You are on page 1of 80

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Mahasaraswati Denpasar

EFEK SITOTOKSIK TETRAHYDROZOLINE HCL TERHADAP VIABILITAS SEL


FIBROBLAST
Tri Purnami Dewi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRACT
Cytotoxicity test on tissue culture (in vitro) was the initial biocompatibility test to evaluate the
citotoxic effect of newly developed material. Tetrahydrozoline HCl was recently considered as a new gingival
retraction agent in dentistry. The use of chemical agent as gingival retraction in the procedure of making the
fixed prostodontic impression, should be effective to produce the temporary lateral and apical retraction of
the free gingival tissue, without creating irreversible tissue damage and either local or systemic harmfull side
effects. The aim of this study was to investigate the cytotoxic effect of tetrahydrozoline HCl toward the
viability of gingival fibroblast cells at different concentration and exposure times.
This study utilized 120 wells cultured human gingival fibroblast cell. All wells were divided into 3 groups,
they were: positive control group was treated with 0.1% epinephrine, negative control group without
treatment, and the last one was treated with tetrahydrozoline HCl at different concentrations : 0.05%, 0.1%,
1%, 10%, 20%, and 30%, with the exposure time : 1, 3, 5, 7, and 10 min. The evaluation of citotoxic effect
based on OD values and viable cells number resulted from dye exclution test.
The lowest mean of cell death percentage was 0.00%, resulted from 1 and 3 min treatment with 0.05%,
0.1%, and 1% tetrahydrozoline HCl. The highest mean was 39.9%, at 30% tetrahydrozoline HCl, for 10min.
There was a significant difference (p<0.05) in cell viability between groups and within group. Probit
analysis brought about estimation of IC50 tetrahydrozoline HCl. The result of this study showed that
tetrahydrozoline HCl had no cytotoxic effect to the viability of gingival fibroblast cell, although the
escalation of tetrahydrozoline HCl concentration and exposure time caused the escalation of cell death
percentage.
Key words: Tetrahydrozoline HCl, gingival retraction, viability, gingival fibroblast
Korespondensi : Tri Purnami Dewi, drg., M.Kes., Bagian Prosthodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361) 7424079, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN
Pada pembuatan restorasi gigi tiruan
cekat, retraksi sementara jaringan gingiva bebas
ke arah lateral (horisontal) dan apikal (vertikal)
merupakan salah satu hal penting yang harus
dilakukan untuk memperoleh hasil cetakan yang
mencatat garis akhir tepi preparasi gigi penyangga
secara akurat yang terletak pada daerah tepi
gingiva bebas atau daerah subgingiva.1,2,3,4
Metode retraksi gingiva yang paling sering
digunakan adalah metode kemo-mekanis, yaitu
dengan menggunakan benang retraksi yang
mengandung suatu bahan kimia.5 Benang retraksi
berfungsi untuk melebarkan sulkus gingiva secara
mekanis, sedangkan bahan kimiawi berfungsi
untuk menginduksi pengkerutan jaringan gingiva
bebas serta mengontrol perdarahan di daerah
sulkus
gingiva.6,7
Berdasarkan
beberapa
penelitian, prosedur retraksi gingiva dengan
metode kemo-mekanis umumnya dilakukan
dalam waktu antara 5-10 menit. Hal tersebut

untuk menghindari terjadinya trauma mekanik


dan kemis yang dapat menyebabkan jejas pada
jaringan gingiva bebas, namun cukup efektif
menghasilkan pelebaran sulkus gingiva.
Epinefrin adalah salah satu bahan kimia
yang sering digunakan sebagai bahan retraksi
gingiva dan dipasarkan dalam bentuk benang
retraksi yang telah direndam larutan epinefrin.
Epinefrin memiliki kadar keasaman tinggi dengan
pH antara 2,8-3,6 sehingga dapat menyebabkan
kerusakan jaringan periodontal dan diduga dapat
mengiritasi pulpa gigi penyangga yang telah
dipreparasi.8,9,10 Epinefrin juga memiliki efek
sistemik
yang
merugikan
antara
lain:
menimbulkan respon kardiovaskuler seperti
peningkatan tekanan darah sistolik dan
peningkatan denyut nadi, meningkatkan laju
pernafasan, dan adanya rasa lemah pada
ekstremitas.11 Tetrahydrozoline HCl berasal dari
golongan yang sama dengan epinefrin dan
merupakan bahan hemostatik-vasoaktif seperti
epinefrin.
Tetrahydrozoline
HCl
mulai

dipertimbangkan sebagai bahan retraksi gingiva


karena
memiliki
beberapa
kelebihan
dibandingkan dengan epinefrin antara lain:
merupakan larutan yang kadar keasamannya
rendah dengan pH antara 5,06,5 dan efek
samping berupa respon kardiovaskuler yang
ditimbulkan relatif minimal.12
Berdasarkan konsep biokompatibilitas di
bidang biomaterial, efek toksik tetrahydrozoline
HCl penting untuk diperhatikan. Salah satu uji
biokompatibilitas secara in vitro yang dapat
digunakan dan memenuhi standar sesuai
pertimbangan faktor etis, praktis dan ekonomis
yaitu uji sitotoksisitas pada kultur sel.3 Fibroblast
merupakan sel utama jaringan ikat yang terletak
pada lamina propria mukosa rongga mulut,
termasuk gingiva. Pengamatan terhadap viabilitas
sel fibrobast dalam kultur dapat digunakan
sebagai salah satu indikator untuk mengetahui
pengaruh konsentrasi dan waktu paparan suatu
substansi, termasuk efek sitotoksiknya. Viabilitas
sel fibroblast sebelum dan sesudah terpapar
sitotoksin yang dinyatakan dalam bentuk
persentase kematian sel merupakan parameter
yang dapat diukur dengan menggunakan beberapa
metode uji sitotoksisitas, sehingga efek sitotoksik
suatu bahan dapat diketahui.13 Salah satu metode
uji sitotoksisitas yang sering digunakan adalah
metode dye-exclution test yaitu dengan
mengamati perubahan permeabilitas membran
sel.13,14 Penentuan IC50 (Inhibitory Concentration
50%) dalam suatu uji sitotoksisitas juga
diperlukan untuk melengkapi informasi mengenai
efek sitotoksik suatu bahan.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui efek sitotoksik tetrahydrozoline HCl
terhadap viabilitas sel fibroblast gingiva pada
konsentrasi dan waktu paparan tertentu secara in
vitro. Manfaat yang diharapkan dari hasil
penelitian ini adalah dapat memberikan informasi
awal bagi para klinisi yaitu: mengetahui sifat
biokompatibilitas tetrahydrozoline HCl terutama
efek sitotoksiknya pada konsentrasi dan waktu
paparan tertentu secara in vitro, serta sebagai
bahan acuan tambahan untuk penelitian lebih
lanjut secara in vivo maupun uji coba klinis
mengenai penggunaan tetrahydrozoline HCL
sebagai bahan retraksi gingiva.

perlakuan;
kelompok
perlakuan
diberi
tetrahydrozoline HCl dengan konsentrasi dan
waktu paparan yang berbeda. Kelompok kontrol
positif dan kelompok kontrol negatif, masingmasing dibagi sub kelompok sesuai dengan waktu
paparan, yaitu 1, 3, 5, 7, dan 10 menit. Setiap sub
kelompok terdiri dari 3 sumur sampel. Kelompok
perlakuan dibagi menjadi 5 sub kelompok sesuai
waktu paparan, kemudian tiap sub kelompok
dibagi lagi menjadi 6 sub sub-kelompok sesuai
dengan konsentrasi paparan yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu 0,05%; 0,1%; 1%;10%;
20%; dan 30%. Setiap sub sub-kelompok terdiri
dari 3 sumur sampel. Jadi pada dye exclution test,
dari 120 sumur sampel yang dipersiapkan, terdiri
dari kelompok kontrol positif sebanyak 15 sumur,
kelompok kontrol negatif sebanyak 15 sumur, dan
kelompok perlakuan sebanyak 90 sumur. Sampel
diinkubasi sesuai waktu paparan yaitu 1, 3, 5, 7,
dan 10 menit, lalu diwarnai dengan trypan blue,
dibiarkan selama 1 menit, kemudian dilakukan
penghitungan jumlah sel yang terwarnai. Sel yang
viabel (tidak menyerap warna) dan sel yang nonviabel (menyerap warna, biru) diamati dengan
menggunakan mikroskop cahaya dan dihitung
dengan menggunakan hemositometer (Gambar 1).
Jumlah sel yang terwarnai dihitung pada 4 lapang
pandang hemositometer menggunakan mikroskop
cahaya dengan pembesaran 10x. Perhitungan
persentase kematian dilakukan berdasarkan hasil
penghitungan jumlah sel yang viabel.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini menggunakan 120 sumur
kultur sel, tiap sumur berisi 100 L suspensi sel
fibroblast gingiva manusia dengan kepadatan
2x104 sel/100 L media kultur sel. Seluruh
sampel (120 sumur kultur sel) dibagi menjadi 3
kelompok yaitu: kelompok kontrol positif diberi
epinefrin 0,1%; kelompok kontrol negatif tanpa

Gambar 1. Penghitungan sel dengan hemositometer.


Sel viabel [], sel non-viabel [].13

Gambar 1

?????????????????????????????????

HASIL PENELITIAN
Viabilitas sel fibroblast yang dinyatakan
dalam bentuk persentase kematian sel merupakan
parameter yang digunakan dalam penelitian ini.
Peningkatan persentase kematian sel menunjukkan
penurunan viabilitas sel. Rerata persentase kematian
sel untuk tiap kelompok sampel dapat dilihat pada
Tabel 1. Pada kelompok kontrol positif, jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif,
pemberian epinefrin 0,1% menyebabkan persentase
kematian diatas 90%, pada hampir semua waktu
paparan, kecuali waktu paparan 1 menit (Tabel 1).
Jumlah sel pada kelompok kontrol negatif (tanpa
perlakuan) dianggap menggambarkan sel hidup
semua (100%), sehingga hasil perhitungan
persentase kematian untuk semua waktu paparan
adalah 0%. Pada kelompok perlakuan yang diberi
tetrahydrozoline HCl dengan beberapa konsentrasi
dan waktu paparan, tampak bahwa semakin tinggi
konsentrasi paparan semakin meningkat persentase
kematian sel, dan semakin lama waktu paparan
semakin meningkat persentase kematian sel.

Rerata persentase kematian sel terendah pada


kelompok perlakuan, yaitu 0,00% dihasilkan pada
konsentrasi tetrahydrozoline HCl 0,05%; 0,1% dan
1% dengan waktu paparan 1 dan 3 menit,
sedangkan rerata persentase kematian sel tertinggi
pada kelompok perlakuan, yaitu 39,9% dihasilkan
pada konsentrasi tetrahydrozoline HCl 30% dengan
waktu paparan 10 (Tabel 1).
Berdasarkan hasil uji Univariate ANOVA
(Analysis of Variance) dapat dilihat bahwa rerata
persentase kematian di antara keenam tingkat
konsentrasi dan di antara kedelapan waktu paparan
(Tabel 3) terdapat perbedaan yang bermakna
(p<0,05), oleh karena itu harus dilakukan uji LSD
(Least Significant Differrence). Hasil yang
diperoleh dari uji LSD (Tabel 4) menunjukkan
adanya perbedaan yang tidak bermakna antara
konsentrasi 0,05% dengan 0,1% (sig.0,995); 0,05%
dengan 1% (sig.0,846); 0,1% dengan 1%
(sig.0,857); 10% dengan 20% (sig. 0,018), dan
antara waktu paparan 1 menit dengan 3 menit
(sig.0,892), sedangkan lainnya menunjukkan
perbedaan
yang
bermakna
(p<0,05).

Tabel 1
Rerata Persentase Kematian Sel Tiap Kelompok Penelitian

Waktu

Dye exclution test


1 menit

3 menit

5 menit

7 menit

10 menit

0,042

0,9675

0,9672

0,985

0,984

0,000
0,000
0,000
0,000
0,010
0,000
0,000

0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000

0,000
0,007
0,007
0,007
0,015
0,025
0,310

0,000
0,025
0,015
0,040
0,050
0,209
0,393

0,000
0,000
0,058
0,145
0,262
0,323
0,399

Kelompok
Kontrol (+)
(Epinefrin 0,1%)
Kontrol (-)
(tanpa perlakuan)
Tetra-HCl 0,05 %
Tetra-HCl 0,1%
Tetra-HCl 1%
Tetra-HCl 10%
Tetra-HCl 20%
Tetra-HCl 30%

Tabel 2
Ringkasan Hasil Uji Univariate ANOVA : Perbedaan Pengaruh Antar Kelompok Perlakuan
Variabel

F
1061,756
677,700
146.511

KONSENTRASI
WAKTU
KONSENTRASI * WAKTU

Sig.
0,001
0,001
0,001

Keterangan : * : interaksi antara konsentrasi dan waktu paparan.


Tabel 3
Hasil Uji LSD antara Kelima Waktu Paparan : Perbedaan Dalam Kelompok
Waktu
Waktu
1 menit
3 menit
5 menit
7 menit
10 menit

1 menit
-

3 menit
0,892
-

5 menit
0,000
0,000
-

Sig.
7 menit
0,000
0,000
0,000
-

10 menit
0,000
0,000
0,000
0,000
-

24jam
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000

48jam
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000

72jam
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000

Tabel 4
Hasil Uji LSD antara Keenam Tingkat Konsentrasi: Perbedaan Dalam Kelompok
Konsentrasi
Konsentrasi

0,05 %
0,05 %
0,1 %
1%
10 %
20 %
30 %

0,1 %
0,995
-

Sig.
1%
10%
0,846
0,000
0,857
0,000
0,000
-

20%
0,000
0,000
0,000
0,018
-

30%
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
-

Tabel 5
Hasil Nilai IC50 dari Tiap Kelompok Perlakuan
Waktu Paparan
5 menit
7 menit
10 menit

PEMBAHASAN
Hasil pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat konsentrasi dan waktu
paparan tetrahydrozoline HCl, semakin meningkat
pula persentase kematian sel fibroblast. Pengaruh
yang ditimbulkan terhadap viabilitas sel fibroblast
berupa perubahan permeabilitas membran sel.
Freshney 15 menyebutkan bahwa efek sitotoksik dari
sitotoksin dapat menyebabkan terjadi perubahan
permeabilitas membran sel atau kerusakan integritas
membran sel sehingga membran selnya bisa
ditembus oleh trypan blue. Kerusakan pada
membran sel dapat menyebabkan sel menjadi non
viabel, dan selanjutnya dapat menyebabkan
kematian sel. Pada sel yang non-viabel membran
selnya bisa ditembus oleh trypan blue sedangkan sel
yang viabel memiliki membran sel yang
impermiabel terhadap trypan blue. Jadi semakin
besar
pengaruh
yang
ditimbulkan
akan
mengakibatkan semakin banyak sel mati, yang juga
berarti persentase kematian sel semakin meningkat.
Cotran dkk 16 menjelaskan bahwa terdapat beberapa
motif biokimiawi yang diduga memperantarai
kematian sel, hal ini dapat menjelaskan terjadinya
kematian sel sehubungan dengan sitotoksisitas suatu
bahan. Motif biokimia tersebut antara lain:
1)Penipisan kadar ATP (Adenosin Triphosphate).
Enzim dehidrogenase adalah salah satu enzim yang
berperan dalam pembentukan ATP17 ,yaitu suatu
bentuk energi yang sangat dibutuhkan oleh sel
untuk berbagai aktivitas fungsional sel. Jika enzim
dehidrogenase tidak aktif akibat efek sitotoksik
suatu sitotoksin, maka ATP berkurang, aktivitas sel
terganggu, sehingga dapat mengakibatkan kematian
sel. 2)Defek pada membran sel. Kerusakan
membran atau hilangnya permeabilitas membran
selektif merupakan gambaran umum jejas sel.
Defek ini bisa mempengaruhi mitokondria yang
merupakan tempat untuk memproduksi ATP.
Aktivitas fungsional sel fibroblast gingiva
yaitu berproliferasi maupun memproduksi matriks
ekstra seluler dan fibronektin, sehubungan dengan

IC50
(%w/v)
38,60069
34,67615
32,78785

IC50 (x 103)
(g/mL)
386,01
346,76
327,88

IC50 (x 103)
(M)
1630,5
1464,7
1384,9

proses perbaikan jaringan gingiva, akan terganggu


jika paparan sitotoksin menyebabkan sel mengalami
jejas yang ireversibel atau mengakibatkan sel non
viabel. Hal tersebut disebabkan oleh karena seluruh
mekanisme seluler merupakan proses yang saling
berkaitan, jika salah satu komponen sel mengalami
jejas, maka semua aktivitas sel akan terpengaruh,
termasuk diantaranya proses perbaikan jaringan,
dimana proses ini membutuhkan regenerasi sel
yang mengalami jejas.18. Sel tetap viabel jika
paparan tidak bersifat sitotoksik, sehingga aktivitas
fungsional sel tidak akan mengalami gangguan. Jadi
diharapkan paparan bahan retraksi pada saat
prosedur retraksi gingiva tidak menyebabkan jejas
ireversibel pada sel fibroblast gingiva, sehingga
tidak terjadi gangguan terhadap aktivitas sel dalam
proses perbaikan jika jaringan gingiva mengalami
trauma mekanis yang tidak dapat dihindari selama
prosedur retraksi.
Hasil uji Univariate ANOVA dan uji LSD
menunjukkan bahwa terdapat rerata persentase
kematian sel yang berbeda secara bermakna di
antara beberapa kelompok penelitian sesuai tingkat
konsentrasi dan waktu paparan (Tabel 2, Tabel 3,
Tabel 4). Cotran dkk16 dan Conway19
mengemukakan beberapa prinsip umum mengenai
jejas sel yang memiliki kemungkinan sebagai
penyebab adanya perbedaan pengaruh pada
kelompok-kelompok penelitian tersebut, antara lain:
1)Beberapa komponen atau sistem intraseluler sel
sensitif atau mudah mengalami jejas antara lain:
membran sel (integritas membran sel), sistem
respirasi aerob (mitokondria, enzim), komponen
genetik. 2)Respon seluler terhadap stimuli jejas
tergantung pada jenis jejas, lama stimuli jejas dan
berat ringannya stimuli jejas. Jenis jejas dibedakan
berdasarkan penyebab jejas sel, seperti bahan kimia
dan obat-obatan, hipoksia, dan lainnya. Lama
stimuli jejas berhubungan dengan waktu paparan,
sedangkan berat ringannya stimuli berkaitan dengan
dosis ataupun konsentrasi paparan.
Epinefrin 0,1% jika dikonversi dalam satuan
molaritas menjadi 5,5.10-3M. Tetrahydrozoline HCl
5,5.10-3M
setara
dengan
konsentrasi

tetrahydrozoline HCl 0,13% (dapat dibulatkan


menjadi 0,1%), jadi dapat dikatakan bahwa
epinefrin 0,1% sebanding dengan tetrahydrozoline
HCl 0,1%. Epinefrin 0,1% menyebabkan persentase
kematian sel lebih dari 96% (>50%) pada waktu
paparan 3 dan 5 menit, artinya hampir semua sel
mati (Tabel 1), sedangkan tetrahydrozoline HCl
dengan konsentrasi 0,1% dengan waktu paparan 3
dan 5 menit menunjukkan persentase kematian sel
tidak lebih dari 0,7% (<50%) artinya hampir semua
sel masih viabel. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa pada konsentrasi yang sebanding dengan
epinefrin, tetrahydrozoline HCl 0,1% tidak bersifat
sitotoksik terhadap viabilitas sel fibroblast,
sebaliknya epinefrin 0,1% bersifat sangat sitotoksik.
Jadi, diketahui bahwa tetrahydrozoline HCl
memiliki sifat yang lebih baik daripada epinefrin
ditinjau dari segi sitotoksisitasnya.
Analisis probit menghasilkan IC50 dari tiap
waktu paparan tetrahydrozoline HCl (Tabel 5),
yang berguna sebagai informasi tambahan
mengenai sitotoksisitas tetrahydrozoline HCl. Hasil
tersebut
menunjukkan
bahwa
konsentrasi
tetrahydrozoline HCl 0,05% dan 0,1% merupakan
konsentrasi terapeutik yang cukup aman karena
persentase kematian yang disebabkan oleh
konsentrasi paparan tersebut dengan waktu paparan
1, 3, 5, 7, dan 10 menit jauh lebih rendah dari nilai
IC50.

10

SIMPULAN
11
Simpulan yang diperoleh dari penelitian
secara in vitro ini adalah: peningkatan konsentrasi
dan waktu paparan tetrahydrozoline HCl
menyebabkan peningkatan persentase kematian sel
fibroblast, namun pada waktu paparan dan
konsentrasi terapeutik (0,05% dan 0,1%) tidak
menimbulkan efek sitotoksik terhadap viabilitas sel
fibroblast gingiva. Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut secara in vivo, sesuai tahapan uji
biokompatibilitas, untuk mengetahui apakah
interpretasi hasil yang diperoleh secara in vitro
cukup akurat dan berkorelasi baik dengan penelitian
in vivo.

DAFTAR PUSTAKA
1

Dimashkieh MR, Morgano SM. A procedure


for making fixed prosthodontic impressions
with the use of preformed crown shells. J
Prosthet Dent 1995; 73: 95-6.

12

13

14

15

16

Ferrari M, Cagidiaco MC, Ercoli C. Tissue


management with a new gingiva retraction
material: A preliminary clinical report. J
Prosthet Dent 1996; 75: 242-47.
Kopa I, Batista U, Cvetko E, Marion L.
Viability of fibroblast in cell culture after
treatment with different chemical retraction
agents. J Oral Rehabil 2002a; 29(1): 98-104.
Csempesz F, Vg J, Fazekas . In vitro kinetic
study of absorbency of retraction cords. J
Prosthet Dent 2003; 89: 45-9.
Donovan TE, Gandara BK, Nemetz H. Review
and survey of medicaments used with gingiva
retraction cords. J Prosthet Dent 1985; 53(4):
525-31.
Shillingburg HT, Hobo S, Whitsett LD.
Fundamentals of fixed prosthodontics. 2nd ed.
Chicago: Quintessence Publ.Co. 1982. p. 200.
Bowles WH, Tardy SJ, Vahadi. A. Evaluation
of new gingival retraction agents. J Dent Res.
1991; 70(11): 1447-49.
Kopa I, Sterle M, Marion L. Electron
microscopic analysis of the effects of chemical
retraction agent on cultured rat keratinocytes. J
Prosthet Dent 2002b; 87: 51-6.
Reynold JEF. Martindale : The extra
pharmacopoeia. 29th ed. London: The
Pharmaceutical Press; 1989. p.1453-55.
Woody RD, Miller A, Staffanou RS. Review
of the ph of hemostatik agents used in tissue
displacement. J Prosthet Dent 1993; 70: 19192.
Setiawati A, Setiabudy R. Adrenergik.
Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran - Universitas Indonesia.
Edisi ketiga. Jakarta: Gaya Baru; 1991. h. 4970.
Budavari S. The Merck Index : An
encyclopedia of chemicals, drugs, and
biologicals. 12th ed. Merck & Co., Inc. 1996.
h. 3657, 9360.
Wyllie A, Donahue V, Fischer B, Hill D,
Kesey J, Manzow S. Guide to cell proliferation
and apoptosis methods. Roche Diagnostics
Corporation. 2000. p. 50-67.
Craig RG, Powers JM. Restorative dental
material. 11th ed. St. Louis: Mosby Inc. 2002.
p. 126-47.
Freshney RI. Culture of Animal Cells : A
manual of basic techniques. 4th ed. New York:
Wiley-Liss Inc. 2000. p. 330-37.
Cotran MD, Kumar V, Collins T, Robbins
pathologic basis of diseases. 6th ed.
Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1999.
p. 4-15, 102-110.

17 Mayes PA, Granner DK, Rodwell VW, Martin


Jr. DW. Harpers review of biohemistry.
Dalam: Biokimia Harper. edisi 20. Iyan
Dharmawan (penterjemah) Jakarta: Penerbit
buku kedokteran EGC; 1985. p. 150-54.
18 Conway J. Repair and wound healing handout.
2000a.
Available
from:
URL:http//www.med.uiuc.edu/m2/Pathology/
Repair%20and%20Wound%20Healing%20Ha
ndout2.htm. Accessed Juni 18, 2004.
19 Conway J. Diseases at the Cellular Level
(DCL) Lecture Handout. 2000b. Available
from:URL:http//www.med.uiuc.edu/m2/Pathol
ogy/DCL.htm Accessed Juni 18, 2004.

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Mahasaraswati Denpasar

PENINGKATAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT PADA ANAK MELALUI


DENTAL HEALTH EDUCATION

Soesilo Soeparmin, Putu Yetty Nugraha dan Ni Kadek Widia Arisanti


Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRAK
Banyak orang tua menganggap bahwa gigi sulung tidak perlu dirawat. Padahal, pengaruhnya cukup
besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan gigi permanen, kesehatan secara umum, kepribadian, dan
psikologi anak. Upaya untuk menanggulanginya dimulai sejak dini dengan memberikan Pendidikan
Kesehatan Gigi. Hal ini dapat dilakukan di rumah, sekolah, praktek dokter gigi dan masyarakat.
Tujuannya adalah untuk mengubah perilaku anak dalam meningkatkan kesehatan gigi dan mulut melalui
penerapan dental health education. Melalui informasi, pengetahuan dan pemahaman yang didapat anak
melalui dental health education dapat mengubah perilaku dengan munculnya kesadaran anak dalam
meningkatkan kesehatan gigi dan mulut. Pendidikan ini akan efektif hasilnya apabila seluruh aspek
lingkungan anak terlibat khususnya peran serta orang tua terutama ibu dalam memberikan contoh,
pengawasan terhadap kesehatan gigi dan mulut anaknya sehingga upaya pencegahan penyakit gigi dapat
dilakukan secara dini.
Kata kunci: Dental health education, kesehatan gigi dan mulut.
Korespondensi : Soesilo Soeparmin, drg.,M.S., Bagian Kedokteran Gigi Anak, Fakultas Kedokteran
Gigi, Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361) 7424079, Fax.
(0361) 261278

PENDAHULUAN
Masalah kesehatan gigi anak di Indonesia
sangat memprihatinkan.1 Banyak orang tua
mengira bahwa gigi sulung tidak perlu dirawat,
tidak lama ada dalam mulut dan pada saatnya
akan digantikan dengan gigi tetap yang lebih
kuat dan lebih besar. Mereka tidak tahu bahwa
cukup banyak akibat yang dapat terjadi bila gigi
sulung tidak dirawat dengan baik.2,3 Walaupun
masih memiliki gigi sulung, seorang anak harus
mendapatkan perhatian serius dari orang tua
yaitu cara merawat gigi anaknya dan
mengajarkan anaknya cara merawat gigi yang
baik.3 Apabila tidak segera dilakukan, upaya
pencegahan dengan meningkatnya umur,
kerusakan gigi dan jaringan pendukungnya akan
menjadi
lebih
berat,
bahkan
dapat
mengakibatkan terlepasnya gigi pada usia muda
sehingga diperlukan biaya perawatan gigi yang
semakin mahal.4

Upaya untuk menanggulangi hal tersebut


dimulai sejak dini dengan memberikan
pendidikan kesehatan gigi dan mulut pada anak
baik di lingkungan keluarga, sekolah,
masyarakat maupun secara profesional (praktik
dokter gigi). Pendidikan kesehatan gigi dan
mulut merupakan suatu upaya untuk
menyampaikan pesan mengenai kesehatan gigi
dan mulut dengan harapan dapat memperoleh
pengetahuan kesehatan gigi lebih baik. Konsep
pendidikan kesehatan gigi ini merupakan
penerapan dari konsep pendidikan dan konsep
sehat sehingga diupayakan adanya perubahan
pada perilaku anak dalam meningkatkan
kesehatan gigi dan mulut mereka.1,5,6,7,8

KESEHATAN GIGI DAN MULUT ANAK


Mulai tumbuhnya gigi merupakan proses
penting
pertumbuhan
seorang
anak.3,9

Meskipun, gigi sulung akan digantikan dengan


gigi tetap, tetapi gigi sulung harus dapat
dipertahankan sampai saatnya eksfoliasi normal
karena untuk mempertahankan lengkung
rahang, mempertahankan kesehatan mulut,
mencegah dan menghilangkan rasa sakit serta
mempertahankan
dan
meningkatkan
penampilan.2
Kondisi kesehatan gigi dan mulut anak
yang terjadi dalam masyarakat belum dapat
dikatakan baik. Hal ini terlihat dari penelitian
Damanik dan Sinaga (2002) yang dilakukan
pada siswa SD Negeri 060919 (kelompok
perlakuan) dan SD Negeri 064979 (kelompok
kontrol) di Medan. Ternyata indeks plak ratarata sebelum penyuluhan pada kelompok
perlakuan adalah 1,8154 dan pada kelompok
kontrol adalah 1,8794. Data di atas
menunjukkan bahwa kedua kelompok tersebut
mempunyai kebiasaan awal membersihkan gigi
yang sama dan dapat dikategorikan rendah
tingkat kebersihan giginya.
Dalam
penelitian
Kristianti
dan
Rusiawati (2002) juga mengkaji profil
kesehatan gigi 1995 yang mengambil sampel
rumah tangga sebanyak 65.664 orang.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ratarata 2.21 gigi anak umur 12 tahun cacat/pernah
mengalami kerusakan (DMF-T = 2.21). Tingkat
keparahan ini termasuk rendah menurut kriteria
WHO. Peneliti juga mengkaji target gigi sehat
WHO untuk anak usia 12 tahun pada tahun
2000 dan 2010. Target gigi sehat WHO pada
tahun 2000 adalah DMF-T sebesar 3 atau
kurang dari 3, dan target yang diharapkan pada
tahun 2010 adalah DMF-T sebesar rata-rata 1.
Jadi target yang diinginkan pada tahun 2000
telah tercapai. Namun untuk target 2010 masih
belum tercapai.

DENTAL
HEALTH
EDUCATION
(PENDIDIKAN KESEHATAN GIGI)
Pendidikan kesehatan gigi adalah proses
pendidikan yang terencana, terarah, dan
berkesinambungan untuk mengubah perilaku
meliputi perubahan pengetahuan, sikap, dan
tindakan yang mengarah kepada upaya hidup
sehat yang diharapkan bertambah baik sehingga
diperoleh derajat kesehatan gigi dan mulut yang
optimal.5,6
Tujuan pendidikan kesehatan gigi adalah
untuk memperkenalkan kepada anak tentang

kesehatan gigi dengan usaha preventif dan


promotif, mengingatkan dan mengusahakan
timbulnya kesadaran serta keyakinan untuk
meningkatkan kesehatan gigi dan mulut,
menjabarkan akibat yang ditimbulkan dari
kelalaian menjaga kebersihan gigi dan
mulut,menanamkan perilaku sehat sejak dini
melalui kunjungan ke sekolah, dan menjalin
kerjasama
dengan
masyarakat
dalam
memberikan penyuluhan langsung.5,8
Komponen yang harus ada dalam
pendidikan kesehatan gigi adalah meliputi
Sasaran didik yaitu: siswa SD (kelompok
langsung yang dikenai program pendidikan),
orang tua siswa SD dan guru (kelompok antara
yang dapat mempengaruhi perilaku siswa);
Tujuan pendidikan sebagai target yang ingin
dicapai; Kurikulum meliputi cara, materi, alat
dan bahan yang sesuai program; Pelaksana
pendidikan yaitu semua petugas kesehatan; dan
Lingkungan didik.5,6
Pendidikan kesehatan gigi (DHE) pada
prinsipnya tidak dapat diberikan pada anak
dalam satu kali kunjungan saja, sehingga
diperlukan tahapan yang diulang secara periodik
yang nantinya akan dievaluasi atas keberhasilan
DHE yang selama ini telah diberikan.
Tahapannya adalah:11,12,13
1. Meminta pasien agar membawa sikat
giginya untuk latihan menggosok gigi.
Mintalah pasien menggosok giginya
dengan cara yang biasa dilakukan dirumah.
2. Oleskan disclosing agent dan tunjukkan
daerah-daerah yang masih kotor.
3. Memberikan pendidikan kesehatan gigi
(DHE) dengan bahasa yang dimengerti
pasien dan disesuaikan dengan usia serta
penerimaan
pasien,
yaitu
dengan
menjelaskan cara menggosok gigi yang
baik pada sebuah model gigi dan sikat gigi
yang sesuai.
4. Setelah pasien mengerti, mintalah pasien
untuk melakukan hal yang telah diajarkan
tadi. Bila perlu dioleskan kembali
disclosing agent.
5. Berikan instruksi kepada orang tua untuk
bekerja sama dalam melatih pasien (anak)
untuk menggosok gigi dengan baik dan
benar.
6. Kontrol dilakukan
pada
kunjungan
berikutnya untuk mengevaluasi kemajuan
anak dalam menggosok gigi. Diharapkan
anak dapat memperbaiki teknik menggosok
giginya secara bertahap. Kemudian buatlah

7.

penilaian kebersihan gigi dan teknik


menggosok gigi seperti sebelumnya.
Kontrol secara periodik dilakukan setiap
enam bulan sekali untuk mengetahui
kerusakan gigi secara dini.

