Professional Documents
Culture Documents
DEDI PARDIANSYAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
RINGKASAN
DEDI PARDIANSYAH. Pemanfaatan limbah budidaya ikan lele (Clarias sp)
sistem bioflok untuk budidaya cacing sutra (Tubificidae). Dibimbing oleh EDDY
SUPRIYONO dan DJOKOSETIYANTO.
Intensifikasi budidaya ikan lele membawa implikasi penggunaan pakan
buatan kaya protein yang semakin banyak untuk mendukung pertumbuhan ikan
yang semakin besar. Limbah yang dihasilkan oleh sistem budidaya tersebut juga
akan semakin tinggi. Proses konversi senyawaan nitrogen yang berlangsung lebih
cepat adalah proses heterotrofik, bakteri heterotroph dapat mengubah senyawaan
amoniak menjadi biomassa bakteri sebagai sumber protein dengan penambahan
karbon organik.pemanfaatan limbah lele dengan sistem intensif melalui teknologi
bioflok dapat dilakuakan dengan budidaya cacing sutra.
Cacing sutra merupakan salah satu jenis pakan alami ikan budidaya yang
potensial untuk dikembangkan karena memiliki kandungan nutrien yang cukup
tinggi (52-57 % protein). Saat ini pemenuhan kebutuhan cacing sutra hanya
mengandalkan dari hasil tangkapan alam, dimana hasil tangkapan ini belum
mencukupi kebutuhan dari permintaan. Hasil tangkapan alam tidak memiliki
jaminan kualitas, karena cacing sutra dapat menjadi pembawa agen penyakit yang
dapat menyebabkan kematian pada benih ikan.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan
dan 2 ulangan, yaitu A = pemberian limbah lele system intensif, B = pemberian
limbah lele sistem bioflok, C = penambahan bahan organik berupa fermentasi
kotoran ayam diawal serta D = penambahan bahan organik berupa fermentasi
kotoran ayam diawal dan penambahan kotoran ayam fermentasi 5 hari sekali.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hasil budidaya cacing sutra
dengan memanfaatkan limbah budidaya lele sistem bioflok. Wadah pemeliharaan
berupa bak plastik berukuran 1 x 0,5 x 0,15 m3, dengan padat tebar2 mg/cm2.
Substrat yang digunakan berasal dari lumpur kolam, air dari media budidaya ikan
dialirkan ke wadah pemeliharaan cacing sutra (Tubificidae) menggunakan sistem
resirkulasi dengan debit air 0,05 ml detik-1.
Parameter yang diamati adalah TOM dan rasio C/N pada sedimen serta
kualitas air terutama TSS dan VSS pada air. Hasil menunjukkan bahwa nilai TOM
pada sedimen meningkat akibat penambahan bahan organik yang berasal dari
limbah lele, dan rasio C/N terendah pada perlakuan pemanfaatan limbah lele
sistem bioflok dengan nilai rasio C/N 6-9. Demikian pula pemanfaatan nilai TSS
dan VSS oleh cacing sutra terbesar yaitu pada perlakuan pemanfaatan limbah lele
sistem bioflok dengan pemanfaatan sebesar 23-28 % untuk nilai TSS dan 20-23%
pada VSS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi bobot biomassa tertinggi
pada perlakuan pemanfaatan limbah lele sistem bioflok untuk lama pemeliharaan
60 hari dengan pertumbuhan berat sebesar 2.0 kg m-2 dan penambahan jumlah
individu untuk lama pemeliharaan 70 hari dengan penambahan jumlah individu
sebesar 601.630 ribu m-2.
Kata kunci : Bioflok , cacing sutra , iken lele, limbah lele.
SUMMARY
DEDI PARDIANSYAH. Catfish (Clarias sp) cultivation waste utilization bioflok
system for the cultivation of silk worms (Tubificidae). Under direction of EDDY
SUPRIYONO dan DJOKOSETIYANTO.
Catfish farming intensification implications of protein-rich feed use
growing to support the fish growth which gettinghigher. Waste the resulting by
the culture system will be large. The process of conversion of nitrogen that goes
faster is a heterotrophic process, heterotrophic bacteria can convert ammonia
compounds into bacterial biomass as a source of protein with the addition of
organic carbon. catfish waste utilization with intensive systems through
technology bioflocs can be done by utilizing the tubifex tubifex.
Tubifex tubifex is one kind of natural feed the cultured fish have the
potential to be developed because the nutrient content is quite high (52-57%
protein). Currently to meet of tubifex tubifex is only depend on the natural
catchment result, where it is insufficient from the demand. Nature catches have
quality assurance, because tubifex tubifex can be carriers of disease agents that
can cause death in fish seed.
This study used a completely randomized design with 4 treatments and 2
replications, the treatment of A = granting sewage catfish intensive system, B =
granting sewage catfish bioflocs system, C = the addition of organic matter in the
form of fermented chicken manure at the beginning and D = the addition of
organic matter in the form of fermented chicken manure at the beginning and the
addition of chicken manure fermentation 5 days.
This study aims to analyze the results of the cultivation of silk worms by
utilizing waste bioflok catfish cultivation systems. Maintenance of a plastic tub
container measuring 1 x 0.5 x 0.15 m3, by density 2 mg m-2. Use substrat from
pond mud, water from fish culture media flowed into the container maintenance
silk worms (Tubificidae) using a recirculation system with water flow of 0.05 ml
sec-1.
Parameters measured were TOM and C/N ratio in sediment and water
quality, especially TSS and VSS in the water. The results showed that increasing
the value of TOM in the sediments a result the addition of organic matter derived
from catfish waste, and C/N ratio on treatment B with the lowest value of C/N
ratio of 6-9. utilization of TSS and VSS values by the largest tubifex tubifex in
treatment B with a utilization rate of 23-28% to 20-23% in TSS and VSS.
The results showed that the highest biomass production weight on long
maintenance treatment B for 60 days with a heavy growth of 2.0 kg m-2 and the
increase in the number of individuals for long maintenance 70 days with the
addition of the number of individuals amounted to 601 630 thousand m-2.
Keywords: biofloc , Catfish, tubifex tubifex, waste catfish.
DEDI PARDIANSYAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Tesis : Pemanfaatan Limbah Budidaya Ikan Lele (Clarias sp) Sistem
Bioflok Untuk Budidaya Cacing Sutra (Tubificidae)
Nama
: Dedi Pardiansyah
NIM
: C151120321
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Widanarni, MSi
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2014 ini adalah
Pemanfaatan limbah budidaya ikan lele sistem bioflok untuk budidaya cacing
sutra (Tubificidae).
