Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Landasan Teori
II.1.1. Visum et Repertum
II.1.1.1. Definisi Visum et Repertum
Visum et Repertum adalah suatu surat keterangan memuat kesimpulan suatu
pemeriksaan yang telah dilakukannya, misalnya atas mayat seorang untuk
menentukan sebab kematian dan lain sebagainya, keterangan mana yang diperlukan
oleh hakim dalam suatu perkara. Suatu keterangan dokter tentang apa yang dilihat
dan apa yang diketemukan dalam melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang
luka atau yang meninggal dunia (mayat) yang diakibatkan oleh kejahatan (Idries,
2009).
II.1.1.2. Dasar Hukum Visum et Repertum
Kewajiban dokter membantu peradilan yaitu dalam bentuk keterangan ahli,
pendapat orang ahli, ahli kedokteran kehakiman, dokter dan surat keterangan dari
seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal
atau suatu keadaan yang dimintai secara resmi yang tercantum dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 187 butir c. Menurut Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana pasal 184 ayat 1 yang dimaksudkan dengan alat bukti
yang sah ialah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa (Budiyanto, 1997). Kedua pasal inilah yang menjadi dasar seorang dokter
membuat Visum et Repertum dan aparat penegak hukum menggunakan Visum et
Repetum sebagai barang bukti dalam menyelesaikan suatu tindak pidana.
II.1.1.3. Unsur Visum et Repertum
Ada lima bagian tetap dalam Visum et Repertum (Budiyanto, 1997) yaitu:
1) Pro Justisia, kata ini terletak di atas untuk menjelaskan bahwa Visum et
Repertum ditujukan untuk peradilan dan memiliki kekuatan hukum.
bukti, sedangkan peringkat kedua adalah pemerkosaan dan pada pemerkosaan selain
berdasarkan keterangan korban juga dapat dibuktikan dengan barang bukti.
II.1.3. Pemerkosaan
II.1.3.1. Definisi Pemerkosaan
Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri,
memaksa, merampas, atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Secara umum
pemerkosaan adalah suatu tindakan kriminal disaat si korban dipaksa untuk
melakukan hubungan seksual, khususnya penetrasi dengan alat kelamin, diluar
kemauannya sendiri (UCSC, 2010). Pemerkosaan adalah suatu keadaan dimana
seseorang memaksa melakukan penetrasi seksual, untuk melakukannya pelaku
menggunakan kekerasan atau ancaman atau membuat korban tidak berdaya
(Anderson, 2007).
II.1.3.2. Epidemiologi
Epidemiologi kasus pemerkosaan di Indonesia menduduki peringkat ke-62 di
dunia yaitu 0.00567003 per 1.000 orang (Haryanto, 1997). Berdasarkan data tersebut
dari 194 bangsa di dunia, angka kejadian pemerkosaan di Indonesia cukup membuat
masyarakat resah. Menurut penelitian dari National Institute of Justice, kasus
perkosaan diperkirakan 35 per 1.000 orang per tahun (Kilpatrick, 2007). Hal ini
menggambarkan semakin meningkatnya kejadian pemerkosaan di dunia, sehingga
semakin membuat masyarakat resah.
II.1.3.3. Jenis-jenis
Adapun jenis-jenis pemerkosaan (Ekotama, 2001) adalah:
1) Pemerkosaan saat berkencan, merupakan hubungan seksual secara paksa
tanpa persetujuan oleh orang yang dikenal seperti teman, anggota keluarga,
atau pacar.
2) Pemerkosaan dengan obat, biasanya obat digunakan oleh pemerkosa untuk
membuat korbannya tidak sadar atau kehilangan ingatan.
3) Pemerkosaan wanita, karena si pelaku tidak bisa menahan hasrat seksualnya
melihat tubuh wanita.
10
dipandang
sebagai
penganiayaan. Penganiayaan
dapat
berupa
11
II.1.3.7. Hukum
Pelaku pemerkosaan diancam sanksi pidana yang cukup berat (UCSC, 2010).
Bagan 1. Bagan kejahatan seksual dalam kaitan dengan persetubuhan yang
dapat dikenakan hukuman
Dalam perkawinan
(pasal 288)
Persetubuhan
Umur perempuan
belum cukup 15 th
(pasal 287)
Diluar perkawinan
Tanpa
persetujuan
perempuan
Dengan kekerasan/
ancaman kekerasan
(pasal 285)
Perempuan dalam
keadaan pingsan/ tidak
berdaya (pasal 286)
Sumber: RI, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 284, 285, 286, 287, 288 tentang kejahatan
terhadap kesusilaan.
12
Usia
KUHP Pasal 287
o ayat 1
Barang siapa bersetubuh dengan
seorang
wanita
di
luar
perkawinan padahal diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya
bahwa umurnya belum lima belas
tahun atau kalau umurnya tidak
jelas, bahwa belum waktunya
untuk dikawin, diancam dengan
pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
o ayat 2
Penuntutan hanya dilakukan atas
pengaduan kecuali jika umur
wanita itu belum sampai dua
belas tahun atau jika ada salah
satu hal berdasarkan pasal 291
dan pasal 294.