MANFAAT
DENTAL
HEALTH
EDUCATION DALAM KESEHATAN GIGI
DAN MULUT ANAK
Manfaat pendidikan kesehatan gigi
secara dini pada anak yang diajukan oleh para
ahli pada intinya sama yaitu memberikan
pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan
gigi dan mulut, adanya perubahan perilaku anak
setelah
munculnya
kesadaran
dalam
meningkatkan kesehatan gigi dan mulut,
keikutsertaan orang tua memberikan pengaruh
positif dalam memotivasi anak sejak dini
tentang kesehatan gigi dan mulut, menghemat
biaya, efisiensi waktu dan tenaga dalam
perawatan gigi, dapat menurunkan tingkat
penyakit gigi seperti karies gigi yang sering
menyerang
anak-anak
sehingga
upaya
pencegahan dini melalui pendidikan kesehatan
gigi kepada anak merupakan strategi yang
paling efektif dan efisien.1,2,11,14,15

PEMBAHASAN
Pendidikan kesehatan gigi sangat perlu
dilaksanakan sejak usia dini karena anak yang
masih kecil mudah meniru kebiasaan-kebiasaan
yang diajarkan atau dicontohkan. Bimbingan
dan perhatian khusus dari orang tua terutama
ibu jika dilaksanakan secara terus-menerus pada
akhirnya anak akan mengerti dan memahami
tentang pentingnya kebersihan gigi. Pendidikan
dimulai dengan memperkenalkan sikat gigi dan
pasta gigi dengan mencontohkan cara
membersihkan gigi. Jika hal-hal kecil seperti ini
dilaksanakan secara konsisten, anak akan
meniru apa yang dicontohkan. Apalagi jika
contoh itu dilihat anak sebagai sesuatu yang
menyenangkan dan sama sekali bukan sesuatu
yang membosankan. Maka dari sini akan
muncul kesadaran anak tentang kesehatan gigi
dan mulut.14,16
Pendidikan kesehatan gigi (DHE)
ternyata dapat juga menurunkan indeks plak, hal
ini telah dibuktikan oleh penelitian Damanik
dan Sinaga (2002) yang membandingkan dua

SD Negeri di Medan yang memiliki kondisi


kebersihan mulut yang dianggap sama yaitu SD
Negeri 060919 sebagai kelompok perlakuan
yang diberikan penyuluhan kesehatan gigi dan
latihan ketrampilan menyikat gigi dan SD
064979 sebagai kelompok kontrol. Dari hasil
pengukuran plak yang dilakukan pada kedua
kelompok, 3 minggu setelah penyuluhan disertai
pelatihan diperoleh penurunan indeks plak dari
1,8154 menjadi 0,8614 (kelompok perlakuan)
dan 1,8794 menjadi 1,2014 (kelompok kontrol).
Hal ini menunjukkan bahwa murid-murid
kelompok perlakuan termotivasi mengikuti
anjuran efek penyuluhan dan pelatihan yang
diberikan serta cukup efektif menurunkan
indeks plak. Jelas dari penelitian ini terlihat
hubungan positif antara pendidikan kesehatan
gigi (DHE) terhadap kesehatan gigi dan mulut
pada anak.
Demikian juga penelitian yang dilakukan
oleh Kiranawati, dkk. (2003) yang difokuskan
kepada tingkat keberhasilan yang dicapai oleh
UKGS biasa (SDN 02 Pejaten Barat) dan
UKGS Plus (SDN 01 Pejaten Barat) dalam
mengurangi DMF-T. Terlihat bahwa Indeks
DMF-T dari siswa UKGS Plus sebesar 1,957
dan pada siswa UKGS biasa Indeks DMF-T nya
sebesar 3,250. Terlihat jelas bahwa ada
perbedaan yang sangat signifikan antara sekolah
yang menggunakan UKGS Plus dengan UKGS
biasa. Jadi dengan adanya peran orang tua
terutama ibu akan membuat pendidikan
kesehatan gigi dan mulut menjadi lebih efektif
sehingga nantinya dapat mencapai sasaran dan
tujuan pendidikan kesehatan gigi dan mulut
pada anak.
Apabila kita membandingkan hasil
penelitian Kiranawati, dkk. (2003) dengan
sasaran WHO terhadap kesehatan gigi anak
pada tahun 2000, yaitu dengan Indeks DMF-T
=<3 untuk sekolah yang menggunakan UKGS
Plus telah tercapai, bahkan apabila kita
membandingkan dengan sasaran WHO untuk
tahun 2010 dengan Indeks DMF-T sebesar 1
hampir tercapai. UKGS biasa belum bisa
mencapai sasaran yang telah dicanangkan oleh
WHO. Jadi usaha terhadap pendidikan
kesehatan gigi harus lebih digalakkan dan lebih
memberikan peran serta orang tua, karena
terlihat dari penelitian diatas bahwa pendidikan
dengan melibatkan peran serta orang tua jauh
lebih efektif daripada yang tidak.
Rata-rata skor pengetahuan untuk siswa
UKGS Plus adalah 11,1395 sedangkan pada

10

siswa UKGS biasa tingkat pengetahuan akan


kesehatan gigi rata-rata sebesar 10,9167.
Melihat data tersebut nilai pengetahuan tentang
kesehatan gigi dan mulut pada siswa di sekolah
yang menjalankan UKGS Plus lebih baik
dibandingkan UKGS biasa. Meningkatnya
pengetahuan mengenai kesehatan gigi dan
mulut ternyata juga dapat mengubah sikap dan
tingkah laku siswa mengenai kesehatan gigi dan
mulut mereka.
Dari penelitian-penelitian yang penulis kaji
di atas, DHE yang diberikan kepada siswa, baik
berupa penyuluhan maupun unit sekolah berupa
UKGS dan UKGS Plus, memberikan pengaruh
positif terhadap perubahan perilaku anak
mengenai kesehatan gigi yang akhirnya akan
berpengaruh positif juga terhadap kesehatan
gigi dan mulut anak. Baik secara kuantitatif
ditunjukkan dengan adanya penurunan indeks
plak dan angka DMF-T dan secara kualitatif
kesehatan gigi dan mulut dapat dianggap
semakin baik sebagai pengaruh positif yang
diberikan DHE pada anak. Jadi untuk mencapai
sasaran kesehatan gigi dan mulut, langkah yang
paling utama adalah tindakan pencegahan
penyakit gigi dan mulut secara dini melalui
DHE.

pendidikan kesehatan gigi yang lebih efektif


hendaknya pendidikan kesehatan gigi diberikan
lebih menarik kepada anak dengan memberikan
contoh, model perawatan gigi yang benar,
praktik langsung dengan pengawasan tenaga
kesehatan gigi, terlibatnya seluruh aspek
lingkungan anak dalam proses pendidikan
kesehatan gigi terutama orang tua, serta
memperbanyak program UKGS Plus di sekolahsekolah yang telah terbukti memberikan hasil
yang positif terhadap kesehatan gigi dan mulut
anak.

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.
3.

SIMPULAN
4.
Pendidikan kesehatan gigi (DHE) yang
diberikan kepada anak mampu mengubah
perilaku anak dengan munculnya kesadaran
untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut dalam
berbagai lingkungan sehingga pencegahan
penyakit gigi dapat dilakukan secara dini. Hal
ini dapat dibuktikan dengan penurunan tingkat
karies gigi serta peningkatan kebersihan gigi
dan mulut anak. Pendidikan kesehatan gigi pada
anak akan lebih efektif apabila orang tua
terutama ibu ikut berperan memberikan contoh,
mengawasi kesehatan gigi dan mulut anaknya.

SARAN
Banyak upaya pendidikan kesehatan gigi
dan mulut kepada anak tidak memberikan
perubahan yang signifikan terhadap kesehatan
gigi dan mulut mereka sehingga tidak akan
efektif apabila pemahaman dan kesadaran anak
terhadap kesehatan gigi dan mulut masih rendah
serta tidak adanya peran serta seluruh aspek
dalam lingkungan anak. Untuk menciptakan

5.

6.

7.

8.

Boesro S, Sagala I. Upaya Pencegahan


Dalam Perawatan Menyeluruh Untuk
Mencapai Kesehatan Gigi dan Mulut Anak
Yang Optimal, Majalah Ilmiah Kedokteran
Gigi FKG USAKTI. Ed.Khusus Foril IV,
1993, 1: 69-78.
Andajani, LT. Mengapa Gigi Sulung Harus
Dirawat, Jurnal PDGI. 2000. 1(50): 52-55.
________ 2005, Gigi Bermasalah Hambat
Perkembangan Anak [Homepage of
Gudang Informasi Balita Anda], [Online].
Available from: http // www.balitaanda.indoglobal.com/milisbalita.html.
accessed December 25, 2005.
Dwiati L. 2003. Pengaruh Model
Pencegahan Karies Gigi Dan Gingivitis
Terhadap Status Kesehatan Gigi Anak
Sekolah dan Efisiensi Sumber Daya
Program UKGS di Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2002, [Homepage of Pusat Data dan
Informasi PERSI]. [Online], Available
from : http//www.pdpersi.co.id. accessed
October 30, 2005.
Herijulianti E, Indriani TS, Artini S.
Pendidikan Kesehatan Gigi. Jakarta : EGC
Penerbit Buku Kedokteran; 2002.
Hadnyanawati,
H.
Strategi
Dalam
Merencanakan Program Pendidikan Gigi
dan Mulut Melalui Media Siaran Radio,
Dentika Dental Journal 2003, 8(1): 6-11.
Arbani F, Heriandi Y. Kiat Rencana
Perawatan Yang Menyeluruh Pada Pasien
Anak dan Beberapa Upaya Preventif,
Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi FKG
USAKTI, Ed. Khusus Foril IV 1993, 1: 6168.
Yayasan Kesehatan Gigi Indonesia. 2005,
Program YKGI [Homepage of Yayasan

11

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

Kesehatan Gigi Indonesia], [Online].


Available from: http // www.ykgi.or.
id/program.html. Accessed December 25,
2005.
Damanik S, Sinaga ED. Efek Penyuluhan
dan Pelatihan dalam Penurunan Indek Plak
pada Murid-Murid Kelas IV dan V di Dua
SD Negeri Medan, dentika Dental Journal
2002. 7(1): 1-5.
Kristanti ChM, Rusiawati Y. Gigi Sehat
Tahun 2000 dan Tinjauan Profil Kesehatan
Gigi 1995, JDUI 2002. 9(2): 1-5.
Houwink B, Dirk B, Cramwinckle AB,
Criealaers PJA, Dermaut LR, Eijkman
MAJ. Dalam: Huis Int Veld, Konig KG,
Moltzer G, Helderman T, Roukema PA,
Schautteet H, Tan HH. Ilmu Kedokteran
Gigi
Pencegahan,
Sutatmi
Suryo
(penterjemah), Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press; 1993.
Andlaw RJ, Rock WP. Perawatan Gigi
Anak, edisi 2, Agus Djaya (penterjemah),
Jakarta: Widya Medika; 1992.
Forrest JO. Pencegahan Penyakit Mulut,
edisi 2, Lilian Yuwono (penterjemah),
Jakarta: Hipokrates; 1995.
Blogger Magazine. 2006. Program Usaha
Kesehatan Gigi Sekolah [Homepage of
Blogger Magazine], [Online]. Available
from: http // www.bz.blogfam.com.
Accessed May 25, 2006.
Kiranawati R, Setiawan A, Osmonso D.
Parent Involvement In School Dental
Health Program, JITEKGI 2003, 1(3): 8-12.
Fajar
Kesehatan.
2006.
Terapkan
Pendidikan Kesehatan Gigi Sejak Dini
[Homepage of Fajar Kesehatan], [Online].
Available from: http// www.fajar.co.id.
Accessed May 25, 2006.

12

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Mahasaraswati Denpasar

ANALISIS MUTU PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN


(KAJIAN DI RSGM FKG UNMAS DENPASAR)

Yohanna Lily, Yudha Rahina dan Grehastin Feby


Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar.
ABSTRAK
Di lingkungan rumah sakit, proses pelayanan merupakan suatu hal yang penting untuk
tercapainya kepuasan pasien. Pelayanan merupakan upaya manusia yang bertujuan meningkatkan
mutu dan kualitas rumah sakit yang lebih baik, guna tercapainya kepuasan pasien. Beberapa hal
yang berkaitan dengan mutu pelayanan diantaranya adalah pendaftaran, waktu perawatan, biaya
perawatan, keramahan petugas, serta kenyamanan ruangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan mutu pelayanan dengan kepuasan pasien. Jenis penelitian yang dilakukan
adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional, dengan jumlah sampel sebanyak 384
orang yang diperoleh dari pasien yang berkunjung ke RSGM FKG UNMAS Denpasar. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pelayanan dengan
kepuasan pasien (p<0,05), yaitu pelayanan yang ada masih kurang memuaskan bagi pasien.
Kata kunci : mutu pelayanan, kepuasan pasien.
Korespondensi : Yohanna Lily, drg.,M.Kes. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati
Denpasar, Jln. Kamboja 11a Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia bersama bangsa
bangsa lain di seluruh dunia saat sekarang
ini telah memasuki era millenium ketiga.
Dalam masa milenium ketiga ini, bangsa
Indonesia tentu saja telah mengalami
lompatan budaya dari masyarakat agraris
langsung ke peradaban pasca industri.
Kondisi tersebut melahirkan tuntutan baru
bagi masyarakat dan lingkungannya
termasuk tuntutan terhadap kesehatan yang
bermutu. Dalam hal jasa pelayanan
kesehatan dan kualitas pelayanan kesehatan
gigi yang akan diberikan; tidak hanya dokter
gigi, namun semua pemberi pelayanan
kesehatan juga saling bersaing termasuk
rumah sakit. Merupakan tantangan bagi
pemberi pelayanan kesehatan untuk dapat
memberikan pelayanan yang bermutu
kepada pasien yang berkunjung.
Pelayanan
adalah
serangkaian
aktivitas yang tidak dapat diraba sebagai
akibat adanya interaksi antara konsumen
dengan
pemberi
pelayanan
untuk
memecahkan permasalahan konsumen atau
pelanggan.1,2 Penyelenggaraan pelayan harus
memenuhi
beberapa
prinsip,
yaitu:
kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu,

akurasi, keamanan, tanggung jawab,


kelengkapan
sarana
dan
prasarana,
kemudahan akses, kedisiplinan, kesopanan
dan keramahan, serta kenyamanan. 1 Strategi
yang dilakukan untuk mencapai kualitas
pelayanan adalah TQM (Total Quality
Management). TQM didasarkan pada
kemampuan
individu
dalam
proses
pelayanan, hasil dan selalu merespon
keluhan pelanggan. TQM sebagai filosofi
yang menentukan visi dan misi organisasi,
menekankan pada komitmen terhadap proses
dan keyakinan tentang kualitas serta peran
manajemen dalam mengintegrasikan nilainilai keyakinan dalam budaya organisasi.
Nilai keyakinan tersebut diartikan sebagai
kepuasan pelanggan baik karena pengaruh
faktor internal maupun eksternal 3.
Beberapa faktor yang memotivasi
pasien untuk berkunjung ke rumah sakit
yaitu:
pelayanan,
petugas,
fasilitas,
lingkungan, lokasi dan rujukan. Pelayanan
meliputi
pelayanan
yang
lengkap,
pemahaman pengguna jasa tentang jenis
pelayanan yang akan diterimanya. Kepuasan
pasien ditentukan oleh 4 faktor, yaitu:
kemudahan (terjangkau, tersedia, waktu
selalu buka), hubungan pasien-dokter
(mendengarkan keluhan-keluhan, ramah,

13

aman, informasi yang jelas), pelayanan


(kecepatan pelayanan, tanggapan keluhan,
pelayanan
yang
berlanjut),
fasilitas
(bersih,nyaman), dan biaya perawatan4.
Fasilitas meliputi reputasi rumah sakit,
kecanggihan peralatan, kemudahan parkir,
dan kenyamanan ruangan. Lingkungan
meliputi kebersihan lingkungan, keindahan
lingkungan, ketenangan lingkungan, yang
dapat membuat pasien nyaman berada di
rumah sakit. Lokasi, letak rumah sakit yang
dekat dengan tempat tinggal pasien dapat
menjadikan motivasi utama yang akan
membuat pasien memilih rumah sakit
tersebut5. Kepuasan pelanggan adalah
respon
pelanggan
terhadap
evaluasi
ketidaksesuaian yang dirasakan antara
harapan sebelumnya atau norma kinerja
lainnya dan kinerja aktual produk yang
dirasakan setelah pemakaian3. Kepuasan
pelanggan merupakan evaluasi purna beli
dimana alternatif yang dipilih sekurangkurangnya sama atau melampaui harapan
pelanggan, sedangkan ketidakpuasan timbul
apabila hasil outcome tidak memenuhi
harapan6.
Dari hasil survei awal di RSGM,
didapatkan penurunan jumlah pasien yang
berkunjung dari bulan juli sampai september
2005 (>4%).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah survei analitik
dengan pendekatan cross sectional. Sampel
penelitian adalah pasien dewasa yang
berkunjung ke RSGM FKG UNMAS
Denpasar sebanyak 384 orang yang
diperoleh secara insidental. Variabel
Penelitian terdiri dari variabel bebas dan
variabel terikat. Variabel bebas adalah mutu
pelayanan, meliputi: pendaftaran, pelayanan
petugas, biaya perawatan, waktu perawatan,
dan kenyamanan ruangan. Variabel terikat
adalah kepuasan pasien. Alat ukur penelitian
adalah kuesioner yang telah dinyatakan valid
dan reliabel. Data dianalisis
dengan
menggunakan uji analisis regresi linier
tunggal dan Product Moment Pearson.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan mutu pelayanan di
RSGM Pendidikan dengan kepuasan pasien.

HASIL PENELITIAN
Tabel 1
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
dan Jenis Kelamin
KETERANGAN
17-26
27-36
UMUR (th)
37-46
47-56
57-66
JENIS
Laki-laki
KELAMIN
Perempuan

JUMLAH
287
46
34
6
11
142
242

(%)
74,74
11,98
8,85
1,56
2,87
36,98
63,02

Dari Tabel 1 diketahui bahwa usia


responden berkisar antara 17 hingga 66
tahun. Sebagian responden berusia diantara
17-26 tahun yakni sebesar 74,74 %.
Responden perempuan lebih banyak yakni
sebesar 63,02% daripada laki-laki sebanyak
36,98 %.
Tabel 2
Distribusi Jawaban Responden Terhadap
Kuesioner Variabel Pelayanan
JAWABAN RESPONDEN
Ya
Tidak tahu
Tidak
Jumlah

JUMLAH
171
182
31
384

(%)
44,53
47,40
8,07
100

Tabel 2 menunjukkan bahwa 47,4%


responden yang menyatakan tidak tahu akan
pelayanan yang mereka peroleh pada klinik
pendidikan RSGM FKG UNMAS Denpasar.
Sebanyak 44,53% responden memberikan
jawaban positif (ya) terhadap pelayanan
yang diterima sedang sisanya 8,07%
memberikan nilai negatif (tidak) terhadap
pelayanan.
Tabel 3
Distribusi Jawaban Responden Terhadap
Kuesioner Variabel Kepuasan
Pelayanan
JAWABAN
RESPONDEN
Puas
Kurang puas
Jumlah

JUMLAH

(%)

18
366
384

4,69
95,31
100

Tabel 3 menunjukkan bahwa hanya


4,69% responden yang menyatakan puas
dengan pelayanan yang diberikan oleh klinik
pendidikan RSGM FKG UNMAS Denpasar.
Hal ini disebabkan hampir seluruh
responden atau sebesar 95,31% yang

14

menyatakan tidak puas akan pelayanan yang


diberikan.
Tabel 4
Distribusi Responden Berdasarkan Kriteria
Pelayanan di RSGM FKG UNMAS
KRITERIA
BAIK
SEDANG
KURANG
TOTAL

JUMLAH
155
187
42
384

(%)
40,36%
48,70%
10,94%
100%

Tabel 4 menunjukkan bahwa 48,7%


responden yang menyatakan bahwa RSGM
pendidikan FKG UNMAS termasuk dalam
pelayanan dalam kriteria sedang; sedangkan
40,36% menyatakan termasuk dalam kriteria
baik. Sisanya 10,94% menyatakan termasuk
dalam pelayanan kriteria kurang.
Tabel 5
Hasil Uji Analisis Korelasi Pearson dan
Regresi Linier Tunggal Antara Variabel
Pelayanan Dengan Variabel Kepuasan
Pasien
Model
Pelayanan

R
.931a

R Square
.867

Beta
-79.829

Sig.
.000

Dari tabel di atas dapat diketahui


bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara pelayanan dengan kepuasan pasien (p
= 0,000). Variabel pelayanan memberikan
sumbangan pengaruh sebesar 86,7%
terhadap kepuasan pasien (R2 = 0,867).
Namun pelayanannya kurang memuaskan
pasien (B = -79,829), sedangkan sisanya
sebesar 13,3% dipengaruhi oleh faktor lain.

PEMBAHASAN
Hasil
penelitian
menunjukkan
terdapat hubungan yang bermakna antara
mutu pelayanan dengan kepuasan pasien.
Mutu pelayanan kurang memberikan
kepuasan pada pasien. Ketidakpuasan timbul
karena hasil tidak memenuhi harapan. Di
RSGM, pasien-pasien yang datang dirawat
dan dilayani oleh mahasiswa kepaniteraan.
Pada penelitian ini diketahui sebagian besar
responden menyatakan tidak tahu akan
pelayanan yang mereka peroleh (47,4%).
Besarnya standar
deviasi
pelayanan
(SD=11,56), dapat diketahui adanya gap
sebesar 40,7% antara pasien yang berpikir
positif dan yang berpikir negatif. Hal ini
disebabkan oleh karena sebagian besar

pasien yang berkunjung didatangkan dan


dipersiapkan
oleh
mahasiswa untuk
memenuhi target kepaniteraan mereka.
Pasien pasrah dan tidak memilih perawatan
yang dikehendaki, cenderung tidak peduli
dengan pelayanan yang diberikan. Karena
pasien kebanyakkan merupakan kerabat atau
kenalan mahasiswa itu sendiri, sehingga
mereka tidak banyak bertanya akan
perawatan yang mereka dapatkan. Hal di
atas menunjukkan bahwa pasien kurang
mendapat informasi yang seharusnya.
Dari jawaban responden diketahui
bahwa 95,31 % responden menyatakan
kurang puas akan pelayanan yang diberikan,
dengan kriteria pelayanan sedang. Hal ini
disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian
antara harapan dengan kenyataan yang
diterima oleh pasien. Kepuasan pelanggan
adalah respon pelanggan terhadap evaluasi
ketidaksesuaian yang dirasakan antara
harapan sebelumnya atau norma kinerja
lainnya dan kinerja aktual produk yang
dirasakan setelah pemakaian3. Beberapa hal
yang menyebabkan kurangpuasnya pasien
terhadap pelayanan, antara lain: 1) pada
aspek pendaftaran,
ternyata petugas
pendaftaran sulit ditemui karena sering
meninggalkan ruang kerjanya; 2) pelayanan
petugas,
pelayanan
dilakukan
oleh
mahasiswa kepaniteraan sehingga pasien
yang datang menganggap dirinya sebagai
kelinci percobaan, sedangkan dokter gigi
yang
ada
hanya
sebatas
sebagai
pembimbing; 3) biaya perawatan, pasien
menganggap dengan biaya perawatan yang
murah kualitas pelayanan yang diperolehnya
tidak memadai; 4) waktu perawatan, selama
perawatan, pasien menunggu karena
operator melakukan diskusi dengan dokter
pembimbing,
kadang hingga
pasien
kelelahan; 5) kenyamanan ruangan, ruang
tunggu yang tidak luas menyebabkan banyak
pasien yang menunggu sampai di luar
ruangan.
Aspek
komunikasi
memegang
peranan
penting
karena
pelayanan
kesehatan. Kemudahan prosedur, jaminan
kesehatan dan tarif yang murah juga
membuat pasien termotivasi untuk datang.
Penampilan fisik petugas, kualitas dokter,
kualitas perawat dan keramahan perawat,
juga sikap peduli yang ditunjukkan oleh
petugas kesehatan yang akan menyentuh
emosi pasien. Rujukan dan saran dari teman
atau keluarga, atasan maupun dokter
merupakan motivasi yang berasal dari luar.
Biasanya berasal dari cerita mulut ke mulut

15

oleh pelanggan yang merasa puas akan


pelayanan kesehatan diterimanya.5 Kepuasan
pelanggan merupakan aspek yang paling
menonjol dalam tingkat operasional
pelayanan kesehatan gigi dan mulut.
Kepuasan pasien adalah faktor terpenting
yang berdampak besar terhadap keberhasilan
suatu
pelayanan
kesehatan
dalam
meningkatkan kunjungan pasien. 1
Faktor faktor di atas seharusnya
bisa dijadikan acuan oleh pihak rumah sakit
untuk menarik pasien datang berobat dan
menjadi pelanggan. Pelanggan adalah orang
yang berkunjung dan mengharapkan jasa
untuk memperoleh hasil yang sesuai dengan
harapannya4. Kepuasan pasien selain
dipengaruhi oleh pelayanan yang diberikan,
juga ditentukan oleh pengalaman dan
pemikiran perorangan. Perlu upaya yang
jelas dari pihak rumah sakit untuk
memberikan pelayanan yang konsepsional
dan terpadu yang menjamin kepuasan
pasien4. Kepuasan pelanggan merupakan
aspek yang paling menonjol dalam tingkat
operasional pelayanan kesehatan gigi dan
mulut. Kepuasan pasien adalah faktor
terpenting yang berdampak besar terhadap
keberhasilan suatu pelayanan kesehatan
dalam meningkatkan kunjungan pasien 7.

pasien (p<0,05). Pelayanan yang ada kurang


memuaskan pasien. Mutu pelayanan
memberikan sumbangan pengaruh yang kuat
terhadap kepuasan pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.

5.
6.

7.

SIMPULAN

Ratminto, Winarsih AS. Manajemen


Pelayanan.
Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar; 2005.
Jasfar F. Manajemen Jasa. Bogor:
Ghalia Indonesia; 2005.
Tse & Wilton. Total Manajemen.
Jakarta: Erlangga; 1998.
Sabarguna. Pemasaran Rumah Sakit.
Konsorium Rumah Sakit Islam Jateng
Yogyakarta; 2004.
Sukaca. Perilaku Memilih Rumah Sakit.
(Tesis),
Yogyakarta:
Pascasarjana
Universitas Gajahmada; 2000.
Tjiptono.
Manajemen
Kesehatan,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama;
1998.
Astoeti. Kepuasan Pelanggan Sebagai
Tantangan Dokter Gigi di Indonesia
Dalam
Meningkatkan
Kualitas
Pelayanan Memasuki Era Milleniun
Ketiga, Majalah Ilmiah FKG USAKTI
1999. 4: 104-109.

,
Terdapat hubungan yang bermakna
antara mutu pelayanan dengan kepuasan

16

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Mahasaraswati Denpasar

PENGGUNAAN ALAT ORTODONSIA LEPASAN PADA FASE RETENSI


Norman Hidajah
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRAK
Fase retensi bertujuan untuk mempertahankan gigi-gigi dalam posisinya yang baru, baik secara
estetik maupun fungsional. Alat retensi sebaiknya didesain sederhana dan dapat menahan gigi untuk
beberapa waktu, agar jaringan periodontal dan tulang dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan letak
gigi. Pemakaian alat retensi sebaiknya tidak dihentikan seketika, tetapi dikurangi secara bertahap sampai
gigi yang menempati posisi baru telah stabil.
Kata kunci: fase retensi, alat ortodonsia lepasan, stabil
Korespondensi: Norman Hidajah, drg., Bagian Ortodonsia, Fakultas kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11 A, Telp/Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN
Perawatan Ortodontik terdiri dari fase
aktif dan fase pasif. Fase aktif merupakan
perawatan untuk menggerakkan gigi yang akan
dikoreksi letaknya, sedangkan fase pasif dalam
hubungannya dengan ortodonti bertujuan
mempertahankan gigi geligi pada posisi yang
telah memenuhi syarat estetik dan fungsional.1
Pada tahap akhir dari perawatan aktif yang telah
berhasil, struktur pendukung dari gigi-gigi masih
mengalami modifikasi aktif. Tulang akan
teresorbsi dan terdeposit pada soket, dan jaringan
pendukung gigi-gigi masih terpengaruh tekanan
dari perawatan aktif. Jika alat aktif seketika
dilepaskan pada tahap ini, akan terjadi relaps.2
Keadaan ini membutuhkan adanya fase retensi
dengan tujuan untuk mempertahankan gigi-gigi
dalam posisinya yang baru. Fase retensi bukan
merupakan masalah yang terpisah dalam
perawatan
ortodontik,
tetapi
merupakan
kelanjutan dari perawatan yang telah dilakukan.

FASE RETENSI
Perawatan
pasif
bertujuan
untuk
mempertahankan gigi-gigi yang telah digerakan
ke posisi yang baru baik secara estetik maupun
fungsional. Hal ini dilakukan karena gigi yang
telah digerakkan setelah perawatan aktif selesai
mempunyai tendensi untuk relaps. Kontraksi
struktur jaringan fibrous setelah pergerakan gigi

adalah reaksi jaringan yang normal, yang


mengakibatkan regangan pada daerah yang bebas
pada sisi yang mengalami tarikan setelah
pergerakan. Resorbsi tulang pada sisi tekanan
dapat
meningkatkan
kekuatan
yang
memungkinkan terjadinya relaps. Perlekatan
serabut transeptal gigi ke tulang, dari gigi ke gigi
atau dari gigi ke jaringan subepitel yang
menyebabkan
terjadinya
tarikan
setelah
pergerakan, apabila tidak mempu beradaptasi
akan menghasilkan kekuatan yang menyebabkan
relaps.3
Beberapa kriteria yang sebaiknya
dipenuhi agar suatu perawatan orthodontia siap
dilanjutkan dengan perawatan pasif adalah oklusi
dan relasi sentrik yang normal, hubungan cusp
klas I dengan kunci cusp yang normal, posisi
kaninus rahang bawah baik, sudut interincisal
mendekati normal, tumpang gigit dan tinggi gigit
anterior yang normal, lengkung atas dan bawah
yang baik, semua celah telah tertutup dan tidak
ada rotasi, apeks gigi di dekat daerah pencabutan
sejajar dan interdigitasi tonjol yang baik.3
Perencanaan penggunaan alat retensi
dibagi menjadi beberapa katagori, tergantung
dari jenis perawatan yang dilakukan yaitu Tanpa
alat retensi, meliputi gigitan silang yang telah
dikoreksi, gigi geligi yang mengalami perawatan
serial ekstraksi, koreksi yang dihasilkan oleh
pertumbuhan rahang atas yang terhambat (pasien
tidak mengalami periode pertumbuhan), gigi-gigi
rahang atas dan rahang bawah terhambat erupsi
(contoh impaksi pada gigi premolar kedua

17

rahang bawah dan kaninus pada rahang atas );


Retensi terbatas, meliputi kasus klas I Angle
nonekstraksi yang memiliki karakteristik protrusi
dan terdapat ruang antara incisivus rahang atas,
kasus klas I atau klas II Angle dengan
pencabutan, koreksi gigitan dalam, koreksi gigi
yang mengalami rotasi dan telah menempati
posisi normal, kasus gigi ektopik ataupun adanya
jumlah gigi berlebih dan koreksi maloklusi Klas
II divisi 2; Retensi permanen atau semi
permanen, meliputi perawatan ekspansi
terutama pada rahang bawah, kasus diastema
besar setelah penutupan ruang dan rotasi yang
sulit diperbaiki.1
Faktor yang juga mempengaruhi retensi
adalah penggunaan retainer dengan desain
sederhana, tekanan otot, dan kesehatan mulut.
Alat retensi tidak boleh memberikan tekanan
pada gigi sama seperti alat yang digunakan untuk
perawatan aktif. Alat retensi sebaiknya kaku,
dengan desain yang sederhana sehingga dapat
menahan gigi pada posisi baru setelah
digerakkan untuk beberapa waktu, agar jaringan
periodontal dan tulang menyesuaikan diri
terhadap perubahan letak gigi.4

LAMANYA PEMAKAIAN ALAT RETENSI


Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
lamanya masa pemakaian alat retensi adalah usia
pasien, macam oklusi, etiologi kelainan
maloklusi, kesehatan pasien, bentuk anatomi
gigi, hasil yang dicapai setelah perawatan aktif
selesai. Kebanyakan perawatan ortodontik
membutuhkan pemakai alat lepasan dengan
jangka waktu tertentu hingga tercapai
penyesuaian yang baik. Pemakaian alat retensi
sebaiknya tidak dihentikan seketika, tetapi
dikurangi secara bertahap sampai gigi yang
menempati posisi baru telah stabil hingga
dihentikan sama sekali, yaitu dengan urutan
pemakaian sepanjang hari, pemakaian setiap
malam saja dan pemakain satu atau dua kali
seminggu.

daerah palatal dan dapat mempertahankan hasil


ekspansi tersebut dalam waktu lama. Sifat
kekakuannya juga memudahkan operator ketika
mengurangi bagian-bagian tertentu untuk
menyesuaikan erupsi gigi posterior.6

Gambar 1
Hawley Retainer

Wraparaound Retainer
Wraparound retainer disebut juga clip on
retainer yang terdiri dari bar plastik di sepanjang
permukaan
labial
dan
lingual
gigi.
Keuntungannya yaitu tidak melintang pada
dataran oklusi sehingga hubungan antar cusp
molar dapat terjaga dengan baik, memberikan
retensi dari arah transversal dan sagital.
Kekurangan yaitu dari segi estetik dan
kenyamannya kurang baik dibandingkan dengan
Hawley retainer dan tidak efektif untuk retensi
setelah koreksi tumpang gigit.7

Essix Thermoplastic Copolyester Retainer


Merupakan alat retensi transparan, tipis
dan bersifat termoplastik. Keuntungannya adalah
nyaman, dapat diterima pasien dengan baik dan
fleksibel. Kekurangannya tidak dapat digunakan
sebagai retensi pada kasus pasca perawatan
ekspansi.8

MACAM - MACAM ALAT RETENSI


Hawley Retainer.
Desainnya terdiri dari cengkeram pada
gigi molar dan busur labial yang dibuat
mengikuti lengkung geligi dari gigi kaninus ke
kaninus dengan tambahan loop.5 Menurut
Theroux (2003), bentuknya yang kaku berguna
mempertahankan tempat setelah ekspansi pada

Gambar 2
Essix Thermoplastic Copolyester Retainer

18

menyebabkan rasa penuh pada mulut, kebersihan


mulut lebih terjamin, tidak menyebabkan
kesulitan bicara dan nyaman.9

Spring Retainer

All-Wire Retainer with Clip-on System

Gambar 3
Spring Retainer

Spring retainer merupakan kombinasi dari


Hawley retainer dan Positioner. Semula spring
retainer terbuat dari kawat stainless steel 0,28
inci yang dibentuk pada permukaan labial dan
lingual gigi, dan ditambahkan loop vertical pada
bagian distal kaninus. Akrilik dihubungkan
dengan kawat mengikuti dataran oklusal dan
kontur gingiva dari gigi. Kekurangannya adalah
rasa kaku pada mulut, sulit menelan dan sulit
bernafas. Hal tersebut menyebabkan desainnya
dimodifikasi dengan pemberian sayap akrilik di
sepanjang daerah lingual pada molar pertama
dan ditambahkan tumpuan pada daerah oklusal.
Sayap tersebut disambung dengan kawat
stainless steel. 8

Theroux Phase I Essix


Terdapat lapisan essix yang melewati gigi
incisivus pertama dan molar pertama berfungsi
sebagai retensi. Pada daerah palatal diberi dua
lapis essix yang cukup kaku dan dapat dikurangi
sesuai dengan erupsi gigi,. Dalam desainnya,
tidak ada cengkeram maupun busur labial yang
dapat menghalangi erupsi kaninus. Alat retensi
ini kuat dan dapat mempertahankan tempat
setelah
perawatan
ekspansi
palatal.
Kekurangannya tidak cukup kaku untuk
dilakukan pengurangan pada bagian palatalnya
dan mudah patah.6

Sarhan Retainer
Desain alat retensi ini hampir sama seperti
Hawley retainer yaitu terdapat busur labial yang
dihubungkan dengan cengkeram Adam, namun
alat retensi ini dibuat tanpa menggunakan plat
akrilik, menggunakan 0,9 mm kawat bulat untuk
kedua busur dan ditambahkan loop U kecil pada
busur labial. Tidak adanya plat akrilik pada alat
ini memberikan keuntungan yaitu tidak

Gambar 4
All-Wire Retainer with Clip-on System

SIMPULAN
Kebanyakan kasus-kasus yang dirawat
ortodontik membutuhkan pemakai alat lepasan
dengan jangka waktu tertentu hingga tercapai
penyesuaian yang baik. Pemakaian alat retensi
sebaiknya tidak dihentikan seketika, tetapi
dikurangi secara bertahap sampai gigi yang
menempati posisi baru telah stabil.

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

Graber TM. Current Orthodontic Concepts


and Technique. Ed. III vol 2. Philadelphia:
W.B. Saunders Co; 1985. p. 857896
Foster TD. A Textbook of Orthodontics.
Buku Ajar Ortodonsi, Lilian Yuwono
(penterjemah), Jakarta: EGC Penerbit Buku
Kedokteran, 1999: 181 83
Alexander RG. The Alexander Discipline:
Contemporary Concepts and Philosophies.
California; 1986: 431442
Adams CP, Kerr W, John S. The design,
Construction and Use of Removable
Orthodondic
Appliance,
London:

19

5.
6.

7.

8.

9.