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr Ir Eddy Supriyono,MSc dan Bapak Prof Dr Ir D Djokosetianto
DEA. selaku tim komisi pembimbing atas arahan, bimbingan dan masukanmasukannya sejak penyusunan rencana penelitian sampai penyusunan tesis
ini.
2. Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc. selaku penguji luar komisi, atas arahan dan
masukan untuk perbaikan dalam penyusunan tesis ini.
3. Istri dan anakku tercinta, serta saudara-saudaraku atas doa, semangat serta
dukungan yang tak pernah surut selamaini.
4. Teknisi Laboratorium BDP IPB ; Bapak Ranta (Lab Kesehatan Ikan FPIK
IPB), Bapak Jajang (Lab Lingkungan FPIK IPB), Bapak Wasjan dan mbak
Retno (Lab Nutrisi FPIK IPB) yang telah membantu penulis selama
melakukan analisa laboratorium.
5. Semua Rekan-rekan mahasiswa Program Mayor Ilmu Akuakultur angkatan
2012 atas kebersamaan dan kerjasama yang baik serta bantuannya dalam
perkuliahan, penelitian dan penyelesaian karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian
1
1
3
3
3
3
2 METODE
Waktu dan Tempat
Rancangan Penelitian
Pengamatan
3
3
4
5
7
7
13
16
16
16
DAFTAR PUSTAKA
16
LAMPIRAN
19
RIWAYAT HIDUP
24
DAFTAR TABEL
1. Hasil uji proksimat molase pada budidaya dengan sistem BFT
2. Parameter kualitas air lele
3. Parameter kualitas air cacing sutra
4. Pengukuran nilai TSS pada wadah budidaya cacing sutra
5. Pemanfaatan TSS oleh cacing sutra
6. Pengukuran nilai VSS pada wadah budidaya cacing sutra
7. Pemanfaatan VSS oleh cacing sutra
8. Produksi Biomasa dan Jumlah Individu Cacing Sutra
4
6
8
8
9
9
9
12
DAFTAR GAMBAR
1 Total Suspended Solid pada wadah budidaya ikan lele
2 Volatile Suspended Solid pada wadah budidaya ikan lele ..................
3 Total Oraganic Matter (TOM) pada wadah pemeliharaan cacing sutra
4. Pengamatan nilai TOM pada media tumbuh cacing sutra
5. Pengamatan rasio C/N pada media tumbuh cacing sutra
6. Penambahan jumlah individu cacing sutra
7. Pertumbuhan bobot biomassa cacing sutra
7
7
10
10
11
11
12
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
19
20
20
20
21
21
21
22
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kegiatan budidaya perikanan sistem intensif meliputi penerapan kepadatan
yang tinggi, penggunaan jumlah pakan yang tinggi, penambahan aerasi, serta
penggantian air secara berkala dalam jumlah besar. Sistem budidaya seperti ini
akan menghasilkan total beban limbah pakan yang lebih banyak daripada yang
teretensi menjadi daging ikan. Tingginya input pakan pada budidaya secara
intensif mengakibatkan semakin tinggi pula akumulasi limbah N dalam media
budidayabahkan dapat merugikan (Avnimelech 1999). Intensifikasi budidaya ikan
lele membawa implikasi penggunaan pakan buatan kaya protein yang semakin
banyak untuk mendukung pertumbuhan ikan yang semakin besar. Limbah yang
dihasilkan oleh sistem budidaya tersebut juga akan semakin tinggi (Gunadi 2012).
Limbah budidaya secara intensif berasal dari akumulasi residu organik yang
berasal dari pakan yang tidak termakan, ekskresi amoniak, feses, dan partikelpartikel pakan (Avnimelech et al. 1994).
Proses konversi senyawa nitrogen yang berlangsung lebih cepat adalah
proses heterotrofik, bakteri heterotrofik dapat mengubah senyawa amoniak
menjadi biomassa bakteri sebagai sumber protein. Nitrogen yang dihasilkan akan
mengalami proses secara biologi oleh bakteri heterotrofik yang menyerap
amonium menjadi biomasa bakteri dengan adanya bahan organik (Gunadi 2012).
Memanfaatkan sistem heterotrofik yang merupakan salah satu teknologi
yang bertujuan untuk memperbaikikualitas air dan meningkatkan efisiensi
pemanfaatan nutrient yang dikenal dengan budidaya sistem Bioflok (bioflocs
technology). Teknologi ini didasarkan pada konversi nitrogen anorganik terutama
amoniak oleh bakteri heterotrof menjadi biomassa mikroba yang kemudian dapat
dikonsumsi oleh organisme budidaya (Crab et al. 2007; Ekasari 2009).Selain itu
bioflok juga dapat menyediakanpakantambahan berprotein karena bioflok
dilakukan dengan menambahkan sumber karbon organik ke dalam media
budidaya untuk merangsang pertumbuhan bakteri heterotrof dan meningkatkan
rasio C/N (Crab et al. 2007).
Angka kenaikan produksi ikan lele secara intensif dari tahun 2007-2011
adalah 39,50% dan angka kenaikan produksi ikan lele dari tahun 2010-2011
adalah 39,03% (KKP 2012). Berdasarkan data tersebut, angka produksi nasional
ikan lele per tahun masih diharapkan untuk bertambah hingga 2014ini, belum
ditambah dengan produksi jenis ikan tawar lainnya. Untuk dapat memenuhi target
tersebut maka dibutuhkan cacing sutra sebagai pakan alami untuk benih lele.
Pembenihan ikan lele dengan produksi 200.000-250.000 ekor harus menyediakan
1-2 liter cacing sutra setiap harinya.Kebutuhan cacing sutra pada pembenihan lele
juga meningkat seiring bertambahnya umur benih lele (Adlan 2014).
KKP (2014) mengatakan konsep blue economy mengajarkan bagaimana
menciptakan produk nir-limbah (zero waste). Budidaya sistem bioflok mampu
memperbaiki kualitas air budidaya ikan, namun pemanfaatan bioflok yang telah
terbentuk belum banyak dilakukan dan belum memberikan hasil yang maksimal.
