Professional Documents
Culture Documents
Vol5 Gabungan
Vol5 Gabungan
ABSTRACT
Cytotoxicity test on tissue culture (in vitro) was the initial biocompatibility test to evaluate the
citotoxic effect of newly developed material. Tetrahydrozoline HCl was recently considered as a new gingival
retraction agent in dentistry. The use of chemical agent as gingival retraction in the procedure of making the
fixed prostodontic impression, should be effective to produce the temporary lateral and apical retraction of
the free gingival tissue, without creating irreversible tissue damage and either local or systemic harmfull side
effects. The aim of this study was to investigate the cytotoxic effect of tetrahydrozoline HCl toward the
viability of gingival fibroblast cells at different concentration and exposure times.
This study utilized 120 wells cultured human gingival fibroblast cell. All wells were divided into 3 groups,
they were: positive control group was treated with 0.1% epinephrine, negative control group without
treatment, and the last one was treated with tetrahydrozoline HCl at different concentrations : 0.05%, 0.1%,
1%, 10%, 20%, and 30%, with the exposure time : 1, 3, 5, 7, and 10 min. The evaluation of citotoxic effect
based on OD values and viable cells number resulted from dye exclution test.
The lowest mean of cell death percentage was 0.00%, resulted from 1 and 3 min treatment with 0.05%,
0.1%, and 1% tetrahydrozoline HCl. The highest mean was 39.9%, at 30% tetrahydrozoline HCl, for 10min.
There was a significant difference (p<0.05) in cell viability between groups and within group. Probit
analysis brought about estimation of IC50 tetrahydrozoline HCl. The result of this study showed that
tetrahydrozoline HCl had no cytotoxic effect to the viability of gingival fibroblast cell, although the
escalation of tetrahydrozoline HCl concentration and exposure time caused the escalation of cell death
percentage.
Key words: Tetrahydrozoline HCl, gingival retraction, viability, gingival fibroblast
Korespondensi : Tri Purnami Dewi, drg., M.Kes., Bagian Prosthodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361) 7424079, Fax. (0361) 261278
PENDAHULUAN
Pada pembuatan restorasi gigi tiruan
cekat, retraksi sementara jaringan gingiva bebas
ke arah lateral (horisontal) dan apikal (vertikal)
merupakan salah satu hal penting yang harus
dilakukan untuk memperoleh hasil cetakan yang
mencatat garis akhir tepi preparasi gigi penyangga
secara akurat yang terletak pada daerah tepi
gingiva bebas atau daerah subgingiva.1,2,3,4
Metode retraksi gingiva yang paling sering
digunakan adalah metode kemo-mekanis, yaitu
dengan menggunakan benang retraksi yang
mengandung suatu bahan kimia.5 Benang retraksi
berfungsi untuk melebarkan sulkus gingiva secara
mekanis, sedangkan bahan kimiawi berfungsi
untuk menginduksi pengkerutan jaringan gingiva
bebas serta mengontrol perdarahan di daerah
sulkus
gingiva.6,7
Berdasarkan
beberapa
penelitian, prosedur retraksi gingiva dengan
metode kemo-mekanis umumnya dilakukan
dalam waktu antara 5-10 menit. Hal tersebut
perlakuan;
kelompok
perlakuan
diberi
tetrahydrozoline HCl dengan konsentrasi dan
waktu paparan yang berbeda. Kelompok kontrol
positif dan kelompok kontrol negatif, masingmasing dibagi sub kelompok sesuai dengan waktu
paparan, yaitu 1, 3, 5, 7, dan 10 menit. Setiap sub
kelompok terdiri dari 3 sumur sampel. Kelompok
perlakuan dibagi menjadi 5 sub kelompok sesuai
waktu paparan, kemudian tiap sub kelompok
dibagi lagi menjadi 6 sub sub-kelompok sesuai
dengan konsentrasi paparan yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu 0,05%; 0,1%; 1%;10%;
20%; dan 30%. Setiap sub sub-kelompok terdiri
dari 3 sumur sampel. Jadi pada dye exclution test,
dari 120 sumur sampel yang dipersiapkan, terdiri
dari kelompok kontrol positif sebanyak 15 sumur,
kelompok kontrol negatif sebanyak 15 sumur, dan
kelompok perlakuan sebanyak 90 sumur. Sampel
diinkubasi sesuai waktu paparan yaitu 1, 3, 5, 7,
dan 10 menit, lalu diwarnai dengan trypan blue,
dibiarkan selama 1 menit, kemudian dilakukan
penghitungan jumlah sel yang terwarnai. Sel yang
viabel (tidak menyerap warna) dan sel yang nonviabel (menyerap warna, biru) diamati dengan
menggunakan mikroskop cahaya dan dihitung
dengan menggunakan hemositometer (Gambar 1).
Jumlah sel yang terwarnai dihitung pada 4 lapang
pandang hemositometer menggunakan mikroskop
cahaya dengan pembesaran 10x. Perhitungan
persentase kematian dilakukan berdasarkan hasil
penghitungan jumlah sel yang viabel.
Gambar 1
?????????????????????????????????
HASIL PENELITIAN
Viabilitas sel fibroblast yang dinyatakan
dalam bentuk persentase kematian sel merupakan
parameter yang digunakan dalam penelitian ini.
Peningkatan persentase kematian sel menunjukkan
penurunan viabilitas sel. Rerata persentase kematian
sel untuk tiap kelompok sampel dapat dilihat pada
Tabel 1. Pada kelompok kontrol positif, jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif,
pemberian epinefrin 0,1% menyebabkan persentase
kematian diatas 90%, pada hampir semua waktu
paparan, kecuali waktu paparan 1 menit (Tabel 1).
Jumlah sel pada kelompok kontrol negatif (tanpa
perlakuan) dianggap menggambarkan sel hidup
semua (100%), sehingga hasil perhitungan
persentase kematian untuk semua waktu paparan
adalah 0%. Pada kelompok perlakuan yang diberi
tetrahydrozoline HCl dengan beberapa konsentrasi
dan waktu paparan, tampak bahwa semakin tinggi
konsentrasi paparan semakin meningkat persentase
kematian sel, dan semakin lama waktu paparan
semakin meningkat persentase kematian sel.
Tabel 1
Rerata Persentase Kematian Sel Tiap Kelompok Penelitian
Waktu
3 menit
5 menit
7 menit
10 menit
0,042
0,9675
0,9672
0,985
0,984
0,000
0,000
0,000
0,000
0,010
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,007
0,007
0,007
0,015
0,025
0,310
0,000
0,025
0,015
0,040
0,050
0,209
0,393
0,000
0,000
0,058
0,145
0,262
0,323
0,399
Kelompok
Kontrol (+)
(Epinefrin 0,1%)
Kontrol (-)
(tanpa perlakuan)
Tetra-HCl 0,05 %
Tetra-HCl 0,1%
Tetra-HCl 1%
Tetra-HCl 10%
Tetra-HCl 20%
Tetra-HCl 30%
Tabel 2
Ringkasan Hasil Uji Univariate ANOVA : Perbedaan Pengaruh Antar Kelompok Perlakuan
Variabel
F
1061,756
677,700
146.511
KONSENTRASI
WAKTU
KONSENTRASI * WAKTU
Sig.
0,001
0,001
0,001
1 menit
-
3 menit
0,892
-
5 menit
0,000
0,000
-
Sig.
7 menit
0,000
0,000
0,000
-
10 menit
0,000
0,000
0,000
0,000
-
24jam
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
48jam
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
72jam
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
Tabel 4
Hasil Uji LSD antara Keenam Tingkat Konsentrasi: Perbedaan Dalam Kelompok
Konsentrasi
Konsentrasi
0,05 %
0,05 %
0,1 %
1%
10 %
20 %
30 %
0,1 %
0,995
-
Sig.
1%
10%
0,846
0,000
0,857
0,000
0,000
-
20%
0,000
0,000
0,000
0,018
-
30%
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
-
Tabel 5
Hasil Nilai IC50 dari Tiap Kelompok Perlakuan
Waktu Paparan
5 menit
7 menit
10 menit
PEMBAHASAN
Hasil pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat konsentrasi dan waktu
paparan tetrahydrozoline HCl, semakin meningkat
pula persentase kematian sel fibroblast. Pengaruh
yang ditimbulkan terhadap viabilitas sel fibroblast
berupa perubahan permeabilitas membran sel.
Freshney 15 menyebutkan bahwa efek sitotoksik dari
sitotoksin dapat menyebabkan terjadi perubahan
permeabilitas membran sel atau kerusakan integritas
membran sel sehingga membran selnya bisa
ditembus oleh trypan blue. Kerusakan pada
membran sel dapat menyebabkan sel menjadi non
viabel, dan selanjutnya dapat menyebabkan
kematian sel. Pada sel yang non-viabel membran
selnya bisa ditembus oleh trypan blue sedangkan sel
yang viabel memiliki membran sel yang
impermiabel terhadap trypan blue. Jadi semakin
besar
pengaruh
yang
ditimbulkan
akan
mengakibatkan semakin banyak sel mati, yang juga
berarti persentase kematian sel semakin meningkat.
Cotran dkk 16 menjelaskan bahwa terdapat beberapa
motif biokimiawi yang diduga memperantarai
kematian sel, hal ini dapat menjelaskan terjadinya
kematian sel sehubungan dengan sitotoksisitas suatu
bahan. Motif biokimia tersebut antara lain:
1)Penipisan kadar ATP (Adenosin Triphosphate).
Enzim dehidrogenase adalah salah satu enzim yang
berperan dalam pembentukan ATP17 ,yaitu suatu
bentuk energi yang sangat dibutuhkan oleh sel
untuk berbagai aktivitas fungsional sel. Jika enzim
dehidrogenase tidak aktif akibat efek sitotoksik
suatu sitotoksin, maka ATP berkurang, aktivitas sel
terganggu, sehingga dapat mengakibatkan kematian
sel. 2)Defek pada membran sel. Kerusakan
membran atau hilangnya permeabilitas membran
selektif merupakan gambaran umum jejas sel.
Defek ini bisa mempengaruhi mitokondria yang
merupakan tempat untuk memproduksi ATP.
Aktivitas fungsional sel fibroblast gingiva
yaitu berproliferasi maupun memproduksi matriks
ekstra seluler dan fibronektin, sehubungan dengan
IC50
(%w/v)
38,60069
34,67615
32,78785
IC50 (x 103)
(g/mL)
386,01
346,76
327,88
IC50 (x 103)
(M)
1630,5
1464,7
1384,9
10
SIMPULAN
11
Simpulan yang diperoleh dari penelitian
secara in vitro ini adalah: peningkatan konsentrasi
dan waktu paparan tetrahydrozoline HCl
menyebabkan peningkatan persentase kematian sel
fibroblast, namun pada waktu paparan dan
konsentrasi terapeutik (0,05% dan 0,1%) tidak
menimbulkan efek sitotoksik terhadap viabilitas sel
fibroblast gingiva. Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut secara in vivo, sesuai tahapan uji
biokompatibilitas, untuk mengetahui apakah
interpretasi hasil yang diperoleh secara in vitro
cukup akurat dan berkorelasi baik dengan penelitian
in vivo.
DAFTAR PUSTAKA
1
12
13
14
15
16
ABSTRAK
Banyak orang tua menganggap bahwa gigi sulung tidak perlu dirawat. Padahal, pengaruhnya cukup
besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan gigi permanen, kesehatan secara umum, kepribadian, dan
psikologi anak. Upaya untuk menanggulanginya dimulai sejak dini dengan memberikan Pendidikan
Kesehatan Gigi. Hal ini dapat dilakukan di rumah, sekolah, praktek dokter gigi dan masyarakat.
Tujuannya adalah untuk mengubah perilaku anak dalam meningkatkan kesehatan gigi dan mulut melalui
penerapan dental health education. Melalui informasi, pengetahuan dan pemahaman yang didapat anak
melalui dental health education dapat mengubah perilaku dengan munculnya kesadaran anak dalam
meningkatkan kesehatan gigi dan mulut. Pendidikan ini akan efektif hasilnya apabila seluruh aspek
lingkungan anak terlibat khususnya peran serta orang tua terutama ibu dalam memberikan contoh,
pengawasan terhadap kesehatan gigi dan mulut anaknya sehingga upaya pencegahan penyakit gigi dapat
dilakukan secara dini.
Kata kunci: Dental health education, kesehatan gigi dan mulut.
Korespondensi : Soesilo Soeparmin, drg.,M.S., Bagian Kedokteran Gigi Anak, Fakultas Kedokteran
Gigi, Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361) 7424079, Fax.
