You are on page 1of 11

TINJAUAN PUSTAKA

TETANUS
I. Definisi
Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan kejang-kejang otot
rangka.1 Tetanus secara klinis dikategorikan menjadi 4 tipe, yaitu :
II.

Generalized tetanus
Localized tetanus
Cephalic tetanus
Neonatal tetanus (Tetanus Neonatorum)2

Epidemiologi
Tetanus ditemukan diseluruh dunia,terjadi secara sporadis atau secara "outbreak" dalam
skala yang kecil. Saat ini dinegara-negara maju sudah jarang ditemukan, sedangkan
dinegara agraris dimana kontak dengan kotoran hewan masih dimungkinkan, tetanus sering
ditemukan. Pada dewasa, laki-laki lebih sering dari pada wanita, yaitu 2,5:1, kebayakan
pada usia produktif.3
Secara global hampir 14% penyebab kematian neonatus adalah tetanus neonatorum.
Tetanus neonatorum bertanggung jawab terhadap 50% kematian neonatus yang disebabkan
oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Tetanus neonatorum dapat dicegah
dengan imunisasi dan atau pelayanan persalinan dan pasca persalinan yang bersih. Di
beberapa Negara berkembang kematian tetanus neonatorum merupakan 23-72% dari total
kematian neonatal. Perawatan pasca persalinan yang kurang bersih, perawatan umbilikus
yang kurang steril, Pertolongan persalinan yang tidak steril masih merupakan faktor risiko
utama tetanus neonatorum. Beberapa hasil penelitian menunjukkan pemberian imunisasi
tetanus toksoid 2 kali selama hamil menurunkan kejadian tetanus neonatorum.4

III.

Etiologi
Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana,
mampu bertahan di berbagai lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya
sangat kuat. Clostridium tetani telah diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan
binatang. Bakteri tersebut biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit,

luka tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin
tidak ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses,
gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan
abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika organisme ini berada padalingkungan anaerob
yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan toksin
tetanospasmin

dan

tetanolysin.

Tetanospasmin

adalah

neurotoksin

poten

yang

bertanggungjawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit


memiliki efek klinis.1
IV.

Patogenesis
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan saraf
pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian bermigrasi melalu
jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke
susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang lebih penting, mungkin keduanya
terlibat.1,2
Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction lebih
memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik
dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf
pusat.

Tetanospasmin

yang

merupakan

zincdependent

endopeptidase

memecah

vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan


peptide tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga
pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi,
mencegah pelepasan glisin dan -amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron
menghambat motor neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat
refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan
peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial
merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena
jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin
akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas
otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan
peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan

membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi


penyakit ini.1,2
V.

Manifestasi Klinis4
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek. Karakteristik dari tetanus adalah
- Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher
- Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw) karena spasme otot
-

masetter
Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus, nuchal rigidity)
Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut

mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat


Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan

eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik


Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari, setelah

10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya, setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin,
bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak)

Tetanus Lokal (Localized Tetanus)1,4


Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat
dimana luka terjadi. Hal ini merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut
biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progresif dan biasanya
menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus,
tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian.
Cephalic Tetanus1,4
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 2 hari,
yang berasal dari otitis media kronik, luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya
benda asing dalam rongga hidung. Gejala klinis dapat berupa kelumpuhan saraf kranial.
Generalized Tetanus1,4
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Trismus merupakan gejala utama yang sering
dijumpai, yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan
otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain
berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus
(kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot

pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianosis dan asfiksia. Bisa terjadi
disuria dan retensi urin, kompressi fraktur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan
temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi bisa mencapai 40oC. Disfungsi otonom ditandai
dengan tekanan darah dan irama yang tidak stabil, serta diaphoresis.
Tetanus Neonatorum1,4
Tetanus neonatorum merupakan penyebab utama kematian bayi pada negara yang kurang
berkembang. Infeksi terjadi akibat kontaminasi pada pemotongan umbilikus saat
persalinan, ditambah dengan kurangnya imunisasi pada ibu hamil. Pada minggu pertama
kehidupan, bayi yang terinfeksi menjadi iritabel, tidak dapat menyusu, sering menangis,
menyeringai dan berkembang menjadi kaku disertai opistotonus.
VI.