Untuk memenuhi konsep blue economy maka limbah budidaya sistem intensif dan
sistem bioflok akan dimanfaatkan untuk budidaya cacing sutra. Beberapa
2
komoditas seperti ikan segar, udang, maupun rumput laut dengan mengedepankan
inovasi dapat dihasilkan berbagai produk turunan yang bernilai tambah baik untuk
kepentingan konsumsi atau pangan, kesehatan, kosmetik atau yang lainnya (KKP
2014).
Untuk menbantu mensukseskan konsep blue economy yang digalakkan KKP
maka perlu dilakukan penelitian tentang pemanfaatan limbah budidaya ikan
sistem intensif. Pada penelitian lain pemanfaatan limbah lele dengan sistem
intensif melalui teknologi bioflok sudah dilakukan untuk kelompok ikan yang
tergolong filter fidder seperti ikan nila (Gunadi 2012) dan oleh udang galah
(Rohmana 2009). dan belum ada yang melakukannnya dengan memanfaat cacing
sutra yang sangat baik dalam memanfaatkan limbah organik.
Cacing sutra merupakan salah satu jenis pakan alami ikan budidaya yang
potensial untuk dikembangkan. Kandungan nutrien cacing ini cukup tinggi, yaitu
sekitar 52,49% protein dan 13% lemak (DKP 2010). Kandungan nutrien cacing
yaitu protein (57%),lemak (13,3%), serat kasar (2,04%), kadarabu (3,6%)
(Bintaryanto 2013). Cacing sutra baik untuk pertumbuhan benih ikan (Subandiah
et al. 2003; Juhariyah 2005; Priyadi 2010).Selain mengandung nutrien yang tinggi
dan disukai ikan, cacing sutra memiliki harga jual yang cukup tinggi, harga
dipasaran mencapai Rp. 20.000Rp. 40.000 liter-1.
Saat ini kebutuhan akan cacing sutra hanya mengandalkan hasil tangkapan
alam yang tidak dapat dipastikan kualitasnya dandapat menjadi agen pembawa
penyakit. Keberadaan cacing sutra di alam tidaklah tersedia sepanjang tahun,
khususnya pada musim penghujan dimana kegiatan pembenihan banyak dilakukan
(DKP 2010). Kebanyakan cacing sutra ditemukan pada bahan-bahan organik dan
perairan dengan polusi tinggi, karena pada umumnya cacing sutra dapat
beradaptasi pada oksigen rendah. Cacing sutra mempunyai habitat lingkungan
dengan konduktifitas tinggi, kedalaman rendah, sedimen liat-berpasir atau liatberlumpur, kecepatan arusrendah, dan jumlah yang berubah-ubah dari bahan
organik (Marian dan Pandian 1989).
Cacing sutra yang berasal dari tangkapan alam tiadak memiliki jaminan
kualitas dimana semakain banyak kandungan bahan tercemar di alam maka akan
semakin banyak juga bahan tercemar tersebut terakumulasi didalam tubih
cacing.Semakin banyak kandungan logam berat pada suatu perairan semakin
tinggi pula kandungan logam berat tersebut di dalam tubuh cacing sutra (Santoso
dan Hernayanti 2004). Cacing sutra diteliti oleh beberapa peneliti untuk mencegah
penyebaran penyakit yang disebabkan Myxobolus cerebral (Kerans 2005;
Hendrick 2008).
Salah satu cara peningkatan produksi cacing sutra adalah dengan
membudidayakannya (DKP 2010). Penelitian tentang budidaya cacing sutra di
Indonesia dilakukan oleh beberapa peneliti berikut ini; Kasiorek (1974) meneliti
tentangjenis makanan, Marian dan Pandian (1989) meneliti tentang kualitas media,
Chumaidi dan Suprapto (1986) meneliti tentang kualitas media,Fiastri dan
Zainudin (1987) meneliti tentang aliran air (Djokosetianto 1991), namun sampai
saat ini belum diperoleh hasil yang maksimal untuk sampai tarafkomersial karena
produktivitasnya masih rendah, baru mencapai 0,6 kg/m2 (Findy 2011) dan 2
kg/m2 (Febriyani 2012) sedangkan kemampuan alam diperkirakan mencapai 2,5
kg/m2.
3
Berdasarkan uraian di atas, penelitian tentang pemanfaatan limbah budidaya
ikan sistem bioflok masih terfokus pada kelompok ikan yang tergolong filter
fidder. Untuk itu dilakukan evaluasi pemanfaatan limbah budidaya ikan lele
sistem bioflok oleh cacing sutra.
Pada penelitian ini limbah N yang dihasilkan oleh ikan lele akan dikonversi
menjadi mikroba yakni bakteri dan alga (bioflok) untuk kemudiandimanfaatkan
oleh cacing sutra(Tubifex sp).
Perumusan Masalah
Bahan organik merupakan faktor terpenting dalam budidaya cacing sutra.
Limbah lele yang dibudidaya dengan system bioflok mengandung bahan organik
yang dapat di manfaatkan untuk budidaya cacing sutra. Pemanfaatan bahan
organik limbah lele oleh cacing sutra diharapkan mampu memperbaiki kualitas
lingkungan budidaya lele dan meningkatkan pertumbuhan cacing sutra.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menganalisa penggunaan limbah budidaya ikan
lele sistem bioflok terhadap kualitas media dan pertumbuhan cacing sutra.
Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian seperti tersebut diatas
maka hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
Jika pemberian bahan organik berupa bioflok dari limbah lele dapat meningkatkan
kualitas media cacing sutra, maka akan memingkankan pertumbuhan dan hasil
panen cacing sutra.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah merekomendaikan teknik budidaya cacing
sutra dengan memanfaatkan limbah budidaya sistem bioflok.
2 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Juni
2014 di LaboratoriumLingkungan, DepartemenBudidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
4
Rancangan Penelitian
Penelitian ini dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 4 perlakuan dan 2 ulangan,yaitu :
Perlakuan A = Pemberian limbah lele sistem intensif,
Perlakuan B = Pemberian limbah lele sistem bioflok.
Perlakuan C = Penambahan bahan organik berupa fermentasi kotoran ayam
diawal.
Perlakuan D = Penambahan bahan organik berupa fermentasi kotoran ayam
diawal dan penambahan kotoran ayam 5 hari sekali.
Penambahan jumlah individu dan berat biomasa yang diperoleh dianalisa
dengan menggunakan one way analysis of variance dengan selang kepercayaan
95%. Untuk melihat perbedaan perlakuanmakadilanjutkan dengan menggunakan
uji BNT. Sedangkan kondisi sedimen dan kualitas air dianalisis secara deskriptif.