Buttherworth-Heinemann Ltd., 1990: 150


151
Proffit WR. Contemporary Orthodontics.
Ed. 3. St. Louis: Mosby Co; 2000: 597-609.
Theroux KL. A New Vacuum Formed
Phase I retainer. J Clin Orthod 2002; 37:
348388
Echarri P. A Functional maxillary
Wrapround Retainer. J Clin Orthod 2004;
38 (2): 9699
Adenwalla ST, Attarzadeh F. The Bonded
Mandibular retainer. Br J Orthod.
1986;
13: 5963
Sarhan OA, Fones TE.
A Simple
Removable Acrylic-Free Retainer (The
Sarhan Type). Am J Orthod Dentohop 1993;
103(1): 74- 76

20

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Mahasaraswati Denpasar

PERSEPSI MASYARAKAT PENGUNJUNG KLINIK GIGI


PUSKESMAS KUTA UTARA TERHADAP
UPAYA PREVENTIF KARIES GIGI
TAHUN 2006
Ni Nyoman Dewi Supariani, Ni Wayan Arini, A.A.Gede Agung
Jurusan Kesehatan Gigi Politeknik Kesehatan Denpasar

Abstract
Dental caries is a dental di sease which can be prevented. This can be seen from the decreasing
number of dental caries cases in the developed conntries.In the effort to prevent the dental caries, the
cooperation between the health specialists and the patients are highly required. Dental caries prevention
must be performed continuonshy which can be done by training the patients on the dental caries prevention
at every visit. The recommended method should be the one whichh is easily done by the patients. From the
report of on the job training students of JKG Poltekkes Denpasar in 2004, it is found that the number of
people who request for preventive service is only 6 persons or 0,01 % of 1.117 visitors. From the intervieu
during persions rescarches with one of the dental nurses of Dental Health Centre of Puskesmas Kuta Utara,
it was reported that patients who visited the health centre werw those who were suffering from the aching
white those who came for preventive serices such as scalling were only those who were suggested and
given advice by the health specialists of the Puskesmas ( Public Health Centre )
Based on the statistical test of Spearmans Correlation, it is found that the significance was at o,942,
based on the Knowledge level, Significance of 0,275 based on the toothaeche experience, Significance of
0,832 based on the level of knowledge. This shows that there is no correlation between the perception and
the knowledge level, perception and the toothaeche experience, perception and the knowledge level.
The effarts which can be done for the people in Kuta Utara (North Kuta) in order to improve the
dental and oral diseases prevention is by regularly brushing of teeth based on the timing and rontine checks
up of teeth and mounth which should be once in 6 months in Health Centre or Dentist
Key word: Perception, preventif, dental caries

PENDAHULUAN
Upaya kesehatan gigi dan mulut di
puskesmas merupakan kesehatan gigi dasar
paripurna yang ditujukan kepada individu,
keluarga dan masyarakat di wilayah kerja
puskesmas
dengan
prioritas
masyarakat
berpengalaman rendah terutama masyarakat
yang rentan terhadap penyakit gigi dan mulut1.
Karies gigi merupakan penyakit yang dapat
dicegah, yang membutuhkan kerja sama antara
petugas kesehatan dengan pasien 2. Pencegahan
karies gigi harus dilakukan secara terus menerus,
dapat dilakukan dengan melatih pasien tentang
cara-cara mencegah karies gigi pada setiap kali
kunjungannya. Metode pencegahan yang
disarankan hendaknya metode yang mudah
dilakukan oleh pasien3. Pemanfaatan puskesmas
sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan
masih merupakan pilihan bagi masyarakat untuk
berobat, termasuk berobat gigi. Sebab puskesmas

merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan


termasuk pelayanan kesehatan gigi yang meliputi
tiga kegiatan yaitu: Kegiatan promotif, yang
bertujuan untuk meningkatkan pelihara diri diri
masyarakat dibidang kesehatan gigi dan mulut;
Kegiatan preventif,
yang bertujuan untuk
memberikan perlindungan khusus untuk
mrncegah terjadinya penyakit gigi; dan Kegiatan
kuratif, dengan tujuan memberikan pengobatan
untuk penyembuhan penyakit gigi dan mulut4.
Pasien yang datang ke klinik gigi Puskesmas
Kuta Utara sebagian besar adalah mereka yang
telah mengalami sakit, sedangkan pasien yang
datang untuk meminta pelayanan preventif
seperti membersihkan karang gigi, hanyalah
mereka yang telah diberikan saran dan
pengertian oleh tenaga kesehata gigi yang
bertugas.

21

pengetahuannya. Faktor pengalaman, proses


belajar atau sosialisasi memberikan bentuk dan
struktur terhadap apa yang dilihat. Pengetahuan
dan cakrawala memberikan arti terhadap objek
psikologik dan melalui komponen kognisi ini
akan timbul ide, kemudian konsep mengenai apa
yang dilihat9.

UPAYA PREVENTIF
Upaya preventif karies gigi merupakan
upaya pencegahan terjadinya karies gigi yang
dimulai dari pemeriksaan plak, menyikat gigi
sampai pada penggunaan fluor dan penambalan
pit dan fissure gigi5. Pencegahan karies pasca
erupsi gigi geligi dapat dilakukan dengan
beberapa cara meliputi Pengaturan diet, yaitu
dengan mengurangi frekuensi mengkonsumsi
makanan yang mengandung gula, karena
makanan tersebut merupakan salah satu
pendukung terjadinya karies; Plak kontrol yaitu
tindakan pencegahan terjadinya penumpukan
dental plak dan deposit-deposit lainnya pada
permukaan gigi dengan cara menyikat gigi yang
teratur; serta Penggunaan fluor, merupakan
metode yang paling efektif untuk mencegah
karies. Fluor dapat diberikan secara lokal
melalui fluoridasi air minum, garam dapur, air
susu dan tablet fluor. Sedangkan secara sistemik
melalui topikal aplikasi larutan fluor, kumurkumur dengan larutan fluor, menyikat gigi
dengan pasta gigi6.
Persepsi atau tanggapan adalah proses
mental yang terjadi pada diri manusia, yang akan
menunjukkan
bagaimana
kita
melihat,
mendengar, merasakan, memberi, serta meraba
disekitar kita7. Persepsi seseorang terhadap
keadaan sehat tidak sama, tergantung pada latar
belakang pendidikan dan budayanya8. Persepsi
merupakan proses pengamatan seseorang yang
berasal dari komponen kognisi, Kognisi adalah
pengetahuan, pendapat atau keyakinan. Faktorfaktor yang mempengaruhi persepsi adalah
pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan

METODE
Desain penelitian ini adalah cross
sectional. Tempat penelitian alah Puskesmas
Kuta Utara. Populasi penelitian adalah
masyarakat pengunjung kllinik gigi Puskesmas
Kuta utara pada Bulan Maret Tahun 2006
sebanyak 110 orang. Sampel penelitian adalah
menggunakan total populasi yaitu pasien yang
berkunjung ke klinik gigi pada Bulan Maret
Tahun 2006. Pengumpulan data dilakukan
melalui kuesioner yaitu dengan membagikan
angket yang daftar pertanyaan yang dijawab oleh
responden. Hasil penelitian dianalisis secara
univariat
berupa
frekuensi,
persentase.
Sedangkan untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan antara pendidikan, pengalaman sakit
gigi, pengetahuan terhadap persepsi seseorang
dipergunakan analisis statistik bivariat dengan
uji korelasi Spearman,s.

HASIL PENELITIAN
Tabel 1.
Distribusi Prekuensi Persepsi Masyarakat Pengunjung Klinik Gigi Puskesmas Kuta Utara Terhadap
Upaya Preventif Karies Gigi Berdasarkan Tingkat Pendidikan
TINGKAT PENDIDIKAN
SD
SMP
SMA
D/PT

NO

PERSEPSI

1
2
3

Baik
Cukup baik
Kurang baik

16
11
0

3
9
3

23
24
2

10
8
0

TOTAL
(%)
52 (47,27)
52 (47,27)
5 (4,54)

Tidak baik

1 (0.90)

Dari tabel 1 diatas dapat dijelaskan bahwa 23 orang (20,90 %) masyarakat pengunjung klinik gigi
berpendidikan SMA memiliki persepsi baik, 24 orang (21,81) cukup baik, terdapat satu orang (0,90 %)
berpendidikan D / PT memiliki persepsi tidak baik.

22

Tabel 2
Distribusi Prekuensi Persepsi Masyarakat Pengunjung Klinik Gigi Puskesmas Kuta Utara Terhadap
Upaya Preventif Karies Gigi Berdasarkan Pengalaman Sakit Gigi
NO

PERSEPSI

1
2
3
4

Baik
Cukup baik
Kurang baik
Tidak baik

PENGALAMAN SAKIT GIGI


Tidak pernah
1 kali
2 kali
3 kali
11
18
8
15
13
21
6
12
3
1
0
1
0
0
1
0

Dari tabel 2 dapat dijelaskan, paling


banyak masyarakat pengunjung klinik gigi
pengalaman sakit gigi 1 kali sebanyak 40 orang
(36.36 %), dengan persepsinya baik,cukup baik

TOTAL
(%)
52 (47.27)
52 (47.27)
1 (0.90)
1 (0.90)

dan kurang baik. Sedangkan 15 orang (13.63 %)


pengalaman sakit gigi 2 kali dengan persepsi
baik, cukup baik dan tidak baik.

Tabel 3
Distribusi Frekuensi Persepsi Masyarakat Pengunjung Klinik Gigi Puskesmas Kuta Utara Terhadap
Upaya Preventif Karies Gigi Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
NO

PERSEPSI

TINGKAT PENGETAHUAN
TINGGI
SEDANG
RENDAH
43
9
0

Baik

Cukup baik

42

3
4

Kurang baik
Tidak baik

4
1

1
0

0
0

Dari tabel 3
diatas terlihat bahwa,
sebanyak 90 orang (81.81 %) masyarakat
pengunjung klinik gigi dengan tingkat
pengetahuan tinggi memiliki persepsi baik,
cukup baik, kurang baik dan tidak baik. Terdapat
satu orang (0.90 %) dengan tingkat pengetahuan
rendah memiliki persepsi cukup baik.

HASIL ANALISA DATA


Dari tabel 1 di atas diketahui bahwa,
frekuensi persepsi masyarakat pengunjung
klinik gigi Puskesmas Kuta Utara pada Bulan
Maret Tahun 2006 terhadap upaya preventif
karies gigi berdasarkan tingkat pendidikan,
berpendidikan SD 27 orang (24.54 %) dengan
persepsi baik dan cukup baik. Berpendidikan
SMP 15 orang (13.63 %) dengan persepsi
baik,cukup baik dan kurang baik. Berpendidikan
SMA 49 orang (44.54 %) dengan persepsi baik,
cukup baik dan kurang baik. Berpendidikan
D/PT 19 orang (17.27 %) dengan persepsi
baik,cukup baik dan tidak baik.
Dari tabel 2 di atas diketahui bahwa,
frekuensi persepsi masyarakat pengunjung klinik
gigi Puskesmas Kuta Utara pada Bulan Maret

TOTAL
(%)
52
(47.27)
52
(47.27)
5 (4.54)
1 (0.90)

Tahun 2006 terhadap upaya preventif karies gigi


berdasarkan pengalaman sakit gigi, tidak pernah
sakit gigi 27 orang (24.54 %) dengan persepsi
baik, cukup baik dan kurang baik. Sakit gigi 1
kali 40 orang (36.36 %) dengan persepsi
baik,cukup baik dan kurang baik. Sakit gigi 2
kali 15 orang (13.63 %) dengan persepsi baik,
cukup baik dan tidak baik. Sakit gigi 3 kali 28
orang (25.45 %) dengan persepsi baik, cukup
baik dan kurang baik.
Dari tabel 3 di atas diketahui bahwa,
frekuensi persepsi masyarakat pengunjung klinik
gigi Puskesmas Kuta Utara pada Bulan Maret
Tahun 2006 terhadap upaya preventif karies gigi
berdasarkan tingkat pengetahuan, tingkat
pengetahuan tinggi 90 orang (81,81 %) dengan
persepsi baik, cukup baik. kurang baik dan tidak
baik, tingkat pengetahuan sedang 19 orang
(17.27 %) dengan persepsi baik, cukup baik dan
kurang baik. Tingkat pengetahuan rendah satu
orang (0.90 %) dengan persepsi cukup baik.

PEMBAHASAN
Dari hasil analisa data diketahui bahwa
jumlah masyarakat pengunjung klinik gigi

23

Puskesmas Kuta Utara pada Bulan Maret Tahun


2006 sebanyak 110 orang. Berdasarkan hasil uji
korelasi bivariat antara persepsi dengan
pendidikan masyarakat pengunjung klinik gigi
Puskesmas Kuta Utara pada Bulan Maret Tahun
2006 terhadap upaya preventif karies gigi dengan
menggunakan Korelasi Spearmens didapat nilai
signifikansi 0,942. Dalam penelitian ini
menunjukkan tidak ada hubungan antara
peresepsi dengan tingkat pendidikan. Mungkin
disebabkan oleh faktor budayanya. Persepsi
seseorang tidak sama tergantung pada latar
belakang pendidikan dan budayanya.
Berdasarkan hasil uji korelasi bivariat
antara persepsi dengan pengalaman sakit gigi
masyarakat pengunjung klinik gigi Puskesmas
Kuta Utara pada Bulan Maret Tahun 2006
terhadap upaya preventif karies gigi dengan
menggunakan Korelasi Spearmens didapat nilai
signifikansi 0,275. Dalam penelitian ini
pengalaman sakit gigi tidak ada hubungan
terhadap
persepsi
seseorang,
mungkin
disebabkan oleh faktor lingkungan. Persepsi
seseorang tidak sama tergantung lingkungan dan
budayanya.
Berdasarkan hasil uji korelasi bivariat
antara persepsi dengan tingkat pengetahuan
masyarakat pengunjung klinik gigi Puskesmas
Kuta Utara pada Bulan Maret Tahun 2006
terhadap upaya preventif karies gigi dengan
menggunakan Korelasi Spearmens didapat nilai
signifikansi 0,832. Dalam penelitian ini tingkat
pengetahuan tidak ada hubungan terhadap
persepsi seseorang , mungkin disebabkan oleh
faktor budaya dan lingkungan. Persepsi
seseorang tidak sama tergantung latar belakang
pendidikan dan budayanya.

bahwa pendidikan seseorang tidak berpengaruh


terhadap persepsi seseorang Persepsi masyarakat
pengunjung klinik gigi Puskesmas Kuta Utara
terhadap upaya preventif karies gigi berdasarkan
pengalaman sakit gigi, bahwa pengalaman sakit
gigi tidak berpengaruh terhadap persepsi
seseorang. Persepsi masyarakat pengunjung
klinik gigi Puskesmas Kuta Utara terhadap upaya
preventif karies gigi berdasarkan tingkat
pengetahuan, bahwa tingkat pengetahuan
seseorang tidak berpengaruh terhadap persepsi
seseorang. Upaya yang dilakukan untuk
masyarakat supaya terus meningkatkan upaya
pencegahan penyakit gigi dan mulutnya, dengan
rajin menggosok gigi sesuai dengan waktu dan
secara rutin memeriksakan gigi dan mulutnya
minimal enam bulan sekali ke Puskesmas atau ke
dokter Gigi

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.

3.

4.
5.

6.
7.

SIMPULAN DAN SARAN


Hasil analisa data menunjukkan bahwa
persepsi masyarakat pengunjung klinik gigi
Puskesmas Kuta Utara terhadap upaya preventif
karies gigi berdasarkan tingkat pendidikan,

8.

9.

Depkes RI. Pedoman Kerja Puskesmas. Jilid


IV. Jakarta: Depkes RI, 1990.
Kidd ,EAM, Joyston-Bechal S. DasarDasar
Karies,
Penyakit
dan
Penanggulangannya., Jakarta: EGC, 1992.
Forrest JO. Pencegahan Penyakit Mulut,
Lilian Yuwono (penterjemah), Jakarta:
Hipocrates, 1995.
Depkes RI. Indonesia Sehat 2010. Jakarta:
Depkes RI, 1990.
Depkes RI. Tata Cara Kerja Pelayanan
Asuhan Kesehatan Gigi Dan Mulut.
Jakarta: Depkes RI, 1995.
Tarigan R. Karies Gigi. Jakarta: Hipocrates,
1987.
Widayatun TR. Ilmu Prilaku. Jakarta: CV
Info Medika, 1999.
Depkes RI. Pola Peningkatan Peran Serta
Masyarakat
dalam
Pembangunan
Kesehatan. Jakarta: Hipocrates, 1988.
Marat. Sikap Manusia Perubahan Serta
Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1981.

24

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Mahasaraswati Denpasar

OROANTRAL FISTULA
Hendri Poernomo
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRAK
Salah satu komplikasi yang sering terjadi pada pencabutan gigi rahang atas khususnya gigigigi molar dan premolar adalah terjadinya oroantral fistula. Penulisan ini bertujuan untuk
menjelaskan mengenai oroantral fistula sebagai salah satu komplikasi pencabutan dan
perawatannya. Oroantral fistula adalah lubang antara prosesus alveolaris dan sinus maksilaris yang
tidak mengalami penutupan dan mengalami epitelisasi. Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh
karena adanya oroantral fistula adalah infeksi pada antrum dan adanya sinusitis maksilaris.
Perawatan yang dapat dilakukan adalah menghilangkan infeksi dan melakukan penutupan
oroantral fistula dengan pembukaan flap. Ada beberapa metode yang dapat dipilih diantaranya
adalah kombinasi jaringan bukal dan palatal, teknik flap bukal, teknik flap palatal dan teknik gold
plate.
Kata kunci : komplikasi pencabutan, oroantral fistula, perawatan oroantral fistula
Korespondensi : Hendri Poernomo, drg., Bagian Bedah Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361) 7424079, Fax.
(0361) 261278

PENDAHULUAN
Setiap tindakan dan perawatan yang
dilakukan
di rongga
mulut dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi, salah
satunya adalah terjadinya oroantral fistula.
Oroantral fistula terjadi karena adanya
hubungan patologis antara rongga mulut
dengan antrum akibat pencabutan gigi di
rahang atas khususnya gigi-gigi molar dan
premolar disamping oleh karena faktorfaktor lainnya. Hubungan atau lubang dapat
terbentuk setelah pembedahan, akibat
trauma pada sinus, dan jarang sekali
disebabkan oleh cacat perkembangan atau
oleh karena infeksi 1. Secara umum, tulang
dasar antrum mempunyai ukuran yang relatif
tebal. Ketebalan yang dimaksud adalah jarak
antara permukaan dasar antrum dengan
ujung akar gigi posterior rahang atas. Pada
beberapa kasus dijumpai dinding dasar
antrum yang sangat tipis sehingga tidak ada
batas dengan ujung akar gigi 2.
Tidak semua jalan masuk atau lubang
ke arah antrum menyebabkan timbulnya
fistula. Terbentuknya
fistula setelah
penembusan sinus, apapun penyebabnya
mempunyai persentase yang kecil. Fistula
lebih mungkin terbentuk bila lubang yang
terjadi lebih besar dari 3--4 mm, dan

melibatkan dasar antrum, adanya sinusitis,


serta bila perawatan yang dilakukan tidak
memadai. Pembukaaan atau lubang ke arah
rongga mulut sering mengalami keradangan
dan terbentuknya jaringan ikat atau jaringan
granulasi. Pasien mengeluhkan adanya
perpindahan cairan dari rongga mulut dan
hidung atau sebaliknya 1. Sangat diperlukan
adanya pemeriksaan setelah dilakukan
tindakan ekstraksi atau pencabutan terutama
pada gigi-gigi posterior rahang atas untuk
mendeteksi apakah terjadi suatu pembukaan
antrum sehingga dapat dilakukan perawatan
dengan cepat dan benar dan komplikasi yang
lebih parah dapat dihindari 2.

DEFINISI
Secara anatomis, oral dan antrum
adalah dua bagian yang dekat tapi terpisah
satu dengan yang lainnya. Antrum berbentuk
ruangan kosong yang terletak dibawah orbita
kiri dan kanan. Bagian medial dari antrum
dibatasi oleh dinding lateral dari rongga
hidung dan bagian dasar dibatasi oleh tulang
alveol rahang atas yaitu tempat dimana gigigigi berada 2.
Oroantral fistula adalah lubang antara
prosesus alveolaris dan sinus maksilaris,

25

yang tidak mengalami penutupan dan


mengalami epitelisasi 1. Oroantral fistula
adalah suatu keadaan terjadinya hubungan
antara oral dan antrum disertai dengan
infeksi, menambahkan bahwa oroantral
fistula biasanya terletak antara antrum
dengan vestibule 2,6.

TANDA DAN GEJALA KLINIS


Tanda dan gejala klinis yang tampak
dari oroantral fistula adalah adanya
pembukaan atau lubang antara antrum
dengan rongga mulut. Lubang yang
terbentuk sering mengalami infeksi, adanya
pembentukan jaringan ikat atau jaringan
granulasi yang meninggi dan sering terjadi
drainase mukopurulen.1 Pasien tidak
mengeluh adanya rasa sakit, kecuali terjadi
infeksi akut pada sinus. Pada saat minun
ataupun kumur-kumur pasien mengeluhkan
adanya cairan yang keluar dari hidung2.
Oroantral fistula juga dapat diketahui
dengan melakukan tes tiup atau nose
blowing dengan cara meminta pasien
meniup dengan hidung tertutup dan mulut
terbuka. Pada keadaan telah terjadi oroantral
fistula, akan terdengar hembusan udara
melalui daerah yang mengalami kerusakan,
dan pada soket gigi akan terlihat suatu
gelembung udara seperti busa 3.
Oroantral fistula yang disertai
terjadinya infeksi pada sinus berupa sinusitis
maksilaris dapat digambarkan sebagai sakit
unilateral, sumbernya tidak jelas, meliputi
satu atau beberapa gigi pada daerah
posterior maksila yang terkena. Gejala
klinisnya meliputi terdapatnya eksudat
mukopurulen dari nasal atau Faring yang
sangat bau, sensitivitas sinus terhadap
penekanan, kulit pada sisi yang terkena
tampak memerah, gigi vital sensitif terhadap
perkusi, terdapat gigi non vital terutama
pada gigi premolar dan molar rahang atas,
terdapat hubungan antara rongga mulut
dengan sinus maksilaris, serta pembentukan
abses vestibulum atau palatal. Vestibulum
daerah gigi molar atau premolar rahang atas
terasa sakit pada palpasi dan perkusi serta
tampak eritematus pembengkakan yang
difus4.

GAMBARAN RONTGENOLOGIS
Pada
pemeriksaan
radiografi
periapikal, oklusal dan panoramik dapat

terlihat hubungan gigi dengan sinus, lokasi


benda asing dalam sinus, seperti gigi, akar
gigi, atau fragmen tulang yang terdorong
masuk karena trauma atau selama
pencabutan gigi. Penggunaan foto periapikal
memperlihatkan adanya saluran antara
antrum dengan rongga mulut.
Infeksi sinus berupa
sinusitis
maksilaris, pada pemeriksaan Radiografi
memberikan gambaran sebagai berikut:
sinusitis maksilaris akut memperlihatkan
penebalan mukosa sinus yang sering
digantikan
oleh
opasifikasi
karena
meningkatnya pembengkakan mukosa atau
adanya timbunan cairan didalam sinus atau
keduanya.
Gambaran
umum berupa
pengkabutan dan peningkatan kepadatan
pada rongga sinus. Pada sinusitis akut,
tampak gambaran yang khas berupa garis
batas cairan-udara (air fluid level).
Gambaran radiografis sinusitis maksilaris
kronis berupa penebalan mukosa sinus dan
polip hidung atau polip antrum. Osifikasi
penuh rongga sinus menandakan bahwa
rongga sinus telah terisi penuh dengan
jaringan hiperplastik, sekret, polip, atau
kombinasi diantaranya. Garis batas cairanudara juga dapat terlihat pada sinusitis
maksilaris kronis eksaserbasi akut 4.

PENCEGAHAN
Secara umum, tindakan yang dapat
dilakukan untuk mencegah agar tidak
terjadinya
oroantral
fistula
adalah
melakukan rontgen foto terlebih dahulu
sebelum pencabutan gigi dilakukan untuk
mengetahui posisi dari gigi yang akan
dicabut khususnya akar-akar gigi posterior
rahang atas yang letaknya dekat dengan
antrum dan untuk mengetahui ada atau
tidaknya penyakit periapikal pada jaringan
disekitar ujung akar gigi. Pengontrolan
terhadap tekanan yang diberikan pada
instrumen dan tindakan yang selalu berhatihati dalam setiap tindakan pencabutan gigi
mutlak harus dilakukan sehingga terjadinya
oroantral fistula dapat dihindari 2 .

PERAWATAN
Terdapat sejumlah metode yang dapat
dilakukan untuk penutupan oroantral fistula.
Pemilihan metode dibuat berdasarkan cara
yang telah dilakukan dalam setiap kasus

26

tertentu, dengan mengobservasi prinsip


dasar pembedahan yang diperlukan 5.
Kecurigaan
telah
terjadinya
pembukaan pada antrum, dapat dipastikan
dengan melakukan tes tiup atau nose
blowing. Tes tiup yang tidak memberikan
hasil positif, perlu untuk melewatkan
instrumen atau suatu silver probe ke dalam
antrum yang baru terbuka dan tidak perlu
untuk menyemprotkan cairan kedalam sinus
untuk menegakkan diagnosa karena dapat
meningkatkan resiko terjadinya kontaminasi
mikroorganisme rongga mulut pada antrum.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
oroantral fistula yang bertahan lama adalah
derajat kerusakan tulang dan adanya infeksi
pada antrum maksila dan perawatannya
harus
memperhitungkan
faktor-faktor
tersebut 3.
Daerah kerusakan dan adanya suatu
oroantral fistula dapat dilakukan dengan
pembukaan flap. Dalam menentukan desain
flap, perlu dipertimbangkan agar suplai
darah tetap memadai untuk menghindari
terjadinya nekrosis dan hilangnya jaringan
oleh karena hilangnya sirkulasi darah yang
sempurna. Flap harus bebas dari semua
pelekatan periosteal agar dapat berotasi atau
berubah letak untuk menutupi kerusakan
yang terjadi tanpa membuat tekanan pada
jaringan. Flap harus di desain agar garis
sutura tidak diletakkan di daerah perforasi
dan semua margin yang diperlukan dapat
diperoleh dan dipertahankan dengan cara
penjahitan 5.
Terdapat beberapa prosedur yang
disarankan untuk menutup oroantral fistula
yang terjadi, diantaranya adalah:

Kombinasi Jaringan
Bukal Dan Palatal

Mukoperiosteum

Merupakan prosedur sederhana yang


dapat memberikan hasil yang baik bagi
penutupan daerah sinus yang secara tidak
sengaja terbuka dengan luas. Prosedurnya
adalah 7 : Mukoperiosteum diangkat pada
sisi bukal dan palatal, dan selanjutnya
dilakukan pengurangan tinggi tulang
alveolar pada daerah yang paling banyak
terjadi pembukaan sinus; Daerah pinggir
jaringan lunak yang berbatasan diinsisi dan
dibuat sedemikian rupa agar permukaan
yang kasar tersebut dapat berkontak antara
satu sama lain.
Dilakukan penjahitan tanpa tekanan. Daerah
tepi jaringan lunak disatukan dengan

menggunakan jahitan mattress yaitu jahitan


yang menyatukan jaringan yang lebih dalam
sehingga mengurangi tegangan pada ujung
luka, kemudian jahitan tersebut diperkuat
dengan penjahitan ganda, dan penjahitan
interrupted yaitu jahitan yang terpisah
sepanjang luka dengan menggunakan
benang sutra hitam ukuran 3-0. Jenis bahan
sutra hitam lebih disukai berdasarkan jenis
penyerapannya, misalnya : catgut, oleh
karena dapat menghindari terlepasnya
jahitan
yang
terlalu
cepat,
yang
kemungkinan
dapat
mengurangi
keberhasilan dari penutupan yang dilakukan.
Selanjutnya benang tersebut dibiarkan pada
tempatnya 5 sampai 7 hari. Diberikan resep
tetes hidung untuk mengkerutkan mukosa
hidung dan agar dapat terjadi drainase.
Prosedur di atas dapat digambarkan dalam
dua kasus seperti, gambar 1 dan gambar 2 :

C
Gambar 1
Penutupan Sinus Yang Terbuka Secara
Tidak Sengaja Pada Rahang Yang
Bergigi
Keterangan gambar :
A. Dilakukan insisi disekeliling gigi dan
melewati daerah yang mengalami
pembukaan. Dilakukan insisi pada
palatum, dengan menghindari arteri
palatinus. Dinding alveolar bukal dan
palatal dikurangi dengan menggunakan
rongeur.
B. Tepi mukosa pada ridge dibuat supaya
segar dan flapnya diangkat
C. Flap tersebut dijahit. Tujuan utamanya
adalah supaya terjadi penyembuhan.
Luka pada palatal dibiarkan terbuka

27

jika tidak dapat dilakukan dengan benar,


tidak akan didapatkan pemanjangan flap
didaerah kerusakan yang terbuka. Flap
diperpanjang dan dijahit pada daerah palatal
yang di de-epitelisasi (gambar 3). Penjahitan
harus dilakukan dengan hati-hati untuk
memberikan dukungan yang maksimal pada
flap, dan harus biarkan pada tempatnya
selama 7 hingga 10 hari. Penggunaan
antibiotik dan dekongestan diindikasikan
setelah melakukan prosedur seperti di atas
untuk mempertahankan kesehatan antrum
dengan mencegah infeksi dan memberikan
drainase fisiologis melalui ostium sinus yang
sebenarnya.

Gambar 2
Penutupan Sinus Yang Mengalami
Pembukaan Yang Lebar Secara Tidak
Sengaja Pada Daerah Yang Tidak Bergigi
(Kehilangan Tuberositas Maksilaris)
A
Keterangan gambar :
a. Sinus yang terbuka setelah pencabutan.
b. Dilakukan pengurangan pada dinding
bukal dan palatal agar terjadi adaptasi
flap jaringan lunak bukal dan palatal.
Flap jaringan lunak dibentuk secara
konservatif agar membentuk suatu
garis.
c. Flap dijahit.

Teknik Flap Bukal


Flap bukal merupakan prosedur yang
sederhana. Flap bukal dapat dengan mudah
dikombinasikan dengan prosedur caldwellluc yang digunakan sebagai jalan masuk ke
sinus
maksilaris
bila
diindikasikan.
Prosedurnya sebagai berikut8: Jaringan yang
membentuk lingkaran perifer dari fistula
dieksisi dan sisa jaringan mukosa palatal di
de-epitelisasi
untuk
memberikan
vaskularisasi yang baik pada daerah yang
mengalami
kerusakan
agar
dapat
memperlebar flap dan memudahkan
penjahitan. Insisi yang divergen atau
melebar melalui mukoperiosteum dibuat
pada pembukaan oroantral ke superior
sampai pada mukobukal fold, dan insisi dari
flap ini diangkat untuk pembukaan alveolus
lateral dibawahnya. Periosteum di insisi
secara horisontal setinggi vestibulum.
Melalui insisi periosteal ini dilakukan
pengurangan
ketebalan
untuk
memperpanjang dan mengendorkan flap,

E
Gambar 3
Teknik Flap Bukal
Keterangan Gambar
A. Eksisi lingkaran perifer jaringan lunak
oroantral fistula
B. De-epitelisasi mukosa palatal untuk
memberikan daerah pada flap; insisi
divergen
pada
tulang
melalui
pembukaan untuk ketinggian dari sulkus
bukal.
C. Pembukaan flap mukoperiosteal; insisi
horisontal dari periosteum dengan
pengurangan untuk pengendoran dari
flap.

28

D. dan E. adalah pemanjangan dan


penjahitan flap melewati mukosa palatal
yang di de-epitelisasi.
Kelebihan prosedur flap bukal adalah
mudah dimobilisasi, keterampilan yang
minimum dan waktu yang dibutuhkan lebih
singkat 3. Kekurangannya adalah penyatuan
jaringan pada flap bukal buruk sehingga
disarankan untuk penutupan hubungan
oroantral yang kecil 6.

Teknik Flap Palatal


Prosedur yang dilakukan adalah
dengan melibatkan insisi dan pengambilan
flap mukoperiosteal dan dijahit pada
jaringan de-epitelisasi yang sudah disiapkan
(gambar 4). Perlu diberikan perhatian yang
lebih terhadap desain flap agar dapat terjadi
rotasi dan
posisi
yang
benar.
Bagaimanapun, flap palatal yang didesain
dengan baik adalah tebal dan memiliki
suplai darah yang sempurna yang diperlukan
untuk penyembuhan. Prosedur tersebut
mengakibatkan terbukanya tulang palatal
dimana perlu dilakukan dressing sampai
terbentuknya jaringan granulasi 8 .
Tulang yang terbuka akibat kerusakan
pada palatal dapat ditutup dengan
menggunakan pack, terdiri dari white heads
varnish dan diletakkan pada posisinya
dengan menggunakan benang bedah yang
dimasukkan
kedalam
margin
mukoperiosteum yang tidak bergerak.
Tujuannya adalah agar benang yang melalui
flap tersebut dapat menariknya dari
posisinya yang baru menuju ke daerah
donor. Oleh karena itu, benang tersebut
hanya
boleh
dimasukan
pada
mukoperiosteum yang tidak bergerak.
Metode apapun yang dilakukan untuk
menutupi kerusakan tulang tersebut,
selanjutnya haruslah diberikan dukungan
tambahan untuk proses penyembuhan
dengan
menutupi
daerah
tersebut
menggunakan basis akrilik dari gigi tiruan,
shellac base-plate, lapisan gutta-percha
hitam yang tipis atau campurannya, ataupun
daerah luarnya dapat ditutupi dengan
gulungan kapas berisi zinc oxide dan pasta
minyak cengkeh. Penutupan dilakukan
dengan mengikatnya pada gigi yang
bersebelahan jika ada ataupun dengan dijahit
pada gusi pada daerah yang tidak bergigi 3.

Gambar 4
Teknik Flap Palatal
Keterangan Gambar:
A. Eksisi lingkaran jaringan lunak
pada oroantral fistula
B. Desain
flap
palatal
dengan
ketebalan penuh mengikutsertakan
arteri palatine dalam flap sehingga
dapat ikut terotasi: de-epitelisasi
dari mukosa alveolar.
C. Pemutaran dan penjahitan dari
flap.(Steiner dan Thomson)
Kelebihan teknik flap palatal adalah
lebih mudah dibentuk untuk menutup
kerusakan yang terjadi oleh karena mukosa
palatal lebih tebal dan lebih padat serta
penyatuan dari flap palatal lebih baik
sehingga flap palatal lebih dipilih untuk
fistula yang kambuh dan lebih besar.
Kekurangannya
adalah
prosedur
pembedahannya lebih sulit 3,6.

Teknik Gold Plate


Prosedur
penutupan
oroantral
fistula dengan teknik gold plate dapat
dilakukan dengan cara 8: Eksisi lingkaran
perifer fistula; Insisi dan pengambilan flap
mukoperiosteal bukal dan palatal agar semua
kerusakan
tulang
dapat
terlihat;
Menggunakan plat emas 24 karat, ukuran 36
gauge untuk menutup keseluruhan daerah
yang
mengalami
kerusakan.
Plat
dipersiapkan dengan hati-hati agar dapat
beradaptasi dengan margin tulang yang
mengalami kerusakan; Flap jaringan lunak
direposisi dan dijahit. Setelah beberapa
minggu jaringan lunaknya diretraksi, dan
plat emas yang diletakkan sebelumnya
menjadi kendor. Plat tersebut kemudian
diambil untuk menunjukkan jaringan
dibawahnya, yang telah berproliferasi dan
menutup daerah yang mengalami kerusakan.
Epitel
rongga
mulut akan
segera
berproliferasi untuk menutup jaringan yang
baru terbentuk di bawahnya.

29

Terlepas dari teknik penutupan yang


digunakan, keberhasilan penutupan oroantral
fistula tergantung pada pengontrolan infeksi
sinus, pengambilan jaringan sinus yang
berpenyakit dan drainase nasal yang
memadai. Infeksi sinus harus dikontrol
sebelum pembedahan melalui pemberian
antibiotik spektrum luas, dekongestan dan
tetes hidung 4. Aliran antara oroantral dapat
dihindari dengan pembuatan basis akrilik
yang sesuai yang dapat menutupi kerusakan
yang terjadi tanpa masuk kedalamnya 3.
Jaringan sinus yang berpenyakit seperti
adanya polip dihilangkan melalui prosedur
Caldwell-Luc dan drainase dilakukan
melalui pembuatan jendela nasoantral pada
meatus nasalis inferior 1 .

