan
struktur kristal sesuai harapan dengan sifat sifat mekanik yang lebih baik seiring
dengan struktur kristal yang terbentuk.
Berdasarkan uraian di atas, maka kajian terhadap pengaruh suhu dan waktu

72

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

sintering perlu dilakukan untuk menetapkan suhu dan waktu optimal yang dapat
menghasilkan paduan kobalt yang optimal pula berdasarkan sifat mikro (struktur kristal
dan morfologi permukaan) dan sifat mekanik (kekerasan) yang dihasilkan.

METODE PENELITIAN
Bahan penelitian :
Serbuk kobalt, serbuk kromium, serbuk molibdenum, serbuk silikon, serbuk
mangan, nitrogen (dalam bentuk serbuk Cr 2N) dan Aluminium foil.
Prosedur penelitian
Persiapan
Tahap persiapan yang harus dilakukan sebelum melaksanakan penelitian adalah
menyiapkan serbuk kobalt, serbuk kromium, serbuk molibdenum, serbuk silikon, serbuk
mangan, nitrogen (dalam bentuk serbuk Cr 2N) sebagai bahan dasar.
Pembuatan sampel
Pembuatan sampel diawali dengan menimbang dan memadukan komposisi
Co- 30%Cr-5%Mo-0,5%Mn-0,5%Si-0,25%N dengan massa total sampel 2 gram.
Selanjutnya masing masing serbuk logam yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam
wadah botol, kemudian diletakkan ke dalam vial, vial diputar dengan menggunakan
High Energy Milling. Kecepatan rotasi yang digunakan adalah 350 rpm selama 15 menit.
Kemudian campuran serbuk logam dikompaksi dengan mesin hidrolik tekanan
21 MPa pada suhu 200C dengan waktu penahanan 10 menit. Ukuran diameter
sampel adalah 15,5 mm. Perolehan hasil kompaksi disinter dengan variasi suhu sintering
1100C, 1200C, dan 1300C dengan waktu penahanan 2 jam, sedangkan variasi waktu
penahanan sintering 1 jam dan 3 jam dengan suhu sintering 1300C. Seluruh sampel yang
telah disinter diamplas secara berurutan dari yang kasar sampai yang halus memakai
kertas amplas dengan nomor 200 sampai 1200 mesh.
Penelitian
untuk mendapatkan

ini

menggunakan
karakteristik

uji

paduan

XRD,
kobalt

SEM,
yang

dan

uji

kekerasan

terbaik.

Diagram

penelitian ini ditunjukkan pada gambar dibawah ini.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

73

Gambar 1. Skema proses sintering

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis hasil XRD (X-Ray Diffraction)
Sifat mikro paduan kobalt dapat diamati dengan dilakukannya uji XRD untuk
mengetahui fasa yang terbentuk dari masing-masing sampel. Berikut ditunjukkan hasil uji
XRD dari 5 sampel paduan kobalt.

Gambar 2. Hasil XRD paduan kobalt sampel A (1100C/2jam)

74

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Gambar 3. Hasil XRD paduan kobalt sampel B (1200C/2jam)

Gambar 4. Hasil XRD paduan kobalt sampel C (1300C/2jam)

Gambar 5. Hasil XRD paduan kobalt sampel D (1300C/1jam)


Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

75

Gambar 6. Hasil XRD paduan kobalt sampel E (1300C/3jam)


Gambar di atas memperlihatkan bahwa pada paduan kobalt yang telah melalui
semua perlakuan yaitu milling, pressing (kompaksi) dan sintering diperoleh hasil bahwa
dari sampel dengan pemanasan 1100C dan 1200C belum terbentuk fasa FCC ().
Hal ini sesuai dengan diagram terner Co-Cr-Mo dimana dengan adanya unsur Mo dalam
paduan menyebabkan transformasi fasa HCP () ke fase berlangsung pada suhu lebih
tinggi

jika

dibandingkan

dengan

diagram

biner

(Co-Cr)

yaitu

pada

suhu

1300C (Yuswono dan Andika, 2010). Namun pada sampel yang disinter pada suhu
1300C selama 2 jam muncul tiga fasa yaitu fasa , , dan fase (rapuh). Munculnya
fasa ini diduga karena tidak terjadinya transformasi yang sempurna dari HCP ke FCC.
Namun pada suhu sintering 1300C selama 1 jam menunjukkan adanya fase dan fasa
yang artinya bahwa fasa bertransformasi sempurna menjadi fasa . Sedangkan pada
suhu sintering 1300C selama 3 jam tidak muncul fasa . Hal ini diduga karena lama
waktu sintering 3 jam menyebabkan struktur kristal mengalami deformasi.
Analisis identifikasi fasa dilakukan dengan syarat selisih (2) dari pola XRD
terukur dengan data JCPDS kurang dari nilai FWHM. Persentase fraksi fasa dari hasil
XRD masing masing sampel dinyatakan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Fraksi Fasa Paduan Kobalt
Fraksi Fasa (%)
Sampel
A
B
C
D
E

76

34.9
29.4
-

51.5
71.7
4.9
16.4

48.5
28.3
60.2
70.6
83.6

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Dominannya fase (rapuh) ini bisa terjadi karena adanya proses yang kurang
sempurna saat kompaksi dan sintering. Pada saat kompaksi, proses pressing yang
dilakukan belum sempurna dimana besarnya tekanan yang digunakan yaitu sebesar 21
MPa masih menimbulkan ruang kosong yang kemudian terisi udara saat proses kompaksi.
Adanya ruang kosong ini sangat berpengaruh pada proses terbentuknya oksida,
dimana pada saat perlakuan selanjutnya yaitu proses sintering, udara yang terjebak pada
sampel akan keluar dan bereaksi dengan unsur pemadu paduan kobalt yang kemudian
menimbulkan oksida (Fauriya, 2010). Hal ini juga mungkin terjadi karena
proses sintering yang tidak vakum sehingga udara yang keluar dari sampel paduan kobalt
masih terjebak dalam furnace dan ikut bereaksi.
Analisis hasil SEM
Morfologi permukaan sampel diamati dengan menggunakan SEM dengan
perbesaran 5.000x dimana pada SEM dilengkapi dengan EDX (Electron Dispersive
X- ray) dan dapat mendeteksi unsur-unsur yang terkandung dalam sampel. Pengamatan
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi suhu dan waktu sintering terhadap profil
permukaan sampel. Gambar 4.4 menunjukkan gambar masing masing sampel yang
dilengkapi dengan grafik serta tabel hasil analisis EDX dengan variasi suhu
1100oC, 1200oC, dan 1300oC selama 2 jam, serta variasi waktu 1 jam dan 3 jam pada
suhu 1300oC.

(a)

(b)

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

77

(c)

(d)

(e)

Gambar 7. Morfologi permukaan sampel dari SEM (a) Sampel A, (b) Sampel B, (c)
Sampel C, (d) Sampel D, dan (e) Sampel E
Tabel 2. Hasil Analisis EDX
Elemen

Sampel
A

NK

OK

Si K

Mo L

Cr K

Mn K

Co K

Wt%

1.42

0.85

1.15

0.74

1.19

At%

4.93

2.98

4.09

2.62

4.12

Wt%

5.37

5.41

5.02

5.64

6.09

At%

16.4

16.64

15.69

17.59

18.38

Wt%

0.96

2.7

1.26

2.91

1.62

At%

1.68

4.74

2.24

5.17

2.78

Wt%

4.39

5.88

7.94

12.46

6.73

At%

2.2

4.1

6.5

3.39

Wt%

17.32

12.99

17.96

15.61

20.08

At%

16.27

12.3

17.27

15

18.64

Wt%

0.95

0.66

0.58

0.46

0.83

At%

0.84

0.59

0.53

0.42

0.73

Wt%

69.58

71.5

66.1

62.18

63.45

At%

57.7

59.7

56.1

52.7

51.96

Dari hasil pengamatan SEM-EDX pada semua sampel diperoleh bahwa


sampel yang dihasilkan ini semuanya memiliki pori-pori atau rongga karena munculnya
pori-pori dalam metode metalurgi serbuk ini hampir tidak bisa dihindari meskipun setelah
proses sintering (Dutta et al., 2012). Selain itu, dapat dilihat juga bahwa pada Sampel A
dan Sampel B terdapat gumpalan yang tidak menyatu dengan sekitarnya. Sedangkan
Sampel C, D, dan E hanya muncul rongga atau pori-pori yang tersebar saja, sehingga
dapat dikatakan bahwa ikatan antar partikel pada paduan kobalt hasil metalurgi

78

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

serbuk ini masih kurang sempurna sehingga distribusi butirnya tidak merata dan tidak
homogen, ini dapat dilihat dari hasil analisis EDX pada Tabel 2. Ketidakhomogenan ini
dapat disebabkan karena pada waktu proses milling waktu yang digunakan kurang lama,
sehingga unsur penyusun paduan belum tercampur dengan baik. Selain itu, hal ini
juga muncul sebagai akibat terbentuknya lapisan oksida seperti yang ditunjukkan dari
hasil analisis EDX dan hal ini sangat sulit dihindari karena proses sintering
dilakukan di furnace yang tidak benar-benar dalam kondisi vakum.
Analisis hasil kekerasan Vickers
Pengukuran tingkat kekerasan dari paduan kobalt ini dilakukan untuk mengetahui
ketahanan sampel terhadap deformasi tekan atau penetrasi yang bersifat tetap. Pengujian
dilakukan dengan menggunakan metode Vickers menggunakan alat Micro Vickers
Hardness Test dengan beban sebesar 1000 gf (1 kgf).
Tabel 3. Hasil uji kekerasan
Nama

Suhu (oC)

Sampel

Waktu

Kekerasan

(Jam)

(VHN)

1100

169.7 2.9

1200

205.1 5.7

1300

304.7 9.0

1300

250.8 29.1

1300

248.0 33.9

Pengujian dilakukan pada 3 titik yang berbeda, sehingga akan diperoleh


nilai rata-rata kekerasannya. Pada Tabel 3 ditunjukkan data hasil pengukuran nilai
kekerasan Vickers.

Gambar 8. Grafik Hubungan Antara Kekerasan Terhadap Suhu Sintering

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

79

Gambar 9. Grafik Hubungan Antara Kekerasan Terhadap Waktu Sintering


Dari hasil uji kekerasan yang telah dilakukan pada sampel dengan variasi
suhu sintering diperoleh nilai kekerasan terendah pada sampel dengan suhu 1100oC
dengan nilai (169.7 2.9) VHN dan nilai kekerasan terbesar pada sampel dengan suhu
1300oC dengan nilai (304.7 9.0)VHN. Hasil pengukuran ini menunjukkan nilai
kekerasan yang cenderung meningkat seiring dengan peningkatan suhu sintering.
Sedangkan untuk hasil pengukuran dengan variasi waktu menunjukkan bahwa pada
waktu sintering 3 jam dihasilkan nilai kekerasan yang lebih rendah yaitu (248.0 33.9)
VHN jika dibandingkan dengan waktu sintering 1 jam dan 2 jam. Hal ini diduga
karena lama waktu sintering 3 jam menyebabkan ikatan antar partikel itu akan semakin
rapuh. Ditunjukkan dari hasil analisis fraksi fasa pada Tabel 4.1 bahwa Sampel D
(1300oC 3 jam) yang menunjukkan persentase fraksi fasa terbesar yaitu 83.6%.
Dalam uji kekerasan suatu sampel yang paling berpengaruh selain bagian
permukaannya adalah kehomogenan unsur pembentuk sampel itu sendiri. Ketika
permukaan suatu sampel mengalami penekanan dengan mengambil 3 titik yang berbeda
dihasilkan nilai kekerasan yang menunjukkan perbedaan signifikan, hal itu menunjukkan
bahwa sampel tersebut tidak homogen. Sehingga hasil kekerasan sampel tersebut kurang
akurat dikarenakan 3 titik penekanan pada sampel ini belum mewakili seluruh permukaan
sampel.
Hasil uji kekerasan yang diperoleh didukung dengan hasil uji XRD dan uji SEM,
dimana pada karakterisasi XRD menunjukkan semakin besar persentase fraksi fasa
maka kekerasan semakin menurun. Namun dengan adanya fasa yang stabil maka
kekerasannya meningkat, hal ini bisa dilihat dari hasil kekerasan Sampel C (1300 oC - 2

80

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

jam) dimana pada sampel ini terbentuk fasa (58.3%), fasa (5.1%) dan fasa (36.6%).
Sedangkan hasil SEM pada Sampel A dan B menunjukkan morfologi permukaannya
mengalami

agglomerasi

(penggumpalan),

nilai

kekerasannya

lebih

kecil

jika

dibandingkan dengan Sampel C (304.79.0) VHN yang permukaannya tidak terbentuk


agglomerasi. Diduga pada saat dilakukan uji kekerasan, indentor intan itu mengenai
titik yang sebenarnya adalah agglomerasi unsur tertentu yang tidak homogen
dengan matriksnya, sehingga nilai kekerasannya kecil.
Dari hasil yang diperoleh ini menunjukkan bahwa hanya pada suhu dan waktu
sintering yang tepatlah yang bisa digunakan sebagai aplikasi implan tulang. Sesuai
dengan standar ASTM F75 kekerasan paduan kobalt untuk aplikasi implan tulang
mempunyai range 25 35 HRC (Arcam, 2007) atau dalam vickers rangenya 265 <
VHN < 350, sehingga dari hasil karakterisasi di atas, yang memenuhi standar
ASTM F75 sebagai implan tulang adalah pada suhu 1300oC selama 2 jam.

KESIMPULAN
Hasil uji sifat mekanik dan sifat mikro menunjukkan bahwa semakin meningkat
suhu sintering maka makin tinggi pula nilai sifat mekanik yang terjadi, sedangkan hasil
XRD menunjukkan terbentuknya fasa pada suhu tertinggi yaitu pada suhu 1300 oC.
Sedangkan dari variasi waktu sintering, didapatkan nilai sifat mekanik tertinggi dan
muncul fasa dengan hasil terbaik pada waktu penahanan sintering 2 jam. Waktu
sintering 3 jam menyebabkan sifat mikro dan sifat mekanik yang kurang baik
pada sampel paduan kobalt. Sehingga dari penelitian ini menunjukkan bahwa suhu dan
waktu optimal yang menghasilkan paduan kobalt terbaik adalah suhu 1300 oC selama 2
jam.

