You are on page 1of 20

Onghokham Menimbang Bung Karno

Kamis, 28 Januari 2010


Kompas, 5 oktober 2009

Onghokham Menimbang Bung Karno

Oleh: Peter Kasenda

Data buku
• Judul : Sukarno, Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965
• Penulis : Onghokham
• Penerbit : Komunitas Bambu, April 2009
• Tebal : xii + 220 halaman
• ISBN : 979-3731-52-4

Ada kekaguman yang diekspresikan sejarawan Onghokham kepada Sukarno. Namun,


kekaguman itu tidak membuat dirinya luput melihat ironi Sukarno: yang menjadi korban dari
konsistensinya sendiri.

Sumbangan Onghokham, biasa disapa Ong, yang terpenting adalah ia telah menampilkan dirinya
sebagai cendekiawan publik. Dialah sejarawan yang paling sering menulis di media. Melalui
tulisannya, Ong bergelut seraya mengajak kita melihat persoalan masa kini untuk dibandingkan
dengan peristiwa pada masa lampau. Perbandingan secara diakronis inilah yang menyebabkan
sejarah di tangan Ong seolah-olah hadir di pelupuk mata, hidup, inspiratif, dan menarik.

Namun, bagaimana kalau Ong menulis sejarah yang sezaman dengannya, dialaminya, dan
bahkan ia terlibat di dalamnya? Inilah yang menarik selama membaca Sukarno, Orang Kiri,
Revolusi & G30S 1965 karya Ong, suatu bunga rampai yang berkaitan dengan peristiwa-
peristiwa politik yang terjadi pada abad ke-20, periode kehidupan penulis yang sezaman dengan
sejarah yang dikisahkan.

Menurut Ong, banyak sejarawan segan menulis atau meneliti sejarah kontemporer atau masa
yang sezaman dengan masa hidup sejarawan itu. Bahkan, ada yang mengatakan semakin kuno
suatu zaman untuk diteliti, semakin ilmiah sifatnya karena emosi, kepentingan, dan lain-lain
sudah mereda, serta mungkin bahannya pun lebih lengkap. Pendapat ini belum tentu benar.
Sejarah kuno Indonesia, misalnya, sedikit sekali bahannya. Pun emosi dan kepentingan tentang
suatu zaman lampau masih kuat.
Korban konsistensi

Ketertarikan Ong pada figur bapak pendiri ini bisa ditelusuri dari persahabatannya dengan
aktivis-aktivis GMNI yang berdomisili di Asrama Daksinapati UI Rawamangun. Terlebih lagi
Onghokham mempunyai kecenderungan politik pada PNI yang mempunyai hubungan emosional
dan ideologis dengan Sukarno dan pada Sukarno sendiri. Ong dan Sukarno dilahirkan di Provinsi
Jawa Timur dan Ong mempunyai kebanggaan yang berlebih atas provinsi kelahirannya.

Bagi seorang sejarawan, yang mengalami zaman Sukarno dan menulis mengenai Sukarno,
delapan tahun sesudah Sukarno tiada, tidaklah mudah. Periode Sukarno mungkin terlalu dekat
bagi sejarawan untuk melihat semua fakta. Kebesaran seorang tokoh membuat dirinya terselimut
dengan nilai-nilai dan anggapan yang telah dikenakan kepadanya. Bagaimana bisa menulis
biografi sesungguhnya untuk mengetahui ”badan alamiah” orang tersebut jika terselubung
realitas-realitas palsu, yang menghambat pengenalan langsung terhadap si tokoh?

Sukarno adalah contoh yang jelas dari ironi sejarah dan penilaian sejarah. Sejak remaja ia
berjuang. Ia berhasil. Bukan saja dalam usaha bersama mencapai cita-cita kemerdekaan, tetapi
juga menjadi keberhasilan itu sendiri. Ia menjadi presiden dan kemudian dianggap dan
menganggap diri sebagai personifikasi segala nilai dan slogan yang sedang dikembangkan.
Namun, setelah kudeta 30 September 1965, ketika anak-anak muda meneriakkan mengenai
pentingnya pembubaran PKI, Sukarno tidak mau membubarkan PKI. Sukarno tetap konsisten
dengan pendirian mengenai perlunya tiga kekuatan besar bersatu menghadapi imperialisme dan
kapitalisme. Di sini, kata Ong, Sukarno sendirian menghadapi realitas yang tak sesuai lagi
dengan dirinya. Kejatuhan Sukarno, menurut Ong, disebabkan korban pandangan politiknya
sendiri yang dipegangnya sejak 1926.

Pengalaman trauma

Sebenarnya, Ong juga menjadi korban tidak langsung dari Peristiwa Gerakan 30 September.
Tulisan Saya, Sejarah dan G30S 1965 di buku ini berbicara mengenai pengalaman yang
membuatnya trauma. Setelah G30S, Ong menyaksikan pembantaian massal di Jawa Timur,
tempatnya berasal. Kenyataan itu membuat dirinya marah dan terguncang. Ketakutan
menghampiri dirinya. Tanpa alasan jelas Ong ditahan penguasa militer pada Januari 1966.
Penahanan atas diri Ong tidak berlangsung lama. Atas bantuan Nugroho Notosusanto, Ong bisa
menghirup udara bebas. Barangkali itu adalah periode paling kelam dalam hidup Ong.

Pada awal Orde Reformasi, Masyarakat Sejarawan Indonesia mengadakan seminar Memandang
Tragedi 1965 secara Jernih di Serpong, Tangerang. Melalui makalah ”Refleksi tentang Peristiwa
G30S (Gestok) 1965 dan Akibat-akibatnya”, yang dimuat kembali dalam bunga rampai ini, Ong
berbicara mengenai latar belakang peristiwa tersebut ketimbang epilog Peristiwa G30S. Di sini
Ong menyatakan pembantaian massal yang terjadi adalah perang saudara. Ini disebut perang
saudara karena kalau tentara saja yang melakukannya tidak mungkin kehancuran PKI demikian
total sehingga tidak ada bayang-bayangnya sama sekali kini.

Mengenai peristiwa kelabu tersebut, Sukarno memilih untuk memakai istilah Gestok dan bukan
istilah Gestapu yang populer itu, yang bagi kalangan berpendidikan mempunyai makna
sampingan yang jelas menunjuk pada organisasi teror Hitler, yaitu Gestapo. Menurut Ong, istilah
Gestok memang lebih tepat dari sudut sejarah, sedangkan istilah Gestapu politis dan hina bagi
gerakan tersebut. Namun, karena pemenang perebutan kekuasaan menyebut peristiwa itu
Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), sejarawan sampai sekarang memakai istilah tersebut.
Sejarah adalah sejarah pemenang, bukan sejarah orang kalah.

Sebelum Peristiwa G30S, Sukarno merupakan satu-satunya pemimpin nasional yang paling
terkemuka selama dua dasawarsa lebih, yaitu sejak Sukarno bersama Hatta, pada 1945
mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Ia satu-satunya presiden negara-bangsa baru itu.
Dengan karisma, kefasihan lidah, dan patriotismenya yang menggelora, ia tetap sangat populer di
tengah semua kekacauan politik dan salah urus perekonomian pascakemerdekaan. Bahkan,
sampai 1965 kedudukannya sebagai presiden tak tergoyahkan.

Namun, pasca-Peristiwa G30S situasinya menjadi lain. Menurut Ong, Angkatan 66 berhasil
menurunkan Sukarno dan foto-foto Sukarno yang berada di setiap sudut jalan di Jakarta.
Anehnya, lebih dari 20 tahun kemudian, pemerintahan Orde Baru mulai mengembalikan nama
Sukarno-Hatta (yang mewakili generasi 28) ke proporsi kebenaran sejarah. Ada Bandara
Sukarno-Hatta, ada penghormatan sebagai pahlawan nasional, dan lain-lain. Sukarno juga
menjadi mitos yang bernilai politis dan disejajarkan dengan cita-cita kebangsaan. Foto-foto
Sukarno diarak peserta kampanye.

Sayangnya, Ong tidak menjelaskan bahwa pada saat itu terjadi struggle of power sehingga sering
secara sadar atau tidak sadar gerakan mahasiswa Angkatan 1966 menjadi alat. Angkatan ’66
memang monumental dalam hal mobilisasi mahasiswa, tetapi gerakan mereka telah masuk ke
dalam setting politik yang dibangun oleh militer.

