You are on page 1of 22

JURNAL PRAKTIKUM

ANALISIS TOKSIKOLOGI FORENSIK DAN KLINIK


UJI PENDAHULUAN/SKRINING NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA
PADA SAMPEL URINE

OLEH:
KELOMPOK 1
IDA BAGUS SUTAMA ARIMBAWA

(1208505021)

I GUSTI PUTU PUTRA PURNAMA

(1208505030)

M. AVERIL PRIMA PUTRA RASHID

(1208505098)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2015

UJI PENDAHULUAN / SKRINING NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA


I. TUJUAN
Dilakukannya praktikum ini bertujuan untuk mengetahui berbagai metode
pengujian yang dapat digunakan sebagai uji pendahuluan atau skrining
toksikologi forensik dan klinik terhadap obat-obat golongan narkotika dan
psikotropika dalam sampel urin.
II. DASAR TEORI
2.1 Jenis Sampel dalam Analisis Toksikologi dan Forensik
Terdapat berbagai jenis sampel dalam permasalahan forensik dan klinik,
dimana sampel terbseut berupa cairan biologis yaitu sampel urin dan darah.
Sampel urin memegang peranan dalam uji skrining. Urin merupakan sampel
utama yang harus dikumpulkan pada seluruh laporan kasus kriminal yang
berhubungan dengan senyawa obat/racun. Urin diambil paling lambat 120 jam (5
hari) setelah laporan. Walaupun diketahui beberapa obat telah banyak tereliminasi
setelah 120 jam, namun senyawa dimungkinkan masih ada dalam kadar yang
sedikit. Dalam hal ini, uji skrining immunoassay dapat digunakan, walaupun
demikian, pada jumlah yang sedikit sering kali tidak terdeteksi dikarenakan nilai
batas deteksi immunoassay yang tinggi. Untuk itu, seringkali pengujia dilakukan
dengan metode yang lebih sensitif, contoh: LC-MS (UNODC, 2011). Sample urin
yang harus dikumpulkan minimal 50 mL pada paling seidkit 2 wadah/kontainer
steril dan disimpan pada suhu 2 8 C. Jika tidak memungkinkan analisis sampel
dalam jangka waktu 24 jam, direkomendasikan untuk menyimpan sampel dalam
freezer suhu -18 C. Sampel yang tidak digunakan harus disimpan dalam freezer
untuk analisis dikemudian hari sampai jangka waktu 1 tahun (UNODC, 2011).
Data keberadaan/jangka waktu ketersediaan deteksi senyawa dalam urin dan
darah adalah penuntun penting dalam analisis terutama banyak obat sudah tidak
terdeteksi pada sampel konvensional seperti urin, setelah 4 5 hari sejak
pemaparan obat kedalam tubuh. Selain sampel biologis yang disebutkan, sampel
yang diperlukan terutama terhadap kasus kriminal, berupa sampel seperti cangkir,
gelas minum, botol, kontainer/wadah, dan cairan yang mungkin mengandung
bahan obat harus dikumpulkan dan ditujukan untuk analisis. Benda lain yang akan
sangat berguna juga harus dikumpulkan, seperti: seperti piring, makanan, sediaan

obat, atau obat preskripsi. Fotografi/video (kamera, rekorder) dan semua


elektronik evidence juga harus dikumpulkan (UNODC, 2011; Steven, 2007).
Dalam menangani suatu kasus, urin harus dikumpulkan dalam 120 jam (5
hari) pertama setelah tuduhan penyerangan. Sementara pada kenyataannya banyak
obat yang telah dieliminasi dari urin dalam waktu kurang dari 120 jam, beberapa
mungkin tetap ada, namun pada konsentrasi rendah (United Nation, 2011).
Syarat wadah penampung urin:
a.

Wadah/kontainer/cup mulut lebar dengan tutup.

b.

Lebih baik dispossible

c.

Hindari sisa detergen karena dapat memberikan hasil positip palsu pada
glukosa ; protein dan sedimentasi pada dipstick
Contoh wadah penampung urin:

Gambar 3. Contoh wadah penampung urin


2.1.