(0361) 261278
PENDAHULUAN
Masalah kesehatan gigi anak di Indonesia
sangat memprihatinkan.1 Banyak orang tua
mengira bahwa gigi sulung tidak perlu dirawat,
tidak lama ada dalam mulut dan pada saatnya
akan digantikan dengan gigi tetap yang lebih
kuat dan lebih besar. Mereka tidak tahu bahwa
cukup banyak akibat yang dapat terjadi bila gigi
sulung tidak dirawat dengan baik.2,3 Walaupun
masih memiliki gigi sulung, seorang anak harus
mendapatkan perhatian serius dari orang tua
yaitu cara merawat gigi anaknya dan
mengajarkan anaknya cara merawat gigi yang
baik.3 Apabila tidak segera dilakukan, upaya
pencegahan dengan meningkatnya umur,
kerusakan gigi dan jaringan pendukungnya akan
menjadi
lebih
berat,
bahkan
dapat
mengakibatkan terlepasnya gigi pada usia muda
sehingga diperlukan biaya perawatan gigi yang
semakin mahal.4
DENTAL
HEALTH
EDUCATION
(PENDIDIKAN KESEHATAN GIGI)
Pendidikan kesehatan gigi adalah proses
pendidikan yang terencana, terarah, dan
berkesinambungan untuk mengubah perilaku
meliputi perubahan pengetahuan, sikap, dan
tindakan yang mengarah kepada upaya hidup
sehat yang diharapkan bertambah baik sehingga
diperoleh derajat kesehatan gigi dan mulut yang
optimal.5,6
Tujuan pendidikan kesehatan gigi adalah
untuk memperkenalkan kepada anak tentang
7.
MANFAAT
DENTAL
HEALTH
EDUCATION DALAM KESEHATAN GIGI
DAN MULUT ANAK
Manfaat pendidikan kesehatan gigi
secara dini pada anak yang diajukan oleh para
ahli pada intinya sama yaitu memberikan
pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan
gigi dan mulut, adanya perubahan perilaku anak
setelah
munculnya
kesadaran
dalam
meningkatkan kesehatan gigi dan mulut,
keikutsertaan orang tua memberikan pengaruh
positif dalam memotivasi anak sejak dini
tentang kesehatan gigi dan mulut, menghemat
biaya, efisiensi waktu dan tenaga dalam
perawatan gigi, dapat menurunkan tingkat
penyakit gigi seperti karies gigi yang sering
menyerang
anak-anak
sehingga
upaya
pencegahan dini melalui pendidikan kesehatan
gigi kepada anak merupakan strategi yang
paling efektif dan efisien.1,2,11,14,15
PEMBAHASAN
Pendidikan kesehatan gigi sangat perlu
dilaksanakan sejak usia dini karena anak yang
masih kecil mudah meniru kebiasaan-kebiasaan
yang diajarkan atau dicontohkan. Bimbingan
dan perhatian khusus dari orang tua terutama
ibu jika dilaksanakan secara terus-menerus pada
akhirnya anak akan mengerti dan memahami
tentang pentingnya kebersihan gigi. Pendidikan
dimulai dengan memperkenalkan sikat gigi dan
pasta gigi dengan mencontohkan cara
membersihkan gigi. Jika hal-hal kecil seperti ini
dilaksanakan secara konsisten, anak akan
meniru apa yang dicontohkan. Apalagi jika
contoh itu dilihat anak sebagai sesuatu yang
menyenangkan dan sama sekali bukan sesuatu
yang membosankan. Maka dari sini akan
muncul kesadaran anak tentang kesehatan gigi
dan mulut.14,16
Pendidikan kesehatan gigi (DHE)
ternyata dapat juga menurunkan indeks plak, hal
ini telah dibuktikan oleh penelitian Damanik
dan Sinaga (2002) yang membandingkan dua
10
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
SIMPULAN
4.
Pendidikan kesehatan gigi (DHE) yang
diberikan kepada anak mampu mengubah
perilaku anak dengan munculnya kesadaran
untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut dalam
berbagai lingkungan sehingga pencegahan
penyakit gigi dapat dilakukan secara dini. Hal
ini dapat dibuktikan dengan penurunan tingkat
karies gigi serta peningkatan kebersihan gigi
dan mulut anak. Pendidikan kesehatan gigi pada
anak akan lebih efektif apabila orang tua
terutama ibu ikut berperan memberikan contoh,
mengawasi kesehatan gigi dan mulut anaknya.
SARAN
Banyak upaya pendidikan kesehatan gigi
dan mulut kepada anak tidak memberikan
perubahan yang signifikan terhadap kesehatan
gigi dan mulut mereka sehingga tidak akan
efektif apabila pemahaman dan kesadaran anak
terhadap kesehatan gigi dan mulut masih rendah
serta tidak adanya peran serta seluruh aspek
dalam lingkungan anak. Untuk menciptakan
5.
6.
7.
8.
11
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
12
PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia bersama bangsa
bangsa lain di seluruh dunia saat sekarang
ini telah memasuki era millenium ketiga.
Dalam masa milenium ketiga ini, bangsa
Indonesia tentu saja telah mengalami
lompatan budaya dari masyarakat agraris
langsung ke peradaban pasca industri.
Kondisi tersebut melahirkan tuntutan baru
bagi masyarakat dan lingkungannya
termasuk tuntutan terhadap kesehatan yang
bermutu. Dalam hal jasa pelayanan
kesehatan dan kualitas pelayanan kesehatan
gigi yang akan diberikan; tidak hanya dokter
gigi, namun semua pemberi pelayanan
kesehatan juga saling bersaing termasuk
rumah sakit. Merupakan tantangan bagi
pemberi pelayanan kesehatan untuk dapat
memberikan pelayanan yang bermutu
kepada pasien yang berkunjung.
Pelayanan
adalah
serangkaian
aktivitas yang tidak dapat diraba sebagai
akibat adanya interaksi antara konsumen
dengan
pemberi
pelayanan
untuk
memecahkan permasalahan konsumen atau
pelanggan.1,2 Penyelenggaraan pelayan harus
memenuhi
beberapa
prinsip,
yaitu:
kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu,
13
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah survei analitik
dengan pendekatan cross sectional. Sampel
penelitian adalah pasien dewasa yang
berkunjung ke RSGM FKG UNMAS
Denpasar sebanyak 384 orang yang
diperoleh secara insidental. Variabel
Penelitian terdiri dari variabel bebas dan
variabel terikat. Variabel bebas adalah mutu
pelayanan, meliputi: pendaftaran, pelayanan
petugas, biaya perawatan, waktu perawatan,
dan kenyamanan ruangan. Variabel terikat
adalah kepuasan pasien. Alat ukur penelitian
adalah kuesioner yang telah dinyatakan valid
dan reliabel. Data dianalisis
dengan
menggunakan uji analisis regresi linier
tunggal dan Product Moment Pearson.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan mutu pelayanan di
RSGM Pendidikan dengan kepuasan pasien.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
dan Jenis Kelamin
KETERANGAN
17-26
27-36
UMUR (th)
37-46
47-56
57-66
JENIS
Laki-laki
KELAMIN
Perempuan
JUMLAH
287
46
34
6
11
142
242
(%)
74,74
11,98
8,85
1,56
2,87
36,98
63,02
JUMLAH
171
182
31
384
(%)
44,53
47,40
8,07
100
JUMLAH
(%)
18
366
384
4,69
95,31
100
14
JUMLAH
155
187
42
384
(%)
40,36%
48,70%
10,94%
100%
R
.931a
R Square
.867
Beta
-79.829
Sig.
.000
PEMBAHASAN
Hasil
penelitian
menunjukkan
terdapat hubungan yang bermakna antara
mutu pelayanan dengan kepuasan pasien.
Mutu pelayanan kurang memberikan
kepuasan pada pasien. Ketidakpuasan timbul
karena hasil tidak memenuhi harapan. Di
RSGM, pasien-pasien yang datang dirawat
dan dilayani oleh mahasiswa kepaniteraan.
Pada penelitian ini diketahui sebagian besar
responden menyatakan tidak tahu akan
pelayanan yang mereka peroleh (47,4%).
Besarnya standar
deviasi
pelayanan
(SD=11,56), dapat diketahui adanya gap
sebesar 40,7% antara pasien yang berpikir
positif dan yang berpikir negatif. Hal ini
disebabkan oleh karena sebagian besar
15
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
SIMPULAN
,
Terdapat hubungan yang bermakna
antara mutu pelayanan dengan kepuasan
16
ABSTRAK
Fase retensi bertujuan untuk mempertahankan gigi-gigi dalam posisinya yang baru, baik secara
estetik maupun fungsional. Alat retensi sebaiknya didesain sederhana dan dapat menahan gigi untuk
beberapa waktu, agar jaringan periodontal dan tulang dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan letak
gigi. Pemakaian alat retensi sebaiknya tidak dihentikan seketika, tetapi dikurangi secara bertahap sampai
gigi yang menempati posisi baru telah stabil.
Kata kunci: fase retensi, alat ortodonsia lepasan, stabil
Korespondensi: Norman Hidajah, drg., Bagian Ortodonsia, Fakultas kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11 A, Telp/Fax. (0361) 261278
PENDAHULUAN
Perawatan Ortodontik terdiri dari fase
aktif dan fase pasif. Fase aktif merupakan
perawatan untuk menggerakkan gigi yang akan
dikoreksi letaknya, sedangkan fase pasif dalam
hubungannya dengan ortodonti bertujuan
mempertahankan gigi geligi pada posisi yang
telah memenuhi syarat estetik dan fungsional.1
Pada tahap akhir dari perawatan aktif yang telah
berhasil, struktur pendukung dari gigi-gigi masih
mengalami modifikasi aktif. Tulang akan
teresorbsi dan terdeposit pada soket, dan jaringan
pendukung gigi-gigi masih terpengaruh tekanan
dari perawatan aktif. Jika alat aktif seketika
dilepaskan pada tahap ini, akan terjadi relaps.2
Keadaan ini membutuhkan adanya fase retensi
dengan tujuan untuk mempertahankan gigi-gigi
dalam posisinya yang baru. Fase retensi bukan
merupakan masalah yang terpisah dalam
perawatan
ortodontik,
tetapi
merupakan
kelanjutan dari perawatan yang telah dilakukan.
FASE RETENSI
Perawatan
pasif
bertujuan
untuk
mempertahankan gigi-gigi yang telah digerakan
ke posisi yang baru baik secara estetik maupun
fungsional. Hal ini dilakukan karena gigi yang
telah digerakkan setelah perawatan aktif selesai
mempunyai tendensi untuk relaps. Kontraksi
struktur jaringan fibrous setelah pergerakan gigi
17
Gambar 1
Hawley Retainer
Wraparaound Retainer
Wraparound retainer disebut juga clip on
retainer yang terdiri dari bar plastik di sepanjang
permukaan
labial
dan
lingual
gigi.
Keuntungannya yaitu tidak melintang pada
dataran oklusi sehingga hubungan antar cusp
molar dapat terjaga dengan baik, memberikan
retensi dari arah transversal dan sagital.
Kekurangan yaitu dari segi estetik dan
kenyamannya kurang baik dibandingkan dengan
Hawley retainer dan tidak efektif untuk retensi
setelah koreksi tumpang gigit.7
Gambar 2
Essix Thermoplastic Copolyester Retainer
18
Spring Retainer
Gambar 3
Spring Retainer
Sarhan Retainer
Desain alat retensi ini hampir sama seperti
Hawley retainer yaitu terdapat busur labial yang
dihubungkan dengan cengkeram Adam, namun
alat retensi ini dibuat tanpa menggunakan plat
akrilik, menggunakan 0,9 mm kawat bulat untuk
kedua busur dan ditambahkan loop U kecil pada
busur labial. Tidak adanya plat akrilik pada alat
ini memberikan keuntungan yaitu tidak
Gambar 4
All-Wire Retainer with Clip-on System
SIMPULAN
Kebanyakan kasus-kasus yang dirawat
ortodontik membutuhkan pemakai alat lepasan
dengan jangka waktu tertentu hingga tercapai
penyesuaian yang baik. Pemakaian alat retensi
sebaiknya tidak dihentikan seketika, tetapi
dikurangi secara bertahap sampai gigi yang
menempati posisi baru telah stabil.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
19
5.
6.
7.
8.
9.
20
Abstract
Dental caries is a dental di sease which can be prevented. This can be seen from the decreasing
number of dental caries cases in the developed conntries.In the effort to prevent the dental caries, the
cooperation between the health specialists and the patients are highly required. Dental caries prevention
must be performed continuonshy which can be done by training the patients on the dental caries prevention
at every visit. The recommended method should be the one whichh is easily done by the patients. From the
report of on the job training students of JKG Poltekkes Denpasar in 2004, it is found that the number of
people who request for preventive service is only 6 persons or 0,01 % of 1.117 visitors. From the intervieu
during persions rescarches with one of the dental nurses of Dental Health Centre of Puskesmas Kuta Utara,
it was reported that patients who visited the health centre werw those who were suffering from the aching
white those who came for preventive serices such as scalling were only those who were suggested and
given advice by the health specialists of the Puskesmas ( Public Health Centre )
Based on the statistical test of Spearmans Correlation, it is found that the significance was at o,942,
based on the Knowledge level, Significance of 0,275 based on the toothaeche experience, Significance of
0,832 based on the level of knowledge. This shows that there is no correlation between the perception and
the knowledge level, perception and the toothaeche experience, perception and the knowledge level.
The effarts which can be done for the people in Kuta Utara (North Kuta) in order to improve the
dental and oral diseases prevention is by regularly brushing of teeth based on the timing and rontine checks
up of teeth and mounth which should be once in 6 months in Health Centre or Dentist
Key word: Perception, preventif, dental caries
PENDAHULUAN
Upaya kesehatan gigi dan mulut di
puskesmas merupakan kesehatan gigi dasar
paripurna yang ditujukan kepada individu,
keluarga dan masyarakat di wilayah kerja
puskesmas
dengan
prioritas
masyarakat
berpengalaman rendah terutama masyarakat
yang rentan terhadap penyakit gigi dan mulut1.
