Professional Documents
Culture Documents
sesuatu yang jelas adanya. Pada masa Demokrasi Parlementer dan terpimpin
misalnya, adanya politisasi birokrasi bisa dilihat dari adanya anggapan bahwa
Kementrian Pendidikan diasosiasikan dengan PNI. Sementara itu, Kementrian Agama
dikaitkan dengan dengan kekuatan politik Masyumi atau NU.
Dari penjelasan tersebut, bisa diartikan bahwa pada masa Orde Lama,
birokrasi cenderung terbelah menjadi faksi-faksi dan mesin politik bagi partai-partai
politik, seperti PNI, NU, PKI, dan lainnya. Kebijakan yang diturunkan pada birokrasi
di tingkat bawah ditentukan oleh partai apa yan berkuasa. Maka tidak heran jika
sebuah kebijakan tidak dapat dilaksanakan hingga tuntas, dikarenakan pergantian
kabinet.
C.BIROKRASI MASA ORDE BARU
di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde
Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak
sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila
orang berbicara tentang birokrasi berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, urusan
yang berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur
dibandingkan substansi, dan tidak efesien.
Melihat realitas birokrasi di Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat Karl
D. Jackson, Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai
bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang menyebutnya sebagai birokrasi patrimonial
dengan ciri-cirinya adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2)
jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat
mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan
diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.
Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan dihegemoni oleh
Golkar dan ABRI. Kedua kekuatan ini telah menciptakan kehidupan politik yang tidak
sehat. Hal itu bisa dilihat adanya hegemonic party system diistilahkan oleh Afan
Gaffar (1999). Sedangkan menurut William Liddle, kekuasaan orde baru terdiri dari
(1) kantor kepresidenan yang kuat, (2) militer yang aktif berpolitik, dan (3) birokrasi
sebagai pusat pengambilan kebijakan (dalam Maliki, 2000: xxiii) .
Sistem birokrasi yang berlaku di Indonesia pada masa orde baru tidak dapat
dilepaskan dari sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan, pemerintahan
kolonial dan pemerintahan Orde Lama. Masing-masing tahap tersebut membawa
corak birokrasi sendiri. Dalam zaman kerajaan dimana feodalisme menjadi landasan
birokrasi maka dituntut kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya terhadap raja dan para
punggawa kerajaan, sebagai kelompok elit pemerintahan.
Birokrasi Indonesia saat ini tidak bisa terlepas dari faktor sejarah. Sejarah
telah menciptakan birokrasi patrimonial. Birokrasi ini mendasarkan pada hubungan
bapak buah dengan anak buah (patron client) sehingga segala yang dikerjakan
bawahan hendaknya harus sesuai dengan keinginan atasan. Hal ini menimbulkan
bawahan selalu tergantung pada atasan. Budaya patronase menimbulkan rasa ewuh
pakewuh yang berlebihan terhadap atasan.
Pada masa orde baru ini terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap birokrasi
yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi
diarahkan sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu. Seperti dalam
pandangan William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang mempunyai otonomi
relatif, merupakan pelaku utama transformasimeskipun tidak penuhmodel
pemerintahan yang bersifat pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi. Birokrasi
dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap Pemilu. Setiap
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar. Meskipun pada awalnya,
Golkar tidak ingin disebut sebagai partai, tetapi hanya sebagai golongan kekaryaan.
Namun permasalahannya, Golkar merupakan kontestan Pemilu dan itu berarti dia
adalah partai politik.
Pegawai negeri yang menjadi pengurus partai selain Golkar, maka dia akan
tersingkirkan dari jajaran birokrasi. Selain itu, orang atau sekelompok orang yang
tidak berpihak pada Golkar, maka bisa dipastikan akan mendapat perlakuan
diskriminatif dalam birokrasi. Jika suatu wilayah tidak merupakan basis Golkar, maka
pembangunan akan sangat tertinggal karena pemerintah lebih mengutamakan daerah
yang merupakan basis Golkar. Keberpihakan birokrasi terhadap suatu partai, tentu
saja dalam hal ini Golkar, akan mengurangi profesionalisme dari birokrasi tersebut.
Singkatnya, birokrasi wajib mendukung Golkar sebagai partai pemerintah. Begitu
juga dengan kekuatan militer sebagai pendukung pemerintahan pada saat itu. Pada
situasi seperti itu, jelas bahwa birokrasi, militer, dan partai politik tidak bisa berfungsi
sebagaimana mestinya.
