You are on page 1of 87

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Suatu organisme atau makhluk hidup memiliki bermacam-macam sistem
jaringan atau organ dalam tubuhnya, dimana sistem tersebut memiliki fungsi dan
peranan serta manfaat tertentu bagi makhluk hidup,salah satu yang ada pada suatu
organisme yakni sistem pernafasan (Misnadiarly, 2008).
Salah satu penyakit yang paling banyak diderita masyarakat adalah
ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Sebagian besar dari infeksi saluran
pernafasan hanya bersifat ringan seperti : batuk-pilek,disebabkan oleh virus dan tidak
memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Infeksi saluran pernafasan bagian atas
terutama yang disebabkan oleh virus,sering terjadi pada semua kalangan masyarakat
terutama pada bulan-bulan musim dingin (Asih, 2004).
ISPA adalah penyakit (infeksi saluran pernafasan akut) yang berlangsung
sampai 14 hari lamanya. Saluran pernafasan adalah organ yang berawal dari hidung
hingga alveoli beserta segenap adneksanya seperti sinus-sinus,rongga telinga dan
pleura. Sedangkan yang dimaksud dengan infeksi adalah masuknya kuman atau
mikroorganisme kedalam tubuh dan berkembang biak sehingga menimbulkan
penyakit (Davey, 2006).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernafasan
akut yang meliputi saluran pernafasan bagian atas seperti rhinitis,fharingitis, dan
otitis serta saluran pernafasan bagian bawah seperti laryngitis,bronchitis, dan

pneumonia,yang berlangsung selama 14 hari. Batas waktu 14 hari diambil untuk


menentukan batas akut dari penyakit tersebut (Asiam M, 2003)
Penyakit ISPA merupakan masalah utama yang dapat dialami setiap orang dan
berbagai tingkat usia. Penyakit ISPA termasuk penyebab kematian bayi, balita
maupun dewasa dan sempat dijuluki sebagai pembunuh utama kematian di Indonesia.
Sesuai hasil konferensi Intenasional mengenai ISPA di Canbera Australia pada bulan
juli 1997, yang menemukan 4 juta bayi dan balita di negara-negara berkembang
meninggal tiap tahun akibat ISPA. Pada akhir tahun 2000, diperkirakan kematian
akibat pneumonia sebagai penyebab utama dari ISPA di Indonesia mencapai 5 kasus
diantara 1000 bayi /balita dan 2 kasus dari 1000 orang dewasa (Manurung S, 2009).
Berdasarkan data- data tersebut diatas peneliti tertarik ingin melakukan penelitian
tentang gambaran penderita ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) yang dirawat di
RSUD. Dr.Djasamen Saragih PematangSiantar Tahun 2012

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah peneletian ini adalah bagaimana
gambaran penderita ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) yang dirawat di RSUD.
Dr.Djasamen Saragih PematangSiantar Tahun 2012

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum


Untuk mengetahui gambaran penderita ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) yang
berobat jalan dan rawat inap yang dirawat di RSUD. Dr.Djasamen Saragih
PematangSiantar Tahun 2012
1.3.2. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui jumlah pasien yang menderita ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan
Akut) di RSUD. Dr.Djasamen Saragih PematangSiantar Tahun 2012
2. Untuk mengetahui gambaran penderita ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan Akut)
berdasarkan umur RSUD. Dr.Djasamen Saragih PematangSiantar Tahun 2012
3. Untuk mengetahui gambaran penderita ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan Akut)
berdasarkan jenis kelamin di RSUD. Dr.Djasamen Saragih PematangSiantar Tahun
2012
4. Untuk mengetahui gambaran penderita ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan Akut)
berdasarkan jenis pekerjaan RSUD. Dr.Djasamen Saragih PematangSiantar Tahun
2012.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Menambah wawasan peneliti dan pembaca tentang ISPA(Infeksi Saluran
Pernafasan Akut)
2. Sebagai bahan masukan pada masyarakat tentang pneumonia dan langkah
awal pencegahan penyakit ISPA(Infeksi Saluran Pernafasan Akut) Sebagai

bahan masukan untuk penelitian selanjutnya dan untuk menambah bahan


kepustakaan di perpustakaan Fakultas Kedokteran Universitas Methodist
Indonesia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ISPA


Dahulu ISPA sering disalah-artikan sebagai saluran pernafasan atas. Sekarang,
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut, yang meliputi
saluran pernafasan bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah. Penyakit infeksi
akut yang menyerang salah satu atau lebih bagian dari saluran nafas mulai dari
hidung( saluran bagian atas) hingga jaringan didalam paru-paru ( saluran bagian
bawah) (Asiam, 2003).
ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) adalah infeksi saluran pernafasan
bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah beserta adeneksanya (Asiam,2003).
Infeksi saluran nafas akut (ISPA) sering disalah artikan sebagai infeksi saluran
pernafasan atas(dalam dan luar).sebenarnya ISPA merupakan singkatan dari infeksi
saluran pernafasan akut,ISPA meliputi saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan
bawah.(Dahlan, 2009).
Istilah ISPA diadaptasi dari istilah dalam bahasa inggris yaitu Acute
Respiratory Imfections(ARI),istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi,saluran
pernafasan,dan akut,dengan pengertian sebagai berikut :

a. Infeksi adalah salah satu keadaan dimana kuman penyakit berhasil


menyerang tubuh manusia kemudian berkembang baik dalam tubuh dan
menyebabkan penyakit (Sudoyono, 2006).
b. Saluran pernafasan adalah organ mulai hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus,rongga telinga tengah,dan pleura.
ISPA secara anatomis mencakup saluran penafasan bagian atas dan saluran
pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ
adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk
dalam saluran pernafasan (Asih, 2004).
c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas
14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA. Proses ini dapat
berlangsung lebih dari 14 hari (Dahlan, 2005).
ISPA adalah penyakit infeksi pada saluran pernafasan atas maupun bawah
yang disebabkan oleh masuknya kuman mikroorganisme (bakteri dan virus) kedalam
organ saluran pernafasan yang berlangsung selama 14 hari (Dongoes, 2006).

2.2 Klasifikasi Ispa


Ispa ( Infesi Saluran Pernasafasan Akut) meliputi saluran pernafasan bagaian
atas dan saluran pernafasan bagian bawah. ISPA terbagi dalam 2 golongan yaitu yang
bukan pneumonia dan pneumonia berikut penjelasannya:
a. Infeksi Saluran Pernafasan Atas
Saluran pernafasan atas berfungsi menghatkan,melembabkan,dan
menyaring udara. Bersama udara masuk berbagai pathogen, yang dapat
tersangkut di hidung, faring, laring atau trakea,dan dapat berproliferasi, bila
daya tahan tubuh menurun. Penyakit infeksi saluran pernafasan meliputi
sinusitis,rhinitis,pharingitis,tonsilitis, dan laringitis memiliki pola khusus dan
khas.
1)

Sinusitis
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi atau peradangan pada suatu

atau lebih dari sinus pranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga/ruang
berisi udara dengan dinding yang terdiri dari membran mukosa. Meskipun
tipe sinusitis akut yang sering terjadi adalah disebabkan oleh virus dan
alergi akan tetapi diagnosa sinusitis fungal atau bakterial yang akurat
sangatlah penting bagi kebaikan pasien dan pencegahan komplikasi yang
mungkin terjadi seperti sinusitis kronis atau menyebarnya infeksi ketempat
yang lain (misal meningitis) (Padila, 2013).

Infeksi saluran pernafasan atas biasanya diikuti sinusitis bakterial akut.


Bakteri patogen yang biasa menjadi penyebab penyakit ini meliputi
Haemophilus

Influenza,Streptococcus

Pyogenes,

dan

Streptococcus

Pnemonal. Adanya infeksi yang berulang pada sinusitis kronis maka akan
terjadi sikatrik yang berakibat pada penebalan membran-membran dan
aliran pembuangan sekret menjadi terhambat. Selanjutnya pada keadaan ini
sangat kondusif bagi tumbuhnya bakteri dan berkembang dengan subur
dilingkunga ini (misnadiarly, 2008).
2)

Rhinitis
Rhinitis

didefinisikan

sebagai

penyakit

inflamasi

membran

mukosa dari cavum nasal dan nasopharyng. Sama halnya dengan sinusitis,
rhinitis bisa berupa penyakit akut dan kronis yang kebanyakan disebabkan
oleh virus dan alergi. Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien meliputi
hidung berair ( rhinorrhea). Rhinitis paling sering akan menyertai infeksi
virus akut pada saluran pernafasan atas, yang sering dikenal dengan
Influenza ( common cold). Virus disebarkan melalui droplet (titik-titik)
yang berasal dari bersin (Davey P, 2006)
3)

Pharingitis
Pharingitis adalah proses peradangan pada tenggorokan. Penyakit ini

juga sering dilihat sebagai inflamasi virus, namun juga disebabkan oleh

bakterial, seperti hemolytic Streptococcy, Staphylococci, atau bakteri


lainnya (Padilla, 2013).
4)

Amandel atau Tonsilitis


Tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil

atau amandel. Organisme penyebabnya yang utama meliputi Streptococcus


atau Staphylococcus. Infeksi terjadi pada hidung atau pharyng yang
menyebar melalui sistem limfa ke tonsil. Hiperthropi yang disebabkan oleh
infeksi, bisa menyebabkan tonsil membengkak sehingga bisa menghambat
keluar masuknya udara (misnadiarly, 2008).
5)

Laryngitis
Laryngitis adalah proses peradangan dari membran mukosa yang

membentuk laryng. Peradangan ini mungkin akut atau kronis, penyebabnya


bisa berupa virus,bakteri, lingkungan maupun karena alergi. Gejala yang
timbul diakibatkan oleh pembengkakan pita suara. Bakteri penyebabnya
adalah Streptococcus Pneumoniae dan Beta Hemolytic Streptococcus.
Akibat yang timbul bisa berupa serak atau kehilangan suara (aphonia),
demam, tidak enak badan, sakit ketika menelan, batuk kering dan
tenggorokan gatal. Bagi pasien yang menghidap laryngitis, gangguan
seperti stridor dan dyspnea ini juga bisa muncul.

b. Peneumonia (Infeksi Saluran Pernafasan Bawah)


Pneumonia didefinisikan sebagai penyakit infeksi saluran pernafasan
bawah,yang meliputi parenkim paru-paru,termasuk alveoli dan struktur
pendukungnya.