Melalui bunga rampai ini, Ong ingin mengatakan bahwa Peristiwa G30S telah membuat
Pemimpin Besar Revolusi hilang dari panggung nasional dan internasional. Ternyata revolusi
tidak berjalan sebagaimana digariskan Sukarno. Selama pemerintahannya, situasi sosial-politik
telah tumbuh ke dalam suatu kondisi matang bagi terjadinya revolusi lain. Sukarno digulingkan
oleh kontrarevolusi yang dilancarkan Soeharto. Dalam konteks ini, benar juga ungkapan bahwa
setiap revolusi harus mengorbankan anak-anaknya sendiri. Sukarno hanyalah salah satu bukti
tambahan atas ungkapan ini.

* Penulis: Peter Kasenda Pengajar di Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta.

Next...
Diposkan oleh Peter Kasenda di 07:41 0 komentar
Label: Tokoh Indonesia
Moestopo Menteri Pertahanan ‘Pertama’ yang Mengabdi pada Dunia
Pendidikan
Sabtu, 05 Desember 2009
Peter Kasenda, Tokoh Indonesia, Hlm. 230—255. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Indonesia, Universitas 17 Agustus 1945.

Moestopo Menteri Pertahanan ‘Pertama’


Yang Mengabdi pada Dunia Pendidikan

Di daerah Kebayoran Baru terdapat perguruan tinggi, Universitas Prof Dr. Moestopo
(Beragama). Sebuah perguruan tinggi tersebut menggunakan nama seseorang yang
mendirikannya. Anak keenam dari delapan bersaudara, putra Raden Koesoemowinto pensiunan
wedana Kediri di terdapat sejumlah gelar yang menyertai namanya. Lengkapnya Mayor Jendral
(Purn) Prof. Doktor Moestopo Os (Oral surgeon), Orth (Orthdentist), Opdent (Operatives
dentes), Pedo/De (Pedodentic/Dentalheatlh education), Prost (Pristhodonotia), Biol (Biologist)
dan Panca (Pancasila). Sederetan gelar disertai sejumlah gelar di belakang namanya sebagai
Bapak Publisitik/Ilmu Komunikasi, Bapak Perminyakan, Bapak Recllassering, Bapak Ilmu
Kedokteran Gigi Indonesia, Bapak Ilmu Bedah Rahang Indonesia, Bapak Pengawal Pancasila
dan Bapak Kerukunan Umat Beragama Indonesia.
Sederatan gelar yang menyertai nama dari pendiri Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)
sebenarnya menunjukkan betapa luas minat, lakon yang dimainkan serta sumbangan dari ayah
dari sembilan anak tersebut. Moestopo bukan saja menyandang sebelas tanda jasa dari
Pemerintah Republik Indonesia yang diberikan atas pengabdiannya kepada bangsa dan tanah air
Indonesia. Tulisan di bawah ini mencoba mengisahkan peranan dari Moestopo dalam perjalanan
bangsa Indonesia dengan demikian bisa diperoleh gambaran mengenai sederetan gelar maupun
sejumlah tanda jasa yang ada pada Moestopo.

Menjadi Dokter Gigi

Moestopo dilahirkan di Ngaduluwih, Kediri pada tanggal 13 Juni 1913, dari buah perkawinan
Raden Kusumowinoto, seorang pensiunan wedana dengan Indoen Sukijah. Ketika Moestopo
berusia lima tahun, dia harus berpisah dengan kedua orangnya dan tinggal bersama dengan
pamannya merupakan adik dari ayah Moestopo. Ia adalah seorang bupati Kediri yang bernama
Raden Kusumo Adinoto. Rupanya Moestopo tidak tinggal terlalu lama bersama pamannya.
Ketika Moestopo mulai masuk Hollands Indslansche Scholl, dia kembali tinggal bersama
keluarga dan ayahnya ketika itu menjadi Fiscal Griffer di Kediri. Sewaktu Moestopo duduk di
kelas V HIS, Raden Kusumowinoto meninggal dunia, Indoen Sukijah menitipkan Moestopo
pada pamannya (dari ibu) yang menjadi wedana Plamah Kediri. Selama tinggal di sana
Moestopo yang juga bersekolah di madrasah ketika itu mulai memperoleh ketrampilan
menggembala kambing dan menanam sayur-sayuran yang berupa kubis dan jenis sayur-sayuran
lainnya. Kemudian ketika dia duduk di kelas VI dan kelas VII HIS Moestopo menjadi jongos di
kediaman Kepatihan Kediri dan dia mulai bekerja dari pukul 21.00 sampai 23.00 W.I.B. Selain
itu setiap hari Rabu minggu terakhir setiap bulan, Moestopo terpaksa bolos sekolah karena harus
bekerja sebagai juru tulis di pasar ternak yang menjual kambing, sapi dan kerbau.

Setelah menyelesaikan HIS pada tahun 1927, Moestopo kemudian melanjutkan sekolah Voor
Klass MULO (kelas persiapan sekolah lanjutan pertama) dengan biaya ditanggung kerabatnya.
Sebagai seorang yatim Moestopo belajar dengan keras agar tidak mengecewakan kerabatnya
yang telah membiayai sekolahnya dan kerja kerasnya ternyata berbuah dengan lulusnya
Moestopo dari MULO pada tahun 1931 dan Moestopo tidak berhenti di situ saja dia melanjutkan
pendidikannya ke Hollands Indslansche Kweekschool. Ketika Moestopo berada di kelas III HIK,
Moestopo tingal bersama dengan saudara misannya Raden Sutari sampai Moestopo berada di
kelas II School ter Opleiding van Indische Tandartsen (sekolah pendidikan dokter gigi Indonesia)
dan yang menanggung biaya pendidikannya adalah kakak Moestopo Raden Mustajab yang
pernah menjadi Walikota Surabaya.

Ketika Moestopo duduk di kelas III STOVIT, Moestopo melepaskan diri menjadi beban
kerabatnya dengan membiayai pendidikannya dan sekarang Moestopo mulai hidup mandiri.
Moestopo membiayai pendidikannya sekaligus kehidupan sehari-hari dengan cara kalau sehabis
pulang kuliah siang hari, Moestopo berdagang beras dan barang-barang kelontong lainnya
dengan menggunakan gerobak dorong. Moestopo mulai berdagang dari siang hari hingga sore
hari dengan diawali mulai menjual sabun sampai akhirnya bisa menjadi leveransir kebutuhan
rumah tangga Asrama Agama Kristen Surabaya, Asrama Dokter NIAS dan keluarga besar di
daerah Tambaksari.
Meskipun Moestopo sibuk berdagang, Moestopo juga menjadi Dental Technician dari
Prof. M. Knap yang menjadi guru besar Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi STOVIT
Surabaya. Moestopo mulai bekerja dari 17.00 sampai pukul 24.00 W.I.B. dan bahkan
sering baru selesai pada pukul 02.00 WIB dinihari. Dari hasil kerja kerasnya,
Moestopo bukan hanya mampu membiayai kuliahnya serta kehidupan sehari-hari,
tetapi dia mampu menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk membeli sebuah
rumah sederhana yang beratap alang-alang yang letaknya berada di luar kota
Surabaya.

Next page...
Diposkan oleh Peter Kasenda di 11:40 0 komentar
Label: Tokoh Indonesia
Amir Sjarifuddin di Persimpangan Jalan
Peter Kasenda, Tokoh Indonesia, Hlm. 256—309. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Indonesia, Universitas 17 Agustus 1945.