KEGAGALAN PERAWATAN
Penyebab kegagalan dari penutupan
oroantral fistula dapat sebabkan oleh 7:
Eliminasi atau pembuangan yang tidak
menyeluruh dari seluruh infeksi yang
terdapat didalam rongga antrum sebelum
penutupan
oroantral
fistula.
Infeksi
dihilangkan dengan melakukan pembersihan
rongga sinus atau pemberian antibiotik yang
telah dibuktikan secara efektif melawan
adanya bakteri; Pasien dengan kondisi fisik
umum yang tidak mendapatkan penanganan
dan perawatan yang cukup seperti adanya
penyakit diabetes, sifilis, dan tuberkulosis.
Penyakit-penyakit
tersebut
dapat
memberikan pengaruh merugikan bagi
kesembuhan yang normal dari luka; Flap
yang ditempatkan diatas pembukaan dengan
ketegangan jaringan yang terlalu besar,
kegagalan penyediaan suatu permukaan
segar pada sisi resipien dari flap.

SIMPULAN
Salah satu komplikasi yang sering
terjadi pada tindakan pencabutan gigi
posterior rahang atas terutama pada gigi-gigi
molar dan premolar adalah terjadinya
penembusan sinus oleh karena letak dasar
antrum yang dekat dengan akar-akar gigi
tersebut. Hubungan patologis yang terbentuk
antara rongga mulut dengan sinus maksilaris
tersebut dikenal dengan oroantral fistula.
Fistula yang berukuran kecil setelah
pencabutan, cenderung sembuh secara
spontan karena terjadinya pembentukan
bekuan darah yang mampu menutup fistula

yang terjadi. fistula yang berukuran lebih


besar dari 3-4 mm biasanya jarang sembuh
spontan. Pasien dengan oroantral fistula
biasanya mengeluhkan adanya cairan yang
keluar dari hidung setelah minum atau
kumur-kumur dan pada tes tiup atau nose
blowing yang dilakukan, dengan meminta
pasien meniup dengan hidung tertutup dan
mulut terbuka, akan terdengar hembusan
udara yang keluar melalui daerah yang
mengalami kerusakan dan pada soket gigi
akan terlihat suatu gelembung udara seperti
busa. Oroantral fistula yang bertahan lama
dan tidak segera dirawat menyebabkan
traktus akan mengalami epitelisasi, daerah
rongga mulut seringkali mengalami
proliferasi jaringan granulasi atau jaringan
ikat dan bila terus berlanjut dapat
menyebabkan
terjadinya infeksi dan
dipercepat bila gigi yang dicabut mengalami
infeksi periapikal. Perawatan yang tidak
dilakukan dengan benar, infeksi dapat
menyebar ke daerah sinus melalui lubang
oroantral sehingga dapat menyebakan
terjadinya sinusitis maksilaris.
Ada beberapa perawatan yang dapat
dipilih untuk dilakukan dalam penutupan
oroantral fistula. Adapun beberapa prosedur
penutupan tersebut adalah : Kombinasi
jaringan mukoperiosteum bukal dan palatal,
Teknik flap bukal., Teknik flap palatal dan
Teknik gold plate. Kelebihan prosedur flap
bukal
adalah
mudah
dimobilisasi,
ketrampilan yang minimum dan waktu yang
dibutuhkan lebih singkat. Sedangkan
kekurangannya adalah penyatuan jaringan
buruk sehingga disarankan untuk penutupan
hubungan oroantral yang kecil. Keuntungan
tehnik flap palatal adalah lebih mudah
dibentuk untuk menutup kerusakan yang
terjadi oleh karena mukosa palatal lebih
tebal dan lebih padat serta penyatuan dari
flap palatal lebih baik sehingga flap palatal
dipilih untuk fistula yang kambuh dan lebih
besar,sedangkan kekurangannya adalah
prosedur pembedahan yang lebih sulit.
Keberhasilan penutupan oroantral
fistula tergantung pada pengontrolan infeksi
sinus, pengambilan jaringan sinus yang
berpenyakit dan drainase nasal yang
memadai. Infeksi sinus harus dikontrol
sebelum pembedahan melalui pemberian
antibiotik spektrum luas, dekongestan dan
tetes hidung.

30

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.
6.

7.

8.

Pedersen. Oral Surgery. Buku Ajar


Praktis Bedah Mulut, Purwanto dan
Basoeseno (penterjemah), Jakarta: EGC
Penerbit Buku Kedokteran, 1988.
Surjanto. Problem dan penanganan
oroantral fistula. Jurnal Kedokteran
Gigi 2000, FKG Universitas Airlangga,
33(2): 68-71.
Howe. Pencabutan Gigi Geligi. ed. 2,
Budiman
dan
Lilian
Yuwono
(penterjemah), Jakarta: EGC Pernerbit
Buku Kedokteran, 1993.
Syamsudin
dan
Karasutisna.
Penatalaksanaan sinus maksilaris yang
bersumber dari gigi. Jurnal Kedokteran
Gigi
2003,
FKG
Universitas
Padjadjaran, 15(3): 254-259.
McCarthy. Emergencies in Dental
Practice, Philadelphia & London:
Saunders Co., 1967,
Yilmaz, Suslu and Gursel. Treatment of
oroantral fistula: experience with 27
cases.
American
Journal
of
Otolaryngology 2003, 24(4): 221-223.
Kruger. Oral and Maxillofacial
Surgery. ed. 6, Toronto: Mosby Co.,
1984.
Steiner and Thomson. Oral Surgery and
Anesthesia. Philadelphia: Saunders Co.,
1977.

31

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Mahasaraswati Denpasar

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PERAWAT DALAM


MELAKSANAKAN ASUHAN KEPERAWATAN DI RSGM FKG UNMAS
DENPASAR
Panji Triadnya P., Yudha Rahina dan Putri Krisnayanti
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRAK
Asuhan keperawatan pada rumah sakit merupakan bentuk pelayanan profesional yang diberikan
kepada pasien sebagai bagian integral pelayanan kesehatan di rumah sakit. Untuk meningkatkan mutu
pelayanan asuhan keperawatan, seorang perawat harus mempunyai kinerja yang bagus dan baik. Pada
pelaksanaan proses asuhan keperawatan masih terdapat kendala, karena perawat belum memahami
pentingnya bekerja secara profesional sebagai tim kerja, sehingga mereka bekerja sendiri dan akhirnya
pelayanan asuhan keperawatan menjadi tidak efektif dan kurang bermutu. Rendahnya kinerja perawat telah
menjadi issue public dikalangan RSGM-FKG UNMAS Denpasar. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan di
RSGM-FKG UNMAS Denpasar. Metode penelitian yang digunakan adalah evaluative research yaitu
mengukur, menilai variabel dengan indikator standar. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor
yang mempengaruhi kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan di RSGM-FKG UNMAS
Denpasar adalah tidak termotivasinya perawat dalam bekerja, beban kerja yang dilakukan ringan dan
kejenuhan perawat saat bekerja sedang.
Kata kunci : asuhan keperawatan, kinerja perawat
Korespondensi : Nym. Panji Triadnya P., drg., M.Kes., Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati Denpasar, Jln. Kamboja 11a Denpasar, Telp. (0361) 7424079, (0361) 261278

PENDAHULUAN
Rumah sakit sebagai bagian integral sistem
pelayanan kesehatan harus dapat memberikan
pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
masyarakat. Untuk itu diperlukan upaya untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dengan
cara peningkatan sumber daya pelaksana rumah
sakit. Sumber daya manusia adalah sumber daya
yang terpenting sebagai motor penggerak
berlangsungnya proses manajemen.
Asuhan keperawatan pada rumah sakit
merupakan bentuk pelayanan profesional yang
diberikan kepada pasien sebagai bagian integral
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Asuhan
keperawatan juga sebagai faktor penentu dalam
keberhasilan suatu rumah sakit, jika penataan
sistemnya serta pengelolaannya dilakukan secara
profesional. Asuhan keperawatan adalah suatu
bentuk pelayanan profesional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan yang
didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan1.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan asuhan
keperawatan, seorang perawat harus mempunyai
kinerja yang bagus dan baik. Kinerja merupakan
proses yang dilakukan dan hasil yang dicapai

oleh suatu organisasi dalam memberikan jasa atau


produk kepada pelanggan. Menurut Rivai, dkk
(2000), faktor yang berpengaruh terhadap
rendahnya kinerja perawat adalah faktor internal
perawat dan faktor eksternal perawat. 1 Faktor
internal perawat meliputi motivasi dan kejenuhan
bekerja; sedangkan faktor eksternal perawat
meliputi beban kerja. Untuk menghasilkan kinerja
yang bagus, seorang perawat harus mempunyai
motivasi dalam dirinya. Motivasi adalah segala
sesuatu yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu. Motivasi adalah karakteristik
psikologi manusia yang memberi kontribusi pada
tingkat komitmen seseorang termasuk faktor yang
menyebabkan,
menyalurkan
dan
mempertahankan tingkah laku manusia dalam
tekad tertentu2. Selanjutnya menurut Rivai dkk
(2003), beban kerja dapat berpengaruh terhadap
tingkat motivasi kerja perawat dalam melakukan
pekerjaannya.1
Dalam proses manajemen, perawat bekerja
sama dengan petugas lain untuk memberikan
pelayanan bagi sekelompok klien. Proses
manajemen keperawatan harus berjalan pararel
dengan pelaksanaan proses asuhan keperawatan.
Tetapi pada pelaksanaannya, proses asuhan

32

keperawatan masih mempunyai kendala. Hal ini


disebabkan para perawat belum memahami
pentingnya bekerja secara profesional sebagai tim
kerja, sehingga mereka bekerja sendiri-sendiri
dan akhirnya pelayanan asuhan keperawatan
menjadi tidak efektif dan kurang bermutu.
Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati
Denpasar merupakan rumah sakit yang
menyelenggarakan pelayanan rawat jalan dan
rawat inap dengan 32 dokter gigi umum, 8
dokter gigi spesialis, dan 9 perawat. Rendahnya
kinerja perawat, telah menjadi issue public di
kalangan RSGM-FKG UNMAS Denpasar.
Penelitian ini difokuskan pada rendahnya kinerja
perawat
terutama
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan adalah
evaluative research yaitu mengukur dan menilai
variabel dengan indikator standar. Populasi yang

diteliti pada penelitian ini adalah seluruh tenaga


perawat yang bekerja di RSGM-FKG UNMAS
Denpasar yang berjumlah 9 orang. Instrumen
penelitian berupa lembaran kuesioner. Alat dan
bahan yang diperlukan untuk penelitian ini adalah
lembaran kuesioner dan bolpoint. Penelitian
dilakukan dengan cara membagikan kuesioner
yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
dengan motivasi, beban kerja serta kejenuhan
kerja. Data yang sudah diperoleh dianalisis secara
deskriptif sehubungan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi
kinerja
perawat
dalam
melaksanakan asuhan keperawatan di RSGMFKG UNMAS Denpasar.

HASIL PENELITIAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan pada tanggal 5 Desember 2005
terhadap 9 orang perawat yang bekerja di RSGMFKG UNMAS Denpasar didapatkan hasil sebagai
berikut.
:

MOTIVASI
Tabel 1
Mean Komposit Dari Motivasi
No

Item

Mean

Kriteria

1
2
3
4
5
6

Sistem Imbalan ( gaji )


Penghargaan
Kesempatan berkembang
Beasiswa
Melanjutkan pendidikan
Pemberian tanggung jawab

1,22
1,00
1,22
1,00
1,00
2,00

Rendah
Tidak pernah
Tidak pernah
Tidak pernah
Tidak pernah
Pernah

Mean Komposit

= 7,44 / 6
= 1,24
Kriteria : tidak termotivasi: 1,00-1,50 ; termotivasi: 1,51-2,00
Berdasarkan tabel mean komposit dari
motivasi di atas, maka didapatkan bahwa perawat

yang bekerja di RSGM-FKG UNMAS Denpasar


tidak termotivasi dalam bekerja.

BEBAN KERJA
Tabel 2
Mean Komposit Dari Beban Kerja
No
Item
Mean
1
Beban Kerja Obyektif
2,11
2
Beban Kerja Subyektif
a. Perasaan kelebihan kerja
2,00
b. Tekanan pekerjaan
1,78
c. Kepuasan kerja
2,00
Mean Komposit
= 7,89 / 4
= 1,97
Kriteria: berat: 1,78 1,95 ; ringan : 1,96 2,11

Kriteria
sedang
senang
pernah
puas

33

Berdasarkan tabel mean komposit dari


beban kerja di atas, maka didapatkan bahwa

beban kerja perawat di RSGM-FKG UNMAS


Denpasar termasuk ringan.

KEJENUHAN BEKERJA
Tabel 3
Mean Komposit Dari Kejenuhan Bekerja
No.
1
2
3
4
5
6

Item
Pengalaman Stress Saat Bekerja
Tingkatan Stress
Bosan Dengan Pekerjaan
Lelah Dengan Pekerjaan
Pengalaman Kejenuhan Secara Emosi
Tingkatan Kejenuhan Secara Emosi
Mean Komposit

Mean
Kriteria
1,89
Pernah
1,00
Rendah
1,00
Tidak bosan
1,00
Tidak lelah
1,89
Pernah
1,67
Sedang
= 8,45 / 6
= 1,41
Kriteria: tinggi: 1,00 - 1,30; sedang: 1,31 - 1,61; rendah: 1,62 1,92

Berdasarkan tabel mean komposit dari


kejenuhan bekerja di atas, maka didapatkan

bahwa kejenuhan perawat di RSGM-FKG


UNMAS Denpasar saat bekerja adalah sedang.

HARAPAN PERAWAT
Tabel 4
Harapan Perawat
No.
1
2
3
4
5
6

Harapan
Semoga gajinya naik (sesuai dengan UMR)
Semoga bertambah jaya, maju, aman dan tetap disenangi
masyarakat banyak
Nasib karyawan lebih diperhatikan
Kualitas SDM-nya lebih diutamakan
Fasilitas klinik lebih ditingkatkan
Dibentuknya tim marketing yang bisa mempromosikan
RSGM dengan maksimal

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas,
didapatkan bahwa Perawat di RSGM-FKG
UNMAS Denpasar dalam bekerja tidak
termotivasi. Hal ini disebabkan oleh karena tidak
adanya motivator dalam melakukan pekerjaan,
seperti sistem imbalan (gaji ) yang masih tidak
sesuai dengan harapan yaitu masih dibawah ratarata UMR dan perusahan swasta lainnya. Selain
itu, mereka juga tidak pernah mendapatkan
penghargaan sama sekali atas pekerjaan yang
mereka lakukan selama ini dari pihak manajemen
rumah sakit. Perawat hanya diberikan tanggung
jawab saja dan tidak pernah mendapatkan
kesempatan untuk berkembang seperti kenaikan
jabatan, kesempatan mendapatkan beasiswa
maupun melanjutkan pendidikan. Faktor-faktor
inilah yang selama ini menyebabkan perawat

Persentase
100 %
67%
67%
56%
56%
11 %

merasa tidak dihargai sehingga kinerja perawat


menjadi berkurang.
Menurut Rivai dkk. (2003), motivasi
meliputi tingkat motivasi kerja perawat dan faktor
yang mendorong perawat dalam bekerja yang
disebut dengan motivator.1 Motivator meliputi
sistem imbalan, penghargaan, kesempatan
berkembang dan pemberian tanggungjawab.
Menurut Stoner & Freeman (2004), faktor
penyebab ketidakpuasan seperti gaji, kondisi
kerja
dan
kebijakan
perusahaan
akan
mempengaruhi pekerjaan yang dilakukan,
sedangkan faktor yang menyebabkan kepuasan
yang amat sangat yaitu berprestasi, pengakuan,
bekerja sendiri, tanggung jawab, kemajuan dalam
pekerjaan dan pertumbuhan.3
Beban kerja didapatkan dari penjumlahan
beban kerja obyektif dan beban kerja subyektif.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa beban

34

kerja yang dilakukan perawat di RSGM-FKG


UNMAS Denpasar termasuk ringan. Hal ini
disebabkan karena keseluruhan waktu yang
digunakan
perawat
dalam
melakukan
pekerjaannya adalah sedang dimana waktu
tersebut tidak lebih dari 5 jam perhari. Dalam
bekerja perawat pernah mengalami perasaan
tertekan
dikarenakan
pekerjaan
yang
dilakukannya pernah tidak dihargai dan mereka
pernah mengerjakan tugas yang seharusnya
dikerjakan oleh seorang pesuruh. Tetapi perawat
di RSGM-FKG UNMAS Denpasar senang dan
puas dengan pekerjaan yang dilakukan karena
sekarang ini pekerjaannya lebih ringan (tidak
terlalu banyak). Hal inilah yang menyebabkan
perawat bekerja terlalu santai sehingga kinerja
mereka menjadi berkurang. Kartono (1994),
menyebutkan bahwa beban kerja yang berlebihan
(overload) adalah suatu kondisi yang terjadi bila
lingkungan
memberi
tuntutan
melebihi
kemampuan individu.4 Seseorang dalam bekerja
akan berfungsi secara optimal (moderate) dengan
kondisi beban kerja yang sedang dan kurang
berfungsi maksimal dengan kondisi overload dan
underload. 1
Kejenuhan kerja perawat di RSGM-FKG
Unmas adalah sedang. Hal ini disebabkan karena
pekerjaan yang dilakukan perawat terlalu santai
dan ringan dimana sedikit mengandung tantangan
sehingga menyebabkan timbul kejenuhan secara
emosi serta stress. Menurut Strauss dan Sayless
(1990), menyebutkan bahwa ada beberapa hal
yang menyebabkan timbulnya kebosanan kerja
sehubungan dengan karakteristik pekerjaan dan
lingkungan pekerjaan, antara lain: repetitive
(sedikit macam tugas, monoton, tidak bervariasi,
sedikit mengandung tantangan, dan sedikit
memerlukan keterampilan), suasana kerja yang
tidak menyenangkan dan karyawan dibebani
pekerjaan baik fisik maupun psikis yang sangat
berat serta tidak sesuai dengan kemampuan
karyawan.5 Kejenuhan kerja dapat menimbulkan
akibat adanya perasaan bahwa tidak ada lagi
manfaat untuk berprestasi secara maksimal,
sehingga dengan kata lain kejenuhan kerja akan
menyebabkan turunnya motivasi kerja untuk
berprestasi, sehingga persepektif individual
terhadap produktivitas menurun.6
Dari tabel harapan perawat, didapatkan
bahwa perawat RSGM-FKG UNMAS Denpasar
berharap agar gaji mereka dinaikkan dan nasib
mereka lebih diperhatikan, kualitas Sumber daya
manusia lebih diutamakan dan fasilitas klinik
lebih ditingkatkan serta dibentuknya tim
marketing yang bisa mempromosikan RSGMFKG UNMAS Denpasar dengan maksimal
sehingga bertambah jaya, maju, aman dan tetap
disenangi oleh masyarakat banyak.

SIMPULAN
Faktor yang mempengaruhi kinerja
perawat
dalam
melaksanakan
asuhan
keperawatan di RSGM-FKG UNMAS Denpasar
adalah tidak termotivasinya perawat dalam
bekerja, beban kerja yang dilakukan perawat
dalam kondisi ringan dan kejenuhan perawat saat
bekerja dalam kondisi sedang.

SARAN
Kepada pihak manajemen rumah sakit
disarankan sebagai berikut : 1)Memberikan
reward
seperti
kesempatan
melanjutkan
pendidikan, mendapatkan beasiswa, kenaikan
jabatan dan penghargaan bagi perawat yang
berprestasi; 2)Adanya pengakuan terhadap
kinerja perawat dengan memberikan pujian,
ucapan terima kasih ataupun dilakukan pemilihan
perawat teladan; 3)Peningkatan kesejahteraan
karyawan yang dapat dilakukan melalui
pemberdayaan sumber pendapatan keuangan lain,
jika kenaikan gaji sulit untuk dilakukan;
4)Memberikan kesempatan kepada perawat untuk
mengikuti berbagai pelatihan, dan pendidikan
yang
berkelanjutan; 5)Perawat
diberikan
pekerjaan yang tidak terlalu ringan agar perawat
tidak terlalu santai sehingga mereka menjadi
lebih disiplin dan bisa lebih bertanggung jawab
terhadap pekerjaannya; 6)Perlu adanya ketegasan
pimpinan dalam rangka meningkatkan disiplin
karyawan yaitu dengan memberikan punishment
tanpa adanya diskriminasi; 7)Adanya rekreasi
atau studi banding untuk mengurangi kejenuhan
dan memperluas wawasan perawat;
Selain hal tersebut di atas, disarankan
kepada peneliti lainnya untuk melakukan
penelitian lebih lanjut terhadap faktor lain yang
mempengaruhi kinerja perawat.
DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

Rivai F, Hargono R, dan Pudjirahardjo JW.


Faktor Dominan Yang Mempengarui Kinerja
Perawat Dalam Melaksanakan Asuhan
Keperawatan Di Ruang Rawat Inap RSUD
Haji Surabaya. Jurnal Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan 2003; 1(3): 165-172.
Nursalam MN. Manajemen Keperawatan:
Aplikasi dalam Praktik Keperawatan
Profesional, ed. 1. Jakarta: Salemba Medika,
2002.
Emma Pesik-Adam MR., Subarniati TR, dan
Poerwani SK. Pengembangan Format
Asuhan Keperawatan Untuk Ruang Rawat
Bayi Neonatus-Riset Operasional Di Rumah

35

4.

Sakit Budi Mulia Surabaya. Jurnal


Administrasi dan Kebijakan Kesehatan 2004;
2(1): 42-51.
Kartono K. Psikologi Sosial Untuk
Manajemen Perusahaan dan Industri, ed.
baru, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994.

5.

6.

Strauss and Sayless. Manajemen Personalia:


Seri Manusia dalam Organisasi, jilid 2,
Jakarta: Institut Pendidikan dan Pembinaan
Manajemen, 1990.
Timpe D. Kinerja, Jakarta: PT. Gramedia,
1992.

36

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Mahasaraswati Denpasar

PERUBAHAN SIKAP KERJA DOKTER GIGI


Mochammad Taha Maruf
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
e-mail : tahaergo@yahoo.com

ABSTRACT
Dentists were categorized as a high-risk profession upon musculoskeletal disorder because
of an unnaturally working posture with several complaints particularly on the neck, shoulder and
low back. Improvisations to an ergonomic working posture in dental professional were made
continuously with an aim to reduce musculoskeletal complaints. However, the number of
complaint was significantly increased recently, which was probably caused by less of movement by
the presence of an assistant during dental treatment (four-handed dentistry) and increased
working time without break. Besides, dentists did not receive exact ergonomics working posture
training during dental treatment since as a dental students.
Key words : work posture, ergonomic, dentists
Korespondensi : Mochammad Taha Maruf, drg., M.Erg., Bagian Bedah Mulut, Fakultas
Kedokteran Gigi, Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361)
7424079, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN
Sebagian
besar
dokter
gigi
mengalami gangguan fungsi dan rasa sakit
akibat pekerjaan (work-related pain and
dysfunction). Penyebab terbesarnya adalah
sikap duduk yang salah dan lama (awkward
prolonged
seated
postures),
tanpa
penyangga punggung, dan
terjadinya
kontraksi otot isometrik yang disebabkan
area kerja yang terbatas yaitu rongga mulut1.
Penatalaksanaan
dan
metode
pekerjaan dokter gigi pernah dievaluasi dari
aspek ergonomi oleh Szymanska (2002),
khususnya
tentang
kelainan
sistem
muskuloskeletal, dengan tujuan untuk
menetapkan metode perlindungan dari
penyakit dan perawatan yang sesuai. Studi
tersebut menunjukkan bahwa dokter gigi
bekerja dalam kondisi yang dapat
menyebabkan
kelainan
sistem
muskuloskeletal. Sebagai hasilnya, bila
waktu kerja selama satu hari digunakan
dengan cara tidak ergonomis, maka dari
tahun ke tahun terjadi peningkatan kelainan
muskuloskeletal sehingga dokter gigi harus
mendapatkan berbagai bentuk perawatan2.
Selanjutnya menurut Milerad dan Ekenvall
(1998), dokter gigi dikelompokkan dalam
profesi yang beresiko tinggi terhadap
kelainan muskuloskeletal dengan keluhan

terbesar pada leher dan pundak (44 51 %).


Hal ini disebabkan karena dokter gigi
bekerja pada sikap yang sulit yaitu
terjadinya penekukan dan pemutaran leher
(cervical flexion dan rotation), terangkatnya
tangan (abducted arms) dan gerakan repetisi
pada saat memegang instrumen tangan3.

Gambar 1
Sikap Kerja Dokter Gigi
Kecelakaan kerja yang melibatkan
jaringan
muskuloskeletal
sering
dihubungkan dengan sikap kerja yang terlalu
lama baik berdiri atau duduk dan gerakan
berulang dari lengan atas. Walaupun angka
insidensi kelainan muskuloskeletal pada
dokter gigi di Indonesia masih kurang, tetapi
di beberapa negara seperti di Nebraska lebih
dari 29% dari 1000 dokter gigi dilaporkan

37

menderita penyakit dengan gejala peripheral


neuropathy pada lengan atas dan leher.
Dokter gigi yang melakukan perawatan
pemotongan
gigi
(preparasi)
untuk
pembuatan gigi palsu cekat (crown and
bridge), dilaporkan
paling sering
mengalami perubahan sensasi pada tangan
atas mereka. Diperkirakan 60-80% dari
orang dewasa (dari populasi secara umum)
menderita kelainan sakit pinggang yang
menyebabkan absen dari tempat kerjanya.
Dokter gigi juga berada dalam kondisi
masalah seperti ini 4

untuk bergerak dan mengakomodasi ulang


pandangannya. Perubahan berlangsung terus
sesuai dengan perjalanan waktu. Diharapkan
bahwa masalah-masalah yang sebelumnya
ada pada dokter gigi yang sudah praktek
bertahun-tahun tidak terjadi lagi atau
menjadi berkurang pada dokter gigi baru.
Tetapi kelihatannya hanya sedikit bukti
untuk
mendukung
hipotesis
bahwa
prevalensi
keluhan
muskuloskeletal
menurun dan belum berubah sejak pertama
kali diungkapkan oleh Biller tahun 1946
yaitu prevalensi sakit pinggang (low back
pain) pada dokter gigi yang berkisar pada
angka 65% 5.

SIKAP KERJA DOKTER GIGI


Selama bertahun-tahun dokter gigi
telah diketahui bekerja secara tidak alamiah
yaitu dengan sikap kerja statis yang
menyebabkan tegangan yang berlebihan
pada sistem muskuloskeletal terutama pada
pinggang. Sikap kerja yang dilakukan
selama melakukan perawatan gigi di dunia
mengalami perubahan sejak berpuluh tahun
yang silam. Pada mulanya, dokter gigi
secara umum bekerja dengan sikap berdiri.
Hal ini dilakukan karena pada masa itu
dokter gigi belum dibantu oleh asisten dalam
melakukan perawatan gigi sehingga dengan
sikap berdiri dapat dengan mudah
melakukan pergerakan untuk pengambilan
alat dan bahan yang diperlukan 5. Tetapi
sejak tahun 1960, pada sebuah konferensi
diperkenalkan sikap duduk dengan tujuan
untuk mengurangi kelelahan dan kelainan
muskuloskeletal dan juga diperkenalkan
istilah four-handed dentistry yaitu
penggunaan tenaga asisten untuk membantu
dokter gigi selama perawatan gigi. Kondisi
ini pertama kali dilaksanakan dan
diimplementasikan
pada
mahasiswa
Kedokteran Gigi (dental students) di
Sekolah Kedokteran Gigi University Of
Alabama 5.
Program penggunaan tenaga asisten /
perawat gigi selama perawatan gigi
bertujuan di samping untuk meningkatkan
efisiensi, juga untuk mengurangi stress dan
kelelahan pada dokter gigi. Posisi dokter
gigi terhadap pasien distandarisasi dan
asisten berfungsi agar lapang pandang
menjadi tampak jelas,
menyediakan
instruments dan bahan yang diperlukan
sehingga membatasi keperluan dokter gigi

KELUHAN MUSKULOSKELETAL
(MUSCULOSKELETAL DISORDER )
Perbaikan secara ergonomis di bidang
kedokteran gigi terus menerus dilakukan
seperti perubahan sikap kerja dari sikap
berdiri
menjadi
sikap
duduk
dan
memposisikan
pasien dengan
posisi
terlentang (supine) atau agak terlentang
(semi-supine) di dental chair. Walaupun hal
ini
nampaknya
dapat
mengurangi
pengaruhnya pada anggota gerak bawah
(lower limbs) dan pinggang (lower back),
tetapi kondisi membungkuk (bending),
ketegangan (stretching) dan kecendrungan
pada sikap yang tidak semestinya (awkward
positions) yang digunakan dokter gigi
sehari-hari masih menyebabkan resiko pada
tulang belakang terutama pada pinggang
(lumbal), dada (thorax), leher (cervical) dan
pundak 6

Gambar 2
MSD di Bidang Kedokteran Gigi
(An average of 9 studies conducted in
Sweden, Finland, Canada, Australia, United
States and Denmark)

38

Valachi
dan
Valachi
(2003),
mengemukakan
bahwa
mekanisme
terjadinya kelainan muskuloskeletal (MSD)
pada dokter gigi adalah multifaktor yaitu
perubahan secara fisiologis akibat kerja
duduk yang terlalu lama sehingga
meningkatkan tekanan pada cakram (disk
pressures). Sikap kerja seperti ini
menyebabkan
ketidakstabilan
tulang
belakang (spinal) sehingga terjadi perubahan
degeneratif pada lumbal yang menimbulkan
sakit pinggang (low back pain). Terdapat
hubungan antara kontraksi otot yang statis
(muscle contraction) yang lama dengan
iskemia otot (muscle ischemia) atau nekrosis
otot (muscle necrosis). Kelemahan otot-otot
tulang belakang dan pundak yang
membentuk sikap tubuh menyebabkan sikap
tubuh yang buruk. Otot-otot beradaptasi
dengan memanjang dan memendek untuk
mengakomodasi sikap tubuh ini, terjadi
ketidak seimbangan otot yang menyebabkan
kerusakan struktur dan timbulnya rasa sakit7.
Selanjutnya Valachi dan Valachi
(2003), dalam penelitian yang lain
menyatakan bahwa tulang belakang yang
bergerak satu arah secara berulang (repeated
unidirectional
twisting)
yang
dapat
menyebabkan sakit pada tulang belakang
juga disebabkan pengaruh sikap kerja
dengan satu sikap dalam waktu yang lama.
Untuk mencapai kesehataan muskuloskeletal
yang seimbang, pengetahuan tentang
flexibilitas
tulang
belakang
dan
mengutamakan penggunaan peralatan yang
ergonomis, perlu diketahui oleh operator
(dokter gigi)7.

Gambar 3
Penyebab Keluhan Muskuloskeletal
Dapat dipercaya secara umum bahwa
duduk adalah sangat berat untuk punggung
sebab terjadi transfer seluruh berat tubuh
bagian atas ke pantat (buttocks) dan paha
(thighs). Duduk dalam jangka waktu yang
lama dapat menyebabkan peningkatan

tekanan pada cakram tulang belakang


(intervertebral discs) yang berfungsi sebagai
peredam kejut pada tulang belakang. Pada
sikap duduk yang lama karena gravitasi juga
terjadi gangguan kembalinya darah ke
jantung sehingga kaki terasa berat akibat
terjadinya aliran darah pada kaki yang
tinggi. Lagi pula, hal ini diperparah karena
selama duduk tidak menggunakan sikap
duduk yang benar sehingga dapat
menyebabkan masalah kesehatan yang serius
seperti: sakit pada punggung (back pain),
sakit pada leher (neck pain), gangguan pada
mata (eye strain), gangguan perut
(abdominal pain), sakit pada kaki (leg pain)
dan kelainan karena gerakan berulang
(repetitive movement disorders). Duduk
yang benar dengan menggunakan kursi yang
ergonomis dapat mengurangi kelelahan dan
ketidaknyamanan, meningkatkan aliran
darah, mengurangi resiko cedera dan
meningkatkan produktivitas8.
SIKAP KERJA ERGONOMIS
Petunjuk dan rekomendasi sikap kerja
dokter gigi untuk mendapatkan sikap tubuh
yang
sealamiah
mungkin
dengan
menggunakan
sikap
kerja
duduk
dikemukakan oleh Vanderstraeten (2002).
Rekomendasi tersebut didasarkan atas ISO
11226 yaitu suatu standart yang mencakup
suatu
pendekatan
untuk
memeriksa
kemampuan dalam mengaplikasikan sikap
kerja statis. ISO 11226 juga mencakup
rekomendasi ergonomi yang diperlukan bagi
mereka yang terlibat dalam desain atau
desain ulang suatu pekerjaan, tugas atau
produk secara umum sesuai dengan konsep
dasar ergonomi, terutama terhadap sikap
kerja. Standar tersebut menjelaskan tentang
batas yang disarankan untuk sikap kerja
statis tanpa atau hanya sedikit penggunaan
gaya external, dengan mempertimbangkan
aspek sudut tubuh dan aspek waktu9. ISO
11226 menyatakan bahwa suatu pekerjaan
harus memiliki variasi fisik dan mental yang
memadai. Sejumlah pekerja yang terlibat
dalam
suatu
pekerjaan
harus
mempertimbangkan faktor dimensi tubuh.
Dengan memperhatikan sikap kerja,
pekerjaan tersebut harus menawarkan variasi
yang memadai antara duduk, berdiri dan
berjalan. Sikap yang tidak benar, seperti

39

berlutut dan membungkuk sebisa mungkin


harus dihindari. Sehubungan dengan hal
tersebut, alat yang dimaksudkan untuk
menghasilkan variasi sikap tidak boleh
menyebabkan terjadinya suatu pekerjaan
menjadi berulang-ulang dan monoton9.
Petunjuk dan rekomendasi sikap kerja
dokter gigi menggunakan sikap kerja duduk
adalah meliputi:

Sikap Kerja Operator (Dokter Gigi)


Selama melakukan perawatan gigi
dengan menggunakan sikap kerja duduk,
Vanderstraeten
(2002)
menyarankan
beberapa hal seperti, yaitu : tubuh bagian
atas tegak simetris, punggung dipertahankan
tegak dan tulang panggul (pelvis) sedikit
dimiringkan ke depan (tidak lebih dari 20
derajat); kepala condong ke depan terhadap
tubuh tidak lebih dari 20 25 derajat; lengan
atas bebas tergantung pada tubuh dan tidak
lebih dari 10 derajat ke depan; lengan bawah
(forearm) sedikit terangkat tidak lebih dari
25 derajat; sudut antara tungkai atas dan
bawah adalah 105 110 derajat atau lebih,
sehingga terdapat lebih banyak ruangan
antara tungkai atas dan lengan bawah untuk
menempatkan sandaran kursi dan kepala
pasien di antara ruangan ini; tungkai atas kiri
dan kanan membentuk sudut tidak lebih dari
45 derajat untuk mencegah posisi sendi
pinggul (hip joint) dalam keadaan terkunci;
telapak kaki sejajar terhadap lantai atau agak
ke belakang dan segaris dengan tungkai atas;
bila
menggunakan
pandangan
tidak
langsung dengan menggunakan kaca mulut,
maka kaca mulut dipegang pada sudut
sekitar 45o agar dapat melihat secara tegak
lurus. Posisi ini berhubungan langsung
dengan sudut tubuh bagian atas dan kepala
agar terjadi sikap kerja yang benar 9.

