You are on page 1of 3

Film fiksi ilmiah Interstellar arahan sutradara Christopher Nolan dinilai berhasil memukau penonton.

Melalui film itu, Nolan mempopulerkan teori fisika tentang relativitas dan fenomena jagat raya
berupa lubang hitam dan lubang cacing. Namun plot film itu dinilai aneh terutama jika dihubungkan
dengan konsep fisika yang diusung Nolan.
Ahli astrofisika Neil deGrasse Tyson melalui akun twitternya, 12 November 2014, memberikan
beberapa petunjuk keanehan plot film tersebut dengan judul Mysteries of #Interstellar.
Film itu dibintangi oleh Matthew McConaughey yang memerankan Cooper, seorang mantan pilot
pesawat antariksa dan insinyur yang menjadi petani. Kondisi Bumi digambarkan tengah sekarat dan
mengalami bencana ekologi. Cooper ikut dalam misi mencari planet baru pengganti Bumi. Alih-alih
mengorbit bintang seperti Bumi, beberapa kandidat planet yang dipilih mengitari lubang hitam.
"Jumlah bintang jauh lebih banyak dari lubang. Mengapa planet terbaik mirip bumi justru mengorbit
lubang hitam," tulis Tyson.

Berlawanan dengan cerita para petualang Interstellar, Tyson mengatakan lubang hitam adalah
obyek yang sebaiknya tidak didekati. "Mereka mengeksplorasi sebuah planet di dekat lubang hitam.
Secara pribadi, aku akan berusaha sejauh mungkin dari lubang hitam," ujarnya.
Tyson mengatakan masih banyak planet-planet di dekat bumi dan tata surya yang lebih baik. "Saya
harus memberitahu kalian. Mars (yang ada di depan pintu) jauh lebih aman ketimbang planet-planet
yang mereka kunjungi," kata Tyson yang juga peneliti dari Departemen Astrofisika di American
Museum of Natural History.
Kondisi udara di planet asing yang didatangi para petualang antariksa di Interstellar juga
dipertanyakan oleh Tyson. Karena belum mengetahui kondisi udara, para petualang menjelajahi
planet dengan pakaian dan helm pelindung. Dalam satu adegan, Cooper berkelahi dengan rekannya
dan kaca helmnya pecah. "Jika kaca helm kalian pecah tapi masih bisa berkelahi, udara planet itu
sebenarnya tak terlalu buruk untukmu," tutur Tyson yang juga menjabat direktur Planetarium
Hayden, Kota New York.
Status lubang cacing yang dipakai oleh Cooper dan kawan-kawan untuk menjelajah jagat raya juga
dinilai janggal. Lubang cacing yang dianggap sebagai "jembatan" antar jagat raya sebenarnya masih
diperdebatkan oleh kalangan ilmuwan. "Jika lubang cacing ada di antara planet-planet kita,
mengapa tak ada yang terbuka di dekat Bumi namun ada di dekat Saturnus," tuturnya
Tyson juga mempertanyakan keputusan untuk mencari planet baru ketimbang memperbaiki
kerusakan di bumi. "Tak bisa membayangkan masa depan ketika kabur dari Bumi lewat lubang
cacing adalah rencana yang lebih baik daripada memperbaiki Bumi," kata pakar kosmologi itu.

Profesor Jacob B. Hirsh dari University of Toronto, Kansas, Amerika Serikat, menemukan data
bahwa orang-orang yang ramah dan terbuka kepada orang lain umumnya lebih peduli kepada topik
lingkungan. Semakin ramah penduduk di suatu negara, maka akan semakin peduli negara itu untuk
melindungi lingkungan dan menyelamatkan planet ini. Untuk itu, Profesor Hirsh ingin melihat
bagaimana ciri-ciri kepribadian individu negara terhadap kelestarian lingkungan.
Hirsh dan anggota tim peneliti lainnya meneliti ciri-ciri kepribadian dengan menyurvei 12.156 orang
dari 46 negara. Perbedaan kepribadian secara nasional ini diukur dengan menggunakan nilai pada
Indeks Kinerja Lingkungan (EPI). Ada dua kepribadian utama yang digunakan untuk mendapat skor
EPI. Pertama adalah sifat ramah yang mencerminkan empati, kasih sayang, dan kedua adalah

keterbukaan yang menunjukkan ide dan apresiasi. (Baca: Pekerjaan Konstruksi Picu Kerusakan
Lingkungan)
Dari data tersebut, ilmuwan menggunakan EPI untuk mengurutkan negara-negara mana yang paling
peduli dengan lingkungan, termasuk soal tingkat emisi CO2, penggunaan energi terbarukan, dan
kualitas udara. Dari 46 negara, Swiss adalah negara dengan penduduk yang paling ramah di dunia
sekaligus yang paling peduli soal lingkungan.
Maroko dan Nigeria adalah negara yang paling rendah tingkat keramahan dan kepeduliannya
kepada lingkungan. Bagaimana dengan Indonesia? Negara kita ini berada pada peringkat ke-36 dari
46 negara untuk keramahan dan keterbukaan yang menandakan kepedulian pada lingkungan.
(Baca: 5 Persen Tanah di Cina Tercemar Zat Kimia)
"Hasil ini menyoroti faktor-faktor psikologis yang dapat membentuk kebijakan lingkungan di suatu
negara. Bukan cuma soal bagaimana kepribadian warga menunjukkan kepedulian mereka, tapi juga
praktek yang dilakukan oleh mereka," kata Hirsh, seperti dilaporkan Daily Mail, Kamis, 30 Oktober
2014.
Hirsh menambahkan, negara dengan tingkat keramahan dan keterbukaan tertinggi memiliki kinerja
lebih baik soal memperbaiki lingkungan. Studi ini akan diterbitkan dalam Journal of Environmental
Psychology.

You might also like