Karies gigi merupakan penyakit yang dapat
dicegah, yang membutuhkan kerja sama antara
petugas kesehatan dengan pasien 2. Pencegahan
karies gigi harus dilakukan secara terus menerus,
dapat dilakukan dengan melatih pasien tentang
cara-cara mencegah karies gigi pada setiap kali
kunjungannya. Metode pencegahan yang
disarankan hendaknya metode yang mudah
dilakukan oleh pasien3. Pemanfaatan puskesmas
sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan
masih merupakan pilihan bagi masyarakat untuk
berobat, termasuk berobat gigi. Sebab puskesmas
21
UPAYA PREVENTIF
Upaya preventif karies gigi merupakan
upaya pencegahan terjadinya karies gigi yang
dimulai dari pemeriksaan plak, menyikat gigi
sampai pada penggunaan fluor dan penambalan
pit dan fissure gigi5. Pencegahan karies pasca
erupsi gigi geligi dapat dilakukan dengan
beberapa cara meliputi Pengaturan diet, yaitu
dengan mengurangi frekuensi mengkonsumsi
makanan yang mengandung gula, karena
makanan tersebut merupakan salah satu
pendukung terjadinya karies; Plak kontrol yaitu
tindakan pencegahan terjadinya penumpukan
dental plak dan deposit-deposit lainnya pada
permukaan gigi dengan cara menyikat gigi yang
teratur; serta Penggunaan fluor, merupakan
metode yang paling efektif untuk mencegah
karies. Fluor dapat diberikan secara lokal
melalui fluoridasi air minum, garam dapur, air
susu dan tablet fluor. Sedangkan secara sistemik
melalui topikal aplikasi larutan fluor, kumurkumur dengan larutan fluor, menyikat gigi
dengan pasta gigi6.
Persepsi atau tanggapan adalah proses
mental yang terjadi pada diri manusia, yang akan
menunjukkan
bagaimana
kita
melihat,
mendengar, merasakan, memberi, serta meraba
disekitar kita7. Persepsi seseorang terhadap
keadaan sehat tidak sama, tergantung pada latar
belakang pendidikan dan budayanya8. Persepsi
merupakan proses pengamatan seseorang yang
berasal dari komponen kognisi, Kognisi adalah
pengetahuan, pendapat atau keyakinan. Faktorfaktor yang mempengaruhi persepsi adalah
pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan
METODE
Desain penelitian ini adalah cross
sectional. Tempat penelitian alah Puskesmas
Kuta Utara. Populasi penelitian adalah
masyarakat pengunjung kllinik gigi Puskesmas
Kuta utara pada Bulan Maret Tahun 2006
sebanyak 110 orang. Sampel penelitian adalah
menggunakan total populasi yaitu pasien yang
berkunjung ke klinik gigi pada Bulan Maret
Tahun 2006. Pengumpulan data dilakukan
melalui kuesioner yaitu dengan membagikan
angket yang daftar pertanyaan yang dijawab oleh
responden. Hasil penelitian dianalisis secara
univariat
berupa
frekuensi,
persentase.
Sedangkan untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan antara pendidikan, pengalaman sakit
gigi, pengetahuan terhadap persepsi seseorang
dipergunakan analisis statistik bivariat dengan
uji korelasi Spearman,s.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1.
Distribusi Prekuensi Persepsi Masyarakat Pengunjung Klinik Gigi Puskesmas Kuta Utara Terhadap
Upaya Preventif Karies Gigi Berdasarkan Tingkat Pendidikan
TINGKAT PENDIDIKAN
SD
SMP
SMA
D/PT
NO
PERSEPSI
1
2
3
Baik
Cukup baik
Kurang baik
16
11
0
3
9
3
23
24
2
10
8
0
TOTAL
(%)
52 (47,27)
52 (47,27)
5 (4,54)
Tidak baik
1 (0.90)
Dari tabel 1 diatas dapat dijelaskan bahwa 23 orang (20,90 %) masyarakat pengunjung klinik gigi
berpendidikan SMA memiliki persepsi baik, 24 orang (21,81) cukup baik, terdapat satu orang (0,90 %)
berpendidikan D / PT memiliki persepsi tidak baik.
22
Tabel 2
Distribusi Prekuensi Persepsi Masyarakat Pengunjung Klinik Gigi Puskesmas Kuta Utara Terhadap
Upaya Preventif Karies Gigi Berdasarkan Pengalaman Sakit Gigi
NO
PERSEPSI
1
2
3
4
Baik
Cukup baik
Kurang baik
Tidak baik
TOTAL
(%)
52 (47.27)
52 (47.27)
1 (0.90)
1 (0.90)
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Persepsi Masyarakat Pengunjung Klinik Gigi Puskesmas Kuta Utara Terhadap
Upaya Preventif Karies Gigi Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
NO
PERSEPSI
TINGKAT PENGETAHUAN
TINGGI
SEDANG
RENDAH
43
9
0
Baik
Cukup baik
42
3
4
Kurang baik
Tidak baik
4
1
1
0
0
0
Dari tabel 3
diatas terlihat bahwa,
sebanyak 90 orang (81.81 %) masyarakat
pengunjung klinik gigi dengan tingkat
pengetahuan tinggi memiliki persepsi baik,
cukup baik, kurang baik dan tidak baik. Terdapat
satu orang (0.90 %) dengan tingkat pengetahuan
rendah memiliki persepsi cukup baik.
TOTAL
(%)
52
(47.27)
52
(47.27)
5 (4.54)
1 (0.90)
PEMBAHASAN
Dari hasil analisa data diketahui bahwa
jumlah masyarakat pengunjung klinik gigi
23
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
24
OROANTRAL FISTULA
Hendri Poernomo
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRAK
Salah satu komplikasi yang sering terjadi pada pencabutan gigi rahang atas khususnya gigigigi molar dan premolar adalah terjadinya oroantral fistula. Penulisan ini bertujuan untuk
menjelaskan mengenai oroantral fistula sebagai salah satu komplikasi pencabutan dan
perawatannya. Oroantral fistula adalah lubang antara prosesus alveolaris dan sinus maksilaris yang
tidak mengalami penutupan dan mengalami epitelisasi. Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh
karena adanya oroantral fistula adalah infeksi pada antrum dan adanya sinusitis maksilaris.
Perawatan yang dapat dilakukan adalah menghilangkan infeksi dan melakukan penutupan
oroantral fistula dengan pembukaan flap. Ada beberapa metode yang dapat dipilih diantaranya
adalah kombinasi jaringan bukal dan palatal, teknik flap bukal, teknik flap palatal dan teknik gold
plate.
Kata kunci : komplikasi pencabutan, oroantral fistula, perawatan oroantral fistula
Korespondensi : Hendri Poernomo, drg., Bagian Bedah Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361) 7424079, Fax.
(0361) 261278
PENDAHULUAN
Setiap tindakan dan perawatan yang
dilakukan
di rongga
mulut dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi, salah
satunya adalah terjadinya oroantral fistula.
Oroantral fistula terjadi karena adanya
hubungan patologis antara rongga mulut
dengan antrum akibat pencabutan gigi di
rahang atas khususnya gigi-gigi molar dan
premolar disamping oleh karena faktorfaktor lainnya. Hubungan atau lubang dapat
terbentuk setelah pembedahan, akibat
trauma pada sinus, dan jarang sekali
disebabkan oleh cacat perkembangan atau
oleh karena infeksi 1. Secara umum, tulang
dasar antrum mempunyai ukuran yang relatif
tebal. Ketebalan yang dimaksud adalah jarak
antara permukaan dasar antrum dengan
ujung akar gigi posterior rahang atas. Pada
beberapa kasus dijumpai dinding dasar
antrum yang sangat tipis sehingga tidak ada
batas dengan ujung akar gigi 2.
Tidak semua jalan masuk atau lubang
ke arah antrum menyebabkan timbulnya
fistula. Terbentuknya
fistula setelah
penembusan sinus, apapun penyebabnya
mempunyai persentase yang kecil. Fistula
lebih mungkin terbentuk bila lubang yang
terjadi lebih besar dari 3--4 mm, dan
DEFINISI
Secara anatomis, oral dan antrum
adalah dua bagian yang dekat tapi terpisah
satu dengan yang lainnya. Antrum berbentuk
ruangan kosong yang terletak dibawah orbita
kiri dan kanan. Bagian medial dari antrum
dibatasi oleh dinding lateral dari rongga
hidung dan bagian dasar dibatasi oleh tulang
alveol rahang atas yaitu tempat dimana gigigigi berada 2.
Oroantral fistula adalah lubang antara
prosesus alveolaris dan sinus maksilaris,
25
GAMBARAN RONTGENOLOGIS
Pada
pemeriksaan
radiografi
periapikal, oklusal dan panoramik dapat
PENCEGAHAN
Secara umum, tindakan yang dapat
dilakukan untuk mencegah agar tidak
terjadinya
oroantral
fistula
adalah
melakukan rontgen foto terlebih dahulu
sebelum pencabutan gigi dilakukan untuk
mengetahui posisi dari gigi yang akan
dicabut khususnya akar-akar gigi posterior
rahang atas yang letaknya dekat dengan
antrum dan untuk mengetahui ada atau
tidaknya penyakit periapikal pada jaringan
disekitar ujung akar gigi. Pengontrolan
terhadap tekanan yang diberikan pada
instrumen dan tindakan yang selalu berhatihati dalam setiap tindakan pencabutan gigi
mutlak harus dilakukan sehingga terjadinya
oroantral fistula dapat dihindari 2 .
PERAWATAN
Terdapat sejumlah metode yang dapat
dilakukan untuk penutupan oroantral fistula.
Pemilihan metode dibuat berdasarkan cara
yang telah dilakukan dalam setiap kasus
26
Kombinasi Jaringan
Bukal Dan Palatal
Mukoperiosteum
C
Gambar 1
Penutupan Sinus Yang Terbuka Secara
Tidak Sengaja Pada Rahang Yang
Bergigi
Keterangan gambar :
A. Dilakukan insisi disekeliling gigi dan
melewati daerah yang mengalami
pembukaan. Dilakukan insisi pada
palatum, dengan menghindari arteri
palatinus. Dinding alveolar bukal dan
palatal dikurangi dengan menggunakan
rongeur.
B. Tepi mukosa pada ridge dibuat supaya
segar dan flapnya diangkat
C. Flap tersebut dijahit. Tujuan utamanya
adalah supaya terjadi penyembuhan.
Luka pada palatal dibiarkan terbuka
27
Gambar 2
Penutupan Sinus Yang Mengalami
Pembukaan Yang Lebar Secara Tidak
Sengaja Pada Daerah Yang Tidak Bergigi
(Kehilangan Tuberositas Maksilaris)
A
Keterangan gambar :
a. Sinus yang terbuka setelah pencabutan.
b. Dilakukan pengurangan pada dinding
bukal dan palatal agar terjadi adaptasi
flap jaringan lunak bukal dan palatal.
Flap jaringan lunak dibentuk secara
konservatif agar membentuk suatu
garis.
c. Flap dijahit.
E
Gambar 3
Teknik Flap Bukal
Keterangan Gambar
A. Eksisi lingkaran perifer jaringan lunak
oroantral fistula
B. De-epitelisasi mukosa palatal untuk
memberikan daerah pada flap; insisi
divergen
pada
tulang
melalui
pembukaan untuk ketinggian dari sulkus
bukal.
C. Pembukaan flap mukoperiosteal; insisi
horisontal dari periosteum dengan
pengurangan untuk pengendoran dari
flap.
28
Gambar 4
Teknik Flap Palatal
Keterangan Gambar:
A. Eksisi lingkaran jaringan lunak
pada oroantral fistula
B. Desain
flap
palatal
dengan
ketebalan penuh mengikutsertakan
arteri palatine dalam flap sehingga
dapat ikut terotasi: de-epitelisasi
dari mukosa alveolar.
C. Pemutaran dan penjahitan dari
flap.(Steiner dan Thomson)
Kelebihan teknik flap palatal adalah
lebih mudah dibentuk untuk menutup
kerusakan yang terjadi oleh karena mukosa
palatal lebih tebal dan lebih padat serta
penyatuan dari flap palatal lebih baik
sehingga flap palatal lebih dipilih untuk
fistula yang kambuh dan lebih besar.
Kekurangannya
adalah
prosedur
pembedahannya lebih sulit 3,6.
29
KEGAGALAN PERAWATAN
Penyebab kegagalan dari penutupan
oroantral fistula dapat sebabkan oleh 7:
Eliminasi atau pembuangan yang tidak
menyeluruh dari seluruh infeksi yang
terdapat didalam rongga antrum sebelum
penutupan
oroantral
fistula.
Infeksi
dihilangkan dengan melakukan pembersihan
rongga sinus atau pemberian antibiotik yang
telah dibuktikan secara efektif melawan
adanya bakteri; Pasien dengan kondisi fisik
umum yang tidak mendapatkan penanganan
dan perawatan yang cukup seperti adanya
penyakit diabetes, sifilis, dan tuberkulosis.