Posisi pasien
Seringkali lapang pandang rongga
mulut pasien terletak tidak simetris di depan
operator, yang mengakibatkan terjadinya
sikap
tubuh
yang
asimetris
dan
menimbulkan tekanan (strain). Menurut
Vanderstraeten (2002), prinsip yang dapat
diterapkan dalam menempatkan posisi
pasien agar lapang pandang rongga mulut

pasien terlihat dengan jelas adalah: lapang


pandang rongga mulut pasien terletak di
pertengahan tubuh di antara bahu kanan dan
kiri operator dengan jarak sekitar 20-25 cm,
dengan menyesuaikan dengan ketinggian
landasan kerja. Posisi kedua tangan operator
dijaga agar tetap simetris. (di atas garis yang
menghubungkan kedua telapak kaki yang
diletakkan di atas lantai); operator harus
mampu melihat secara tegak lurus, tapi jika
tidak memungkinkan (sebagai contoh pada
bagian belakang rongga mulut) maka
dilakukan dengan menggunakan kaca mulut.
Dengan memutar kepala pasien dapat
diperoleh orientasi tegak lurus yang
optimum terhadap lapang pandang daerah
kerja; jarak antara mata operator terhadap
lapang pandang daerah kerja adalah sekitar
35 hingga 40 cm; tubuh pasien diposisikan
terlentang (supine) atau mendekati posisi
horizontal (semi supine), disesuaikan dengan
tinggi kerja. Sebaliknya jika tubuh pasien
tidak berada dalam posisi telentang, maka
posisi kepala menjadi terlalu tinggi dan
lapang pandang daerah kerja terlalu ke
depan, sedangkan kaki operator terhalang
oleh bagian belakang kursi pasien karena
posisinya yang melandai. Keadaan ini
menyebabkan operator lebih condong ke
depan dan lengan lebih terangkat; posisi
rahang sepenuhnya tergantung pada jenis
pekerjaan yang akan dilakukan, yaitu:
perawatan pada bidang oklusal rahang
bawah dan operator berada di samping tubuh
pasien (posisi jam 9 - 10), maka bidang
oklusal diposisikan horizontal dan kepala
pasien memutar ke arah operator agar bidang
oklusal dapat terlihat secara tegak lurus;
perawatan pada bidang oklusal rahang
bawah dan operator berada di belakang
pasien (posisi antara jam 10.30 - jam 12),
maka bidang oklusal diposisikan pada sudut
40o terhadap bidang horizontal (semi supine)
agar daerah kerja dapat terlihat tegak lurus
yang dikombinasikan dengan gerakan
memutar kepala; perawatan pada bidang
oklusal rahang atas dengan penglihatan
secara indirek dari arah belakang pasien,
maka bidang oklusal pada rahang atas
diubah sekitar 250 ke belakang terhadap
bidang vertikal; perawatan pada permukaaan
bukal dan lingual/palatal gigi dengan
operator dari samping pasien dengan
pandangan langsung, kecuali pada gigi
depan9.

40

Kursi pasien (dental chair)


Menurut Visser (2002), untuk
memperoleh sikap kerja yang benar dan
nyaman pada pasien yang sedang mendapat
perawatan
gigi diperlukan
beberapa
persyaratan kursi pasien (dental chair)
sebagai berikut, yaitu : dapat memposisikan
pasien
secara
horizontal,
sehingga
dibutuhkan kursi pasien yang datar untuk
menghindari terganggunya sirkulasi darah
pasien ke otak; bagian belakang kursi pasien
dibuat setipis mungkin agar tungkai atas
operator dapat bergerak bebas di bawah
sandaran kursi dan terdapat ruang yang
cukup antara tungkai atas dan lengan bawah
operator; bagian atas kursi pasien berbentuk
bulat agar perut operator tidak terjebak di
belakang sandaran kursi; lebar kursi cukup
untuk menyangga bagian belakang tubuh
pasien dan
memungkinkan
operator
melakukan pendekatan ke rongga mulut
pasien dengan sikap berdiri; posisi kepala
pasien (head rest) harus dapat diputar dalam
3 arah untuk mendapatkan lapang pandang
daerah kerja yang simetris dan dapat melihat
setegak lurus mungkin; dan inklinasi bagian
belakang kursi harus dapat disesuaikan dari
90o (vertikal) dan 180o (horizontal) 9.

Gambar 4
Sikap Kerja Duduk Ergonomis

PERMASALAHAN
KERJA DUDUK

PADA

SIKAP

Walaupun penerapan sikap tubuh


yang benar selama melakukan perawatan
gigi sudah diupayakan, tetap saja deviasi
sikap tubuh yang ringan tidak dapat dicegah.
Hal ini menyebabkan rintangan fungsi
pompa
otot
sehingga
untuk
itu
penyimpangan sikap ini harus dibuat
berlangsung sesingkat mungkin. Pompa otot

berfungsi melakukan pergantian kontraksi


otot (darah dengan sisa produknya
dikeluarkan dari otot) dan relaksasi otot
(suplay darah kaya oksigen ke otot). Pompa
otot hanya berfungsi optimal jika terdapat
pergerakan terus menerus dari otot melalui
kontraksi dan relaksasi, dan pada sikap statis
keadaan ini tidak terjadi. Untuk itu setiap
perbaikan sikap kerja jika terdapat strain
yang kecil, semua pergerakan pendek harus
dibuat terus menerus agar terjadi kontraksi
dan relaksasi berbagai kelompok otot. Jika
terjadi deviasi sikap tubuh, 3- 4 detik
kemudian terjadi pembatasan kerja pompa
otot, sehingga darah yang kaya oksigen ke
otot dan pengeluaran sisa produk menjadi
terbatas. Hal ini menyebabkan terhalangnya
fungsi otot yang adekuat dan terjadi
kelelahan (fatigue) dan ketegangan yang
berlebihan (overstrain). Jika tidak ada
relaksasi dan kontraksi otot yang terus
menerus maka tidak terjadi recovery otot
sehingga fungsi otot terganggu10.
Hasil yang didapatkan dari studi
terkini jelas menunjukkan bahwa perubahan
sikap kerja dokter gigi dari sikap kerja
berdiri ke duduk serta penerapan konsep
four-handed dentistry belum sepenuhnya
dapat mencegah kelainan muskuloskeletal
dan syaraf. Hanya 18% subjek dari
penelitian tersebut yang sudah bebas dari
keluhan.5 Malah pada kenyataannya, pada
saat ini terjadi peningkatan yang signifikan
dari rasa sakit pada dokter gigi walaupun
sudah menerapkan prinsip four-handed
dentistry. Hal ini mungkin disebabkan
berkurangnya pergerakan karena adanya
tenaga asisten yang membantu selama
perawatan gigi dan bertambah panjangnya
waktu kerja tanpa disertai istirahat pendek.
Lagi pula, dokter gigi yang menggunakan
prinsip four-handed dentistry mungkin
belum mendapat pelatihan yang tepat untuk
metode tersebut sehingga tidak dapat
diterapkan secara benar dalam melakukan
perawatan gigi.
Semakin hari, timbulnya gejala
terlihat semakin lebih awal pada profesi
kedokteran
gigi. Rundcrantz (1991)
mendapatkan bahwa sejumlah dokter gigi
muda mengalami sakit dan ketidaknyamanan
pada leher dan pundak dan sakit kepala
yang lebih besar daripada dokter gigi yang
lebih tua. Studi yang sama untuk
membandingkan
prevalensi
keluhan

41

muskuloskeletal antara siswa kedokteran


gigi dan siswa psikologi didapatkan bahwa
siswa Kedokteran Gigi mengalami lebih
banyak sakit pinggang (lower back pain)
dari pada siswa psikologi 11. Penelitian oleh
Rising, dkk (2005) yang dilansir Journal of
the American Dental Association (JADA)
menunjukkan bahwa 4671% mahasiswa
kedokteran gigi (dental students) mengalami
keluhan muskuloskeletal terutama pada
leher/pundak dan pinggang, yang timbul
sejak tahun pertama kepaniteraan dan
mencapai puncaknya pada tahun ke tiga 12.
Selanjutnya pernyataan Marshall,
(1997), dapat dijadikan hipotesis bahwa
tingginya angka kejadian dan keparahan
keluhan muskuloskeletal pada dokter gigi
berhubungan erat dengan lama kerja
(duration of working) disertai tanpa adanya
istirahat pendek (break) sebelum melakukan
pekerjaan pada pasien berikutnya 5.

2.

3.

4.

SIMPULAN
Bila mengacu pada ISO 11226 yaitu
standar tentang sikap kerja statis, maka
terlihat jelas bahwa dokter gigi melewati
batasan ini setiap hari dan bekerja dengan
sikap
yang
menimbulkan
tekanan
(overstrained). Untuk mencegah kelainan
yang timbul terutama pada leher, pundak,
lengan atas, pergelangan dan tangan, maka
dental students sebagai calon dokter gigi
wajib disadarkan dan dikondisikan untuk
bekerja dengan sikap kerja yang benar dan
menggunakan peralatan yang ergonomis
untuk mendapatkan kondisi kerja yang lebih
sehat. Timbulnya kelainan muskuloskeletal
pada siswa kedokteran gigi pada awal klinik,
menunjukkan bahwa sikap kerja yang
ergonomis harus diberikan pada mahasiswa
klinik untuk mengurangi resiko terjadinya
kelainan muskuloskeletal dibelakang hari
setelah menjadi dokter gigi profesional.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Yoser AJ, Mito RS 2002. Injury


prevention for the practice of dentistry..
J Calif Dent Assoc. Feb;30(2):170-6
Pacific Sports Medicine Alliance, USA.
Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/que

5.

6.

7.

8.

ry.fcgi?cmd=Retrieve&db=pubmed&do
pt=Abstract&list_uids=11881961&quer
y_hl=1&itool=pubmed_docsum.
Accessed Jan 26, 2004
Szymanska J. 2002. Disorders Of The
Musculoskeletal
System
Among
Dentists From The Aspect of
Ergonomics and Prophylaxis. Available
from:
http://www.aaem.pl/pdf/aaem
0226. htm. Accessed Dec 12, 2004.
Milerad E and Ekenvall L. 1998.
Symptoms Of The Neck And Upper
Extremities In
Dentists. Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=P
ubMed&list_uids=2353196&dopt=Abst
ract&holding=f1000,holding=f1000.
Accessed Dec 12, 2004.
Fish DR and Morris-Allen DM. 1998.
Musculoskeletal Disorders In Dentists.
Available from: http://www.ncbi.nlm.
nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retriev
e&db=PubMed&list_uids=9613097&d
opt=Abstract&holding=f1000,holding=f
1000. Accessed Dec 12, 2004.
Marshall ED, Duncombe LM, Robinson
RQ.. Musculoskeletal Symptoms in
New South Wales Dentists. Dalam
Australian Dental Journal 1997; 42(4):
240-6..
Available
from:
http://www.ada.org.au/media/document
s/Products_Publications/Journal%20Arc
hives/1997%20Archive/August/9708M
ars.pdf. Accessed Jan 26, 2006
Entwistle NBA. Musculoskeletal Pain
in Dentistry an Occupational Injury?
Available from: http://bdhf.atalink.
co.uk/ articles/50. Accessed Jan 26,
2006.
Valachi B and Valachi K. Mechanisms
Leading to Musculoskeletal Disorders
in Dentistry. JADA 2003; 134.
Available
from:
http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Ret
rieve&db= pubme&dopt=Abstract &list
_uids=15693502&query_hl=25&itool=
pubmed_docsum. Accessed Dec 12,
2004.
Rodts M. 2002. Ergonomic Chairs and
Seat Adjustment Rush College of
Nursing Chicago, IL, USA. Available
from: http://www.spineuniverse.com/
displayarticle.php/article1427.html
Accessed Jan 26, 2006.

42

9.

Vanderstraeten. 2002. Guidelines and


Recommendations
Regarding
The
Working Posture of the Dentist.
Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/que
ry.fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMe&list
_uids=1830174&dopt=Abstract&holdin
g=f1000. Accessed May 12, 2005.
10. Delleman, N.J. 2002. What Is the
Prpose of ISO 11226 Ergonomics Evaluation of Static Working Postures?
Available from : http://www.ncbi.nlm.
nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retriev
e&db=PubMed&list_uids=1830174&d
opt=Abstract&holding=f1000.
Accessed May 12, 2005.
11. Rundcrantz BL. 1991. Pain And
Discomfort In The Musculoskeletal
System Among Dentists. Available
from: Http://Www.Ncbi.Nlm.Nih.Gov/
Entrez/Query.Fcgi?Cmd=Retrieve&Db
=Pubmed&List_Uids=1830174&Dopt=
Abstract&Holding=F1000.
Accessed
Dec 12, 2004.
12. Rising DW, Bennett BC, Hursh K and
Plesh O. Reports of Body Pain in a
Dental Student Population. Dalam
JADA 2005; 136. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/que
ry.fcgi?cmd=Retrieve&db=pubmed&do
pt=Abstract&list_uids=15693502&quer
y_hl=25&itool=pubmed_docsum.
Accessed May 20, 2005.

43

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Mahasaraswati Denpasar

ANALISIS PERSEPSI PASIEN TERHADAP PELAYANAN


DI RSGM TERPADU FKG UNMAS DENPASAR
Yudha Rahina, Yohanna Lily dan Surtiningsih
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRAK
Seiring dengan perkembangan teknologi, banyak terjadi perubahan pada masyarakat. Perubahan yang
terjadi pada masyarakat mengakibatkan orang semakin menuntut pelayanan kesehatan yang lebih baik. Hal ini
juga menuntut penyedia pelayanan kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikannya
di tengah dunia persaingan di bidang pelayanan kesehatan yang semakin ketat. Apabila kita meninjau pelayanan
kesehatan gigi dan mulut yang berlangsung di RSGM akan terjadi perbedaan pendapat tentang pelayanan
kesehatan yang diberikan. Perbedaan pendapat yang terjadi tersebut timbul dari bagaimana setiap pasien
mempersepsikan pelayanan yang diterimanya. Terkadang persepsi pasien inilah yang menjadi bahan
pertimbangan untuk berobat serta kunjungan berikutnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
persepsi pasien terhadap pelayanan di RSGM Terpadu FKG UNMAS. Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi pasien terhadap pelayanan di RSGM
Terpadu FKG UNMAS yang meliputi 6 aspek adalah sebagai berikut persepsi terhadap pelayanan kesehatan
gigi, tenaga medis/dokter gigi yang menangani, biaya perawatan, tempat dan karyawan sudah baik, sedangkan
persepsi terhadap promosi RSGM masih kurang baik.
Kata kunci: persepsi pasien, pelayanan RSGM.
Korespondensi : Yudha Rahina, drg., M.Kes., Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar,
Jln. Kamboja 11a Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN
Tujuan pembangunan kesehatan menuju
Indonesia sehat 2010 mengacu pada UndangUndang RI No. 23 tahun 1992 mengenai kesehatan,
yang pada intinya menyatakan tentang peningkatan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang, agar terwujud derajat kesehatan
yang optimal di seluruh Indonesia. Program
kesehatan gigi dan mulut merupakan salah satu
program kesehatan yang telah dilaksanakan secara
terintegrasi dengan program kesehatan lainnya
disetiap jenjang pelayanan. Mengingat kondisi
Indonesia yang sangat majemuk dengan konsentrasi
sumber daya yang berbeda, maka untuk
memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut
yang menyeluruh telah dikembangkan pola
pelayanan kesehatan gigi dan mulut berupa
pelayanan yang berlapis dengan sistem rujukan
berjenjang.
Persepsi adalah proses kognitif yang
memungkinkan seseorang dapat menafsirkan dan

memahami lingkungan sekitarnya1. Proses kognitif


yang kompleks dapat memberikan gambaran yang
unik tentang dunia yang sangat berbeda dengan
realitasnya. Pengenalan adanya perbedaan antara
dunia dalam persepsi dan dunia dalam kenyataan
penting artinya dalam konsep perilaku organisasi.2
Persepsi didefinisikan sebagai proses dimana
individu
mengorganisasikan
dan
menginterpretasikan impressi sensorisnya supaya
dapat memberikan arti kepada lingkungan
sekitarnya. Proses persepsi melibatkan interaksi
yang kompleks dari seleksi, organisasi dan
interpretasi. Persepsi sebagian besar tergantung dari
obyek-obyek panca indera sebagai data kasar,
proses kognitif dapat memfilter, memodifikasi atau
merubah data.3 Pada hakikatnya persepsi sebagai
proses kognitif dialami oleh setiap orang didalam
memahami informasi tentang lingkungannya, baik
melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan,
perasaan, dan penciuman. Kunci untuk memahami
persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa
persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik

44

terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan


yang benar terhadap situasi. Dapat disimpulkan
bahwa persepsi adalah proses kognitif yang
kompleks dan menghasilkan suatu gambar unik
tentang kenyataan yang barangkali sangat berbeda
dengan kenyataannya.4
Pelayanan kesehatan merupakan suatu
pelayanan yang diberikan kepada penderita atau
yang memerlukan suatu penyembuhan, pemulihan
dan peningkatan taraf kesehatan. Yang dimaksud
dengan pelayanan kesehatan ini adalah rumah sakit
umum, rumah sakit spesialis, klinik dan
puskesmas.5
Pencapaian
tujuan
pelayanan
kesehatan yang baik dipengaruhi oleh beberapa hal
yang sangat penting untuk diperhatikan. Hal-hal
tersebut yaitu dengan menanyakan keinginan pasien
dan pelayanan kesehatan yang dikehendaki;
memberikan pelayanan kesehatan yang baik tanpa
mengulang serta sikap yang ramah sehingga pasien
merasa puas; menepati janji waktu pelayanan;
memberikan jawaban yang tepat akan pertanyaan
yang dibutuhkan pasien; orang yang menghadapi
pasien harus mempunyai wewenang untuk
memecahkan masalah, misalnya dokter; melakukan
pelayanan
yang
baik
pada
kesempatan
pertama; menetapkan sasaran yang tinggi dan terus
menerus naik sekalipun hal tersebut sudah
tercapai.6
Menurut Sabarguna (2004), suatu rumah sakit
sebagai salah satu penyedia pelayanan kesehatan,
harus mempperhatikan strategi pemasaran untuk
peningkatan mutu. Strategi pemasaran rumah sakit
meliputi : product (pelayanan kesehatan yang
diberikan); place (tempat); price (harga); promosi;
professional;
people
(karyawan);
public
(masyarakat
sekitar);
power
(kekuasaan);
presure (tekanan) dan performance (hasil kerja).7
Sedangkan menurut Notoatmodjo (2005), variabel
pemasaran meliputi product (produk), price
(harga), place (tempat), dan promotion (promosi).8
Pelayanan kesehatan gigi dan mulut di
rumah sakit (RSGM) disediakan dan diberikan
kepada masyarakat mengacu pada perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran gigi
mutakhir yang didasari etik kedokteran gigi, dengan
memanfaatkan sarana dan prasarana kedokteran
gigi secara optimal. Pelayanan kesehatan gigi dan
mulut dilaksanakan dengan pola pelayanan berlapis

melalui sistem rujukan berjenjang (level of care)


dengan pendekatan Primary health care. Tujuan
pelayanan berlapis dengan sistem rujukan
berjenjang adalah untuk memberikan pelayanan
yang menyeluruh dengan lapis-lapis pelayanan
yang dikaitkan dengan sumber daya yang ada di
masyarakat. Peranan RSGM terhadap pelayanan
kesehatan gigi dan mulut sangat kompleks. Peran
tersebut antara lain: dapat menyelenggarakan
pelayanan kesehatan gigi dan mulut kepada
masyarakat; ikut berpartisipasi sebagai tempat
rujukan (rujukan pasien, tenaga ahli, model, dan
ilmu/teknologi);
meningkatkan
pelayanan
kesehatan gigi dan mulut secara optimal sesuai
dengan kelas Rumah Sakit; sebagai tempat
pendidikan, pelatihan dan penelitian; membuka
lapangan kerja dan tempat pelayanan kesehatan gigi
alternatif bagi masyarakat.9

METODE PENELITIAN
Jenis
penelitian
adalah
penelitian
deskriptif.10 Penelitian dilakukan pada 105 orang
pasien yang pernah menerima pelayanan yang
diberikan di RSGM FKG UNMAS. Variabel
penelitian dalam penelitian ini adalah persepsi
pasien yang meliputi 6 aspek yaitu : pelayanan
kesehatan gigi, tempat, tenaga medis yang
menangani, biaya perawatan, karyawan dan
promosi RSGM. Data yang diperoleh dilakukan uji
validitas dan reliabilitas dan dianalisis secara
deskriptif.

HASIL PENELITIAN
Responden terbanyak pada kelompok umur
30 36 tahun yaitu sebanyak 32 orang (30,48 %),
sedangkan yang terkecil pada kelompok umur 44
50 tahun (11,43%). Responden termuda berumur 16
tahun dan responden tertua berumur 50 tahun.
Responden dengan jenis kelamin laki laki dan
perempuan
jumlahnya
hampir
berimbang.
Responden laki laki berjumlah 52 orang (49,52%)
dan perempuan berjumlah 53 orang (50,48 %).

45

Tabel 1
Distribusi Kriteria Persepsi Responden Terhadap Pelayanan di RSGM FKG UNMAS
NO

ASPEK

Pelayanan kesehatan gigi

2
3

Tenaga medis/ dokter gigi


yang menangani
Biaya perawatan

Tempat

Karyawan

Promosi RSGM

KRITERIA
Baik
Kurang baik
Baik
Kurang baik
Baik
Kurang baik
Baik
Kurang baik
Baik
Kurang baik
Baik
Kurang baik

Tabel 1 menunjukkan bahwa 100 % dari


responden menyatakan bahwa secara umum
pelayanan kesehatan gigi yang diberikan RSGM
FKG UNMAS baik. Tidak ada responden yang
mempunyai persepsi kurang baik tentang
pelayanan di RSGM ini. Persepsi responden
tentang tenaga medis/dokter gigi yang menangani
yaitu 99,04% responden menyatakan baik
sedangkan 0,96 % responden menyatakan kurang
baik. Aspek biaya perawatan di RSGM Terpadu
FKG UNMAS, 86,67% responden menyatakan
baik atau sesuai dengan perawatan yang dilakukan
dan terjangkau, sedangkan 13,33 % menyatakan
kurang baik atau tidak sesuai dengan perawatan
yang dilakukan. Persepsi terhadap tempat yang
meliputi lokasi RSGM terpadu serta fasilitasfasilitas yang tersedia adalah 99,04 % responden
menyatakan baik sedangkan 0,96 % responden
menyatakan kurang baik. Persepsi responden
terhadap aspek karyawan termasuk perawat yang
bekerja di RSGM FKG UNMAS adalah 93,33 %
responden menyatakan baik sedangkan 6,67 %
responden menyatakan kurang baik. Persepsi
pasien terhadap promosi tentang keberadaan
RSGM serta pelayanan yang tersedia yaitu 40 %
responden menyatakan baik atau promosi yang
dilakukan sudah cukup, sedangkan 60 %
responden menyatakan kurang baik atau promosi
tentang RSGM masih kurang sehingga masih
diperlukan promosi lebih lanjut.

JUMLAH
(orang)
105
0
104
1
91
14
104
1
98
7
42
63

(%)
100
0
99,04
0,96
86,67
13,33
99,04
0,96
93,33
6,67
40
60

TOTAL
(N=105)
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan
bahwa persepsi pasien terhadap pelayanan
kesehatan gigi di RSGM Terpadu FKG UNMAS
secara umum sudah baik. Pelayanan kesehatan gigi
yang baik tersebut didukung oleh alat-alat yang
canggih, bersih dan steril. Hal tersebut yang
memotivasi sebagian besar pasien untuk
berkunjung ke rumah sakit ini. Selain itu sebagian
besar pasien (82,86%) menyatakan karena
pelayanan kesehatan gigi yang diberikan sudah
sesuai dengan keinginan pasien. Dalam pemberian
pelayanan kesehatan gigi, sebagian besar pasien
(94,28%) menyatakan dilibatkan dalam setiap
perawatan yang dilakukan. Informasi tentang
perawatan yang dilakukanpun sudah cukup
memuaskan pasien. Ada beberapa pasien (25,71%)
yang mengeluh harus menunggu lama untuk
mendapatkan perawatan dari dokter gigi di RSGM
ini.
Kepuasan pasien terhadap pelayanan
kesehatan gigi yang diberikan tidak lepas dari peran
tenaga medis/dokter gigi yang menanganinya.
Persepsi pasien terhadap tenaga medis/dokter gigi
yang menanganinya di RSGM Terpadu FKG
UNMAS sudah baik. Penilaian ini timbul karena
dipengaruhi oleh tenaga medis/dokter gigi di rumah
sakit ini yang bekerja secara professional, cepat,
penuh empati dan ramah terhadap pasien. Hampir
seluruh responden mempersepsikan bahwa
pelayanan yang diberikan di RSGM FKG UNMAS
ditangani oleh dokter gigi spesialis. Sebagian besar
pasien (99,04%) menyatakan dokter gigi di RSGM

46

ini cepat tanggap dengan keluhan pasien,


memberikan kebebasan kepada pasien untuk
memutuskan perawatan dan memberikan informasi
yang cukup tentang perawatan yang dilakukan.
Namun sebagian pasien (57,15%) menyatakan
bahwa tenaga medis/dokter gigi di rumah sakit ini
berpenampilan tidak menarik. Hal ini sesuai dengan
pendapat Kent dan Blinkhorn (2005), ada beberapa
hal yang mempengaruhi persepsi serta kepuasan
pasien terhadap dokter gigi yaitu keterampilan
professional, keramahan, pemberian informasi, cara
berinteraksi, empati, mau mendengarkan keluhan
pasien. 11
Sehubungan dengan biaya perawatan di
RSGM Terpadu FKG UNMAS, sebagioan besar
pasien (86,67%) menyatakan biaya yang harus
dikeluarkan sudah sesuai dengan perawatan yang
diberikan. Dan dibandingkan dengan praktik dokter
gigi swasta lainnya, biaya yang harus dikeluarkan
termasuk kategori murah dan masih terjangkau.
Tingginya biaya perawatan yang harus dikeluarkan
dipengaruhi oleh rumitnya suatu perawatan yang
diperlukan dan kualitas perawatan yang diinginkan
pasien sehubungan dengan unsur estetik. Hal ini
didukung oleh pendapat Notoatmodjo (2005),
bahwa biaya yang dibayarkan harus dirasakan
seimbang dengan manfaat yang diperoleh dari
produk/jasa yang diberikan.8 Menurut Sabarguna
(2004), harga/tarif merupakan hal yang komplek
sehubungan dengan biaya, break even point dan
strategi harga, juga berhubungan dengan peraturan
pemerintah atau dan keadaan masyarakat sekitar.
Harga/biaya harus dapat diatur agar rasional,
artinya dimengerti dan sesuai antara pengeluaran
dan pelayanan yang didapat.7
Sebagian besar pasien (99,04%), menyatakan
bahwa dari segi tempat RSGM FKG UNMAS
sudah baik. Hal tersebut didukung oleh lokasi
RSGM yang strategis di pusat kota, mudah
dijangkau, kondisi rumah sakit yang bersih dan
nyaman. Walaupun sebagian pasien (62,86%)
merasa tidak puas dengan fasilitas tempat parkir
yang tersedia. Jika dilihat dari kondisi RSGM FKG
UNMAS secara nyata, tempat parkir khusus pasien
RSGM sudah tersedia. Tetapi pada kenyataannya,
terjadi ketidaksesuaian fungsi oleh karena tempat
parkir tersebut dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain
di lingkungan RSGM. Sesuai dengan pendapat
Sabarguna (2004), dalam hal tempat perlu
diperhatikan hal-hal yang terkait, memang harus
diupayakan dapat dicapai, minimal dapat
disubstitusikan yaitu waktu yang singkat untuk
dijangkau, lokasi yang mudah dicapai, tempat
parkir yang cukup, keadaan tempat pelayanan yang

memenuhi syarat, ruang tumggu yang nyaman


karena akan mempengaruhi kondisi kelelahan dan
kejenuhan pasien dalam menerima pelayanan.7
Menurut Kent dan Blinkhorn (2005) berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Jackson (1978),
tentang praktik dokter gigi didapatkan hasil bahwa
sebagian besar orang menganggap dokter gigi
dengan tempat praktik ultramodern (sarana
perawatan yang modern dan canggih) lebih dapat
dipercaya, lebih terampil, dan lebih mahir.11
Karyawan yang bekerja di RSGM FKG
UNMAS baik perawat maupun non perawat juga
mempengaruhi kepuasan pasien terhadap pelayanan
di rumah sakit ini. Berdasarkan hasil penelitian,
93,33 % menyatakan bahwa karyawan yang bekerja
di rumah sakit ini sudah bekerja dengan baik,
bersikap ramah dan memberikan informasi yang
diperlukan pasien. Menurut Sabarguna (2005), pada
kegiatan organisasi setiap orang akan mempunyai
peran yang pasti bermanfaat, besar atau kecil.
Karyawan yang bekerja dengan baik akan
mendukung pelayanan yang bermutu dan dapat
menjamin kepuasan pasien.7
Promosi
berarti
mengkomunikasikan
keunggulan dan membujuk konsumen atau
kelompok sasaran untuk menggunakan produk/jasa
yang ditawarkan.7 Promosi maupun informasi
tentang RSGM FKG UNMAS, 60 % menyatakan
masih kurang memuaskan. Sebagian besar dari
pasien yang berkunjung ke RSGM FKG UNMAS
ini mengetahui informasi tentang keberadaan rumah
sakit ini dari rujukan dokter gigi praktik swasta,
mahasiswa FKG, serta karena tempat tinggal atau
tempat bekerja yang berdekatan dengan lokasi
rumah sakit. Infomasi juga diperoleh dari kerabat
atau teman yang pernah menjadi pasien di rumah
sakit ini. Kepuasan pasien terhadap pelayanan yang
diberikan, kelengkapan sarana dan prasarana
perawatan yang tersedia mendorong hampir 100 %
pasien untuk menyarankan karabat atau teman
untuk berkunjung ke RSGM FKG UNMAS.
Menurut Notoatmodjo (2005), promosi dapat
dilakukan melalui komunikasi massa (TV, radio,
koran dan media cetak) serta komunikasi
interpersonal.8 Dalam hal promosi perlu
dipertimbangkan hal-hal berikut yaitu: adanya
komunikasi yang baik antara rumah sakit dengan
calon pasien dan pasien langganan; kesadaran
bahwa pelayanan setiap tahap di rumah sakit adalah
promosi tidak langsung; harus dibangun kesan yang
membuat ciri khas rumah sakit; publisitas yang
seimbang; pelayanan yang memuaskan adalah iklan
yang paling baik dan paling murah, dan pasien yang
puas akan menjadi juru pemasar tidak langsung

47

yang handal; dan gunakan berbagai cara promosi


seperti public relation, publisitas dan kontak
perorangan dengan ramuan
yang paling
menguntungkan dan tepat sasaran.

SIMPULAN
Persepsi pasien terhadap pelayanan di
RSGM Terpadu FKG UNMAS yang meliputi 6
aspek adalah persepsi terhadap pelayanan kesehatan
gigi, tenaga medis/dokter gigi yang menangani,
biaya perawatan, tempat dan karyawan sudah baik,
sedangkan persepsi terhadap promosi RSGM masih
kurang baik.

SARAN

Lokakarya Persiapan Pendirian RSGM FKG


UNMAS, Denpasar, 2003.
7. Sabarguna BS. Pemasaran Rumah Sakit,
Yogyakarta: KONSORSIUM Rumah Sakit
Islam Jateng DIY, 2004.
8. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan Teori dan
Aplikas. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2005.
9. Yudiasa M. Harapan Peran RSGM bagi
Pelayanan Kesehatan Gigi di Bali, Lokakarya
Persiapan Pembukaan RSGM FKG UNMAS,
Denpasar, 2003.
10. Budiarto E. Metodologi Penelitian Kedokteran
Sebuah Pengantar. Jakarta: EGC Penerbit
Buku Kedokteran, 2003.
11. Kent GG & Blinkhorn AS. Pengelolaan
Tingkah Laku Pasien pada Praktik Dokter Gigi
(terjemahan.), ed. 2. Jakarta: EGC Penerbit
Buku Kedokteran, 2005.

Untuk
pengembangan
RSGM
FKG
UNMAS, kepada pihak manajemen RSGM
disarankan hal-hal sebagai berikut : 1)Peningkatan
kualitas pelayanan untuk kepuasan pasien;
2)Peningkatan profesionalitas tenaga medis / dokter
gigi dalam penanganan pasien; 3)Adanya standar
operasional penerimaan pasien di lobi dan ruang
perawatan; 4)Suasana ruang tunggu yang lebih
nyaman; 5)Fasilitas parkir ditata khusus disiapkan
untuk pasien; 6)Promosi tentang keberadaan RSGM
agar lebih ditingkatkan dan distribusi promosi
diperluas, terutama melalui media cetak dan
elektronik.

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.

6.

Kreitner R & Kinicki A. Perilaku Organisasi


(terjemahan), Buku I. Jakarta: Penerbit PT.
Salemba Emban Patria, 2003.
Muchlas M. Perilaku Organisasi I.
Yogyakarta: Program Pendidikan Pascasarjana
Megister Manajemen Rumahsakit, Universitas
Gadjah Mada, 1999.
Robbins SP. Perilaku Organisasi, Ed 1.
Jakarta: PT. Indeks Kelompok Gramedia,
2003.
Thoha M. Perilaku Organisasi Konsep Dasar
dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003.
Ilyas Y. Kinerja, Teori,Penilaian dan
Penelitian, Jakarta: Pusat Kajian Ekonomi
Kesehatan FKM-UI, 2002.
Siburian J. Klinik Distribusi Salah Satu
Alternatif Meningkatkan Pelayanan RSGM,

48

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Mahasaraswati Denpasar

PERAN sIgA PADA KARIES GIGI ANAK


Eko Sri Yuni Astuti
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

Abstrak
Karies merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan gigi (host), substrat,
mikroorganisme dan waktu. Bakteri penyebab utama karies gigi adalah Streptococcus mutans
dan Streptococcus sobrinus. Dalam rongga mulut terdapat sistem pertahanan terhadap serangan
mikroorganisme golongan Streptococcus, yaitu adanya IgA sekretori (sIgA) pada saliva yang
merupakan faktor pertahanan tubuh spesifik terhadap timbulnya karies. Jumlah sIgA saliva pada
anak-anak lebih banyak daripada dewasa. Peran sIgA mampu mencegah kolonisasi bakteri
penyebab karies dengan mencegah perlekatan bakteri tersebut pada permukaan gigi. Perlekatan
streptococcus sobrinus dipengaruhi pada pembentukan glukan (dekstran),
sedangkan
Streptococcus mutans yang melekat pada aglutinin saliva dalam pelikel gigi diikat oleh sIgA
dan dibuat tidak aktif, dengan demikian kariespun tidak terjadi.
Kata kunci : Karies, sIgA.
Korespodensi : Eko Sri Yuni Astuti, drg., Sp.KGA. Bagian Ilmu kesehatan Gigi Anak,
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar,
Telp/Fax : (0361) 261278.

PENDAHULUAN
Prevalensi karies gigi pada anak di
negara berkembang meningkat dengan
cepat
sesuai
dengan
meningkatnya
popularitas gula halus. 1 Keparahan karies
gigi akan menyebabkan pulpa terbuka dan
menjadi infeksi yang akan menjadi fokus
infeksi bagi organ tubuh lainnya. Karies
merupakan penyakit multifaktorial yang
melibatkan
gigi
(host),
substrat,
mikroorganisme dan waktu. 2 Bakteri
penyebab utama karies gigi adalah
Streptococcus mutans dan Streptococcus
sobrinus. 3 Saliva memegang peranan
penting untuk terjadinya karies gigi 4 ,
karena salah satu fungsi saliva adalah
sebagai cadangan ion terutama ion kalsium
yang memfasilitasi proses remineralisasi
gigi, disamping adanya sIgA yang
merupakan faktor pertahanan tubuh spesifik
terhadap
mikroorganisme. 5
Untuk
menanggulangi terjadinya serangan oleh
mikroorganisme
patogen,
manusia
mempunyai
sistem
imunitas
yang
merupakan mekanisme pertahanan dari
serangan
zat
asing
yang
dapat

menimbulkan infeksi / kerusakan jaringan.