SARAN
Pada proses sintesis paduan kobalt dapat menggunakan berat sampel yang lebih
besar untuk menghindari kesulitan saat karakterisasi. Setelah proses grinding dapat
dilakukan proses etsa permukaan sampel untuk mendapatkan profil morfologi permukaan
yang lebih jelas. Dan perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait uji biokompatibilitas
tingkat ketahanan korosi sampel paduan kobalt dan uji toksit.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

81

UCAPAN TERIMA KASIH


Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih sedalam-dalamnya
kepada Ir. Aminatun, M.Si sebagai pembimbing I dan Jan Ady, S.Si., M.Si sebagai
pembimbing II atas masukan dan bimbingannya serta teman teman Fisika
angkatan
2009 dan semua pihak yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Arcam AB. 2007. ASTM F75 CoCr Alloy. EBM Material Information,
Kroksltts Fabriker 27A, SE 431 37 Mlndal, Sweden.
[2] Dutta, Goutam dan Dr. Dipankar Bose. 2012. Effect of Sintering Temperature
on Density,

Porosity

and

Hardness

of

Powder

Metallurgy

Component. International Journal of Emerging Technology and Advanced


Engineering, ISSN 2250-2459, Volume 2, Issue 8, August 2012.
[3] Fauriya, Ita. 2010. Pengaruh Proses Sintering Terhadap Karakteristik Komposit CoCr-HAP. Surabaya: Skripsi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Airlangga.
[4] Kamardan, M.Ghazali, N. Hidayah A. Zaidi, M. Noh Dalimin, A. Mujahid A.
Zaidi, S.

Bahrin

Jamaludin

dan

M.

Mahadi

A.

Jamil.

2010.

The

Sintering Temperature Effect on Shrinkage Behavior of Cobalt Chromium Alloy.


American Journal of Applied Sciences 7 (11): 1443-1448, ISSN: 1546-9239.
[5] Kusumawati, Wheni. 2010. Pengaruh Penambahan Konsentrasi Hidroksiapatit
Terhadap Karakteristik Komposit Co-Cr. Surabaya: Skripsi Fakultas Sains dan
Teknologi Unair Surabaya.
[6]

Lee, Sang Hak, Naoyuki Nomura dan Akihiko Chiba. 2008. Significant
Improvement in Mechanical Properties of Biomedical Co-Cr-Mo Alloys with
Combination of N Addition and Cr-Enrichment. Materials Transactions, Vol. 49,
No. 2 (2008) pp. 260 to 264.

[7] Prasetyo, Agung. 2010. Pengaruh Variasi Kandungan Silikon Terhadap Korosi
Paduan Kobalt (ASTM F 75) Hasil Metalurgi Serbuk Dalam Larutan Artificial
Blood Plasma Dengan Teknik Polarisasi Potensiodinamik dan Teknik
Exposure. Depok: Skripsi FT UI.
[8] Sato,

Yoshimi,

Naoyuki Nomura

dan

Akihiko Chiba.

2008.

Effect

of

Nitrogen Content on Microstructure of Hot-Pressed Co-Cr-Mo Alloy Compacts

82

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

for Biomedical Applications. J. Japan Inst. Metals, Vol. 72, No. 11 (2008), pp.
875-880.
[9] Wijayanti, Fitria. 2010. Variasi Komposisi Cobalt Chromium pada Komposit Co-CrHAP sebagai Bahan Implan. Surabaya: Skripsi Fakultas Sains dan Teknologi
Unair Surabaya.
[10] Wiranata, Hezti. 2012. Sintesis Paduan CoCrMo dengan Variasi Kandungan
Nitrogen. Bogor: Skripsi FIS IPB.
[11] Yuswono. 2005. Pembuatan Logam Paduan Biocompatibel (Co-30%Cr5%Mo) Melalui Pengerjaan Tempa. Seminar Material Metalurgi, ISBN: 9-79368847-5.
[12] Yuswono, dan Andika Pramono. 2010. Pembuatan Paduan Logam Co-30%Cr6%Mo Melalui Pengerjaan Kompak dan Sinter dan Pengaruhnya Terhadap
Kandungan Si. M.I. Mat. Kons. Vol. 10 No. 2 Desember 2010 : 110 118.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

83

Rancang Bangun Sistem Pengukuran Kadar Hemoglobin Darah


Berbasis Mikrokontroler
Affan Muhammad1, Supadi 2, Tri Anggono Prijo 3
1,2,3

Program Studi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga


Email : affan_muh_15@yahoo.co.id

ABSTRACT
Blood contains several components, one of which is erythrocytes also contain
haemoglobin which affects the red color of the blood. The red color is affected by
haemoglobin while binding oxygen which then is called oxyhemoglobin (HbO2). The
method used in analyzing the blood haemoglobin levels was by using the blood density
parameters. This device can measure human blood hemoglobin levels according to the
light intensity received by the sensor. This study examined a wide range of LEDs that
would be suitable to be used as a light source, such as red, blue, and green LED. The
suitable LED, as a tool for measuring blood haemoglobin levels was the green one. This
device has a high degree of accuracy in the measurement of hemoglobin levels with
defferent 0,4.
Keywords: blood, haemoglobin measurement, LED

ABSTRAK
Darah terdiri dari beberapa komponen diantaranya eritrosit, dan didalam
eritrosit terdapat hemoglobin yang mempengaruhi warna merah p a d a darah. Warna
merah dipengaruhi oleh hemoglobin saat mengikat oksigen yang disebut sebagai
oksihemoglobin (HbO2). Metode yang digunakan menganalisis kadar hemoglobin darah
menggunakan parameter kepekatan warna darah. Alat ini dapat mengukur kadar
hemoglobin darah manusia berdasarkan intensitas cahaya yang diterima oleh sensor.
Penelitian ini menguji berbagai macam LED sebagai sumber cahaya diantaranya LED
merah, biru, dan hijau. LED yang cocok digunakan sebagai alat pengukuran kadar
hemoglobin ialah LED hijau. Alat pengukuran kadar hemoglobin mempunyai selisih nilai
terbesar 0,4.
Kata kunci

84

: darah, pengukuran hemoglobin, LED

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

A. Pendahuluan
Pemeriksaan darah dalam bidang medis adalah salah satu bentuk diagnosa dengan
memeriksa komponen-komponen yang ada dalam darah untuk pendeteksian suatu
penyakit. Salah satu contoh dari pemeriksaan darah ialah pengukuran kadar Hemoglobin
dalam darah.
Pengukuran kadar Hb di laboratorium medis dapat dilakukan dengan mengukur
intensitas warna dari sampel darah yang telah diberi reagen. Pengukuran intensitas warna
tersebut dapat dilakukan dengan metode sahli (metode manual), maupun dengan metode
Syanmethemoglobin (dengan Spektofotometer). Pada metode sahli dilakukan dengan
membandingkan warna standart dengan sampel darah yang telah diencerkan hingga
warna

sama.

Sedangkan pada

Syanmethemoglobin dilakukan dengan metode

spektrofotometer yang ditempatkan pada suatu kuvet.


Kebanyakan laboratorium medis di Indonesia masih menerapkan cara sahli karena
mahalnya harga Spektrofotometer yang tersedia. Metode Sahli diperkirakan memiliki
tingkat kesalahan hingga 10% (Adhisuwignjo, 2010). Penyebab kesalahan utama pada
metode sahli dikarenakan pengukuran kadar Hemoglobin ditentukan oleh kemampuan
individu mengamati perubahan fisik warna sampel dengan warna standar. Hal ini akan
saat memberatkan untuk sampel yang cukup banyak.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis bermaksud untuk menggunakan
metode spektrofotometri sebagai pengukur kepekatan warna darah. Prinsip kerja dari alat
tersebut ialah mengukur intensitas warna pada sampel darah yang diberi reagan yang
dimasukan ke dalam kuvet kemudian dengan sumber cahaya tertentu diarahkan menuju
sempel yang kemudian sampel akan mengabsorpsi sebagian berkas sedangkan sebagian
lagi diteruskan dan ditangkap oleh detektor. Detektor disini berguna sebagai pendeteksi
intensitas cahaya yang mengenainya dan akan mengubah menjadi tegangan.

B.

Dasar Teori
Hemoglobin adalah struktur yang terdiri dari haem dan globin, dimana haem

adalah yang memberi warna merah pada darah dan globin adalah protein darah. Warna
merah hemoglobin berasal dari unsur pembuatnya yaitu zat besi. Pada pengukuran
hemoglobin dengan metode sahli menggunakan reagen sebagai pelarut. Larutan yang
digunakan ialah larutan HCl dimana HCl dapat menghidrolisis hemoglobin menjadi
globin ferroheme. Ferroheme dioksidasi oleh oksigen yang ada di udara dan bereaksi
dengan ion Cl membentuk ferrihemeclorid yang disebut hematin atau hemin yang
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

85

berwarna coklat.

Gambar 1 Pengukuran Hb dengan Sahli


Intensitas warna dapat diukur dengan jumlah cahaya yang melewati sampel darah.
Jumlah cahaya yang diserap oleh larutan sampel berkaitan dengan konsentrasi unsur di
dalam larutan tersebut. Teknik ini dapat digunakan untuk memonitoring perubahan warna
dengan perubahan jumlah cahaya yang diabsobsi.
Intensitas warna sebanding dengan konsentrasi hemoglobin dalam pengukuran
absorban pada panjang gelombang yang paling tepat. Panjang gelombang sumber cahaya
harus tepat dalam penentuan nilai absorban karena bila pengujian dilakukan pada panjang
gelombang yang tidak tepat berakibat tidak validnya data pengujian. Apabila terjadi
perubahan konsentrasi yang besar, nilai absorbannya hanya sedikit berubah. Namun bila
diuji dengan panjang gelombang yang tepat (spektrum serapan maksimum) maka apabila
terjadi perubahan konsentrasi sedikit saja, maka akan terjadi perubahan konsentrasi yang
cukup besar.
C. Prosedur Penelitian
Prosedur proses ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu, persiapan desain diagram
blok alat, perancangan perangkat mekanik, perancangan hardware, dan perangcangan
software. Diagram blok alat dijelaskan pada gambar 2.
Sampel Darah

Lar HCl

Dicampur dalam

0.02 mL

1,5 mL

kuvet

LCD

Mikrokontroler

Op-Amp

Sensor

LED

Gambar 2 Blok Diagram Alat

86

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Tahap pertama ialah pembuatan sampel dimana sampel yang digunakan ialah darah
yang dimasukan ke dalam tabung EDTA sehingga tidak terjadi penggumbalan darah.
Seperti pada gambar 2 yang telah dilingkari merah. Pengambilan sampel di RSIA Nur
Ummi Numbi Surabaya.

Gambar 3 Sampel Darah


Sumber cahaya yang digunakan menggunakan LED ultrabright dengan variasi
LED merah, biru, dan hijau. Masing-masing LED akan diuji absorbsinya dalam
pembacaan larutan sampel yang telah dibuat.Cahaya yang keluar pada LED melewati
sampel darah akan ditangkap oleh sensor Fototransistor dan dikuatkan oleh Amplifier
dengan penguatan sebanyak sebelas kali. Tegangan keluaran dari Amplifier akan diubah
kedalam digital oleh mikrokontroler melalui port ADC. Nilai ADC yang keluar akan
ditampilkan ke LCD sehingga mampu menganalisis dengan mudah.

Gambar 4 Rangkaian Amplifier


Dalam tahap pengujiannya nilai kadar Hemoglobin yang bervariasi akan dilihat
nilai ADC pada masing-masing sampel. Karena sampel yang digunakan terbatas maka
hasil nilai ADC tersebut nantinya akan hitung mengggunakan regresi linier untuk
mendapat nilai Hemoglobin yang lain. Dimana sumbu x sebagai nilai ADC dan sumbu y
sebagai nilai kadar Hemoglobin.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

87

Rumus linieritas tersebut yang dimasukan kedalam mikrokontroler sebagai


pengukuran kadar Hemoglobin darah degan cara pengkonversi nilai ADC ke kadar
Hemoglobin. Untuk menentukan nilai awal nilai kadar Hemoglobin menggunakan alat
hemotology analizer yang telah terkalibrasi dengan baik.

Gambar 5 Alat Hemotology Analizer

D. Hasil Uji Coba dan Pembahasan


Sumber Cahaya merupakan komponen pokok dalam penelitian ini. Pengujian awal
dilakukan untuk mengukur panjang gelombang dengan menggunakan spektrofotometer.
Hasil pengujian panjang gelombang LED biru 501 nm, LED merah 617,83 nm, dan LED
hijau 553,67 nm. Dari hasil pengujian LED hijau dan biru sesuai dengan range ketentuan
warna panjang gelombang. Sedangkan pada LED biru tidak sesuai disebabkan kurang
sempurnanya dalam mengamati garis n-kanan dan n-kiri kisi difraksi.
Uji Absobsi LED dilakukan untuk mengetahui LED yang cocok digunakan sebagai
sumber cahaya. Pengujian menggunakan sensor Fototransistor sebagai pembacaan
tegangan keluaran yang terjadi untuk memperoleh linieritas. Hasil uji pada LED biru
tegangan tidak stabil sedangkan pada LED merah tidak dapat mengabsorbsi dengan baik
karena tegangan output pada sensor tidak berubah saat volume reagen ditambahkan. Hal
ini berbeda dengan LED hijau yang memiliki tegangan stabil bila dibandingkan dengan
LED biru. Saat ditambah volume reagen, LED hijau dapat berubah dan stabil pada 1
menit selanjutnya. Pengujian ini membuktikan bahwa LED hijau saat cocok digunakan
sebagai sumber cahaya.
Penggunaan sensor cahaya diperlukan pengujian linieritas sensor. Sensor
fototransistor yang digunakan ialah sensor fototransistor everlight type PT344-6C

88

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

memiliki linieritas sebesar 0,978 yang artinya mendekati angka 1. Jadi hal ini dapat
dikatakan bahwa sensor dapat digunakan dengan baik.
Tabel 1 Analisis Tegangan Amplifier
Tegangan Sensor

Tegangan Op-Amp

(Volt)

(Volt)

9,8

0,14

1.61

330

10,8

0,15

1.79

342

11,1

0,16

1.81

348

11,9

0,17

1.88

363

13,9

0,18

2.06

402

15,6

0,20

2.20

425

Kadar Hb (g%)

ADC

Begitu pula pada uji amplifier, uji ini dilakukan untuk memperoleh linieritas pada
nilai ADC dimana nilai ADC inilah yang akan dikonversi ke nilai kadar Hemoglobin.
Dimana nilai ADC sebagai sumbu x dan nilai kadar hemoglobin sebagai sumbu y. Uji

Kadar Hemoglobin (g%)

Amplifier ini memiliki linieritas 0,994 yang hampir mendekati nilai 1.


20
15

y = 0.058x - 9.162
R = 0.994

10

Kadar
Hemoglobin

Linear (Kadar
Hemoglobin)

0
300

350

400

450

Konfigurasi ADC

Gambar 6 Grafik Uji Nilai ADC Terhadap Hemoglobin


Persamaan yang digunakan sebgai konversi nilai ADC ke nilai kadar hemoglobin
darah :
HB = (0.0558*ADC) 9.162
Setelah didapat nilai hasil pengukuran dari ADC sebagai data dari alat peneliti
maka nilai tersebut perlu diubah dalam bentuk nilai kadar hemoglobin dengan
menggunakan software mikrokontroler. Software yang telah berhasil dibuat pada
penelitian ini meliputi program penampilan nilai ADC dan program pengkonversi dari
nilai ADC ke nilai kadar Hemoglobin serta ditampilkan pada LCD karakter. Persamaan
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

89

linieritas diatas digunakan sebagai acuan alat pengukuran kadar hemoglobin darah.
Berikut Hasil program pengkonversi nilai ADC ke Kadar hemoglobin.