Skrining Toksikologi Forensik dan Klinik


Pemeriksaan pendahuluan (uji skrining) adalah pemeriksaan laboratorium

yang merupakan metode analisis kualitatif sebagai upaya penyaring untuk


mengetahui ada-tidaknya dan jenis obat yang menimbulkan efek toksis atau efek
gangguan kesehatan. Dalam pemeriksaan penyalahgunaan obat uji skrining ini
yang

akan

memberikan

informasi

apakah

subyek

yang

bersangkutan

menggunakan obat terlarang atau tidak. Adanya metabolit menunjukkan bahwa


zat/obat tersebut telah dikonsumsi dan termetabolisme dalam tubuh. Pemeriksaan
skrining positif pada urin misalnya, maka suatu obat/metabolitnya terdapat dalam
urin sebanyak/lebih banyak dari batas deteksi alat. Pengeluaran senyawa tersebut
dari tubuh dan konsentrasinya dalam urin bergantung pada faktor-faktor sebagai
berikut: cara pemakaian, lama dan seringnya penggunaan, fungsi organ, kecepatan

metabolisme obat, kondisi fisik dari subyek, umur, jenis kelamin, waktu
pengambilan sampel, pengenceran, dan lain-lain (BNN, 2008).
Uji skrining seharusnya dapat mengidentifikasi golongan analit dengan
derajat reabilitas dan sensitifitas yang tinggi, relatif murah dan pelaksanaannya
relatif cepat. Terdapat 2 teknik uji penapisan yaitu: a) teknik immunoassay, b)
kromatografi lapis tipis (KLT) yang dikombinasikan dengan reaksi warna. Teknik
immunoassay umumnya memiliki sifat reabilitas dan sensitifitas yang tinggi, serta
dalam pengerjaannya memerlukan waktu yang relatif singkat, namun alat dan
bahan dari teknik ini semuanya harus diimpor, sehingga teknik ini menjadi relatif
tidak murah. Dibandingkan dengan immunoassay, KLT relatif lebih murah, namun
dalam pengerjaannya memerlukan waktu yang relatif lebih lama (Wirasuta, 2008).
2.1.1

Teknik immunoassay
Teknik immunoassay adalah teknik yang sangat umum digunakan dalam

analisis obat terlarang dalam materi biologi. Teknik ini menggunakan anti-drug
antibody untuk mengidentifikasi obat dan metabolitnya di dalam sampel (materi
biologik) (Wirasuta, 2008). Terdapat berbagai metode/teknik untuk mendeteksi
ikatan antigen-antibodi ini, seperti Enzyme Linked Immunoassay (ELISA),
Enzyme Multiplied Immunoassay Technique (EMIT), Fluorescence Polarization
Immunoassay (FPIA), Cloned Enzyme-donor Immunoassay (CEDIA), dan Radio
Immunoassay (RIA) (Wirasuta, 2008).
Pemilihan teknik ini sangat tergantung pada beban kerja (jumlah sampel
per-hari) yang ditangani oleh laboratorium toksikologi. Misal dipasaran teknik
ELISA atau EMIT terdapat dalam bentuk single test maupun multi test. Untuk
laboratorium toksikologi dengan beban kerja yang kecil pemilihan teknik single
test immunoassay akan lebih tepat dibandingkan teknik multi test, namun biaya
analisa akan menjadi lebih mahal (Wirasuta, 2008).
Hasil dari immunoassay test ini dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan, bukan untuk menarik kesimpulan, karena kemungkinan antibodi
yang digunakan dapat bereaksi dengan berbagai senyawa yang memiliki baik
bentuk struktur molekul maupun bangun yang hampir sama. Reaksi silang ini
tentunya memberikan hasil positif palsu. Obat batuk yang mengandung

pseudoefedrin akan memberi reaksi positif palsu terhadap test immunoassay dari
antibodi-metamfetamin. Oleh sebab itu hasil reaksi immunoassay (screening test)
harus dilakukan uji pemastian (confirmatori test) (Wirasuta, 2008).
Uji skrining dapat pula dilakukan dengan card atau strip test (untuk
spesimen urin) dan reaksi warna (untuk sampel sediaan farmasi). Tes ini
merupakan tes Immunoassay dimana penentuan zat tertentu yang terdapat dalam
urin ditentukan secara Rapid Immunoassay (antigen-antibodi). (BNN, 2008). Strip
test merupakan suatu alat yang dicelupkan ke dalam sampel urin dan hanya
memerlukan waktu sesaat untuk membaca hasilnya secara manual. Hasil
dinyatakan - (negatif) bila tampak dua garis pada huruf C (zona kontrol validitas)
dan T (zona tes/uji), sedangkan hasil dinyatakan + (positif) bila tampak satu garis
pada huruf C (zona kontrol validitas) (BNN, 2008). Strip test dirancang untuk
deteksi in vitro secara simultan terhadap golongan narkotika/psikotropika untuk
menghasilkan uji yang cepat dan berkualitas tinggi (Luckyanenkoa et al., 2008).