Amir Sjarifuddin di Persimpangan Jalan

Setelah Partai Sosialis Amir Sjarifuddin menyatakan diri bergabung pada PKI
pada tanggal 27 Agustus 194. Mr. Amir Sjarifudin yang pernah menjadi Menteri
Penerangan RI yang pertama, Menteri Keamanan Rakyat / Pertahanan yang pertama
dan Perdana Menteri yang kedua membuat pengakuan mengenai kesalahannya pada
masa lampau sebagai berikut:
Kita akui dan saya sebagai seorang komunis akui, telah menjalankan
kesalahan dalam lapangan politik dan saya saya berjanji tidak akan
menjalankan politik salah lagi, dan akan saya perbaiki selanjutnya
……..Orang bilang saya mesti digantung. Saya tidak takut, saya cukup
melatih diri dalam penderitaan dan siksaan. Kalau saya harus dihukum
gantung karena kesalahan politik, di zaman Republik ………..Saya akui
telah menerima dari Van der Plas f 25..000,- tetapi saya jalankan itu karena
Komintern telah menganjurkan kepada kami untuk kerjasama dengan kaum
penjajah di dalam front bersama melawan fasisme ………Tetapi setelah
Perang Dunia II selesai kaum komunis telah melepaskan kerjasama itu.
Sekarang kami dari PKI tidak mengakui lagi “ Linggarjati”, ”Renville” dan
Manifest Politik 1 November 1945 dan kami melepaskan politik kompromi
dengan musuh dan kami melepaskan politik kompromi dengan musuh. [1]
Partai Sosialis yang dipimpin Amir Sjarifuddin juga mengeluarkan pernyataan
yang mengakui kesalahan pada masa lampau. Ia menyatakan bahwa pada bulan
Oktober 1945 Komunis Ilegal membentuk Partai Sosialis Indonesia (Parsi) dan ini
dianggap sebagai suatu kesalahan sebab komunis tidak akan mendirikan Partai
Sosialis tetapi mendirikan suatu Partai Komunis. Ketika Partai Sosialis Indonesia
digabungkan dengan Partai Rakyat Sosialis, yang kemudian merupakan sayap kanan
Partai Sosialis dibawah pimpinan Sutan Sjahrir.Penggabungan ini dianggap sebagai
suatu kesalahan sebab suatu partai yang berdasarkan pada Marxist-Lenisme tidak akan
bergabung dengan kaum reformist. Kesalahan yang lain adalah memberikan
kepemimpinan Partai Sosialis fusi itu dipegang oleh sayap kanan. Koreksi diri dalam
bidang organisasi mulai berhasil ketika Kabinet Sjahrir III jatuh pada bulan Juni 1947
dan dengan diikuti keluarnya sayap kanan dari Partai Sosialis pada bulan Februari
1948. Sedangkan kesalahan dalam bidang politik adalah mengadakan kerja sama
dengan bangsa-bangsa imperialis dengan asumsi bangsa-bangsa imperialis dan anti-
imperialis sedang melawan musuh bersama, sebagaimana terjadi di Eropah.
Berdasarkan kejadian tersebut maka komunis di sini mendesak untuk bergabung
dengan sosial reformist. [2]

Ketika Pemberontakan PKI Madiun meletus pada tanggal 19 September 1948.


Pada tanggal 23 September 1948, Amir Sjariduddin yang terlibat di dalamnya,
mengucapkan pidato radionya lewat Radio Gelora Pemuda yang berbunyi sebagai
berikut:
Perjuangan yang kita sedang lancarkan di sini adalah tidak lebih dan
tidak kurang daripada satu pergerakan untuk membetulkan evolusi
revolusi kita. Oleh itu asasnya masih sama dan tidak pernah berubah.
Mengikut pertimbangan kami revolusi kekal sebagai suatu yang bersifat
nasional, yang boleh dinamakan sebagai revolusi borjuis demokrat.
Perlembagaan kami masih lagi sama, bendera kami masih lagi berwarna
merah dan putih, manakala lagu kebangsaan kami tidak lain daripada
Indonesia Raya. [3]

Abu Hanifah kawan akrab ketika mondok di Indonesiche Studieclub Gebouw


yang mendengar pidato Amir Sjarifuddin yang diradiokan berkali-kali, menaruh rasa
kasihan kepada kawannya itu. Abu Hanifah merasakan bahwa pidato tersebut ada
nada-nada ada frustasi, kebingungan dan keputusasan. Pidato tersebut dianggap sama
sekali bukan pidato seorang seorang pemimpin komunis yang fanatik dan terdidik. Ia
tidak percaya kalau Amir Sjarifuddin, yang selalu membawa Injil kecil dalam sakunya
adalah Komunis. Amir diduga sebagai seorang ‘radikal-sosialis’ atau nasionalis
revolusioner atau marxis tok. Abu Hanifah menganggap Amir Sjarifuddin adalah
‘seorang pejuang yang kecewa dalam cita-citanya buat kemerdekaan tanah airnya‘.
Amir Sjarufuddin telalu banyak mengharapkan dari manusia-manusia di
sekelilingnya. [4]

Tetapi mengapa Amir Sjarifuddin mengaku dirinya sebagai seorang Komunis.


Selama ini orang mengenalnya sebagai seorang Kristen yang saleh. Ketika menjadi
menteri penerangan dan menteri keamanan/pertahanan dikenal oleh jemaah Gereja
HKBP Kotabaru (Yogyakarta ) sering memberikan khotbah pada hari Minggu.
Mengapa ia berada di Madiun. Mengapa semua ini terjadi ? Tulisan ini mencoba
menelusuri perjalanan tokoh kontroversial dalam hidupnya maupun dalam perjalanan
bangsa Indonesia, yang menyebabkan Amir Sjarifuddin berada di kota Madiun. Justru
keberadaannya di sana telah mengantarkan nyawanya untuk dihukum mati.

Keturunan Raja Padang Lawas


Amir Syarifuddin Harahap dilahirkan pada tanggal 27 Mei 1907 di Medan. Ia
adalah buah perkawinan dari Baginda Soripada Harahap dengan Basunu boru Siregar.
Amir Syarifuddin yang berarti “Pembaru Iman“ bergelar Sutan Gunung Mulia
Soaloon.Ia anak sulung dari tujuh bersaudara. Amir dengan tiga orang adik
dibawahnya tidak mempergunakan nama marga Harahap dan sedangkan tiga adiknya
yang terakhir tetap mempergunakan nama marga Harahap. Tindakan ini dilakukan
karena adanya kesepakatan yang diambil dalam Kongres Pemuda tahun 1927 untuk
tidak mempertahankan nama marga dan gelar-gelar kebangsawanan dan menganggap
bahwa semua orang Indonesia adalah satu dan sama derajatnya. [5]

Adalah akibat tindakan Tentara Imam Bonjol terhadap penduduk Tapanuli


Selatan pada saat terjadinya Pemberontakan Imam Bonjol (1822 – 1837) di Sumatra
Barat yang merembes ke Tapanuli Selatan menyebabkan nenek moyang Amir
meninggalkan wilayah Gunung Tua di mana terdapat batu nenek moyang, di dataran
Padang Lawas sampai ke danau Toba menyingkir ke Tapanuli Utara. Di Sipirok
Kakek Amir, Sutan Gunung Tua tertarik pada sekolah yang didirikan di Parausorat
pada tahun 1868 oleh pekabar Injil A. Schreiber untuk mendidik para ‘pekabar Injil‘.
Sutan Gunung Tua yang merupakan keturunan raja-raja Padang Lawas yang semula
beragama sukunya ‘Parbegu’ dibaptis menjadi seorang Kristen Prostestan pada tahun
1861 dan mendapat nama ‘Ephraim‘.Tahun 1875, ia diangkat menjadi Jaksa di
Sipirok dan sepuluh tahun kemudian ia menjadi Jaksa Kepala di Tapanuli. [6]

[1] A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia – Pemberontakan PKI


1947, Jilid 8 (Bandung, Disjarah AD dan Angkasa, 1979), hal. 210 – 213.
[2] Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Kuala Lumpur Dewan Bahasa
dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1980), hal. 342 – 343.
[3] Ibid., hal. 363.
[4] Abu Hanifah, ‘ Revolusi Memakan Anaknya Sendiri, Tragedi Amir Sjarifuddin, “
Prisma No. 8, Agustus 1977, Tahun VI, hal, 86 – 100.
[5] Frederick Djara Wellem, Amir Sjarifoeddin – Pergumulan Imannya dalam
Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hal. 58 – 61.
[6] Jacques Leclerc, “ Amir Sjarifuddin 75 Tahun, Prisma No 12, Desember 1982,
Tahun XI, hal. 54 – 76

Next page...
Diposkan oleh Peter Kasenda di 11:37 0 komentar
Label: Tokoh Indonesia
Hamengku Buwono IX: Sultan yang Mengabdi pada Republik
Rabu, 21 Oktober 2009
Peter Kasenda, Tokoh Indonesia, Hlm 102—133. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas 17 Agustus 1945, 2005.