#include "LiquidCrystal.h" " // inisialisasi LCD

float val ; ; // variabel ADC


float HB; ; // variabel Hemoglobin

LiquidCrystal lcd(12, 11, 5, 4, 3, 2);

// pin LCD yang digunakan

void setup() {
lcd.begin(16, 2); // Pembacaan LCD karakter 16 x 2

void loop() {
val = analogRead(0); //membaca ADC
HB =(0.0558*val) 9.162 ; // rumus konversi linieritas ADC ke kadar Hemoglobin
darah
lcd.setCursor(0, 1); // Peletakan tampilan pada kursor (0,1)
lcd.print(val); // pembacaan ADC ditampilkan kursor (0,1)
delay(200); // 200 milidetik
lcd.setCursor(8, 1); // Peletakan tampilan pada kursor (8,1)
lcd.print(HB); // pembacaan HB ditampilkan kursor (8,1)
delay(200); // 200 milidetik
lcd.print("g%");
}
Program diatas menunjukan saat nilai konfigurasi ADC ditampilkan, maka data
float pada ADC akan langsung mengambil dan dirubah kedalam nilai hemoglobin dengan
persamaan yang telah dimasukan kedalam mikrokontroler. Variabel HB digunakan
sebagai data float dari konversi nilai kadar hemoglobin darah.
Pengujian software perlu dilakukan untuk mengetahui kinerja dari alat telah
dibuat. Tahap ini membandingkan alat yang telah dibuat oleh peneliti dengan alat standart
yang telah terkalibrasi yaitu hematology analyzer (analisis darah) di RSIA Nur Ummi
Numbi. Pengujian dilakukan dengan melakukan uji banding sebanyak satu kali
pengukuran karena keterbatasan sampel yang ada. Hasil yang diperoleh secara lengkap

90

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

dapat dilihat pada tabel 2.


Tabel 2 Hasil Pengujian Alat Secara Keseluruhan

No

Nilai
ADC

Kadar Hemoglobin (g%)


Hematology

Alat

Analizer

Peneliti

Selisih
Nilai

% Eror

384

12

12.29

2.416667

97.58333

411

13.4

13.80

2.985075

97.01493

391

13

13.10

0.769231

99.23077

442

15.2

15.50

1.973684

98.02632

322

8.6

8.79

2.209302

97.7907

426

14.6

14.6

0.273973

99.72603

376

11.8

11.8

100

Selisih nilai terbesar pada ialah pada nilai konfigurasi ADC 441 dimana selisih
hingga 0,40 sedangkan selisih terkecil pada nilai konfigurasi ADC 376 dengan selisih 0.
Permasalahan yang terjadi pada pengukuran kadar hemoglobin darah ialah saat
pembuatan sampel yang masih dilakukan secara manual menggunakan pipet kapiler sahli.
Pengambilan darah yang berlebih dapat menyebabkan nilai dari pengukuran berbeda.
Diharapkan pada penelitian selanjutnya untuk mendapat nilai akurasi dapat dilakukan
kalibrasi pengambilan data sebanyak 100x untuk menunjang keabsahan suatu penelitian.

D. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini
dapat diperoleh kesimpulan bahwa Alat Pengukuran Hemoglobin berbasis mikrokontroler
telah dibuat dan dapat bekerja dengan cukup baik. Alat Pengukuran Kadar Hemoglobin
ini dapat digunakan untuk menggantikan alat pengukuran manual seperti metode sahli.
LED hijau mampu diserap oleh larutan dan sebagian ditransmisikan sehingga mampu
ditangkap oleh detektor fototransistor. Alat pengukuran kadar hemoglobin yang telah
dibuat mempunyai selisih nilai terbesar 0,4.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

91

E. Daftar Pustaka
Achmad, B., dan Kartika, F.,2005, Teknik Pengolahan Citra Digital Menggunakan
Delphi. Ardi Publishing. Yogyakarta
Adhisuwignjo,dkk. 2010. Pemanfaatan Sensor Cahaya Sebagai Alat Pengukur Kadar
Hemoglobin dalam Darah. Pra-proposal karya tulis akhir, Jurusan Teknik elektro,
Politeknik Negeri Malang, Malang
Blocher, Richard. 2004. Dasar Elektronika. Yogyakarta : Andi
Budiarto, Widodo dan Rizal Gamayel. 2007. Belajar Sendiri : 12 Proyek Mikrokontroller
untuk pemula. Jakarta : Eex Media Komputindo
Bull, Brian S. 2000. Reference Procedurs for the Quantitative Determination of
Hemoglobin in Blood; Approved Standard-Trird Edition. USA
Hadi,Sari.T., 2008. Pengembangan Spektrofotometri Serat Optic untuk Mendeteksi Kadar
ion Timbal (Pb) dalam Air. Skripsi Fakultas Sains dan Teknologi UNAIR.
Surabaya
Gandasoebrata R, 1999. Penuntun Laboratorium klinik. Penerbit Duan Rakyat. Jakarta
Pearce, Evelyn. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta
Shinta, Annisa. 2005. Hubungan Antara Kadar Hemoglobin Dengan Prestasi Belajar
Siswi SMP Negeri 25 Semarang. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Negeri Semarang. Semarang
Sihadi, Suryana Putra,. 1995. Beberapa metoda Penetapan Kadar Hemoglobin Darah.
Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta
Soesilo,D,. 2006. Perubahan Warna Akibat Penetrasi Teh Hitam Pada Resin Komposit
Type Hybrid Dan Nanofiller Pasca Pemolesan, Pra-proposal karya tulis akhir,
Fakultas kedokteran Gigi, Universitas Airlangga, Surabaya
Widayanti, Sri. 2008. Analisis Kadar Hemoglobin Pada Anak Buah Kapal PT. Salam
Pacific Indonesia Lines Di Belawan Tahun 2007. Skripsi Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan
Widodo, Rommy Budhi. 2009. Embended System Menggunakan Mikrokontroller Dan
Pemroograman C. Yogyakarta
Zarianis. 2006. Efek Suplementasi Besi-Vitamin C dan Vitamin C Terhadap Kadar
Hemoglobin Anak Sekolah Dasar Yang Anemia Di Kecamatan Sayung Kabupaten
Demak. Tesis Program Magister Gizi Masyarakat Universitas Diponegoro.
Semarang

92

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Potensi Kolagen Kulit Ikan Lele Sangkuriang (Clarias


gariepinusvar) Sebagai Scaffold Kolagen-Hidroksiapatit pada
Bone Tissue Engineering
Ary Andini1) DyahHikmawati2) Sri Sumarsih3)
1)

Mahasiswa Program Studi S1 Teknobiomedik angkatan 2008, Departemen Fisika,

Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga. 2)Staf Pengajar Program Studi
Fisika, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga. 3)Staf
Pengajar Program Studi Kimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Airlangga.
Email: semnasfisika@unair.ac.id

ABSTRAK
Telah dilakukan sintesis scaffold kolagen-hidroksiapatit berbasis kolagen kulit
ikan Lele Sangkuriang untuk aplikasi bone tissue engineering. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui prosentase kolagen dari kulit ikan Lele Sangkuriang (Clarias
gariepinus var) dan karakterisasi scaffold kolagen-hidroksiapatit berbahan dasar kolagen
kulit Ikan Lele Sangkuriang. Proses isolasi kolagen dari kulit ikan Lele Sangkuriang
dilakukan dengan ekstraksi kulit ikan dalam asam asetat 0,5 M selama 24 jam, hasil
isolasi kolagen kemudian dibagi menjadi beberapa konsentrasi kolagen, yaitu 0%, 5%,
15%, 20%, dan 25% terhadap hidroksiapatit. Proses pembuatan scaffold kolagenhidroksiapatit dilakukan dengan mencampurkan larutan kolagen netral dan larutan
hidroksiapatit

secara in situ. Analisis karakterisasi scaffold kolagen-hidroksiapatit

dilakukan dengan menggunakan uji densitas, porositas, kekuatan tekan, FTIR (Fourier
Transform Infrared Spectroscopy), SEM (Scanning Electrone Microscope), dan uji
toksisitas dilakukan dengan Uji MTT. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prosentase
kolagen yang terkandung pada kulit ikan Lele Sangkuriang adalah 25,18%, dan hasil
analisis karakterisasi scaffold kolagen-hidroksiapatit yang didapatkan menunjukkan
bahwa scaffold kolagen 10%-hidroksiapatit memiliki nilai densitas dan kekuatan tekan
tertinggi, yaitu 0,1867 gr/cm3 dan 14,950 KPa. Nilai porositas tertinggi dimiliki oleh 25%
kolagen-HA dengan 70,38%. Berdasarkan hasil spektrum FTIR membuktikan bahwa
scaffold yang dihasilkan tersusun atas kolagen dan hidroksiapatit, hasil SEM
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

93

menunjukkan permukaan scaffold yang berpori, dan hasil Uji MTT mengindikasikan
bahwa scaffold kolagen-hidroksiapatit tidak bersifat toksik. Hal ini menunjukkan bahwa
scaffold kolagen-hidroksiapatit berbahan dasar kolagen kulit ikan Lele Sangkuriang dapat
digunakan sebagai impan bone tissue engineering.

Key Word: Scaffold, Kolagen-Hidroksiapatit, Tissue Engineering, Clarias gariepinus var,


Bone Tissue Engineering

94

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

PENDAHULUAN
Tissue

Engineering

adalah

suatu

interdisipliner

ilmu

biomedis

yang

menggabungkan berbagai ilmu pengetahuan seperti material, teknik, kimia, biologi sel
dan molekuler. Tujuan dari aplikasi Tissue Engineering adalah untuk mengembangkan
biological substitute yang berfungsi untuk menyusun, memelihara, memperbaiki atau
mengembalikan kembali fungsi jaringan yang rusak (Laurencin and Nair, 2008). Scaffold
merupakan salah satu komponen Tissue Engineering yang dapat digunakan pada aplikasi
bone tissue engginering untuk memperbaiki jaringan tulang yang rusak (bone tissue
repair).
Berdasarkan informasi dari Medtech@Insight dalam Laurencin and Nair, 2008,
pada tahun 2003, potensial pasar Amerika Serikat untuk produk TE terutama untuk
aplikasi tulang dan otot mencapai $23.8 Miliar dan diperkirakan pada tahun 2013 akan
mencapai $39.0 Miliar. Jumlah ini akan terus bertambah pada tahun selanjutnya, karena
jumlah penderita kelainan tulang dan otot seperti penyakit dan fraktur tulang meningkat
setiap tahunnya.
Pada pembuatan scaffold diperlukan material yang mirip dengan komposisi tulang
seperti komposit kolagen-hidroksiapatit. Hidroksiapatit digunakan

dalam tissue

engginering karena biokompatibel dan osteokon-duksi Namun, hidroksiapatit juga


memiliki sifat rapuh dan getas. Oleh karena itu, agar hidroksiapatit dapat dijadikan
scaffold bone tissue ediperlukan campuran biomaterial lain seperti kolagen untuk
meningkatkan kualitas scaffold.
Kolagen merupakan suatu protein jaringan ikat yang banyak ditemukan pada
protein mamalia. Sekitar 25%-35% protein tubuh disusun oleh kolagen. Menurut Lee et
al (2001), kolagen sebagai biomaterial banyak digunakan dalam aplikasi medis karena
biokompatibel, biodegradabel dan memiliki dampak antigenisitas yang rendah (Song Eun
et al, 2006).
Sumber kolagen pada mamalia biasanya terdapat pada kulit babi, kulit sapi dan
tulang hewan ternak. Namun, akhir-akhir ini ditemukan bahwa hewan ternak rawan
terinfeksi penyakit TSE (Transmissible Spongioform Encepha-lopaty), BSE (Bovine
Spongioform Encephelophaty) dan FMD (Foot and Mouth Disease). Oleh karena itu,
menurut Nagai et al (2002) diperlukan sumber alternatif kolagen baru yaitu kulit atau
sisik ikan (HaiYing et al, 2006) yang salah satunya adalah kolagen dari kulit ikan Lele
Sangkuriang (Clarias gariepinus var). Kolagen dari kulit atau sisik ikan halal untuk

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

95

dikonsumsi (Shen et al, 2007), dan baik untuk kulit dibandingkan dengan kolagen dari
ternak dan unggas.
Pada penelitian ini, diharapkan hasil scaffold kolagen-hidroksiapatit ini memiliki
kualitas, struktur dan fungsi yang optimal sebagai pengembangan terapi modern berbasis
bone tissue engineering.

METODE
Bahan dan Alat
Kulit ikan Lele Sangkuriang diperoleh dari industri petani tambak di desa Kedung
Banteng, Tanggulangin, Sidoarjo. Kulit ikan Lele Sangkuriang segera dimasukkan ke
dalam peti pendingin setelah dibersihkan dari sisa daging kemudian disimpan di lemari
pendingin dengan suhu -20oC. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah asam asetat,
kristal NaOH, kristal NaCl, aquades, kristal Na 2HPO4.2H2O, H3PO4, NH4OH. Alat-alat
yang digunakan meliputi: peti pendingin, penyaring, corong, peralatan gelas, pengaduk
magnetik, tabung selofan, timbangan analitik, freeze dryer, dan sentrifugator.
Persiapan Sampel
Kulit ikan lele (Clarias gariepinus var), dipotong 2-5 mm tipis pada suhu 0 oC.
Potongan kulit ikan dicuci dengan air dingin (4oC) selama 20 menit. Kulit ikan yang telah
dicuci lalu dicampur dengan 0,1 M NaOH pada suhu 4 oC sebanyak delapan kali, lalu
kulit ikan dicuci dengan aquades (4oC) sampai mencapai pH dasar aquades. Lalu
dikeringkan dengan menggunakan freezer dryer.
Ekstraksi Kolagen
Lemak pada kulit ikan dimasrasi selama 2 hari dengan Heksane (4 oC). Kemudian
dicuci dengan aquades (4 oC). Residu yang terbentuk diekstrak dengan 0,5 M asam asetat
(1 gr kulit per 20 ml dari 0,5 M asam asetat) selama 24 jam, lalu sampel disaring. Larutan
kental yang terbentuk disentrifuse pada 8000 rpm selama 30 menit. Residu dari filtrasi,
dicampur dan diekstrak kembali dalam 0.5 M asam asetat (1 gr dari residu per 20 ml
asam asetat) selama 24 jam dan disentrifuse kembali pada 8000 rpm selama 30 menit.
Supernatan yang terbentuk dicampur dan digaramkan dengan menambahkan NaCl hingga
konsentrasi akhirnya

mencapai 0,9 M.