Tahapan Penelitian
Penyediaan Bahan Organik
Penyediaan bahan organik berupa limbah lele dilakukan pada bak plastik
berukuran 2 m x 1mx 0,6 m dengan volume 800 l. Wadah dibersihkan dan
dilakukan proses sterilisasi dengan menggunakan kaporit dosis 100 mg l-1 dan
dibiarkan selama 3 hari sebelum digunakan (Gunadi 2012). Padat tebar 100 ekor
m-2 dengan rata-rata biomass 5 g ekor-1.
Pemberian pakan dilakukan sebanyak 3 kali berdasarkan pada biomassa dan
persentase pakan bobot dari ikan. Pakan yang digunakan adalah pakan komersil
dengan kandungan protein 30-32%. Penambahan sumber karbon eksternal
(molase) dilakukansecara langsung ke dalam wadah pemeliharaan ikan dan
diberikan sebanyak 1 kali dalam sehari dengan waktu 2 jam setelah pemberian
pakan pagi.
Prosedur Penambahan Sumber Karbon Eksternal
Ikan hanya memanfaatkan 22,2% nitrogen dalam pakan sedangkan sisanya
diekskresi berupa NH4+ atau N organik yang terdapat dalam feses dan residu
pakan (Ebeling et al. 2006). Efisiensi konversi mikroba diasumsikan 40-60%,
sehingga jumlah nitrogen yang terbuang dalam perairan dapat dihitung
berdasarkan jumlah pakan, kandungan % N dalam pakan serta % N yang di
ekskresi. Jumlah karbon yangharus ditambahkan untuk mendukung proses
pertumbuhan bakteri dihitung dengan rumus (Avnimelech 1999) sebagai berikut :
(Pakan x % N Pakan x % N Ekskresi) x [C/N] mic
CH =
%CxE
Keterangan :
CH
: Jumlah karbon yang harus ditambahkan
%N pakan
: Kandungan nitrogen dalam pakan
%N ekskresi : Kandungan nitrogen yang dibuang oleh ikan atau udang
[C/N]mic
: C/N rasio bakteri
5
%C
E
Tabel 1 Hasil uji proksimat molase pada budidaya dengan sistem BFT
Kode
Kadar
Kadar
Protein
Lemak Karbohidrat
Sampel
Air (%) Abu (%)
(%)
(%)
serat kasar
Molase
31,89
5,88
3,79
0,35
0,00
BETN
(%)
58,09
6
kemudian dibilas dengan airyang telah disiapkan, setelah semua cacing diambil
kemudian dikeringkan dengan tisu dan ditimbang sekaligus.
Pengamatan
Kualitas air budidaya lele
Pengamatan parameter kualitas air cacing sutra yang diukur antara lain:
- Suhu diukur dengan thermometer air raksa
- Oksigen terlarut (DO) diukur dengan menggunakan DO-meter
- pH diukur dengan menggunakan pH-meter
- TSS dan VSS
- Amoniak
- TAN
- Nitrit
- Nitrat
Pengamatan kualitas air dilakukan setiap 10 hari sekali, pengukuran
dilakukan dengan prosedur sesuai APHA (2005).
Sedimen
Pengamatan sedimen meliputi, TOM (Total Organic Matter) dan rasio C/N,
pengukuran dilakukan dengan prosedur sesuai APHA (2005).
Kualitas air cacing sutra
Pengamatan parameter kualitas air cacing sutra yang diukur antara lain:
- Suhu diukur dengan termometer air raksa
- Oksigen terlarut (DO) diukur dengan menggunakan DO-meter
- pH diukur dengan menggunakan pH-meter
- TOM (Total Organic Matter)
- Amoniak
- TAN
- Nitrit
- Nitrat
Pengamatan kualitas air dilakukan setiap 10 hari sekali setelah sampling,
pengukuran dilakukan dengan prosedur sesuai APHA (2005).
Penambahan Jumlah Individu cacing sutra
Penambahan jumlah individu dihitung secara langsung dengan mengambil
sampel secara acak pada masing-masing perlakuan dan ulangan seperti yang
dijelaskan pada prosedur kerja. Jumlah individu cacing sutra yang diperoleh
kemudian di konversi ke luasan m2.
Bobot Biomasa cacing sutra
Bobot biomasa dihitung dengan cara mencari selisih antar bobot biomasa
akhir dikurangi dengan bobot biomassa awal. bobot biomassa diperoleh dengan
cara menimbang sample yang diperoleh, kemudian dihitung berat rata-ratanya.
Nilai berat rata-rata ini dikalikan dengan jumlah indivu cacing sutra sehingga
diperoleh nilai bobot biomassa.
200
150
100
50
0
,
10,
20,
30,
40,
Waktu (hari)
Limbah lele sistem Intensif
8
180
160
140
VSS (mg l-1)
120
100
80
60
40
20
0
,
10,
20,
30,
40,
Waktu (hari)
Limbah lele sistem Intensif
Gambar 2 Volatile Suspended Solid (VSS) pada wadah pemeliharaan ikan lele
Nilai VSS (Volatile Suspended Solid) yang diperoleh selama masa
pemeliharaan menunjukkan nilai konsentrasi fluktuatif dan cenderung stabil
hingga akhir pemeliharaan.
Profil Kualitas Air Cacing Sutra
Hasil pengukuran parameter kualitas air yang dilakukan setiap 10 hari sekali
setelah sampling pada media pemeliharaan cacing sutra selama masa
pemeliharaan berupa suhu, DO, pH, TAN, nitrit, nitrat dan amonia selama
penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3 Parameter kualitas air berupa DO, pH, suhu TAN, nitrit, nitrat dan amonia
Kualitas air
Perlakuan
(limbah
DO
Suhu
TAN
Nitrit
Nitrat Amonia
Ph
budidaya)
(mg/l)
(oC)
(mg/l) (mg/l)
(mg/l)
(mg/l)
Intensif
4,7-7,2 6,6-7,9 27,0-28,3 1,7-2,6 0,71-0,82 0,2-0,72 0,03-0,08
Bioflok
4,8-7,0 6,4-7,9 27,0-28,4 1,4-2,0 0,37-0,52 0,2-0,42 0,03-0,08
Fermentasi
4,2-7,2 7,5-8,4 27,2-28,4 0,6-3,1 0,42-0,68 0,37-0,98 0,09-0,12
Fermentasi + 5 5,0-7,0 7,8-8,3 27,2-28,0 0,8-3,1 0,51-0,93 0,24-0,98 0,06-0,15
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai kualitas air berupa suhu, DO,
pH, TAN, nitrit, nitrat dan amonia pada semua perlakuan masih dalam kondisi
optimal yang digunakan dalam budidaya cacing sutra.