Pneumonia

disebabkan

oleh

kuman

seperti

bakteri,virus,protozoa,dan virus phatogen yang masuk kedalam tubuh melalui


aspirasi, inhalasi atau penyebaran sirkulasi. Pneumonia inhalasi disebabkan
melalui droplet batuk dan bersin. Agen penyebabnya biasanya adalah virus.
Pneumonia bacterial, organisme gram-positif yang menyebabkan
pneumonia bacteri adalah Streptococcus

Pneumonia, S.Aureus, dan

Streptococcus Pyogenes. Insiden pneumonia ini paling tinggi terjadi dimusim


dingin, dan biasanya merupakan akibat lanjutan dari infesi saluran pernafasan
atas.
Pneumonia virus yang merupakan tipe pneumonia paling umum
disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet.
Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyebab utama pneumonia
virus.
Pneumonia protozoa yang merupakan tipe pneumonia paling umum
yang di sebabkan oleh protozoa,biasanya menjangkiti pasien yang mengalami
imunosupresi,protozoa
Pneumonia (CPC)

menimbulkan

terjadinya

Pneumocystis

Carinii

Pneumonia fungal, infeksi yang disebabkan oleh jamur seperti


Histoplasmosis. Menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung
spora. Infeksi histoplasma terkadang hilang dengan sendirinya sehingga tidak
memerlukan perawatan (Mandal, 2006).

2.3 Patogensesis ISPA


ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, bersin, udara pernafasan yang
mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernafasannya. Ispa
yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak kecil terutama apabila
terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak hygenis.
Resiko terutama terjadi pada anak-anak karena meningkatnya kemungkinan infeksi
silang, beban immunologisnya terlalu besar karena dipakai untuk penyakit parasit dan
cacing,serta tidak tersedianya atau berlebihannya pemakaian antibiotik (Asiam,
2003).
2.4 Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri atas: bakteri, virus(flu burung,SARS, EBOLA),protozoa,
jamur. Bakteri penyebab ISPA misalnya: Streptococcus Hemolitikus, Stafilokokus,
Pneumokukus, Hemofilus Influenza, Bordetella Pertusis, dan Korinebakterium
differia (Muttaqin, 2004).
Untuk golongan

virus

penyebab

ISPA

antara

lain

golongan

miksovirus(termasuk di dalamnya virus para-influenza,virus influenza,,virus flu


burung,virus SARS, virus Ebola). Virus para-influenza merupakan penyebab terbesar

dari sindroma batuk rejan, bronkiolitis dan penyakit demam saluran nafas bagian atas.
Untuk virus influenza bukan penyebab terbesar terjadinya sindroma saluran
pernafasan kecuali hanya epidemi-epidemi saja. Virus Ebola adalah sejenis virus dari
genus ebolavirus, familia filoviridae. Virus Ebola sangat menular, melalui kontak dan
tranfusi cairan tubuh,seperti darah, keringat, air liur, air mani, atau cairan tubuh yang
lainnya. Untungnya virus Ebola tidak dikatagorikan sebagai virus yang menyebar
melalui udara (Jeremy,2007).
2.5 Patofisiologi ISPA
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan
tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang
terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus kearah
faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut
gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan
(Robbins,2006).
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk
kering. Kerusakan struktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan
kenaikkan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran
nafas,sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan
cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal
gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk (Robbins,2006).
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder
bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang
merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri

sehingga memudahkan bakteri-bakteri pathogen yang terdapat pada saluran


pernafasan atas seperti Streptococcus Pneumonia,Haemophylus influenza, dan
Staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut (Robbins,2006).Infeksi
sekunder bakteri ini menyebabkan infeksi mukus terlalu banyak dan dapat
menyumbat saluran nafas sehinggal timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk
yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya faktor-faktor seperti
kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan
adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan
gizi aku pada bayi dan anak (Tjay TH, 2007).
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ketempat-tempat
lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang,demam,dan juga bisa
menyebar kesaluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa
menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya
ditemukan dalam saluran pernafasan atas,sesudah terjadinya infeksi virus,dapat
meginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Sudoyono, 2006).
Dari uraian diatas,perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi
empat tahap, yaitu:
1. Tahap prepatogenesis,penyebab telah ada tetapi penderita belum
menunjukkan reaksi apa-apa.
2. Tahap inkubasi,viru merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh
menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dab daya tahan sebelumnya
memang sudah rendah.
3. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul
gejala demam dan batuk.

4. Tahap lanjut penyakit,dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh


sempurna dengan atelaksis,menjadi kronis dan dapat meninggal akibat
pneumonia (Tjay TH, 2007).
2.6 Manifestasi Klinis ISPA
1. Tanda-tanda ISPA
Pada umumnya suatu penyakit saluran pernafasan dimulai dengan
keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit
mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh
dalam keadaan kegagalan pernafasan dan mungkin meniggal. Bila sudah
dalam kegagalan pernafasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih
rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan
agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat
ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernafasan. Tandatanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda
laboratorium.
A. Tanda-tanda klinis
Pada sistem respiratorik adalah : tachypnea, nafas tidak teratur
(apnea), retraksi dinding thorax, nafas cuping hidung, suara nafas

lemah atau hilang,grunting expiratoir dan wheezing.


Pada sistem cardial adalah : tachycardia,mudah terangsang,sakit

kepala, bingung, papil bendung,kejang dan koma.


Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.

B. Tanda-tanda laboratorius :
Hypoxemia
Hypercapnia, dan
Acylosis (Metabolik dan atau Respiratorik) (Doenges, 2006).

2. Gejala ISPA
Infeksi saluran nafas bagian atas memberikan gejala yang sangat penting yaitu
batuk. Infeksi saluran nafas bagian bawah memberikan beberapa tanda lainnya seperti
nafas yang cepat dan retraksi dada. Semua orang dapat mengenal batuk tetapi
mungkin tidak mengenal tanda-tanda lainnya dengan mudah. Selain batuk gejala
ISPA juga dapat dikenali yaitu flu,demam, dan suhu tubuh meningkat lebih dari 38,5 0
Celcius dan disertai sesak nafas.
Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga golongan
yaitu:
a. ISPA ringan bukan pneumonia
b. ISPA sedang,pneumonia
c. ISPA berat,pneumonia berat
a. Gejala ISPA ringan
Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala sebagai
berikut :
1) Batuk,
2) Demam,
3) Pilek yang mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
4) Panas atau demam.
b. Gejala ISPA sedang
Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA
ringan dengan disertai gejala sebagai berikut :
1) Pernafasan lebih dari 50x/menit,
2) Suhu tubuh lebih dari 390 Celcius,
3) Tenggorokan berwarna merah,
4) Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak,
5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga,
6) Pernafasan berbunyi seperti mendengkur,
7) Pernafasan berbunyi seperti mencuit-cuit.
c. Gejala ISPA berat

Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala ISPA ringan atau
sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut :
1) Bibir atau kulit membiru,
2) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu
3)
4)
5)
6)
7)
8)

bernafas,
Tidak sadar atau kesadarannya menurun,
Pernafasan menciut,
Pernafasan berbunyi mengorok,
Sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas,
Nadi lebih cepat dari 60x/menit atau tidak teraba,
Tenggorokan berwarna merah,
Pasien ISPA berat harus dirawat di Rumah sakit atau Puskesmas

karena perlu mendapat perawatan dengan peralatan khusus seperti oksigen


dan infuse (Padila, 2013)
2.7 Komplikasi ISPA
Penyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang sembuh sendiri
5-6 hari jika kita tidak terjadi invasi kuman lainnya. Komplikasi yang dapat terjadi
adalah sinusitis paranasal, penutupan tuba eusthacii dan penyeberan infeksi.
1. Sinusitis paranasal
Komplikasi ini hanya terjadi pada orang dewasa karena pada bayi dan
anak kecil sinus paranasal belum tumbuh. Gejala umum tampak lebih
besar,nyeri kepala bertambah, rasa nyeri dan nyeri tekan biasanya didaerah
sinus frontalis dan maksilaris. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan foto
rontgen dan transiluminasi pada anak besar.
Proses sinusitis sering menjadi kronik dengan gejala malaise, cepat
lelah dan sukar berkonsentrasi (pada anak besar). Kadang-kadang disertai
sumbatan hidung,nyeri kepala hilang timbul,bersin yang terus menerus
disertai secret purulen dapat unilateral ataupun bilateral. Bila didapatkan

pernafasan mulut yang menetap dan rangsang faring yang menetap tanpa
sebab yang jelas, perlu dipikirkan terjadinya komplikasi sinusitis. Sinusitis
paranasal ini dapat diobati dengan memberikan antibiotic (Asiam, 2003).
2. Penyebaran infeksi
Penjalaran infeksi sekunder dari nasofaring kearah bawah seperti
laryngitis,trakeitis, bronkitis, dan broncopneumonia. Selain itu dapat juga
terjadi komplikasi jauh, misalnya terjadi meningitis purulenta (Tjay TH,
2007).