Endapan kolagen dipisahkan dengan

mensentrifugasi pada 8000 rpm. Supernatan hasil sentrifuse dipresipitasi kembali dengan
NaCl lagi kemudian disentrifuse pada 8000 rpm selama 30 menit setelah terjadi endapan
kolagen. Kolagen basah yang terbentuk, kemudian didialisis dengan akuades selama 4
hari dengan. Kolagen yang terbentuk disimpan pada suhu 4oC.

96

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Pembuatan Scaffold Kolagen-Hidroksiapatit


Larutan kolagen netral 5%, 10%, 15%, 20% dan 25% dibuat dengan melarutkan
kolagen dalam 0,5 M asam asetat, kemudian ditambahkan Na2HPO4. 2H2O 0.02 M yang
pH larutan dikontrol hingga netral dengan menggunakan NaOH. Larutan hidroksiapatit
dibuat dengan melarutkan hidroksiapatit dalam H 3PO4 kemudian ditambahkan NH 4OH
sampai

mencapai

pH

netral.

Proses

pembuatan

scaffold

dilakukan

dengan

mencampurkan larutan kolagen netral dengan larutan hidroksiapatit. Dalam prosesnya,


dilakukan pengadukan selama 1,5 jam, dan diinkubasi pada suhu suhu ruang (21-22 oC)
selama 20 jam kemudian dilakukan pencucian dengan aquades dan sentrifugasi. Teknik
pemisahan fasa padat-cair yang digunakan untuk menghasilkan scaffold dengan pori
yang baik pada komposit kolagen-hidroksiapatit adalah dengan melakukan pendinginan
komposit hingga -20oC selama sehari, kemudian pelarut

dapat dihilangkan dengan

freeze-drying.
Kadar Kolagen
Perhitungan kadar kolagen dihitung dengan menggunakan persamaan berikut.
Kolagen % =

Berat Kolagen Basah


x100%
Berat Kulit Ikan Basah

FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy)


Spektrum FTIR scaffold kolagen-hidroksiapatit didapatkan dengan menggunakan
TensorTM FT-IR spektrometer (Bruker Optics Inc.).
Densitas dan Porositas
Scaffold Kolagen-HA diukur berat keringnya (Wk). Lalu sampel direndam dalam
air kemudian air dikeluarkan. Volume benda diperoleh dari selisih volume akhir (V2)
dikurangi volume awal (V1). Setelah itu, sampel ditimbang untuk mendapatkan nilai berat
basah (Wb). Untuk menghitung densitas (D) dan porositas (P) menggunakan persamaan
=

2 1

dan =


2 1

100%..

Kekuatan Tekan
Uji kekuatan Tekan scaffold kolagen-hidroksiapatit ditentukan diletakkan pada
benda uji pada mesin Erweka TBH 220. Mesin tekan dijalankan dengan penambahan
beban konstan. Pembebanan dilakukan sampai sampel uji menjadi retak atau hancur.
SEM (Scanning Electron Microscopy)
Struktur penampang melintang dari scaffold dapat dilihat dengan mengunakan
Scanning Electron Microscopy, SEM (Inspect S50, FEI Corp., Jepang).

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

97

Uji MTT
Scaffold kolagen-hidroksiapatit disterilisasi dengan menggunakan

sinar UV

selama 24 jam, kemudian dilarutkan dalam 0,5 cc eagel dan bovine serum untuk
pertumbuhan selnya. Larutan sampel kemudian dialirkan pada permukaan sel fibroblast
BHK-21 dan ditunggu selama sehari untuk mengetahui perkembangan sel-nya. Masingmasing sampel diulang dengan delapan kali dan diisi larutan sampel 50m per well-nya.
Pada awal perlakuan warnanya ungu kemudian ditambahkan pereaksi MTT {3-(4,5Dimetil-2-thiazolil)-2,5-diphenil-2H-tetrazolium bromida}, dan untuk pembacaan sel
BHK-21 yang hidup menggunakan Elisa reader .
Akhir dari uji sitotoksisitas melalui uji MTT memberikan informasi % sel yang
mampu bertahan hidup, sedangkan pada organ target memberikan informasi langsung
tentang perubahan yang terjadi pada fungsi sel secara spesifik. Berikut adalah persamaan
yang digunakan untuk menghitung prosentase sel yang hidup.
%Sel Hidup =

Perlakuan + Kontrol Media


x 100%
Kontrol Sel + Kontrol Media

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kolagen
Pada proses isolasi kolagen dilakukan dengan menggunakan kulit ikan Lele
Sangkuriang dengan berat basah 55 gr melalui ekstraksi dalam asam asetat 0,5 M selama
24 jam. Kolagen yang didapatkan dari hasil isolasi adalah 13,85 gr sehingga diperoleh
kadar kolagen yang terkandung dalam kulit ikan Lele Sangkuriang sebesar 25, 18%.
Jumlah prosentase kolagen ini mendekati jumlah prosentase kolagen dari channel catfish
(Ictlaurus punctaus) yaitu 25,8% (Liu et al., 2007). Hal ini menunjukkan bahwa kulit
ikan Lele Sangkuriang dapat digunakan sebagai sumber kolagen.
Scaffold Kolagen-Hidroksiapatit
Pembuatan scaffold kolagen-hidroksiapatit dilakukan secara in situ dengan
mencampurkan kolagen kulit ikan Lele Sangkuriang dengan variasi 5%, 10%, 15%, 20%
dan 25% dengan larutan hidroksiapatit. Scaffold yang dihasilkan tampak seperti pada
gambar berikut ini.

98

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

4000

3500

3000

2500
2000
Wavenumber cm-1

1500

1000

Gambar 2. Hasil FTIR Scaffold Kolagen-Hidroksiapatit

D:\SAMPEL\Teknobiomedik Unair\Kolagen-hidroksiapatit 1.0

Kolagen-hidroksiapatit 1

Pellet

406.19

632.09
574.74
528.24

879.78

1063.93
989.90

1449.61
1401.24

1650.31

2365.42

3168.18

3487.59

20

40

Transmittance [%]
60 80 100

120

140

Gambar 1. Scaffold Kolagen-Hidroksiapatit

500

10/05/2012

FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy)


Page 1/1

Analisis spektrum FTIR scaffold kolagen-hidroksiapatit pada Gambar 2


membuktikan bahwa scaffold kolagen-hidroksiapatit terdiri dari dua komponen utama,
yaitu kolagen dan hidroksiapatit. Hal ini dibuktikan dengan susunan utama scaffold yang
berupa spektrum FTIR kolagen dan hidroksiapatit dengan sedikit pergeseran absorbansi
bilangan gelombang. Pada kolagen kulit ikan Lele terjadi pergeseran ikatan amida yang
mengabsorbsi N-H stretching dari 3267,89 cm-1, C=O stretching dari 650,1 cm-1, C-N
Stretching vibration 1508,75 cm-1, C-H stretching pada 1212.11 cm-1 (Liu et al., 2006).
Pada hasil FTIR hidroksiapatit menghasilkan pergeseran pita absorpsi gugus hidrogen
(OH) pada 3546,62 cm-1 dan 632,09 cm-1, dan gugus fosfat pada 1067,73 cm-1, 1063,93
cm-1 (Ramli dkk., 2011), dan 574,74 cm-1 (Jie and Yubao, 2004).
Densitas, Porositas, Kekuatan Tekan
Hasil analisis nilai densitas dan porositas scaffold kolagen-hidroksiapatit
menunjukkan bahwa prosentase kolagen berpengaruh terhadap nilai densitas dan
porositas scaffold. Nilai maksimum densitas dimiliki scaffold kolagen 10% -HA, yaitu
0,187 gr/cm3 dengan porositas terendah yaitu 55,53%, dan porositas tertinggi dimiliki
oleh scaffold kolagen 25%-hidroksiapatit, yaitu 70,38% dengan densitas terendah 0,156
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

99

gr/cm3. Hal ini membuktikan bahwa nilai densitas berbanding terbalik nilai porositas.
Nilai densitas dan porositas scaffold kolagen-hidroksiapatit secara keseluruhan telah
sesuai dengan standar tulang cancellous, yaitu densitas 0,1-1 gr/cm3 (Ficai et al., 2011)
dan porositas 50-90% (Liu and Webster,2007). Sehingga scaffold kolagen-hidroksiapatit
berbasis kolagen kulit ikan Lele Sangkuriang dapat diaplikasikan sebagai bone tissue
engineering untuk proses penyembuhan jaringan tulang yang rusak.
Nilai kekuatan tekan berhubungan erat dengan densitas dan porositas karena nilai
kekuatan tekan berbanding lurus dengan densitas, dan berbanding terbalik dengan nilai
porositas. Hal ini telah sesuai dengan penelitian bahwa nilai kekuatan tekan tertinggi
dimiliki oleh scaffold kolagen 10%-hidroksiapatit, yaitu 14,95%. Meskipun nilai scaffold
kolagen-HA yang dihasilkan tidak sesuai dengan referensi tulang cancellous, yaitu 2-12
MPa (Ficai et al., 2011), namun fungsi kekuatan tekan pada scaffold untuk aplikasi bone
tissue engineering sebagai penahan bone crash

telah digantikan oleh penyanggah

(bandage) tulang.
Tabel 1. Hasil Data Uji Densitas
(KPa)

No.

Prosentase Kolagen

Densitas (gr/cm3)

Porositas (%)

1.

0%

0, 1621

69,93

5,690

2.

5%

0,1640

68,89

6,097

3.

10%

0,1867

57,88

14,950

4.

15%

0,1675

68,82

11,760

5.

20%

0,1583

69,97

3,190

6.

25%

0,1565

70,38

2,670

0.19
0.18
0.17
0.16
0.15
0.14
25%

20%

15%

10%

5%

Densitas
0%

Densitas (gr/cm3)

Densitas

Prosentase Kolagen (%)


Gambar 3. Diagram Batang Pengaruh Prosentase Kolagen pada Densitas Scaffold KolagenHidroksipatit

100

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Porositas

Porositas

0%
5%
10%
15%
20%
25%

Porositas (%)

100.00%
50.00%
0.00%

Prosentase Kolagen(%)
Gambar 4.Diagram Batang Pengaruh Prosentase Kolagen pada Porositas Scaffold Kolagen-

Kekuatan Tekan (KPa)

Hidroksipatit

20

Kekuatan Tekan

10
Kekuatan Tekan
0
0% 5% 10% 15% 20% 25%
Prosentase Kolagen

Gambar 5. Diagram Batang Pengaruh Prosentase Kolagen pada Nilai Kekuatan Tekan Scaffold
Kolagen-Hidroksipatit
Scanning Electron Microscope (SEM)

(a)

(b)

(c)

Gambar 6. (a), (b), (c) dan (d) menunjukkan penampang melintang scaffold kolagenhidroksiapatit dengan perbesaran yang berbeda-beda.
Gambar 6. (a). menunjukkan struktur penampang melintang serat-serat kolagen
pada perbesaran 2.500 kali. Gambar 6. (b). menunjukkan struktur penampang melintang
hidroksiapatit pada perbesaran 50000 kali yang berupa butiran-butiran kristal sesuai
dengan hasil SEM hidroksispatit pada penelitian Widiyastuti dkk., 2009. Dan Gambar 6
(c) scaffold kolagen-hidroksiapatit dengan perbesaran 15.000 kali.
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

101

Berdasarkan hasil SEM pada Gambar

6 (c) menunjukkan bahwa scaffold

kolagen-hidroksiapatit yang dihasilkan memiliki pori-pori 3,316 m dan memiliki


permukaan yang bergranul akibat hidroksiapatit yang menempel pada serat-serat kolagen
sehingga memudahkan sel osteoblast menempel pada scaffold. Hal ini memberikan
keuntungan tersendiri bagi scaffold sebagai implan tulang karena memicu percepatan
reaksi antara scaffold dan jaringan tulang disekitarnya sehingga proses penyembuhan
tulang lebih cepat terjadi (Laurencin and Nair, 2008). Meskipun nilai makroporous tidak
sesuai dengan yang diharapkan yaitu 50-400 m, tapi tidak ada tetapan ukuran pori yang
pasti untuk tiap-tiap jaringan tulang di tubuh, karena tiap-tiap bagian-bagian tulang
memiliki karakteristik berbeda yang cocok untuk melakukan migrasi, proliferasi, adhesi,
dan diferensiasi. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih detail tentang peran scaffold
kolagen-hidroksiapatit dengan makroporous 3,316 m

dalam migrasi, proliferasi,

adhesi, dan diferensiasi untuk perbaikan jaringan tulang diperlukan uji secara in vivo pada
hewan coba.
Uji MTT
Pada uji MTT menggunakan sel fibroblast BHK-21 (Baby Hamster Kidney),
dengan hasil tampak pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Uji MTT
Kontrol Perlakuan

Kontrol

Kontrol

Sel

Media

1.

0,0900

0,0870

0,0930

0,0810

2.

0,0810

0,0830

0,0850

0,0700

3.

0,1070

0,1090

0,1080

0,1010

4.

0,1060

0,1120

0,1110

0,0970

5.

0,0680

0,0700

0,0680

0,0540

6.

0,1060

0,1080

0,1090

0,0920

7.

0,0820

0,0860

0,0850

0,0700

8.

0,0870

0,0880

0,1200

0,0780

Rata-rata

0,090875

0,092875

0,097375

0,080375

No.

102

Hidroksiapatit

Scaffold KolagenHidroksiapatit

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Sel Hidup (%) =

0,097375 + 0,092875
x 100% = 103,5374%
0,0900875 + 0,092875

Hasil prosentase sel BHK-21 yang hidup pada scaffold kolagen-hidroksiapatit


adalah sebagai berikut.
Sel Hidup (%) =

0,080375 + 0,092875
x 100% = 94,2857%
0,090875 + 0,092875

Berdasarkan hasil uji MTT dapat diketahui bahwa hidroksiapatit dan scaffold
kolagen-hidroksiaptit dengan sel hidup 103,5374% dan 94,285% tidak bersifat toksik
karena prosentase sel hidup 60%. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Rubianto yang
menyatakan suatu sampel tidak bersifat toksik jika prosentase sel hidup mencapai 92,3%100% (Meizarni, 2005).

KESIMPULAN
Prosentase kolagen basah yang dihasilkan dari ekstraksi kolagen kulit ikan Lele
Sangkuriang dalam pelarut asam asetat adalah 25,18%. Prosentase kolagen terhadap
hidroksiapatit dalam scaffold memiliki pengaruh terhadap nilai densitas, porositas dan
kekuatan tekan. Nilai densitas dan kekuatan tekan tertinggi dimiliki oleh 10% kolagenhidroksiapatit dengan nilai 0,1867 gr/cm3 dan 14,950 KPa. Nilai porositas tertinggi
dimiliki oleh 25% kolagen-hidroksiapatit dengan 70,38%, dan hasil SEM (Scanning
Electron Microsope) menunjukkan penampang melintang scaffold memiliki makroporous
3, 316 m, serta

hasil

uji MTT

yang menunjukkan bahwa scaffold kolagen-

hidroksiapatit tidak bersifat toksik.