Penyakit-penyakit
tersebut
dapat
memberikan pengaruh merugikan bagi
kesembuhan yang normal dari luka; Flap
yang ditempatkan diatas pembukaan dengan
ketegangan jaringan yang terlalu besar,
kegagalan penyediaan suatu permukaan
segar pada sisi resipien dari flap.
SIMPULAN
Salah satu komplikasi yang sering
terjadi pada tindakan pencabutan gigi
posterior rahang atas terutama pada gigi-gigi
molar dan premolar adalah terjadinya
penembusan sinus oleh karena letak dasar
antrum yang dekat dengan akar-akar gigi
tersebut. Hubungan patologis yang terbentuk
antara rongga mulut dengan sinus maksilaris
tersebut dikenal dengan oroantral fistula.
Fistula yang berukuran kecil setelah
pencabutan, cenderung sembuh secara
spontan karena terjadinya pembentukan
bekuan darah yang mampu menutup fistula
30
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
31
PENDAHULUAN
Rumah sakit sebagai bagian integral sistem
pelayanan kesehatan harus dapat memberikan
pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
masyarakat. Untuk itu diperlukan upaya untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dengan
cara peningkatan sumber daya pelaksana rumah
sakit. Sumber daya manusia adalah sumber daya
yang terpenting sebagai motor penggerak
berlangsungnya proses manajemen.
Asuhan keperawatan pada rumah sakit
merupakan bentuk pelayanan profesional yang
diberikan kepada pasien sebagai bagian integral
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Asuhan
keperawatan juga sebagai faktor penentu dalam
keberhasilan suatu rumah sakit, jika penataan
sistemnya serta pengelolaannya dilakukan secara
profesional. Asuhan keperawatan adalah suatu
bentuk pelayanan profesional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan yang
didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan1.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan asuhan
keperawatan, seorang perawat harus mempunyai
kinerja yang bagus dan baik. Kinerja merupakan
proses yang dilakukan dan hasil yang dicapai
32
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan pada tanggal 5 Desember 2005
terhadap 9 orang perawat yang bekerja di RSGMFKG UNMAS Denpasar didapatkan hasil sebagai
berikut.
:
MOTIVASI
Tabel 1
Mean Komposit Dari Motivasi
No
Item
Mean
Kriteria
1
2
3
4
5
6
1,22
1,00
1,22
1,00
1,00
2,00
Rendah
Tidak pernah
Tidak pernah
Tidak pernah
Tidak pernah
Pernah
Mean Komposit
= 7,44 / 6
= 1,24
Kriteria : tidak termotivasi: 1,00-1,50 ; termotivasi: 1,51-2,00
Berdasarkan tabel mean komposit dari
motivasi di atas, maka didapatkan bahwa perawat
BEBAN KERJA
Tabel 2
Mean Komposit Dari Beban Kerja
No
Item
Mean
1
Beban Kerja Obyektif
2,11
2
Beban Kerja Subyektif
a. Perasaan kelebihan kerja
2,00
b. Tekanan pekerjaan
1,78
c. Kepuasan kerja
2,00
Mean Komposit
= 7,89 / 4
= 1,97
Kriteria: berat: 1,78 1,95 ; ringan : 1,96 2,11
Kriteria
sedang
senang
pernah
puas
33
KEJENUHAN BEKERJA
Tabel 3
Mean Komposit Dari Kejenuhan Bekerja
No.
1
2
3
4
5
6
Item
Pengalaman Stress Saat Bekerja
Tingkatan Stress
Bosan Dengan Pekerjaan
Lelah Dengan Pekerjaan
Pengalaman Kejenuhan Secara Emosi
Tingkatan Kejenuhan Secara Emosi
Mean Komposit
Mean
Kriteria
1,89
Pernah
1,00
Rendah
1,00
Tidak bosan
1,00
Tidak lelah
1,89
Pernah
1,67
Sedang
= 8,45 / 6
= 1,41
Kriteria: tinggi: 1,00 - 1,30; sedang: 1,31 - 1,61; rendah: 1,62 1,92
HARAPAN PERAWAT
Tabel 4
Harapan Perawat
No.
1
2
3
4
5
6
Harapan
Semoga gajinya naik (sesuai dengan UMR)
Semoga bertambah jaya, maju, aman dan tetap disenangi
masyarakat banyak
Nasib karyawan lebih diperhatikan
Kualitas SDM-nya lebih diutamakan
Fasilitas klinik lebih ditingkatkan
Dibentuknya tim marketing yang bisa mempromosikan
RSGM dengan maksimal
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas,
didapatkan bahwa Perawat di RSGM-FKG
UNMAS Denpasar dalam bekerja tidak
termotivasi. Hal ini disebabkan oleh karena tidak
adanya motivator dalam melakukan pekerjaan,
seperti sistem imbalan (gaji ) yang masih tidak
sesuai dengan harapan yaitu masih dibawah ratarata UMR dan perusahan swasta lainnya. Selain
itu, mereka juga tidak pernah mendapatkan
penghargaan sama sekali atas pekerjaan yang
mereka lakukan selama ini dari pihak manajemen
rumah sakit. Perawat hanya diberikan tanggung
jawab saja dan tidak pernah mendapatkan
kesempatan untuk berkembang seperti kenaikan
jabatan, kesempatan mendapatkan beasiswa
maupun melanjutkan pendidikan. Faktor-faktor
inilah yang selama ini menyebabkan perawat
Persentase
100 %
67%
67%
56%
56%
11 %
34
SIMPULAN
Faktor yang mempengaruhi kinerja
perawat
dalam
melaksanakan
asuhan
keperawatan di RSGM-FKG UNMAS Denpasar
adalah tidak termotivasinya perawat dalam
bekerja, beban kerja yang dilakukan perawat
dalam kondisi ringan dan kejenuhan perawat saat
bekerja dalam kondisi sedang.
SARAN
Kepada pihak manajemen rumah sakit
disarankan sebagai berikut : 1)Memberikan
reward
seperti
kesempatan
melanjutkan
pendidikan, mendapatkan beasiswa, kenaikan
jabatan dan penghargaan bagi perawat yang
berprestasi; 2)Adanya pengakuan terhadap
kinerja perawat dengan memberikan pujian,
ucapan terima kasih ataupun dilakukan pemilihan
perawat teladan; 3)Peningkatan kesejahteraan
karyawan yang dapat dilakukan melalui
pemberdayaan sumber pendapatan keuangan lain,
jika kenaikan gaji sulit untuk dilakukan;
4)Memberikan kesempatan kepada perawat untuk
mengikuti berbagai pelatihan, dan pendidikan
yang
berkelanjutan; 5)Perawat
diberikan
pekerjaan yang tidak terlalu ringan agar perawat
tidak terlalu santai sehingga mereka menjadi
lebih disiplin dan bisa lebih bertanggung jawab
terhadap pekerjaannya; 6)Perlu adanya ketegasan
pimpinan dalam rangka meningkatkan disiplin
karyawan yaitu dengan memberikan punishment
tanpa adanya diskriminasi; 7)Adanya rekreasi
atau studi banding untuk mengurangi kejenuhan
dan memperluas wawasan perawat;
Selain hal tersebut di atas, disarankan
kepada peneliti lainnya untuk melakukan
penelitian lebih lanjut terhadap faktor lain yang
mempengaruhi kinerja perawat.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
35
4.
5.
6.
36
ABSTRACT
Dentists were categorized as a high-risk profession upon musculoskeletal disorder because
of an unnaturally working posture with several complaints particularly on the neck, shoulder and
low back. Improvisations to an ergonomic working posture in dental professional were made
continuously with an aim to reduce musculoskeletal complaints. However, the number of
complaint was significantly increased recently, which was probably caused by less of movement by
the presence of an assistant during dental treatment (four-handed dentistry) and increased
working time without break. Besides, dentists did not receive exact ergonomics working posture
training during dental treatment since as a dental students.
Key words : work posture, ergonomic, dentists
Korespondensi : Mochammad Taha Maruf, drg., M.Erg., Bagian Bedah Mulut, Fakultas
Kedokteran Gigi, Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361)
7424079, Fax. (0361) 261278
PENDAHULUAN
Sebagian
besar
dokter
gigi
mengalami gangguan fungsi dan rasa sakit
akibat pekerjaan (work-related pain and
dysfunction). Penyebab terbesarnya adalah
sikap duduk yang salah dan lama (awkward
prolonged
seated
postures),
tanpa
penyangga punggung, dan
terjadinya
kontraksi otot isometrik yang disebabkan
area kerja yang terbatas yaitu rongga mulut1.
Penatalaksanaan
dan
metode
pekerjaan dokter gigi pernah dievaluasi dari
aspek ergonomi oleh Szymanska (2002),
khususnya
tentang
kelainan
sistem
muskuloskeletal, dengan tujuan untuk
menetapkan metode perlindungan dari
penyakit dan perawatan yang sesuai. Studi
tersebut menunjukkan bahwa dokter gigi
bekerja dalam kondisi yang dapat
menyebabkan
kelainan
sistem
muskuloskeletal. Sebagai hasilnya, bila
waktu kerja selama satu hari digunakan
dengan cara tidak ergonomis, maka dari
tahun ke tahun terjadi peningkatan kelainan
muskuloskeletal sehingga dokter gigi harus
mendapatkan berbagai bentuk perawatan2.
Selanjutnya menurut Milerad dan Ekenvall
(1998), dokter gigi dikelompokkan dalam
profesi yang beresiko tinggi terhadap
kelainan muskuloskeletal dengan keluhan
Gambar 1
Sikap Kerja Dokter Gigi
Kecelakaan kerja yang melibatkan
jaringan
muskuloskeletal
sering
dihubungkan dengan sikap kerja yang terlalu
lama baik berdiri atau duduk dan gerakan
berulang dari lengan atas. Walaupun angka
insidensi kelainan muskuloskeletal pada
dokter gigi di Indonesia masih kurang, tetapi
di beberapa negara seperti di Nebraska lebih
dari 29% dari 1000 dokter gigi dilaporkan
37
KELUHAN MUSKULOSKELETAL
(MUSCULOSKELETAL DISORDER )
Perbaikan secara ergonomis di bidang
kedokteran gigi terus menerus dilakukan
seperti perubahan sikap kerja dari sikap
berdiri
menjadi
sikap
duduk
dan
memposisikan
pasien dengan
posisi
terlentang (supine) atau agak terlentang
(semi-supine) di dental chair. Walaupun hal
ini
nampaknya
dapat
mengurangi
pengaruhnya pada anggota gerak bawah
(lower limbs) dan pinggang (lower back),
tetapi kondisi membungkuk (bending),
ketegangan (stretching) dan kecendrungan
pada sikap yang tidak semestinya (awkward
positions) yang digunakan dokter gigi
sehari-hari masih menyebabkan resiko pada
tulang belakang terutama pada pinggang
(lumbal), dada (thorax), leher (cervical) dan
pundak 6
Gambar 2
MSD di Bidang Kedokteran Gigi
(An average of 9 studies conducted in
Sweden, Finland, Canada, Australia, United
States and Denmark)
38
Valachi
dan
Valachi
(2003),
mengemukakan
bahwa
mekanisme
terjadinya kelainan muskuloskeletal (MSD)
pada dokter gigi adalah multifaktor yaitu
perubahan secara fisiologis akibat kerja
duduk yang terlalu lama sehingga
meningkatkan tekanan pada cakram (disk
pressures). Sikap kerja seperti ini
menyebabkan
ketidakstabilan
tulang
belakang (spinal) sehingga terjadi perubahan
degeneratif pada lumbal yang menimbulkan
sakit pinggang (low back pain). Terdapat
hubungan antara kontraksi otot yang statis
(muscle contraction) yang lama dengan
iskemia otot (muscle ischemia) atau nekrosis
otot (muscle necrosis). Kelemahan otot-otot
tulang belakang dan pundak yang
membentuk sikap tubuh menyebabkan sikap
tubuh yang buruk. Otot-otot beradaptasi
dengan memanjang dan memendek untuk
mengakomodasi sikap tubuh ini, terjadi
ketidak seimbangan otot yang menyebabkan
kerusakan struktur dan timbulnya rasa sakit7.
Selanjutnya Valachi dan Valachi
(2003), dalam penelitian yang lain
menyatakan bahwa tulang belakang yang
bergerak satu arah secara berulang (repeated
unidirectional
twisting)
yang
dapat
menyebabkan sakit pada tulang belakang
juga disebabkan pengaruh sikap kerja
dengan satu sikap dalam waktu yang lama.
Untuk mencapai kesehataan muskuloskeletal
yang seimbang, pengetahuan tentang
flexibilitas
tulang
belakang
dan
mengutamakan penggunaan peralatan yang
ergonomis, perlu diketahui oleh operator
(dokter gigi)7.