Gambar 1. Strip test Narctest


Pemilihan metode, peralatan serta reagen untuk uji skrining haruslah
mempunyai batas deteksi sama atau lebih rendah dari batas deteksi uji skrining
dengan card/strip test. Adapun batas deteksi uji skrining dengan card/strip test
untuk golongan narkotika dan psikotropika dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Batas Deteksi (Cut Off) Alat Card/Strip Test untuk Berbagai Golongan
Narkotika dan Psikotropika (SAMHSA, 2004)

No

Jenis / Golongan Zat

Batas Deteksi (ng/mL)

Ganja

50

Opiat

300

Derivat Amfetamin

1000

Benzodiazepin

300

Kokain

300

Metadon

300

Propoksifen

300

Barbiturat

200

Methaqualone

300

10

Fensiklidin

25

Dalam uji skrining analit digolongkan berdasarkan sifat fisikokimia, sifat


kimia maupun efek farmakologi yang ditimbulkan. Obat narkotika dan
psikotropika secara umum dalam uji skrining atau dapat juga disebut uji
penapisan dikelompokkan menjadi golongan opiat, kokain, kannabinoid, turunan
amfetamin, turunan benzodiazepin, golongan senyawa anti dipresan tri-siklik,
turunan asam barbiturat, turunan metadon. Pengelompokan ini berdasarkan
struktur inti molekulnya. Sebagai contoh, senyawa golongan opiat, yang memiliki
struktur dasar morfin, beberapa senyawa yang memiliki struktur dasar morfin
seperti, heroin, mono-asetil morfin, morfin, morfin-3-glukuronida, morfin-6glukuronida, asetilkodein, kodein, kodein-6-glukuronida, dihidrokodein serta
metabolitnya, serta senyawa turunan opiat lainnya yang mempunyai inti morfin
(Wirasuta, 2008).
Menurut UK Laboratory Guidelines for Legally Defensible Workplace Drug
testing dan SAMHSA (Substance Abuse and Mental Health Services
Administration) dari Amerika Serikat dinyatakan bahwa:
a. Pemeriksaan skrining yang memberikan hasil negatif tidak dilanjutkan
dengan pemeriksaan konfirmasi.
b. Bila hasil pemeriksaan card/strip test positif belum tentu menjamin +
(positif) untuk spesimen yang diperiksa, pemeriksaan haru dilanjutkan
dengan pemeriksaan konfirmasi.

c. Untuk pemeriksaan penyidikan atau penegakan hukum, pemeriksaan


konfirmasi yang diakui adalah yang menggunakan metode GCMS/HPLC.
d. Untuk menjaga mutu pemeriksaan setiap 10 kali pemeriksaan spesimen
urin lakukan pemeriksaan minimal terdapat 1 kontrol urin positif dari
jenis zat yang diperiksa dan kontrol negatif (blanko urin).
(SAMHSA, 2004).
Metode laboratorium yang digunakan untuk skrining harus memiliki
sensitivitas

dan

spesifisitas

tinggi.

EIA

(enzyme

immunoassay)

dan

imunokromatografi merupakan metode yang memenuhi kriteria ini. Pertimbangan


tekniknya yang sederhana, membuat kedua metode ini menjadi umum digunakan
untuk skrining narkoba. Hasil skrining yang meragukan atau positif yang bertalian
dengan hukum selanjutnya dikonfirmasi dengan metode GC/MS; metode ini
merupakan paduan optimal antara alat ukur MS yang memiliki sensitivitas sangat
tinggi (mengukur intensitas ion obat) dengan GC yang memiliki spesifisitas
tinggi [men-diferensiasi obat menurut intensitas ion (m/z), hambatan waktu (HW)
dan bentuk kromatografi (K)], dan terbukti bahwa cara ini mampu membedakan
jutaan obat tanpa satupun diketahui memiliki m/z, HW dan K yang sama). Paduan
optimal ini selain mampu mendeteksi narkoba secara spesifik juga mampu
mendeteksi dosis abuse/toksik paling minim (Suwarso, 2002). Enzyme-multiplied
Immunoassay Technique (EMIT) termasuk teknik immunoassay dengan
menggunakan dasar reaksi imunologi antara antigen dan antibodi. Sebagai antigen
adalah narkotika dan/atau psikotropika yang terdapat pada spesimen dan narkotika
dan/atau psikotropika yang telah diberi label. Kedua antigen ini akan berkompetisi
mengikat sejumlah antibodi obat tersebut (Sukasediati dan Matta,1987).
Test didasarkan pada kompetisi penjenuhan IgG anti-narkoba yang
mengandung substrat enzim (ada dalam keadaan bebas di zona S) oleh narkoba
sampel atau narkoba yang telah dikonjugasi enzim (ada dan terfiksir di zona T).
Prinsip immunoassay yaitu jika dijenuhi oleh narkoba sampel (sampel positif
narkoba), maka IgG anti-narkoba-substrat tidak akan berikatan dengan narkobaenzimnya, sehingga tidak terjadi reaksi enzim-subtrat yang berwarna. Sebaliknya
jika tidak dijenuhi (sampel negatif narkoba) atau hanya sebagian dijenuhi (sampel