Saran
Dalam rangka mengetahui kualitas kolagen dari kulit ikan Lele Sangkuriang
dapat dilakukan uji SDS-Polyacrylamade Gel Electrophoresis (SDS-PAGE), analisis
asam amino, swelling test, dan viskositas. Dan untuk mengetahui fungsi dan peran
scaffold kolagen- hidroksiapatit sebagai bone repair diperlukan uji secara in vivo pada
hewan coba sehingga dapat diketahui secara jelas terjadinya proliferasi, migrasi dan
attachment cell.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih kami ucapkan pula kepada Dr. Prihartini Widiyanti, drg.,
M.Kes dan Dr. Ferdiansyah, dr., SPOT atas saran, kritik dan bimbingan dalam penelitian
ini.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

103

Daftar Pustaka
Bareil, Remi Parenteau. Gauvin, Robert. Berthod, Franois. 2010. Collagen-Based
Biomaterials for Tissue Engineering Applications. Material, 2010: 3:1863-1887
Carrico, Ana Claudia. Farracho, Marta. Nunes, Ceclia. Ruela, Ana Margarida. Semedo,
Joo. 2007. Bone Tissue Engineering: Production of Scaffold. Faculdade de
Medicina, Universidade de Lisboa
Feng, Wenpo. Tang, Keyong. Zheng, Xuejing. Qr, Yuanming. Liu, Jie. 2009. Preparation
and Characterization of Porous Collagen/Hydroxyapatite/Gum Arabic Composit.
Zhengzou University: Cina
Ficai, Anton. Andronescu, Ecaterina. Voicu, Georgeta. Ficai, Denisa. 2011. Advances in
Composite Materials for Medicine and Nanotechnology. Politehnica University of
Bucharest, Faculty of Applied Chemistry and Materials Science: Romania
Friess W. Collagen - Biomaterial for Drug Delivery. Eur J Pharm Biopharm,
1998;45:113-136
Gelse, K. Poschl, E. Aigner, T. 2003. Collagens-Structure, Function, and Synthesis.
Advanced Drug Delivery, 2003;55:1531-1546
Jie, Wei. Yubao, Li. 2003.

Tissue Engineering Scaold Material of nano-Apatite

Crystals and Polyamide Composite. European Polymer Journal 2004;40:509515


Kordi H, M. K., Ghufron. 2010. Budi Daya Ikan Lele di Kolam Terpal. Lily Publisher:
Yogyakarta
Kutz, Myer. 2003. Standard Handbook of Biomedical Engineering and Design. McGrawHill: New York
Laurencin, Cato T. Nair, Lakshmi S. 2008. Nanotechnology and Tissue Engineering .
CRC Press Taylor & Francis Group. Boca Raton. Hlm. 329-347
Lawson, AC. Czernuszka, JT. 1998. CollagenCalcium Phosphate Composites. Proc Instr
Mech Eng, 1998;212(11):413438
Liu, HaiYing. Li, Ding. Guo, ShiDong. 2006. Studies on Collagen from The Skin of
Channel Catsh (Ictalurus punctaus). Food Chemistry, 2007;101: 621625
Peranginangin, Rosmawaty. Kusumawati, Rinta. Apriantoro, Eko Wahyudi. 2008. Isolasi
dan Karakteriasasi Kolagen yang Diekstraksi dari Kulit Ikan Lele Kerapu
(Epinephelus tauvina). Seminar Nasional Tahunan V Hasil Penelitian Perikanan dan
Kelautan, 26 Juli 2008, PP-23.

Rodrigues, C.V.M. Serricellab, P. Linhares, A.B.R. Guerdes, R.M. Borojevic, R. Rossi,

104

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

M.A.

Duarte, M.E.L. Farinac, M. Characterization of Bovine Collagen-

Hydroxyapatite Composite Scaffold for Bone Tissue Engginering. Biomaterials,


2003; 24:4987-4997
Tierney, Claire M. Haugh, Matthew G. Liedl, Jakob. Mulcahy, Fergal. Hayes, Brian.
Obrien, Fergal J. 2009. The effect of Collagen Concentration and Crosslink Density
on Biological, Structural and Mechanical Properties of Collagen-GAG Scaffolds for
Bone Tissue Engineering. Journal of the Mechanical Behaviour of Biomedica
Materials, 2009;2(2):202-9
Wahl, DA. Czernuska, JT. 2006. Collagen-Hydroxyapatite Composites for Hard Tissue
Repair. European Cells and Materials, 2006;11:43-56

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

105

Sintesis Dan Karakterisasi Biokompatibilitas Si:Ca10(Po4)6(Oh)2


Dengan Metode Hidrotermal Untuk Aplikasi Bone Filler
Gilang Daril Umami1, Aminatun2, Dwi Winarni3
1

Program Studi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga


2
3

Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga


Email : malik_gilang@yahoo.com

Abstract
Accident and natural disaster become one cause of bone fracture. Bone filler
become one solution for this bone fractures. In this study, hydroxyapatite and siliconhidroksapatit for bone filler candidate has been done by hydrothermal method.
Procedure of the research done by mixing calcium nitrate tetrahydrate was dissolved in
distilled water and added NH3. Then, ammonium triphosphate was also dissolved in
distilled water and added NH3. The two solutions are mixed for later stirrer for 30
minutes. For Si-HA samples, added TEOS before in stirrer. The addition of TEOS to the
weight variation of 0; 0.2; 0.4; 0.6; 0.8. The next stage is the process of hydrothermal
200oC, washed, dried 100oC and 800oC sintering. Based on microscopic assay (XRD)
indicated the formation of hydroxyapatite and tricalcium phosphate in all samples, no
new peaks formed after the addition of silicon. FTIR results of hydroxyapatite detected
phosphate (PO43-), group carbonate (CO32-) and hydroxyl groups (OH-). FTIR results of
silicon-hydroxyapatite on sample IV, which has a variety of samples of 0.6 wt% Si,
detected functional groups at 812.849 cm-1 is indicated as Si-O vibrations. The results of
MTT assay showed live cells in all samples. Samples of silicon-hydroxyapatite on a
variation of 0.2% by weight Si has the maximum amount of live cells showed samples II
95.85473% more bioactive than other samples.

Keywords: bone fracture, silicon-hidroxyapatite, hydrothermal method, sintering, bone


filler, bioactive.

106

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Abstrak
Kecelakaan dan bencana alam menjadi salah satu penyebab dari patah tulang.
Bone filler menjadi salah satu solusi untuk mengatasi patah tulang ini. Telah dilakukan
sintesis hidroksiapatit dan silikon-hidroksapatit kandidat bone filler dengan metode
hidrotermal. Prosedur penelitian dilakukan dengan mencampurkan kalsium nitrat
tetrahidrat yang dilarutkan dalam aquades dan di tambah NH 3. Kemudian, ammonium
trifosfat juga dilarutkan dalam aquades dan ditambah NH3. Kedua larutan ini dicampur
untuk kemudian di stirrer selama 30 menit. Untuk sampel Si-HA, ditambahkan TEOS
terlebih dahulu sebelum di stirrer. Penambahan TEOS dengan variasi berat sebesar 0;
0,2; 0,4; 0,6; 0,8. Tahap selanjutnya adalah proses hidrotermal 200 oC, dicuci, dikeringkan
100oC dan sintering 800oC. Berdasarkan uji mikroskopik (XRD) ditunjukkan
terbentuknya hidroksiapatit dan trikalsium fosfat pada semua sampel, tidak terbentuk
puncak baru setelah penambahan silikon. Hasil FTIR hidroksiapatit terdeteksi adanya
gugus fosfat (PO43-), gugus karbonat (CO32-) dan gugus hidroksil (OH -). Hasil FTIR
silikon-hidroksiapatit pada sampel IV, sampel yang memiliki variasi Si sebesar 0,6
%berat, terdeteksi gugus fungsi pada 812,849 cm-1 diindikasi sebagai vibrasi Si-O. Hasil
uji MTT menunjukkan sel hidup pada semua sampel. Sampel silikon-hidroksiapatit pada
variasi 0,2% berat Si memiliki sel hidup paling banyak sebesar 95,85473% menunjukkan
sampel II lebih bioaktif dari sampel yang lain.

Kata kunci: patah tulang, silikon-hidroksiapatit, metode hidrotermal, sintering, bone


filler, bioaktif.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

107

PENDAHULUAN
Tingkat kecelakaan transportasi dan frekuensi bencana alam di Indonesia, dalam
kurun waktu sepuluh tahun terakhir terbilang cukup tinggi. Kecelakaan transportasi dan
kecelakaan tersebut dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya patah tulang. Jumlah
kasus operasi patah tulang di RS Sanglah di Denpasar, pada bulan Januari, mencapai 24
orang. Jumlah tersebut hanya pasien yang masuk di IRD. Tiap satu kamar operasi di
Instalasi Bedah Sentral (IBS), rata-rata pasien patah tulang tiap hari mencapai 2-3 pasien
(Bali post, 2011).
Melihat cukup banyaknya kasus operasi patah tulang, diperlukan penanganan
yang tepat pada kasus patah tulang atau kerusakan tulang. Hal ini merupakan pekerjaan
yang serius sehingga membutuhkan material yang tepat untuk implan tulang, mengingat
tulang memiliki fungsi yang penting sebagai penyokong tubuh. Material yang digunakan
haruslah biokompatibel, tidak beracun dan berintegrasi dengan cepat. Dengan kata lain,
material ini haruslah menyerupai sifat dari tulang asli.
Salah satu cara penanganan patah tulang atau kerusakan tulang itu adalah dengan
menggunakan bone graft. Bone graft mempunyai fungsi mekanik dan biologi dikarenakan
dapat membantu atau mengisi lubang (void filler) dan meningkatkan regenerasi tulang di
tempat implantasi. Bone graft yang bagus harus memiliki beberapa karakteristik, antara
lain: memiliki kemampuan untuk membentuk tulang, permukaannya harus dapat
menstimulasi sel tulang untuk berdifferensiasi, mempunyai permukaan yang bioaktif
sehingga jaringan tulang dapat beregenerasi. Dengan kata lain, material tersebut harus
osteogenic, osteoinductive dan osteoconductive. Bonegraft

dapat dibedakan menurut

asalnya yaitu autograft jika jaringan tersebut diperoleh dari pasien itu sendiri, allograft
jika jaringan tersebut diperoleh dari donor lain tetapi masih satu spesies, xenograft jika
jaringan tersebut diperoleh dari donor lain dan berbeda spesies atau bone graft sintetis
(alloplastic) (Botelho, 2005). Salah satu contoh dari bone graft sintetis (alloplastic)
adalah bone filler, yaitu material implan osteokonduktif yang digunakan untuk mengisi
rongga dan celah, contoh rongga di tulang kaki, tulang belakang atau panggul, yang
menganggu stabilitas struktur tulang. Biasanya, rongga ini didapat dari cacat saat
pembedahan atau cedera traumatis ke tulang.
Biokeramik menjadi salah satu jenis dari bone graft sintetis yang diminati. Hal ini
dikarenakan biokeramik dapat digunakan untuk mengisi ruang, sebagai coating atau
sebagai komposit. Biokeramik dapat dibagi berdasarkan reaksi biologis yang dimiliki,
yaitu inert, bioaktif dan resorbable. Hidroksiapatit termasuk biokeramik yang bersifat

108

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

bioaktif (Botelho, 2005).


Hidroksiapatit (HA) memiliki rumus kimia Ca10(PO4)6(OH)2, adalah biokeramik
yang sering digunakan dalam kedokteran gigi dan bedah ortopedi. Lebih dari dua dekade,
banyak usaha yang telah dilakukan untuk membuat hidroksiapatit untuk aplikasi jaringan
tulang karena biokompatibilitas dan bioaktivitasnya yang bagus (Kothapalli dalam Bang,
2009).
Silikon (Si) berperan dalam perkembangan tulang dan kerangka. Peran dari
silikon dalam sistem kerangka pertama kali ditulis oleh Carlisle yang menemukan bahwa
osteosit tulang tibia dari tikus dan mencit mengandung silikon sebanyak 0.5% berat (Coe,
2008). Silikon dalam tulang manusia terdapat sekitar 1% berat dan termasuk elemen
trace level. Meskipun jumlah silikon ini kecil, tapi silikon berperan dalam pertumbuhan
atau kalsifikasi tulang (Pietak et al. dalam Aminian et al., 2011), sehingga Si
ditambahkan pada HA dan membentuk Si-HA untuk meningkatkan bioaktivitasnya.
Silikon-hidroksiapatit atau Si-HA dapat disintesis dengan berbagai cara, setiap
cara memiliki keunggulan dan kelemahan. Ruys (Coe, 2008) melakukan sintesis Si-HA
dengan metode sol-gel. Namun metode ini menimbulkan fase sekunder seiring dengan
pemberian silikon. Boyer et al., 1997 menggunakan metode solid state reaction, namun
ion sekunder, seperti lanthanum atau sulfat, ikut tercampur. Gibson et al., 1999 dan Kim
et al., 2003 menggunakan metode wet-chemical, namun bila di sintering dalam suhu
tinggi akan mengakibatkan ukuran kristal yang lebih besar. Tian et al., 2008
menggunakan metode mechanochemical, namun temperatur panas dari metode ini tidak
dapat diatur (Aminian et al. 2011).
Metode selain yang disebutkan di atas adalah metode hidrotermal. Metode
hidrotermal biasanya dapat menghasilkan derajat kristalinitas yang tinggi dan rasio Ca/P
yang dekat dengan nilai stokiometri. Ukuran kristal yang dihasilkan melalui metode ini
memiliki rentang dari nanometer sampai mikrometer. (C. M. Botelho et al. dalam
Aminian et al., 2011). Kenyataannya, hanya metode hidrotermal dan presipitasi yang
menyebabkan pembentukan bahan monofase (M. Palard, 2008).
Berdasarkan kajian terhadap berbagai metode sintesis Si-HA seperti yang
disebutkan di atas maka pada penelitian kali ini, akan dilakukan sintesis Si-HA dengan
metode hidrotermal menggunakan hidroksiapatit sintetis dan variasi % berat Si sebesar
1% berat, sehingga diharapkan diperoleh jumlah Si yang tepat dan dapat meningkatkan
bioaktivitas untuk dikembangkan sebagai biomaterial implan tulang.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