Hamengku Buwono IX: Sultan yang Mengabdi


pada Republik

Ketika Proklamasi Kemerdekaan Hamengku Buwono IX menunjukkan simpati dan dukungan


terhadap Republik Indonesia. Malahan Hamengku Buwuno IX mengundang Pemerintah
Republik Indonesia untuk memindahkan kedudukannya ke Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat (ketika situasi di Jakarta kurang aman) yang kemudian menjadi jantung revolusi
Indonesia. Dari sanalah gerakan kemerdekaan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dimulai.
Sikap berpihak Hamengku Buwono IX pada Republik bisa dimengerti, karena sebagaimana yang
dikatakan Hamengku Buwono IX “My nacestors always struggled againts the Ducth, Jogjakarta
was born out that“. Sejarah Indonesia pun mencatat sejumlah keturunan dari Panembahan
Senapati, yang dahulunya bernama Sutawijaya, pendiri kerajaan Mataram telah mendapat
anugerah dari pemerintah Republik Indonesia, sebagai pahlawan bangsa Indonesia. Seperti
Sultan Agung (1591–1645), Pangeran Diponogoro, putera Hamengku Buwono III (1785–1855)
dan Sri Susuhunan Paku Buwono VI (1807–1849), yang membantu Pangeran Diponogoro dalam
Perang Jawa (1825–1830). Ketiganya memperoleh penghargaan sebagai pahlawan nasional.
Suryopranoto (1871–1959), yang memperoleh julukan De Staingskoning (Raja Mogok) dari
pemerintah Belanda, karena cucu Paku Alam III menentang penguasa Belanda dengan
memimpin pemogokan kaum buruh di pabrik-pabrik gula dan rumah penggadaian dikukuhkan
sebagai pahlawan pergerakan nasional, Ki Hajar Dewantara (1880–1959), adik Suryapranoto
berlainan ibu memperoleh gelar pahlawan pergerakan nasional. Pangeran Sambernyawa alias
Raden Mas Said (1772–1795) sebagai pahlawan kemerdekaan nasional. Pemerintah Soeharto
berdasarkan Surat Keputusan Republik Indonesia 053/TK/Tahun 1990, tanggal 39 Juli 1990,
menganugerahi Hamengku Buwono IX sebagai pahlawan nasional.

Syahdan, pada tahun 1629 bala tentara kerajaan Mataram yang telah memperoleh perintah dari
Sultan Agung untuk menyerang Belanda tiba di tepi sungai Ciliwung. Bala tentara Mataram
menjadikan daerah sekitar sungai Ciliwung tersebut sebagai pangkalan untuk melancarkan
serangan terhadap Belanda. Oleh karena itu daerah tersebut sampai sekarang terkenal dengan
nama Mataram (Matraman). Bala tentara Mataram tidak berhasil menaklukan Belanda dan dari
Batavia inilah Belanda meluaskan daerah kekuasaannya sehingga pada akhirnya seluruh wilayah
Nusantara berada dibawah pengaruh Belanda. Tiga ratus dua puluh tahun kemudian yakni pada
tanggal 27 Desember 1949 sore, sebuah delegasi berangkat dari gedung Proklamasi Pegangsaan
Timur 56, yang terletak di daerah Mataram menuju Paleis Rijswik untuk menghadiri upacara
berakhirnya kekuasaan Belanda di wilayah Nusantara ini. Sejak terjadinya pengakuan kedaulatan
nama Paleis Rijswik digantikan menjadi Istana Merdeka. Delegasi yang menghadiri upacara
peresmian berakhirnya kekuasaan Belanda atas Indonesia itu berada di bawah pimpinan Sri
Sultan Hamengku Buwono IX dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, keturunan Sultan
Agung.

Kerajaan Mataram berawal dengan berkuasannya Kiai Gede Pemanahan di tanah Mataram, yang
merupakan vasal dari Kesultanan Padang. Ketika Kiai Gede Mataram Pamanahan yang
kemudian disebut sebagai Kiai Gede Mataram meninggal dunia pada tahun 1551, diganti oleh
putranya, Sutawijaya yang disebut juga sebagai Pangeran Ngabei Loring Pasar. Sutawijaya
kemudian memberontak terhadap kesultanan Pajang. Setelah Sultan Pajang meninggal pada
tahun 1582, Sutawijaya mengangkat dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan
Senapati. Kesultanan Pajang dijadikan daerah bagian Mataram yang beribukotakan di Kotagede.
Di masa pemerintahan Panembahan Senapati menjalankan politik ekspansi sehingga daerah
kekuasannya semakin luas saja.

Kebijaksanaan politik itu diteruskan oleh putranya, yang biasanya disebut sebagai Panembahan
Sedo Krapyak dan cucunya, Sultan Agung Anyokromokusumo. Di masa pemerintahan Sultan
Agung (1613–1645), kerajaan Mataram mengalami masa jayanya. Ibukota kerajaan dipindahkan
ke Plered. Rupanya politik ekspansi Mataram terhadang dengan adanya Verenidge Oost Indische
Compagnie (Serikat Dagang Hindia Timur) dengan gubernur jenderalnya J.P. Coen yang
bermarkas di Batavia. Dua kali bala tentara Mataram mencoba mengepung dan menggempur
Batavia (1628–1629), tetapi VOC tidak berhasil ditaklukan. Sultan Agung kemudian
memutuskan untuk berhenti perang, tetapi juga tidak berdamai dengan VOC. Kedua belah pihak
mempunyai kepentingan yang bertentangan, Kerajaan Mataram ingin menjalankan politik
ekspansinya tetapi di lain pihak VOC mengadakan monopoli perdagangan.

Setelah Sultan Agung meninggal dunia pada tahun 1645, putranya Sunan Amangkurat I
menggantikan serta memindahkan ibukota kerajaan Mataram ke Kerto. Di masa pemerintahan
yang lalim itu (1645–1676) menyebabkan terjadi pemberontakan Trunajaya dari Surabaya, yang
mana putra mahkota Sunan Amangkurat I terlibat di dalamnya. Ketika itu ibukota Kerto jatuh
dan Sunan Amangkurat I bersama putra mahkotanya yang berbalik membela Sunan Amangkurat
I terpaksa meninggalkan ibukota kerajaan. Ketika mencoba mencari bantuan VOC, sesampai di
Tegalarum Sunan Amangkurat meninggal dunia dan putranya menggantikannya dengan gelar
Sunan Amangkurat II.

Pengganti Sunan Amangkurat I mendapat bantuan dari VOC dalam mempertahankan tahtanya
serta berhasil memadamkan pemberontakan Raden Trunajaya. Dan kemudian memindahkan
ibukota kerajaan ke Kartasura. Ternyata bantuan yang diberikan VOC itu telah menyebabkan
kerajaan Mataram harus memikul ongkos perang serta memberikan sejumlah konsensi yang
sangat merugikan kerajan Mataram sendiri. Bermula dari persoalan itu, menyebabkan hubungan
kedua belah pihak semakin tegang saja. Hal ini mencapai puncaknya setelah Sunan Amangkurat
II meninggal pada tahun l903 dan diganti oleh putranya, Sunan Amangkurat III, yang dikenal
dengan sebutan Sunan Mas. Sikap permusuhannya terhadap VOC, menyebabkan VOC lebih
suka mengakui Pangeran Puger (adik dari Sunan Amangkurat II) sebagai raja Mataram dengan
gelar Paku Buwono I. Kemudian terjadi perang suksesi I (1704–1708), yang mana akhirnya
Sunan Amangkurat II menyerah serta dibuang ke Sailan (Srilangka) dan Paku Buwono I yang
menjadi pemenang harus menyerahkan sejumlah wilayahnya kepada VOC.

Ketika Paku Buwono I meninggal dunia pada tahun 1719 dan putranya menggantikannya dengan
gelar Sunan Amangkurat IV yang lebih dikenal sebagai Sunan Prabu (1719-1727). Pada masa
pemerintahan Sunan Prabu terjadi perang suksesi II (1719–1723), VOC terlibat didalamnya.
Ketika Sunan Prabu meninggal dunia dan digantikan oleh putranya, Paku Buwono II. Pada masa
pemerintahan Paku Buwono II (1727–1749) terjadi pemberontakan orang-orang Cina terhadap
VOC. Semula Paku Buwono II memihak terhadap pemberontakan Cina, tetapi setelah melihat
orang-orang Cina diambang kekalahan, Paku Buwono II menjadi bimbang dan kemudian
memutuskan berada di pihak VOC. Kejadian ini menyebabkan Raden Mas Garendi bersama para
pemberontak menggempur keraton, sehingga Paku Buwono II terpaksa melarikan diri.
Pemberontakan itu berhasil dipadamkan oleh VOC dan tahta Mataram dapat direbut kembali
pada tahun 1743. Setelah perang usai Paku Buwono memindahkan ibukota kerajaan ke Surakarta
Adiningrat pada tahun 1744.

Next.....
Diposkan oleh Peter Kasenda di 01:19 0 komentar
Label: Tokoh Indonesia
Soedjatmoko Dekan Intelektual Bebas Indonesia
Peter Kasenda, Tokoh Indonesia, Hlm. 182—202. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas 17 Agustus 1945, 2005.