mengandung narkoba dalam jumlah di bawah ambang batas pemeriksaan), maka


IgG anti-narkoba-substrat akan berikatan dengan narkoba-enzimnya secara penuh
atau sebagian, sehingga terjadi reaksi enzim-substrat yang berwarna penuh (gelap)
atau lamat-lamat (ragu-ragu) (Suwarso, 2002).
Valid tidaknya test dikontrol dengan mengikutsertakan pada zone S suatu
kontrol validitas yang berupa IgG goat-substrat. Karena IgG goat bukan antibodi
spesifiknya narkoba, maka baik pada sampel urin yang ada, ada dalam jumlah di
bawah ambang batas pemeriksaan atau tidak ada sama sekali narkobanya,
semuanya tidak akan menjenuhi dan hanya akan mendifusikan IgG goat-substrat
dari zona S ke zone C untuk menemui dan mengikat IgG anti-IgG goat yang
dikonjugasi enzim (KAGE) sehingga terjadi reaksi enzim-substrat yang berwarna
di zone C (Suwarso, 2002).
A. Sampel Urin Negatif

B. Sampel Urin Positif

Keterangan:
Zone.S=Sample. Zone.T=Test. Zone.C=Control. Sub=Substrat Nar(-)/(+) =
Narkoba negatif/positif <> = Narkoba. KNE = Konjugat narkoba-enzim.
KAGE = Konjugat IgG anti-IgG "goat"-enzim.

Gambar 2. Prinsip kerja rapid test/EMIT

Gambar 3. Deteksi narkoba tunggal dan metabolitnya dengan


cara card atau stick
Interpretasi data dari uji skrining dengan menggunakan strip atau card test:
a. Bila Sampel Urin Negatif
Pada sampel urin yang tidak mengandung narkoba, maka jika urin ini
diteteskan di zone S, urin hanya mendifusikan IgG antinarkoba-substrat dan
IgG goat-substrat dari zone S ke zone T dan zone C. Di zone T IgG antiNarkoba akan berikatan dengan narkoba-enzimnya (KNE); sementara di zone
C IgG goat akan berikatan dengan IgG anti-IgG goat-enzim (KAGE),
sehingga baik di zone T maupun zone C terjadi reaksi enzim-substrat berupa
pita warna pink.
b. Bila Sampel Urin Positif
Di zone S narkoba urin positif akan langsung berikatan dan menjenuhi IgG
anti-narkoba-substrat, sehingga waktu didifusikan ke zone T tidak bisa
mengikat (bercelah) narkoba-enzimnya (KNE), tidak terjadi reaksi enzimsubstrat dan karenanya tidak muncul reaksi warna. Sebaliknya di zone C tetap
terjadi reaksi warna (pita pink) sebab narkoba urin tidak spesifik untuk dapat
berikatan dengan IgG goat.
c. Bila Sampel Urin Ragu-Ragu
Di zone S narkoba urin yang berkadar tepat di batas ambang pemeriksaan
akan menjenuhi IgG anti-narkoba-substrat tidak secara penuh. Penjenuhan

berikutnya akan dipenuhi oleh Narkoba-ensim di zone T, sehingga terjadi


reaksi ensim-substrat yang tidak penuh, yang akan memberikan warna lamatlamat (ragu-ragu) di zone T.
d. Bila Test Valid atau Tidak Valid
Zone C adalah zone kontrol validitas yakni zone untuk menilai apakah test
valid atau tidak. Reaksi hanya membutuhkan H2O urin, karenanya tidak
tergantung pada ada tidaknya narkoba, hasil reaksi pada zone C ini akan
selalu muncul warna. Jika warna ini muncul berarti test dikatakan valid dan
dengan demikian hasil test dapat dipercaya dan siap diberikan ke yang
berkepentingan. Sebaliknya jika warna tidak muncul ini berarti test tidak
valid, dan harus diulang dengan test-kit yang baru, atau dengan kit dari pabrik
lain.
(Suwarso, 2002).
2.1.2

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


KLT adalah metode analitik yang relatif murah dan mudah pengerjaannya,

namun KLT kurang sensitif jika dibandungkan dengan teknik immunoassay.