Terdapat sistem pertahanan spesifik di
rongga
mulut
terhadap
serangan
mikroorganisme
patogen
khususnya
Streptococcus mutans dan Streptococcus
sobrinus, berupa sIgA yang terdapat dalam
saliva. 1
Dalam
saliva
keseluruhan
konsentrasi
sIgA
mendekati
200
mg/1000ml 6 , dan pada anak-anak sampai
umur 15 tahun volume saliva lebih besar
dibanding pada umur dewasa. 5 Konsentrasi
sIgA saliva pada individu bebas karies
ternyata lebih tinggi dari pada penderita
karies aktif. 7 Dari uraian di atas timbul
suatu pertanyaan bagaimanakah peran sIgA
pada karies gigi anak. Tujuan dari
penulisan ini adalah untuk menelaah peran
sIgA saliva pada karies gigi anak.

KARIES
Karies gigi adalah penyakit jaringan
gigi yang ditandai dengan kerusakan
jaringan, dimulai dari jaringan keras gigi
(pit, fissur dan daerah interproksimal)
meluas ke arah pulpa. 8 Berbagai faktor

49

penyebab karies diantaranya: makanan /


substrat, mikroorganisme, host / gigi
(permukaan dan bentuk gigi) dan waktu.
Beberapa jenis makanan karbohidrat
misalnya sukrosa dan glukosa, dapat
difermentasi oleh bakteri tertentu dan
membentuk asam sehingga pH plak akan
menurun sampai di bawah 5 dalam waktu
13 menit. Penurunan pH yang berulangulang dalam
waktu
tertentu
akan
mengakibatkan demineralisasi permukaan
gigi yang rentan, dan proses karies pun
dimulai. Proses demineralisasi tersebut
terjadi pada bagian anorganik gigi yang
diikuti kerusakan bagian organiknya. 2
Paduan keempat faktor penyebab
karies di atas dapat digambarkan sebagai
empat lingkaran yang saling berkaitan
seperti gambar di bawah ini. 2

Gambar 1
Interaksi 4 Faktor Penyebab Karies
Perkembangan
karies
gigi
membutuhkan: 1)bakteri kariogenik yang
mampu memproduksi asam dengan cepat di
bawah pH kritis yang dibutuhkan untuk
melarutkan email, dan 2)gula pada
makanan yang memudahkan bakteri untuk
berkolonisasi dan difermentasi menjadi
asam. Proses ini dapat terganggu dengan
adanya respon imun yang efektif. 9
Beberapa bakteri kariogenik yaitu:
Streptococcus
mutans,
Streptococcus
sanguis,
Streptococcus
sabrinus,
Lactobacillus
acidophilus
dan
Lactobacillus casei serta Actinomyces
viscosus dapat menyebabkan karies karena
mempunyai kemampuan berkolonisasi pada
gigi untuk menurunkan pH, Streptococcus
mutans
dan
Streptococcus
sobrinus

merupakan organisme kariogenik yang


paling berperan. 3,9 Streptococcus mutans
berhubungan pada inisiasi karies pada pit
dan fissure serta permukaan halus dari
email, sedangkan Streptococcus sobrinus
pada sisi proksimal gigi posterior. 3

sIgA SALIVA
Saliva adalah cairan mulut yang
kompleks, terdiri atas campuran sekresi
dari kelenjar saliva besar dan kecil yang
ada pada mukosa mulut. Saliva yang
terbentuk di rongga mulut, sebagian besar
dihasilkan oleh kelenjar submaksilar (90%)
dan
kelenjar sublingual (5%) serta
kelenjar-kelenjar saliva kecil yang lainnya
(5%). Sebagian besar saliva ini dihasilkan
pada saat sedang makan, sebagai reaksi atas
rangsang yang berupa pengecapan dan
pengunyahan makanan. saliva merupakan
hal yang sangat penting walaupun pada saat
tidak sedang makan. Pada individu yang
sehat, gigi geligi secara terus menerus
terendam dalam saliva sampai sebanyak 0,5
ml yang akan membantu melindungi gigi,
lidah, membrana mukosa dan orofaring.2
Cara perlindungan yang dilakukan
saliva bisa berupa antara lain dengan
melakukan aktifitas antibakteri dan anti
virus, selain mengandung antibodi spesifik
(sIgA),
juga
mengandung
lisosom,
lactoferin dan lactoperoksidase. Molekul
sIgA disekresi oleh sel-sel plasma yang
terdapat di dalam kelenjar saliva,
sedangkan komponen protein lainnya
diproduksi dilapisan epitel luar yang
menutup kelenjar. 2
Volume total saliva pada orang
dewasa yang diproduksi tiap hari antara
750 1000 ml, 6 pada anak-anak sampai
dengan umur 15 tahun volume saliva lebih
besar dibanding pada umur yang lebih
dewasa. Dengan bertambahnya umur
seseorang, akan terjadi penurunan produksi
saliva. 5 Di dalam saliva keseluruhan jumlah
sIgA mendekati 200 mg/1000 ml,
sedangkan IgG 2 mg/1000 ml dan IgM 1
mg/1000 ml.6 Dengan demikian pada anakanak jumlah sIgA saliva lebih banyak dari
pada orang dewasa.
sIgA saliva merupakan anti bodi
terbanyak
dibandingkan
kelas
imunoblobulin lain. 6 Kadar sIgA saliva

50

individu tahan karies 14,2 mgdl -1 ,


sedangkan pada individu peka karies 9,1
mgdl -1 . 9 Saliva individu tahan karies
mengandung sIgA spesifik terhadap
Streptococcus
mutans
lebih
banyak
sedangkan aktifitas sIgA lebih rendah
dibandingkan dengan individu peka karies.
Karena itu sIgA saliva mungkin berperan
dalam mengontrol karies gigi. 10
Sistem imunologis total terdiri dari
terutama sIgA, disamping jumlah kecil IgG
dan IgM. Pada sIgA, saliva terikat suatu
secretory peace yang merupakan suatu
glikoprotein yang dapat melindungi sIgA
dari kerusakan. Dalam saliva tercampur,
dijumpai juga sejumlah kecil IgG, sIgA dan
IgM, yang berasal dari cairan krevikular
dan mungkin mempunyai suatu fungsi lokal
di dalam gingiva. Gambaran yang terbentuk
karena pengaruh sIgA adalah jaringan oral
tertutup dengan lapisan pelikel, dalam
lapisan ini juga dijumpai sIgA yang
mempunyai suatu aktifitas perlekatan yang
kuat. Antigen dalam bentuk bakteri dan
virus terpegang dalam lapisan pelikel dan
dibuat tidak aktif oleh sIgA; dan oleh
pengaruh pembersih mekanis saliva
diangkut ke lambung untuk dihancurkan. 1
Molekul sIgA di dalam saliva dapat
berikatan dengan Streptococcus mulut,
sehingga mikroorganisme ini tidak menetap
pada jaringan mulut. Hal ini menunjukkan
bahwa sIgA ternyata terlibat langsung pada
perlindungan mukosa mulut dan mukosa
gingiva terhadap infeksi, serta elemen gigi
geligi
terhadap
kolonisasi
mikroorganisme. 1 Diperkirakan, zat ini
berfungsi dalam mekanisme pertahanan
spesifik utama di dalam rongga mulut
khususnya terhadap timbulnya karies gigi. 11
Karies akan terjadi apabila terbentuk
kolonisasi bakteri pada permukaan gigi,
yaitu adanya perlekatan bakteri pada
jaringan gigi. Perlekatan terjadi melalui
adhesin bakteri yang berikatan dengan
reseptor karbohidrat atau reseptor peptida
pada jaringan gigi. 12 Bakteri penyebab
karies yaitu Streptococcus mutans dan
Streptococcus
sobrinus. 3
Perlekatan
Streptococcus mutans pada permukaan gigi
karena adhesin Streptococcus mutans
berikatan
dengan
komponen
saliva
(agglutinin
saliva)
pada
pelikel, 12
sedangkan adhesin Streptococcus sobrinus
berikatan dengan glukan (dekstran) yang

merupakan hasil sintesis sukrosa oleh


enzim glukosil transferase pada pelikel. 9
sIgA pada pelikel dapat mengikat
antigen yang berupa bakteri maupun virus,
Streptococcus mutans yang melekat pada
agglutinin saliva pada pelikel terpegang /
terikat oleh sIgA dan dibuat tidak aktif,
kemudian oleh pembersihan mekanis saliva
diangkut ke lambung untuk dihancurkan. 1
sIgA juga mampu mencegah kolonisasi
Streptococcus
sobrinus
yang
dalam
perlekatannya tergantung pada glukan
(dekstran}. Diperkirakan antibodi ini
mempengaruhi
pembentukan
glukan
(dektran)
sehingga
dapat
mencegah
perlekatannya. 9

SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa jumlah sIgA saliva
pada anak-anak lebih banyak daripada
dewasa. Peran sIgA terhadap terjadinya
karies gigi pada anak adalah dengan cara
mempengaruhi perlekatan bakteri pada
permukaan gigi. Kolonisasi Streptococcus
sobrinus dicegah oleh sIgA dengan cara
mempengaruhi
pembentukan
glukan
(dekstran),
sedangkan
Streptococcus
mutans yang melekat pada aglutinin saliva
dalam pelikel gigi diikat oleh sIgA dan
dibuat tidak aktif.

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

Amerongen. Ludah dan Kelenjar


Ludah Arti Bagi Kesehatan Gigi
(terjemahan).
Yogyakarta:
Gadjah
Mada University Press., 1991: 78-94.
Kidd EAM dan Sally JB. Dasar-Dasar
Karies
dan
Penanggulangannya
(terjemahan.), Jakarta: EGC Penerbit
Buku Kedokteran Gigi. 1991: 12, 66
74.
De Graff J and De Soet JJ.
Immunological Strategies Towards
Dental Caries Prevention. In: Busscher
HJ and Evans LV. Oral Biofilm and
Plaque Control., Amsterdam, The
Netherlands:
Harwood
Academic
Publishers, 1998.

51

4.

5.

6.

7.

8.

Koch G & Poulsen S. Pediatric


Dentistry
A
Clinical
Approach.
Munksgaard, Copenhagen, 2001.
Supartinah S. Saliva dan Kaitannya
Dengan Penyakit Rongga Mulut Anak,
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada FKG UGM, Yogyakarta, 2003.
Challacombe SJ. & Shirlaw PJ.
Immunology of Diseases of The Oral
Cavity. In: Ogra PL, Mestecky J,
Lamm M, Strober W, McGhee J,
Bienenstock J. Handbook of Mucosal
Immunology. New York: Academic
Press Inc., 1999.
Roeslan BO dan Sadono M. Peranan
sIgA
Saliva
dalam
Mekanisme
Pertahanan Terhadap Karies. Majalah
Ilmiah Kedokteran Gigi FKG USAKTI
1987; 2(6):162.
Houwink B. Ilmu Kedokteran Gigi
Pencegahan (terjemahan). Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1993:


5885, 125159.
9. Lehner T. Imunologi Pada Penyakit
Mulut (terjemahan). Jakarta: EGC
Penerbit Buku Kedokteran Gigi. 1995:
61.
10. Roeslan BO. Isolasi IgAs dari Air
Ludah Tiga Individu Dengan Kondisi
Karies Berbeda. Majalah Kedokteran
Gigi FKG USAKTI 2001; 16(3): 105
15.
11. Gunawan JA dan Roeslan BO. Kadar
sIgA Liur Individu Rentan Karies dan
Individu Tahan Karies, Majalah
Kedokteran Gigi Unair 2000; 33(1):
3539.
12. Widjiastuti I. Agglutinin Saliva
Sebagai
Media
Perlekatan
Streptococcus Mutans Pada Permukaan
Gigi. Majalah Kedokteran Gigi FKG
UNAIR 2000; 33(1): 14

52

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Mahasaraswati Denpasar

GAMBARAN RASA TAKUT TERHADAP PERAWATAN GIGI PADA ANAK


USIA SEKOLAH YANG BEROBAT KE PUSKESMAS IV DENPASAR BARAT
IGAAP Swastini, Regina Tedjasulaksana, Maria Martina Nahak
Jurusan Kesehatan Gigi, Politeknik Kesehatan Denpasar

ABSTRACT
The first emotion that babies have after their birth are to have fear feelings. The feeling of fear
appears to be a protective mechanism to people that can protect them against danger. Fear feelings may
come from parents, family members or may from their environment. The purpose of this survey is to have a
picture of the fear feelings of school students between 6 to 13 years old and to know which ones of dental
care treatment that have become a phantom to them. This survey has been done by the dental clinic of
Puskesmas IV Denpasar Barat Kota Denpasar on March of the year 2006. Data which have been collected
are primary data that have been carried out by filling out questionnaires, and accordingly, analysis have
been determined as statistic univariate. The result of this survey indicated that 91 respondents which have
examined where five children have no fear feelings towards all actions of dental care treatment, eight
children have fear feelings towards all actions of dental care treatment, and the rest, 78 children are
fearful only towards certain actions of the dental care treatment.As a whole, it shows that girls are more
fearful according to this survey, it also indicates, that dental care treatment are the most fearing treatment
for respondents, especially, if the dentist / nurse perform anesthetic by using injections.
Key words : fear feelings, school students

PENDAHULUAN
Rasa takut terhadap perawatan gigi
merupakan hambatan bagi dokter gigi dalam
usaha peningkatan kesehatan gigi masyarakat.
Dari beberapa literatur ditemukan bahwa
insidensi rasa takut terhadap perawatan gigi
terjadi kurang lebih 5% dari tingkat populasi dan
di antaranya ditemukan pada anak anak usia
sekolah (16%). Sedangkan Kleinknecht dari hasil
penelitiannya di Amerika melaporkan bahwa
rasa takut terhadap perawatan gigi terjadi sebesar
74,6%. Sedangkan rasa takut terhadap perawatan
gigi di negara Asia masih perlu dilakukan kajian
lanjut.1
Menurut Sutadi dan Heriandi (1994),
kecemasan dan rasa takut terhadap perawatan
gigi menyebabkan penderita merasa enggan
untuk berobat ke unit pelayanan kesehatan gigi.
Beberapa ahli melaporkan bahwa pada umumnya
kecemasan / rasa takut timbul akibat pengalaman
perawatan gigi semasa kanak-kanak, oleh karena
itu perlu diperhatikan bahwa pencegahan
timbulnya kecemasan / rasa takut harus dimulai
pada usia dini. Anak sudah bisa mengadakan

sintesa logis, karena munculnya pengertian,


wawasan, dan akal yang sudah mencapai taraf
kematangan. Selain itu, anak-anak sudah bisa
menghubungkan bagian-bagian menjadi satu
kesatuan atau menjadi satu struktur 1
Kecemasan / rasa takut terhadap
perawatan gigi dapat dijumpai pada anak-anak
di berbagai unit pelayanan kesehatan gigi
misalnya di praktik dokter gigi, di rumah sakit
ataupun di puskesmas. Puskesmas sebagai ujung
tombak pelayanan kesehatan masyarakat harus
mampu melakukan pendekatan-pendekatan
kepada masyarakat khususnya anak-anak dalam
menyelenggarakan atau memberikan pelayanan
kesehatan gigi yang optimal. Salah satu program
Puskesmas
untuk
meningkatkan
derajat
kesehatan anak-anak adalah melalui program
UKGS yang dilaksanakan di lingkungan sekolah
dari tingkat pendidikan dasar sampai menengah
dengan tujuan agar setiap siswa / anak usia
sekolah dapat memperoleh pengetahuan dan
pengobatan gigi yang memadai. Dengan
demikian diharapkan dapat terwujud target
nasional untuk kesehatan gigi pada tahun 2010
yaitu angka DMF 3 (DepKes RI, 2000).

53

RASA TAKUT

SUMBER RASA TAKUT

Rasa takut adalah emosi pertama yang


diperoleh bayi setelah lahir. Rasa takut
merupakan suatu mekanisme protektif untuk
melindungi seseorang dari bahaya dan
pengrusakan diri1. Definisi lain menyebutkan
takut ( fear ) merupakan suatu luapan emosi
individu terhadap adanya perasaan bahaya atau
ancaman yang merupakan gabungan dari faktorfaktor antara lain: perilaku yang tidak
menyenangkan
seperti
ancaman
yang
menakutkan yang
akan terjadi, perubahan
fisiologis terutama yang mempengaruhi aktifitas
saraf dari susunan saraf otonom. Reaksi rasa
takut yang kuat diikuti dengan debar jantung
yang keras disertai dengan tanda-tanda emosi
yang lain, perubahan tingkah laku seperti
gelisah, gemetar, serta berusaha menghindarkan
diri dari pihak lain yang menyerangnya.1
Bakwin dan Bakwin (1960), mengatakan
rasa takut adalah suatu emosi dasar manusia
sesudah
dilahirkan
yang
merupakan
perlindungan untuk melawan sesuatu yang
dianggap bahaya yang mengancam dirinya.
Selanjutnya dikatakan bahwa anak-anak
mempunyai rasa takut pada sesuatu yang
didengar, dilihat, dirasakan dan dibayangkan.
Menurut Behrman dan Vaughan (1988), anak
usia sekolah umumnya mempunyai rasa takut
terhadap orang yang masih asing seperti dokter
ataupun dokter gigi, rumah sakit; dan rasa takut
ini merupakan suatu hal yang normal.
Sebagaimana diketahui bahwa peralatan yang
digunakan ataupun tindakan yang dilakukan
tenaga kesehatan gigi terlihat di depan mata,
disamping bunyi bur yang memilukan,
merupakan faktor penyebab timbulnya rasa
takut. 1

Rasa takut dapat bersumber dari anak


sendiri, yaitu: anak yang mempunyai toleransi
yang rendah terhadap rasa sakit, anak pernah
mendapat pengalaman buruk, dan anak yang
mempunyai masalah kesehatan, penyandang
cacat dan gangguan perkembangan; orang
tua/keluarga, yaitu: rasa takut orang
tua/keluarga yang ditularkan ke anak, tindakan
orang tua yang mengancam anak dengan
menggunakan perawatan gigi untuk menakutnakuti, dan membicarakan perawatan gigi di
depan anak sehingga menimbulkan ketakutan;
tim kesehatan gigi, yaitu adanya sikap dari
petugas yang kaku dan keras, kurang sabar,
kurang menunjukkan kehangatan dan perhatian.1;
dan kepribadian, yaitu anak-anak yang tumbuh
dalam lingkungan yang kurang aman, rawan
konflik atau ditengah keluarga yang broken
home memiliki rasa takut yang lebih besar
daripada anak yang tumbuh dalam lingkungan
yang penuh rasa aman secara emosional.
Sedangkan anak yang ekstrovert, karena lebih
mudah terpengaruh dan suka meniru anak lain,
juga lebih mudah dihinggapi rasa takut daripada
anak yang introvert 3.

NILAI RASA TAKUT


Rasa takut berfungsi sebagai mekanisme
pelindung diri sehingga dapat digunakan untuk
menjauhkan diri dari situasi berbahaya yang
bersifat fisik. Rasa takut dapat dihilangkan,
dengan cara disalurkan ke bahaya yang benarbenar ada.2

CARA MENGATASI RASA TAKUT


MACAM RASA TAKUT
Ada dua macam rasa takut, yaitu rasa
takut obyektif; yaitu rasa takut yang didapatkan
karena panca indera dirangsang secara fisik, dan
tidak berasal dari pembawaan. Rasa takut ini
merupakan respon terhadap apa yang diraba,
dirasa, dilihat, didengar, atau dicium, yang tidak
enak atau tidak menyenangkan; dan rasa takut
subyektif; yaitu merupakan rasa takut yang
disugestikan oleh orang lain kepada anak, tanpa
anak sendiri yang mengalaminya. 2

Rasa takut dapat dihilangkan dengan


berbagai cara, yaitu: dengan pencegahan
terhadap pengalaman negatif yang menimbulkan
rasa takut di masa mendatang, membuat suasana
lingkungan yang dirasakan aman dan dapat
dipercaya, membangun kepercayaan pada
seorang pasien serta dokter gigi bertindak
sedemikian rupa sehingga menghilangkan
kegelisahan pasien.

ANAK USIA SEKOLAH


Anak usia sekolah adalah anak sekolah
dengan masa perkembangan yang berkisar antara

54

6 - 12 tahun (masa usia sekolah dasar). Masa ini


disebut juga masa suka berkelompok, karena
bagi usia ini peran kelompok sebaya sangat
berarti baginya. Pada usia sekolah ini umumnya,
lebih mudah diasuh dibandingkan dengan masa
sebelum sekolah. Kunci keberhasilan perawatan
gigi pada anak usia sekolah dasar selain
ditentukan oleh pengetahuan klinis dan
keterampilan tenaga kesehatan gigi, juga
ditentukan oleh kesanggupan anak untuk bekerja
sama. Pada masa ini, rasa takut sudah menurun
dan perkembangan emosinya semakin mantap
dan sudah bisa diajak kerja sama, tetapi ada
sebagian anak yang bersikap non kooperatif4.

RASA TAKUT ANAK USIA SEKOLAH


Pada usia sekolah mulai umur 6 tahun,
anak sudah dapat berpisah dengan ibunya. Rasa
takut sangat menurun, walaupun masih
memerlukan dukungan orang tua5. Pada umur 7
tahun anak sudah dapat menguasai emosinya
dalam perawatan gigi, jarang menimbulkan
kesulitan dan rasa takut lebih bersifat pribadi,
maka dibutuhkan pengertian untuk bekerja sama.
Pada umur 8-12 tahun seorang anak sudah dapat
menerima berbagai situasi yang tidak
menyenangkan. Perkembangan emosinya pun
sudah semakin mantap, umumnya bersikap
toleran, bisa diajak kerjasama dan senang
memperagakan sesuatu.6

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan secara deskriptif
dengan desain survey. Tempat penelitian adalah
di Poliklinik gigi Puskesmas IV Denpasar Barat

Kota Denpasar. Penelitian ini dilakukan pada


bulan Maret tahun 2006. Populasi penelitian ini
adalah 91orang pasien anak-anak usia sekolah
yang berobat ke Poliklinik Gigi Puskesmas IV
Denpasar Barat Kota Denpasar Bulan Maret
tahun 2006. Sampel Penelitian pada penelitian
ini tidak dilakukan lagi sampling tetapi memakai
total populasi. Data yang dikumpulkan adalah
data primer yaitu dengan pengisian kuisioner
yang diberikan kepada pasien anak usia 6-13
tahun yang berobat ke Poliklinik Gigi Puskesmas
IV Denpasar Barat Kota Denpasar bulan Maret
tahun 2006. Pengolahan data dilakukan melalui
beberapa tahap yaitu editing, coding, dan
tabulating. Analisis data akan dilakukan secara
statistik univariat yaitu berupa persentase,
modus terhadap seluruh data .

HASIL PENELITIAN
Dari 91 orang anak yang berobat ke Poli
Gigi Puskesmas IV Denpasar Barat, 5 orang (5,
49%) anak laki laki menyatakan tidak takut
terhadap semua tindakan perawatan gigi; 8 orang
(8,79%) anak yang terdiri 3 orang anak laki laki
dan 5 orang anak perempuan menyatakan takut
terhadap semua tindakan perawatan gigi dan 78
orang anak (85,73%) yang terdiri dari 40 orang
anak laki laki dan 38 orang anak perempuan
menyatakan takut terhadap beberapa tindakan
perawatan gigi.
Gambaran rasa takut pada anak usia
sekolah ( 6-13 tahun ) yang berobat ke poliklinik
gigi Puskesmas IV Denpasar Barat Kota
Denpasar Bulan Maret tahun 2006 berdasarkan
jenis kelamin, dapat dilihat pada tabel 1 di bawah
ini.

55

Tabel 1
Distribusi Frekuensi Rasa Takut Pada Perawatan Gigi Berdasarkan Penyebab Rasa Takut

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Penyebab Rasa Takut


Mendengar cerita tentang
perawatan gigi
Menyaksikan anggota keluarga
yang sedang berobat
Berangkat ke poliklinik gigi
Duduk di ruang tunggu poliklinik
gigi
Perawat memanggil giliran anda
Duduk di kursi gigi
Disuruh berkumur oleh Drg / Prg
Gigi dibersihkan dengan
instrument tangan
Gigi dibor oleh petugas ( Drg /
Prg )
Menyemprotkan udara ke lubang
gigi
Meletakkan gulungan kapas di
dalam mulut
Memasukkan bahan tambalan ke
dalam lubang gigi
Memegang peralatan suntik
Melakukan pembiusan local
dengan suntikan
Melakukan tindakan pencabutan
gigi

Berdasarkan hasil penelitian yang


dilakukan terhadap 91 responden berusia 6 13
tahun di Puskesmas IV Denpasar Barat pada
Bulan Maret tahun 2006 didapatkan hasil sebagai
berikut : responden yang takut terhadap semua
tindakan perawatan gigi sebanyak 8 orang (8,79
%), yang tidak takut terhadap semua tindakan
perawatan gigi sebanyak 5 orang ( 5,49%) dan
sisanya 78 orang ( 85,73%) takut terhadap
beberapa tindakan perawatan gigi.
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa
jenis perawatan gigi yang paling ditakuti oleh
anakanak usia sekolah yang berobat ke
poliklinik gigi Puskesmas IV Denpasar Barat
Kota Denpasar bulan Maret tahun 2006 adalah
ketika petugas kesehatan gigi melakukan
penyuntikan untuk anestesi lokal. Pada tabel juga
terlihat bahwa 41 orang anak laki laki dan 38
anak perempuan atau 79 dari 91 orang anak yang
berobat selama bulan Maret tahun 2006, takut
terhadap tindakan tersebut. Tindakan lain yang
juga menimbulkan rasa takut pada sebagian
besar anak anak adalah ketika dilakukan
tindakan pencabutan gigi.

Laki laki
(48 orang)
f
%
5
10,4

Frekuensi
Perempuan
( 43 orang )
f
%
8
18,6

Jumlah
13

18,75

18,6

17

8
8

16,6
16,6

8
7

18,6
16,27

16
15

9
13
8
17

18,75
27,1
16,6
35,4

8
9
7
9

18,6
20,9
16,3
20,9

17
22
15
26

21

43,75

17

37,2

32

16

33,3

16

34,9

31

15

31,2

14

32,5

30

24

50

21

48,8

45

36
41

75,6
85,4

35
38

81,4
88,3

71
79

35

72,9

33

76,7

68

PEMBAHASAN
Kecemasan / rasa takut terhadap
perawatan gigi bukan merupakan hambatan bagi
tenaga
kesehatan
gigi
dalam
upaya
meningkatkan kesehatan gigi dan mulut.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa beberapa
hal yang berhubungan dengan tindakan
perawatan seperti : mendengar cerita tentang
perawatan gigi, akan berangkat ke klinik gigi,
duduk di kursi gigi terlihat bahwa anak
perempuan lebih takut dibandingkan dengan
anak lakilaki, sedangkan untuk beberapa
keadaan yang lain, misalnya, menyaksikan
anggota keluarga yang sedang berobat, duduk
diruang tunggu poliklinik gigi, ketika perawat
memanggil giliran anak, gigi dibersihkan dengan
instrument tangan, disuruh berkumur, gigi dibur
oleh petugas (drg / perawat gigi ), dan ketika gigi
ditambal, maka terlihat bahwa anak laki laki
lebih takut dibandingkan dengan anak
perempuan. Tetapi secara keseluruhan, dari
semua tindakan perawatan gigi, terlihat bahwa
anak perempuan lebih takut dibandingkan
dengan anak laki-laki. Hal ini tidak sesuai

56

dengan hasil penelitian dari Heriandi Sutadi dan


Yuke Heriandi, yang menyatakan bahwa di
Indonesia responden laki-laki lebih merasa
takut/cemas
terhadap
perawatan
gigi
dibandingkan dengan responden perempuan. Hal
ini mungkin disebabkan oleh karena responden
dari kedua peneliti tersebut adalah kelompok
umur dewasa yaitu umur 1648 tahun.
Sedangkan responden dari penelitian yang
sedang dilakukan sekarang dari kelompok anak
usia sekolah yaitu umur 6 13 tahun. Selain itu
juga terdapat perbedaan psikologis antara anak
laki-laki dan anak perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian juga
didapatkan bahwa perawatan gigi yang paling
ditakuti oleh anak lakilaki, maupun anak
perempuan adalah ketika dokter gigi melakukan
anastesi dengan menggunakan jarum suntik,
dimana terlihat bahwa persentasi anak
perempuan (88,3%) lebih tinggi dibandingkan
dengan anak laki-laki (85,4%).

2.

3.

4.

5.

6.

Finn SB. Parent Crunseig and Child


Behaviour, Clinical Pedodontics, 4 th ed,
London: B. Saunders Co, 1973.
Retno IGK, Trik Meminimalkan Fobia pada
Anak, Denpasar : Bali Post, 5 November
2005: 13
Munandar SC dan Utami. Mengembangkan
Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah,
Jakarta: Gramedia Megasarana Indonesia,
1992.
Soedomo. Rasa Takut Anak Terhadap
Perawatan
Gigi
dan
Pendekatan
Psikologis Untuk Menanggulangi, Majalah
Ilmiah Kedokteran Usakti 1987; 2(6).
Snawder KD. Behaviour Management,
Handbook of Clinical Pedodontics, London:
Mosby Co, 1980.

SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perawatan gigi yang paling ditakuti oleh
responden yaitu ketika dokter gigi / perawat gigi
melakukan anastesi dengan menggunakan jarum
suntik. Secara keseluruhan terlihat bahwa anak
perempuan lebih takut dibandingkan dengan
anak laki-laki.

SARAN
Rasa takut / cemas terhadap perawatan
yang diberikan oleh dokter gigi masih
merupakan masalah yang perlu dicarikan jalan
keluarnya, terutama pada saat perawatan yang
memerlukan jarum suntik. Peran dokter gigi
adalah menjelaskan setiap tindakan perawatan
gigi yang akan dilakukan sehingga tidak
menimbulkan rasa takut. Selanjutnya menelaah
apa yang menjadi penyebab atau faktor-faktor
apa yang berperan terhadap timbulnya rasa takut.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Heriandi S dan Yuke H, Rasa Takut atau


Cemas Terhadap Perawatan Gigi (Dalam
Kajian Penelitian di Indonesia, Jepang,
Brazil dan Argentina), Jakarta, 1994.

57

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Mahasaraswati Denpasar

HUBUNGAN PERILAKU MENYIKAT GIGI DENGAN KARIES GIGI


PADA ANAK SD SWASTA USIA 12 TAHUN DI KOTA DENPASAR
TAHUN 2006

I G.AA Dharmawati, S A Putri Dwiastuti, Ni Ketut Ratmini


Politeknik Kesehatan Denpasar, Jurusan Kesehatan Gigi

ABSTRAK
Status kesehatan gigi dan mulut siswa SD swasta di kota Denpasar masih cukup
tinggi, hal ini bisa dilihat dari laporan UKGS Puskesmas di kota Denpasar tahun 2004,
yaitu ditemukan 4.070 kasus penyakit gigi (termasuk karies gigi) yang membutuhkan
perawatan (data tidak dipublikasikan). Dari tingginya angka karies tersebut, peneliti ingin
mengetahui apakah ada hubungan antara perilaku menyikat gigi dengan karies gigi pada
anak SD swasta usia 12 tahun di kota Denpasar? Desain penelitian adalah analitik dengan
pendekatan cross sectional, bertempat di SD swasta di kota Denpasar yang terdiri dari
tiga kecamatan yaitu SD Saraswati 5 di Denpasar Timur, SD Muhammadiyah di Denpasar
Barat, SD Harapan di Denpasar Selatan. Sampel penelitian diambil dengan cara simple
random sampling pada anak anak kelas VI yang berusia 12 tahun dengan jumlah
sample 120 orang. Data yang dikumpulkan adalah data primer tentang karies gigi dan
perilaku menyikat gigi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata karies gigi lakilaki
yaitu 1,74 kali lebih besar daripada perempuan. Gigi yang paling sering terkena karies
adalah gigi 36, sedangkan perilaku menyikat gigi yang benar lebih banyak pada anak
anak perempuan. Dari uji korelasi Spearmans diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara
perilaku menyikat gigi dengan karies gigi pada anak SD swasta usia 12 tahun di kota
Denpasar tahun 2006
Kata Kunci: perilaku menyikat gigi, karies

PENDAHULUAN
Berdasarkan
hasil
Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada
tahun 1995, penyakit gigi dan mulut
yang ditemukan di masyarakat masih
berkisar pada penyakit yang menyerang
jaringan keras gigi (karies) dan penyakit
periodontal.
Hasil
survei
ini
menunjukkan bahwa 63% penduduk
Indonesia menderita kerusakan gigi aktif
(kerusakan pada gigi yang belum
ditangani).
Pemicu dari perilaku adalah
isyarat / stimulus dari lingkungan yang
membawa
seseorang
berperilaku

tertentu. Sebagai contoh adalah perilaku


menyikat gigi sering dikaitkan dengan
mandi, yaitu setelah mencuci muka
biasanya orang menyikat gigi. Pemicu
perilaku bergantung pada dampak dari
perilaku
tersebut.
Bila
seseorang
melakukan
suatu
tindakan
dan
pengaruhnya dirasakan menguntungkan,
orang tersebut pasti akan mengulangi
tindakan tadi. Bila pengaruhnya tidak
menyenangkan, perilaku itu tidak akan
diulangi. 1
Kelainan pada gigi yang sering
dijumpai pada anak adalah karies gigi.
Upaya
pencegahan
karies
dapat
dilakukan sejak dini, salah satunya

58

dengan pemeliharaan kesehatan gigi dan


mulut. Pertambahan umur anak usia
sekolah dasar, juga akan mempengaruhi
sikap dan perilaku mereka dalam
memelihara
kesehatan
gigi.
Pada
umumnya, sekolah dasar swasta berada
di daerah perkotaan. Anak-anak yang
tinggal di perkotaan umumnya memiliki
pengetahuan tentang kesehatan gigi dan
mulut serta kondisi perekonomian yang
lebih baik dibandingkan dengan kondisi
anak-anak yang berada di pedesaan. 2
Kotamadya Denpasar mempunyai
3 kecamatan dan dimasingmasing
kecamatan tersebut terdapat Sekolah
Dasar swasta yang belum pernah
dilakukan penelitian mengenai hubungan
perilaku menyikat gigi dengan karies
gigi.
Perilaku manusia pada hakikatnya
adalah suatu aktivitas daripada manusia
itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku
manusia itu mempunyai rentangan yang
sangat
luas
mencakup
berjalan,
berbicara, bereaksi, berpakaian dan lain
sebagainya. Bahkan kegiatan internal
seperti berpikir, persepsi dan emosi juga
merupakan perilaku manusia. Perilaku
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: faktor
predosposisi,
faktor-faktor
yang
mendukung dan faktor-faktor yang
memperkuat
atau
mendorong.
Sehubungan
dengan hal
tersebut,
pendidikan kesehatan sebagai faktor
usaha
intervensi
perilaku
harus
diarahkan kepada ketiga faktor tersebut.
Dengan kata lain, pendidikan kesehatan
adalah suatu usaha untuk menyediakan
kondisi psikologis dari sasaran agar
mereka berperilaku sesuai dengan
tuntutan nilai kesehatan. 3

KARIES GIGI
Karies merupakan suatu penyakit
jaringan keras gigi, yaitu email, dentin,
dan sementum, yang disebabkan oleh
aktivitas suatu jasad renik dalam suatu
karbohidrat yang dapat diragikan. Tanda
terjadinya
karies
adalah
adanya
demineralisasi jaringan keras gigi yang

kemudian diikuti oleh kerusakan bahan


organiknya. 4 Secara teoritis, ada tiga
cara dalam mencegah karies gigi yaitu:
menghilangkan substrat karbohidrat,
(mengurangi frekuensi konsumsi gula
dan membatasinya pada saat makan
saja), meningkatkan ketahanan gigi
(email dan dentin yang terbuka dapat
dibuat lebih resisten terhadap karies
dengan pemakaian fluor dan pemakaian
resin pada fit dan fisure yang dalam),
serta menghilangkan plak (menyikat gigi
dan pembersihan karang gigi). Karies
gigi adalah penyakit kronis yang sangat
lazim pada rongga mulut. Penyakit
tersebut tergantung dari mikroorganisme
yang terdapat dalam plak. Oleh karena
itu, mengontrol plak merupakan bagian
yang sangat penting bagi pencegahan
penyakit tersebut. Mengontrol plak
dapat dilakukan secara mekanis dan
kimiawi.
Mengontrol
plak
secara
kimiawi hanya digunakan sebagai
tambahan setelah cara mekanik. Cara
mengontrol
plak
secara
mekanis
meliputi menyikat gigi adalah cara yang
paling baik dilakukan. 4 Menurut Be.K.N
(1989), menyikat gigi adalah cara umum
yang dianjurkan untuk membersihkan
deposit lunak pada permukaan gigi dan
gusi. 5

BAHAN DAN METODE


Desain penelitian ini adalah
analitik dengan pendekatan cross
sectional. Penelitian dilakukan di SD
swasta di kota Denpasar yang dilakukan
pada bulan Februari 2006. Populasi
penelitian ini adalah semua anak kelas
VI di SD swasta di kota Denpasar
(Denpasar Timur, Denpasar Barat,
Denpasar
Selatan).
Besar
sampel
penelitian ini adalah
97
orang.
Pengumpulan data dilakukan dengan
cara
pemeriksaan
langsung
dan
pengisian kuisioner. Pengolahan data
dilakukan mulai dari pemeriksaan
lembar status pemeriksaan, pemberian
kode, dan pemasukan data ke tabel

59

induk. Analisis data dilakukan secara

statistik

univariat

dan

bivariat.