Soedjatmoko Dekan Intelektual Bebas Indonesia

le role d’un clrec n’est’pas de changer le


monde, mais de rester fidele a un ideal
don’t le mainten me semble necessaire a la
moralite de’espece humaine. (Julien Benda)

Kursi Dekan Intelektual Bebas Indonesia kosong. Pendengarnya tak mungkin mendengar
pandangan Soedjatmoko yang cemerlang dengan bobot kearifan yang dilakukan hampir empat
puluh tahun ini. Kini Soedjatmoko meninggalkan warisan yang merupakan buah pikiran
Soedjatmoko yang tertuang dalam lebih dari seratus tulisan mengenai masa depan umat manusia.
Tulisan-tulisan Soedjatmoko mempunyai dimensi luas. Ia bergerak pada masalah kebudayaan,
sastra, sejarah, pembangunan, ilmu pengetahuan, politik, diplomasi, percaturan internasional dan
agama. Perhatian Soedjatmoko yang begitu luas dan besar menyebabkan tidak gampang bagi
pendengarnya menunjukkan kotak mana Soedjatmoko berada.

Soedjatmoko berbicara berbagai masalah di tengah arus kuat berpikir dislipiner dengan ketat
membatasi pembahasan masalah dalam bidang-bidang spesialisasi. Ia benar-benar mewaspadai
apa yang dipandang sebagai spesialisasi yang berlebihan dalam disiplin akademis dan mencoba
belajar tak begitu percaya pada fragmentasi yang mewarnai metode ilmiah. Disiplin ilmu hanya
merupakan konsensus yang dihasilkan manusia. Seorang tidak boleh memutlakkan tetapi boleh
menerima sehingga membatasi kebebasan berpikir seharusnya disiplin ilmu membantu
kebebasan berpikir dan bukan mengintimidasinya dengan menetapkan batas-batas yang
terlanggar.

Kalau boleh memakai kata-kata Ignas Kleden. Tulisan Soedjatmoko lebih menekankan pada
kesungguhan menghadapi masalah ketimbang sebagai usaha membangun suatu pemikiran atau
mengadakan penerobosan dalam suatu disiplin ilmu. Dalam bahasa yang hampir sama. Frans von
Magnis Suseno menyatakan bahwa Soedjatmoko bukan seorang filsuf yang melahirkan suatu
sistem sendiri. Atau melahirkan sebuah bangunan intelektual yang bisa dikagumi oleh generasi
berikutnya bukan menjadi tujuan dari Soedjatmoko. Tantangan spiritual dan etis yang dihadapi
Soedjatmoko menyebabkan ia menggumuli tema-tema yang begitu luas.

Keadaan dunia yang sedemikian suram menyebabkan Soedjatmoko menjadi kecewa


sebagaimana tercermin dalam tulisan-tulisannya. Ia menyaksikan dunia dilanda penderitaan,
kekecewaan maupun jurang kaya-miskin terus melebar. Pertentangan politik,resesi ekonomi dan
pencemaran lingkungan hidup melanda segenap sistem internasional. Pertumbuhan penduduk
yang memusingkan, teknologi yang mengasingkan dan kekuatan destruktif yang mengerikan
hanya membuat Soedjatmoko gusar. Tulisan-tulisan Soedjatmoko merupakan refleksi atas
prestasi upaya pembangunan pasca Perang Dunia II. Kendatipun demikian tak menyebabkan
Soedjatmoko menjadi apatis. Ia pun percaya bahwa langkah-langkah pertama ke arah
kelangsungan hidup umat manusia harus diambil, ketika masyarakat menyadari kerentanan yang
mengancam masa depan mereka. Soedjatmoko tak memiliki obat untuk menyelesaikan masalah-
masalah dunia karena tak percaya pada adanya obat serba mujarab. Soedjatmoko lebih menyukai
memberi jawaban yang tidak sederhana pada masalah yang begitu kompleks yang menjadi
perhatiannya.

Kalau bisa menggunakan kata-kata Umar Kayam, dalam memberi jawaban Soedjatmoko
bukanlah seorang yang akan menjelaskan dalam perjalanan itu ada satu lorong dimensi
melainkan mengambil posisi sebagai penunjuk jalan yang memperlihatkan ada beberapa pilihan
lorong yang bisa ditempuh. Kemungkinan besar Soedjatmoko tidak akan menjatuhkan pilihan
pada satu lorong saja, tetapi yang dikerjakan adalah membeberkan betapa rumitnya lorong-
lorong itu. Melalui cara itu membuat para pendengarnya merasa tidak kecewa tidak digurui atau
diremehkan kecerdasannya.
Soedjatmoko menghargai proses pencarian jawaban sama dengan atau mungkin lebih daripada
hasil pencarian itu. Pendekatan semacam itu dilakukan Soedjatmoko karena ia tak mempunyai
keinginan menawarkan jalan pintas sampai ke tempat tujuan. Ia menyadari bahwa ada
kemungkinan terdapat lorong-lorong yang tersembunyi dalam menuju suatu perjalanan.

Dunia Buku

Soedjatmoko merupakan anak kedua dari buah perkawinan Dr. Mohammad Saleh dengan R.A
Ismadikun Bt Tjitrokusumo. Ia dilahirkan di Sawahlunto, Sumatra Barat pada tanggal 10 Januari
l919, ketika ayahnya bertugas sebagai dokter pada Rumah Sakit Umum Sawahlunto dan
kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit Kediri (tahun l922–1924). Ketika Dr. Mohammad Saleh
mendapat beasiswa untuk memperdalam keahliannya di Amsterdam, Negeri Belanda,
keluarganya dibawa serta. Soedjatmoko hidup di lingkungan Belanda, bukan di lingkungan Jawa.
Ia mulai pendidikan taman kanak-kanak di sana, suatu pengalaman yang tidak lazim

Next.....
Diposkan oleh Peter Kasenda di 01:16 0 komentar
Label: Tokoh Indonesia
Sartono Kartodirdjo: Sejarawan Multidimensional
Peter Kasenda, Tokoh Indonesia, Hlm 310—335. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, 2006.

Sartono Kartodirdjo: Sejarawan Multidimensional

Tanggal 1 November 1987 di kampus Universitas Gajah Mada, Yogyakarta ada seminar sehari
bertema “The Development of Interdisiplinary Approaches in The Study History in Indonesia
and Southeast”, yang dihadiri oleh sejumlah ilmuwan yang mendalami mengenai Indonesia dari
mancanegara, seperti Bernhard Dahm, A. Teeuw, M.C. Ricklefs, Joseph Fischer dan sejarawan
tenar lainnya. Kegiatan seminar ini diselenggarakan untuk dosen untuk menghormati Prof. Dr.
Sartono Kartodirjo yang telah memasuki masa pensiun sebagai dosen selama tiga puluh tahun
pada Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada. Sebenarnya Sartono Kartodirdjo telah memasuki
masa pensiunnya pada tanggal 1 Maret 1986, tetapi acara seminar diadakan pada tanggal itu,
semata-mata untuk mengormati Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo yang menempuh ujian
disertasinya, The Peasants’ Revolt of Banten 1888: Its Conditions, Course dan Sequel; A Case
Study of Social Movement in Indonesia, dengan mendapat nilai Cum Laude pada tanggal yang
sama duapuluh satu tahun yang lalu.
Sejumlah puja-puji terhadap diri Sartono Kartodirdjo mewarnai acara tersebut. M.C. Ricklefs,
guru besar Monash University menyatakan bahwa Sartono Kartodirdjo dalam melakukan
pendekatan maupun metode tidak berhenti pada pendekatan konvensional saja, tetapi telah
bergerak pada pendekatan sosiologi, sastra dan filsafat. Karena itulah Sartono Kartodirjo lebih
terbuka terhadap pendekatan-pendekatan baru dibandingkan dengan kebanyakan sejarawan
diluar negeri, maka ia selangkah lebih maju dibandingkan rekan-rekannya. Kalau dulu Sartono
Kartodirdjo banyak dipengaruhi oleh bekas guru besarnya seperti Harry J. Benda dan W.F.
Weterheim. Tetapi sekarang dia lebih maju dibandingkan keduanya terutama di dalam masalah
metedologi.