Gambar 3
Penyebab Keluhan Muskuloskeletal
Dapat dipercaya secara umum bahwa
duduk adalah sangat berat untuk punggung
sebab terjadi transfer seluruh berat tubuh
bagian atas ke pantat (buttocks) dan paha
(thighs). Duduk dalam jangka waktu yang
lama dapat menyebabkan peningkatan
39
Posisi pasien
Seringkali lapang pandang rongga
mulut pasien terletak tidak simetris di depan
operator, yang mengakibatkan terjadinya
sikap
tubuh
yang
asimetris
dan
menimbulkan tekanan (strain). Menurut
Vanderstraeten (2002), prinsip yang dapat
diterapkan dalam menempatkan posisi
pasien agar lapang pandang rongga mulut
40
Gambar 4
Sikap Kerja Duduk Ergonomis
PERMASALAHAN
KERJA DUDUK
PADA
SIKAP
41
2.
3.
4.
SIMPULAN
Bila mengacu pada ISO 11226 yaitu
standar tentang sikap kerja statis, maka
terlihat jelas bahwa dokter gigi melewati
batasan ini setiap hari dan bekerja dengan
sikap
yang
menimbulkan
tekanan
(overstrained). Untuk mencegah kelainan
yang timbul terutama pada leher, pundak,
lengan atas, pergelangan dan tangan, maka
dental students sebagai calon dokter gigi
wajib disadarkan dan dikondisikan untuk
bekerja dengan sikap kerja yang benar dan
menggunakan peralatan yang ergonomis
untuk mendapatkan kondisi kerja yang lebih
sehat. Timbulnya kelainan muskuloskeletal
pada siswa kedokteran gigi pada awal klinik,
menunjukkan bahwa sikap kerja yang
ergonomis harus diberikan pada mahasiswa
klinik untuk mengurangi resiko terjadinya
kelainan muskuloskeletal dibelakang hari
setelah menjadi dokter gigi profesional.
DAFTAR PUSTAKA
1.
5.
6.
7.
8.
ry.fcgi?cmd=Retrieve&db=pubmed&do
pt=Abstract&list_uids=11881961&quer
y_hl=1&itool=pubmed_docsum.
Accessed Jan 26, 2004
Szymanska J. 2002. Disorders Of The
Musculoskeletal
System
Among
Dentists From The Aspect of
Ergonomics and Prophylaxis. Available
from:
http://www.aaem.pl/pdf/aaem
0226. htm. Accessed Dec 12, 2004.
Milerad E and Ekenvall L. 1998.
Symptoms Of The Neck And Upper
Extremities In
Dentists. Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=P
ubMed&list_uids=2353196&dopt=Abst
ract&holding=f1000,holding=f1000.
Accessed Dec 12, 2004.
Fish DR and Morris-Allen DM. 1998.
Musculoskeletal Disorders In Dentists.
Available from: http://www.ncbi.nlm.
nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retriev
e&db=PubMed&list_uids=9613097&d
opt=Abstract&holding=f1000,holding=f
1000. Accessed Dec 12, 2004.
Marshall ED, Duncombe LM, Robinson
RQ.. Musculoskeletal Symptoms in
New South Wales Dentists. Dalam
Australian Dental Journal 1997; 42(4):
240-6..
Available
from:
http://www.ada.org.au/media/document
s/Products_Publications/Journal%20Arc
hives/1997%20Archive/August/9708M
ars.pdf. Accessed Jan 26, 2006
Entwistle NBA. Musculoskeletal Pain
in Dentistry an Occupational Injury?
Available from: http://bdhf.atalink.
co.uk/ articles/50. Accessed Jan 26,
2006.
Valachi B and Valachi K. Mechanisms
Leading to Musculoskeletal Disorders
in Dentistry. JADA 2003; 134.
Available
from:
http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Ret
rieve&db= pubme&dopt=Abstract &list
_uids=15693502&query_hl=25&itool=
pubmed_docsum. Accessed Dec 12,
2004.
Rodts M. 2002. Ergonomic Chairs and
Seat Adjustment Rush College of
Nursing Chicago, IL, USA. Available
from: http://www.spineuniverse.com/
displayarticle.php/article1427.html
Accessed Jan 26, 2006.
42
9.
43
ABSTRAK
Seiring dengan perkembangan teknologi, banyak terjadi perubahan pada masyarakat. Perubahan yang
terjadi pada masyarakat mengakibatkan orang semakin menuntut pelayanan kesehatan yang lebih baik. Hal ini
juga menuntut penyedia pelayanan kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikannya
di tengah dunia persaingan di bidang pelayanan kesehatan yang semakin ketat. Apabila kita meninjau pelayanan
kesehatan gigi dan mulut yang berlangsung di RSGM akan terjadi perbedaan pendapat tentang pelayanan
kesehatan yang diberikan. Perbedaan pendapat yang terjadi tersebut timbul dari bagaimana setiap pasien
mempersepsikan pelayanan yang diterimanya. Terkadang persepsi pasien inilah yang menjadi bahan
pertimbangan untuk berobat serta kunjungan berikutnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
persepsi pasien terhadap pelayanan di RSGM Terpadu FKG UNMAS. Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi pasien terhadap pelayanan di RSGM
Terpadu FKG UNMAS yang meliputi 6 aspek adalah sebagai berikut persepsi terhadap pelayanan kesehatan
gigi, tenaga medis/dokter gigi yang menangani, biaya perawatan, tempat dan karyawan sudah baik, sedangkan
persepsi terhadap promosi RSGM masih kurang baik.
Kata kunci: persepsi pasien, pelayanan RSGM.
Korespondensi : Yudha Rahina, drg., M.Kes., Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar,
Jln. Kamboja 11a Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278
PENDAHULUAN
Tujuan pembangunan kesehatan menuju
Indonesia sehat 2010 mengacu pada UndangUndang RI No. 23 tahun 1992 mengenai kesehatan,
yang pada intinya menyatakan tentang peningkatan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang, agar terwujud derajat kesehatan
yang optimal di seluruh Indonesia. Program
kesehatan gigi dan mulut merupakan salah satu
program kesehatan yang telah dilaksanakan secara
terintegrasi dengan program kesehatan lainnya
disetiap jenjang pelayanan. Mengingat kondisi
Indonesia yang sangat majemuk dengan konsentrasi
sumber daya yang berbeda, maka untuk
memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut
yang menyeluruh telah dikembangkan pola
pelayanan kesehatan gigi dan mulut berupa
pelayanan yang berlapis dengan sistem rujukan
berjenjang.
Persepsi adalah proses kognitif yang
memungkinkan seseorang dapat menafsirkan dan
44
METODE PENELITIAN
Jenis
penelitian
adalah
penelitian
deskriptif.10 Penelitian dilakukan pada 105 orang
pasien yang pernah menerima pelayanan yang
diberikan di RSGM FKG UNMAS. Variabel
penelitian dalam penelitian ini adalah persepsi
pasien yang meliputi 6 aspek yaitu : pelayanan
kesehatan gigi, tempat, tenaga medis yang
menangani, biaya perawatan, karyawan dan
promosi RSGM. Data yang diperoleh dilakukan uji
validitas dan reliabilitas dan dianalisis secara
deskriptif.
HASIL PENELITIAN
Responden terbanyak pada kelompok umur
30 36 tahun yaitu sebanyak 32 orang (30,48 %),
sedangkan yang terkecil pada kelompok umur 44
50 tahun (11,43%). Responden termuda berumur 16
tahun dan responden tertua berumur 50 tahun.
Responden dengan jenis kelamin laki laki dan
perempuan
jumlahnya
hampir
berimbang.
Responden laki laki berjumlah 52 orang (49,52%)
dan perempuan berjumlah 53 orang (50,48 %).
45
Tabel 1
Distribusi Kriteria Persepsi Responden Terhadap Pelayanan di RSGM FKG UNMAS
NO
ASPEK
2
3
Tempat
Karyawan
Promosi RSGM
KRITERIA
Baik
Kurang baik
Baik
Kurang baik
Baik
Kurang baik
Baik
Kurang baik
Baik
Kurang baik
Baik
Kurang baik
JUMLAH
(orang)
105
0
104
1
91
14
104
1
98
7
42
63
(%)
100
0
99,04
0,96
86,67
13,33
99,04
0,96
93,33
6,67
40
60
TOTAL
(N=105)
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan
bahwa persepsi pasien terhadap pelayanan
kesehatan gigi di RSGM Terpadu FKG UNMAS
secara umum sudah baik. Pelayanan kesehatan gigi
yang baik tersebut didukung oleh alat-alat yang
canggih, bersih dan steril. Hal tersebut yang
memotivasi sebagian besar pasien untuk
berkunjung ke rumah sakit ini. Selain itu sebagian
besar pasien (82,86%) menyatakan karena
pelayanan kesehatan gigi yang diberikan sudah
sesuai dengan keinginan pasien. Dalam pemberian
pelayanan kesehatan gigi, sebagian besar pasien
(94,28%) menyatakan dilibatkan dalam setiap
perawatan yang dilakukan. Informasi tentang
perawatan yang dilakukanpun sudah cukup
memuaskan pasien. Ada beberapa pasien (25,71%)
yang mengeluh harus menunggu lama untuk
mendapatkan perawatan dari dokter gigi di RSGM
ini.
Kepuasan pasien terhadap pelayanan
kesehatan gigi yang diberikan tidak lepas dari peran
tenaga medis/dokter gigi yang menanganinya.
Persepsi pasien terhadap tenaga medis/dokter gigi
yang menanganinya di RSGM Terpadu FKG
UNMAS sudah baik. Penilaian ini timbul karena
dipengaruhi oleh tenaga medis/dokter gigi di rumah
sakit ini yang bekerja secara professional, cepat,
penuh empati dan ramah terhadap pasien. Hampir
seluruh responden mempersepsikan bahwa
pelayanan yang diberikan di RSGM FKG UNMAS
ditangani oleh dokter gigi spesialis. Sebagian besar
pasien (99,04%) menyatakan dokter gigi di RSGM
46
47
SIMPULAN
Persepsi pasien terhadap pelayanan di
RSGM Terpadu FKG UNMAS yang meliputi 6
aspek adalah persepsi terhadap pelayanan kesehatan
gigi, tenaga medis/dokter gigi yang menangani,
biaya perawatan, tempat dan karyawan sudah baik,
sedangkan persepsi terhadap promosi RSGM masih
kurang baik.
SARAN
Untuk
pengembangan
RSGM
FKG
UNMAS, kepada pihak manajemen RSGM
disarankan hal-hal sebagai berikut : 1)Peningkatan
kualitas pelayanan untuk kepuasan pasien;
2)Peningkatan profesionalitas tenaga medis / dokter
gigi dalam penanganan pasien; 3)Adanya standar
operasional penerimaan pasien di lobi dan ruang
perawatan; 4)Suasana ruang tunggu yang lebih
nyaman; 5)Fasilitas parkir ditata khusus disiapkan
untuk pasien; 6)Promosi tentang keberadaan RSGM
agar lebih ditingkatkan dan distribusi promosi
diperluas, terutama melalui media cetak dan
elektronik.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
48
Abstrak
Karies merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan gigi (host), substrat,
mikroorganisme dan waktu. Bakteri penyebab utama karies gigi adalah Streptococcus mutans
dan Streptococcus sobrinus. Dalam rongga mulut terdapat sistem pertahanan terhadap serangan
mikroorganisme golongan Streptococcus, yaitu adanya IgA sekretori (sIgA) pada saliva yang
merupakan faktor pertahanan tubuh spesifik terhadap timbulnya karies. Jumlah sIgA saliva pada
anak-anak lebih banyak daripada dewasa. Peran sIgA mampu mencegah kolonisasi bakteri
penyebab karies dengan mencegah perlekatan bakteri tersebut pada permukaan gigi. Perlekatan
streptococcus sobrinus dipengaruhi pada pembentukan glukan (dekstran),
sedangkan
Streptococcus mutans yang melekat pada aglutinin saliva dalam pelikel gigi diikat oleh sIgA
dan dibuat tidak aktif, dengan demikian kariespun tidak terjadi.
Kata kunci : Karies, sIgA.
Korespodensi : Eko Sri Yuni Astuti, drg., Sp.KGA. Bagian Ilmu kesehatan Gigi Anak,
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar,
Telp/Fax : (0361) 261278.