Tabel 2.1 Daftar mikroorganisme yang menyebabkan pneumonia

Infeksi Bakteri
Streptococcus pneumoniae

Infeksi Atipikal
Mycoplasma pneumoniae

Infeksi Jamur
Aspergillus

Haemophillus influenza

Legionella pneumophillia

Histoplasmosis

Klebsiella pneumoniae

Coxiella burnetii

Candida

Pseudomonas aeruginosa

Chlamydia psittaci

Nocardia

Gram-negatif (E. Coli)


Infeksi Virus
Influenza

Infeksi Protozoa
Pneumocytis carinii

Penyebab Lain
Aspirasi

Coxsackie

Toksoplasmosis

Pneumonia lipoid

Adenovirus

Amebiasis

Bronkiektasis Fibrosis

Sinsitial respiratori

kistik

(Padila, 2013).
Tabel 2.2. Stratifikasi pasien CAP

Kelompok
I

Tipe Pasien
Pasien rawat jalan, tanpa riwayat penyakit kardiopulmonal

II

dan tanpa faktor modifikasi.


Pasien rawat jalan disertai penyakit kardiopulmonal dan
atau faktor modifikasi lainnya (faktor resiko DRSP

III

(S.Pneumoniae) atau bakteri gram negatif


Pasien rawat inap Non-ICU :
a. Dengan penyakit kardiopulmonal dan atau faktor
modifikasi lain
b. Tanpa penyakit kardiopulmonal, dan tanpa faktor

modifikasi lainnya
IV
Pasien rawat inap ICU :
a. Tanpa terinfeksi Pseudomonas aeruginosa
b. Dengan resiko terinfeksi P. Aeruginosa.
The clinical presentation of serious infections in hospitalized patients

Lacteria

Clinical Presentation

Bacteria

ICU

Scoryng System : (Resp.30, Total 3.000)

APACHE II/III

SOFA Score

ARDS Sore

Mayor Trauma S.S

Pithsburg Brain S.S

Modiried Apache II

Criteria for organ

System failure

S.Cardivasvular F

Endotoxin
Binds to LPS-binding protein
CD 14
Macrophag
e

Tumor necrosis factor


IL-1,-2,-6,-8,-12
Interferon-
Platelet-activating factor

Hypothalamus

Capillary endothelial cell

Vessel wall

Fever
Tachycardia

Neutrophil margination
Platelet adherence

Nitric oxide synthesis

DIC with clinical thrombosis and/or


hemorrhage
Depletion of intravascular volume

Nitric oxide synthesis

Cellular hypoxia
Low systemic vascular resistance, toxic oxygen radicals

Lactic acidosis
Multi-organ dysfuction
(myocardial pulmonary, trenal, hepatical)

Death

Tabel Perjalanan Klinis suatu bakteri


Tabel 2.4. Pemilihan Antibiotik pada CAP berdasarkan kelompok, tipe pasien
dan jenis mikroorganisme yang terisolasi dan teridentifikasi.
Kelompok
IIIA

Tipe pasien

Jenis

Regimen

Rawat inap

mikroorganisme
Streptococcus

Beta lactam I.V

Penyakit

pneumonia (DRSP)

(Cefotaxin,Cefriaxone

kardiopulmonal (+)

Hemophilus

dan atau faktor

influenzae

Ampicillin/sulbactam

modifikasi (+4)

Mycoplasma

Ampicilin(dosis

pneumonia

tinggi) dikombinasi:
Macrolide. I.V. atau

Infeksi campuran

oral

( bakteri dan atipik )

atau :
fluroquinolone

Virus legionella spp


Lain lain :
M.tuberculosis
Jamur endemic,
Pneumocystis,
carinii

antipneumococcus

IIIB

Rawat inap penyakit


kardiopulmonal (-)
Faktor modifikasi (-)

S.pneumoniae
H. influenzae atau :

Azithromycin I.V. atau


doxycylin beta lactam

M. pneumoniae

atau : fluoroquinolone

Infeksi

antipneumococcus

campuran(bakteri
dan atipik)
Virus
Legionella spp
Lain lain :
M.tuberculosis
Jamur endemic,
Pneumocystis,
carinii

IVA

Rawat ICU tanpa

S.pneumoniae Beta-

Beta Lactam I.V :

resiko

lactam I.V.

Cefotaxin,

Ps.Aeruginosa

Legionella ,spp

Cefriaxone

Haemophilus

Dikombinasi :

Enteric gram

Macrolide I.V

negative

Azithromycin

s.aureus
Mycoplasma

Atau
Fluoroquinolone

pneumoniae

I.V

Respiratory virosis
Lain lain:
Chlamidya
pneumonia
M.tuberculosis
IV B

Rawat ICU dengan


risiko Aeruginosa

Jamur endemic
Sama dengan IV A +
P.Aeroginosa

Beta lactam anti


pseudomonas tertentu
(Celepime, Imepenem,
Meropenem
Piperacillin
/Tazobactam)
Dikombinasi:
Quinolone

Tabel 2.6 Daftar nama kuman dan antibiotika yang digunakan


Agen Penyebab

Antibiotika Yang

Pilihan Antibiotika

Legionella

Digunakan
Eritromisin dengan

Lain
Klaritromisin atau

Tanggapan

atau tanpa rifampin

azitromisin,

siprofloksasin

rifampin,
doksisiklin dengan

Mycoplasma

Doksisiklin,

rifampin, ofloksasin
Klaritromisin atau

pneumoniae

eritromisin

azitromisin,

Selama1-2 minggu

rifampin,
siprofloksasin atau
Chlamydia

Doksisiklin,

ofloksasin
Klaritromisin atau

pneumoniae

eritromisin

azitromisin,

Selama1-2

minggu

Siprofloksasin atau
Chlamydia psittaci

Doksisiklin

ofloksasin
Eritromisin,

S. pneumonia

Penisilin G atau V

kloramfenikol
Sefalosporin :

Dosis untuk

Sefazolin

Penyakit berat :

Sensitif terhadap
penisilin
(MIC < 0,1 ug/ml)

Penisilin IV
Sefuroksim,
0,5 juta unit/ 4
Sefotaksim

jam
Sefuroksim:

Sefrizokisim

750 mg/8 jam IV


Sefuroksim:

Resistensi sedang

Penisilin G:2-3

terhadap penisilin

juta unit/4 jam

(MIC 0,1 ug/ml)

Seftriakson

Seftriakson

2 g/hari IV

Sefalosporin oral
Vankomisin

Tingkat resistensi
Sedang

Sefataksim

0,1 1 ug/ml;

Agen oral

80%

Makrolida

Biasanya

Sefuroksim

sensitive

sefodoksim

Terhadap
Sefalosporin

Resistensi tinggi

Vankomisin

Imipenem

Resistensi tingkat

terhadap penisilin

Tinggi

(MIC > 1 ug/ml)

> 1 ug/ml
20% perlu
Vankomisin

H. Influenzae

Sefalosporin

Tetrasiklin :

Generasi kedua
Atau ketiga

Betalaktam-

Klaritromisin,

Betalaktamase

Azittromisin

Fluorokuinolon

Trimetoprin

Kloramfenikol

Sulfametoksazol
S. aureus

Nafsilin/ oxasilin

Sefazolin atau

dengan atau

Sefuroksim,

tanpa
rimfapinisin atau

Vankomisin

gentamisin

Klindamisin
Klindamisin
Sulfametoksazol

Enterobakteriaceae(E

Sefalosporin

Fluorokuinolon
Aztreonam,

. coli, Klebsiella,

generasi kedua atau

imipenem,

Proteus,

ketiga dengan/tanpa

betalaktam-

Enterobacter)

aminoglikosida

betalaktamase

Menurut Pedoman CAP dari BTS (British Thoracic Sociaty) 2005

2.8 Golongan Betalaktam


Antibiotika ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok penisilin dan
sefalosporin.