Hasil pengukuran TSS yang dilakukan setiap 10 hari sekali setelah sampling
pada media pemeliharaan cacing sutra selama masa pemeliharaan dapat dilihat
pada Tabel 4 di bawah ini.
9
Tabel 4 Pengukuran nilai TSS pada wadah budidaya cacing sutra
Saluran
Pengamatan hari kePerlakuan
(limbah budidaya) air
0
10
20
30
in
139,496 188,753 171,489 213,865
Intensif
out
114,643 155,556 142,574 182,243
in
125,228 184,897 271,667 221,251
Bioflok
out
99,005 143,661 220,410 175,666
in
110,223 170,248 167,544 181,524
Fermentasi
out
94,075 148,479 144,316 158,995
in
119,696 190,282 181,765 195,866
Fermentasi + 5
out
100,368 161,029 152,645 164,730
40
213,919
179,421
233,935
188,356
129,858
117,077
206,806
177,627
Berdasarkan Tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa terdapat selisih nilai TSS
pada saluran pemasukan dan pengeluaran air.Jika di persentasekan maka nilai
pemanfaatan TSS dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini.
Tabel 5 Pemanfaatan TSS oleh cacing sutra
Pemanfaan TSS oleh cacing sutra (%) hari kePerlakuan
(limbah budidaya)
0
10
20
30
40
Intensif
21,678
21,341
20,281
17,352 19,228
Bioflok
26,487
28,704
23,255
25,950
24,198
Fermentasi
17,165
14,661
16,096
14,170 10,917
Fermentasi + 5
19,258
18,166
19,077
18,901 16,427
Berdasarkan Tabel diatas terlihat bahwa pemanfaatan nilai TSS oleh cacing
sutra yang terbesar pada perlakuan B sebesar 23,255-26,487 %, kemudian diikuti
perlakuan A sebesar 20,281-27,325 % dan yang terendah pada perlakuan C
sebesar 14,661-17,165 %. Hasil pengukuran VSS yang dilakukan setiap 10 hari
sekali setelah sampling pada media pemeliharaan cacing sutra selama masa
pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6 Pengukuran nilai VSS pada wadah budidaya cacing sutra
Saluran
Pengamatan Hari KePerlakuan
(limbah budidaya)
air
0
10
20
30
in
81,891 120,596 104,822 124,375
Intensif
out
67,322 98,783 84,290 104,007
in
83,690 119,753 139,141 142,172
Bioflok
out
64,699 95,237 109,641 112,261
in
90,791 98,157 76,915 75,972
Fermentasi
out
78,205 83,171 64,842 65,548
in
90,839 108,024 121,471 129,452
Fermentasi + 5
out
77,298 91,765 102,602 109,651
40
117,952
94,432
156,139
124,910
60,171
52,740
122,788
104,686
Berdasarkan Tabel 6 diatas dapat dilihat bahwa terdapat nilai VSS pada
saluran pemasukan dan pengeluaran air. Kadar VSS lebih menggambarkan
biomassa mikroba, yang di dalamnya mengandung biomassa bakteri dan alga
(Gunadi 2012).
10
Selisih nilai VSS ini adalah bahan tersuspensi yang dimanfaatkan oleh
cacing sutra dan sebagian lagi mengendap pada sedimen.Jika di persentasekan
maka nilai pemanfaatan VSS dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini.
Tabel 7 Pemanfaatan VSS oleh cacing sutra
Pemanfaan VSS oleh cacing sutra (%) hari kePerlakuan
(limbah budidaya)
0
10
20
30
40
Intensif
17,791
18,088
19,588
16,376
19,940
Bioflok
22,692
20,472
21,202
21,039
20,001
Fermentasi
13,862
15,267
15,697
13,722
12,349
Fermentasi + 5
14,907
15,052
15,534
15,296
14,742
Pemanfaatan nilai VSS oleh cacing sutra yang terbesar pada perlakuan B
sebesar 20,472-22,692%, kemudian diikuti perlakuan A sebesar 16,376-19,940 %
dan yang terendah pada perlakuan C sebesar 12,349-15,697 %.
Hasil dari pengukuran TOM (Total Organic matter) pada media
pemeliharaan cacing sutra dilakukan setiap sepuluh hari dapat dilihat pada
Gambar 3.
120
100
80
60
40
20
0
5,
10,
15,
20,
25,
30,
35,
40,
45,
Waktu (Hari)
Intensif
Bioflok
Fermentasi
Fermentasi + 5
Gambar 3 Total Oraganic Matter (TOM) pada wadah pemeliharaan cacing sutra
Bila dilihat dari Gambar 3 diatas nilai TOM turun pada hari ke-10 di setiap
perlakuan.pada perlakuan A dan B nilai TOM cedrung stabil sejak hari ke-10
hingga akhir penelitian, pada perlakuan C nilai tom terus turun hingga akhir
penelitian sedangkan pada perlakuan D sebaliknya nilai TOM meningkat hingga
akhir penelitian.
Profil Sedimen
Hasil pengukuran TOM pada media pemeliharaan cacing sutra dilakukan
setiap 10 hari sekali dapat dilihat pada Gambar 4.
11
80,
70,
60,
50,
40,
30,
20,
10,
,
10
20
30
40
Waktu (hari)
Intensif
Bioflok
Fermentasi
Fermentasi + 5
C/N rasio
14
12
10
8
6
4
2
0
5,
Intensif
10,
15,
20,
25,
Waktu (hari)
Bioflok
Fermentasi
30,
35,
40,
45,
Fermentasi + 5
12
Parameter Produksi
Hasil dari pengukuran jumlah individu pada media pemeliharaan cacing
sutra yang dilakukan setiap sepuluh hari dapat dilihat pada Gambar 6.