Mendengar puji-puji serta pembacaan riwayat hidup, rupanya Sartono Kartodirjo di luar
sekenario upacara langsung minta waktu untuk berbicara. Dengan sigap Rektor UGM Prof. Dr.
Koesnadi Hardirdjo mempersilahkan Sartono yang penglihatannya berapa tahun terakhir
semakin berkurang itu kemimbar. Dari mimbar Sartono Kartodirdjo berkata, “Meski menderita
karena menjadi objek, saya juga merasa berbahagia sekali. Karena ….. saya bisa mendengar
riwayat hidup tadi ketika saya masih hidup dan sehat.” Segera terdengar gemuruh tepuk-tangan.
Merujuk pada puja-puji yang didengar siang hari itu, Sartono Kartodirdjo kemudian menyitir
salah satu nasihat dalam kitab Ajurna Wihaha, “Saya akan tetap berusaha... tak menjadi takabur
dalam saat mendapatkan anugerah.”

Seminar sehari itu bukan berisi puja-puji tetapi juga penghargaan. Sebagai tanda kekaguman
serta terima kasihnya Joseph Fischer, mahaguru Universitas California, Amerika Serikat yang
sekarang menjadi pengusaha penerbitan dan bekas kolega Sartono Kartodirdjo ketika mengajar
di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM dengan sukarela menyediakan dua tanda penghargaan
yang dinamakan: “The Profesor Sartono Kartodirjo Prezes in History and Social Thought”. Satu
diperuntukan setiap mahasiswa UGM yang berhasil menulis skripsi atau tesis terbaik mengenai
sejarah Indonesia. Sisanya untuk setiap dosen atau mahasiswa yang menulis manuskrip terbaik
mengenai sejarah Indonesia dan diterbitkan oleh Gajah Mada University Press.

Sebagai puncak acara penghargaan kepeda Sartono Kartodirdjo. Gajah Mada University Press
menyerahkan kepada Sartono Kartodirdjo sebuah festschrift – Dari Babad dan Hikayat Sampai
Sejerah Kritis, yang merupakan karangan yang ditulis sejumlah kolega dan bekas murid-
muridnya. Sebaliknya, Sartono Kartodirdjo tidak mau kalah, ia sendiri menyerahkan karya
terbarunya – Kebudayaan Pembangunan Dalam Perspekif Sejarah, yang merupakan kumpulan
artikel, baik yang berasal dari seminar maupun yang tersebar dalam media massa. Sebagai
seorang sejarawan tak dapat disangsikan reputasinya. Ia telah menghasilkan puluhan buku dari
buah tangannya serta kualitas tulisannya benar-benar bermutu. Tetapi sebagaimana dengan
Sartono Kartodirjo sebagai pendidik. Untuk mengetahui itu ada baiknya mendengar apa yang
diutarakan oleh Ibrahim Alfian, yang merupakan doktor pertama yang dibimbing oleh Sartono
Kartodirdjo.

Persoalan, apakah parameter yang harus dipakai untuk menilai guru yang baik? Kalau
parameternya bisa melahirkan sekian banyak penerus dan penyebar ide-idenya, beliau memang
seorang guru yang baik dan berhasil… Tetapi kalau parameternya seorang guru yang baik harus
sanggup melahirkan murid yang berkemampuan melebihi gurunya, guru mengajarkan 10 jurus
baru, dan sang murid harus bisa menciptakan 60 jurus baru, saya kuatir, beliau belum bisa
menghasilkan murid setarap atau melebihi sang guru… Beliau ingin menghasilkan harimau,
namun yang tercipta hanya kambing-kambing. Seperti saya sediri, hanya kambing. Tapi, ini
bukan salahnya sang guru mungkin karena kami-kami ini, muridnya, kenyataannya belum bisa
menyamai ketekunan, keteladanan, semangat kerja beliu. Saya suadah diajarkan 10 jurus, tetapi
jangankan mengembangkan jadi 60 jurus, mungkin hanya sekadar 2 jurus yang saya kuasai.

Kesadaran Sejarah

Sartono Kartodirdjo dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1921, di Wonogiri Salatiga, Jawa
Tengah, merupakan buah hasil perkawinan dari Tjiro Sarojo yang berkerja sebagai seorang
Posterij Amtenar (PPT) dengan Soetimah, setelah memperoleh dua anak peremuan, Sarsini dan
Sarsijem. Ketika Sartono Kartodirjo masih kecil ibunya meninggal dunia dan kemudian ayahnya
menikah kembali Sartono memperoleh dua adik perempuan, Sri Soebekti dan Sri Soekesi. Atas
terkabulnya keinginan keluarga Tjipto Sarojo memperoleh anak laki-laki, keluarga Sarojo
memenuhi nazarnya untuk membawa sang bayi yang belum berusia satu tahun itu menuju Candi
Prambanan yang terletak di perbatsan Yogyakarta – Klaten. Sebenarnya ongkos perjalanan
berpergian Yogyakarta – Klaten. Sebenarnya ongkos perjalanan berpergian ke Candi Prambanan
ketika itu termasuk mahal. Ketika itu kereta api dari Wonogiri, dimana Sartono Katodirdjo
dilahirkan menuju Solo saya saja menghabiskan ongkos sebesar tiga puluh sen. Kepergian
keluarga Sarojotersebut dengan harapan agar anak laki-lakinya itu menjadi pandai. Harapan
orang tua terhadap Sartono Kartodirdjo dianggap telah memberikan kengan khusus. Kenangan
seperti itu telah memberi bimbingan supranatural terhadap diri Sartono Kartodirdjo mengenai
bangai mana seharusnya hidup itu dijalankan. Sartono Kartodirdjo menganggap bahwa
dibawanya dia ketempat bersejarah itu rupanya telah mempengaruhi bawah sadar sehingga
menyebabkan Sartono mencintai lapangan yang sampai kini dilakoninya. Ayahnya sebenarnya
menginginkan agar putranya menjadi seorang dokter. Hal itu tidak mungkin terlaksana karena
Sartono Kartodirdjo takut melihat darah dan beberapa kali semaput kalau melihat darah, karena
itu dia menyadiri bahwa masa depan menjadi dokter telah tertutup. Walaupun demikian, Sartono
Kortodirdjo menyatakan dirinya tidak merasa mengecewakan hati orangtuanya setelah menjadi
sejarah dengan alasan,

“Sebab fungsinya kan sama. Saya juga memberikan terapi pada orang lain. Sebab dengan
berpegang pada sejarah yang benar. Kemajuan sebuah bangsa dapat terjaga, Keperibadian
bangsa juga berakar dari sejarahnya.”

Sebenarnya minat Sartono Kartodirdjo terhadap sejarah tidak bisa dilepaskan dari lingkungan
yang mengelilingi Sartono Kartodirdjo. Orang tua Sartono suka membeli buku terbitan Balai
Pustaka mengenai sastra Indonesia dan sering membaca surat-surat, serta paman dan sebagainya
sangat menyukai wayang. Ketika Sartono masih kecil dia sudah mendengar cerita mengenai
perjuangan Pangeran Sambernyowo (Mangkunegara I). Dilingkungan keluarga Sartono terdapat
kenangan khusus mengenai Pangeran Sambernyowo berupa tombak, Kyai Bruwang. Alkisah,
salah seorang nenek moyang Sartono pernah menyelamatkan Pangeran Sambernyowo
diseberangkan nenek moyang Sartono di Bengawan Solo dengan selamat. Sebagai rasa terima
kasih Pangeran Sambernyowo menghadiahkan pusakan tombak Kyai Bruwang pada
penolongnya itu. Sartono juga mendapat cerita dari ibunya yang mengatakan bahwa kakek
Sartono adalah seorang ronggo. Suatu hari kakek bertengkar mulut dengan seorang pengawas
perkebunan Belanda tersebut yang berwarga negara Belanda. Kemudian entah bagaimana
terjadinya orang Belanda tersebut diketemukan mati terbunuh. Polisi Belanda langsung mencari
kakek Sartono dan untuk menghindari perkara ia melarikan diri ke Jawa Timur. Diceritakan juga
bahwa dari garis nenek secara turunan temurun adalah putra pejabat di Wonogiri. Namanya
Mangunprajoko, keluarga dari ibunya Sartono adalah cikal bakal yang merupakan orang pertama
yang membuka daerah dan menetap serta memimpin di Wonogiri.