A. Kelompok Penisilin
Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai
jenis yang dihasilkannya, perbedaannya hanya pada gugus samping-R saja.
Penisillin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis
dnding sel. Efek samping yang terpenting adalah reaksi yang dapat
menimbulkan urtikaria, dan kadang-kadang reaksi analfilaksis dapat menjadi
fatal (Asiam, 2003).
1. Benzilpenisilin: penisilin G bersifat bakterisid terhadap kuman Grampositif (khususnya cocci) dan hanya beberapa kuman negatif. Penisilin G
tidak tahan-asam, maka hanya digunakan sebagai injeksi i.m atau infus
intravena. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 60%; plasma t nya
sangat singkat, hanya 30 menit dan kadar darahnya cepat menurun.
Eksresinya berlangsung sebagian besar melalui transport aktif tubuler dari
ginjal dan dalam keadaan utuh. Aktivitas penisilin G masih dinyatakan
dalam Unit Internasional (UI).
2. Fenoksimetilpenisilin: Penisilin-V; derivate semisintesis ini tahan asam
dan memiliki spektrum kerja yang dapat disamakan dengan pen-G, tetapi
terhadap kuman negatif (antara lain suku Nesseira dan bacilli H.
influenzae) 5-10 kali lebih lemah. Resorpsi penisilin-V tidak diuraikan
oleh asam lambung. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 80%,
plasma t 30-60 menit. Sebagian besar zat dirombak di dalam hati, dan

rata-rata 30% dieksresikan lewat kemih dalam keadaan utuh. Dosis oral 36 dd 25-500 mg 1 jam sebelum makan, atau 2 jam sesudah makan
3. Ampisilin: penisilin broad spectrum ini tahan asam dan lebih luas
spektrum kerjanya yang meliputi banyak kuman gram-negatif yang hanya
peka bagi penisilin-G dalam dosis intravena tinggi. Kuman-kuman yang
memproduksi penisilinase tetap resisten terhadap ampisilin (dan
amoksisilin). Ampisilin efektif terhadap E. coli, H. influenzae,
Salmonella, dan beberapa suku Proteus. Resorpsinya dari usus 30-40%
(dihambat oleh makanan), plasma t nya 1-2 jam. Ikatan dengan protein
plasmanya jauh lebih ringan daripada penisilin G dan penisilin V.
Eksresinya berlangsung melalui ginjal yaitu 30-45% dalam keadaan utuh
aktif dan sisanya sebagai metabolit. Efek samping berkaitan dengan
gangguan lambung-usus dan alergi. Dosis untuk oral 4 dd sehari 0,5-1 g
(garam-K atau trihidrat) sebelum makan.
4. Amoksisilin: derivat hidroksi dengan aktivitas sama seperti ampisilin.
Resorpsinya lebih lengkap (80%) dan pesat dengan kadar darah dua kali
lipat. Ikatan dengan protein plasma dan t nya lebih kurang sama, namun
difusinya ke jaringan dan cairan tubuh lebih baik. Kombinasi dengan asam
klavulanat efektif terhadap kuman yang memproduksi penisilinase. Efek
samping yang umum adalah gangguan lambung-usus dan radang kulit
lebih jarang terjadi. Dosis untuk oral 3 dd 375-1.000 mg, anak-anak < 10
tahun 3 dd 10 mg/kg, juga diberikan secara i.m/i.v.

5. Coamoksiklav terdiri dari amoksilin dan asam klavulanat (penghambat


beta laktamase). Asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki
antibakterial. Tetapi dengan menginaktifkan penisilinase, kombinasi ini
aktif terhadap bakteri penghasil penisilinase yang resisten terhadap
amoksisilin.
6. Penisilin antipseudomonas: obat ini diindikasikan untuk infeksi berat yang
disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa. Selain itu juga aktif terhadap
beberapa kuman gram negatif, termasuk Proteus spp dan Bacteroides
fragilis.

B. Kelompok Sefalosporin
Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang berasal dari
Sicilia. Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur, khasiat, dan
sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-keuntungan antara lain
spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup enterococci dan kumankuman anaerob serta resisten terhadap penisilinase, tetapi tidak efektif terhadap
Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin (Davey, 2006).

Berdasarkan sifat farmakokinetika, sefalosporin dibedakan menjadi dua


golongan. Sefaleksim, sefaklor, dan sefadroksil dapat diberikan per oral karena

diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan


parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara i.v. karena
menimbulkan iritas pada pemberian i.m. Beberapa sefalosporin generasi ketiga
misalnya mosalaktam, sefotaksim, seftizoksim, dan seftriakson mencapai kadar tinggi
dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk pengobatan meningitis
purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar plasenta, mencapai kadar
tinggi dalam cairan synovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik kadar
sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata relatif tinggi, tapi tidak mencapai
vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi terutama sefoperazon. Kebanyakan
sefalosporin dieskresi dalam bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian
besar dieskresi melalui empedu. Oleh karena itu dosisnya harus disesuaikan pada
pasien gangguan fungsi ginjal (Effendy, 2004).
Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi
anafiilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang
biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi
penisilin yang ringan dan sedang kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan zat
yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksis dibandingkan dengan aminoglikosida.
Kombinasi

sefalosporin

dengan

aminoglikosida

mempermudah

terjadinya

nefrotoksisitas (Jeremy, 2007).


Yang termasuk dalam kelompok sefalosporin adalah:
1. Sefalosporin generasi pertama: sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, dan
sefadroksil. Terutama aktif terhadap kuman gram positif. Golongan ini efektif

terhaap sebagina besar S. aureus dan streptokokus termasuk Str. pyogenes,


Str. viridans, dan Str. pneumoniae. Bakteri gram positif yang juga sensitif
adalah Clostridium perfringens, dan Corinebacterium diphtheria. Sefaleksim,
sefradin, sefadroksil aktif pada pemberian per oral. Obat ini diindikasikan
untuk infeksi salura kemih yang tidak berespons terhadap obat lain atau yang
terjadi selama kehamilan, infeksi saluran napas, sinusitis, infeksi kulit dan
jaringan lunak (Jeremy, 2007).
2. Sefalosporin generasi kedua: Sefaklor, sefamandol, sefmetazol, sefuroksim.
Dibandingkan dengan generasi pertama, sefalosporin generasi kedua kurang
aktif terhadap bakteri gram positif, tetapi lebih aktif terhadap gram negatif,
misalnya H. Influenza, E. Coli, dan Klebsiella. Golongan ini tidak efektif
terhadap kuman anaerob. Sefuroksim dan sefamandol lebih tahan terhadap
penisilinase dibandingkan dengan generasi pertama dan memiliki aktivitas
yang lebih besar terhadap H. Influenzae dan N. Gonorrheae (Jeremy, 2007).
3. Sefalosporin generasi ketiga: sefoperazon, sefotaksim, seftriakson, sefiksim,
sefodoksim, sefprozil. Golongan ini umumnya kurang efektif terhadap kokus
gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tapi jauh lebih aktif
terhadap Enterobacteriaceae termasuk strain penghasil penisilinase (Elin,
2008). Aktivitasnya terhadap gram negatif lebih kuat dan lebih luas lagi dan
meliputi Pseudomonas dan Bacteroides, khususnya seftazidim (Jeremy,
2007).

4. Sefalosporin generasi keempat: sefepim dana sefpirom. Obat-obat baru ini


sangat resisten terhadap laktamase, sefepim juga aktif sekali terhadap
pseudomonas (jeremy, 2007).

C. Antibiotika Laktam Lainnya


1. Imipenem: khasiat bakterisidnya berdasarkan perintangan sintesis dindingsel kuman. Spektrum kerjanya luas meliputi, banyak kuman gram-positif
dan negatif termasuk Pseudomonas, Enterococcus, dan Bacteroides, juga
kuman patogen anaerob. Tahan terhadap kebanyakan betalaktamase
kuman, tetapi berdaya menginduksi produksi enzim ini. Oleh ginjal
dehidropeptidase-1 dirombak menjadi metabolit nefrotoksis, maka hanya
digunakan terkombinasi dengan suatu penghambat enzim yaitu silastatin.
Dosis terkombinasi dengan cilastatin i.v. sebagai infus 250-1.000mg setiap
5 jam (Asiam, 2003). Efek samping sama dengan antibiotika betalaktam
lainnya. Neurotoksisitas pernah dilaporkan pada dosis sangat tinggi dan
pada pasien gagal ginjal (Effendy, 2004).
2. Meropenem sama dengan imipenem, tetapi lebih tahan terhadap enzim di
ginjal sehingga dapat diberikan tanpa silastin. Penetrasinya ke dalam
semua jaringan baik termasuk ke dalam cairan serebrospinal sehingga
efektif terhadap meningitis bakterial. Dosisnya untuk intravena atau infus
10-120 mg/kg dalam 3-4 dosis atau setiap 8-12 jam (Effendy, 2004).

2.9 Golongan Makrolida


Kelompok antibiotika ini terdiri dari eritromisin dengan derivatnya
klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, dan diritromisin. Semua makrolida
diuraikan dalam hati, sebagian oleh sistem enzim oksidatif sitokrom-P450 menjadi
metabolit inaktif. Pengecualian adalah metabolit OH dari klaritromisin dengan
aktivitas cukup baik. Eksresinya berlangsung melalui empedu, tinja serta kemih,
terutama dalam bentuk inaktif (Davey, 2006).
Efek samping yang terpenting adalah pengaruhnya bagi lambung-usus berupa
diare, nyeri perut, nausea, dan kadang-kadang muntah, yang terutama terlihat pada
eritromisin akibat penguraiannya oleh asam lambung. Eritromisin pada dosis tinggi
dapat menimbulkan ketulian yang reversibel. Semua makrolida dapat mengganggu
fungsi hati, yang tampak sebagai peningkatan nilai-nilai enzim tertentu dalam serum
(Mandal BK, 2006).
a. Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir digunakan sama
dengan penisilin, sehingga obat ini digunakan sebagai alternatif pengganti
penisilin. Eritromisin bersifat bakteriostatis terhadap bakteri gram-positif.
Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman,
sehingga sintesis proteinnya dirintangi. Absorpsinya tidak teratur, agak sering
menimbulkan efek samping saluran cerna, sedangkan masa paruhnya singkat,
maka perlu ditakar sampai 4 x sehari. Eritromisin merupakan pilihan pertama
khususnya pada infeksi paru-paru dengan Legionella pneumophila dan
Mycoplasna pneumonia. Eritromisin menyebabkan mual, muntah, dan diare.