Diagnosis
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit dan temuan
saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan dengan
menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan
steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil
negatif berupa refleks muntah. Laporan singkat The American Journal of Tropical
Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifisitas tinggi (tidak ada
hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil
positif). Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Kultur C. tetani dari
luka sangat sulit (hanya 30% positif), dan hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan
konfirmasi.1
Terdapat beberapa sistem penilaian tetanus. Skala yang diusulkan Ablett adalah
yang paling banyak digunakan (Tabel 1). Selain skoring Ablett, terdapat sistem scoring
untuk menilai prognosis tetanus seperti Phillips score dan Dakar score. Kedua sistem
skoring ini memasukkan kriteria periode inkubasi dan periode onset, begitu pula
manifestasi neurologis dan kardiak. Phillips score juga memasukkan status imunisasi
pasien. Phillips score <9, severitas ringan; 9-18, severitas sedang; dan >18, severitas berat.
Dakar score 0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%; 2-3, severitas sedang dengan

mortalitas 10-20%; 4, severitas berat dengan mortalitas 20-40%; 5-6, severitas sangat berat
dengan mortalitas >50%.1

Beberapa keadaan yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan cermat adalah


meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial serta arthralgia temporomandibular
yang menyebabkan trismus, keracunan strychnine, tetani hipokalsemia, histeri, encefalitis,
terapi phenotiazine, serum sickness, epilepsi dan rabies.1
VII.

Penatalaksanaan1,2
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni :
1. Membuang Sumber Tetanospasmin
Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk mengurangi
muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut. Antibiotika diberikan untuk

mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan pencegahan tetanus secara klinis
adalah minimal. Pada penelitian di Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi
pilihan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazole diberikan secara iv dengan
dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10
hari. Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif.
Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain 50.000-100.000 U/kgBB/hari
selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi tetracycline 50
mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penicillin membunuh bentuk
vegetatif C. tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000 U/kgBB/hari iv,
setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah
penelitian menyatakan bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis terhadap
tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).
2. Netralisasi toksin yang tidak terikat
Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum berikatan.
Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan
intramuskuler dengan dosis total 3.000-10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan
diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG.
Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000-10.000 unit intravena. Untuk
bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis diberikan
secara infiltrasi di tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan sekali pengobatan karena
waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat pengobatan diberikan, makin efektif.
Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap immunoglobulin atau
komponen human immunoglobulin sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan
koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian intra muskular.
Bila tidak tersedia maka digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit
diberikan 50.000 unit intramuscular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama,
kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua
dan ketiga. Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi
immunisasi aktif dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus
tidak memiliki kekebalan.
3. Pengobatan suportif

Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang telah
terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU agar bisa
diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang
dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan tenang.
Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena harus
diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah penting sebagai penuntun
terapi. Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme laring,
aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi. Sekresi
bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan suctioning yang sering.1 Trakeostomi
ditujukan untuk menjaga jalan nafas terutama jika ada opistotonus dan keterlibatan
otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan. Kematian akibat spasme laring
mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot respirasi tidak adekuat sering terjadi
jika tidak tersedia akses ventilator.
Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien tersedasi
lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil kemungkinannya mengalami
spasme otot. Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan
pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/ kali
dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia
<2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus
segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per rektal untuk berat badan <10 kg dan 10
mg per rektal untuk anak dengan berat badan 10 kg, atau diazepam intravena untuk
anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan
dengan dosis rumatan sesuai keadaan klinis. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus
neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme
akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam
diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis
maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme
spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan
pernapasan. Tambahan efek sedasi bisa didapat dari barbiturate khususnya
phenobarbital dan phenotiazine seperti chlorpromazine, penggunaannya dapat
menguntungkan pasien dengan gangguan otonom. Phenobarbital diberikan dengan