Dukungan yang diberikan oleh PNS atau birokrasi tidak hanya sampai di situ.
Anggota keluarga dari pegawai pemerintah pun harus turut mendukung Golkar. Oleh
sebab itulah Golkar selalu menang dalam setiap Pemilu, karena jumlah pegawai
negeri di Indonesia sangat banyak jumlahnya, belum ditambah lagi dengan anggota
keluarganya. Keterlibatan birokrasi dalam partai politik membuat pelayanan terhadap
masyarakat menjadi diabaikan, karena mereka lebih mementingkan kepentingan partai
politiknya.
Hampir semua orang tahu bahwa birokrasi Negaradalam pengertian ini
termasuk ABRIsesungguhnya sudah lama mengambil alih peran partai politik dan
Golkar, baik dalam perumusan kebijakan maupun proses politik pada umumnya.
Karena itu, perlakuan khusus bagi birokrasi dengan menciptakan fraksi tersendiri bagi
mereka di DPR akan mempertajam ketimpangan kekuasaan antara unsur-unsur
masyarakat yang tak berdaya dan negara yang kekuasaannya sudah berlebih.
Struktur DPR sejak Pemilu 1971 sebenarnya sudah didominasi oleh unsurunsur birokrasi negara, baik itu anggota Korpri maupun ABRI, sebagian anggota
Fraksi Karya Pembanguan (F-KP) di DPR dan DPRD. Sehingga tak berlebihan untuk
mengatakan bahwa dalam praktek, F-KP dan F-ABRI adalah "fraksi birokrasi" yang
lebih melayani kepentingan birokrasi ketimbang aspirasi masyarakat.
Dalam zaman orde baru juga ada suatu kebijakan yang disebut zero growth.
Adanya kebijakan zero growth yang menyebabkan jumlah anggota birokrasi makin
membengkak. Hal ini menjadikan birokrasi tidak efisien karena jumlah pekerja
dengan pekerjaannya tidak sebanding, inilah yang dimaksud birokrasi Parkinson dan
Orwell.
Pada masa orde baru, pemerintahan yang baik belum terlaksana. Misalnya saja
dalam pelayanan dan pengurusuan administrasi masih saja berbelit-belit dan
memerlukan waktu yang lama. Membutuhkan biaya tinggi karena ada pungutanpungutan liar. Pembangunan fisik pun juga masih sering terbengkalai atau lamban
dalam perbaikan. Masih banyak KKN yang terjadi dalam lingkungan birokrasi
khususnya dalam sektor pelayanan publik, hal ini seperti yang dilaporkan oleh ICW
(Indonesia Corruption Watch) pada tahun 2000[1].
Hasil penelitian dari PERC (Political and Economic Risk Consultancy, 2000)
yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan
sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi; dan 9,09 untuk kroniisme diantara
negara-negara Asia, dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga
sepuluh yang terburuk. Hasil penelitian tersebut, menempatkan Indonesia pada
peringkat bawah atau tergolong pada negara dengan tingkat korupsi yang sangat
parah. Selain itu, menurut penelitian tersebut, masalah korupsi juga terkait erat
dengan birokrasi. Dalam hubungan ini birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk.
Di tahun 2000 Indonesia memperoleh skor 8 (yaitu kisaran skor nol untuk terbaik dan
10 untuk yang terburuk) yang berarti jauh dibawah rata-rata kualitas birokrasi di
negara-negara Asia.
Terpuruknya Indonesia dalam kategori korupsi dan birokrasi, juga dilengkapi
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh PERC (2001) dan Price Water House
Cooper (2001) tentang ranking negara-negara Asia dalam implementasi good
governance. Indonesia menempati ranking/urutan ke 89 dari 91 negara yang disurvei;
dan dari sisi competitiveness Indonesia menempati urutan ke-49 dari 49 negara yang
diteliti. Berbagai fenomena dan sejarah perkembangan korupsi di Indonesia tersebut
menunjukkan adanya kaitan erat antara KKN dengan perilaku kekuasaan dan
birokrasi yang melakukan penyimpangan.
Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme
Negara yang bertujuan untuk mendukung penetarsinya ke dalam masyarakat,
sekaligus dalam rangka mengontrol publik secara penuh. Strategi politik birokrasi
tersebut merupakan strategi dalam mengatur system perwakilan kepentingan melalui
jaringan fungsional non-ideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai
lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau perizinan,
yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar kelompok
kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap hilangnya
pluralitas sosial, politik maupun budaya. Reformasi birokrasi yang dilakukan pada
masa orde baru bersifat semu.