HASIL PENELITIAN
Berdasarkan jenis kelamin didapat distribusi frekuensi karies gigi seperti table 1.
dibawah ini.
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Karies Gigi Menurut Jenis Kelamin Pada Anak SD Swasta Usia 12
Tahun Di Kota Denpasar Tahun 2006

SD

Laki laki
Jumlah
Karies
Responden
%

Perempuan
Jumlah
Karies
Responden
%

Total
Karies
%

SD Densel

16

10,8

24

13,0

24,1

SD Denbar

21

7,5

19

9,16

16,6

SD Dentim

18

7,5

22

6,6

14,16

Total

55

25,8

65

29,2

55

Tabel 1 menunjukkan bahwa


frekuensi karies terbanyak pada anak
laki-laki
di SD Denpasar Selatan
(10,8%), sedangkan pada anak SD
Denpasar Barat dan Denpasar Timur
sebanyak 7,5%. Frekuensi karies pada
anak perempuan terbanyak pada SD
Denpasar Selatan (13,0%) dan paling
sedikit pada SD Denpasar Timur (6,6%).
Rerata karies gigi tertinggi pada anak
laki laki terdapat pada SD Denpasar
Selatan (0,81) dan terendah pada SD
Denpasar Barat (0,43). Sedangkan pada
anak perempuan rerata karies gigi
tertinggi pada SD Denpasar Selatan
(0,66)
dan terendah pada anak SD
Denpasar Timur (0,36).
Berdasarkan elemen gigi yang
terserang karies, ditunjukkan pada
gambar 1.

GRAFIK DISRIBUSI MODUS GIGI YANG


TERSERANG KARIES PADA ANAK SD SWASTA
USIA 12 TAHUN DI KOTA DENPASAR TAHUN 2006

1
2
3
4

Gambar 1
Grafik Distribusi Modus Gigi Yang
Terserang Karies
Ket :

1 : elemen 26
2 : elemen 16
3 : elemen 46
4 : elemen 36

Dari gambar di atas, urutan gigi


yang terserang karies paling banyak
adalah gigi 36 (30 gigi), gigi 46 (21
gigi), gigi 16 (12 gigi) dan gigi 26 (8
gigi).
Berdasarkan
jenis
kelamin
diperoleh distribusi perilaku menyikat
gigi seperti tabel 2 di bawah ini.

60

Tabel 2
Distribusi Perilaku Menyikat Gigi Menurut Jenis Kelamin Pada Anak Anak SD Swasta
Usia 12 Tahun Di Kota Denpasar Tahun 2006.
SD

Laki - laki

Berperilaku
Benar
Salah

Perempuan

Berperilaku
Benar
Salah

SD Densel

16

8,3

24

11,6

8,3

SD Denbar

21

13,3

4,16

19

13,3

2,5

SD Dentim

18

10

22

10,8

7,5

Total

55

28,3

17,5

65

35,8

18,3

Tabel 2 menunjukkan bahwa


perilaku menyikat gigi yang benar
terbesar ada pada anak laki - laki SD
Denpasar Barat (13,3%), terendah pada
anak SD Denpasar Selatan (5%).
Berperilaku salah terbanyak pada anak
laki laki SD Denpasar Selatan (8,3%)
dan paling sedikit pada SD Denpasar
Barat (4,16%). Perilaku menyikat gigi

yang benar terbesar ada pada anak


perempuan SD Denpasar Barat (13,3%),
sedangkan berperilaku salah terbesar
pada anak perempuan terdapat pada SD
Denpasar Selatan (8,3%).
Berdasarkan tingkat pendidikan
orang tua diperoleh distribusi perilaku
menyikat gigi seperti tabel 3. dibawah
ini.

Tabel 3
Distribusi Perilaku Menyikat Gigi Menurut Tingkat Pendidikan Orang Tua Pada Anak SD
Swasta Usia 12 Tahun Di Kota Denpasar Tahun 2006

SD

Tingkat Pendidikan / Perilaku


Tinggi
Sedang
Rendah
Benar
Salah
Benar
Salah
Benar
Salah

Total

SD Densel

7,5

13,3

8,3

3,3

0,83

33,3

SD Denbar

11,6

1,6

11,6

4,16

3,3

0,83

33,3

SD Dentim

13,3

10,8

7,5

1,6

33,3

Total

32,5

25,8

27,5

9,17

4,16

0,83

100

Pada Tabel 3 di atas, pada orang


tua
berpendidikan
tinggi
yang
berperilaku benar terbanyak terdapat
pada
SD
Denpasar
Timur
dan
berperilaku salah terbanyak pada SD
Denpasar Selatan. Pada orang tua
berpendidikan sedang yang berperilaku
benar terbanyak pada SD Denpasar
Barat, begitupula untuk berperilaku
salah terbanyak ada pada SD Denpasar
Barat. Sedangkan untuk orang tua
berpendidikan rendah yang berperilaku
benar terbanyak pada SD Denpasar

Barat begitu pula untuk perilaku salah


terbanyak ada pada SD tersebut.
Hasil analisis frekuensi karies
gigi pada anak anak SD swasta usia 12
tahun
diperoleh
dengan
cara
menjumlahkan semua siswa kelas VI
yang menjadi sample penelitian yang
giginya ditemukan adanya karies gigi
pada masing masing SD. Pada anak
perempuan diperoleh 13,0% di SD
Denpasar Selatan, 6,6% di SD Denpasar
Timur. Pada anak laki laki diperoleh
10,8% di SD Denpasar Selatan dan 7,5%
di SD Denpasar Timur

61

Hasil analisa hubungan perilaku


menyikat gigi dengan karies gigi pada
anak SD swasta usia 12 tahun di kota
Denpasar
tahun
2006
dengan
menggunakan uji Spearmens diperoleh
hasil signifikansi p = 0,65 (p 0,05).
Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara variabel perilaku
menyikat gigi dengan karies gigi.

PEMBAHASAN
Hasil analisis menunjukkan rerata
karies gigi menurut jenis kelamin pada
anak lakilaki lebih
besar dari
perempuan. Hal ini disebabkan oleh
karena perilaku anak laki laki yang
cenderung
kurang
memperhatikan
kebersihan
gigi
dan
mulutnya
dibandingkan dengan anak perempuan.
Grafik menunjukkan modus gigi
yang terserang karies gigi paling banyak
terdapat pada gigi 36 dan 46. Ini sesuai
dengan pernyataan Suwelo (1992), yang
menyatakan bahwa urutan gigi tetap
yang paling sering terkena karies adalah
gigi molar pertama tetap rahang bawah,
yang memiliki pit dan fisura yang
dalam. Gigi molar pertama rahang
bawah juga mendapat tekanan yang
lebih besar dari gigi yang lain pada saat
mengunyah makanan, sehingga sisa
makanan lebih mudah melekat pada gigi
tersebut. 6
Perilaku menyikat gigi menurut
jenis kelamin pada anak SD swasta usia
12 tahun di Denpasar, menunjukkan
bahwa
anak perempuan memiliki
perilaku menyikat gigi dengan benar
lebih besar daripada laki laki.
Kemungkinan ini disebabkan karena
perilaku anak perempuan cenderung
lebih mengutamakan segi estetis seperti
keindahan, kebersihan dan menjaga
penampilan diri, sehingga mereka lebih
memperhatikan kesehatan gigi dan
mulutnya dibanding anak lakilaki.
Perilaku menyikat gigi yang benar,
tertinggi pada anak dengan orang tua
berpendidikan tinggi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Notoatmojdo (1997),

bahwa perilaku dipengaruhi oleh faktor


keturunan dan lingkungan. Dan semakin
tinggi
pendidikan
orang
tuanya
kemungkinan perilaku kesehatan mereka
lebih baik. 7
Dari uji korelasi Spearman,
menunjukkan bahwa ternyata tidak ada
hubungan antara perilaku menyikat gigi
dengan tingginya karies gigi pada anak
SD usia 12 tahun di kota Denpasar. Hal
ini mungkin sesuai dengan teori Depkes
RI (1994), yaitu empat faktor penyebab
karies yang saling berinteraksi yaitu
plak atau bakteri, substrat, gigi dan
waktu. Keempat faktor ini saling
mempengaruhi
sehingga
terjadi
demineralisasi permukaan email yang
menyebabkan
terjadinya
karies.
Sedangkan
menyikat
gigi
hanya
merupakan salah satu cara untuk
membersihkan sisa sisa makanan dari
gigi.

SIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan yang dapat diambil
dari penelitian ini adalah frekuensi
karies gigi pada anak perempuan lebih
tinggi dari anak laki laki. Sedangkan
Rerata karies gigi pada anak laki laki
lebih tinggi dari anak perempuan. Gigi
yang paling sering terkena karies adalah
gigi 36 (molar satu rahang bawah).
Perilaku menyikat gigi yang benar lebih
banyak pada anak perempuan dan pada
anak dengan orang tua berpendidikan
tinggi. Tidak ada hubungan antara
perilaku menyikat gigi dengan karies
gigi pada anak SD swasta usia 12 tahun
di Kota Denpasar tahun 2006.
Disarankan
kepada
petugas
kesehatan terutama pemegang program
di Puskesmas dan guru guru SD yang
bersangkutan
dapat
melakukan
penyuluhan secara berkesinambungan
tentang karies gigi dan makanan
penyebab karies, kebersihan gigi dan
mulut serta cara menyikat gigi yang
benar oleh tenaga kesehatan. Melakukan
sikat gigi secara massal dengan

62

bimbingan petugas kesehatan dibawah


pengawasan guru.

DAFTAR PUSTAKA
1. Herijulianti E, Indiriani TS, Artini.
S. Pendidikan Kesehatan Gigi.
Jakarta: EGC PenerbitKedokteran
Gigi, 2002.
2. Utami RA, Lestari S. Keadaan Karies
Gigi dan Kebersihan Mulut Muridmurid SDN Penusupan I Kecamatan
Randudongkal, Kabupaten Pemalang,
Jawa Tengah. Jurnal PDGI 2004;
55(1); Jakarta.
3. Notoatmojdo S. Pendidikan dan
Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta, 2003.
4. Kidd EAM and Bechal SJ. DasarDasar
Karies,
Penyakit
dan
Penanggulangannya. Jakarta: EGC
Penerbit Kedokteran Gigi, 1991.
5. Be
KN.
Preventif
Dentistry.
Bandung: Yayasan Kesehatan Gigi
Indonesia,1989.
6. Suwelo IS, Karies Gigi dan Mulut
Jakarta: Prestasi Pustaka, 1992.
7. Notoatmojdo S. Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta,
1997,

63

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Mahasaraswati Denpasar

ANALISIS HUBUNGAN PERSEPSI PASIEN TERHADAP KONTROL INFEKSI


DENGAN KEPUASAN PASIEN
(Kajian di RSGM FKG UNMAS Denpasar)

G.A. Yohanna Lily, Panji Triadnya Palgunadi dan I.A. Purni Adnyani Pemaron
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRAK
Infeksi merupakan bahaya yang sangat nyata pada lingkungan kedokteran gigi.Perlindungan bagi
pasien merupakan prioritas utama namun tenaga kesehatan sendiri juga sangat rentan terhadap adanya infeksi
silang. Infeksi silang yang dimaksud adalah infeksi yang dapat ditularkan dari dokter gigi kepasien, dari
pasien kedokter gigi atau dari pasien kepasien. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah ada hubungan
antara persepsi pasien terhadap kontrol infeksi dengan kepuasan pasien di RSGM FKG UNMAS Denpasar,
jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel diambil
dengan teknik insidental sampling dengan sebanyak 384 orang yang diambil dari pasien yang berkunjung ke
RSGM. Hasil penelitian ini dianalisis dengan menggunakan korelasi Product Moment Pearson dan regresi
linier tunggal. Hasil penelitian R = 0,871 , R Square = 0,758 , = 0,000 , menunjukan ada hubungan antara
persepsi pasien terhadap kontrol infeksi dengan kepuasan pasien, sedangkan dengan konstanta negatif
menunjukan bahwa pasien tidak puas terhadap kontrol infeksi. Mean komposit menunjukan bahwa persepsi
pasien terhadap kontrol infeksi tergolong baik.
Kata kunci : persepsi pasien, kontrol infeksi dan kepuasan.
Korespondensi : Gst. Ayu Yohanna Lily, drg., M.Kes, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati
Denpasar, Jln. Kamboja 11a Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN
Kepuasan
pasien
yang
maksimal
merupakan tujuan utama suatu pelayanan
kesehatan. Ketika pasien merasa puas akan
pelayanan kesehatan yang didapatkan, besar
kemungkinan mereka akan kembali lagi bahkan
bisa merekomendasikan kepada teman-temannya
serta keluarganya tentang pelayanan tersebut.
Selama perawatan kesehatan, pasien
beresiko mengalami infeksi yang diperoleh secara
endogen ataupun eksogen. Salah satu resiko
infeksi eksogen bagi pasien dan provider
perawatan kesehatan adalah akibat pencucian
tangan yang kurang adekuat, pelanggaran teknik
aseptik lainnya ataupun bisa juga terinfeksi
melalui udara.1 Infeksi yang terjadi sebagai akibat

dari interaksi antara mikroorganisme yang relatif


sangat virulen dan hospes normal yang utuh, atau
antara mikroba yang relatif kurang virulen dan
hospes dengan beberapa tingkat gangguan
mekanisme pertahanan tubuh, baik sementara atau
permanen.
Adanya
peningkatan
virulensi
mikroorganisme tergantung dari kondisi dan
status pertahanan hospes.2 Infeksi merupakan
bahaya yang sangat nyata dibidang kedokteran
gigi. Perlindungan bagi pasien jelas merupakan
prioritas namun tetap memperhatikan adanya
infeksi silang pada personel perawat kesehatan
gigi. Infeksi silang adalah infeksi yang dapat
ditularkan dari dokter atau perawat ke pasien atau
sebaliknya, dan bisa juga dari pasien ke pasien.3
Persepsi merupakan proses dimana
individu mengorganisasikan / menginterpretasikan
impressi sensorisnya agar dapat memberikan arti

64

kepada lingkungan sekitar. Jadi persepsi jauh


lebih kompleks dan luas dari sensasi. Proses
persepsi itu melibatkan interaksi yang kompleks
dari seleksi, organisasi dan interpretasi. Meskipun
persepsi itu sebagian besar tergantung dari obyekobyek panca indra sebagai data kasar, proses
kognitif dapat memfilter, memodifikasi atau
merubah sama sekali data ini.4 Persepsi timbul
karena adanya dua faktor baik internal maupun
eksternal. Faktor internal diantaranya tergantung
pada proses pemahaman sesuatu termasuk
didalamnya sistem nilai tujuan, kepercayaan dan
tanggapan terhadap hasil yang dicapai. Faktor
eksternal berupa lingkungan. Persepsi meliputi
semua proses yang dilakukan seseorang dalam
memahami informasi mengenai lingkungannya.
Proses pemahaman ini diperoleh melalui
penglihatan,
pendengaran,
perasaan
dan
penciuman. Kunci untuk memahami persepsi
adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi
itu merupakan suatu penafsiran yang unik
terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan
yang benar terhadap situasi.5
Infeksi didefinisikan sebagai proses
dimana seorang hospes yang rentan dimasuki olah
agen-agen patogen (infeksius) yang tumbuh dan
memperbanyak diri, menyebabkan bahaya
terhadap hospes. Agen-agen infeksius utama
adalah virus, bakteri, ricketsia, jamur dan parasit.
Kolonisasi terjadi bila mikroorganisme masuk
kedalam hospes, tumbuh dan memperbanyak diri,
tetapi tidak menyebabkan infeksi. Pasien atau
tenaga kesehatan dapat mengalami kolonisasi
patogen tanpa memperlihatkan gejala-gejala
infeksi. Terdapat tiga faktor lain yang harus ada
untuk terjadinya infeksi yaitu: patogenitas,
virulensi dan dosis. Patogenitas adalah
kemampuan organisme untuk masuk kedalam
jaringan dan menyebabkan infeksi atau penyakit.
Virulensi adalah ukuran keparahan dari infeksi
atau penyakit. Dosis adalah jumlah organisme
yang ada yang menyebabkan infeksi atau
penyakit. Faktor-faktor ini dan kerentanan hospes
harus ada untuk menimbulkan infeksi atau
penyakit.1
Profesi perawat gigi secara rutin
mempunyai resiko yang tinggi untuk tertular
infeksi ketika sedang melakukan perawatan, yang
bisa berasal dari pemajanan yang berulangkali
terhadap mikroorganisme yang ada dalam darah
dan saliva. Hepatitis B, tuberkulosis dan infeksi
virus herves simpleks sudah dikenal dengan baik
dan berfungsi sebagai dokumentasi yang
menunjukan perlunya meningkatkan pemahaman

tentang rute penyebaran penyakit infeksi. Rute


umum untuk penyebaran agen mikrobial pada
kedokteran gigi adalah kontak langsung dengan
lesi infeksi atau saliva atau darah yang terinfeksi,
penyebaran tidak langsung melalui perpindahan
mikroorganisme dari obyek perantara yang
terkontaminasi, percikan darah, saliva atau sekresi
nasofaringeal langsung pada kulit atau mukosa
yang lecet atau utuh serta aerosolisasi, penyebaran
mikroorganisme melalui udara.1
Kepuasan
adalah
tanggapan
atas
terpenuhinya kebutuhan. Hal ini berarti penilaian
bahwa suatu bentuk keistimewaan dari suatu
barang atau jasa, memberikan tingkat kenyamanan
yang terkait dengan pemenuhan suatu kebutuhan,
termasuk pemenuhan kebutuhan dibawah harapan
atau pemenuhan kebutuhan melebihi harapan
pelanggan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
terpenuhinya suatu kebutuhan menciptakan suatu
kenyamanan dan kepuasaan. Sayangnya, makna
pemenuhan tidak lagi sejelas makna kepuasan.
Apa yang memuaskan suatu pelanggan mungkin
tidak memuaskan palanggan yang lainnya.
Kenyataannya, apa yang bisa memuaskan
pelanggan disatu situasi mungkin tidak bisa
memuaskan pelanggan dilain situasi. Kepuasan
pelanggan juga dapat dikatakan sebagai suatu
emosi yang dihasilkan dari penilaian-penilaian
atas rangkaian pengalaman. Penilaian-panilaian
ini terdiri dari berbagai proses yang berbeda-beda
yang memicu respon-respon afektif.6
Penelitian ini dilakukan karena melihat
pentingnya kontrol infeksi pasien dalam
perawatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan antara persepsi pasien
terhadap kontrol infeksi dengan kepuasan pasien.

BAHAN DAN CARA


Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah survei analitik dengan
pendekatan cross sectional yang dilakukan pada
pasien yang berkunjung ke RSGM FKG UNMAS
Denpasar pada bulan Desember 2005 sampai
dengan Januari 2006. Pengambilan sampel
dilakukan dengan teknik insidental sampling.
Pengukuran
hasil
penelitian
berdasarkan
kuesioner yang telah diuji validitas dan
reliabilitas. Kuesioner penelitian berisi pertanyaan
harapan dan kenyataan. Variabel penelitian terdiri
dari variabel bebas dan terikat. Variabel bebas
adalah persepsi pasien terhadap kontrol infeksi,
meliputi 4 aspek yaitu: gelas kumur, masker,

65

sarung tangan dan sterilisasi alat; sedangkan


variabel terikat adalah kepuasan pasien. Untuk
nilai persepsi pasien terhadap kontrol infeksi
diklasifikasikan menjadi baik (2,36 3,00); sedang
(1,682,35) dan buruk (1,001,67). Nilai
kepuasan pasien ditentukan yaitu bila X 0
dinyatakan tidak puas, sedangkan bila X 0
dinyatakan puas. Nilai X didasarkan pada nilai
kenyataan dikurangi harapan. Data dianalisa
dengan menggunakan uji analisis regresi linier
tunggal dan Product Moment Pearson.

Tabel 2
Mean Komposit Dari Persepsi Pasien Terhadap
Kontrol Infeksi
No
1

HASIL PENELITIAN
Tabel 1
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur dan
Jenis Kelamin
KETERANGAN

Umur

Jenis
Kelamin

17-26
27-36
37-46
47-56
57-66
Laki-laki
Perempuan

JUMLAH
(Orang)
287
46
34
6
11
142
242

%
74,74
11,98
8,85
1,56
2,87
36,98
63,02

Berdasarkan hasil penelitian persepsi


pasien terhadap kontrol infeksi dengan kepuasan
pasien yang dilakukan pada 384 responden yang
berkunjung ke RSGM FKG UNMAS Denpasar,
diketahui bahwa usia responden terbanyakadalah
antara 17-26 tahun yaitu sebanyak 287 orang
(74,74%) sedangkan dilihat dari jenis kelamin
diketahui bahwa responden perempuan lebih
banyak yaitu 242 orang (63,02%).

Item
Gelas kumur
a. Kebersihan gelas kumur
b. Pergantian gelas kumur
Sterilisasi alat
a. Alat yang dipakai masih
terbungkus plastik
b. Alat yang jatuh tidak
dipakai lagi
Masker
a. Operator selalu
memakai masker
b. Masker dipakai dari
awal pasien duduk
dikursi gigi
c. Masker dibuka saat
memberikan penjelasan
Sarung tangan
a. Sarung tangan dipakai
di kedua tangan
b. Sarung tangan dipakai
segera
c. Pergantian sarung
tangan
Mean komposit

Mean

Kriteria

2,49
2,35

Baik
Sedang

2,39

Baik

2,30

Sedang

2,75

Baik

2,42

Baik

2,66

Baik

2,76

Baik

2,79

Baik

2,62

Baik

2,55

Baik

Berdasarkan tabel mean komposit persepsi


pasien terhadap kontrol infeksi tergolong baik
(2,55)

Tabel 3
Distribusi Jawaban Responden Pada Kuesioner
Variabel Kontrol Infeksi
Pertanyaan
Harapan

Keterangan

Kenyataan

Jumlah
(orang)

Persentase
(%)

Jumlah
(orang)

Persentase
(%)

Ya

375

97,66%

250

65,11%

Tidak Tahu

2,34%

128

33,33%

Tidak

0%

1,56%

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa pada


pertanyaan harapan sebagaian besar responden
menjawab ya yaitu sebanyak 375 orang (97,66%)
dan tidak ada yang menjawab tidak, sedangkan
yang menjawab tidak tahu sebanyak 9 orang
(2,34%). Pada pertanyaan kenyataan ada sebanyak
250 orang yang menjawab ya (65,11%), 128

66

orang yang menjawab tidak tahu yaitu sebesar


(33,33%) dan 6 orang yang menjawab tidak
(1,56%) sehingga diperoleh hasil bahwa
responden yang puas sebanyak 81 orang (21,1%)
dan responden yang tidak puas sebanyak 303
orang (78,9%) (tabel 4).

Tabel 4
Rekapitulasi Data Responden Yang Puas dan
Tidak Puas
Keterangan
Puas

Jumlah
(orang)
81

Persentase
(%)
21,1%

Tidak Puas

303

78,9%

Tabel 5
Hasil Uji Analisis Korelasi Pearson dan Regresi
Linier Tunggal Antara Variabel Persepsi Pasien
Terhadap Kontrol Infeksi Dengan Variabel
Kepuasan Pasien

Model

R
Square

.871a

.758

27.223

Sig.
.000

Tabel 5 menunjukan bahwa R Square


sebesar 75,8% yang artinya bahwa persepsi
kontrol infeksi telah memberikan sumbangan
pengaruh sebesar 75,8% terhadap kepuasan pasien
sedangkan sisanya 24,2% dipengaruhi oleh faktor
lain diluar kontrol infeksi. Nilai R sebesar 0,871
mendekati 1,000 menunjukan bahwa terdapat
hubungan antara persepsi pasien terhadap kontrol
infeksi dengan kepuasan pasien dan hubungan
yang didapatkan adalah hubungan yang bermakna
karena sig.nya adalah 0,000. Nilai dengan
konstanta negatif membuktikan bahwa terdapat
hubungan antara persepsi kontrol infeksi dengan
kepuasan pasien yang ternyata tidak memuaskan.

DISKUSI

tabel korelasi Produk Moment Pearson didapat


bahwa pasien tidak puas terhadap kontrol infeksi,
ini dapat dilihat dari hasil uji statistik dimana
konstanta adalah negatif, ini menunjukan bahwa
kondisi pasien dalam keadaan tidak puas
meskipun memiliki persepsi kontrol infeksi yang
baik. Hal ini didukung oleh pendapat dari Barnes6,
yang mengatakan kepuasan itu adalah suatu hal
yang sifatnya individual, bahwa apa yang
memuaskan satu pelanggan
mungkin tidak
memuaskan pelanggan yang lain pada situasi yang
sama, dan apa yang memuaskan pelanggan disatu
situasi mungkin tidak memuaskan pelanggan yang
sama disatu situasi yang berbeda, dari pendapat
Barnes ini dapat disimpulkan bahwa kepuasan
setiap orang tidaklah sama (bersifat individual).
Kepuasan pelanggan adalah bila sebuah
produk atau jasa memenuhi atau melampaui
harapan pelanggan, dan pelanggan merasa puas.7
Kepuasan sebagai hasil penilaian pelanggan
terhadap apa yang diharapkannya. Harapan itu
lantas dibandingkan dengan persepsinya terhadap
kenyataan yang diterima. Jika harapannya lebih
tinggi daripada kenyataan, ia akan merasa tidak
puas. Sebaliknya, jika harapannya sama dengan
atau lebih rendah daripada kenyataan ia akan
merasa puas.8 Dalam penelitian diperoleh harapan
pasien lebih tinggi dari kanyataan, ini dapat dilihat
dari distribusi jawaban responden, tidak ada
satupun responden yang menjawab tidak pada
pertanyaan harapan.
Untuk memahami persepsi adalah terletak
pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan
suatu penafsiran yang unik terhadap situasi dan
bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap
situasi. Persepsi timbul karena adanya dua faktor
baik internal maupun eksternal. Faktor internal
diantaranya tergantung pada proses pemahaman
sesuatu termasuk didalamnya sistem nilai tujuan,
kepercayaan dan tanggapan terhadap hasil yang
dicapai sedangkan faktor eksternal berupa
lingkungan, sehingga dapat dikatakan persepsi
merupakan suatu penafsiran tentang situasi dan
bukanlah pencatatan yang nyata dari situasi
tersebut.5 Dilihat dari pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa meskipun persepsi pasien baik
terhadap
kontrol
infeksi
belum
tentu
menyebabkan pasien menjadi puas, karena
masalah kepuasan lebih ditentukan dari harapan
serta kenyataan.

Berdasarkan tabel mean komposit


diperoleh hasil bahwa persepsi pasien terhadap
kontrol infeksi tergolong baik sedangkan dari

67

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
yang
dilakukan pada 384 responden dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
persepsi pasien terhadap kontrol infeksi dengan
kepuasan pasien (p<0,05), namun hubungan
antara persepsi kontrol infeksi dengan kepuasan
pasien yang ternyata tidak memuaskan ( negatif).
Persepsi pasien terhadap kontrol infeksi telah
memberikan sumbangan pengaruh sebesar 75,8%
terhadap kepuasan pasien (R2 = 0,758).

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Scaffer. Pencegahan Infeksi dan Praktik yang


Aman (terjemahan). Jakarta: EGC Penerbit
Buku Kedokteran Gigi, 1999.
Shulman ST, Phair SP, Sommers HM. Dasar
Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi
(terjemahan). Yogyakarta: Gajah Mada
University Perss, 1994.
Cottone JA, Terezhalamy GT, Mlinari JA.
Mengendalikan Penyebab Infeksi Pada
Praktik Dokter Gigi (terjemahan.), Jakarta:
Widia Medika, 1992.
Muchlas M. Prilaku Organisasi I, ed. 2.
Yogyakarta:
Program
Pendidikan
Pascasarjana
Magister
Manajemen
Rumahsakit, Universitas Gajah Mada, 1999.
Thoha M. Perihal Organisasi Konsep Dasar
dan Aplikasinya, ed. 1. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003.
Barnes JG. Rahasia Manajemen Hubungan
Pelanggan ( terjemahan), Yogyakarta:
Gadjah Mada University Pers, 2003.
Yoeti OA. Customer Service, Cara Efektif
Memuaskan Pelanggan. Jakarta: PT. Pradnya
Paramita, 2000.
Amirotang RLR. Kepuasan Pelanggan
Pengukuran dan Penganalisaan dengan
SPSS. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2005.

68

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Mahasaraswati Denpasar

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PERAWAT DALAM


MELAKSANAKAN ASUHAN KEPERAWATAN DI RSGM FKG UNMAS
DENPASAR
Panji Triadnya P., Yudha Rahina dan Putri Krisnayanti
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRAK
Asuhan keperawatan pada rumah sakit merupakan bentuk pelayanan profesional yang diberikan
kepada pasien sebagai bagian integral pelayanan kesehatan di rumah sakit. Untuk meningkatkan mutu
pelayanan asuhan keperawatan, seorang perawat harus mempunyai kinerja yang bagus dan baik. Pada
pelaksanaan proses asuhan keperawatan masih terdapat kendala, karena perawat belum memahami
pentingnya bekerja secara profesional sebagai tim kerja, sehingga mereka bekerja sendiri dan akhirnya
pelayanan asuhan keperawatan menjadi tidak efektif dan kurang bermutu. Rendahnya kinerja perawat telah
menjadi issue public dikalangan RSGM-FKG UNMAS Denpasar. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan di
RSGM-FKG UNMAS Denpasar. Metode penelitian yang digunakan adalah evaluative research yaitu
mengukur, menilai variabel dengan indikator standar. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor
yang mempengaruhi kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan di RSGM-FKG UNMAS
Denpasar adalah tidak termotivasinya perawat dalam bekerja, beban kerja yang dilakukan ringan dan
kejenuhan perawat saat bekerja sedang.
Kata kunci : asuhan keperawatan, kinerja perawat
Korespondensi : Nym. Panji Triadnya P., drg., M.Kes., Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati Denpasar, Jln. Kamboja 11a Denpasar, Telp. (0361) 7424079, (0361) 261278

PENDAHULUAN
Rumah sakit sebagai bagian integral sistem
pelayanan kesehatan harus dapat memberikan
pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
masyarakat. Untuk itu diperlukan upaya untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dengan
cara peningkatan sumber daya pelaksana rumah
sakit. Sumber daya manusia adalah sumber daya
yang terpenting sebagai motor penggerak
berlangsungnya proses manajemen.
Asuhan keperawatan pada rumah sakit
merupakan bentuk pelayanan profesional yang
diberikan kepada pasien sebagai bagian integral
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Asuhan
keperawatan juga sebagai faktor penentu dalam
keberhasilan suatu rumah sakit, jika penataan
sistemnya serta pengelolaannya dilakukan secara
profesional. Asuhan keperawatan adalah suatu
bentuk pelayanan profesional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan yang
didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan1.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan asuhan
keperawatan, seorang perawat harus mempunyai
kinerja yang bagus dan baik. Kinerja merupakan
proses yang dilakukan dan hasil yang dicapai

oleh suatu organisasi dalam memberikan jasa atau


produk kepada pelanggan. Menurut Rivai, dkk
(2000), faktor yang berpengaruh terhadap
rendahnya kinerja perawat adalah faktor internal
perawat dan faktor eksternal perawat. 1 Faktor
internal perawat meliputi motivasi dan kejenuhan
bekerja; sedangkan faktor eksternal perawat
meliputi beban kerja. Untuk menghasilkan kinerja
yang bagus, seorang perawat harus mempunyai
motivasi dalam dirinya. Motivasi adalah segala
sesuatu yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu. Motivasi adalah karakteristik
psikologi manusia yang memberi kontribusi pada
tingkat komitmen seseorang termasuk faktor yang
menyebabkan,
menyalurkan
dan
mempertahankan tingkah laku manusia dalam
tekad tertentu2. Selanjutnya menurut Rivai dkk
(2003), beban kerja dapat berpengaruh terhadap
tingkat motivasi kerja perawat dalam melakukan
pekerjaannya.1
Dalam proses manajemen, perawat bekerja
sama dengan petugas lain untuk memberikan
pelayanan bagi sekelompok klien. Proses
manajemen keperawatan harus berjalan pararel
dengan pelaksanaan proses asuhan keperawatan.
Tetapi pada pelaksanaannya, proses asuhan

32

keperawatan masih mempunyai kendala. Hal ini


disebabkan para perawat belum memahami
pentingnya bekerja secara profesional sebagai tim
kerja, sehingga mereka bekerja sendiri-sendiri
dan akhirnya pelayanan asuhan keperawatan
menjadi tidak efektif dan kurang bermutu.
Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati
Denpasar merupakan rumah sakit yang
menyelenggarakan pelayanan rawat jalan dan
rawat inap dengan 32 dokter gigi umum, 8
dokter gigi spesialis, dan 9 perawat. Rendahnya
kinerja perawat, telah menjadi issue public di
kalangan RSGM-FKG UNMAS Denpasar.
Penelitian ini difokuskan pada rendahnya kinerja
perawat
terutama
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan adalah
evaluative research yaitu mengukur dan menilai
variabel dengan indikator standar. Populasi yang

diteliti pada penelitian ini adalah seluruh tenaga


perawat yang bekerja di RSGM-FKG UNMAS
Denpasar yang berjumlah 9 orang. Instrumen
penelitian berupa lembaran kuesioner. Alat dan
bahan yang diperlukan untuk penelitian ini adalah
lembaran kuesioner dan bolpoint. Penelitian
dilakukan dengan cara membagikan kuesioner
yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
dengan motivasi, beban kerja serta kejenuhan
kerja. Data yang sudah diperoleh dianalisis secara
deskriptif sehubungan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi
kinerja
perawat
dalam
melaksanakan asuhan keperawatan di RSGMFKG UNMAS Denpasar.

