You are on page 1of 11

NAMA

: RIKI EKA SAPUTRA


NIM
: 17560
MATKUL : BIROKRASI DAN ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN

A.BUDAYA BIROKRASI BIROKRASI DI INDONESIA ZAMAN KOKONIAL


BELANDA
Birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang sarat kepentingan
kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai
dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil
warga negara.Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan
instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya
untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Hal ini dikarenakan misi utama birokrasi yang dibangun oleh kolonial
adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu.
Indonesia mengalami masa penjajahan yang begitu lama. Dimulai dari
kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol. Kemudian disusul oleh bangsa Belanda
yang menjajah negeri ini hingga kurang lebih 350 tahun lamanya. Kemudian terakhir,
Indonesia dijajah oleh Jepang. Begitu lamanya Belanda menjajah bangsa ini,
membuat segala corak sistem pemerintahan di Indonesia dipengaruhi oleh gaya
pemerintahan jaman kolonial Belanda.
Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad
ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem
kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai
pemegang kekuasaan tunggal dan absolute. Segala keputusan ada di tangan raja dan
semua masyarakat harus patuh dan tunduk pada kehendak sang Raja. Birokrasi
pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi kerajaan, yang memiliki
cirri-ciri sebagai berikut
1. Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan
pribadi;
2.Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana;
3. Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja;
4. Gaji dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat
ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja;
5. Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat, seperti
halnya dilakukan oleh raja.
Sedangkan pada masa kolonial Belanda, pelayanan publik tidak terlepas dari
sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan

penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan adminitrasi


pemerintahan yang berlaku di Indonesia.
Sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah nusantara baik
secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial menjalin hubungan politik
dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat, motif utamanya
adalah menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan. Selama
pemerintahan kolonial terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi
telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem administrasi kolonial
(binnenlandcshe Bestuur) yang mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi
modern, sedangkan pada sisi lain, sistem tradisional ( Inheemsche Bestuur ) masih
tetap dipertahankan.
Sejarah bangsa ini pada jaman pra kemerdekaan begitu diliputi oleh praktek
penjajahan dan otoritarianisme. Kondisi ini memberikan warna bagi dinamika
birokrasi di Indonesia pasca kemerdekaan. Lantas bagaimanakah dinamika birokrasi
di Indonesia sejak masa awal pasca kemerdekaan, yaitu sejak orde lama hingga jaman
reformasi saat ini? Kemudian bagaimana kaitan antara penyelenggaraan birokrasi
dengan praktek-praktek politik pada masa-masa tersebut ? Dalam tulisan ini akan
dibahas mengenai perkembangan atau dinamika penyelenggaraan birokrasi di
Indonesia pasca kemerdekaan hingga reformasi serta hubungannya dengan praktek
politik yang terjadi

B.BIROKRASI MASA ORDE LAMA


Setelah memperoleh kemerdekaan, Negara ini berusaha mencari format
pemerintahan yang cocok untuk kondisi saat itu. Berakhirnya masa pemerintahan
kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan
sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaanperbedaan pandangan yang terjadi di antara
pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan
didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah
disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan.
Pada masa awal kemerdekaan, Negara ini mengalami perubahan bentuk
Negara, dan ini yang berimplikasi pada pengaturan aparatur Negara atau birokrasi.
Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS
melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya
terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat itu. Pertama,
bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa
mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja
yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada
Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak
loyal terhadap NKRI.