Dosis: oral 2-4 dd 250-500 mg pada saat perut kosong selama maksimal 7
hari.
b. Azitromosin dan klaritromisin merupakan derivat dari eritromisin. Memiliki
sifat farmakokinetik yang jauh lebih baik dibandingkan eritomisin, antara lain
resorpsinya dari usus lebih tinggi karena lebih tahan asam, begitu pula daya
tembus ke jaringan dan intra-seluler. Azitromisin mempunyai t 1/213 jam yang
memungkinkan pemberian dosis hanya 1 atau 2 kali sehari. Makanan
memperburuk resorpsinya, maka sebaiknya diminum pada saat perut kosong
(Mandal BK, 2006).
2.10 Golongan Aminoglikosida
Aminoglikosida

dihasilkan

oleh

jenis-jenis

fungi

Streptomyces

dan

Micromonospora. Aminoglikosida bersifat bakterisid berdasarkan dayanya untuk


menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses
translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesis proteinnya dikacaukan.
Spektrum kerjanya luas yaitu aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.
Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah streptomisin, gentamisin, amikasin,
kanamisin, neomisin, dan paramomisin (Asiam, 2003).
a. Amikasin: merupakan turunan kanamisin. Obat ini tahan terhadap 8 dari 9
enzim yang merusak aminoglikosida, sedangkan gentamisin dapat dirusak
oleh 5 dari enzim tersebut. Terutama diindikasikan untuk infeksi berat gram
negatif yang resisten terhadap gentamisin. Guna menghindari resisten, jangan
digunakan lebih dari 10 hari (Asiam, 2003).

b. Gentamisin: spektrum antibakterinya luas, tapi tida efektif terhadap kuman


anaerob, kurang efektif terhadap Str. Hemolyticus. Bila digunakan pada
infeksi berat yang belum diketahui penyebabnya, sebaiknya dikombinasi
dengan penisilin dan/atau metronidazol (Effendy, 2004). Dosis harian 5 mg/kg
dalam dosis terbagi tiap 8 jam (bila fungsi ginjal normal). Sebaiknya
pemberian jangan melebihi 7 hari. Dosis lebih tinggi kadang-kadang
diperlukan pada neonatus dan defisiensi imunologis (Manurung S, 2009).

2.11

Golongan Fluorokuinolon

a. Kloramfenikol: berkhasiat bakteriostatik terhadap hampir semua kuman grampositif dan sejumlah kuman gram-negatif, juga terhadap Chlamydia
trachomatis dan Mycoplasma. Bekerja bakterisid terhadap S. pneumonia, dan
H. influenzae. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesis
polipeptida kuman. Resorpsinya dari usus cepat dan lengkap dengan
bioavaibilitas 75-90%. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 50% , t
nya rata-rata 3 jam. Dalam hati 90% zat ini dirombak menjadi glukuronida
inaktif. Eksresinya melaui ginjal, terutama sebagai metabolit inaktif dan lebih
kurang 10% secara utuh. Efek samping umum berupa gangguan lambungusus, neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang
sangat berbahaya adalah depresi sumsum tulang yang dapat berwujud dalam
bentuk anemia (Effendy, 2004).

b. Vankomisin: antibiotika glikopeptida ini dihasilkan oleh Streptpmyces


orientalis. Berkhasiat bakterisid terhadap kuman Gram-positif aerob dan
anaerob termasuk Staphylococcus yang resistensi terhadap metisilin. Daya
kerjanya berdasarkan penghindaran pembentukan peptidoglikan. Penting
sekali sebagai antibiotika terakhir pada infeksi parah jika antibiotika yang lain
tidak ampuh lagi. Obat ini juga digunakan bila terdapat alergi untuk
penisilin/sefalosporin. Resorpsinya dari usus sehat sangat buruk, tetapi lebih
baik pada enteris. Vankomisin mempunyai t nya 5-11 jam. Eksresinya
berlangsung 80% melalui kemih. Efek sampingnya berupa gangguan fungsi
ginjal, terutama pada penggunaan lama dosis tinggi, juga neuropati perifer,
reaksi alergi kulit, mual, dan demam. Kombinasinya dengan aminoglikosida
meningkatkan risiko nefro dan ototoksisitas. Dosis untuk infeksi parah i.v.
(infuse) 1 g dalam 200 ml larutan NaCl 0,9% (atau glukosa 5%) setiap 12 jam
dengan jangka waktu minimal 2 jam (Effendy, 2004).
c. Doksisiklin: derivat long-acting ini berkhasiat bakteriostastik terhadap kuman
yang resisten terhadap tetrasiklin atau penisilin. Resorpsinya dari usus hampir
lengkap. Bioavaibilitasnya tidak dipengaruhi oleh makanan atau susu seperti
tetrasiklin, namun tidak boleh dikombinasi dengan logam berat (besi,
aluminium, dana bismuth). Doksisiklin mempunyai t yang panjang (14-17
jam), sekali sehari 100 mg setelah dimulai, dengan loading dose 200 mg. Efek
samping dapat mengakibatkan borok kerongkongan bila ditelan dalam
keadaan berbaring atau dengan terlampau sedikit air(Asiam, 2003).

2.12 Kerangka Konsep


Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian
ini adalah :
Gambaran :

Penderita ISPA

Umur

Jenis kelamin

Pekerjaan

Jenis
Penyakit

2.13 Definisi Operasional


Penderita ISPA adalah pasien yang dinyatakan menderita pneumonia
berdasarkan hasil diagnosa dokter, diambil dari data rekam medik di RSUD.
Dr.Djasamen Saragih PematangSiantar Tahun 2012
Karakteristik dibedakan atas :
a. Umur adalah usia pasien pada saat dinyatakan terkena ISPA sesuai dengan
yang tertulis pada kartu status pasien yang dikategorikan menjadi :
- < 40 tahun
- 40 tahun

b. Jenis kelamin adalah identitas pasien yang dapat membedakan pasien laki-laki
dan perempuan secara biologis sesuai dengan yang tercatat pada kartu status
pasien.
c. Pekerjaan adalah suatu profesi yang dijalani seseorang dalam kurun waktu
cukup lama yang dikelompokkan menjadi :
- PNS
- TNI - AD
- Wiraswasta
- Ibu Rumah Tangga ( IRT)

d. Jenis penyakit adalah jenis jenis penyakit yang di derita pasien pada saat di
rawat dirumah sakit yang dikelompokkan menjadi :
- bronkitis
- Bronkiolitis
-Meningitis

-Pneumonia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ISPA


Dahulu ISPA sering disalah-artikan sebagai saluran pernafasan atas. Sekarang,
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut, yang meliputi
saluran pernafasan bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah. Penyakit infeksi
akut yang menyerang salah satu atau lebih bagian dari saluran nafas mulai dari
hidung( saluran bagian atas) hingga jaringan didalam paru-paru ( saluran bagian
bawah) (Asiam, 2003).
ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) adalah infeksi saluran pernafasan
bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah beserta adeneksanya (Asiam,2003).
Infeksi saluran nafas akut (ISPA) sering disalah artikan sebagai infeksi saluran
pernafasan atas(dalam dan luar).sebenarnya ISPA merupakan singkatan dari infeksi
saluran pernafasan akut,ISPA meliputi saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan
bawah.(Dahlan, 2009).
Istilah ISPA diadaptasi dari istilah dalam bahasa inggris yaitu Acute
Respiratory Imfections(ARI),istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi,saluran
pernafasan,dan akut,dengan pengertian sebagai berikut :

d. Infeksi adalah salah satu keadaan dimana kuman penyakit berhasil


menyerang tubuh manusia kemudian berkembang baik dalam tubuh dan
menyebabkan penyakit (Sudoyono, 2006).
e. Saluran pernafasan adalah organ mulai hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus,rongga telinga tengah,dan pleura.
ISPA secara anatomis mencakup saluran penafasan bagian atas dan saluran
pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ
adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk
dalam saluran pernafasan (Asih, 2004).
f. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas
14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA. Proses ini dapat
berlangsung lebih dari 14 hari (Dahlan, 2005).
ISPA adalah penyakit infeksi pada saluran pernafasan atas maupun bawah
yang disebabkan oleh masuknya kuman mikroorganisme (bakteri dan virus) kedalam
organ saluran pernafasan yang berlangsung selama 14 hari (Dongoes, 2006).

2.8 Klasifikasi Ispa

Ispa ( Infesi Saluran Pernasafasan Akut) meliputi saluran pernafasan bagaian


atas dan saluran pernafasan bagian bawah. ISPA terbagi dalam 2 golongan yaitu yang
bukan pneumonia dan pneumonia berikut penjelasannya:
c. Infeksi Saluran Pernafasan Atas
Saluran pernafasan atas berfungsi menghatkan,melembabkan,dan
menyaring udara. Bersama udara masuk berbagai pathogen, yang dapat
tersangkut di hidung, faring, laring atau trakea,dan dapat berproliferasi, bila
daya tahan tubuh menurun. Penyakit infeksi saluran pernafasan meliputi
sinusitis,rhinitis,pharingitis,tonsilitis, dan laringitis memiliki pola khusus dan
khas.