Untuk meningkatkan sensitifitas KLT sangat disarankan dalam analisis
toksikologi forensik, uji penapisan dengan KLT dilakukan paling sedikit lebih dari
satu sistem pengembang dengan penampak noda yang berbeda. Dengan
menggunakan spektrofotodensitometri analit yang telah terpisah dengan KLT
dapat dideteksi spektrumnya (UV atau fluoresensi). Kombinasi ini tentunya akan
meningkatkan derajat sensitifitas dan spesifisitas dari uji penapisan dengan
metode KLT. Secara simultan kombinasi ini dapat digunakan untuk uji pemastian
(Wirasuta, 2008). Dibawah ini macam-macam uji warna (skrining) pada beberapa
senyawa yang diuraikan secara singkat dengan memanfaatkan metode KLT.
a. Uji Chen
Reagen 1: 1% (b/v) tembaga II sulfat (Cu2SO4) dalam air
Reagen 2: 8 g NaOH dalam 100 mL air (2 M NaOH)
Prosedur: 1-2 mg atau 1-2 tetes sampel berupa spot pada pelat, ditambahkan 2
tetes Reagen 1, kemudian ditambahkan 2 tetes Reagen 2.
Hasil:
Warna
ungu
dihasilkan
menunjukkan

keberadaan

efedrin/pseudoefedrin, fenilpropanolamin, dan lidokain.


Keterangan: uji ini memerlukan blanko, dikarenakan reagen yang berwarana
biru terang.

(Khan et al., 2012)


9

Pembentukan kompleks tembaga akan menghasilkan warna ungu. Tembaga II


berperan sebagai agen pengkelat yang menghubungkan 2 molekul target. Dibawah
ini gambar reaksi dengan efedrin sebagai contoh

Gambar 4. Reaksi pengkelatan reagen Chen terhadap efedrin yang menghasilkan


kompleks berwarna ungu (Khan et al., 2012)
b. Uji Dille-Koppanyi
Reagen 1:
0,1 g kobalt II asetat tetrahidrat
0,2 mL asam asetat glasial
100 mL metanol (absolut)
Reagen 2:
5 mL isopropilamin
95 mL metanol (absolut)
Prosedur: 1-2 mg atau 1-2 tetes sampel berupa spot pada pelat, ditambahkan 3
tetes Reagen 1, kemudian ditambahkan 3 tetes Reagen 2.
Hasil:
Ungu : glutehimida, teofilin, klorzoksazon, semua jenis barbiturat (kecuali
tiobarb)
Biru/ungu : dilantin

(Khan et al., 2012)

Kompleks warna terbentuk terdiri dari kobalt II dan 2 molekul target yang
distabilkan dengan 2 molekul isopropilamin. Berikut contoh reaksi dengan
barbiturat.

10

Gambar 5. Reaksi pengkelatan reagen Dille-Koppanyi terhadap barbiturat yang


menghasilkan kompleks berwarna biru/ungu (Khan et al., 2012).
c. Uji Mecke
Reagen: 1% selenous acid (H2SeO3) dalam larutan asam sulfat pekat
Prosedur: 1-2 mg atau 1-2 tetes sampel berupa spot pada pelat, ditambahkan 1
tetes Reagen.
Hasil:
Ungu : kodein, diazepam, metkatinon, flunitrazepam, fenilakton, dan
oksikodon
Hijau : alkaloid opiat, contoh: morfin dan heroin

Gambar 6. Reagen mengoksidasi opiat kedalam bentuk apomorfin berwarna hijau


menjadi o-kuinon (Khan et al., 2012).
d. Uji Marqui
Reagen 1: larutan asam sulfat pekat
Reagen 2: 8-10 tetes 37% formaldehid dalam asam asetat glasial
Prosedur: 1-2 mg atau 1-2 tetes sampel berupa spot pada pelat, ditambahkan 1
tetes Reagen 1, kemudian ditambahkan 1 tetes Reagen 2.
Hasil:
11

Jingga sampai coklat : N,N-dimetilamfetamin, amfetamin, metamfetamin,

meskalin, dan golongan petidin


Ungu : alkaloid opiat, morfin, heroin, dan kodein
Coklat-merah-ungu : opium
Pink sampai violet : metadon
Hijau sampai hitam : MDA dan MDMA (Reagen 2 ditambahkan terlebih

dahulu)
Ungu sampai hitam : MDA dan MDMA (Reagen 1 ditambahkan terlebih
dahulu)

Gambar 7. Pembentukan kompleks berwarna 2 molekul opiat (heroin) dengan 2


molekul formaldehid. Reaksi didorong dengan katalis asam sulfat (Khan et al.,
2012).