Selain perubahan bentuk Negara, berganti-gantinya kabinet mempengaruhi


jalannya kinerja pemerintah. Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan
birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Kinerja birokrasi sangat ditentukan oleh
kekuatan politik yang berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik
antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan
atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari
partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.
Dalam memandang model birokrasi yang terjadi seperti ini, Karl D Jackson
menyebutnya sebagai bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana
negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari
politik dan pemerintahan. Jika melihat peta politik pada masa orde lama, peran
seorang presiden sangat dominan dalam mengatur segala kebijakan baik dari tingkat
daerah hingga pusat terkendali di tangan seorang Presiden. Sistem ini dikenal sebagai
sistem demokrasi terpimpin.
Dalam tataran kinerja birokrasi di bawahnya, segala program departemen yang
tidak sesuai dengan garis kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah dihapuskan
oleh menteri baru yang menduduki suatu departemen. Birokrasi pada masa itu benarbenar mengalami politisasi sebagai instrumen politik yang berkuasa atau berpengaruh.
Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan
sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birkrasi menjadi tidak professional
dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan
kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari
partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu
menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai
politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan merit
system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.
Kekuatan politik pada saat itu yang ada adalah Sokarno sebagai seorang
Presiden berikut kekuatan pendukungnya, PKI, dan TNI. Namun kekuatan politik
terbesar ada pada presiden serta PKI sebagai partai terbesar setelah PNI. Tak heran
jika untuk memperkuat posisi kekuasaan presiden, Soekarno memelihara PKI
sebagai kekuatan pendukung. Untuk dapat mengontrol rakyat yang kritis dan
dianggap membahayakan, dibentuklah serikat-serikat atau organisasi yang
berbasiskan profesi, atau perkumpulan lainnya yang bertujuan sebaai penampung
aspirasi
mereka.
Menurut Bahtiar Effendy (dalam Maliki, 2000: xxvii), sejak Indonesia
mempunyai perangkat birokrasi, sulit rasanya menemukan suatu periode
pemerintahan yang memperlakukan birokrasi sebagai institusi yang bebas dari politik.
Baik pada masa demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila,
dan periode transisional sesudahnya, interplay antara politik dan birokrasi merupakan

sesuatu yang jelas adanya. Pada masa Demokrasi Parlementer dan terpimpin
misalnya, adanya politisasi birokrasi bisa dilihat dari adanya anggapan bahwa
Kementrian Pendidikan diasosiasikan dengan PNI. Sementara itu, Kementrian Agama
dikaitkan dengan dengan kekuatan politik Masyumi atau NU.
Dari penjelasan tersebut, bisa diartikan bahwa pada masa Orde Lama,
birokrasi cenderung terbelah menjadi faksi-faksi dan mesin politik bagi partai-partai
politik, seperti PNI, NU, PKI, dan lainnya. Kebijakan yang diturunkan pada birokrasi
di tingkat bawah ditentukan oleh partai apa yan berkuasa. Maka tidak heran jika
sebuah kebijakan tidak dapat dilaksanakan hingga tuntas, dikarenakan pergantian
kabinet.
C.BIROKRASI MASA ORDE BARU
di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde
Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak
sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila
orang berbicara tentang birokrasi berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, urusan
yang berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur
dibandingkan substansi, dan tidak efesien.
Melihat realitas birokrasi di Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat Karl
D. Jackson, Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai
bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang menyebutnya sebagai birokrasi patrimonial
dengan ciri-cirinya adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2)
jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat
mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan
diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.
Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan dihegemoni oleh
Golkar dan ABRI. Kedua kekuatan ini telah menciptakan kehidupan politik yang tidak
sehat. Hal itu bisa dilihat adanya hegemonic party system diistilahkan oleh Afan
Gaffar (1999). Sedangkan menurut William Liddle, kekuasaan orde baru terdiri dari
(1) kantor kepresidenan yang kuat, (2) militer yang aktif berpolitik, dan (3) birokrasi
sebagai pusat pengambilan kebijakan (dalam Maliki, 2000: xxiii) .
Sistem birokrasi yang berlaku di Indonesia pada masa orde baru tidak dapat
dilepaskan dari sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan, pemerintahan
kolonial dan pemerintahan Orde Lama. Masing-masing tahap tersebut membawa
corak birokrasi sendiri. Dalam zaman kerajaan dimana feodalisme menjadi landasan
birokrasi maka dituntut kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya terhadap raja dan para
punggawa kerajaan, sebagai kelompok elit pemerintahan.