Birokrasi diarahkan pada :
1. Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki birokrasi.
2. Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat.
hanya diambil atas alasan bahwa dia adalah seorang deklarator partai yang dipimpin
Menhut. Pembentukan kabinet ini dinilai banyak orang lebih sebagai kabinet trima
kasih, sehingga kemudian mudah dipahami mengapa Gus Dur mendukung kebijakan
Menhut.
Dalam kasus lain, Miftah Thoha, menyebutkan bahwa: Upaya untuk netralitas
birokrasi di zaman reformasi semakin berkembang. Hal ini bermula ketika ada
gerakan happening-art yang moderat berupa pelepasan seragam KORPRI oleh dokter
dan pegawai lingkungan UI yang diadakan oleh Forum Salemba (Forsal), kemudian
ada gayung bersambut berupa gerakan pernyataan yang sangat keras seperti
melakukan penghapusan unit KORPRI di Departemen Penerangan. Selain itu gerakan
juga berlangsung di legislatif dalam perbedaan pernyataan sikap kalangan muda FKP
agar KORPRI dibubarkan atau bersikap netral dengan kalangan tuanya, faksi Akbar
Tanjung. Juga perbedaan pandangan Mendagri Syarwan Hamid yang menginginkan
birokrasi netral dan tidak menjadi pengurus politik berlawanan dengan pandangan
Mensesneg Akbar Tanjung yang menganggap berpolitik adalah hak asasi PNS (Thoha,
2003).
Kemudian ada pula tindakan Presiden Abdurrahman Wahid yang
menghapuskan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, dengan alasan bahwa
departemen tersebut bermasalah, banyak KKN, dan departemen itu dianggap telah
mencampuri hak-hak sipil warga negara. Penghapusan dua departemen tersebut dapat
dikatakan sesuai dengan prinsip reinventing government atau ada pula yang
menganggap hal ini sebagai langkah debirokratiasasi dan dekonstruksi cabinet masa
lalu yang dianggap terlalu berlebihan mengintervensi kemerdekaan dan kemandirian
publik.
Aturan induk netralitas politik birokrasi Indonesia sudah ada pada pasal 4
Peraturan Pemerintah/1999, yang menyatakan bahwa PNS dalam menyelenggarakan
tugas pemerintahan dan pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khusunya dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam pemerintahan Megawati, para menteri dalam kabinet masa itu
melestarikan tradisi Golkar, yaitu semua organisasi pemerintah dikaburkan antara
jabatan karier dengan non karier, serta jabatan birokrasi dengan jabatan politik. Hal ini
menunjukkan bahwa pada masa ini harapan untuk melakukan reformasi birokrasi
tidak akan terlaksana. Saat membentuk kabinet yang pertama setelah Gus Dur terpilih,
sedang terjadi keributan tentang pengangkatan Sesjen di Departemen Kehutanan
dimana sekjen tersebut adalah orang dari partai yang sama dengan menteri kehutanan
saat itu. Begitu juga terjadi di beberapa departemen dan di Diknas, BUMN, dan lainlain.
Ada beberapa eselon yang diangkat yang dia merupakan orang dari partai yang
sama dengan menteri yang membawahi departemen tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa bagaimana suatu birokrasi pemerintahan tidak terlepas dari intervensi partai
politik.
Setelah reformasi, pemerintah berusaha memperbaiki keadaan birokrasi
Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya beberapa peraturan yang mengatur tentang
pemberantasan KKN dan menciptakan aparat pemerintah yang bersih dan
bertanggung jawab. Diantaranya adalah Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-undang No. 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Meskipun sudah melakukan reformasi di tahun 1998 ternyata untuk
melakukan suatu perubahan dalam berbirokrasi atau reformasi birokrasi adalah hal
yang sangatlah sulit. Kepentingan-kepentingan partai masih saja mengintervensi
birokrasi pemerintahan di Indonesia.
Implikasi dari adanya politisasi birokrasi, pelayanan yang sarat dengan nuansa
kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan
dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi
pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya
berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat
dicegah secara efektif. Karena masih melekatnya budaya birokrasi yang diwariskan
masa orde baru, penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat
pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat
dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi.
Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan
pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil termasuk
salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan
pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan
dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau
besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi
pelayanan birokrasi. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun
merupakan instrumen untuk mengatur dan menga