Gambar 8. Kompleks ion karbenium dientuk dari dari 2 molekul


amfetamin/metamfetamin terhadap keberadaan reagen Marqui (Khan et al., 2012)

12

Gambar 9. Kompleks ion karbenium dientuk dari dari 2 molekul


MDMA/MDAyang beraksi dengan formaldehid terhadap keberadaan asam sulfat.
Warna hijau sampai hitam dihasilkan ketika Reagen 2 ditambahkan terlebih
dahulu (Khan et al., 2012).

Gambar 10. Kompleks ion karbenium dientuk dari dari 2 molekul


MDMA/MDAyang beraksi dengan formaldehid terhadap keberadaan asam sulfat.
Warna ungu sampai hitam dihasilkan ketika Reagen 2 ditambahkan terlebih
dahulu (Khan et al., 2012).
e. Uji Asam Nitrat
Reagen: larutan asam nitrat pekat
Prosedur: 1-2 mg atau 1-2 tetes sampel berupa spot pada pelat, ditambahkan 1
tetes Reagen.
Hasil:
Jingga sampai merah : morfin
Jingga : kodein
Kuning : Heroin
Bagian aromatik dari heroin, kodein, dan morfin (cincin benzen) ter-nitratkan pada posisi orto. Gugus nitrat yan sangat polar menghasilkan kompleks warna
melalui cincin intramolekular yang ditutup dengan ikatan hidrogen.

13

Gambar 11. Kompleks berwarna kuning hasil reaksi heroin


dengan asam nitrat (Khan et al., 2012).
f. Uji Amina Primer
Reagen 1:
1 g natrium nitroprusside (nitroferisianida)
10 mL aseton
90 mL air
Reagen 2: 2% natrium karbonat dalam air
Prosedur: 1-2 mg atau 1-2 tetes sampel berupa spot pada pelat, ditambahkan 1
tetes Reagen 1, kemudian ditambahkan 1 tetes Reagen 2.
Hasil: Warna biru menunjukkan keberadaan amina primer
(Khan et al., 2012)
g. Uji Amina Sekunder
Reagen 1:
1 g natrium nitroprusside (nitroferisianida)
10 mL aseton
90 mL air
Reagen 2: 2% natrium karbonat dalam air
Prosedur: 1-2 mg atau 1-2 tetes sampel berupa spot pada pelat, ditambahkan 1
tetes Reagen 1, kemudian ditambahkan 1 tetes Reagen 2.
Hasil: Warna biru menunjukkan keberadaan amina sekunder, seperti MDMA
dan metamfetamin. Uji ini tidak bisa digunakan untuk skrining amina
sekunder, seperti: pseudoefedrin, efedrin, dan ketamin.
(Khan et al., 2012)
h. Uji Amina Tersier
14

Reagen netral: 2% kobalt II tiosianat dalam air


Reagen asam: 2% kobalt II tiosianat dalam air dan ditambahkan beberapa
tetes HCl pekat.
Prosedur: 1-2 mg atau 1-2 tetes sampel berupa spot pada pelat, ditambahkan 1
tetes Reagen.
Hasil uji netral: Biru, kokain HCl, ketamin, petidin, metadon, metilfenidat,
dan metakualon.
Hasil uji asam: Biru, kokain, fensiklidin (PCP), petidin, metadon,
metilfenidat, dan metakualon.
(Khan et al., 2012)
i. Uji Van Urk
Reagen:

1 g para-dimetilaminobenzaldehid (p-DMBA)
10 mL HCl pekat
90 mL etanol
Preparasi: larutkan p-DMBA dalam etanol, kemudian ditambhkan HCl.

Prosedur: 1-2 mg atau 1-2 tetes sampel berupa spot pada pelat, ditambahkan 1
tetes Reagen.
Hasil:
Ungu : LSD (lysergic acid diethylamide)
Biru : indol, pirol, dan triptofan
Kuning : prokain dan benzokain
Warna ungu berasal dari kompleks trimolekular melibatkan 2 molekul LSD
dan 1 molekul reagen termodifikasi.
(Khan et al., 2012)
j. Uji Duquenois-Levine
Reagen 1: petroleum eter
Reagen 2: 97,5 mL larutan 2% vanilin dalam metanol absolut dicampur
dengan 2,5 mL asetaldehid.
Reagen 3: HCl pekat
Reagen 4: Kloroform
Prosedur:
Simplisia tanaman dicuci dengan petroleum eter
15