dosis 120-200 mg intravena, dan diazepam dapat ditambahkan terpisah dengan dosis
sampai 120 mg/hari. Chlorpromazine diberikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-12
mg bagi bayi sampai 50-150 mg bagi dewasa.5,10 Morphine bisa memiliki efek sama
dan biasanya digunakan sebagai tambahan sedasi benzodiazepine. Jika spasme tidak
cukup terkontrol dengan benzodiazepine, dapat dipilih pelumpuh otot nondepolarisasi
dengan intermittent positive-pressure ventilation (IPPV). Pancuronium harus dihindari
karena efek samping simpatomimetik. Atracurium dapat sebagai pilihan. Vecuronium
juga telah digunakan karena stabil pada jantung. Pasien tetanus berat sering kali
membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3 minggu sampai spasme mereda. Insiden
ventilator-associated pneumonia pada pasien-pasien tetanus sebesar 52,6%. Infeksi
nosokomial umum terjadi karena lamanya perjalanan penyakit tetanus dan masih
merupakan penyebab penting kematian. Pencegahan komplikasi respirasi meliputi
perawatan mulut sangat teliti, fisioterapi dada dan suction trakea. Sedasi adekuat
selama prosedur invasif mencegah provokasi spasme atau ketidakstabilan otonom.
Instabilitas otonom terjadi beberapa hari setelah onset spasme umum dan fatality
ratenya 11-28%. Manifestasi berupa hipertensi labil, takikardia, dan demam. Berbagai
gangguan kardiovaskular seperti disritmia dan infark miokard serta kolaps sirkulasi
sering menyebabkan kematian. Tanda overaktivitas simpatis yaitu takikardia fluktuatif,
hipertensi yang kadang diikuti hipotensi, pucat dan berkeringat sering tampak beberapa
hari setelah onset spasme otot. Henti jantung tiba-tiba umum terjadi dan dikatakan
dapat dipresipitasi oleh kombinasi kadar katekolamin yang tinggi dan kerja langsung
toksin tetanus pada miokardium. Aktivitas simpatis yang memanjang dapat berakhir
dengan hipotensi dan bradikardi. Aktivitas parasimpatis berlebihan dapat menyebabkan
sinus arrest, dikatakan karena kerusakan langsung nucleus vagus oleh toksin tetanus.
Instabilitas tonom sulit diobati. Fluktuasi tekanan darah membutuhkan obat-obat
dengan waktu paruh singkat. Terapi konvensional terdiri dari sedasi dalam sebagai
terapi lini pertama, menggunakan benzodiazepine dosis besar, morphine, dan/atau
chlorpromazine. Saatini, magnesium sulfat intravena dicoba untuk mengendalikan
spasme dan disfungsi otonom; dosis loading 5 g (atau 75 mg/kg) IV dilanjutkan 1
sampai 3 g/jam sampai spasme terkontrol telah digunakan untuk mendapatkan
konsentrasi serum 2 sampai 4 mmol/L. Untuk menghindari overdosis, dimonitor reflek

patella. Beta blocker dapat menyebabkan hipotensi berat. Episode hipotensi yang tidak
membaik dengan penambahan volume intravaskular membutuhkan inotropik. Atropin
dosis tinggi, lebih dari 100 mg/jam, telah dianjurkan pada keadaan bradikardia. Tidak
ada regimen terapi yang dipercaya efektif secara universal untuk instabilitas otonom.
Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas simpatis
berlebihan dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi sangat diperlukan.
Nutrisi buruk dan penurunan berat badan terjadi cepat karena disfagia, gangguan fungsi
gastrointestinal dan peningkatan metabolisme, menurunkan daya tahan tubuh sehingga
memperburuk prognosis. Nutrisi parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan
insulin dalam jumlah cukup untuk mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan
katabolisme protein. Formula asam amino sangat membantu membatasi katabolisme
protein. Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian
obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya
dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda dapat
dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada
risiko aspirasi.
Emboli paru juga merupakan salah satu penyebab kematian, sehingga banyak
digunakan antikoagulan secara rutin seperti heparin subkutan; risiko thromboemboli
dan perdarahan harus dipertimbangkan. Gerakan pasif harus terus diberikan jika
digunakan pelumpuh otot.
VIII.

Prognosis2
Prognosis bergantung pada masa inkubasi, interval inokulasi spora hingga timbul gejala
pertama, dan interval gejala pertama hingga kejang tetanus pertama. Secara umum, interval
yang semakin singkat mengindikasikan beratnya tetanus dan prognosis yang lebih buruk.
Cephalic tetanus dan tetanus neonatorum selalu merupakan tetanus yang berat. Skala
penilaian dikembangkan untuk menilai derajat beratnya tetanus dan untuk menentukan
prognosis. Setiap manifestasi di bawah ini bernilai 1 poin;
- Periode inkubasi kurang dari 7 hari
- Periode onset kurang dari 48 jam
- Tetanus akibat luka bakar, pembedahan, fraktur multipel, abortus septik,
-

pemotongan umbilukus, atau injeksi intramuscular


Pengguna narkotika
Generalized tetanus
Suhu tubuh lebih dari 40oC

Takikardi lebih dari 120x/menit (> 150x/menit pada neonatus)

Skor
0-1
2-3
4
5-6

Kelompok
Ringan
Sedang
Berat
Sangat berat

Mortalitas
Dibawah 10%
10-20%
20-40%
Diatas 50%

DAFTAR PUSTAKA
1. Laksmi NKS. Continuing Professional Development : Penatalaksanaan tetanus. CDK.2014;
2.

222(41):823-7.

You might also like