Kepatuhan harus diwujudkan dengan melaksanakan segala peraturan dan


perintah kerajaan dan tidak untuk mempertimbangkan untung rugi dan dampaknya.
Sikap atau perilaku yang demikian dibarengi dengan timbulnya perasaan dan
kepercayaan rakyat bahwa pihak kerajaan akan melindungi para kawula dari segala
macam gangguan dan ancaman. Timbullah hubungan ketergantungan, pelindung dan
yang dilindungi. Hubungan demikian oleh James Scott dikategorikan sebagai
"patronclient relationship" (dalam Ismani, 2001: 35). Dalam birokrasi timbul
hubungan "bapak-anak buah secara khusus sebagaimana berlaku di Indonesia setelah
kemerdekaan.
Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia pada jaman orde
baru sebagai birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter
Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta
pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk
pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang
dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan
menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan.
Birokrasi model Parkinson ini menjelaskan fenomena birokrasi dimana setiap
organisasi birokrasi memerlukan dua sifat dasar, yaitu setiap pejabat Negara
berkeinginan untuk meningkatkan jumlah bawahannya dan mereka saling memberi
kerja yang tidak perlu. Akibatnya, birokrasi cenderung meningkatkan terus jumlah
pegawainya tanpa memperhatikan tugas-tugas yang harus mereka lakukan. Dari
model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di
Indonesia adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisein dan mempunyai pegawai
birokrat yang makin membengkak.

Birokrasi Indonesia saat ini tidak bisa terlepas dari faktor sejarah. Sejarah
telah menciptakan birokrasi patrimonial. Birokrasi ini mendasarkan pada hubungan
bapak buah dengan anak buah (patron client) sehingga segala yang dikerjakan
bawahan hendaknya harus sesuai dengan keinginan atasan. Hal ini menimbulkan
bawahan selalu tergantung pada atasan. Budaya patronase menimbulkan rasa ewuh
pakewuh yang berlebihan terhadap atasan.
Pada masa orde baru ini terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap birokrasi
yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi
diarahkan sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu. Seperti dalam
pandangan William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang mempunyai otonomi
relatif, merupakan pelaku utama transformasimeskipun tidak penuhmodel
pemerintahan yang bersifat pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi. Birokrasi
dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap Pemilu. Setiap
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar. Meskipun pada awalnya,
Golkar tidak ingin disebut sebagai partai, tetapi hanya sebagai golongan kekaryaan.

Namun permasalahannya, Golkar merupakan kontestan Pemilu dan itu berarti dia
adalah partai politik.
Pegawai negeri yang menjadi pengurus partai selain Golkar, maka dia akan
tersingkirkan dari jajaran birokrasi. Selain itu, orang atau sekelompok orang yang
tidak berpihak pada Golkar, maka bisa dipastikan akan mendapat perlakuan
diskriminatif dalam birokrasi. Jika suatu wilayah tidak merupakan basis Golkar, maka
pembangunan akan sangat tertinggal karena pemerintah lebih mengutamakan daerah
yang merupakan basis Golkar. Keberpihakan birokrasi terhadap suatu partai, tentu
saja dalam hal ini Golkar, akan mengurangi profesionalisme dari birokrasi tersebut.
Singkatnya, birokrasi wajib mendukung Golkar sebagai partai pemerintah. Begitu
juga dengan kekuatan militer sebagai pendukung pemerintahan pada saat itu. Pada
situasi seperti itu, jelas bahwa birokrasi, militer, dan partai politik tidak bisa berfungsi
sebagaimana mestinya.
Dukungan yang diberikan oleh PNS atau birokrasi tidak hanya sampai di situ.
Anggota keluarga dari pegawai pemerintah pun harus turut mendukung Golkar. Oleh
sebab itulah Golkar selalu menang dalam setiap Pemilu, karena jumlah pegawai
negeri di Indonesia sangat banyak jumlahnya, belum ditambah lagi dengan anggota
keluarganya. Keterlibatan birokrasi dalam partai politik membuat pelayanan terhadap
masyarakat menjadi diabaikan, karena mereka lebih mementingkan kepentingan partai
politiknya.
Hampir semua orang tahu bahwa birokrasi Negaradalam pengertian ini
termasuk ABRIsesungguhnya sudah lama mengambil alih peran partai politik dan
Golkar, baik dalam perumusan kebijakan maupun proses politik pada umumnya.
Karena itu, perlakuan khusus bagi birokrasi dengan menciptakan fraksi tersendiri bagi
mereka di DPR akan mempertajam ketimpangan kekuasaan antara unsur-unsur
masyarakat yang tak berdaya dan negara yang kekuasaannya sudah berlebih.