800,
700,
600,
500,
400,
300,
200,
100,
,
0
10
20
30
40
50
60
70
Waktu (hari)
Intensif
Bioflok
Fermentasi
Fermentasi + 5
2,4
2,1
1,8
1,5
1,2
0,9
0,6
0,3
0
,
10,
20,
30,
40,
50,
60,
70,
Waktu (hari)
Intensif
Bioflok
Fermentasi
Fermentasi + 5
13
Gambar 7 diatas menjelaskan bahwa pertumbuhan bobot biomassa cacing
sutra turun pada hari ke-10 dan mulai naik sejak hari ke-20 hinggahari ke-60 dan
turun kembali pada hari ke-70 pada setiap perlakuan.
Hasil analisa menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap
pertumbuhan bobot maupun penambahan jumlah individu cacing sutra, untuk itu
dilanjutkan dengan uji BNT.
Tabel 8 Produksi biomasa dan jumlah individu cacing sutra
hari ke-60
hari ke-70
Produksi
Jumlah
Produksi
Perlakuan
biomassa
individu
Biomassa
(Kg)
(000)
(Kg)
Intensif
1,6 0,07c 435,0 10,556b 1,3 0,036b
Bioflok
2,0 0,106d 561,8 14,075c 1,6 0,150c
Fermentasi
1,0 0,035a 269,0 14,075a 0,7 0,071a
Fermentasai + 5 1,3 0,07b 365,3 3,519ab 1,1 0,175ab
Jumlah
individu
(000)
467,37 14, 357c
601,6334,479 d
246,64 24,206 a
375,21 74,881b
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf superscript yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji beda nyata terkecil).
14
Terlihat bahwa cacing sutra mampu memanfaatkan bahan organik yang
berasal dari wadah budidaya ikan lele dengan baik. Dalam dua jejaring rantai
makanan sistem bioflok nilai TSS dan VSS yang dihasilkan ikan lele akan
menurun karena pemanfaatan bahan organik oleh ikan nila (Gunadi 2012). Nilai
TSS dan VSS pada sistem bioflok akan terus meningkat hingga akhir penelitian
(Azhar 2013).
Sedimen liat-berlumpur merupakan media terbaik bagi pertumbuhan cacing
sutra,sekitar 90% cacing sutramenempati daerah permukaan hingga kedalaman 4
cm, dengan perincian sebagai berikut : juvenil (dengan bobot kurang dari 0,1 mg)
pada kedalaman 0-2 cm, immature (0,1-0,5 mg) pada kedalaman 0-4 cm, mature
(lebih dari 0,5 mg) pada kedalaman 2-4 cm (Marian dan Pandian 1989). Kualitas
lingkungan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dengan populasi dari
cacing sutra.Suhu optimal yang diperlukan bagi pertumbuhan Tubifex sp. Cacing
sutra mempunyai batas toleran terhadap nilai pH air. Cacing sutra berkembang
biak pada media yang mempunyai kandungan oksigen terlarut berkisar antara 2-5
ppm, kandungan ammonia <1 ppm, suhu air berkisar antara 28-30 oC dan pH air
antara 6-8 (DKP 2010).
Hasil pengukurankualitas air cacing sutra pada Tabel 3 di atas menunjukkan
bahwa nilai kualitas air pada semua perlakuan masih dalam kondisi optimal yang
digunakan dalam budidayacacing sutra. Di alam cacing sutra tumbuh dengan baik
pada kondisi lingkungan dengan kandungan oksigen terlarut 1,1-2,4 mg l-1, NH3
0,29-0,96 mg l-1 dan padatan tersuspensi 95-177 mg l-1 (Fadholi 2001) . Cacing
sutra masih dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan dengan nilai pH air berkisar
6,4-7,0,suhu air berkisar 28-30 C dan ammonia 0,06 mg l-1 (Pursetyo 2011).
Kandungan ammonia sebesar 0,28-1,50 ppm masih layak untuk pertumbuhan
cacing sutra (Shafrudin 2005).
Berdasarkan Tabel 5 dan 7 diatas terlihat bahwa pemanfaatan bahan organik
olah cacing sutra terbaik pada perlakuan B, diikuti oleh perlakuan A dan terendah
pada perlakuan C. Hal ini menjelaskan bahwa cacing sutra lebih menyukai bahan
organik yang ada pada perlakuan B yang berasal dari limbah lele dengan sistem
bioflok. Perlakuan B (pemanfaatan limbah lele dengan sistem bioflok) merupakan
perlakuan terbaik karena mampu menyediakan bahan organik yang mencukupi
dan berkelanjutan untuk pertumbuhan cacing sutra. Ketersediaan pakan berupa
bahan organik sangat mempengaruhi pertumbuhan cacing sutra (Febrianti 2004;
Findy 2011).
Pada Gambar 3 terlihat bahwa nilai TOM pada setiap perlakuan turun pada
hari ke-10 pada setiap perlakuan, hal ini dikarenakan adanya pamanfaatan bahan
organik oleh cacing sutra. Pada perlakuan A dan B nilai TOM stabil sejak hari ke10 hingga akhir penelitian, ini menandakan bahwa jumlah bahan organic yang
berasal dari limbah lele dan jumlah bahan organik yang dimanfaatkan oleh cacing
sutra cukup berimbang, sehingga nilai TOM dapat stabil. Pada perlakuan C nilai
TOM turun pada hari ke-40 dikarenakan tidak adanya penambahan bahan organik,
sedangkan bahan organik yang ada telah dimanfaatkan oleh cacing sutra. Pada
perlakuan D nilai TOM meningkat pda hari ke-40 dikarenakan adanya
penambahan bahan organic yang dilakukan setiap 5 hari sekali, dan bahan organic
tersebut masih memerlukan proses penguraian oleh mikroorganisme sehingga
tidak dapat dimanfaatkan langsung oleh cacing sutra.
15
Peningkatan nilai TOM sedimen pada perlakuan A dan B pada hari ke-10
cendrung stabil hingga akhir penelitian dikarenakan limbah lele yang mengandung
bahan organik yang masuk ke wadah pemeliharaan dimanfaatkan oleh cacing
sutra. Budidaya sistem bioflok dilakukan dengan menambahkan sumber karbon
organik ke dalam media budidaya untuk merangsang pertumbuhan bakteri
heterotrof (Crab et al. 2007).
Untuk perlakuan C nilai TOM tertinggi pada hari ke-30 kemudian turun
hingga akhir penelitian, ini di karenakan tidak ada penambahan bahan organik,
sedangkan bahan organik yang ada telah dimanfaatkan oleh cacing sutra.