109

BAHAN DAN METODE


1. Bahan
Bahan yang digunakan untuk pembuatan sampel dalam penelitian ini yaitu kalsium
nitrat tetrahidrat [Ca(NO3)2.4H2O], ammonium trifosfat [(NH4)3PO4], aquades, larutan
NH3, dan Tetra ethyl ortho silicate [Si(OCH2CH3)4]. Untuk MTT assay dibutuhkan sel
BHK 21, larutan MTT (3-(4, 5 dimethylthiazol-2-yl)-2, 5-diphenyltetrazolium
bromide), medium kultur Dulbeccos Modification of Eagles Medium (DMEM),
Phosphate Buffered Saline (PBS), Bovine Serum 5%, EMS 5%, versence trypsin
0,25% DMSO (dimetil sulfoxida).
2. Metode
Metode sintesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hidrotermal
sebagaimana yang di lakukakan oleh Aminian et al. (2011). Pembuatan sampel
dimulai dengan menyiapkan kalsium nitrat tetrahidrat yang dilarutkan dalam aquades
dan di tambah NH3 sampai pH lebih dari 10. Kemudian, ammonium trifosfat juga
dilarutkan dalam akuades dan ditambah NH3 sampai pH lebih dari 11. Kedua larutan
ini dicampur untuk kemudian di stirrer selama 30 menit. Untuk sampel Si-HA,
ditambahkan TEOS terlebih dahulu sebelum di stirrer. Variasi komposisi dari TEOS
dan HA untuk mensintesis Si-HA ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Variasi komposisi Si-HA
Ca(NO3)2

(NH4)3PO4

TEOS

Nama

% berat

Sampel

TEOS

mol

mol

mol

0,025

5,9

0,0150

2,235

II

0,2

0,025

5,9

0,0148

2,2052

0,000175

0,0364

III

0,4

0,025

5,9

0,0146

2,1754

0,00035

0,0728

IV

0,6

0,025

5,9

0,0144

2,1456

0,000525

0,1092

0,8

0,025

5,9

0,0142

2,1158

0,000725

0,1508

Larutan awal dari HA dan Si-HA disintesis dengan metode hidrotermal


menggunakan autoclave dan oven. Larutan tersebut dimasukkan dalam autoclave dan
ditutup rapat. Kemudian autoclave dimasukkan dalam oven dalam suhu 200oC selama 8
jam. Presipitat hasil kemudian dicuci tiga kali, dan kemudian dikeringkan dalam suhu
100oC selama 12 jam. Tiap sampel kemudian disintering dalam suhu 800 oC selama satu
jam (Aminian et al., 2011).

110

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

1. Karakterisasi
Sampel dilakukan beberapa uji, antara lain uji mikro menggunakan XRD dan
FTIR, dan uji sitotoksik MTT Assay menggunakan sel fibroblas. Hasil dari masingmasing uji diamati dan dianalisa.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1.

Hasil

a.

Uji XRD

Gambar 1. Grafik search match XRD sampel HA sebelum sintering (A); sampel I (B);
sampel II (C); sampel III (D); sampel IV (E); sampel V (F)

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

111

Tabel 2. Persen fraksi volume HA dan TKF dalam tiap sampel


Sampel

Persen fraksi volume (%)


HA

TKF

29

71

II

26

74

III

11

89

IV

32

68

33

67

Tabel 3. Parameter kisi dari HA dan Si-HA


Parameter

ICSD

Sampel I

Sampel II

Sampel III

Sampel IV

Sampel V

a=b

9,419

9,419

9,406

9,349

9,406

9,405

6,880

6,897

6,872

6,809

6,870

6,872

Konstanta kisi

Gambar 1 menunjukkan bahwa sampel I sampai V memunculkan hidroksiapatit


(HA) [Ca10(PO4)6(OH)2] dengan tanda ( ) di puncaknya dan trikalsium fosfat (TKF)
[Ca3(PO4)2] dengan tanda ( ) di puncaknya. Persen fraksi volume HA dan TKF setelah
search match dalam tiap sampel ditunjukkan dalam Tabel 2. Salah satu hasil refinement
dari program PCW adalah parameter-parameter kisi kristal, seperti yang terlihat di Tabel
3. Dapat dilihat bahwa terjadi sedikit penurunan pada parameter kisi a dan c. Sampel I
memiliki nilai parameter kisi yang hampir mendekati nilai parameter kisi HA (a = 9,419
dan c = 6,880 ) (Dewi, 2009). Sampel II sampai V menunjukkan penurunan pada
nilai parameter kisi a dan c dibandingkan dengan sampel I.
b. Uji FTIR

112

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

E
Gambar 2. . Grafik FTIR sampel I (A); sampel II (B); sampel III (C); sampel IV (D);
sampel V (E)

Dari uji FTIR diketahui bahwa untuk sampel I yang merupakan HA dan sampel II
sampai IV yang merupakan Si-HA (variasi 0,2% - 0,8%) masing-masing menunjukkan
gugus serapan karakteristik. Spektrum FTIR karaketeristik HA ditunjukkan oleh
frekuensi serapan OH- pada 3600-3200 cm-1, PO43- pada 1100-960 cm-1 dan 660-450 cm1

, CO32- pada 1550-1410 cm-1 yang berkaitan dengan HA (Aminian et al, 2011). Spektrum

FTIR karakteristik dari sampel I sampai V ditunjukkan dalam Tabel 4.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

113

Tabel 4. Puncak spektra sampel I sampai V


Wavenumber (cm-1)

Gugus
fungsi
OHPO43-

Sampel I

Sampel II

Sampel III

Sampel IV

Sampel V

3571,52 ;

3570,56 ;

3570,56 ;

3570,56 ;

3570,56 ;

3446,17

3430,74

3434,6

3430,74

3433,64

543,828 ;

508,151 ;

638,323 ;

480,188

477,296

479,224

1454,06

1455,99

1455,99

812,849

473,439

568,898

1540,85 ;
1521,56 ;
CO32-

1507,1 ;
1488,78 ;
1456,96 ;
1418,39

SiO44-

c. Uji MTT Assay


MTT assay digunakan sebagai uji toksisitas dari sampel yang disintesis. Hasil
dari uji toksisitas dibaca menggunakan ELISA Reader. Hasil pembacaan ELISA Reader
dari sampel HA dan Si-HA menunjukkan bahwa sampel tidak bersifat toksik pada sel
fibroblas, hal ini ditunjukkan oleh presentase sel yang hidup masih diatas 60% (60%)
yaitu densitas optik dari perlakuan masih mendekati densitas optik dari kontrol sel.
Presentase sel hidup ditunjukkan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Persentase sel fibroblas dengan MTT assay


SAMPEL Optical Density (OD)

% sel hidup

0.21425

87.8944

II

0.241375

95.85473

III

0.203875

84.8496

IV

0.20075

83.9325

0.211125

86.97726

114

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

% Viabilitas sel

105
100
95
90
85
80
75
Kontrol
sel

Sampel I Sampel II Sampel III Sampel IV Sampel V


(HA)
(0,2%Si (0,4%Si (0,6%Si (0,8%Si
HA)
HA)
HA)
HA)
Variasi Si pada sampel

Gambar 3. Grafik variasi pesentase Si terhadap viabilitas sel


2.

Pembahasan
Sintesis hidroksiapatit (HA) dan silikon-hidroksiapatit (Si-HA) menggunakan

metode hidrotermal pada suhu 200oC selama 8 jam tanpa sintering menghasilkan
hidroksiapatit 100%. Setelah dilakukan sintering 800oC selama 1 jam, terdeteksi
trikalsium fosfat (TKF) pada sampel I sampai sampel V. TKF yang muncul disini diduga
merupakan deformasi dari HA karena HA hasil sintesis masih termasuk stabil sampai
pada suhu 750oC dan akan terdekomposi menjadi TKF jika melampaui suhu tersebut
(Jain, 2010). Data penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan pada nilai parameter
kisi a dan c. Hal ini diduga disebabkan oleh terdeformasinya HA menjadi TKF,
mengingat adanya perbedaam jumlah ion Ca dan P pada HA dan TKF. HA memiliki ion
10 Ca dan 6 P sedangkan TKF memiliki ion 3 Ca dan 3 P.
Tidak terdeteksinya puncak Si pada sampel yang lain, diduga dapat disebabkan
campuran larutan yang kurang homogen sehingga Si tidak terikat secara sempurna dalam
struktur HA. Hal lain yang dapat mempengaruhi tidak terdeteksinya SiO44- dalam uji
FTIR adalah temperatur sintering. Dalam sintering suhu tinggi, keramik oksida logam
terkadang dapat terdekomposisi karena proses dehidrasi atau oksidasi melalui interaksi
dengan gas lingkungan (Kokubo, 2008).
Hasil uji MTT menunjukkan tidak adanya sifat

toksik pada semua sampel.

Sampel I yang merupakan HA bersifat tidak toksik karena memang HA memiliki


biokompatibilitas yang baik untuk kontak dengan jaringan tulang. Sampel II sampai V
merupakan sampel variasi %berat Si. Keempat variasi sampel ini menunjukkan bahwa
penambahan Si pada HA tidak bersifat toksik pada sel fibroblas. Nilai densitas optik

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

115

sampel yang semakin dekat dengan nilai densitas optik kontrol sel menunjukkan semakin
banyak sel yang hidup. Berdasarkan Gambar 4.13, viabilitas sel terbanyak terdapat pada
sampel II (0,2%Si HA). Hal ini menunjukkan bahwa sampel II juga bersifat lebih
bioaktif daripada sampel yang lain. Nilai uji MTT dalam penelitian ini masih lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai uji MTT dari penelitian sebelumnya, Aminian et al, 2011.
Nilai %sel hidup HA pada penelitian ini sebesar 87,8944% dibanding nilai %sel hidup
HA pada penelitian Aminian, sebesar 54,98%. Sedangkan %sel hidup untuk variasi 0,8%
berat Si bernilai 86.97726% dibanding nilai %sel hidup variasi 0,8% berat Si penelitian
Aminian sebesar 79,54%.

KESIMPULAN
1. Hidroksiapatit dan silikon-hidroksiapatit dapat disintesis dengan metode hidrotermal,
namun memunculkan fase sekunder yaitu trikalsium fosfat (TKF).
2. Hasil XRD menunjukkan penambahan silikon tidak menunjukkan puncak difraksi
baru dan terjadi penurunan pada parameter kisi a dan c. Hasil FTIR menunjukkan
gugus karakteristik OH -, PO43-, CO32- yang termasuk dalam hidroksiapatit. Puncak
dari gugus Si-O muncul pada sampel IV pada 812,849 cm-1.
3. Hasil MTT assay menunjukkan semua sampel tidak toksik pada sel fibroblas. %sel
hidup paling besar ditunjukkan pada sampel II (0,2%Si HA).

SARAN
1. Penggunaan variasi suhu dan lama waktu sintering sehingga kemunculan trikalsium
fosfat dapat dihindari.
2. Pengujian FTIR sebelum dan sesudah sintering untuk membandingkan kemunculan
puncak SiO44-.
3. Variasi silikon lebih kecil dari 0,2% silikon-hidroksiapatit untuk mengetahui
pengaruhnya pada viabilitas sel yang dihasilkan.
4. Penggunaan sel osteoblas atau uji histologi agar memiliki data pendukung yang lebih
banyak untuk dijadikan kandidat bahan implan bone filler.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih disampaikan kepada Ibu Aminatun, Ibu Dwi Winarni, Ibu Retna
Apsari dan semua pihak yang telah membantu terselesaikannya fullpaper ini.

116

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

DAFTAR PUSTSAKA
Aminian, Alieh, Mehran Solati-Hashjin, Ali Samadikuchaksaraei, Farhad Bakhshi, Fazel
Gorjipour, Arghavan Farzdi, Fattolah Moztarzadeh, Martin Schmiicker. 2011.
Synthesis of silicon-substituted hydroxyapatite by a hydrothermal method with
two different phosphorous sources. Ceramic International 37 page 1219-1229.
Anonim. 2011. Pasien Bedah Ortopedi di RS Sanglah Antre Sampai 24 Orang,
Kebanyakan

Multitrauma.

http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?

module=detailberitaminggu&kid=24&id=47658.html [diakses pada tanggal 30


Desember 2011].
Bang, Le Thi. 2009. Synthesis And Characterization Of Hydroxyapatite (Ha) And Silicon
Substituted Hydroxyapatite (Si-Ha) Produced By A Precipitation Method. Thesis
of AUN/SEED-Net, Penang.
Botelho, Cludia Manuela da Cunha Ferreira. 2005. Silicon-Substituted Hydroxyapatite
for Biomedical Applications. Thesis of Faculdade de Engenharia Universidade do
Porto. Thesis of Faculdade de Engenharia Universade do Porto.
Coe, Samuel Christopher, BSc (Hons). 2008. The Deposition, Characterisation and
Biocompatibility of Hydroxyapatite and Silicon Doped Hydroxyapatite Thin Film
Coatings for Orthopaedic Applications. Thesis of The University of Nottingham.
Dewi, Setia Utami. 2009. Pembuatan Komposit Kalsium Fosfat Kitosan dengan Metode
Sonikasi. Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Jain, Sakshi. 2010. Processing of Hydroxyapatite by Biomimetic Process. Thesis of
Department of Ceramic Engineering National Institute of Technology Rourkela.
Kokubo, Tadashi. 2008. Bioceramics and their clinical applications. England. Woodhead
Publishing Limited, Abington Hall, Abington.
Palard, Mickael, Eric Champion, Sylvie Foucaud. 2008. Synthesis of silicated
hydroxyapatite Ca10(PO4)6-x(SiO4)x(OH)2-x. Journal of Solid State Chemistry vol
181 page 1950-1960.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

117

Rancang Bangun Elektromiograf Berbasis Personal Computer


Rizky Justitian 1, Retna Apsari 2, Franky Chandra Satria Arisgraha 3
Program Studi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

123

E-mail : justitianrizky@gmail.com

Abstract
A study entitled "Design of A Personal Computer-Based Electromyograph" has
been conducted with the goal of designing an electromyograph device to tap the
electrical activity of the lower forearm muscles. The designed electromyograph was
equipped with a signal display on a personal computer. In this study, the data
transmission from the electromyograph hardware towards the personal computer was
designed through two different mechanisms such as the usage of the internal ADC of
ATmega 328 microcontroller on an arduino board and the usage of the internal
soundcard of a personal computer. On the software, the internal ADC of ATmega 328
microcontroller with an arduino nano microcontroller board was used to send the data
from the electromyograph hardware towards the personal computer, an arduino
software was used in the process of data acquisition from the electromyograph
hardware towards the PC, while Delphi language was used in displaying the signal
from the electromyograph hardware. On the software as well, the internal soundcard of
a PC was used to send the data from the electromyograph hardware towards the
personal computer. A software using Delphi language was also used in the process of
data acquisition from the electromyograph hardware towards the PC. The
electromyograph device that was created in this study has respectively the percentage
error values of 0 % at a

relaxation mechanism, 5 % at a medium contraction

mechanism and 2.04 % at a strong contraction mechanism.

