Professional Documents
Culture Documents
Obliterasi dari lumen ventral dari laringofaring primitif akan digantikan oleh
munculnya lamina epitel. Duktus faringoglotis terletak di sebelah dorsal dari lamina epitel,
yang berkembang menjadi nodul interaritenoid dan glotis posterior. Sekum laring terletak di
sebelah anterior dari lamina epitel yang akan menjadi vestibulum laring. Lamina epitel
kemudian mengalami rekanalisasi sehingga sekum laring dan duktus faringogotis akan
bersatu. Kegagalan rekanalisasi akan menyebabkan stenosis laring atau laryngeal web
(Gambar 1).
Selama periode fetus, proses pembentukan vokal berasal dari aritenoid, sel goblet
dan kelenjar submukosa berkembang, dan kartilago epiglotis yang matur berubah menjadi
sebuah struktur fibrokartilago7. Periode fetus berakhir dalam 32 minggu. Menjelang akhir
kehamilan, kartilago cricoid berubah dari pertumbuhan interstisiil menjadi perikondrium.
secara spontan sembuh menjelang usia 12-24 bulan8-11,14,15. Dalam kasus laringomalasia
yang berat, seorang anak akan menderita akibat kejadian apneu, hipertensi pulmonal atau
kegagalan untuk berkembang. Dalam kasus tersebut, intervensi bedah dianjurkan,
termasuk supraglotiplasti, pemisahan lipatan aryepiglotis atau epiglotipeksi9-11.
Laringomalasia didiagnosa dengan memakai endoskopi yang dilengkai fiber optik
fleksibel8. Diklasifikasikan ke dalam tipe 1, tipe 2, tipe 3 berdasarkan pola kekolapsan
supraglotis8-10. Pada laringomalasia tipe 1, mukosa supraglotis prolaps; laringomalasia tipe
2 ditandai dengan pemendekan lipatan aryepiglotis; tipe 3 menunjukkan adanya
pergeseran ke arah posterior dari epiglotis.
Laringomalasia tipe 1 diterapi dengan melakukan supraglotiplasti, dimana sisa
mukosa epiglotis, lipatan aryepiglotis atau mukosa aritenoid dieksisi 8. Prosedur tersebut
dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan bedah mikro, laser karbondioksida atau
microdebrider laring10-11,13,16. Supraglotiplasti memakai laser karbondioksida menghasilkan
eksisi yang teliti dari jaringan sisa dengan perdarahan yang minimal 11,13. Supraglotiplasti
endoskopi dengan microdebrider laring akan menghasilkan tekanan negatif yang
berhubungan dengan inspirasi yang disimulasikan oleh suction, oleh karena itu dokter
bedah akan memiliki lapang pandang yang lebih baik dan dapat melakukan eksisi jaringan
sisa dengan tepat6. Laringomalasia tipe 2 diterapi dengan insisi pada lipatan aryepiglotis
untuk menghasilkan ekspansi jalan nafas11. Biasanya dilakukan eksisi pada tepi lipatan
aryepiglotis, namun Loke dan koleganya17 menunjukkan bahwa insisi sederhana dengan
memisahkan lipatan aryepiglotis sudah cukup untuk mengatasi obstruksi jalan nafas.
Pemisahan lipatan aryepiglotis dapat dilakukan dengan memakai gunting mikrolaring atau
dengan laser karbondioksida. Laringomalasia tipe 3 dapat diterapi secara efektif dengan
metode epiglotipleksi, dimana epiglotis dilekatkan pada basis lidah, sehingga mengoreksi
pergeseran posterior dari epiglotis11. Tidak semua kasus dapat diklasifikasikan dengan
mudah ke dalam kategori tunggal, oleh karena itu, kombinasi dari pilihan terapi bedah
dapat dipertimbangkan.
Penyakit refluks gastroesofagus diduga berhubungan dengan laringomalasia 8,10,18.
Tidak jelas apakah penyakit refluks gastroesofagus yang menyebabkan laringomalasia
dengan menginduksi edema difus laring, atau laringomalasia yang justru menyebabkan
penyakit refluks gastroesofagus dengan menginduksi tekanan negatif intrapleura yang
tinggi dan oleh karenanya mencegah sfingter esofagus bawah berfungsi dengan baik.
Dalam kedua kasus terseut, akan lebih baik jika terapi pasien laringomalasia yang
menderita akibat penyakit refluks gastroesofagus didasarkan pada ukuran antirefluks.
plika vokalis bilateral herediter. Namun belum ada kasus genetik yang berhasil
diidentifikasiuntuk kasus imobilitas plika vokalis unilateral20.