Kandungan bahan organik total (TOM) menurun akibat pemanfaatan oleh cacing
sutra (Shafrudin 2005). Pada perlakuan D nilai TOM meningkat setelah hari ke20 hingga akhir penelitian, ini dikarenakan adanya penambahan kotoran ayam
setiap 5 hari sekali, sedangkan kotoran ayam membutuhkan waktu untuk
penguraian terlebih dahulu sehingga tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh
cacing sutra.
Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat nilai rasio C/N pada perlakuan A dan B
stabil dari awal hingga akhir penelitian, hal ini dikarenakan hampir tidak adanya
penguraian bahan organik oleh bakteri pada sedimen, sedangkan pada perlakuan C
nilai rasio C/N naik pada hari ke-20 dan terus menurun hingga akhir penelitian.
Turunnya nilai rasio C/N diduga karena tidak adanya penambahan bahan organik
pada perlakuan C sedangkan bahan organik yang ada sudah dimanfaatkan oleh
cacing sutra. Pada perlakuan D nilai rasio C/N naik sejak hari ke-10 hingga akhir
penelitian hal ini terjadi karena adanya proses perombakan bahan organik oleh
bakteri yang terus berlangsung sejak awal penelitian hingga akhir akibat
penambahan kotoran ayam setiap 5 hari sekali. Rasio C/N sangat tinggi
disebabkan karena penambahan pupuk yang dilakukan setiap hari sehingga proses
dekomposisi pupuk masih terus berlangsung (Pursetyo 2011). Pada habitat aslinya
cacing sutra hidup pada sedimen dengan nilai rasio C/N 6,171 (Bentaryanto 2013).
Pada Gambar 5 dan 6 dapat dilihat adanya peningkatan jumlah individu dan
biomassa cacing sutra pada setiap perlakuan, dikarenakan adanya penambahan
jumlah individu baru. Adanya kelahiran individu baru pada saat puncak populasi
mengakibatkan peningkatan jumlah individu dan bobot biomassa (Shafrudin
2005). Ketersediaan nutrisi sangat mempengaruhi pertumbuhan cacing sutra
(Bintaryanto dan Taufikurohmah, 2013). Puncakproduksi terjadi pada hari ke-60
untuk pertumbuhan biomasa dan hari ke-70 untuk penambahan jumlah individu.
Perbedaan yang nyata antara laju pertumbuhan biomas dan penambahan
jumlah individu cacing sutra ini terjadi disebabkan penambahan individu baru
lebih banyak dibandingkan dengan kematian karena cacing sudah tua. Cacing
yang sudah mencapai umur tua secara biologis dapat menyebabkan kematian
(Febrianti 2004). Banyaknya jumlah anak yang dihasilkan menyebabkan
bertambahnya jumlah individu cacing yang berukuran kecil sehingga terjadi
pertumbuhan bobot biomassa (Shafrudin 2005). Pertumbuhan terjadi karena
media mampu mencukupi kebutuhan makan cacing sutra (Pursetyo 2011).
16
DAFTAR PUSTAKA
Adlan MA. 2014. Pertumbuhan biomassa cacing sutra (Tubifex sp.) pada media
kombinasi pupuk kotoran ayam dan ampas tahu [Skripsi]. Fakultas Pertanian.
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
APHA (American Public Health Association). 1989. Standard Methods for
xamination of Water and Waste water. 14 th ed. APHA. Washington DC:
APHA. AWWA (American Water Works Association). And WPCF (Water
Pollution Control Federation).
Avnimelech Y.1999. Carbon/nitrogen ratio as acontrol elementin aquaculture
sistem. Aquaculture 176:227-235.
Avnimelech Y. Noam Mozes. Shaher Diab. 1995. Rates of organic carbon and
nitrogen degradation in intensive fish ponds. Aquaculture 134 (1995) 211-216 .
Azhar MH. 2013. Peranan sumber karbon eksternal yang berbeda dalam
pembentukan biflok dan pengaruhnya terhadap kualitas air serta produksi pada
sistem budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) [Tesis]. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelauan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Bentaryanto BW dan Taufikurohmah T. 2013. Pemanfaatan campuran limbah padat
(Sludge) pabrik kertas dan kompos sebagai media budidaya cacing sutra (Tubifex
sp). UNESA Journal of Chemistry 2 (1). 1-8
Crab R. Avnimelech Y. Defoirdt T. Bossier P and Verstraete W. 2007. Nitrogen
removal techniques in aquaculture for sustainable production. Aquaculture.
270: 1-14.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2010. Budidaya Cacing Sutra
(Tubifex sp.) di Kolam dari Limbah Pakan Budidaya Lele. Dirjen Perikanan
Buidaya Direktorat Pembenihan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Djokosetianto. Yusadi D dan Supriyono E. 1991. Pengaruh Wadah dan Media
terhadap Biomas Tubifex sp. Proyek Agricultural Research Managrment.
17
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Fakultas Perikanan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Ebeling JM. Timmons MB. Bisogni JJ. 2006. Engineering analysis of
stoichiometry of photoautotrophic. Autotrophic and heterotrophic removalof
amoniak-nitrogen in aquaculture sistems. Aquaculture 257. 346-358.
Ekasari J. 2009. Teknologi Bioflok : Teori dan Aplikasi dalam Perikanan
Budidaya Sistem Intensif. Jurnal Akuakultur Indonesia. 8(2): 9-19 (2009).
Fadholi MR. 2001. Kajian ekologis cacing rambut (Tubifex sp.) dalam upaya
mengorbitkannya sebagai indikator biologis pencemaran bahan organik di
perairan. Jurnal Ilmu-ilmu Hayati. 1 (13) : 1-7
Febrianti D. 2004. Pengaruh Pemupukan Harian Dengan Kotoran Ayam Terhadap
Pertumbuhan Populasi dan Biomassa Cacing Sutra (Limnodrilus) [Skipsi].
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Febriyani M. 2012. Budidaya Cacing Oligochaeta pada Sistem Terbuka [Skripsi].
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Findy S. 2011. Pengaruh Tingkat Pemberian Kotoran sapi Terhaddap
Pertumbuhan Biomassa Cacing Sutra (Tubificidae). [Skripsi]. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Gunadi B. 2012. Minimalisasi Limbah Nitrogen dalam Budidaya Ikan Lele
(Clarias gariepinus) dengan Sistem Akuakultur Berbasis Jenjang Rantai
Makanan. [Desertasi] Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor.