HASIL PENELITIAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan pada tanggal 5 Desember 2005
terhadap 9 orang perawat yang bekerja di RSGMFKG UNMAS Denpasar didapatkan hasil sebagai
berikut.
:

MOTIVASI
Tabel 1
Mean Komposit Dari Motivasi
No

Item

Mean

Kriteria

1
2
3
4
5
6

Sistem Imbalan ( gaji )


Penghargaan
Kesempatan berkembang
Beasiswa
Melanjutkan pendidikan
Pemberian tanggung jawab

1,22
1,00
1,22
1,00
1,00
2,00

Rendah
Tidak pernah
Tidak pernah
Tidak pernah
Tidak pernah
Pernah

Mean Komposit

= 7,44 / 6
= 1,24
Kriteria : tidak termotivasi: 1,00-1,50 ; termotivasi: 1,51-2,00
Berdasarkan tabel mean komposit dari
motivasi di atas, maka didapatkan bahwa perawat

yang bekerja di RSGM-FKG UNMAS Denpasar


tidak termotivasi dalam bekerja.

BEBAN KERJA
Tabel 2
Mean Komposit Dari Beban Kerja
No
Item
Mean
1
Beban Kerja Obyektif
2,11
2
Beban Kerja Subyektif
a. Perasaan kelebihan kerja
2,00
b. Tekanan pekerjaan
1,78
c. Kepuasan kerja
2,00
Mean Komposit
= 7,89 / 4
= 1,97
Kriteria: berat: 1,78 1,95 ; ringan : 1,96 2,11

Kriteria
sedang
senang
pernah
puas

33

Berdasarkan tabel mean komposit dari


beban kerja di atas, maka didapatkan bahwa

beban kerja perawat di RSGM-FKG UNMAS


Denpasar termasuk ringan.

KEJENUHAN BEKERJA
Tabel 3
Mean Komposit Dari Kejenuhan Bekerja
No.
1
2
3
4
5
6

Item
Pengalaman Stress Saat Bekerja
Tingkatan Stress
Bosan Dengan Pekerjaan
Lelah Dengan Pekerjaan
Pengalaman Kejenuhan Secara Emosi
Tingkatan Kejenuhan Secara Emosi
Mean Komposit

Mean
Kriteria
1,89
Pernah
1,00
Rendah
1,00
Tidak bosan
1,00
Tidak lelah
1,89
Pernah
1,67
Sedang
= 8,45 / 6
= 1,41
Kriteria: tinggi: 1,00 - 1,30; sedang: 1,31 - 1,61; rendah: 1,62 1,92

Berdasarkan tabel mean komposit dari


kejenuhan bekerja di atas, maka didapatkan

bahwa kejenuhan perawat di RSGM-FKG


UNMAS Denpasar saat bekerja adalah sedang.

HARAPAN PERAWAT
Tabel 4
Harapan Perawat
No.
1
2
3
4
5
6

Harapan
Semoga gajinya naik (sesuai dengan UMR)
Semoga bertambah jaya, maju, aman dan tetap disenangi
masyarakat banyak
Nasib karyawan lebih diperhatikan
Kualitas SDM-nya lebih diutamakan
Fasilitas klinik lebih ditingkatkan
Dibentuknya tim marketing yang bisa mempromosikan
RSGM dengan maksimal

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas,
didapatkan bahwa Perawat di RSGM-FKG
UNMAS Denpasar dalam bekerja tidak
termotivasi. Hal ini disebabkan oleh karena tidak
adanya motivator dalam melakukan pekerjaan,
seperti sistem imbalan (gaji ) yang masih tidak
sesuai dengan harapan yaitu masih dibawah ratarata UMR dan perusahan swasta lainnya. Selain
itu, mereka juga tidak pernah mendapatkan
penghargaan sama sekali atas pekerjaan yang
mereka lakukan selama ini dari pihak manajemen
rumah sakit. Perawat hanya diberikan tanggung
jawab saja dan tidak pernah mendapatkan
kesempatan untuk berkembang seperti kenaikan
jabatan, kesempatan mendapatkan beasiswa
maupun melanjutkan pendidikan. Faktor-faktor
inilah yang selama ini menyebabkan perawat

Persentase
100 %
67%
67%
56%
56%
11 %

merasa tidak dihargai sehingga kinerja perawat


menjadi berkurang.
Menurut Rivai dkk. (2003), motivasi
meliputi tingkat motivasi kerja perawat dan faktor
yang mendorong perawat dalam bekerja yang
disebut dengan motivator.1 Motivator meliputi
sistem imbalan, penghargaan, kesempatan
berkembang dan pemberian tanggungjawab.
Menurut Stoner & Freeman (2004), faktor
penyebab ketidakpuasan seperti gaji, kondisi
kerja
dan
kebijakan
perusahaan
akan
mempengaruhi pekerjaan yang dilakukan,
sedangkan faktor yang menyebabkan kepuasan
yang amat sangat yaitu berprestasi, pengakuan,
bekerja sendiri, tanggung jawab, kemajuan dalam
pekerjaan dan pertumbuhan.3
Beban kerja didapatkan dari penjumlahan
beban kerja obyektif dan beban kerja subyektif.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa beban

34

kerja yang dilakukan perawat di RSGM-FKG


UNMAS Denpasar termasuk ringan. Hal ini
disebabkan karena keseluruhan waktu yang
digunakan
perawat
dalam
melakukan
pekerjaannya adalah sedang dimana waktu
tersebut tidak lebih dari 5 jam perhari. Dalam
bekerja perawat pernah mengalami perasaan
tertekan
dikarenakan
pekerjaan
yang
dilakukannya pernah tidak dihargai dan mereka
pernah mengerjakan tugas yang seharusnya
dikerjakan oleh seorang pesuruh. Tetapi perawat
di RSGM-FKG UNMAS Denpasar senang dan
puas dengan pekerjaan yang dilakukan karena
sekarang ini pekerjaannya lebih ringan (tidak
terlalu banyak). Hal inilah yang menyebabkan
perawat bekerja terlalu santai sehingga kinerja
mereka menjadi berkurang. Kartono (1994),
menyebutkan bahwa beban kerja yang berlebihan
(overload) adalah suatu kondisi yang terjadi bila
lingkungan
memberi
tuntutan
melebihi
kemampuan individu.4 Seseorang dalam bekerja
akan berfungsi secara optimal (moderate) dengan
kondisi beban kerja yang sedang dan kurang
berfungsi maksimal dengan kondisi overload dan
underload. 1
Kejenuhan kerja perawat di RSGM-FKG
Unmas adalah sedang. Hal ini disebabkan karena
pekerjaan yang dilakukan perawat terlalu santai
dan ringan dimana sedikit mengandung tantangan
sehingga menyebabkan timbul kejenuhan secara
emosi serta stress. Menurut Strauss dan Sayless
(1990), menyebutkan bahwa ada beberapa hal
yang menyebabkan timbulnya kebosanan kerja
sehubungan dengan karakteristik pekerjaan dan
lingkungan pekerjaan, antara lain: repetitive
(sedikit macam tugas, monoton, tidak bervariasi,
sedikit mengandung tantangan, dan sedikit
memerlukan keterampilan), suasana kerja yang
tidak menyenangkan dan karyawan dibebani
pekerjaan baik fisik maupun psikis yang sangat
berat serta tidak sesuai dengan kemampuan
karyawan.5 Kejenuhan kerja dapat menimbulkan
akibat adanya perasaan bahwa tidak ada lagi
manfaat untuk berprestasi secara maksimal,
sehingga dengan kata lain kejenuhan kerja akan
menyebabkan turunnya motivasi kerja untuk
berprestasi, sehingga persepektif individual
terhadap produktivitas menurun.6
Dari tabel harapan perawat, didapatkan
bahwa perawat RSGM-FKG UNMAS Denpasar
berharap agar gaji mereka dinaikkan dan nasib
mereka lebih diperhatikan, kualitas Sumber daya
manusia lebih diutamakan dan fasilitas klinik
lebih ditingkatkan serta dibentuknya tim
marketing yang bisa mempromosikan RSGMFKG UNMAS Denpasar dengan maksimal
sehingga bertambah jaya, maju, aman dan tetap
disenangi oleh masyarakat banyak.

SIMPULAN
Faktor yang mempengaruhi kinerja
perawat
dalam
melaksanakan
asuhan
keperawatan di RSGM-FKG UNMAS Denpasar
adalah tidak termotivasinya perawat dalam
bekerja, beban kerja yang dilakukan perawat
dalam kondisi ringan dan kejenuhan perawat saat
bekerja dalam kondisi sedang.

SARAN
Kepada pihak manajemen rumah sakit
disarankan sebagai berikut : 1)Memberikan
reward
seperti
kesempatan
melanjutkan
pendidikan, mendapatkan beasiswa, kenaikan
jabatan dan penghargaan bagi perawat yang
berprestasi; 2)Adanya pengakuan terhadap
kinerja perawat dengan memberikan pujian,
ucapan terima kasih ataupun dilakukan pemilihan
perawat teladan; 3)Peningkatan kesejahteraan
karyawan yang dapat dilakukan melalui
pemberdayaan sumber pendapatan keuangan lain,
jika kenaikan gaji sulit untuk dilakukan;
4)Memberikan kesempatan kepada perawat untuk
mengikuti berbagai pelatihan, dan pendidikan
yang
berkelanjutan; 5)Perawat
diberikan
pekerjaan yang tidak terlalu ringan agar perawat
tidak terlalu santai sehingga mereka menjadi
lebih disiplin dan bisa lebih bertanggung jawab
terhadap pekerjaannya; 6)Perlu adanya ketegasan
pimpinan dalam rangka meningkatkan disiplin
karyawan yaitu dengan memberikan punishment
tanpa adanya diskriminasi; 7)Adanya rekreasi
atau studi banding untuk mengurangi kejenuhan
dan memperluas wawasan perawat;
Selain hal tersebut di atas, disarankan
kepada peneliti lainnya untuk melakukan
penelitian lebih lanjut terhadap faktor lain yang
mempengaruhi kinerja perawat.
DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

Rivai F, Hargono R, dan Pudjirahardjo JW.


Faktor Dominan Yang Mempengarui Kinerja
Perawat Dalam Melaksanakan Asuhan
Keperawatan Di Ruang Rawat Inap RSUD
Haji Surabaya. Jurnal Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan 2003; 1(3): 165-172.
Nursalam MN. Manajemen Keperawatan:
Aplikasi dalam Praktik Keperawatan
Profesional, ed. 1. Jakarta: Salemba Medika,
2002.
Emma Pesik-Adam MR., Subarniati TR, dan
Poerwani SK. Pengembangan Format
Asuhan Keperawatan Untuk Ruang Rawat
Bayi Neonatus-Riset Operasional Di Rumah

35

4.

Sakit Budi Mulia Surabaya. Jurnal


Administrasi dan Kebijakan Kesehatan 2004;
2(1): 42-51.
Kartono K. Psikologi Sosial Untuk
Manajemen Perusahaan dan Industri, ed.
baru, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994.

5.

6.

Strauss and Sayless. Manajemen Personalia:


Seri Manusia dalam Organisasi, jilid 2,
Jakarta: Institut Pendidikan dan Pembinaan
Manajemen, 1990.
Timpe D. Kinerja, Jakarta: PT. Gramedia,
1992.

36

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi; 2007;5(1)

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Mahasaraswati Denpasar

EFEK SITOTOKSIK TETRAHYDROZOLINE HCL TERHADAP VIABILITAS SEL


FIBROBLAST
Tri Purnami Dewi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar

ABSTRACT
Cytotoxicity test on tissue culture (in vitro) was the initial biocompatibility test to evaluate the
citotoxic effect of newly developed material. Tetrahydrozoline HCl was recently considered as a new gingival
retraction agent in dentistry. The use of chemical agent as gingival retraction in the procedure of making the
fixed prostodontic impression, should be effective to produce the temporary lateral and apical retraction of
the free gingival tissue, without creating irreversible tissue damage and either local or systemic harmfull side
effects. The aim of this study was to investigate the cytotoxic effect of tetrahydrozoline HCl toward the
viability of gingival fibroblast cells at different concentration and exposure times.
This study utilized 120 wells cultured human gingival fibroblast cell. All wells were divided into 3 groups,
they were: positive control group was treated with 0.1% epinephrine, negative control group without
treatment, and the last one was treated with tetrahydrozoline HCl at different concentrations : 0.05%, 0.1%,
1%, 10%, 20%, and 30%, with the exposure time : 1, 3, 5, 7, and 10 min. The evaluation of citotoxic effect
based on OD values and viable cells number resulted from dye exclution test.
The lowest mean of cell death percentage was 0.00%, resulted from 1 and 3 min treatment with 0.05%,
0.1%, and 1% tetrahydrozoline HCl. The highest mean was 39.9%, at 30% tetrahydrozoline HCl, for 10min.
There was a significant difference (p<0.05) in cell viability between groups and within group. Probit
analysis brought about estimation of IC50 tetrahydrozoline HCl. The result of this study showed that
tetrahydrozoline HCl had no cytotoxic effect to the viability of gingival fibroblast cell, although the
escalation of tetrahydrozoline HCl concentration and exposure time caused the escalation of cell death
percentage.
Key words: Tetrahydrozoline HCl, gingival retraction, viability, gingival fibroblast
Korespondensi : Tri Purnami Dewi, drg., M.Kes., Bagian Prosthodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361) 7424079, Fax. (0361) 261278

PENDAHULUAN
Pada pembuatan restorasi gigi tiruan
cekat, retraksi sementara jaringan gingiva bebas
ke arah lateral (horisontal) dan apikal (vertikal)
merupakan salah satu hal penting yang harus
dilakukan untuk memperoleh hasil cetakan yang
mencatat garis akhir tepi preparasi gigi penyangga
secara akurat yang terletak pada daerah tepi
gingiva bebas atau daerah subgingiva.1,2,3,4
Metode retraksi gingiva yang paling sering
digunakan adalah metode kemo-mekanis, yaitu
dengan menggunakan benang retraksi yang
mengandung suatu bahan kimia.5 Benang retraksi
berfungsi untuk melebarkan sulkus gingiva secara
mekanis, sedangkan bahan kimiawi berfungsi
untuk menginduksi pengkerutan jaringan gingiva
bebas serta mengontrol perdarahan di daerah
sulkus
gingiva.6,7
Berdasarkan
beberapa
penelitian, prosedur retraksi gingiva dengan
metode kemo-mekanis umumnya dilakukan
dalam waktu antara 5-10 menit. Hal tersebut

untuk menghindari terjadinya trauma mekanik


dan kemis yang dapat menyebabkan jejas pada
jaringan gingiva bebas, namun cukup efektif
menghasilkan pelebaran sulkus gingiva.
Epinefrin adalah salah satu bahan kimia
yang sering digunakan sebagai bahan retraksi
gingiva dan dipasarkan dalam bentuk benang
retraksi yang telah direndam larutan epinefrin.
Epinefrin memiliki kadar keasaman tinggi dengan
pH antara 2,8-3,6 sehingga dapat menyebabkan
kerusakan jaringan periodontal dan diduga dapat
mengiritasi pulpa gigi penyangga yang telah
dipreparasi.8,9,10 Epinefrin juga memiliki efek
sistemik
yang
merugikan
antara
lain:
menimbulkan respon kardiovaskuler seperti
peningkatan tekanan darah sistolik dan
peningkatan denyut nadi, meningkatkan laju
pernafasan, dan adanya rasa lemah pada
ekstremitas.11 Tetrahydrozoline HCl berasal dari
golongan yang sama dengan epinefrin dan
merupakan bahan hemostatik-vasoaktif seperti
epinefrin.
Tetrahydrozoline
HCl
mulai

dipertimbangkan sebagai bahan retraksi gingiva


karena
memiliki
beberapa
kelebihan
dibandingkan dengan epinefrin antara lain:
merupakan larutan yang kadar keasamannya
rendah dengan pH antara 5,06,5 dan efek
samping berupa respon kardiovaskuler yang
ditimbulkan relatif minimal.12
Berdasarkan konsep biokompatibilitas di
bidang biomaterial, efek toksik tetrahydrozoline
HCl penting untuk diperhatikan. Salah satu uji
biokompatibilitas secara in vitro yang dapat
digunakan dan memenuhi standar sesuai
pertimbangan faktor etis, praktis dan ekonomis
yaitu uji sitotoksisitas pada kultur sel.3 Fibroblast
merupakan sel utama jaringan ikat yang terletak
pada lamina propria mukosa rongga mulut,
termasuk gingiva. Pengamatan terhadap viabilitas
sel fibrobast dalam kultur dapat digunakan
sebagai salah satu indikator untuk mengetahui
pengaruh konsentrasi dan waktu paparan suatu
substansi, termasuk efek sitotoksiknya. Viabilitas
sel fibroblast sebelum dan sesudah terpapar
sitotoksin yang dinyatakan dalam bentuk
persentase kematian sel merupakan parameter
yang dapat diukur dengan menggunakan beberapa
metode uji sitotoksisitas, sehingga efek sitotoksik
suatu bahan dapat diketahui.13 Salah satu metode
uji sitotoksisitas yang sering digunakan adalah
metode dye-exclution test yaitu dengan
mengamati perubahan permeabilitas membran
sel.13,14 Penentuan IC50 (Inhibitory Concentration
50%) dalam suatu uji sitotoksisitas juga
diperlukan untuk melengkapi informasi mengenai
efek sitotoksik suatu bahan.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui efek sitotoksik tetrahydrozoline HCl
terhadap viabilitas sel fibroblast gingiva pada
konsentrasi dan waktu paparan tertentu secara in
vitro. Manfaat yang diharapkan dari hasil
penelitian ini adalah dapat memberikan informasi
awal bagi para klinisi yaitu: mengetahui sifat
biokompatibilitas tetrahydrozoline HCl terutama
efek sitotoksiknya pada konsentrasi dan waktu
paparan tertentu secara in vitro, serta sebagai
bahan acuan tambahan untuk penelitian lebih
lanjut secara in vivo maupun uji coba klinis
mengenai penggunaan tetrahydrozoline HCL
sebagai bahan retraksi gingiva.

perlakuan;
kelompok
perlakuan
diberi
tetrahydrozoline HCl dengan konsentrasi dan
waktu paparan yang berbeda. Kelompok kontrol
positif dan kelompok kontrol negatif, masingmasing dibagi sub kelompok sesuai dengan waktu
paparan, yaitu 1, 3, 5, 7, dan 10 menit. Setiap sub
kelompok terdiri dari 3 sumur sampel. Kelompok
perlakuan dibagi menjadi 5 sub kelompok sesuai
waktu paparan, kemudian tiap sub kelompok
dibagi lagi menjadi 6 sub sub-kelompok sesuai
dengan konsentrasi paparan yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu 0,05%; 0,1%; 1%;10%;
20%; dan 30%. Setiap sub sub-kelompok terdiri
dari 3 sumur sampel. Jadi pada dye exclution test,
dari 120 sumur sampel yang dipersiapkan, terdiri
dari kelompok kontrol positif sebanyak 15 sumur,
kelompok kontrol negatif sebanyak 15 sumur, dan
kelompok perlakuan sebanyak 90 sumur. Sampel
diinkubasi sesuai waktu paparan yaitu 1, 3, 5, 7,
dan 10 menit, lalu diwarnai dengan trypan blue,
dibiarkan selama 1 menit, kemudian dilakukan
penghitungan jumlah sel yang terwarnai. Sel yang
viabel (tidak menyerap warna) dan sel yang nonviabel (menyerap warna, biru) diamati dengan
menggunakan mikroskop cahaya dan dihitung
dengan menggunakan hemositometer (Gambar 1).
Jumlah sel yang terwarnai dihitung pada 4 lapang
pandang hemositometer menggunakan mikroskop
cahaya dengan pembesaran 10x. Perhitungan
persentase kematian dilakukan berdasarkan hasil
penghitungan jumlah sel yang viabel.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini menggunakan 120 sumur
kultur sel, tiap sumur berisi 100 L suspensi sel
fibroblast gingiva manusia dengan kepadatan
2x104 sel/100 L media kultur sel. Seluruh
sampel (120 sumur kultur sel) dibagi menjadi 3
kelompok yaitu: kelompok kontrol positif diberi
epinefrin 0,1%; kelompok kontrol negatif tanpa

Gambar 1. Penghitungan sel dengan hemositometer.


Sel viabel [], sel non-viabel [].13

Gambar 1

?????????????????????????????????

HASIL PENELITIAN
Viabilitas sel fibroblast yang dinyatakan
dalam bentuk persentase kematian sel merupakan
parameter yang digunakan dalam penelitian ini.
Peningkatan persentase kematian sel menunjukkan
penurunan viabilitas sel. Rerata persentase kematian
sel untuk tiap kelompok sampel dapat dilihat pada
Tabel 1. Pada kelompok kontrol positif, jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif,
pemberian epinefrin 0,1% menyebabkan persentase
kematian diatas 90%, pada hampir semua waktu
paparan, kecuali waktu paparan 1 menit (Tabel 1).
Jumlah sel pada kelompok kontrol negatif (tanpa
perlakuan) dianggap menggambarkan sel hidup
semua (100%), sehingga hasil perhitungan
persentase kematian untuk semua waktu paparan
adalah 0%. Pada kelompok perlakuan yang diberi
tetrahydrozoline HCl dengan beberapa konsentrasi
dan waktu paparan, tampak bahwa semakin tinggi
konsentrasi paparan semakin meningkat persentase
kematian sel, dan semakin lama waktu paparan
semakin meningkat persentase kematian sel.

Rerata persentase kematian sel terendah pada


kelompok perlakuan, yaitu 0,00% dihasilkan pada
konsentrasi tetrahydrozoline HCl 0,05%; 0,1% dan
1% dengan waktu paparan 1 dan 3 menit,
sedangkan rerata persentase kematian sel tertinggi
pada kelompok perlakuan, yaitu 39,9% dihasilkan
pada konsentrasi tetrahydrozoline HCl 30% dengan
waktu paparan 10 (Tabel 1).
Berdasarkan hasil uji Univariate ANOVA
(Analysis of Variance) dapat dilihat bahwa rerata
persentase kematian di antara keenam tingkat
konsentrasi dan di antara kedelapan waktu paparan
(Tabel 3) terdapat perbedaan yang bermakna
(p<0,05), oleh karena itu harus dilakukan uji LSD
(Least Significant Differrence). Hasil yang
diperoleh dari uji LSD (Tabel 4) menunjukkan
adanya perbedaan yang tidak bermakna antara
konsentrasi 0,05% dengan 0,1% (sig.0,995); 0,05%
dengan 1% (sig.0,846); 0,1% dengan 1%
(sig.0,857); 10% dengan 20% (sig. 0,018), dan
antara waktu paparan 1 menit dengan 3 menit
(sig.0,892), sedangkan lainnya menunjukkan
perbedaan
yang
bermakna
(p<0,05).

Tabel 1
Rerata Persentase Kematian Sel Tiap Kelompok Penelitian

Waktu

Dye exclution test


1 menit

3 menit

5 menit

7 menit

10 menit

0,042

0,9675

0,9672

0,985

0,984

0,000
0,000
0,000
0,000
0,010
0,000
0,000

0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000

0,000
0,007
0,007
0,007
0,015
0,025
0,310

0,000
0,025
0,015
0,040
0,050
0,209
0,393

0,000
0,000
0,058
0,145
0,262
0,323
0,399

Kelompok
Kontrol (+)
(Epinefrin 0,1%)
Kontrol (-)
(tanpa perlakuan)
Tetra-HCl 0,05 %
Tetra-HCl 0,1%
Tetra-HCl 1%
Tetra-HCl 10%
Tetra-HCl 20%
Tetra-HCl 30%

Tabel 2
Ringkasan Hasil Uji Univariate ANOVA : Perbedaan Pengaruh Antar Kelompok Perlakuan
Variabel

F
1061,756
677,700
146.511

KONSENTRASI
WAKTU
KONSENTRASI * WAKTU

Sig.
0,001
0,001
0,001

Keterangan : * : interaksi antara konsentrasi dan waktu paparan.


Tabel 3
Hasil Uji LSD antara Kelima Waktu Paparan : Perbedaan Dalam Kelompok
Waktu
Waktu
1 menit
3 menit
5 menit
7 menit
10 menit

1 menit
-

3 menit
0,892
-

5 menit
0,000
0,000
-

Sig.
7 menit
0,000
0,000
0,000
-

10 menit
0,000
0,000
0,000
0,000
-

24jam
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000

48jam
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000

72jam
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000

Tabel 4
Hasil Uji LSD antara Keenam Tingkat Konsentrasi: Perbedaan Dalam Kelompok
Konsentrasi
Konsentrasi

0,05 %
0,05 %
0,1 %
1%
10 %
20 %
30 %

0,1 %
0,995
-

Sig.
1%
10%
0,846
0,000
0,857
0,000
0,000
-

20%
0,000
0,000
0,000
0,018
-

30%
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
-

Tabel 5
Hasil Nilai IC50 dari Tiap Kelompok Perlakuan
Waktu Paparan
5 menit
7 menit
10 menit

PEMBAHASAN
Hasil pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat konsentrasi dan waktu
paparan tetrahydrozoline HCl, semakin meningkat
pula persentase kematian sel fibroblast. Pengaruh
yang ditimbulkan terhadap viabilitas sel fibroblast
berupa perubahan permeabilitas membran sel.
Freshney 15 menyebutkan bahwa efek sitotoksik dari
sitotoksin dapat menyebabkan terjadi perubahan
permeabilitas membran sel atau kerusakan integritas
membran sel sehingga membran selnya bisa
ditembus oleh trypan blue. Kerusakan pada
membran sel dapat menyebabkan sel menjadi non
viabel, dan selanjutnya dapat menyebabkan
kematian sel. Pada sel yang non-viabel membran
selnya bisa ditembus oleh trypan blue sedangkan sel
yang viabel memiliki membran sel yang
impermiabel terhadap trypan blue. Jadi semakin
besar
pengaruh
yang
ditimbulkan
akan
mengakibatkan semakin banyak sel mati, yang juga
berarti persentase kematian sel semakin meningkat.
Cotran dkk 16 menjelaskan bahwa terdapat beberapa
motif biokimiawi yang diduga memperantarai
kematian sel, hal ini dapat menjelaskan terjadinya
kematian sel sehubungan dengan sitotoksisitas suatu
bahan. Motif biokimia tersebut antara lain:
1)Penipisan kadar ATP (Adenosin Triphosphate).
Enzim dehidrogenase adalah salah satu enzim yang
berperan dalam pembentukan ATP17 ,yaitu suatu
bentuk energi yang sangat dibutuhkan oleh sel
untuk berbagai aktivitas fungsional sel. Jika enzim
dehidrogenase tidak aktif akibat efek sitotoksik
suatu sitotoksin, maka ATP berkurang, aktivitas sel
terganggu, sehingga dapat mengakibatkan kematian
sel. 2)Defek pada membran sel. Kerusakan
membran atau hilangnya permeabilitas membran
selektif merupakan gambaran umum jejas sel.
Defek ini bisa mempengaruhi mitokondria yang
merupakan tempat untuk memproduksi ATP.
Aktivitas fungsional sel fibroblast gingiva
yaitu berproliferasi maupun memproduksi matriks
ekstra seluler dan fibronektin, sehubungan dengan

IC50
(%w/v)
38,60069
34,67615
32,78785

IC50 (x 103)
(g/mL)
386,01
346,76
327,88

IC50 (x 103)
(M)
1630,5
1464,7
1384,9

proses perbaikan jaringan gingiva, akan terganggu


jika paparan sitotoksin menyebabkan sel mengalami
jejas yang ireversibel atau mengakibatkan sel non
viabel. Hal tersebut disebabkan oleh karena seluruh
mekanisme seluler merupakan proses yang saling
berkaitan, jika salah satu komponen sel mengalami
jejas, maka semua aktivitas sel akan terpengaruh,
termasuk diantaranya proses perbaikan jaringan,
dimana proses ini membutuhkan regenerasi sel
yang mengalami jejas.18. Sel tetap viabel jika
paparan tidak bersifat sitotoksik, sehingga aktivitas
fungsional sel tidak akan mengalami gangguan. Jadi
diharapkan paparan bahan retraksi pada saat
prosedur retraksi gingiva tidak menyebabkan jejas
ireversibel pada sel fibroblast gingiva, sehingga
tidak terjadi gangguan terhadap aktivitas sel dalam
proses perbaikan jika jaringan gingiva mengalami
trauma mekanis yang tidak dapat dihindari selama
prosedur retraksi.
Hasil uji Univariate ANOVA dan uji LSD
menunjukkan bahwa terdapat rerata persentase
kematian sel yang berbeda secara bermakna di
antara beberapa kelompok penelitian sesuai tingkat
konsentrasi dan waktu paparan (Tabel 2, Tabel 3,
Tabel 4). Cotran dkk16 dan Conway19
mengemukakan beberapa prinsip umum mengenai
jejas sel yang memiliki kemungkinan sebagai
penyebab adanya perbedaan pengaruh pada
kelompok-kelompok penelitian tersebut, antara lain:
1)Beberapa komponen atau sistem intraseluler sel
sensitif atau mudah mengalami jejas antara lain:
membran sel (integritas membran sel), sistem
respirasi aerob (mitokondria, enzim), komponen
genetik. 2)Respon seluler terhadap stimuli jejas
tergantung pada jenis jejas, lama stimuli jejas dan
berat ringannya stimuli jejas. Jenis jejas dibedakan
berdasarkan penyebab jejas sel, seperti bahan kimia
dan obat-obatan, hipoksia, dan lainnya. Lama
stimuli jejas berhubungan dengan waktu paparan,
sedangkan berat ringannya stimuli berkaitan dengan
dosis ataupun konsentrasi paparan.
Epinefrin 0,1% jika dikonversi dalam satuan
molaritas menjadi 5,5.10-3M. Tetrahydrozoline HCl
5,5.10-3M
setara
dengan
konsentrasi

tetrahydrozoline HCl 0,13% (dapat dibulatkan


menjadi 0,1%), jadi dapat dikatakan bahwa
epinefrin 0,1% sebanding dengan tetrahydrozoline
HCl 0,1%. Epinefrin 0,1% menyebabkan persentase
kematian sel lebih dari 96% (>50%) pada waktu
paparan 3 dan 5 menit, artinya hampir semua sel
mati (Tabel 1), sedangkan tetrahydrozoline HCl
dengan konsentrasi 0,1% dengan waktu paparan 3
dan 5 menit menunjukkan persentase kematian sel
tidak lebih dari 0,7% (<50%) artinya hampir semua
sel masih viabel. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa pada konsentrasi yang sebanding dengan
epinefrin, tetrahydrozoline HCl 0,1% tidak bersifat
sitotoksik terhadap viabilitas sel fibroblast,
sebaliknya epinefrin 0,1% bersifat sangat sitotoksik.
Jadi, diketahui bahwa tetrahydrozoline HCl
memiliki sifat yang lebih baik daripada epinefrin
ditinjau dari segi sitotoksisitasnya.
Analisis probit menghasilkan IC50 dari tiap
waktu paparan tetrahydrozoline HCl (Tabel 5),
yang berguna sebagai informasi tambahan
mengenai sitotoksisitas tetrahydrozoline HCl. Hasil
tersebut
menunjukkan
bahwa
konsentrasi
tetrahydrozoline HCl 0,05% dan 0,1% merupakan
konsentrasi terapeutik yang cukup aman karena
persentase kematian yang disebabkan oleh
konsentrasi paparan tersebut dengan waktu paparan
1, 3, 5, 7, dan 10 menit jauh lebih rendah dari nilai
IC50.

10

SIMPULAN
11
Simpulan yang diperoleh dari penelitian
secara in vitro ini adalah: peningkatan konsentrasi
dan waktu paparan tetrahydrozoline HCl
menyebabkan peningkatan persentase kematian sel
fibroblast, namun pada waktu paparan dan
konsentrasi terapeutik (0,05% dan 0,1%) tidak
menimbulkan efek sitotoksik terhadap viabilitas sel
fibroblast gingiva. Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut secara in vivo, sesuai tahapan uji
biokompatibilitas, untuk mengetahui apakah
interpretasi hasil yang diperoleh secara in vitro
cukup akurat dan berkorelasi baik dengan penelitian
in vivo.

DAFTAR PUSTAKA
1

Dimashkieh MR, Morgano SM. A procedure


for making fixed prosthodontic impressions
with the use of preformed crown shells. J
Prosthet Dent 1995; 73: 95-6.

12

13

14

15

16

Ferrari M, Cagidiaco MC, Ercoli C. Tissue


management with a new gingiva retraction
material: A preliminary clinical report. J
Prosthet Dent 1996; 75: 242-47.
Kopa I, Batista U, Cvetko E, Marion L.
Viability of fibroblast in cell culture after
treatment with different chemical retraction
agents. J Oral Rehabil 2002a; 29(1): 98-104.
Csempesz F, Vg J, Fazekas . In vitro kinetic
study of absorbency of retraction cords. J
Prosthet Dent 2003; 89: 45-9.
Donovan TE, Gandara BK, Nemetz H. Review
and survey of medicaments used with gingiva
retraction cords. J Prosthet Dent 1985; 53(4):
525-31.
Shillingburg HT, Hobo S, Whitsett LD.
Fundamentals of fixed prosthodontics. 2nd ed.
Chicago: Quintessence Publ.Co. 1982. p. 200.
Bowles WH, Tardy SJ, Vahadi. A. Evaluation
of new gingival retraction agents. J Dent Res.
1991; 70(11): 1447-49.
Kopa I, Sterle M, Marion L. Electron
microscopic analysis of the effects of chemical
retraction agent on cultured rat keratinocytes. J
Prosthet Dent 2002b; 87: 51-6.
Reynold JEF. Martindale : The extra
pharmacopoeia. 29th ed. London: The
Pharmaceutical Press; 1989. p.1453-55.
Woody RD, Miller A, Staffanou RS. Review
of the ph of hemostatik agents used in tissue
displacement. J Prosthet Dent 1993; 70: 19192.
Setiawati A, Setiabudy R. Adrenergik.
Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran - Universitas Indonesia.
Edisi ketiga. Jakarta: Gaya Baru; 1991. h. 4970.
Budavari S. The Merck Index : An
encyclopedia of chemicals, drugs, and
biologicals. 12th ed. Merck & Co., Inc. 1996.
h. 3657, 9360.
Wyllie A, Donahue V, Fischer B, Hill D,
Kesey J, Manzow S. Guide to cell proliferation
and apoptosis methods. Roche Diagnostics
Corporation. 2000. p. 50-67.
Craig RG, Powers JM. Restorative dental
material. 11th ed. St. Louis: Mosby Inc. 2002.
p. 126-47.
Freshney RI. Culture of Animal Cells : A
manual of basic techniques. 4th ed. New York:
Wiley-Liss Inc. 2000. p. 330-37.
Cotran MD, Kumar V, Collins T, Robbins
pathologic basis of diseases. 6th ed.
Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1999.
p. 4-15, 102-110.

17 Mayes PA, Granner DK, Rodwell VW, Martin


Jr. DW. Harpers review of biohemistry.
Dalam: Biokimia Harper. edisi 20. Iyan
Dharmawan (penterjemah) Jakarta: Penerbit
buku kedokteran EGC; 1985. p. 150-54.
18 Conway J. Repair and wound healing handout.
2000a.
Available
from:
URL:http//www.med.uiuc.edu/m2/Pathology/
Repair%20and%20Wound%20Healing%20Ha
ndout2.htm. Accessed Juni 18, 2004.
19 Conway J. Diseases at the Cellular Level
(DCL) Lecture Handout. 2000b. Available
from:URL:http//www.med.uiuc.edu/m2/Pathol
ogy/DCL.htm Accessed Juni 18, 2004.

You might also like