Kekerasan fisik
Kekerasan psikis
KUHP pasal 89
Membuat orang pingsan atau tidak
berdaya disamakan dengan menggunakan
kekerasan
KUHP pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang
wanita di luar perkawinan padahal
diketahui bahwa wanita ini dalam keadaan
pingsan atau tidak berdaya, diancam
dengan tindak pidana penjara paling lama
sembilan tahun
Sumber: RI, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 89, 285, 286, 287, 291 tentang kejahatan
terhadap kesusilaan.
13
II.1.3.8. Pemeriksaan
Pemeriksaan terhadap kasus yang diduga perkosaan bertujuan membuktikan ada
tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan
umur serta pembuktian apakah seseorang sudah pantas ataupun sudah mampu untuk
dikawini atau tidak. Upaya pembuktian adanya persetubuhan dipengaruhi berbagai
faktor diantaranya: besarnya penis dan derajat penetrasinya, bentuk dan elastisitas
selaput dara, posisi persetubuhan. (Budiyanto, 1997)
Untuk menentukan apakah kasus pemerkosaan dan perlakuan yang terjadi pada
suatu kasus pemerkosaan diperlukan pemeriksaan khusus berupa:
1) Anamnesis
Terdiri dari: identitas pasien (nama, umur, tempat dan tanggal lahir,
alamat), pertumbuhan gigi geligi, perkembangan sex sekunder (riwayat
menstruasi), status perkawinan, aktivitas seksual, keadaan mengenai kejadian
seperti: waktu dan lokasi, kekerasan sebelum kejadian, rincian kejadian, terjadi
atau tidak penetrasi, yang dilakukan setelah terjadinya kekerasan seksual.
2) Pemeriksaan Fisik
a) Pemeriksaan umum
Pemeriksaan umum meliputi pemeriksaan baju korban (menilai apakah
ada yang rusak, robek, kancing lepas, noda tanah, noda darah, noda sperma),
tubuh korban (baik secara psikologis korban (gelisah, histeris, depresi),
tanda-tanda bekas alkohol, obat bius, obat tidur, tanda-tanda kekerasan
(goresan, cakaran, lecet, memar, gigitan pada mulut/leher/paha/ekstremitas/
payudara/punggung), tanda-tanda anal dan oral seks. Bekas gigitan ataupun
bite marks sering didapatkan pada tubuh korban dan pelaku kejahatan jika
korban melakukan perlawanan.
b) Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan khusus meliputi pemeriksaan pada payudara dan genitalia.
Pemeriksaan pada payudara untuk melihat bekas gigitan dan memar.
Pemeriksaan pada area genitalia dilakukan mulai dari rambut kemaluan,
untuk pembuktian dan perbandingan dengan rambut yang ditemukan pada
14
15
II.1.4.2. Bentuk
Gambar 1. Bentuk-bentuk hymen
16
17
Bentuk selaput dara pada wanita yang robek saat melakukan hubungan seksual
pertama kali tanpa paksaan dalam keadaan suka sama suka tampak robekan pada
bagian belakang arah jam 4,5,7,8 dan robekan ini hanya terjadi pada satu atau dua
lokasi tersebut.
Gambar 2. Bentuk robekan hymen persukaan
Pada pemerkosaan lokasi robekan selaput dara berbeda yaitu biasanya terjadi
robekan lebih dari dua lokasi. Seperti yang telah dikemukakan oleh Purnomo (2008),
salah satu pemeriksaan pada kasus pemerkosaan adalah dengan melihat lokasi
robekan selaput dara, dimana lokasi robekan selaput dara ditentukan berdasarkan arah
jarum jam dibagi menjadi tiga yaitu, atas, bawah dan tidak beraturan. Lokasi robekan
selaput dara berdasarkan arah jarum jam pada pemerkosaan diklasifikasikan menjadi:
1) Bagian atas jika robekan terdapat pada jam 9, 10, 11, 12, 1, 2, 3
2) Bagian bawah jika robekan terjadi pada jam 4, 5, 6, 7, 8
3) Tidak beraturan
Lokasi robekan selaput dara dipengaruhi oleh posisi pemerkosaan itu sendiri.
Contohnya jika pemerkosaan ini terjadi pada posisi korban terlentang atau tidur,
maka kecenderungan lokasi robekan selaput dara terjadi di bagian bawah, sedangkan
jika pemerkosaan terjadi pada posisi korban tidak terlentang ataupun tidur,
kecenderungan lokasi robekan selaput dara terjadi di bagian atas. Namun dari
semuanya baik korban dalam posisi terlentang atau tidur ataupun tidak, lokasi
robekan selaput dara akan lebih besar kemungkinannya menjadi tidak beraturan.
(Purnomo, 2008)
18
Sumber: Shela, L. et.al. 2001. Evaluating the Child for Sexual Abuse. Texas: University of
Texas Medical School at Houston. Tersedia: http://www.aafp.org/online//
home/publications/ journals/afp.html. [Update: 28 Januari 2011]
II.3. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
H0
: terdapat hubungan antara usia dengan lokasi robekan selaput dara korban
pemerkosaan pada kasus kejahatan seksual.
H1