You are on page 1of 3

Aplikasi Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Peserta Didik

Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses
pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peranan guru dalam
pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik sedangkan guru
memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta didik.
Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta didik dan mendampingi peserta
didik untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Peserta didik berperan sebagai pelaku utama
(student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan peserta
didik memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan
potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses
yang umumnya dilalui adalah :
1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas
2. Mengusahakan partisipasi aktif peserta didik melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur
dan positif.
3. Mendorong peserta didik untuk mengembangkan kesanggupan peserta didik untuk belajar
atas inisiatif sendiri
4. Mendorong peserta didik untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara
mandiri
5. Peserta didik di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri,
melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
6. Guru menerima peserta didik apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran peserta didik,
tidak menilai secara normatif tetapi mendorong peserta didik untuk bertanggungjawab atas
segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan presta-peserta didik
9. Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi
pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan
analisis terhadap fenomena sosial.
Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah peserta didik merasa senang bergairah,
berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan
sendiri. Peserta didik diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh

pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa
mengurangi hakhak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku.
Pandangan Humanisme dalam Pendidikan Nilai
Humanisme harus dipahami sebagai suatu keyakinan etis yang secara langsung mengandung
sikap etis praktis yang sesuai, yaitu suatu keyakinan bahwa setiap orang harus dihormati
sebagai persona, sebagai manusia dalam arti sepenuhnya. Setiap orang dihormati tidak karena
ia pintar atau bodoh, baik atau buruk, dari mana daerah asalusulnya, komunitas etnik atau umat
beragama mana, dan apakah ia seorang lakilaki atau perempuan.
Humanisme berarti menghormati orang lain dalam identitas personalnya, dengan
keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan, cita-cita, ketakutan-ketakutan dan kebutuhankebutuhannya. Humanisme berarti suatu pandangan atau perspektif dimana hormat dasar yang
diberikan kepada orang lain tidak tergantung dari ciriciri atau kemampuan-kemampuannya,
melainkan semata-mata dari kenyataan bahwa dia adalah seorang manusia. Oleh sebab itu,
tindakan yang buruk atau kejahatan terhadap orang lain merupakan kekejaman yang jauh dari
nilai humanis.
Tidak bersikap kejam berarti tidak pernah membuat orang lain merasa sakit, dengan
tidak melukai orang lain secara fisik maupun merendahkannya secara psikis. Yang penting bagi
seorang humanis adalah tidak perlu ada alasan teoretis untuk tidak bersikap kejam
(MagnisSuseno, 2001).
Humanisme juga diartikan sebagai solidaritas berprinsip dengan orang lain apapun
kondisi orang tersebut, orang lain tanpa memandang sekat-sekat primordial dan sosialnya.
Penolakan terhadap ketidakadilan, fairness dan cinta keadilan adalah sikap berprinsip yang
mewarnai seseorang dalam seluruh dimensi hidupnya. Ini berarti, humanisme tidak terikat pada
batas-batas ideologi, agama atau legitimasi-legitimasi teoritis lain (MagnisSuseno, 2001).
Magnis Suseno menggambarkan pribadi yang humanis adalah pribadi yang memiliki sikapsikap tahu diri, bijaksana, bertolak dari keterbatasannya maka mengambil sikap yang wajar,
terbuka, dan melihat berbagai kemungkinan.
Bersikap positif terhadap sesama, tidak terhalang oleh kepicikan primordialisme, suku,
bangsa, agama, etnik, warna kulit, dan lain-lain. Ia anti kepicikan, fanatisme, kekerasan,
penilaian-penilaian mutlak, tidak mudah mengutuk pandangan orang lain. Sebaliknya, ia
bersikap terbuka, toleran, mampu menghormati keyakinan orang lain termasuk jika ia tidak
menyetujuinya, dan mampu melihat yang positif di balik perbedaan.

Di tingkat institusi-institusi, humanisme menuntut terciptanya lembaga-lembaga yang


menjaga dan menghormati sikap-sikap di atas. Aspek-aspek penting yang perlu diciptakan
dalam institusi-institusi kelembagaan yang humanis adalah
1) menjunjung persamaan hak dan hak-hak asasi manusia,
2) sistem hukum yang menjamin bahwa setiap orang tanpa diskriminasi memiliki akses ke
jaminan hukum yang sama dan diperlakukan sesuai dengan hukum yang berlaku,
3) sebuah kerangka hukum dan politik yang terarah pada pencapaian keadilan sosial,
solidaritas bagi anggota-anggota masyarakat yang paling lemah. Dengan ungkapan lain,
institusi yang humanis memiliki kerangka hukum atau aturan serta konstitusional yang inklusif,
yang tidak berdasarkan pada pandangan satu golongan atau kelompok saja, melainkan yang
dapat diterima oleh semua golongan atau kelompok sebagai anggota institusi, sehingga mereka
merasa sejahtera tanpa takut terancam identitas dan kekhasan masing-masing.

You might also like