Keywords: Electromyograph, EMG, Arduino, Biopotential

118

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Abstrak
Telah dilakukan penelitian dengan judul Rancang Bangun Elektromiograf
Berbasis Personal Computer dengan tujuan merancang alat elektromiograf untuk
menyadap aktifitas listrik otot lengan bawah. Alat elektromiograf yang dirancang
dilengkapi dengan tampilan sinyal pada personal computer. Pada penelitian ini
pengiriman data dari hardware elektromiograf menuju personal computer

dirancang

melalui dua mekanisme yang berbeda yaitu dengan memanfaatkan ADC internal dari
mikrokontroler ATmega 328 pada board arduino nano dan menggunakan soundcard
internal dari personal computer. Pada software untuk pengiriman data dari hardware
elektromiograf menuju personal computer

menggunakan ADC internal

dari

mikrokontroler, proses akusisi data dari hardware elektromiograf menuju PC digunakan


arduino software sedangkan untuk menampilkan tampilan sinyal dari hardware
elektromiograf digunakan bahasa delphi. Software untuk pengiriman data dari hardware
elektromiograf menuju personal computer

menggunakan soundcard internal dari PC

menggunakan software dengan bahasa pemrograman delphi. Alat elektromiograf yang


berhasil dibuat pada penelitian ini memiliki persentase nilai error alat saat mekanisme
relaksasi sebesar 0 %, nilai error alat saat mekanisme kontraksi sedang sebesar 5 % dan
nilai error alat saat mekanisme kontraksi kuat sebesar 2,04 %.

Kata Kunci

: Elektromiograf, EMG, Arduino, Biopotensial

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

119

1. PENDAHULUAN
Otot merupakan organ gerak tubuh aktif karena mampu mengendalikan organ
tubuh yang lain sehingga kita dapat bergerak. Kekuatan otot mempengaruhi aktifitas
dari gerak tubuh, aktifitas tubuh yang tinggi didukung adanya kekuatan otot yang besar.
Pada tubuh manusia, pengetahuan mengenai gaya pada otot dan sendi merupakan nilai
besar dalam dunia kedokteran dan terapi fisik, dan juga merupakan studi yang sangat
berguna dalam aktifitas atletik (Giancoli, 1998). Peran otot pada olahragawan atau atlet
sangat penting dalam meraih prestasi dan kesuksesan. Salah satu contoh peran kekuatan
otot pada seorang atlet adalah kekuatan otot lengan bawah pada atlet basket, voli,
bulutangkis, tenis dan olahraga lainnya yang menggunakan otot lengan bawah sebagai
tumpuan kekuatan. Tidak berfungsinya otot dengan baik, dalam hal ini otot lengan
bawah, merupakan permasalahan signifikan pada manusia khususnya olahragawan.
Kerusakan otot ini diperlukan penanganan khusus, maka untuk mengetahui adanya
kerusakan otot yang terjadi pada tubuh diperlukan adanya teknologi instrumentasi medis
yang dapat mendiagnosa dan memonitoring aktifitas otot tubuh. Informasi diagnostik
mengenai aktifitas otot dapat diperoleh dari aktifitas listriknya (Cameron, 1992).
Salah satu instrumentasi medis yang berfungsi menampilkan bentuk dan
mengukur aktifitas otot adalah elektromiograf. Sebuah elektromiograf mendeteksi
potensial listrik yang dihasilkan oleh sel-sel otot ketika sel-sel ini elektrik atau
neurologis diaktifkan. Menurut Nomiyasari (2011) pada surface elektromiograf, sinyal
yang didapatkan memiliki kisaran frekuensi antara 20 Hz sampai 500 Hz. Potensial
listrik pada permukaan otot tubuh memiliki kisaran tegangan 0,4 mV sampai 5 mV, dan
terdapat amplitudo tegangan yang lebih tinggi lagi apabila terjadi kontraksi yang kuat
(Nomiyasari, 2011).
Penelitian Rusmawati (2006) dan Mariam S.K (2006) menunjukkan aspek
kualitatif profil potensial otot manusia saat berkontraksi dan berelaksasi. Pada penelitian
tersebut didapatkan bahwa sinyal pengganggu atau noise 50 Hz yang merupakan noise
dari jala-jala PLN belum mampu dihilangkan. Hasil tampilan sinyal pada alat yang
dihasilkan dari penelitian tersebut belum akurat dimana profil potensial otot yang
sebenarnya belum diketahui secara pasti. Instrumen yang dirancang belum dilengkapi
dengan mikrokontroler sebagai pengendali sistem.

Penelitian lain terkait alat

elektromiograf juga telah dilakukan oleh Nomiyasari (2011). Alat elektromiograf yang
dihasilkan pada penelitian tersebut masih terdapat kekurangan dimana filter yang
dirancang belum sesuai dengan perhitungan. Hasil tampilan sinyal pada alat yang

120

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

dihasilkan belum akurat dengan tingkat % error alat sebesar 26,67%. Kinerja ADC dari
alat yang dihasilkan belum optimal sehingga proses interface antara hardware
elektromiograf dengan personal computer menjadi terganggu.
Pada penelitian ini diteliti profil aktifitas listrik otot manusia ketika relaksasi dan
kontraksi. Otot tubuh manusia yang menjadi fokus obyek penelitian ini adalah otot
lengan bawah. Bagian otot lengan bawah yang disadap aktifitas listriknya adalah bagian
antebrachium anterior. Dalam penelitian ini dirancang suatu elektromiograf berbasis
personal computer yang mampu menyadap sinyal otot tubuh, dengan demikian
instrumen ini dapat menghasilkan data digital untuk diproses dan ditampilkan pada
komputer.

Data

diolah

dengan

bahasa

pemrograman

delphi

sehingga

dapat

menampilkan hasil tampilan sinyal. Dalam penelitian ini pengiriman data dari hardware
elektromiograf menuju personal computer

dirancang melalui dua mekanisme yaitu

dengan memanfaatkan ADC internal dari mikrokontroler ATmega 328 dengan board
mikrokontroler arduino nano dan menggunakan soundcard internal dari personal
computer. Hasil pengiriman data yang ditampilkan di personal computer melalui dua
mekanisme yaitu dengan menggunakan ADC internal dari mikrokontroler ATmega 328
dengan board mikrokontroler arduino nano dan menggunakan soundcard internal dari
personal computer, dalam penelitian ini kedua mekanisme dibandingkan satu dengan
yang lainnya. Tampilan sinyal dari elektromiograf merupakan sinyal yang bersifat acak
atau random (Nomiyasari, 2011). Tampilan sinyal pada penelitian ini berada dalam
kawasan waktu, dengan kata lain hasil tampilan sinyal keluaran merupakan hubungan
antara waktu dengan tegangan potensial listrik otot tubuh.
Dikarenakan besar aktifitas listrik otot lengan bawah yang sangat kecil, menurut
Nomiyasari (2011) yakni berkisar antara 0,4 mV hingga 5 mV, maka perlu dilakukan
penguatan, besar penguatan total yang dirancang pada penelitian ini adalah berkisar
antara 5000 hingga 6000 kali. Alat elektromiograf yang dirancang diberi filter untuk
meloloskan sinyal dengan frekuensi 20 Hz sampai 250 Hz, hal ini didasarkan penelitian
Nomiyasari (2011), frekuensi tersebut merupakan frekuensi sinyal aktifitas listrik otot
yang paling sering muncul. Disamping itu untuk menghilangkan interferensi sinyal dari
tegangan jala-jala listrik PLN yaitu frekuensi 50 Hz maka alat yang di rancang
dilengkapi dengan filter yang mampu menghilangkan frekuensi 50 Hz. Untuk menyadap
sinyal aktifitas listrik otot lengan bawah digunakan surface electrode. Hal ini
dikarenakan surface electrode mudah pemasangannya juga tidak terlalu mengganggu
aktifitas dari orang yang diteliti (Setioningsih, 2010).
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

121

2. METODE PENELITIAN
2.1 Perancangan Perangkat Keras (Hardware)
Pada penelitian ini, hardware elektromiograf terdiri dari rangkaian catu daya,
rangkaian pre-amplifier, rangkaian highpass filter, rangkaian lowpass filter dan rangkaian
notch filter. Pengiriman data dari hardware elektromiograf menuju personal computer
dalam penelitian ini dirancang melalui dua mekanisme yaitu dengan memanfaatkan
ADC internal dari mikrokontroler ATmega 328 pada board arduino nano dan
dengan menggunakan soundcard internal dari personal computer ACER 4736.
Adapun blok diagram hardware elektromiograf dengan mekanisme pengiriman data
menggunakan ADC internal dari mikrokontroler disajikan pada

Gambar 2.1 Blok Diagram Hardware Elektromiograf dengan Mekanisme


Pengiriman Data Menggunakan ADC Internal Mikrokontroler ATmega 328.

Gambar 2.2 Blok Diagram Hardware Elektromiograf dengan Mekanisme


Pengiriman Data Menggunakan Soundcard Internal Dari Personal Computer.

2.1.1 Rangkaian Catu Daya


Catu daya yang digunakan pada alat elektromiograf ini adalah 5V, dimana
sumber tegangan dari rangkaian catu daya berasal dari baterai. Rangkaian catu daya
terdiri dari IC regulator 7805 untuk menstabilkan tegangan menjadi +5V dan IC regulator
7905 untuk menstabilkan tegangan menjadi -5V.

122

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Gambar 2.3 Skema Rangkaian Catu Daya

2.1.2 Rangkaian Pre-Amplifier


Karena sinyal EMG merupakan tegangan diferensial yang lemah maka
diperlukan instrumentasi dengan offset. Offset berfungsi untuk menghilangkan noise yang
ikut dalam sinyal elektromiograf (Setiawan, 2008). Rangkaian Pre-Amplifier berfungsi
sebagai penguat awal sinyal elektromiograf.

Gambar 2.4 Skema Rangkaian Pre-Amplifier

2.1.3 Rangkaian Highpass Filter


Rangkaian highpass filter digunakan menyaring dan menghilangkan frekuensi
rendah dan meloloskan frekuesnsi tinggi. Rangkaian highpass filter pada penelitian ini
berfungsi untuk melewatkan frekuensi diatas 20 Hz. Rangkaian highpass filter pada
penelitian ini merupakan rangkaian filter aktif orde 2.
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

123

Gambar 2.5 Skema Rangkaian Highpass Filter.

2.1.4

Rangkaian Lowpass Filter


Rangkaian lowpass filter digunakan menyaring dan menghilangkan frekuensi

tinggi dan meloloskan frekuensi rendah. Pada penelitian ini rangkaian lowpass filter
berfungsi untuk melewatkan frekuensi dibawah 250 Hz dan menyaring frekuensi
diatasnya. Pada penelitian ini, rangkaian lowpass filter merupakan rangkaian filter aktif
orde 2.

Gambar 2.6 Skema Rangkaian Lowpass Filter .


2.1.5 Rangkaian Notch Filter
Rangkaian notch filter

digunakan menyaring dan menghilangkan frekuensi

tertentu, dalam penelitian ini frekuensi cut-off pada rangkaian notch filter adalah
frekuensi 50 Hz. Rangkaian notch filter

berfungsi untuk menyaring sinyal pada

frekuensi 50 Hz, karena frekuensi 50 Hz merupakan noise atau gangguan yang paling

124

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

dominan yang terjadi disebabkan adanya interferensi dari tegangan jala-jala listrik PLN
(Muzakki, 2002). Pada penelitian ini, rangkaian notch filter merupakan rangkaian filter
aktif orde 2.

Gambar 2.7 Skema Rangkaian Notch Filter.

2.1.6 Rangkaian Adder


Rangkaian adder digunakan untuk menaikkan level tegangan karena ADC pada
mikrokontroler tidak mampu membaca sinyal dengan tegangan negatif. Sinyal
elektromiograf merupakan sinyal AC dan rangkaian adder digunakan agar tegangan
sinyal elektromiograf dapat tersampling secara utuh oleh ADC internal mikrokontroler.

Gambar 2.8 Skema Rangkaian Adder


2.2

Perancangan Perangkat Lunak (Software)

2.2.1

Perancangan Perangkat

Lunak (Software)

untuk Pengiriman

Data Menggunakan ADC Internal dari Mikrokontroler ATmega 328


Pada software untuk pengiriman data dari hardware elektromiograf menuju
personal computer

menggunakan ADC internal

dari mikrokontroler ATmega 328

dengan board mikrokontroler arduino nano, proses akusisi data dari hardware
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

125

elektromiograf menuju PC digunakan arduino software sedangkan untuk menampilkan


tampilan sinyal dari hardware elektromiograf digunakan software delphi. Perangkat
lunak pada mikrokontroler ATmega 328 dengan arduino software berfungsi untuk
konversi data dan pengiriman data. Perangkat lunak pada mikrokontroler ATmega 328
berhubungan dengan perangkat lunak delphi untuk tampilan sinyal elektromiograf.

Gambar 2.9 Diagram Alir Program Mikrokontroler ATmega 328 Pada Arduino
Software
Perangkat lunak tampilan sinyal elektromiograf bertujuan untuk menampilkan
sinyal elektromiograf dalam bentuk visual dengan bahasa pemrograman delphi.

126

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Gambar 2.10 Diagram Alir Software Tampilan Sinyal Elektromiograf dengan Software
Delphi

2.2.2

Perancangan Perangkat

Lunak (Software)

Untuk Pengiriman

Data Menggunakan Soundcard Internal Dari PC.


Pada software untuk pengiriman data dari hardware elektromiograf menuju
personal computer menggunakan soundcard internal dari PC, proses akusisi data dari
hardware elektromiograf menuju PC menggunakan software delphi dengan bahasa
pemrograman delphi Pada software delphi terdapat komponen-komponen seperti
audio.lab dan signal.lab yang dapat dimanfaatkan sehingga data dari hardware
elektromiograf mampu ditampilkan pada PC.

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

127

Gambar 2.11. Diagram Alir Program Pengiriman Data Menggunakan Soundcard


Internal Dari PC

3. HASIL
3.1

Data

Hasil

Pengiriman

Alat

Elektromiograf

dengan Mekanisme

Data Menggunakan ADC Internal

dari Mikrokontroler

ATmega 328

Gambar 3.1 Sinyal Aktifitas Otot Saat Relaksasi dari Elektromiograf dengan Mekanisme
Pengiriman Data Menggunakan ADC Internal Mikrokontroler Atmega 328.

128

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Gambar 3.2 Sinyal Aktifitas Otot Saat Kontraksi Sedang dari Elektromiograf dengan
Mekanisme Pengiriman Data Menggunakan ADC Internal Mikrokontroler Atmega 328.

Gambar 3.3 Sinyal Aktifitas Otot Saat Kontraksi Kuat dari Elektromiograf dengan
Mekanisme Pengiriman Data Menggunakan ADC Internal Mikrokontroler Atmega 328.