Endoskopi penting untuk mengevaluasi jalan nafas dan pergerakan plika
vokalis15,20,23. Kombinasi laringoskopi fleksibel dengan bronkhoskopi kaku dibawah
pengaruh anestesi telah diusulkan15,20. Pada evaluasi yang lengkap, arytenoid sebaiknya
dipalpasi untuk menentukan mobilitas dari sendi cricoaryteoid 20,24. Tes tambahan termasuk
video esofagografi dengan kontras untuk menilai fungsi menelan, dan elektromiografi
laring untuk membantu membedakan antara fiksasi plika vokalis dengan paralisis plika
vokalis15,20,24,25. Bayi dengan kerusakan pergerakan plika vokalis bilateral sebaiknya
menjalani foto kranial baik dengan CT-scan, USG maupun MRI untuk menegakkan
patologi pada batang otak. Sedangkan pemeriksaan fisik yang teliti pada leher dan foto
thoraks diperlukan untuk menegakkan patologi di daerah mediastinum.
Pada pasien yang mengalami imobilitas plika vokalis akibat sekunder gangguan
medis lain, maka penyebab utamanya harus diterapi terlebih dulu 15,20. Dalam kebanyakan
kaus, imobilitas plika vokalis kongenital idiopatik sembuh secara spontan dalam 6-12
bulan pertama kehidupan, meskipun penyembuhan yang berhasil didokumentasikan yaitu
11 tahun kemudian dari kehidupan awal
1,20,23
onservatif. Pada kasus dengan toleransi jalan nafas yang signifikan, trakheotomi mungkin
dibutuhkan hingga penyembuhan spontan dari pergerakan plika vokalis terjadi8,20,23.
Pada pasien dengan imobilitas plika vokalis unilateral dan resiko terjadi aspirasi,
maka dapat dipasang nasogastric tube atau gastrotomi untuk memastikan intake nutrisi
yang cukup19. Injeksi medialisasi pada plika vokalis yang paralisis dengan memakai spons
gelatin absorbable (Gelfoam) atau kolagen juga efektif dalam mengurangi aspirasi pada
anak usia lebih tua
1,20,23
tahun. Hal tersebut dapat menjadi pilihan pada anak-anak dengan toleransi jalan nafas
yang signifikan dan dengan kemungkinan kecil kembalinya fungsi plika vokalis yang
cukup.
3.
Kista laring
Kista laring muncul dengan derajat obstruksi jalan nafas yang bervariasi, serak, dan
disfagia27-29. DeSanto dan koleganya30 mengelompokkan kista laring ke dalam bentuk
sakular, duktal atau kista foramina kartilago tiroid. Pada tahun 1997, Arens dan kolega 31
menciptakan
sebuah
sistem
klasifikasi
baru
dimana
lokasi
dari
kista
dan
b. Kista valekular
Kebanyakan neonatus dengan kista valekular (Gambar 4.) muncul dengan keluhan
stridor dalam beberapa minggu pertama kehidupan1. Gejala yang lain meliputi batuk,
kesulitan makan, episode sianosis dan kegagalan pertumbuhan. Diantara banyak teori
mengenai patogenesis kista valekular, kondisi yang paling mungkin yaitu akibat obstruksi
kelenjar mukosa yang terletak di dasar lidah 29. Sekresi mukosa dari kelenjar di sekeliling
kista menyebabkan ukuran kista bertambah besar.
CT scan dapat bermanfaat untuk menunjukkan lokasi dan perluasan kista 29. Namun,
endoskopi penting untuk mendiagnosis secara akurat kista valekular dan menyingkirkan
lesi valekular lain seperti kista dermoid, teratoma, tyroid lingual, limfangioma atau
hemangioma1,29. Evaluasi endoskopi mengungkap sebuah masa lokal yang halus dalam
ruang valekular. Scan tyroid radionukleotida mungkin dapat membantu untuk melokalisasi
fungsi jaringan tyroid.
Terapi definitif dari kista valekular meliputi eksisi endoskopi atau marsupialisasi1,29.
Aspirasi kista bermanfaat dalam mengamankan jalan nafas, namun sering menyebabkan
kekambuhan.
dapat
hiperekogenik, pendataran diafragma, paru-paru yang dipenuhi air, dilatasi jalan nafas di
bagian distal dari segmen yang mengalami obstruksi, hidrops fetalis dan polihidramnion 3638