PENDAHULUAN
Prevalensi karies gigi pada anak di
negara berkembang meningkat dengan
cepat
sesuai
dengan
meningkatnya
popularitas gula halus. 1 Keparahan karies
gigi akan menyebabkan pulpa terbuka dan
menjadi infeksi yang akan menjadi fokus
infeksi bagi organ tubuh lainnya. Karies
merupakan penyakit multifaktorial yang
melibatkan
gigi
(host),
substrat,
mikroorganisme dan waktu. 2 Bakteri
penyebab utama karies gigi adalah
Streptococcus mutans dan Streptococcus
sobrinus. 3 Saliva memegang peranan
penting untuk terjadinya karies gigi 4 ,
karena salah satu fungsi saliva adalah
sebagai cadangan ion terutama ion kalsium
yang memfasilitasi proses remineralisasi
gigi, disamping adanya sIgA yang
merupakan faktor pertahanan tubuh spesifik
terhadap
mikroorganisme. 5
Untuk
menanggulangi terjadinya serangan oleh
mikroorganisme
patogen,
manusia
mempunyai
sistem
imunitas
yang
merupakan mekanisme pertahanan dari
serangan
zat
asing
yang
dapat
KARIES
Karies gigi adalah penyakit jaringan
gigi yang ditandai dengan kerusakan
jaringan, dimulai dari jaringan keras gigi
(pit, fissur dan daerah interproksimal)
meluas ke arah pulpa. 8 Berbagai faktor
49
Gambar 1
Interaksi 4 Faktor Penyebab Karies
Perkembangan
karies
gigi
membutuhkan: 1)bakteri kariogenik yang
mampu memproduksi asam dengan cepat di
bawah pH kritis yang dibutuhkan untuk
melarutkan email, dan 2)gula pada
makanan yang memudahkan bakteri untuk
berkolonisasi dan difermentasi menjadi
asam. Proses ini dapat terganggu dengan
adanya respon imun yang efektif. 9
Beberapa bakteri kariogenik yaitu:
Streptococcus
mutans,
Streptococcus
sanguis,
Streptococcus
sabrinus,
Lactobacillus
acidophilus
dan
Lactobacillus casei serta Actinomyces
viscosus dapat menyebabkan karies karena
mempunyai kemampuan berkolonisasi pada
gigi untuk menurunkan pH, Streptococcus
mutans
dan
Streptococcus
sobrinus
sIgA SALIVA
Saliva adalah cairan mulut yang
kompleks, terdiri atas campuran sekresi
dari kelenjar saliva besar dan kecil yang
ada pada mukosa mulut. Saliva yang
terbentuk di rongga mulut, sebagian besar
dihasilkan oleh kelenjar submaksilar (90%)
dan
kelenjar sublingual (5%) serta
kelenjar-kelenjar saliva kecil yang lainnya
(5%). Sebagian besar saliva ini dihasilkan
pada saat sedang makan, sebagai reaksi atas
rangsang yang berupa pengecapan dan
pengunyahan makanan. saliva merupakan
hal yang sangat penting walaupun pada saat
tidak sedang makan. Pada individu yang
sehat, gigi geligi secara terus menerus
terendam dalam saliva sampai sebanyak 0,5
ml yang akan membantu melindungi gigi,
lidah, membrana mukosa dan orofaring.2
Cara perlindungan yang dilakukan
saliva bisa berupa antara lain dengan
melakukan aktifitas antibakteri dan anti
virus, selain mengandung antibodi spesifik
(sIgA),
juga
mengandung
lisosom,
lactoferin dan lactoperoksidase. Molekul
sIgA disekresi oleh sel-sel plasma yang
terdapat di dalam kelenjar saliva,
sedangkan komponen protein lainnya
diproduksi dilapisan epitel luar yang
menutup kelenjar. 2
Volume total saliva pada orang
dewasa yang diproduksi tiap hari antara
750 1000 ml, 6 pada anak-anak sampai
dengan umur 15 tahun volume saliva lebih
besar dibanding pada umur yang lebih
dewasa. Dengan bertambahnya umur
seseorang, akan terjadi penurunan produksi
saliva. 5 Di dalam saliva keseluruhan jumlah
sIgA mendekati 200 mg/1000 ml,
sedangkan IgG 2 mg/1000 ml dan IgM 1
mg/1000 ml.6 Dengan demikian pada anakanak jumlah sIgA saliva lebih banyak dari
pada orang dewasa.
sIgA saliva merupakan anti bodi
terbanyak
dibandingkan
kelas
imunoblobulin lain. 6 Kadar sIgA saliva
50
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa jumlah sIgA saliva
pada anak-anak lebih banyak daripada
dewasa. Peran sIgA terhadap terjadinya
karies gigi pada anak adalah dengan cara
mempengaruhi perlekatan bakteri pada
permukaan gigi. Kolonisasi Streptococcus
sobrinus dicegah oleh sIgA dengan cara
mempengaruhi
pembentukan
glukan
(dekstran),
sedangkan
Streptococcus
mutans yang melekat pada aglutinin saliva
dalam pelikel gigi diikat oleh sIgA dan
dibuat tidak aktif.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
51
4.
5.
6.
7.
8.
52
ABSTRACT
The first emotion that babies have after their birth are to have fear feelings. The feeling of fear
appears to be a protective mechanism to people that can protect them against danger. Fear feelings may
come from parents, family members or may from their environment. The purpose of this survey is to have a
picture of the fear feelings of school students between 6 to 13 years old and to know which ones of dental
care treatment that have become a phantom to them. This survey has been done by the dental clinic of
Puskesmas IV Denpasar Barat Kota Denpasar on March of the year 2006. Data which have been collected
are primary data that have been carried out by filling out questionnaires, and accordingly, analysis have
been determined as statistic univariate. The result of this survey indicated that 91 respondents which have
examined where five children have no fear feelings towards all actions of dental care treatment, eight
children have fear feelings towards all actions of dental care treatment, and the rest, 78 children are
fearful only towards certain actions of the dental care treatment.As a whole, it shows that girls are more
fearful according to this survey, it also indicates, that dental care treatment are the most fearing treatment
for respondents, especially, if the dentist / nurse perform anesthetic by using injections.
Key words : fear feelings, school students
PENDAHULUAN
Rasa takut terhadap perawatan gigi
merupakan hambatan bagi dokter gigi dalam
usaha peningkatan kesehatan gigi masyarakat.
Dari beberapa literatur ditemukan bahwa
insidensi rasa takut terhadap perawatan gigi
terjadi kurang lebih 5% dari tingkat populasi dan
di antaranya ditemukan pada anak anak usia
sekolah (16%). Sedangkan Kleinknecht dari hasil
penelitiannya di Amerika melaporkan bahwa
rasa takut terhadap perawatan gigi terjadi sebesar
74,6%. Sedangkan rasa takut terhadap perawatan
gigi di negara Asia masih perlu dilakukan kajian
lanjut.1
Menurut Sutadi dan Heriandi (1994),
kecemasan dan rasa takut terhadap perawatan
gigi menyebabkan penderita merasa enggan
untuk berobat ke unit pelayanan kesehatan gigi.
Beberapa ahli melaporkan bahwa pada umumnya
kecemasan / rasa takut timbul akibat pengalaman
perawatan gigi semasa kanak-kanak, oleh karena
itu perlu diperhatikan bahwa pencegahan
timbulnya kecemasan / rasa takut harus dimulai
pada usia dini. Anak sudah bisa mengadakan
53
RASA TAKUT
54
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan secara deskriptif
dengan desain survey. Tempat penelitian adalah
di Poliklinik gigi Puskesmas IV Denpasar Barat
HASIL PENELITIAN
Dari 91 orang anak yang berobat ke Poli
Gigi Puskesmas IV Denpasar Barat, 5 orang (5,
49%) anak laki laki menyatakan tidak takut
terhadap semua tindakan perawatan gigi; 8 orang
(8,79%) anak yang terdiri 3 orang anak laki laki
dan 5 orang anak perempuan menyatakan takut
terhadap semua tindakan perawatan gigi dan 78
orang anak (85,73%) yang terdiri dari 40 orang
anak laki laki dan 38 orang anak perempuan
menyatakan takut terhadap beberapa tindakan
perawatan gigi.
Gambaran rasa takut pada anak usia
sekolah ( 6-13 tahun ) yang berobat ke poliklinik
gigi Puskesmas IV Denpasar Barat Kota
Denpasar Bulan Maret tahun 2006 berdasarkan
jenis kelamin, dapat dilihat pada tabel 1 di bawah
ini.
55
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Rasa Takut Pada Perawatan Gigi Berdasarkan Penyebab Rasa Takut
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Laki laki
(48 orang)
f
%
5
10,4
Frekuensi
Perempuan
( 43 orang )
f
%
8
18,6
Jumlah
13
18,75
18,6
17
8
8
16,6
16,6
8
7
18,6
16,27
16
15
9
13
8
17
18,75
27,1
16,6
35,4
8
9
7
9
18,6
20,9
16,3
20,9
17
22
15
26
21
43,75
17
37,2
32
16
33,3
16
34,9
31
15
31,2
14
32,5
30
24
50
21
48,8
45
36
41
75,6
85,4
35
38
81,4
88,3
71
79
35
72,9
33
76,7
68
PEMBAHASAN
Kecemasan / rasa takut terhadap
perawatan gigi bukan merupakan hambatan bagi
tenaga
kesehatan
gigi
dalam
upaya
meningkatkan kesehatan gigi dan mulut.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa beberapa
hal yang berhubungan dengan tindakan
perawatan seperti : mendengar cerita tentang
perawatan gigi, akan berangkat ke klinik gigi,
duduk di kursi gigi terlihat bahwa anak
perempuan lebih takut dibandingkan dengan
anak lakilaki, sedangkan untuk beberapa
keadaan yang lain, misalnya, menyaksikan
anggota keluarga yang sedang berobat, duduk
diruang tunggu poliklinik gigi, ketika perawat
memanggil giliran anak, gigi dibersihkan dengan
instrument tangan, disuruh berkumur, gigi dibur
oleh petugas (drg / perawat gigi ), dan ketika gigi
ditambal, maka terlihat bahwa anak laki laki
lebih takut dibandingkan dengan anak
perempuan. Tetapi secara keseluruhan, dari
semua tindakan perawatan gigi, terlihat bahwa
anak perempuan lebih takut dibandingkan
dengan anak laki-laki. Hal ini tidak sesuai
56
2.
3.
4.
5.
6.
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perawatan gigi yang paling ditakuti oleh
responden yaitu ketika dokter gigi / perawat gigi
melakukan anastesi dengan menggunakan jarum
suntik. Secara keseluruhan terlihat bahwa anak
perempuan lebih takut dibandingkan dengan
anak laki-laki.
SARAN
Rasa takut / cemas terhadap perawatan
yang diberikan oleh dokter gigi masih
merupakan masalah yang perlu dicarikan jalan
keluarnya, terutama pada saat perawatan yang
memerlukan jarum suntik. Peran dokter gigi
adalah menjelaskan setiap tindakan perawatan
gigi yang akan dilakukan sehingga tidak
menimbulkan rasa takut. Selanjutnya menelaah
apa yang menjadi penyebab atau faktor-faktor
apa yang berperan terhadap timbulnya rasa takut.
DAFTAR PUSTAKA
1.
57
ABSTRAK
Status kesehatan gigi dan mulut siswa SD swasta di kota Denpasar masih cukup
tinggi, hal ini bisa dilihat dari laporan UKGS Puskesmas di kota Denpasar tahun 2004,
yaitu ditemukan 4.070 kasus penyakit gigi (termasuk karies gigi) yang membutuhkan
perawatan (data tidak dipublikasikan). Dari tingginya angka karies tersebut, peneliti ingin
mengetahui apakah ada hubungan antara perilaku menyikat gigi dengan karies gigi pada
anak SD swasta usia 12 tahun di kota Denpasar? Desain penelitian adalah analitik dengan
pendekatan cross sectional, bertempat di SD swasta di kota Denpasar yang terdiri dari
tiga kecamatan yaitu SD Saraswati 5 di Denpasar Timur, SD Muhammadiyah di Denpasar
Barat, SD Harapan di Denpasar Selatan. Sampel penelitian diambil dengan cara simple
random sampling pada anak anak kelas VI yang berusia 12 tahun dengan jumlah
sample 120 orang. Data yang dikumpulkan adalah data primer tentang karies gigi dan
perilaku menyikat gigi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata karies gigi lakilaki
yaitu 1,74 kali lebih besar daripada perempuan. Gigi yang paling sering terkena karies
adalah gigi 36, sedangkan perilaku menyikat gigi yang benar lebih banyak pada anak
anak perempuan. Dari uji korelasi Spearmans diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara
perilaku menyikat gigi dengan karies gigi pada anak SD swasta usia 12 tahun di kota
Denpasar tahun 2006
Kata Kunci: perilaku menyikat gigi, karies
PENDAHULUAN
Berdasarkan
hasil
Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada
tahun 1995, penyakit gigi dan mulut
yang ditemukan di masyarakat masih
berkisar pada penyakit yang menyerang
jaringan keras gigi (karies) dan penyakit
periodontal.
Hasil
survei
ini
menunjukkan bahwa 63% penduduk
Indonesia menderita kerusakan gigi aktif
(kerusakan pada gigi yang belum
ditangani).
Pemicu dari perilaku adalah
isyarat / stimulus dari lingkungan yang
membawa
seseorang
berperilaku
58
KARIES GIGI
Karies merupakan suatu penyakit
jaringan keras gigi, yaitu email, dentin,
dan sementum, yang disebabkan oleh
aktivitas suatu jasad renik dalam suatu
karbohidrat yang dapat diragikan. Tanda
terjadinya
karies
adalah
adanya
demineralisasi jaringan keras gigi yang
59
statistik
univariat
dan
bivariat.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan jenis kelamin didapat distribusi frekuensi karies gigi seperti table 1.
dibawah ini.
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Karies Gigi Menurut Jenis Kelamin Pada Anak SD Swasta Usia 12
Tahun Di Kota Denpasar Tahun 2006
SD
Laki laki
Jumlah
Karies
Responden
%
Perempuan
Jumlah
Karies
Responden
%
Total
Karies
%
SD Densel
16
10,8
24
13,0
24,1
SD Denbar
21
7,5
19
9,16
16,6
SD Dentim
18
7,5
22
6,6
14,16
Total
55
25,8
65
29,2
55
1
2
3
4
Gambar 1
Grafik Distribusi Modus Gigi Yang
Terserang Karies
Ket :
1 : elemen 26
2 : elemen 16
3 : elemen 46
4 : elemen 36
60
Tabel 2
Distribusi Perilaku Menyikat Gigi Menurut Jenis Kelamin Pada Anak Anak SD Swasta
Usia 12 Tahun Di Kota Denpasar Tahun 2006.