6)

Sinusitis
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi atau peradangan pada suatu

atau lebih dari sinus pranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga/ruang
berisi udara dengan dinding yang terdiri dari membran mukosa. Meskipun
tipe sinusitis akut yang sering terjadi adalah disebabkan oleh virus dan
alergi akan tetapi diagnosa sinusitis fungal atau bakterial yang akurat
sangatlah penting bagi kebaikan pasien dan pencegahan komplikasi yang

mungkin terjadi seperti sinusitis kronis atau menyebarnya infeksi ketempat


yang lain (misal meningitis) (Padila, 2013).
Infeksi saluran pernafasan atas biasanya diikuti sinusitis bakterial akut.
Bakteri patogen yang biasa menjadi penyebab penyakit ini meliputi
Haemophilus

Influenza,Streptococcus

Pyogenes,

dan

Streptococcus

Pnemonal. Adanya infeksi yang berulang pada sinusitis kronis maka akan
terjadi sikatrik yang berakibat pada penebalan membran-membran dan
aliran pembuangan sekret menjadi terhambat. Selanjutnya pada keadaan ini
sangat kondusif bagi tumbuhnya bakteri dan berkembang dengan subur
dilingkunga ini (misnadiarly, 2008).
7)

Rhinitis
Rhinitis

didefinisikan

sebagai

penyakit

inflamasi

membran

mukosa dari cavum nasal dan nasopharyng. Sama halnya dengan sinusitis,
rhinitis bisa berupa penyakit akut dan kronis yang kebanyakan disebabkan
oleh virus dan alergi. Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien meliputi
hidung berair ( rhinorrhea). Rhinitis paling sering akan menyertai infeksi
virus akut pada saluran pernafasan atas, yang sering dikenal dengan
Influenza ( common cold). Virus disebarkan melalui droplet (titik-titik)
yang berasal dari bersin (Davey P, 2006)
8)

Pharingitis

Pharingitis adalah proses peradangan pada tenggorokan. Penyakit ini


juga sering dilihat sebagai inflamasi virus, namun juga disebabkan oleh
bakterial, seperti hemolytic Streptococcy, Staphylococci, atau bakteri
lainnya (Padilla, 2013).
9)

Amandel atau Tonsilitis


Tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil

atau amandel. Organisme penyebabnya yang utama meliputi Streptococcus


atau Staphylococcus. Infeksi terjadi pada hidung atau pharyng yang
menyebar melalui sistem limfa ke tonsil. Hiperthropi yang disebabkan oleh
infeksi, bisa menyebabkan tonsil membengkak sehingga bisa menghambat
keluar masuknya udara (misnadiarly, 2008).
10)

Laryngitis
Laryngitis adalah proses peradangan dari membran mukosa yang

membentuk laryng. Peradangan ini mungkin akut atau kronis, penyebabnya


bisa berupa virus,bakteri, lingkungan maupun karena alergi. Gejala yang
timbul diakibatkan oleh pembengkakan pita suara. Bakteri penyebabnya
adalah Streptococcus Pneumoniae dan Beta Hemolytic Streptococcus.
Akibat yang timbul bisa berupa serak atau kehilangan suara (aphonia),
demam, tidak enak badan, sakit ketika menelan, batuk kering dan

tenggorokan gatal. Bagi pasien yang menghidap laryngitis, gangguan


seperti stridor dan dyspnea ini juga bisa muncul.
d. Peneumonia (Infeksi Saluran Pernafasan Bawah)
Pneumonia didefinisikan sebagai penyakit infeksi saluran pernafasan
bawah,yang meliputi parenkim paru-paru,termasuk alveoli dan struktur
pendukungnya.

Pneumonia

disebabkan

oleh

kuman

seperti

bakteri,virus,protozoa,dan virus phatogen yang masuk kedalam tubuh melalui


aspirasi, inhalasi atau penyebaran sirkulasi. Pneumonia inhalasi disebabkan
melalui droplet batuk dan bersin. Agen penyebabnya biasanya adalah virus.
Pneumonia bacterial, organisme gram-positif yang menyebabkan
pneumonia bacteri adalah Streptococcus

Pneumonia, S.Aureus, dan

Streptococcus Pyogenes. Insiden pneumonia ini paling tinggi terjadi dimusim


dingin, dan biasanya merupakan akibat lanjutan dari infesi saluran pernafasan
atas.
Pneumonia virus yang merupakan tipe pneumonia paling umum
disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet.
Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyebab utama pneumonia
virus.
Pneumonia protozoa yang merupakan tipe pneumonia paling umum
yang di sebabkan oleh protozoa,biasanya menjangkiti pasien yang mengalami

imunosupresi,protozoa

menimbulkan

terjadinya

Pneumocystis

Carinii

Pneumonia (CPC)
Pneumonia fungal, infeksi yang disebabkan oleh jamur seperti
Histoplasmosis. Menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung
spora. Infeksi histoplasma terkadang hilang dengan sendirinya sehingga tidak
memerlukan perawatan (Mandal, 2006).

2.9 Patogensesis ISPA


ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, bersin, udara pernafasan yang
mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernafasannya. Ispa
yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak kecil terutama apabila
terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak hygenis.
Resiko terutama terjadi pada anak-anak karena meningkatnya kemungkinan infeksi
silang, beban immunologisnya terlalu besar karena dipakai untuk penyakit parasit dan
cacing,serta tidak tersedianya atau berlebihannya pemakaian antibiotik (Asiam,
2003).
2.10

Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri atas: bakteri, virus(flu burung,SARS, EBOLA),protozoa,

jamur. Bakteri penyebab ISPA misalnya: Streptococcus Hemolitikus, Stafilokokus,

Pneumokukus, Hemofilus Influenza, Bordetella Pertusis, dan Korinebakterium


differia (Muttaqin, 2004).
Untuk golongan

virus

penyebab

ISPA

antara

lain

golongan

miksovirus(termasuk di dalamnya virus para-influenza,virus influenza,,virus flu


burung,virus SARS, virus Ebola). Virus para-influenza merupakan penyebab terbesar
dari sindroma batuk rejan, bronkiolitis dan penyakit demam saluran nafas bagian atas.
Untuk virus influenza bukan penyebab terbesar terjadinya sindroma saluran
pernafasan kecuali hanya epidemi-epidemi saja. Virus Ebola adalah sejenis virus dari
genus ebolavirus, familia filoviridae. Virus Ebola sangat menular, melalui kontak dan
tranfusi cairan tubuh,seperti darah, keringat, air liur, air mani, atau cairan tubuh yang
lainnya. Untungnya virus Ebola tidak dikatagorikan sebagai virus yang menyebar
melalui udara (Jeremy,2007).
2.11

Patofisiologi ISPA
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan

tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang
terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus kearah
faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut
gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan
(Robbins,2006).
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk
kering. Kerusakan struktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan
kenaikkan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran
nafas,sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan

cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal
gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk (Robbins,2006).
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder
bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang
merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri
sehingga memudahkan bakteri-bakteri pathogen yang terdapat pada saluran
pernafasan atas seperti Streptococcus Pneumonia,Haemophylus influenza, dan
Staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut (Robbins,2006).Infeksi
sekunder bakteri ini menyebabkan infeksi mukus terlalu banyak dan dapat
menyumbat saluran nafas sehinggal timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk
yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya faktor-faktor seperti
kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan
adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan
gizi aku pada bayi dan anak (Tjay TH, 2007).
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ketempat-tempat
lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang,demam,dan juga bisa
menyebar kesaluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa
menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya
ditemukan dalam saluran pernafasan atas,sesudah terjadinya infeksi virus,dapat
meginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Sudoyono, 2006).
Dari uraian diatas,perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi
empat tahap, yaitu:
5. Tahap prepatogenesis,penyebab telah ada tetapi penderita belum
menunjukkan reaksi apa-apa.

6. Tahap inkubasi,viru merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh


menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dab daya tahan sebelumnya
memang sudah rendah.
7. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul
gejala demam dan batuk.
8. Tahap lanjut penyakit,dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh
sempurna dengan atelaksis,menjadi kronis dan dapat meninggal akibat
pneumonia (Tjay TH, 2007).
2.12 Manifestasi Klinis ISPA
2. Tanda-tanda ISPA
Pada umumnya suatu penyakit saluran pernafasan dimulai dengan
keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit
mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh
dalam keadaan kegagalan pernafasan dan mungkin meniggal. Bila sudah
dalam kegagalan pernafasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih
rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan
agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat
ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernafasan. Tandatanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda
laboratorium.
B. Tanda-tanda klinis
Pada sistem respiratorik adalah : tachypnea, nafas tidak teratur
(apnea), retraksi dinding thorax, nafas cuping hidung, suara nafas
lemah atau hilang,grunting expiratoir dan wheezing.

Pada sistem cardial adalah : tachycardia,mudah terangsang,sakit

kepala, bingung, papil bendung,kejang dan koma.


Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.