Struktur DPR sejak Pemilu 1971 sebenarnya sudah didominasi oleh unsurunsur birokrasi negara, baik itu anggota Korpri maupun ABRI, sebagian anggota
Fraksi Karya Pembanguan (F-KP) di DPR dan DPRD. Sehingga tak berlebihan untuk
mengatakan bahwa dalam praktek, F-KP dan F-ABRI adalah "fraksi birokrasi" yang
lebih melayani kepentingan birokrasi ketimbang aspirasi masyarakat.
Dalam zaman orde baru juga ada suatu kebijakan yang disebut zero growth.
Adanya kebijakan zero growth yang menyebabkan jumlah anggota birokrasi makin
membengkak. Hal ini menjadikan birokrasi tidak efisien karena jumlah pekerja
dengan pekerjaannya tidak sebanding, inilah yang dimaksud birokrasi Parkinson dan
Orwell.

Pada masa orde baru, pemerintahan yang baik belum terlaksana. Misalnya saja
dalam pelayanan dan pengurusuan administrasi masih saja berbelit-belit dan
memerlukan waktu yang lama. Membutuhkan biaya tinggi karena ada pungutanpungutan liar. Pembangunan fisik pun juga masih sering terbengkalai atau lamban
dalam perbaikan. Masih banyak KKN yang terjadi dalam lingkungan birokrasi
khususnya dalam sektor pelayanan publik, hal ini seperti yang dilaporkan oleh ICW
(Indonesia Corruption Watch) pada tahun 2000[1].
Hasil penelitian dari PERC (Political and Economic Risk Consultancy, 2000)
yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan
sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi; dan 9,09 untuk kroniisme diantara
negara-negara Asia, dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga
sepuluh yang terburuk. Hasil penelitian tersebut, menempatkan Indonesia pada
peringkat bawah atau tergolong pada negara dengan tingkat korupsi yang sangat
parah. Selain itu, menurut penelitian tersebut, masalah korupsi juga terkait erat
dengan birokrasi. Dalam hubungan ini birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk.
Di tahun 2000 Indonesia memperoleh skor 8 (yaitu kisaran skor nol untuk terbaik dan
10 untuk yang terburuk) yang berarti jauh dibawah rata-rata kualitas birokrasi di
negara-negara Asia.
Terpuruknya Indonesia dalam kategori korupsi dan birokrasi, juga dilengkapi
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh PERC (2001) dan Price Water House
Cooper (2001) tentang ranking negara-negara Asia dalam implementasi good
governance. Indonesia menempati ranking/urutan ke 89 dari 91 negara yang disurvei;
dan dari sisi competitiveness Indonesia menempati urutan ke-49 dari 49 negara yang
diteliti. Berbagai fenomena dan sejarah perkembangan korupsi di Indonesia tersebut
menunjukkan adanya kaitan erat antara KKN dengan perilaku kekuasaan dan
birokrasi yang melakukan penyimpangan.
Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme
Negara yang bertujuan untuk mendukung penetarsinya ke dalam masyarakat,
sekaligus dalam rangka mengontrol publik secara penuh. Strategi politik birokrasi
tersebut merupakan strategi dalam mengatur system perwakilan kepentingan melalui
jaringan fungsional non-ideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai
lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau perizinan,
yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar kelompok
kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap hilangnya
pluralitas sosial, politik maupun budaya. Reformasi birokrasi yang dilakukan pada
masa orde baru bersifat semu.
Birokrasi diarahkan pada :
1. Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki birokrasi.
2. Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat.

3. Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mengkonsolidasikan


pengendalian atas daerah-daerah.
Birokrasi dalam pemrintahan Orde Baru merupakan sebuah instrumen politik
yang sangat efektif dalam memobilisasi massa demi memelihara format politik orde
baru. Adapun wujudnya dapat berupa: pertama, dukungan langsung kepada Golkar
pada setiap Pemilu; kedua, birokrasi terlibat secara langsung dalam proses
pemenangan Golkar pada Pemilu; ketiga, birokrasi merupakan penyedia dana bagi
usaha pemenangan Golkar dalam setiap Pemilu (Afan Gaffar, 1999).
Tidak dapat disangkal lagi bahwa masa orde baru, peran birokrasi di bidang
politik sangat menonjol. Di lain pihak, peran partai politik dan parlemen lemah.
Sistem pemerintahan yang sentralistis didukung penuh oleh sistem birokrasi yang
menganut monoloyalitas kepada Partai Golkar. Akhirnya, birokrasi Orde Baru hanya
menjadi instrumen hegemonik berupa aparatur negara yang mendukung
otoritarianisme.
Menurut Miftah Thoha (2003), birokrasi atau pemerintah yang bukan
merupakan kekuatan politik ini seharusnya dibebaskan dari pengaruh dan keterjalinan
ikatan politik dengan kekuatan-kekuatan yang sewaktu-waktu bisa masuk birokrasi.
Dengan demikian diharapkan pelayanan kepada masyarakat yang diberikan birokrasi
netral, tidak memihak dan obyektif (Kuncoro, 2007: 52). Namun dalam
pelaksanaannya justru hal ini dilanggar, sebab masih banyak kalangan birokrasi yang
terlibat dalam pertarungan politik, misalnya dalam Pemilu, sehingga dalam hal
pelayanan menjadi tidak obyektif dan cenderung diskriminasi.

D.BUDAYA BIROKRASI ZAMAN REFORMASI


Setelah reformasi bergulir, usaha untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan
dan pengaruh politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi
mencuat terus-menerus. BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5
Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil
(PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8
Tahun
1974.
Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula
dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun
kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan
dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat
birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis
multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya

kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negara


negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.

Osborne dan Plastrik (1997)[2] mengemukakan bahwa realitas sosial, politik


dan ekonomi yang dihadapi oleh Negaranegara yang sedang berkembang seringkali
berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju.
Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi
birokrasi di Negaranegara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang
dihadapi oleh para reformis di Negaranegara maju pada sepuluh dekade yang lalu.
Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh
kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi
sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal daripada
faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat sebagai
tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan sebagian fenomena
birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi,
tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia.
Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi
sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidaktidaknya
memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan
berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan.
Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan
alat politik yang efektif bagi kepentingan kepentingan golongan atau partai politik
tertentu. Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh
kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam
kekuasaan dengan melakukan tindak KKN.
Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar
aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk
semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan
dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang
menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna
jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya
dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap
acuh dan arogan terhadap masyarakat.
Politisasi birokrasi pada masa era oreformasi sudah menandai 100 hari kerja
kabinet Gus Dur. Kasus di Departemen Kehutanan menjadi salah satu buktinya.
Dalam kasus itu, Menteri Kehutanan yang juga ketua Partai Keailan mengangkat
sekjen yagn jelas-jelas dipertanyakan visinya tentang tugas-tugas kementrian ini.
Sekjen yang direkrut itu dinilai juga tidak memenuhi ketentuan administrasi
kepegawaian, antara lain melewati batas usia yang ditentukan. Pertimbangan ini