Hendrick RP. Terry SM. Kaveramma M. 2008. Effects of Freezing, Drying,
Ultraviolet Irradiation, Chlorine, and Quaternary Ammonium Treatments on
the Infectivity of Myxospores of Myxobolus cerebralis for Tubifex tubifex.
Journal of Aquatic Animal Health 20:116125
Juhariyah. 2005. Pengaruh Pemberian Nauplii Artemia sp, Moina sp, danCacing
sutra Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Balashark
(Balancthiocheilus melanopterus bleeker). [Skripsi] Fakultas Biologi UNAS.
Kerans BL. Richard IS.dan Lemmon JC. 2005. Water Temperature Affects a
HostParasite Interaction: Cacing sutracacing sutra and Myxobolus cerebralis.
Department of Ecology. Montana State University. Bozeman. Montana. USA.
17:216221.
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.2012. Statistik
Kelautan dan Perikanan. Jakarta (ID). 302 hal
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2014.
Sosialisasikan konsep Blue Economy Menteri Kelautan & Perikanan Terbitkan
Buku "Our Blue Economy: An Odyssey to Prosperity" di Forum APEC Bali
2013. [Internet].[diunduh 2014 Juli 17]. Tersedia pada :http://www.kkp.go.
id/index.
Marian MP dan Pandian TJ. 1989. Culture and Harvesting Technique for Tubifex
tubifex. Aquaculture.42:303-315.
Priyadi A. Kusrini E. dan Megawati T. 2010. Perlakuan Berbagai Jenis Pakan
Alami untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Sintasan Larva Ikan Upside
Down Catfish (Synodontis nigiventris). Balai Riset Budidaya Ikan Hias. Depok
Jakarta.
18
Pujaningsih RI. 2005. Teknologi Fermentasi dan Peningkatan Kualitas Pakan.
Laboratorium Teknologi Makanan Ternak. Fakultas Peternakan UNDIP. 38
Hal.
Pursetyo. 2011. Pengaruh Pemupukan Ulang Kotoran Ayam Kering Terhadap
Populasi Cacing Sutra (Tubifex sp). Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan.
Surabaya. 3(2). 117-182.
Rohmana D. 2009. Konversi limbah budidaya ikan lele (Clarias sp) menjadi
biomassa bakteri heterotrof untuk perbaikan kualitas air dan makanan udang
galah (Macrobrachium rosenbergii). [Tesis]. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelauan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Santoso S dan Hernayanti. 2004. Cacing sutra sebagai Bio Monitor Pencemaran
Logam Berat Kadmium dan Seng dalam Leachate TPA Sampah Gunung Tugel
Purwokerto. Program Studi Biologi. ITS. Surabaya.
Shafrudin D. Efianti W. Widanarni. 2005. Pemanfaatan Ulang Limbah Organik
dari Substrak Tubifex sp di Alam. Jurnal Akuakultur Indonesia. 4(2):97-102.
Subandiyah S. Satyani D. Aliyah. 2003. Pengaruh Subtisusi Pakan Alami
(Tubifex) dan Buatan terhadap Pertumbuhan Ikan Tilan Lurik Merah
(Mastacembelus erythrotaenia Bleeker, 1850). Jurnal Iktiologi Indonesia. 3(2).
67-72.
Tahapari E. Sularto dan Nurlela I. 2005. Intenfikasi Pemupukan dan Pemeliharaan
Larva/Benih Ikan Patin Siam (Pangasianodon hypophthalmus) yang Dilakukan
Secara Outdoor di Kolam Tanah. Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi
Budidaya Perikan Air Tawar. Subang. Jawa Barat.
Walkley, A. and I.A. Black. 1934. An examination of the Degtjareff method for
determining organic carbon in soils: Effect of variations in digestion conditions
and of inorganic soil constituents. Soil Sci. 63:251-263.
19
Lampiran 1 Prosedur penambahan Sumber karbon
FR (%) x Biomassa (gr)
Persamaan1
Persamaan3
Keterangan :
UntukmengetahuikandunganproteinsertaCdalampakandilakukandengan
ujiproksimat.
20
Lampiran 2 Hasil pengamatan laju pertumbuhan jumlah inividu cacing sutra
Perlakuan
Ulangan
A
B
C
D
0
80.2
79.8
79.6
80.6
79.0
79.6
80.8
79.4
1
2
1
2
1
2
1
2
10
38.2
38.6
39.0
38.6
36.0
34.7
35.5
33.3
50
442.9
432.9
507.6
552.3
378.2
388.1
432.9
442.9
60
507.6
522.5
632.0
651.9
338.4
358.3
442.9
447.9
JK
DB
91494.5
520.0
92014.5
KT
3.0
4.0
7.0
30498.2
130.0
234.603**
JK
DB
134528.7
7588.1
142116.8
KT
3.0
4.0
7.0
F
44842.9
1897.0
23.638**
70
537.4
557.3
656.8
706.6
308.5
343.4
403.1
507.6
21
Lampiran 5 Hasil perhitungan laju pertumbuhan bobot biomassa cacing sutra
Perlakuan
Ulangan
A
B
C
D
1
2
1
2
1
2
1
2
0.200
0.199
0.199
0.200
0.200
0.199
0.199
0.200
10
0.084
0.089
0.089
0.090
0.084
0.080
0.087
0.079
20
0.144
0.138
0.166
0.155
0.133
0.144
0.144
0.155
JK
0.877
0.041
0.918
DB
3.000
4.000
7.000
KT
0.292
0.010
50
1.194
1.045
1.344
1.294
1.045
0.945
1.145
1.095
60
1.791
1.692
2.239
2.090
1.194
1.145
1.543
1.443
F
28.636**
JK
0.821
0.048
0.869
DB
3.000
4.000
7.000
KT
0.274
0.012
F
22.775**
70
1.493
1.543
1.742
1.891
0.896
0.995
1.145
1.393
22
Lampiran8 Dokumentasi selama penelitian
Sistem Resirkulasi
23
24
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kelobak, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu, tanggal 23
Januari 1982. Penulis merupakan anak ke empat dari lima bersaudara, pasangan
Bapak Joharman JU dan Ibu Suryati. Pendidikan Program Sarjana diselesaikan
pada tahun 2005 di Program Study Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian
Universitas Prof Dr Hazairin, SH Bengkulu. Penulis melanjutkan pendidikan
program Pascasarjana pada Program Studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor pada tahun 2012 dengan sponsor Beasiswa Program
Pascasarjana (BPPS) DIKTI.