Ekstrak petrolum eter berupa spot sumur pada pelat dan dibiarkan
menguap
Tambahkan beberapa tetes Reagen 2
Tambahkan beberapa tetes Reagen 3 dan amait warnanya
Tambahkan beberapa tetes Reagen 4 dan amati warnanya pada lapisan
kloroform
Hasil: positif pada resin cannabis menunjukkan : (1) warna ungu pada
penambahan Reagen 3, dan (2) warna terpindahkan menuju lapisan kloroform
pada penambahan Reagen 4.
(Khan et al., 2012)
k. Uji Froehde
Reagen: 0,5% larutan natrium molibdat (Na2MoO4) dalam asam sulfat pekat
Prosedur: 1-2 mg atau 1-2 tetes sampel berupa spot pada pelat, ditambahkan 1
tetes Reagen.
Hasil: Warna ungu menunjukkan keberadaan alkaloid opiat.
(Khan et al., 2012)
l. Uji Janovsky
Reagen 1: 0,2% (b/v) m-dinitrobenzena dalam 2-propanol
Reagen 2: 10% (b/v) KOH dalam metanol absolut
Prosedur: 1-2 mg atau 1-2 tetes sampel berupa spot pada pelat, ditambahkan 1
tetes Reagen 1, kemudian ditambahkan 1 tetes Reagen 2.
Hasil: Warna ungu menunjukkan keberadaan diazepam, metkatinon,
flunitrazepam, fenilaseton, oksikodon.
(Khan et al., 2012)
,

m. Uji Weber
Reagen 1: larutan segar 0,1% (b/v) Fast Blue B atau Diazo Blue B (Odianisidin, tetrazotized) dalam air
Reagen 2: larutan HCl pekat
Prosedur: 1-2 mg atau 1-2 tetes sampel berupa spot pada pelat, ditambahkan 1
tetes Reagen 1, kemudian ditambahkan 1 tetes Reagen 2.
Hasil: Warna merah usai penambahan Reagen 1 yang diikuti warna biru-hijau
usai penambahan Reagen 2 menunjukkan keberadaan psilocin atau
psilocybin.

16

(Khan et al., 2012)


Namun, beberapa uji dengan KLT ini sering sekali menimbulkan reaksi
silang yang diperlihatkan pada tabel dibawah ini.
Tabel 2. Zat atau obat yang dapat menimbulkan reaksi silang pada uji skrining
(Liu and Daniel, 1997; BNN, 2008 ; Wirasuta, 2008).

No
1

III.

Uji Skrining
Golongan
Narkotika atau
Psikotropika
Derivat
Amfetamin

Opiat

Benzodiazepin

Kokain

Zat atau Obat yang dapat


Menimbulkan Reaksi Silang
Efedrin, Norpseudoefedrin, Pseudoefedrin,
Fenilpropanolamin, Fentermin, Mefentermin,
Fenfluramin, Fenmetrazin, Metoksifenamin,
Ranitidin, Prokain, Asetilprokain, Tiramin,
Tolmetin, Kloroquin, Kuinikrin, Kuinakrin,
Selegilin,
Bupropion,
Klorpromazin,
Benzfetamin, Propranolol, Tranilsipromin,
Isometeften, Nilidrin, Isoksuprin, Fenkamin,
Furfenorex,
Fenproporex,
Mefenorex,
Klobenzorex, Prenilamin, Fenetilin
Kodein, Hidrokodon, Oksikodon, Levorfanol,
Hidromorfon
Ecgonin Metil Ester, Alprazolam, Triazolam,
Klobazam, Tetrazolam, Oksazolam, Ketazolam,
Midazolam,
Hidroksialprazolam,
Hidroksitriazolam, Oksaprozin, Klorazepat
Ecgonin

Alat dan Bahan


3.1 Alat
Adapun peralatan yang digunkana pada praktikum Analisis Toksikologi

Forensik dan Klinik mengenai Tes Skrining adalah sebagai berikut:


a.
b.
c.
d.

Gelas beaker
Botol vial
Pipet tetes
Pipet Ukur

e. Ball filler
f. Strip Test untuk masing-masing
senyawa
g. Tissue

3.2 Bahan
Adapun bahan yang digunkana pada praktikum Analisis Toksikologi
Forensik dan Klinik mengenai Tes Skrining adalah sebagai berikut:

17

a. Sampel urin segar yang disimulasikan dengan menambahkan senyawa


golongan narkotika dan/atau psikotropika

IV.

Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum kali ini adalah, dimana

melakaukan Uji Penapisan atau Skiring test untuk senyawa golongan Narkotika
dan/atau Psikotropika dalam sampel urin. Dimana tahapan yang dilakukan adalah
Proses Sampling; Proses Pengujian/Identifikasi; dan Interpretasi.

4.1 Proses Sampling


Sampling dilakukan dengan mengumpulkan urin yang diletakkan pada
wadah yang telah disiapkan. Dimana berdasarkan peraturan, urin ditampung
dalam pot urin disposible dari bahan yang tidak mudah pecah dan tidak bereaksi
dengan sampel urine/inert, hindari wadah plastik dan tutup karet karena senyawa
non polar mudah diabsorpsi oleh bahan tersebut. Sampel urin dikemas dalam
wadah yang baik, tidak bocor dan tersusun rapi serta dibungkus dengan baik dan
disegel. Label sampel harus dipasang di wadah bukan di tutup wadah sampel. Ini
akan mencegah perubahan/penukaran label secara sengaja atau tidak (BNN,
2008). Dimana dalam hal ini, sampel urin yang telah dikumpulkan akan dibuat
sebagai sampel simulasi yang disiapkan oleh Laboran dan Dosen pengampu.

4.2 Proses Pengujian


Diletakkan sampel pada beaker glass dalam keadaan terbuka. Disiapkan
strip test untuk masing-masing golongan senyawa yang akan di identifikasi. Strip
test dicelupkan kedalam urin pada beaker glass hingga penandaan bagian yang
dicelupkan. Ditahan 30 detik, kemudian Strip test di angkat dan diletakkan pada
wadah yang bersih (bukan bahan yang menyerap cairan). Tunggu 5 s.d. 10 menit
hingga muncul hasil berupa strip pada zona pengamatan.

4.3 Interpretasi
Dilakukan Interpretasi pada hasil yang diperoleh, dimana hasil
dibandingkan dengan pustaka yang tercantum. Kemudian dicatat hasil yang
diperoleh

18

V. Skema Kerja
5.1 Proses Sampling

Ditampung urin Segar pada wadah yang sesuai

pel simulasi Urin yang memiliki Senyawa yang akan diidentifikasi, dimana dilakukan oleh Laboran da

Sampel simulasi disimpan pada wadah yang sesuai dan siap diidentifikasi
;

5.2 Proses Pengujian dan Interpretasi

Sampel ditempatkan ke dalam beaker glass terbuka

Disiapkan strip test untuk masing-masing golongan senyawa

Strip test dicelupkan ke dalam urin hingga penandaan bagian yang dicelupkan dan ditahan 30

angkat Strip test dan diletakkan pada wadah yang bersih yang tidak menyerap cairan, tunggu 5 s.d

rip pada zona pengamatan, kemudian dilakukan interpretasi sesuai dengan pustaka yang ada dan d

19

DAFTAR PUSTAKA

Badan Narkotika Nasional. 2008. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium


Narkotika, Psikotropika dan Obat Berbahaya. Jakarta : Badan Narkotika
Nasional.

Khan, J.I., T.J. Kennedy, and D.R. Christian, Jr. 2012. Basic Principles of
Forensic Chemistry. New York: Humana Press.

Luckyanenkoa, V., G. R. Eiseleb, and C. W. Coatesc. 2008. Standing Up a


Narcotic Confirmation Laboratory for the Russian Federation Ministry of
Defense Nuclear Personnel Reliability Program. Moscow: Federation
Ministry of Defense Moscow, Ridge Associated University.

Liu, R. H. and D. E. Gadzala. 1997. Handbook of Drug Analysis.


Washington DC: American Chemical Society.

SAMHSA. 2014.
Substance Abuse and Mental Health Services
Administration. Diakses pada 22/09/2015, Available on : www.samhsa.gov.
Steven, B. K. 2007. Drug Abuse Handbook. 2nd Ed. USA: CRC Press.

Sukasediati, Nani dan Matta Sinta Sari W. 1987. EMIT: Salah Satu Cara
Penetapan Obat dalam Serum untuk Pemantauan Kadar Terapi. Jakarta:
Departemen Kesehatan Indonesia.

Suwarso. 2002. Manajemen Laboratoris Penyalahgunaan Obat dan


Komplikasinya. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Gajah Mada: Yogyakarta.

20

United Nations Office on Drugs and Crime. 2011. Guidelines for the
Forensic Analysis of Drug Facilitating Sexual Assault and other Criminal
Acts. United Nations.

Wirasuta, I M. A. G. 2008. Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi


Temuan Analisis. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences. Vol.
1 (1) : 47 55.

22

You might also like