hanya diambil atas alasan bahwa dia adalah seorang deklarator partai yang dipimpin
Menhut. Pembentukan kabinet ini dinilai banyak orang lebih sebagai kabinet trima
kasih, sehingga kemudian mudah dipahami mengapa Gus Dur mendukung kebijakan
Menhut.
Dalam kasus lain, Miftah Thoha, menyebutkan bahwa: Upaya untuk netralitas
birokrasi di zaman reformasi semakin berkembang. Hal ini bermula ketika ada
gerakan happening-art yang moderat berupa pelepasan seragam KORPRI oleh dokter
dan pegawai lingkungan UI yang diadakan oleh Forum Salemba (Forsal), kemudian
ada gayung bersambut berupa gerakan pernyataan yang sangat keras seperti
melakukan penghapusan unit KORPRI di Departemen Penerangan. Selain itu gerakan
juga berlangsung di legislatif dalam perbedaan pernyataan sikap kalangan muda FKP
agar KORPRI dibubarkan atau bersikap netral dengan kalangan tuanya, faksi Akbar
Tanjung. Juga perbedaan pandangan Mendagri Syarwan Hamid yang menginginkan
birokrasi netral dan tidak menjadi pengurus politik berlawanan dengan pandangan
Mensesneg Akbar Tanjung yang menganggap berpolitik adalah hak asasi PNS (Thoha,
2003).
Kemudian ada pula tindakan Presiden Abdurrahman Wahid yang
menghapuskan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, dengan alasan bahwa
departemen tersebut bermasalah, banyak KKN, dan departemen itu dianggap telah
mencampuri hak-hak sipil warga negara. Penghapusan dua departemen tersebut dapat
dikatakan sesuai dengan prinsip reinventing government atau ada pula yang
menganggap hal ini sebagai langkah debirokratiasasi dan dekonstruksi cabinet masa
lalu yang dianggap terlalu berlebihan mengintervensi kemerdekaan dan kemandirian
publik.
Aturan induk netralitas politik birokrasi Indonesia sudah ada pada pasal 4
Peraturan Pemerintah/1999, yang menyatakan bahwa PNS dalam menyelenggarakan
tugas pemerintahan dan pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khusunya dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam pemerintahan Megawati, para menteri dalam kabinet masa itu
melestarikan tradisi Golkar, yaitu semua organisasi pemerintah dikaburkan antara
jabatan karier dengan non karier, serta jabatan birokrasi dengan jabatan politik. Hal ini
menunjukkan bahwa pada masa ini harapan untuk melakukan reformasi birokrasi
tidak akan terlaksana. Saat membentuk kabinet yang pertama setelah Gus Dur terpilih,
sedang terjadi keributan tentang pengangkatan Sesjen di Departemen Kehutanan
dimana sekjen tersebut adalah orang dari partai yang sama dengan menteri kehutanan
saat itu. Begitu juga terjadi di beberapa departemen dan di Diknas, BUMN, dan lainlain.
Ada beberapa eselon yang diangkat yang dia merupakan orang dari partai yang
sama dengan menteri yang membawahi departemen tersebut. Hal ini menunjukkan

bahwa bagaimana suatu birokrasi pemerintahan tidak terlepas dari intervensi partai
politik.
Setelah reformasi, pemerintah berusaha memperbaiki keadaan birokrasi
Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya beberapa peraturan yang mengatur tentang
pemberantasan KKN dan menciptakan aparat pemerintah yang bersih dan
bertanggung jawab. Diantaranya adalah Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-undang No. 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Meskipun sudah melakukan reformasi di tahun 1998 ternyata untuk
melakukan suatu perubahan dalam berbirokrasi atau reformasi birokrasi adalah hal
yang sangatlah sulit. Kepentingan-kepentingan partai masih saja mengintervensi
birokrasi pemerintahan di Indonesia.
Implikasi dari adanya politisasi birokrasi, pelayanan yang sarat dengan nuansa
kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan
dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi
pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya
berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat
dicegah secara efektif. Karena masih melekatnya budaya birokrasi yang diwariskan
masa orde baru, penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat
pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat
dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi.
Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan
pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil termasuk
salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan
pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan
dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau
besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi
pelayanan birokrasi. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun
merupakan instrumen untuk mengatur dan menga

You might also like