Data tampilan sinyal mampu ditampilkan dengan software delphi menggunakan


komponen TChart, pada sumbu vertical data sinyal mampu merepresentasikan adanya
aktifitas listrik otot tubuh dengan perubahan tegangan peak to peak ketika relaksasi
maupun kontraksi. Pada sumbu horizontal sinyal yang tertampil pada grafik tidak
mampu membentuk sinyal sinus yang baik.

Seperti diketahui, chart pada software

delphi umumnya berfungsi sebagai plot statistik pada bidang vertical, sedangkan pada
bidang horizontal hanya mengacu pada aliran data yang masuk secara bergiliran
(Febriani, 2012). Untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat digunakan IC RAM

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

129

pada mikrokontroler untuk mengatur pengolahan data yang akan dikirim ke PC


sehingga waktu delay pengiriman data dapat dikurangi dan gambar sinyal yang ter-plot
pada grafik menjadi lebih baik.

3.2

Data

Hasil

Pengiriman

Alat

Elektromiograf

dengan Mekanisme

Data Menggunakan Soundcard Internal dari PC.

Gambar 3.4 Sinyal Aktifitas Otot Saat Relaksasi dari Elektromiograf dengan
Mekanisme Pengiriman Data Menggunakan Soundcard Internal dari PC.

Gambar 3.5 Sinyal Aktifitas Otot Saat Kontraksi Sedang dari Elektromiograf dengan
Mekanisme Pengiriman Data Menggunakan Soundcard Internal dari PC.

130

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Gambar 3.6 Sinyal Aktifitas Otot Saat Kontraksi Kuat dari Elektromiograf dengan
Mekanisme Pengiriman Data Menggunakan Soundcard Internal dari PC.
Berdasarkan pengamatan secara visual, data tampilan sinyal mampu ditampilkan
dengan software delphi menggunakan komponen SLScope. Pada sumbu vertical data
sinyal mampu merepresentasikan adanya aktifitas listrik otot tubuh dengan perubahan
tegangan peak to peak ketika relaksasi maupun kontraksi. Pada sumbu horizontal sinyal
yang tertampil pada grafik mampu membentuk sinyal sinus yang baik. Sinyal yang
terbentuk dari alat elektromiograf dengan mekanisme pengiriman data menggunakan
soundcard internal dari personal computer telah mampu merepresentasikan adanya
aktifitas listrik otot pada lengan bawah pada saat kontraksi maupun relaksasi. Terdapat
perbedaan yang signifikan antara gambar sinyal ketika relaksasi maupun kontraksi.

4. Pembahasan
Pada penelitian ini alat elektromiograf berbasis personal computer untuk
menyadap aktifitas listrik otot lengan bawah telah berhasil dibangun. Pengiriman data
dari hardware elektromiograf pada penelitian ini dilakukan dengan dua mekanisme
yang berbeda yaitu pengiriman data dari hardware elektromiograf menuju personal
computer

menggunakan ADC internal dari mikrokontroler ATmega 328 dan

pengiriman

data

dari

hardware

elektromiograf

menuju

personal

computer

menggunakan soundcard internal dari PC. Perangkat keras (hardware) dari alat
elektromiograf berbasis personal computer telah berhasil dibuat dimana hardware
elektromiograf pada penelitian ini terdiri dari catu daya, rangkaian pre-amplifier,

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

131

rangkaian highpass filter, rangkaian lowpass filter, rangkaian notch filter, rangkaian
adder dan rangkaian mikrokontroler ATmega 328. Rangkaian adder dan rangkaian
mikrokontroler ATmega 328 digunakan pada alat elektromiograf dengan mekanisme
pengiriman

data

dari

hardware

elektromiograf

menuju

personal

computer

menggunakan ADC internal dari mikrokontroler. Besar nilai penguatan total pada alat
elektromiograf yang telah dibuat adalah sebesar 6420 kali. Penguatan total sebesar 6420
kali didapatkan dengan mengkalikan besar penguatan pada masing-masing rangkaian.
Penguatan pada rangkaian pre-amplifier adalah 190 kali, penguatan pada rangkaian
highpass filter adalah 1,6 kali, penguatan pada rangkaian lowpass filter adalah 1,6 kali
dan penguatan pada rangkaian notch filter adalah 13,2 kali.
Software yang telah berhasil dibuat dan digunakan pada penelitian ini terbagi
menjadi dua bagian yaitu software yang digunakan untuk mekanisme pengiriman data
dari hardware elektromiograf menuju personal computer menggunakan ADC internal
dari mikrokontroler ATmega 328 dan software untuk mekanisme pengiriman data dari
hardware elektromiograf menuju personal computer menggunakan soundcard internal
dari PC.
Bentuk sinyal keluaran dari alat elektromiograf dengan mekanisme pengiriman
data menggunakan ADC internal mikrokontroler ATmega 328 terdapat adanya perbedaan
antara sinyal kirim dengan yang tertampil pada grafik, dimana gambar sinyal yang
dihasilkan kurang baik. Hal ini dikarenakan keterlambatan respon penerima yang
mengakibatkan data ter-plot pada grafik menjadi tidak sempurna. Data tampilan sinyal
mampu ditampilkan dengan software delphi menggunakan komponen TChart, pada
sumbu vertical data sinyal mampu merepresentasikan adanya aktifitas listrik otot tubuh
dengan perubahan tegangan peak to peak ketika relaksasi maupun kontraksi. Pada
sumbu horizontal sinyal yang tertampil pada grafik tidak mampu membentuk sinyal
sinus yang baik.

Seperti diketahui, chart pada software delphi umumnya berfungsi

sebagai plot statistik pada bidang vertical, sedangkan pada bidang horizontal hanya
mengacu pada aliran data yang masuk secara bergiliran (Febriani, 2012). Untuk
mengatasi permasalahan tersebut dapat digunakan IC RAM pada mikrokontroler untuk
mengatur pengolahan data yang akan dikirim ke PC sehingga waktu delay pengiriman
data dapat dikurangi dan gambar sinyal yang ter-plot pada grafik menjadi lebih baik.
Untuk mengetahui bahwa sinyal yang tertampil pada grafik TChart apakah merupakan
sinyal aktifitas listrik otot yang sebenarnya, dapat dilakukan analisis lebih lanjut dengan
menggunakan analisis Transformasi Fourier.

132

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

Bentuk sinyal keluaran dari alat elektromiograf dengan mekanisme pengiriman


data menggunakan soundcard internal dari personal computer sesuai dengan data yang
terkirim dari hardware elektromiograf, dimana sinyal yang terbentuk sangat baik.
Berdasarkan pengamatan secara visual, data tampilan sinyal mampu ditampilkan dengan
software delphi menggunakan komponen SLScope. Pada sumbu vertical data sinyal
mampu merepresentasikan adanya aktifitas listrik otot tubuh dengan perubahan
tegangan peak to peak ketika relaksasi maupun kontraksi. Pada sumbu horizontal sinyal
yang tertampil pada grafik mampu membentuk sinyal sinus yang baik. Sinyal yang
terbentuk dari alat elektromiograf dengan mekanisme pengiriman data menggunakan
soundcard internal dari personal computer telah mampu merepresentasikan adanya
aktifitas listrik otot pada lengan bawah pada saat kontraksi maupun relaksasi.
Kinerja alat elektromiograf berbasis personal computer yang telah dibangun
pada penelitian ini adalah baik. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan nilai % error alat
dan besaran karakteristik statik dari alat elektromiograf yang dihasilkan. Besaran
karakteristik statik pada penelitian ini direpresentasikan oleh nilai deviasi alat saat
mekanisme relaksasi, kontraksi sedang dan kontraksi kuat.
Hasil uji kinerja pada alat elektromiograf berbasis personal computer
menunjukkan nilai

error alat saat mekanisme relaksasi sebesar 0% dengan nilai

deviasi alat pada aktifitas otot saat relaksasi sebesar 0 volt, nilai

error alat saat

mekanisme kontraksi sedang sebesar 5% dengan nilai deviasi alat pada aktifitas otot
saat kontraksi sedang sebesar 0,1 volt dan Nilai error alat saat mekanisme kontraksi
kuat sebesar 2,04% dengan nilai deviasi alat pada aktifitas otot saat kontraksi sedang
sebesar

0,1

volt.

Nilai

error

maupun nilai

deviasi

didapatkan

dengan

membandingkan besar nilai tegangan sinyal peak to peak yang terdapat pada gambar
sinyal alat elektromiograf yang sudah terkalibrasi (Cadwell Sierra II) dengan nilai
tegangan sinyal peak to peak pada alat elektromiograf dengan mekanisme pengiriman
data menggunakan soundcard internal dari PC ketika dilakukan mekanisme relaksasi,
kontraksi sedang dan kontraksi kuat pada lengan bawah. Pengukuran nilai tegangan
sinyal peak to peak masih dilakukan secara manual dengan mistar, maka untuk
penelitiah lebih lanjut dapat dilakukan perbaikan metode pengukuran nilai tegangan
sinyal peak to peak sehingga didapatkan nilai pengukuran yang lebih akurat dan
maksimal.
Alat elektromiograf berbasis personal computer yang berhasil dibuat memiliki
keunggulan harga yang lebih ekonomis berdasarkan bahan habis pakai. Alat yang telah
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

133

berhasil dibuat pada penelitian ini membutuhkan biaya 762.500 ribu rupiah. Biaya
tersebut jauh lebih murah lebih dari 100% dibandingkan harga alat elektromiograf yang
terdapat di pasaran. Disamping itu desain alat yang kecil dan praktis memungkinkan
alat elektromiograf yang telah dibuat dikembangkan menjadi alat elektromiograf
portable.
Alat elektromiograf berbasis personal computer yang berhasil dibuat pada
penelitian ini telah mampu menyadap aktifitas listrik otot lengan bawah tubuh dengan
baik, namun alat tersebut masih belum sempurna. Dengan demikian diharapkan adanya
optimasi kinerja dari alat elektromiograf berbasis personal computer sehingga kinerja
alat elektromiograf menjadi lebih baik. Untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan
optimasi mekanisme pengiriman data menggunakan mikrokontroler dengan menambah
IC RAM pada rangkaian mikrokontroler. Disamping itu untuk menunjang tingkat
keamanan alat elektromiograf agar tidak terjadi kebocoran arus yang dapat melukai
pasien dapat ditambahkan rangkaian isolasi/rangkaian proteksi. Untuk

penelitian

selanjutnya juga dapat dilakukan perbaikan mekanisme pengukuran tegangan peak to


peak dan juga kalibrasi alat secara realtime sehingga dapat diketahui nilai akurasi alat.

5. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Berdasarkan

analisis

data

dan

pembahasan

yang

dilakukan

dalam

penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :


1.

Elektromiograf berbasis personal computer yang berhasil dibuat pada penelitian


ini mampu mendeteksi adanya efek elektris pada otot manusia khususnya otot
lengan bawah yang ditandai dengan adanya perubahan tegangan peak to peak
saat mekanisme relaksasi maupun kontraksi. Alat elektromiograf yang dibuat telah
dilengkapi dengan tampilan sinyal.

2.

Pada penelitian ini alat elektromiograf berbasis personal computer dengan


mekanisme akuisisi data menggunakan ADC internal dari mikrokontroler ATmega
328 dengan board arduino nano belum mampu menampilkan sinyal elektris otot
tubuh manusia dengan baik, sedangkan alat elektromiograf berbasis personal
computer dengan mekanisme akuisisi data menggunakan soundcard internal PC
sudah mampu menampilkan sinyal elektris otot tubuh manusia dengan baik
dimana tampilan sinyal yang dikirim dari hardware sama dengan tampilan
sinyal yang ditampilkan pada PC .

134

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

3.

Elektromiograf

berbasis

personal

computer

yang

berhasil

dibuat

telah

dibandingkan dengan alat elektromiograf yang sudah terkalibrasi (Cadwell


Sierra II) sehingga didapatkan nilai

error alat saat mekanisme relaksasi

sebesar 0% dengan nilai deviasi alat pada aktifitas otot saat relaksasi sebesar 0
volt, nilai

error alat saat mekanisme kontraksi sedang sebesar 5% dengan

nilai deviasi alat pada aktifitas otot saat kontraksi sedang sebesar 0,1 volt dan
nilai

error alat saat mekanisme kontraksi kuat sebesar 2,04% dengan nilai

deviasi alat pada aktifitas otot saat kontraksi sedang sebesar 0,1 volt.

5.2 Saran
Berikut

ini adalah saran yang dapat dipertimbangkan untuk penyempurnaan

penelitian lebih lanjut yakni:


1. Apabila menggunakan
dari

mikrokontroler

mekanisme akuisisi data menggunakan ADC internal


sebaiknya

pada

rangkaian

mikrokontroler

ditambah

rangkaian IC RAM sehingga tampilan sinyal keluaran dapat lebih baik dan
mengurangi delay pengiriman data dari hardware menuju PC.
2. Untuk menunjang tingkat keamanan alat elektromiograf agar tidak terjadi kebocoran
arus yang dapat melukai pasien dapat ditambahkan rangkaian isolasi/rangkaian
proteksi.
3. Untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan perbaikan mekanisme pengukuran
tegangan peak to peak dan juga kalibrasi alat secara realtime sehingga dapat
diketahui nilai akurasi alat.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih disampaikan kepada Ibu Retna Apsari, Bapak Franky Chandra
Satria Arisgraha dan semua pihak yang telah membantu terselesaikannya fullpaper ini.

DAFTAR PUSTAKA
Cameron, John R, 1992, Fisika Tubuh Manusia, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Febriani, Evi Arida, 2012, Perancangan Elektrokardiograf (EKG) Berbasis PC untuk
Sistem Telemedika. Universitas Hasanuddin, Makasar.
Giancoli, D, C, 1998, Fisika 1, Edisi Kelima, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Mariam, S.K, 2006, Universal Bio-Amplifier Berbasis Personal Computer (PC) Bagian
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

135

II, Tugas Akhir Fakultas Sains Dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.
Muzakki, 2002, Elektronika Buku IA, IB, IIB, Laboratorium Instrumentasi dan
Komputasi Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Airlangga, Surabaya.
Nomiyasari, 2011, Perancangan dan Pembuatan Modul ECG dan EMG Dalam Satu
Unit PC Sub Judul : Pembuatan Rangkaian EMG dan Software EMG Pada PC,
Jurnal Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, Kampus
PENS-ITS, Surabaya.
Rusmawati, Erlina, 2006, Universal Bio-Amplifier Berbasis Personal Computer (PC)
Bagian I, Tugas Akhir Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga,
Surabaya.
Setiawan, Rachmad, 2008, Teknik Akuisisi Data, Graha Ilmu, Surabaya.
Setioningsih, Endang Dian, 2010, Analisa Efek Terapi Panas Terhadap Kelelahan Otot,
Skripsi Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, ITS, Surabaya.

136

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol. 2, No. 1, April 2014

You might also like