SD
Laki - laki
Berperilaku
Benar
Salah
Perempuan
Berperilaku
Benar
Salah
SD Densel
16
8,3
24
11,6
8,3
SD Denbar
21
13,3
4,16
19
13,3
2,5
SD Dentim
18
10
22
10,8
7,5
Total
55
28,3
17,5
65
35,8
18,3
Tabel 3
Distribusi Perilaku Menyikat Gigi Menurut Tingkat Pendidikan Orang Tua Pada Anak SD
Swasta Usia 12 Tahun Di Kota Denpasar Tahun 2006
SD
Total
SD Densel
7,5
13,3
8,3
3,3
0,83
33,3
SD Denbar
11,6
1,6
11,6
4,16
3,3
0,83
33,3
SD Dentim
13,3
10,8
7,5
1,6
33,3
Total
32,5
25,8
27,5
9,17
4,16
0,83
100
61
PEMBAHASAN
Hasil analisis menunjukkan rerata
karies gigi menurut jenis kelamin pada
anak lakilaki lebih
besar dari
perempuan. Hal ini disebabkan oleh
karena perilaku anak laki laki yang
cenderung
kurang
memperhatikan
kebersihan
gigi
dan
mulutnya
dibandingkan dengan anak perempuan.
Grafik menunjukkan modus gigi
yang terserang karies gigi paling banyak
terdapat pada gigi 36 dan 46. Ini sesuai
dengan pernyataan Suwelo (1992), yang
menyatakan bahwa urutan gigi tetap
yang paling sering terkena karies adalah
gigi molar pertama tetap rahang bawah,
yang memiliki pit dan fisura yang
dalam. Gigi molar pertama rahang
bawah juga mendapat tekanan yang
lebih besar dari gigi yang lain pada saat
mengunyah makanan, sehingga sisa
makanan lebih mudah melekat pada gigi
tersebut. 6
Perilaku menyikat gigi menurut
jenis kelamin pada anak SD swasta usia
12 tahun di Denpasar, menunjukkan
bahwa
anak perempuan memiliki
perilaku menyikat gigi dengan benar
lebih besar daripada laki laki.
Kemungkinan ini disebabkan karena
perilaku anak perempuan cenderung
lebih mengutamakan segi estetis seperti
keindahan, kebersihan dan menjaga
penampilan diri, sehingga mereka lebih
memperhatikan kesehatan gigi dan
mulutnya dibanding anak lakilaki.
Perilaku menyikat gigi yang benar,
tertinggi pada anak dengan orang tua
berpendidikan tinggi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Notoatmojdo (1997),
62
DAFTAR PUSTAKA
1. Herijulianti E, Indiriani TS, Artini.
S. Pendidikan Kesehatan Gigi.
Jakarta: EGC PenerbitKedokteran
Gigi, 2002.
2. Utami RA, Lestari S. Keadaan Karies
Gigi dan Kebersihan Mulut Muridmurid SDN Penusupan I Kecamatan
Randudongkal, Kabupaten Pemalang,
Jawa Tengah. Jurnal PDGI 2004;
55(1); Jakarta.
3. Notoatmojdo S. Pendidikan dan
Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta, 2003.
4. Kidd EAM and Bechal SJ. DasarDasar
Karies,
Penyakit
dan
Penanggulangannya. Jakarta: EGC
Penerbit Kedokteran Gigi, 1991.
5. Be
KN.
Preventif
Dentistry.
Bandung: Yayasan Kesehatan Gigi
Indonesia,1989.
6. Suwelo IS, Karies Gigi dan Mulut
Jakarta: Prestasi Pustaka, 1992.
7. Notoatmojdo S. Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta,
1997,
63
G.A. Yohanna Lily, Panji Triadnya Palgunadi dan I.A. Purni Adnyani Pemaron
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRAK
Infeksi merupakan bahaya yang sangat nyata pada lingkungan kedokteran gigi.Perlindungan bagi
pasien merupakan prioritas utama namun tenaga kesehatan sendiri juga sangat rentan terhadap adanya infeksi
silang. Infeksi silang yang dimaksud adalah infeksi yang dapat ditularkan dari dokter gigi kepasien, dari
pasien kedokter gigi atau dari pasien kepasien. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah ada hubungan
antara persepsi pasien terhadap kontrol infeksi dengan kepuasan pasien di RSGM FKG UNMAS Denpasar,
jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel diambil
dengan teknik insidental sampling dengan sebanyak 384 orang yang diambil dari pasien yang berkunjung ke
RSGM. Hasil penelitian ini dianalisis dengan menggunakan korelasi Product Moment Pearson dan regresi
linier tunggal. Hasil penelitian R = 0,871 , R Square = 0,758 , = 0,000 , menunjukan ada hubungan antara
persepsi pasien terhadap kontrol infeksi dengan kepuasan pasien, sedangkan dengan konstanta negatif
menunjukan bahwa pasien tidak puas terhadap kontrol infeksi. Mean komposit menunjukan bahwa persepsi
pasien terhadap kontrol infeksi tergolong baik.
Kata kunci : persepsi pasien, kontrol infeksi dan kepuasan.
Korespondensi : Gst. Ayu Yohanna Lily, drg., M.Kes, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati
Denpasar, Jln. Kamboja 11a Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278
PENDAHULUAN
Kepuasan
pasien
yang
maksimal
merupakan tujuan utama suatu pelayanan
kesehatan. Ketika pasien merasa puas akan
pelayanan kesehatan yang didapatkan, besar
kemungkinan mereka akan kembali lagi bahkan
bisa merekomendasikan kepada teman-temannya
serta keluarganya tentang pelayanan tersebut.
Selama perawatan kesehatan, pasien
beresiko mengalami infeksi yang diperoleh secara
endogen ataupun eksogen. Salah satu resiko
infeksi eksogen bagi pasien dan provider
perawatan kesehatan adalah akibat pencucian
tangan yang kurang adekuat, pelanggaran teknik
aseptik lainnya ataupun bisa juga terinfeksi
melalui udara.1 Infeksi yang terjadi sebagai akibat
64
65
Tabel 2
Mean Komposit Dari Persepsi Pasien Terhadap
Kontrol Infeksi
No
1
HASIL PENELITIAN
Tabel 1
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur dan
Jenis Kelamin
KETERANGAN
Umur
Jenis
Kelamin
17-26
27-36
37-46
47-56
57-66
Laki-laki
Perempuan
JUMLAH
(Orang)
287
46
34
6
11
142
242
%
74,74
11,98
8,85
1,56
2,87
36,98
63,02
Item
Gelas kumur
a. Kebersihan gelas kumur
b. Pergantian gelas kumur
Sterilisasi alat
a. Alat yang dipakai masih
terbungkus plastik
b. Alat yang jatuh tidak
dipakai lagi
Masker
a. Operator selalu
memakai masker
b. Masker dipakai dari
awal pasien duduk
dikursi gigi
c. Masker dibuka saat
memberikan penjelasan
Sarung tangan
a. Sarung tangan dipakai
di kedua tangan
b. Sarung tangan dipakai
segera
c. Pergantian sarung
tangan
Mean komposit
Mean
Kriteria
2,49
2,35
Baik
Sedang
2,39
Baik
2,30
Sedang
2,75
Baik
2,42
Baik
2,66
Baik
2,76
Baik
2,79
Baik
2,62
Baik
2,55
Baik
Tabel 3
Distribusi Jawaban Responden Pada Kuesioner
Variabel Kontrol Infeksi
Pertanyaan
Harapan
Keterangan
Kenyataan
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Ya
375
97,66%
250
65,11%
Tidak Tahu
2,34%
128
33,33%
Tidak
0%
1,56%
66
Tabel 4
Rekapitulasi Data Responden Yang Puas dan
Tidak Puas
Keterangan
Puas
Jumlah
(orang)
81
Persentase
(%)
21,1%
Tidak Puas
303
78,9%
Tabel 5
Hasil Uji Analisis Korelasi Pearson dan Regresi
Linier Tunggal Antara Variabel Persepsi Pasien
Terhadap Kontrol Infeksi Dengan Variabel
Kepuasan Pasien
Model
R
Square
.871a
.758
27.223
Sig.
.000
DISKUSI
67
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
yang
dilakukan pada 384 responden dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
persepsi pasien terhadap kontrol infeksi dengan
kepuasan pasien (p<0,05), namun hubungan
antara persepsi kontrol infeksi dengan kepuasan
pasien yang ternyata tidak memuaskan ( negatif).
Persepsi pasien terhadap kontrol infeksi telah
memberikan sumbangan pengaruh sebesar 75,8%
terhadap kepuasan pasien (R2 = 0,758).
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
68
PENDAHULUAN
Rumah sakit sebagai bagian integral sistem
pelayanan kesehatan harus dapat memberikan
pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
masyarakat. Untuk itu diperlukan upaya untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dengan
cara peningkatan sumber daya pelaksana rumah
sakit. Sumber daya manusia adalah sumber daya
yang terpenting sebagai motor penggerak
berlangsungnya proses manajemen.
Asuhan keperawatan pada rumah sakit
merupakan bentuk pelayanan profesional yang
diberikan kepada pasien sebagai bagian integral
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Asuhan
keperawatan juga sebagai faktor penentu dalam
keberhasilan suatu rumah sakit, jika penataan
sistemnya serta pengelolaannya dilakukan secara
profesional. Asuhan keperawatan adalah suatu
bentuk pelayanan profesional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan yang
didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan1.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan asuhan
keperawatan, seorang perawat harus mempunyai
kinerja yang bagus dan baik. Kinerja merupakan
proses yang dilakukan dan hasil yang dicapai
32
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan pada tanggal 5 Desember 2005
terhadap 9 orang perawat yang bekerja di RSGMFKG UNMAS Denpasar didapatkan hasil sebagai
berikut.
:
MOTIVASI
Tabel 1
Mean Komposit Dari Motivasi
No
Item
Mean
Kriteria
1
2
3
4
5
6
1,22
1,00
1,22
1,00
1,00
2,00
Rendah
Tidak pernah
Tidak pernah
Tidak pernah
Tidak pernah
Pernah
Mean Komposit
= 7,44 / 6
= 1,24
Kriteria : tidak termotivasi: 1,00-1,50 ; termotivasi: 1,51-2,00
Berdasarkan tabel mean komposit dari
motivasi di atas, maka didapatkan bahwa perawat
BEBAN KERJA
Tabel 2
Mean Komposit Dari Beban Kerja
No
Item
Mean
1
Beban Kerja Obyektif
2,11
2
Beban Kerja Subyektif
a. Perasaan kelebihan kerja
2,00
b. Tekanan pekerjaan
1,78
c. Kepuasan kerja
2,00
Mean Komposit
= 7,89 / 4
= 1,97
Kriteria: berat: 1,78 1,95 ; ringan : 1,96 2,11
Kriteria
sedang
senang
pernah
puas
33
KEJENUHAN BEKERJA
Tabel 3
Mean Komposit Dari Kejenuhan Bekerja
No.
1
2
3
4
5
6
Item
Pengalaman Stress Saat Bekerja
Tingkatan Stress
Bosan Dengan Pekerjaan
Lelah Dengan Pekerjaan
Pengalaman Kejenuhan Secara Emosi
Tingkatan Kejenuhan Secara Emosi
Mean Komposit
Mean
Kriteria
1,89
Pernah
1,00
Rendah
1,00
Tidak bosan
1,00
Tidak lelah
1,89
Pernah
1,67
Sedang
= 8,45 / 6
= 1,41
Kriteria: tinggi: 1,00 - 1,30; sedang: 1,31 - 1,61; rendah: 1,62 1,92
HARAPAN PERAWAT
Tabel 4
Harapan Perawat
No.
1
2
3
4
5
6
Harapan
Semoga gajinya naik (sesuai dengan UMR)
Semoga bertambah jaya, maju, aman dan tetap disenangi
masyarakat banyak
Nasib karyawan lebih diperhatikan
Kualitas SDM-nya lebih diutamakan
Fasilitas klinik lebih ditingkatkan
Dibentuknya tim marketing yang bisa mempromosikan
RSGM dengan maksimal
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas,
didapatkan bahwa Perawat di RSGM-FKG
UNMAS Denpasar dalam bekerja tidak
termotivasi. Hal ini disebabkan oleh karena tidak
adanya motivator dalam melakukan pekerjaan,
seperti sistem imbalan (gaji ) yang masih tidak
sesuai dengan harapan yaitu masih dibawah ratarata UMR dan perusahan swasta lainnya. Selain
itu, mereka juga tidak pernah mendapatkan
penghargaan sama sekali atas pekerjaan yang
mereka lakukan selama ini dari pihak manajemen
rumah sakit. Perawat hanya diberikan tanggung
jawab saja dan tidak pernah mendapatkan
kesempatan untuk berkembang seperti kenaikan
jabatan, kesempatan mendapatkan beasiswa
maupun melanjutkan pendidikan. Faktor-faktor
inilah yang selama ini menyebabkan perawat
Persentase
100 %
67%
67%
56%
56%
11 %
34
SIMPULAN
Faktor yang mempengaruhi kinerja
perawat
dalam
melaksanakan
asuhan
keperawatan di RSGM-FKG UNMAS Denpasar
adalah tidak termotivasinya perawat dalam
bekerja, beban kerja yang dilakukan perawat
dalam kondisi ringan dan kejenuhan perawat saat
bekerja dalam kondisi sedang.