Wonogiri sebenarnya adalah kota historis, banyak penelitian Pangeran Sambernyowo


diketemukan di sana. Di sebelah selatan Wonogiri sering menemukan mikrolit, ujung-ujung
panah yang biasanya orang Wonogiri menyebutnya sebagai gigi halilintar. Ketika itu guru
Sartono di HIS menerangkan bahwa benda-benda yang diketemukan Sartono merupakan barang
peninggalan nenek moyang. Menyaksikan benda dan mendengar sejumlah informasi mengenai
benda-benda tersebut, secara tidak sadar telah menyebabkan ia menaruh minat. Disitulah mulai
muncul persfektif historis, memandang kemasa lampau. Situasi dikota Wonogiri yang sepi dari
keramaian menyebabkan anak-anak sebaya Sartono menaruh perhatian terhadap yang terjadi
pada masa lampau.

Sartono kecil suka mendengarkan orang tuanya mendendangkan Macapat serta membawakan
Wedatama yang dianggap Sartono sebagai pendidikan etika melalui sastra, dari penghayatan
kebudayaan Jawa yang benar-benar hidup ketika itu. Sartono merasakannya sebagai suatu
pengembangan intelektual meskipun hal itu berada di lingkungan Timur. Kalau lingkungan Barat
adalah pendidikan formal, ketika Sartono kecil berada di kelas tiga HIS, pada bulan puasa dia
berlibur selama sebulan kerumah kakaknya yang menjabat sebagai Kepala Desa di Borobudur.
Setiap pagi selama sebulan, Sartono sendirian menjelajahi Borobudur menyaksikan candi-candi,
sungai-sungai, bukit maupun sawah-sawah disekitarnya. Kadang-kadang Sartono kecil duduk
menikmati pemandangan dari tingkat atas candi. Dari sana Sartono menyaksikan sekeliling
bangunan candi yang indah dengan Sungai Progo.

Next.....
Diposkan oleh Peter Kasenda di 01:12 0 komentar
Label: Tokoh Indonesia
Drijarkara, Imam yang Merintis Studi Filsafat
Peter Kasenda, Tokoh Indonesia, Hlm, 69—101. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas 17 Agustus 1945, 2005.

Drijarkara, Imam yang Merintis Studi Filsafat


Nama Drijarkara terukir di depan tembok Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara, sebuah perguruan
tinggi yang berlokasi di Jakarta Pusat. Sebuah lembaga filsafat pendidikan yang dirintis oleh
Sarekat Yesus dan Ordo Fratrum Minorum dengan dukungan Keuskupan Agung Jakarta.
Pendapat-pendapatnya dikutip banyak orang, terutama ketika orang berbicara tentang pemikiran
spekulatif itu, sebuah bidang ilmu yang dianggap tidak praktis. Memang ilmu filsafat pernah
menjadi ilmu yang universal, payung segala ilmu positif. Tetapi ilmu-ilmu positif makin
berkembang, makin tersepesialisasi, selaras dengan pragmatisme kehidupan manusia. Ilmu
filsafat pun berkembang sebagai salah satu disiplin ilmu. Spekulasi tentang manusia kurang
mendukung sikap pragmatis, primum vivere deinde philosophari. Perkembangan ini tidak
merugikan filsafat, melainkan makin memberi ruang bagi ilmu filsafat memainkan peran yang
sebenarnya menangani pertanyaan-pertanyaan yang tak tersentuh oleh ilmu-ilmui positif seperti
pertanyaan tentang apa siapanya manusia (antropologi). apa siapanya ilmu pengetahuan
(epistemologi), apa siapanya alam semesta (kosmologi) dan apa siapanya keberadaan (ontologi).

Lebih dari tiga puluh tahun lalu, Drijarkara mempertanyakan apa ada orang yang mau belajar
filsafat di Indonesia? Tiga puluh tahun kemudian, keraguan itu terjawab dengan kenyataan
bahwa semakin banyaknya analisis filsafat dipakai dalam memberi penjelasan masalah. Satu
dasawarsa terakhir ini semakin banyak orang Indonesia yang menaruh minat terhadap analisis
filsafat, terutama kalangan muda. Ada kecenderungan orang memakai disiplin ilmu filsafat untuk
mempertajam disiplin ilmu positif (ekonomi, sosiologi, kedokteran dll). Filsafat lebih merupakan
metode pendekatan daripada gudang jawaban. Filsafat mau mendidik manusia untuk mendekati
masalah-masalah yang dasar yang dihadapinya secara terbuka, sistimatis, kritis dan tak
berdasarkan apriori, atau prasangka, dogmatis, dan ideologis, melainkan secara rasional dan
argumentatif. Apa yang berkembang kemudian memang tak bisa lepas dari jasa Nicolas
Drijarkara untuk menjawab tentang kerinduan adanya pengembangan studi ilmu filsafat. Berkat
Drijarkara ilmu filsafat di Indonesia bukan sebagai enklaf milik segelintir orang, melainkan
menjadi bagian dari kehidupan manusia. Filsafat yang menjadi hidupnya itu mendorong dia
untuk gigih berusaha menyadarkan masyarakat, bahwa filsafat adalah soal kedalaman hidup,
hidup yang bernas; dan ke dalaman hidup itu merupakan suatu berlian terpendam yang dmiliki
bangsa Indonesia.

Warisan karyanya terserak dalam 31 karangan dan 7 tulisan mengenai Pancasila. Drijakara
memang tidak pernah menulis menulis buku dalam arti yang sebenarnya, kecuali disertasinya.
Tulisannya yang paling panjang dan dilengkapi dengan catatan-catatan kaki ialah pidato
inagurasinya yang diucapkan pada peresmian penerimaan jabatan guru besar luar biasa dalam
ilmu filfasat pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada tanggal 30 Juni 1962 dengan
judul “Sosialitas sebagai Eksistensial“. Namun tidak seorangpun menyangsikan karangan-
karangan Drijarkara mempunyai kadar filosofis yang mantap. Tulisan-tulisan yang ditulis lebih
dari tiga puluh tahun masih tetap aktual, orsinal dan mendalam. Tulisan-tulisannya itu
merupakan sumbangan penting bagi khanazah pustaka filsafat Indonesia asli modern.

Penggunaan nama Drijarkara pada Sekolah Tinggi Filsafat tersebut bukan berarti bahwa lembaga
pendidikan filsafat tersebut didirikan oleh Drijarkara atau karena mengembangkan ajaran-
ajarannya. Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara tidak seperti Sekolah Frankfurt di Jerman atau
Perguruan Taman Siswa. Drijarkara memang tidak membangun sistem filsafat baru dan memang
bukan itu yang diinginkan. Yang ingin disajikan ialah suatu cara berpikir, suatu metode
berfilsafat sebagai kegiatan manusia yang hakiki dan terus-menerus. Alasan penggunaan nama
Drijarkara bisa ditelusuri pada kata sambutan Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara dalam
merayakan sewindu berdirinya Sekolah Tinggi Filsafat tersebut. Dalam satu nafas dikemukakan
olehnya keprihatinan dasariah seorang yaitu Drijarkara, yang tak henti-hentinya berpikir secara
mendalam, kritis, kreatif, menganalisis latar belakang suatu masalah, mengungkapkan
pengandaian-pengandaian dasar, melihat implikasi-implikasi lebih lanjut, mengambil sikap
terhadap ideologi-ideologi, membentuk penilaian sendiri, dengan tak segan-segan mengumuli
masalah-masalah yang pernah direnungkan oleh pemikir-pemikir besar umat manusia, mencoba
mendalami apa yang hidup di lingkungan kebudayaan sendiri, berusaha melihat, menghadapi dan
mendekati masalah-masalah manusia dan masyarakat di dalam gejolak zaman di mana ia sendiri
ikut terlibat dan tidak sekedar sebagai penonton ….itulah yang ingin diteruskan oleh Sekolah
Tinggi Filsafat, yang ditandai dengan nama Drijarkara.

Masa Kecil

Nicolas Drijarkara dilahirkan pada tanggal 13 Juni 1913 di daerah pegunungan Menoreh Di desa
Kedunggubah, kurang lebih 8 km sebelah timur Purworejo, Kedu, Jawa Tengah. Ia diberi nama
Suhirman tetapi biasanya dipanggil Djentu (bahasa Jawa yang berarti berbadan kekar dan
gemuk). Dia dilahirkan sebagai anak bungsu dari keluarga Atma Sendjaja. Ia mempunyai
seorang kakak laki-laki dan sedangkan kakak yang perempuan ada dua orang .

Sebagai seorang anak yang dibesarkan di tengah kebudayaan Jawa, dia mewarisi sifat halus yang
menjadi inti sari kebudayaan masyarakat Jawa. Hal ini tercermin dalam cara bergaul Drijarkara
yang sopan, ramah dan akrab, dari cara mengungkapkan gagasan-gagasannya. Cara sedemikian
rupa sehingga sekurang-kurangnya tidak ada yang mengeluh. Kedekatannya dengan akar
kebudayaannya telah mendorongnya untuk memperdalam pengetahuannya tentang Sastra Klasik
Jawa dan menjadi warna dominan dalam pemikiran-pemikian filosofisnya.

Djentu masuk Volksschool tetapi kemudian pindah Vervolgschool di Cangkrep, yang diteruskan
dengan Hollands Indlanse School di Purworedjo dan Malang. Dari rumahnya ke Cangkrep
jaraknya ada sekitar 5 km, sedangkan ke Purworedjo ada sekitar 8 km. Kesemuanya harus
ditempuhnya dengan berjalan kaki. Ketika masih tinggal di desa Djentu sering membantu orang
tuanya menyiram tanaman sirih merupakan tanaman pokok di desa Kedunggubah. Wijasendjaya
lurah desa Kedunggubah, paman Djentu membantu membiayai sekolahnya.

Pada tahun l929, Djentu masuk Seminari Menengah, sebuah lembaga pendidikan khusus calon
Imam Katolik, setingkat SMP dan SMA atau Gymnasium A. Ketika berada di kelas 4 Seminari
Menengah (setingkat dengan kelas 1 SMA), Djentu menciptakan nama majalah seminari
“Aquila“ yang berarti “Garuda” yang sekaligus merupakan akronim dari “Augeamus Quam
Impensissime Landem Altesoimi “. Tulisan dalam bahasa Latin itu kalau diterjemahkan dalam
bahasa Latin kira-kira artinya “Marilah kita sekuat tenaga menambah keluruhan Yang
Mahatinggi“. Tahun berikutnya ia memenangkan perlombaan untuk menterjemahkan kata-kata
Latin “Salus Vestra Ego Sum“ ke dalam bahasa Jawa. Kata–kata Latin itu diterjemahkan
menjadi “Ija Ingsun Karahajonira“ yang berarti “Akulah Keselamatanmu“ sampai sekarang
ditulis di bawah patung Hati Kudus di muka gereja Pugeran di Yogyakarta. Pada saat bersamaan
ia mengarang sandiwara dalam bahasa Belanda dengan judul “Sutanta “. Naskah sandiwara itu
diterima baik oleh guru kesusasteraan bahasa Belanda dan malah pernah dipentaskan. Djentu
mengeyam pendidikan di seminari menengah itu selama 6 tahun. Ia selesai pada tahun l935.

Kemudian Drijarkara melanjutkan jenjang pendidikannya ke Novisiat Serikat Yesus


di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah. Sebuah tempat penggemblengan dasar bagi
seorang yang mau menginternalisasi semangat dan cara hidup serta spiritualitas
tarekat Sarekat Yesus. Ia mendalami Ascetika (kehidupan rohani) selama dua tahun
dan sisanya satu tahun dihabiskan untuk mempelajari humaniora (bahasa Latin dan
Yunani Kuno) sebagai propedeusis untuk filsafat. Setelah tiga tahun berada di sana di
Girisonta, Drijarkara dipercayakan sebagai bidel semacam ketua angkatan. Ketika itu
Drijakara satu-satunya calon Imam pribumi di tengah enam orang lainnya yang
semuanya dari negeri kincir angin itu.

Pada tahun 1939 Drijarkara melanjutkan studi filsafat selama tiga tahun pada Sekolah
Tinggi Filsafat (Ignantius College) di Yogyakarta. Setelah menyelesaikan studi
filsafat, Driyarkara mengajar bahasa Latin selama 1 tahun. Sekitar tahun l942–l943
Drijarkara belajar lagi untuk memperluas pengetahuan filsafat, agama dan
kebudayaan. Selama masa pendudukan Jepang sampai awal-awal proklamasi
kemerdekaan (tahun 1946) Drijarkara menjadi dosen filsafat pada Seminari Tinggi,
Yogyakarta. Kendati Drijarkara hanya seorang frater Serikat Yesus yang dianggap
masih dalam tahap pendidikan sudah mendapat tugas mengajar pada Seminari Tinggi
antara tahun l943—l946 untuk mengisi kekosongan karena tenaga-tenaga asing yang
ditahan. Kenyataan ini merupakan sebuah pengakuan resmi terhadap kemampuan
Drijarkara. Mgr. Leo Soekoto SJ almarhum (Uskup Agung Jakarta) yang menjadi
salah satu muridnya, terkesan dengan kebiasaan Drijarkara untuk setiap kali selesai
memberi kuliah, Drijarkara menyobek-nyobek bahan yang digunakan untuk mengajar.
Dengan demikian Drijarkara selalu didorong untuk berpikir terus dan menyusun
kembali gagasan-gagasannya. Dalam persiapan untuk ditabiskan menjadi Imam
Katolik, Drijarkara banyak belajar teologi sendiri. Pemberian izin pada Drijarkara
untuk melakukan studi pribadi dalam teologi, merupakan sesuatu hal yang tidak
lazim, meskipun benar juga bahwa ketika itu adalah waktu pancaroba bagi lembaga-
lembaga yang gerejani.

Gereja dan Politik


Perang Dunia II terutama Perang Pasifik sangat mempengaruhi renungan–renungan
Drijarkara. Sebagai rohaniawan dalam Gereja Katolik di Indonesia yang pada waktu
itu masih mengikuti pola-pola pendidikan gaya lama, di mana pandangan-pandangan
teologis masih cukup tradisional dan di mana peranan missionaris-missionaris
berkebangsaan Belanda masih sangat besar. Drijarkara mengalami pergumulan batin
yang tidak selalu mudah. Ia berkeyakinan bahwa seharusnya orang Belanda sudah
jenuh dengan situasi lama. Ia mengharapkan agar dari timbul Asia Raya dan Indonesia
Raya yang tentram dan sejahtera. Indonesia dibayangkan Drijarkara akan muncul dari
perang ini kendati ia tidak mengetahui bagaimana tatanan masyarakat dan sistim
pendidikannya. Ia sendiri mengaku banyak berkhayal mengenai hal ini. Pada awal
tahun l943 ia membuat catatan yang menyatakan tidaklah jelas siapa yang akan
muncul sebagai pemenang dalam Perang Pasifik itu. Drijarkara melihat secara jelas
bahwa keseganan orang Timur terhadap orang Belanda telah menjadi pudar untuk
selama-lamanya.

Pecahnya Perang Pasifik diawali dengan pengeboman Jepang terhadap Pearl Harbour
pada tanggal 7 Desember 1941. Dalam waktu yang sangat singkat Jepang menduduki
seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara. Di bulan Maret 1942 dalam waktu satu
minggu saja Jepang telah menduduki seluruh Jawa, mengusir Belanda dan berhasil
mengambil kontrol atas wilayah Hindia Belanda ini. Masa pendudukan Jepang di
Indonesia merupakan cobaan bagi Gereja Katolik di Indonesia yang mana ketika itu
semua misionaris Katolik Belanda dimasukkan oleh penguasa baru ke dalam kamp-
kamp tawanan. Dengan sejumlah pastor pribumi yang tak lebih dari dari sejumlah
hitungan jari manusia merupakan tantangan bagi Uskup Agung pertama pribumi Mgr.
Soegijopranata SJ untuk memelihara kehidupan jemaah Katolik di wilayah Jawa
Tengah dan sekitarnya. Uskup Agung Semarang ini terkenal gigih dalam
mempertahankan gambaran bahwa Gereja Katolik Indonesia bukanlah sekedar
‘boneka‘ (para misionaris) Belanda. Kendati tidak selalu berhasil. Mgr.
Soegijopranata berusaha kuat mempertahankan harta milik dan bangunan milik misi
Katolik yang akan direbut oleh penguasa baru ini. Satu-satunya alasan dan baik yang
sering dia pertahankan yaitu bahwa Gereja Katolik adalah sebuah lembaga ‘supra-
nasional’. Bahkan dalam membela ‘kepentingan’ Gereja Katolik berhadapan dengan
pihak militer Jepang, tidak jarang dia sampai berani mengatakan “Langkahi mayatku
dahulu sebelum mengambil alih harta milik Gereja ini “. Nampaknya bahwa
pemerintah militer Jepang dalam masa pendudukan Jepang berusaha keras untuk
menghentikan terlaksananya pendidikan bagi para pemuda pribumi untuk menjadi
Imam.

You might also like