SARAN
Kepada pihak manajemen rumah sakit
disarankan sebagai berikut : 1)Memberikan
reward
seperti
kesempatan
melanjutkan
pendidikan, mendapatkan beasiswa, kenaikan
jabatan dan penghargaan bagi perawat yang
berprestasi; 2)Adanya pengakuan terhadap
kinerja perawat dengan memberikan pujian,
ucapan terima kasih ataupun dilakukan pemilihan
perawat teladan; 3)Peningkatan kesejahteraan
karyawan yang dapat dilakukan melalui
pemberdayaan sumber pendapatan keuangan lain,
jika kenaikan gaji sulit untuk dilakukan;
4)Memberikan kesempatan kepada perawat untuk
mengikuti berbagai pelatihan, dan pendidikan
yang
berkelanjutan; 5)Perawat
diberikan
pekerjaan yang tidak terlalu ringan agar perawat
tidak terlalu santai sehingga mereka menjadi
lebih disiplin dan bisa lebih bertanggung jawab
terhadap pekerjaannya; 6)Perlu adanya ketegasan
pimpinan dalam rangka meningkatkan disiplin
karyawan yaitu dengan memberikan punishment
tanpa adanya diskriminasi; 7)Adanya rekreasi
atau studi banding untuk mengurangi kejenuhan
dan memperluas wawasan perawat;
Selain hal tersebut di atas, disarankan
kepada peneliti lainnya untuk melakukan
penelitian lebih lanjut terhadap faktor lain yang
mempengaruhi kinerja perawat.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
35
4.
5.
6.
36
ABSTRACT
Cytotoxicity test on tissue culture (in vitro) was the initial biocompatibility test to evaluate the
citotoxic effect of newly developed material. Tetrahydrozoline HCl was recently considered as a new gingival
retraction agent in dentistry. The use of chemical agent as gingival retraction in the procedure of making the
fixed prostodontic impression, should be effective to produce the temporary lateral and apical retraction of
the free gingival tissue, without creating irreversible tissue damage and either local or systemic harmfull side
effects. The aim of this study was to investigate the cytotoxic effect of tetrahydrozoline HCl toward the
viability of gingival fibroblast cells at different concentration and exposure times.
This study utilized 120 wells cultured human gingival fibroblast cell. All wells were divided into 3 groups,
they were: positive control group was treated with 0.1% epinephrine, negative control group without
treatment, and the last one was treated with tetrahydrozoline HCl at different concentrations : 0.05%, 0.1%,
1%, 10%, 20%, and 30%, with the exposure time : 1, 3, 5, 7, and 10 min. The evaluation of citotoxic effect
based on OD values and viable cells number resulted from dye exclution test.
The lowest mean of cell death percentage was 0.00%, resulted from 1 and 3 min treatment with 0.05%,
0.1%, and 1% tetrahydrozoline HCl. The highest mean was 39.9%, at 30% tetrahydrozoline HCl, for 10min.
There was a significant difference (p<0.05) in cell viability between groups and within group. Probit
analysis brought about estimation of IC50 tetrahydrozoline HCl. The result of this study showed that
tetrahydrozoline HCl had no cytotoxic effect to the viability of gingival fibroblast cell, although the
escalation of tetrahydrozoline HCl concentration and exposure time caused the escalation of cell death
percentage.
Key words: Tetrahydrozoline HCl, gingival retraction, viability, gingival fibroblast
Korespondensi : Tri Purnami Dewi, drg., M.Kes., Bagian Prosthodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361) 7424079, Fax. (0361) 261278
PENDAHULUAN
Pada pembuatan restorasi gigi tiruan
cekat, retraksi sementara jaringan gingiva bebas
ke arah lateral (horisontal) dan apikal (vertikal)
merupakan salah satu hal penting yang harus
dilakukan untuk memperoleh hasil cetakan yang
mencatat garis akhir tepi preparasi gigi penyangga
secara akurat yang terletak pada daerah tepi
gingiva bebas atau daerah subgingiva.1,2,3,4
Metode retraksi gingiva yang paling sering
digunakan adalah metode kemo-mekanis, yaitu
dengan menggunakan benang retraksi yang
mengandung suatu bahan kimia.5 Benang retraksi
berfungsi untuk melebarkan sulkus gingiva secara
mekanis, sedangkan bahan kimiawi berfungsi
untuk menginduksi pengkerutan jaringan gingiva
bebas serta mengontrol perdarahan di daerah
sulkus
gingiva.6,7
Berdasarkan
beberapa
penelitian, prosedur retraksi gingiva dengan
metode kemo-mekanis umumnya dilakukan
dalam waktu antara 5-10 menit. Hal tersebut
perlakuan;
kelompok
perlakuan
diberi
tetrahydrozoline HCl dengan konsentrasi dan
waktu paparan yang berbeda. Kelompok kontrol
positif dan kelompok kontrol negatif, masingmasing dibagi sub kelompok sesuai dengan waktu
paparan, yaitu 1, 3, 5, 7, dan 10 menit. Setiap sub
kelompok terdiri dari 3 sumur sampel. Kelompok
perlakuan dibagi menjadi 5 sub kelompok sesuai
waktu paparan, kemudian tiap sub kelompok
dibagi lagi menjadi 6 sub sub-kelompok sesuai
dengan konsentrasi paparan yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu 0,05%; 0,1%; 1%;10%;
20%; dan 30%. Setiap sub sub-kelompok terdiri
dari 3 sumur sampel. Jadi pada dye exclution test,
dari 120 sumur sampel yang dipersiapkan, terdiri
dari kelompok kontrol positif sebanyak 15 sumur,
kelompok kontrol negatif sebanyak 15 sumur, dan
kelompok perlakuan sebanyak 90 sumur. Sampel
diinkubasi sesuai waktu paparan yaitu 1, 3, 5, 7,
dan 10 menit, lalu diwarnai dengan trypan blue,
dibiarkan selama 1 menit, kemudian dilakukan
penghitungan jumlah sel yang terwarnai. Sel yang
viabel (tidak menyerap warna) dan sel yang nonviabel (menyerap warna, biru) diamati dengan
menggunakan mikroskop cahaya dan dihitung
dengan menggunakan hemositometer (Gambar 1).
Jumlah sel yang terwarnai dihitung pada 4 lapang
pandang hemositometer menggunakan mikroskop
cahaya dengan pembesaran 10x. Perhitungan
persentase kematian dilakukan berdasarkan hasil
penghitungan jumlah sel yang viabel.
Gambar 1
?????????????????????????????????
HASIL PENELITIAN
Viabilitas sel fibroblast yang dinyatakan
dalam bentuk persentase kematian sel merupakan
parameter yang digunakan dalam penelitian ini.
Peningkatan persentase kematian sel menunjukkan
penurunan viabilitas sel. Rerata persentase kematian
sel untuk tiap kelompok sampel dapat dilihat pada
Tabel 1. Pada kelompok kontrol positif, jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif,
pemberian epinefrin 0,1% menyebabkan persentase
kematian diatas 90%, pada hampir semua waktu
paparan, kecuali waktu paparan 1 menit (Tabel 1).
Jumlah sel pada kelompok kontrol negatif (tanpa
perlakuan) dianggap menggambarkan sel hidup
semua (100%), sehingga hasil perhitungan
persentase kematian untuk semua waktu paparan
adalah 0%. Pada kelompok perlakuan yang diberi
tetrahydrozoline HCl dengan beberapa konsentrasi
dan waktu paparan, tampak bahwa semakin tinggi
konsentrasi paparan semakin meningkat persentase
kematian sel, dan semakin lama waktu paparan
semakin meningkat persentase kematian sel.
Tabel 1
Rerata Persentase Kematian Sel Tiap Kelompok Penelitian
Waktu
3 menit
5 menit
7 menit
10 menit
0,042
0,9675
0,9672
0,985
0,984
0,000
0,000
0,000
0,000
0,010
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,007
0,007
0,007
0,015
0,025
0,310
0,000
0,025
0,015
0,040
0,050
0,209
0,393
0,000
0,000
0,058
0,145
0,262
0,323
0,399
Kelompok
Kontrol (+)
(Epinefrin 0,1%)
Kontrol (-)
(tanpa perlakuan)
Tetra-HCl 0,05 %
Tetra-HCl 0,1%
Tetra-HCl 1%
Tetra-HCl 10%
Tetra-HCl 20%
Tetra-HCl 30%
Tabel 2
Ringkasan Hasil Uji Univariate ANOVA : Perbedaan Pengaruh Antar Kelompok Perlakuan
Variabel
F
1061,756
677,700
146.511
KONSENTRASI
WAKTU
KONSENTRASI * WAKTU
Sig.
0,001
0,001
0,001
1 menit
-
3 menit
0,892
-
5 menit
0,000
0,000
-
Sig.
7 menit
0,000
0,000
0,000
-
10 menit
0,000
0,000
0,000
0,000
-
24jam
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
48jam
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
72jam
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
Tabel 4
Hasil Uji LSD antara Keenam Tingkat Konsentrasi: Perbedaan Dalam Kelompok
Konsentrasi
Konsentrasi
0,05 %
0,05 %
0,1 %
1%
10 %
20 %
30 %
0,1 %
0,995
-
Sig.
1%
10%
0,846
0,000
0,857
0,000
0,000
-
20%
0,000
0,000
0,000
0,018
-
30%
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
-
Tabel 5
Hasil Nilai IC50 dari Tiap Kelompok Perlakuan
Waktu Paparan
5 menit
7 menit
10 menit
PEMBAHASAN
Hasil pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat konsentrasi dan waktu
paparan tetrahydrozoline HCl, semakin meningkat
pula persentase kematian sel fibroblast. Pengaruh
yang ditimbulkan terhadap viabilitas sel fibroblast
berupa perubahan permeabilitas membran sel.
Freshney 15 menyebutkan bahwa efek sitotoksik dari
sitotoksin dapat menyebabkan terjadi perubahan
permeabilitas membran sel atau kerusakan integritas
membran sel sehingga membran selnya bisa
ditembus oleh trypan blue. Kerusakan pada
membran sel dapat menyebabkan sel menjadi non
viabel, dan selanjutnya dapat menyebabkan
kematian sel. Pada sel yang non-viabel membran
selnya bisa ditembus oleh trypan blue sedangkan sel
yang viabel memiliki membran sel yang
impermiabel terhadap trypan blue. Jadi semakin
besar
pengaruh
yang
ditimbulkan
akan
mengakibatkan semakin banyak sel mati, yang juga
berarti persentase kematian sel semakin meningkat.
Cotran dkk 16 menjelaskan bahwa terdapat beberapa
motif biokimiawi yang diduga memperantarai
kematian sel, hal ini dapat menjelaskan terjadinya
kematian sel sehubungan dengan sitotoksisitas suatu
bahan. Motif biokimia tersebut antara lain:
1)Penipisan kadar ATP (Adenosin Triphosphate).
Enzim dehidrogenase adalah salah satu enzim yang
berperan dalam pembentukan ATP17 ,yaitu suatu
bentuk energi yang sangat dibutuhkan oleh sel
untuk berbagai aktivitas fungsional sel. Jika enzim
dehidrogenase tidak aktif akibat efek sitotoksik
suatu sitotoksin, maka ATP berkurang, aktivitas sel
terganggu, sehingga dapat mengakibatkan kematian
sel. 2)Defek pada membran sel. Kerusakan
membran atau hilangnya permeabilitas membran
selektif merupakan gambaran umum jejas sel.
Defek ini bisa mempengaruhi mitokondria yang
merupakan tempat untuk memproduksi ATP.
Aktivitas fungsional sel fibroblast gingiva
yaitu berproliferasi maupun memproduksi matriks
ekstra seluler dan fibronektin, sehubungan dengan
IC50
(%w/v)
38,60069
34,67615
32,78785
IC50 (x 103)
(g/mL)
386,01
346,76
327,88
IC50 (x 103)
(M)
1630,5
1464,7
1384,9
10
SIMPULAN
11
Simpulan yang diperoleh dari penelitian
secara in vitro ini adalah: peningkatan konsentrasi
dan waktu paparan tetrahydrozoline HCl
menyebabkan peningkatan persentase kematian sel
fibroblast, namun pada waktu paparan dan
konsentrasi terapeutik (0,05% dan 0,1%) tidak
menimbulkan efek sitotoksik terhadap viabilitas sel
fibroblast gingiva. Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut secara in vivo, sesuai tahapan uji
biokompatibilitas, untuk mengetahui apakah
interpretasi hasil yang diperoleh secara in vitro
cukup akurat dan berkorelasi baik dengan penelitian
in vivo.
DAFTAR PUSTAKA
1
12
13
14
15
16