B. Tanda-tanda laboratorius :
Hypoxemia
Hypercapnia, dan
Acylosis (Metabolik dan atau Respiratorik) (Doenges, 2006).
2. Gejala ISPA
Infeksi saluran nafas bagian atas memberikan gejala yang sangat penting yaitu
batuk. Infeksi saluran nafas bagian bawah memberikan beberapa tanda lainnya seperti
nafas yang cepat dan retraksi dada. Semua orang dapat mengenal batuk tetapi
mungkin tidak mengenal tanda-tanda lainnya dengan mudah. Selain batuk gejala
ISPA juga dapat dikenali yaitu flu,demam, dan suhu tubuh meningkat lebih dari 38,5 0
Celcius dan disertai sesak nafas.
Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga golongan
yaitu:
d. ISPA ringan bukan pneumonia
e. ISPA sedang,pneumonia
f. ISPA berat,pneumonia berat
d. Gejala ISPA ringan
Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala sebagai
berikut :
5) Batuk,
6) Demam,
7) Pilek yang mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
8) Panas atau demam.
e. Gejala ISPA sedang
Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA
ringan dengan disertai gejala sebagai berikut :

8) Pernafasan lebih dari 50x/menit,


9) Suhu tubuh lebih dari 390 Celcius,
10) Tenggorokan berwarna merah,
11) Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak,
12) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga,
13) Pernafasan berbunyi seperti mendengkur,
14) Pernafasan berbunyi seperti mencuit-cuit.
f. Gejala ISPA berat
Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala ISPA ringan atau
sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut :
9) Bibir atau kulit membiru,
10) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu
bernafas,
11) Tidak sadar atau kesadarannya menurun,
12) Pernafasan menciut,
13) Pernafasan berbunyi mengorok,
14) Sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas,
15) Nadi lebih cepat dari 60x/menit atau tidak teraba,
16) Tenggorokan berwarna merah,
Pasien ISPA berat harus dirawat di Rumah sakit atau Puskesmas
karena perlu mendapat perawatan dengan peralatan khusus seperti oksigen
2.13

dan infuse (Padila, 2013)


Komplikasi ISPA
Penyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang sembuh sendiri

5-6 hari jika kita tidak terjadi invasi kuman lainnya. Komplikasi yang dapat terjadi
adalah sinusitis paranasal, penutupan tuba eusthacii dan penyeberan infeksi.
3. Sinusitis paranasal
Komplikasi ini hanya terjadi pada orang dewasa karena pada bayi dan
anak kecil sinus paranasal belum tumbuh. Gejala umum tampak lebih
besar,nyeri kepala bertambah, rasa nyeri dan nyeri tekan biasanya didaerah

sinus frontalis dan maksilaris. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan foto


rontgen dan transiluminasi pada anak besar.
Proses sinusitis sering menjadi kronik dengan gejala malaise, cepat
lelah dan sukar berkonsentrasi (pada anak besar). Kadang-kadang disertai
sumbatan hidung,nyeri kepala hilang timbul,bersin yang terus menerus
disertai secret purulen dapat unilateral ataupun bilateral. Bila didapatkan
pernafasan mulut yang menetap dan rangsang faring yang menetap tanpa
sebab yang jelas, perlu dipikirkan terjadinya komplikasi sinusitis. Sinusitis
paranasal ini dapat diobati dengan memberikan antibiotic (Asiam, 2003).
4. Penyebaran infeksi
Penjalaran infeksi sekunder dari nasofaring kearah bawah seperti
laryngitis,trakeitis, bronkitis, dan broncopneumonia. Selain itu dapat juga
terjadi komplikasi jauh, misalnya terjadi meningitis purulenta (Tjay TH,
2007).

Tabel 2.1 Daftar mikroorganisme yang menyebabkan pneumonia

Infeksi Bakteri
Streptococcus pneumoniae

Infeksi Atipikal
Mycoplasma pneumoniae

Infeksi Jamur
Aspergillus

Haemophillus influenza

Legionella pneumophillia

Histoplasmosis

Klebsiella pneumoniae

Coxiella burnetii

Candida

Pseudomonas aeruginosa

Chlamydia psittaci

Nocardia

Infeksi Virus
Influenza

Infeksi Protozoa
Pneumocytis carinii

Penyebab Lain
Aspirasi

Coxsackie

Toksoplasmosis

Pneumonia lipoid

Adenovirus

Amebiasis

Bronkiektasis Fibrosis

Gram-negatif (E. Coli)

Sinsitial respiratori

kistik

(Padila, 2013).
Tabel 2.2. Stratifikasi pasien CAP
Kelompok
I

Tipe Pasien
Pasien rawat jalan, tanpa riwayat penyakit kardiopulmonal

II

dan tanpa faktor modifikasi.


Pasien rawat jalan disertai penyakit kardiopulmonal dan
atau faktor modifikasi lainnya (faktor resiko DRSP

III

(S.Pneumoniae) atau bakteri gram negatif


Pasien rawat inap Non-ICU :
c. Dengan penyakit kardiopulmonal dan atau faktor
modifikasi lain
d. Tanpa penyakit kardiopulmonal, dan tanpa faktor

modifikasi lainnya
IV
Pasien rawat inap ICU :
c. Tanpa terinfeksi Pseudomonas aeruginosa
d. Dengan resiko terinfeksi P. Aeruginosa.
The clinical presentation of serious infections in hospitalized patients

Lacteria

Clinical Presentation

Bacteria

ICU

Scoryng System : (Resp.30, Total 3.000)

APACHE II/III

SOFA Score

ARDS Sore

Mayor Trauma S.S

Pithsburg Brain S.S

Modiried Apache II

Criteria for organ

System failure

S.Cardivasvular F

Endotoxin

Binds to LPS-binding protein


CD 14
Macrophag
e

Tumor necrosis factor


IL-1,-2,-6,-8,-12
Interferon-
Platelet-activating factor

Hypothalamus

Capillary endothelial cell

Vessel wall

Fever
Tachycardia

Neutrophil margination
Platelet adherence

Nitric oxide synthesis

DIC with clinical thrombosis and/or hemorrhage


Depletion of intravascular volume

Nitric oxide synthesis

Cellular hypoxia

Low systemic vascular resistance, toxic oxygen radicals

Death

Lactic acidosis
Multi-organ dysfuction
(myocardial pulmonary, trenal, hepatical)

Tabel perjalanan klinis suatu bakteri.


Tabel 2.4. Pemilihan Antibiotik pada CAP berdasarkan kelompok, tipe pasien
dan jenis mikroorganisme yang terisolasi dan teridentifikasi.
Kelompok
IIIA

Tipe pasien

Jenis

Regimen

Rawat inap

mikroorganisme
Streptococcus

Beta lactam I.V

Penyakit

pneumonia (DRSP)

(Cefotaxin,Cefriaxone

kardiopulmonal (+)

Hemophilus

dan atau faktor

influenzae

Ampicillin/sulbactam

modifikasi (+4)

Mycoplasma

Ampicilin(dosis

pneumonia

tinggi) dikombinasi:
Macrolide. I.V. atau

Infeksi campuran

oral

( bakteri dan atipik )

atau :
fluroquinolone

Virus legionella spp


Lain lain :
M.tuberculosis

antipneumococcus

Jamur endemic,
Pneumocystis,
carinii
IIIB

Rawat inap penyakit


kardiopulmonal (-)
Faktor modifikasi (-)

S.pneumoniae
H. influenzae atau :

Azithromycin I.V. atau


doxycylin beta lactam

M. pneumoniae

atau : fluoroquinolone

Infeksi

antipneumococcus

campuran(bakteri
dan atipik)
Virus
Legionella spp
Lain lain :
M.tuberculosis
Jamur endemic,
Pneumocystis,
carinii

IVA

Rawat ICU tanpa

S.pneumoniae Beta-

Beta Lactam I.V :

resiko

lactam I.V.

Cefotaxin,

Ps.Aeruginosa

Legionella ,spp

Cefriaxone

Haemophilus

Dikombinasi :

Enteric gram

Macrolide I.V

negative

Azithromycin

s.aureus
Mycoplasma
pneumoniae

Atau
Fluoroquinolone
I.V

Respiratory virosis
Lain lain:
Chlamidya
pneumonia
M.tuberculosis
Jamur endemic
IV B

Rawat ICU dengan


risiko Aeruginosa

Sama dengan IV A +
P.Aeroginosa

Beta lactam anti


pseudomonas tertentu
(Celepime, Imepenem,
Meropenem
Piperacillin
/Tazobactam)
Dikombinasi:
Quinolone

Tabel 2.6 Daftar nama kuman dan antibiotika yang digunakan

Agen Penyebab

Antibiotika Yang

Pilihan Antibiotika

Legionella

Digunakan
Eritromisin dengan

Lain
Klaritromisin atau

atau tanpa rifampin

azitromisin,

siprofloksasin

rifampin,

Tanggapan

doksisiklin dengan
Mycoplasma

Doksisiklin,

rifampin, ofloksasin
Klaritromisin atau

pneumoniae

eritromisin

azitromisin,

Selama1-2 minggu

rifampin,
siprofloksasin atau
Chlamydia

Doksisiklin,

ofloksasin
Klaritromisin atau

Selama1-2

pneumoniae

eritromisin

azitromisin,

minggu

Siprofloksasin atau
Chlamydia psittaci

Doksisiklin

ofloksasin
Eritromisin,

S. pneumonia

Penisilin G atau V

kloramfenikol
Sefalosporin :

Dosis untuk

Sefazolin

Sensitif terhadap
penisilin

Penyakit berat :
Penisilin IV

(MIC < 0,1 ug/ml)

Sefuroksim,
0,5 juta unit/ 4
Sefotaksim

jam
Sefuroksim:

Sefrizokisim

750 mg/8 jam IV


Sefuroksim:

Resistensi sedang

Penisilin G:2-3

terhadap penisilin

juta unit/4 jam

(MIC 0,1 ug/ml)

Seftriakson

Seftriakson

2 g/hari IV

Sefalosporin oral
Vankomisin

Tingkat resistensi
Sedang

Sefataksim

0,1 1 ug/ml;

Agen oral

80%

Makrolida

Biasanya

Sefuroksim

sensitive

sefodoksim

Terhadap
Sefalosporin

Resistensi tinggi

Vankomisin

Imipenem

Resistensi tingkat

terhadap penisilin

Tinggi

(MIC > 1 ug/ml)

> 1 ug/ml
20% perlu
Vankomisin

H. Influenzae

Sefalosporin

Tetrasiklin :

Generasi kedua
Atau ketiga

Betalaktam-

Klaritromisin,

Betalaktamase

Azittromisin

Fluorokuinolon

Trimetoprin

Kloramfenikol

Sulfametoksazol
S. aureus

Nafsilin/ oxasilin

Sefazolin atau

dengan atau

Sefuroksim,

tanpa
rimfapinisin atau

Vankomisin

gentamisin

Klindamisin
Klindamisin
Sulfametoksazol

Enterobakteriaceae(E

Sefalosporin

Fluorokuinolon
Aztreonam,

. coli, Klebsiella,

generasi kedua atau

imipenem,

Proteus,

ketiga dengan/tanpa

betalaktam-

Enterobacter)

aminoglikosida

betalaktamase

Menurut Pedoman CAP dari BTS (British Thoracic Sociaty) 2005

2.8 Golongan Betalaktam


Antibiotika ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok penisilin dan
sefalosporin.
D. Kelompok Penisilin
Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai
jenis yang dihasilkannya, perbedaannya hanya pada gugus samping-R saja.
Penisillin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis
dnding sel. Efek samping yang terpenting adalah reaksi yang dapat
menimbulkan urtikaria, dan kadang-kadang reaksi analfilaksis dapat menjadi
fatal (Asiam, 2003).
7. Benzilpenisilin: penisilin G bersifat bakterisid terhadap kuman Grampositif (khususnya cocci) dan hanya beberapa kuman negatif. Penisilin G
tidak tahan-asam, maka hanya digunakan sebagai injeksi i.m atau infus
intravena. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 60%; plasma t nya
sangat singkat, hanya 30 menit dan kadar darahnya cepat menurun.
Eksresinya berlangsung sebagian besar melalui transport aktif tubuler dari

ginjal dan dalam keadaan utuh. Aktivitas penisilin G masih dinyatakan


dalam Unit Internasional (UI).
8. Fenoksimetilpenisilin: Penisilin-V; derivate semisintesis ini tahan asam
dan memiliki spektrum kerja yang dapat disamakan dengan pen-G, tetapi
terhadap kuman negatif (antara lain suku Nesseira dan bacilli H.
influenzae) 5-10 kali lebih lemah. Resorpsi penisilin-V tidak diuraikan
oleh asam lambung. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 80%,
plasma t 30-60 menit. Sebagian besar zat dirombak di dalam hati, dan
rata-rata 30% dieksresikan lewat kemih dalam keadaan utuh. Dosis oral 36 dd 25-500 mg 1 jam sebelum makan, atau 2 jam sesudah makan
9. Ampisilin: penisilin broad spectrum ini tahan asam dan lebih luas
spektrum kerjanya yang meliputi banyak kuman gram-negatif yang hanya
peka bagi penisilin-G dalam dosis intravena tinggi. Kuman-kuman yang
memproduksi penisilinase tetap resisten terhadap ampisilin (dan
amoksisilin). Ampisilin efektif terhadap E. coli, H. influenzae,
Salmonella, dan beberapa suku Proteus. Resorpsinya dari usus 30-40%
(dihambat oleh makanan), plasma t nya 1-2 jam. Ikatan dengan protein
plasmanya jauh lebih ringan daripada penisilin G dan penisilin V.
Eksresinya berlangsung melalui ginjal yaitu 30-45% dalam keadaan utuh
aktif dan sisanya sebagai metabolit. Efek samping berkaitan dengan
gangguan lambung-usus dan alergi. Dosis untuk oral 4 dd sehari 0,5-1 g
(garam-K atau trihidrat) sebelum makan.

10. Amoksisilin: derivat hidroksi dengan aktivitas sama seperti ampisilin.


Resorpsinya lebih lengkap (80%) dan pesat dengan kadar darah dua kali
lipat. Ikatan dengan protein plasma dan t nya lebih kurang sama, namun
difusinya ke jaringan dan cairan tubuh lebih baik. Kombinasi dengan asam
klavulanat efektif terhadap kuman yang memproduksi penisilinase. Efek
samping yang umum adalah gangguan lambung-usus dan radang kulit
lebih jarang terjadi. Dosis untuk oral 3 dd 375-1.000 mg, anak-anak < 10
tahun 3 dd 10 mg/kg, juga diberikan secara i.m/i.v.
11. Coamoksiklav terdiri dari amoksilin dan asam klavulanat (penghambat
beta laktamase). Asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki
antibakterial. Tetapi dengan menginaktifkan penisilinase, kombinasi ini
aktif terhadap bakteri penghasil penisilinase yang resisten terhadap
amoksisilin.
12. Penisilin antipseudomonas: obat ini diindikasikan untuk infeksi berat yang
disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa. Selain itu juga aktif terhadap
beberapa kuman gram negatif, termasuk Proteus spp dan Bacteroides
fragilis.

E. Kelompok Sefalosporin
Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang berasal dari
Sicilia. Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur, khasiat, dan
sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-keuntungan antara lain

spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup enterococci dan kumankuman anaerob serta resisten terhadap penisilinase, tetapi tidak efektif terhadap
Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin (Davey, 2006).

Berdasarkan sifat farmakokinetika, sefalosporin dibedakan menjadi dua


golongan. Sefaleksim, sefaklor, dan sefadroksil dapat diberikan per oral karena
diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan
parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara i.v. karena
menimbulkan iritas pada pemberian i.m. Beberapa sefalosporin generasi ketiga
misalnya mosalaktam, sefotaksim, seftizoksim, dan seftriakson mencapai kadar tinggi
dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk pengobatan meningitis
purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar plasenta, mencapai kadar
tinggi dalam cairan synovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik kadar
sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata relatif tinggi, tapi tidak mencapai
vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi terutama sefoperazon. Kebanyakan
sefalosporin dieskresi dalam bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian
besar dieskresi melalui empedu. Oleh karena itu dosisnya harus disesuaikan pada
pasien gangguan fungsi ginjal (Effendy, 2004).
Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi
anafiilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang
biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi
penisilin yang ringan dan sedang kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan zat

yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksis dibandingkan dengan aminoglikosida.


Kombinasi

sefalosporin

dengan

aminoglikosida

mempermudah

terjadinya

nefrotoksisitas (Jeremy, 2007).


Yang termasuk dalam kelompok sefalosporin adalah:
5. Sefalosporin generasi pertama: sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, dan
sefadroksil. Terutama aktif terhadap kuman gram positif. Golongan ini efektif
terhaap sebagina besar S. aureus dan streptokokus termasuk Str. pyogenes,
Str. viridans, dan Str. pneumoniae. Bakteri gram positif yang juga sensitif
adalah Clostridium perfringens, dan Corinebacterium diphtheria. Sefaleksim,
sefradin, sefadroksil aktif pada pemberian per oral. Obat ini diindikasikan
untuk infeksi salura kemih yang tidak berespons terhadap obat lain atau yang
terjadi selama kehamilan, infeksi saluran napas, sinusitis, infeksi kulit dan
jaringan lunak (Jeremy, 2007).
6. Sefalosporin generasi kedua: Sefaklor, sefamandol, sefmetazol, sefuroksim.
Dibandingkan dengan generasi pertama, sefalosporin generasi kedua kurang
aktif terhadap bakteri gram positif, tetapi lebih aktif terhadap gram negatif,
misalnya H. Influenza, E. Coli, dan Klebsiella. Golongan ini tidak efektif
terhadap kuman anaerob. Sefuroksim dan sefamandol lebih tahan terhadap
penisilinase dibandingkan dengan generasi pertama dan memiliki aktivitas
yang lebih besar terhadap H. Influenzae dan N. Gonorrheae (Jeremy, 2007).
7. Sefalosporin generasi ketiga: sefoperazon, sefotaksim, seftriakson, sefiksim,
sefodoksim, sefprozil. Golongan ini umumnya kurang efektif terhadap kokus

gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tapi jauh lebih aktif
terhadap Enterobacteriaceae termasuk strain penghasil penisilinase (Elin,
2008). Aktivitasnya terhadap gram negatif lebih kuat dan lebih luas lagi dan
meliputi Pseudomonas dan Bacteroides, khususnya seftazidim (Jeremy,
2007).
8. Sefalosporin generasi keempat: sefepim dana sefpirom. Obat-obat baru ini
sangat resisten terhadap laktamase, sefepim juga aktif sekali terhadap
pseudomonas (jeremy, 2007).

F. Antibiotika Laktam Lainnya


3. Imipenem: khasiat bakterisidnya berdasarkan perintangan sintesis dindingsel kuman. Spektrum kerjanya luas meliputi, banyak kuman gram-positif
dan negatif termasuk Pseudomonas, Enterococcus, dan Bacteroides, juga
kuman patogen anaerob. Tahan terhadap kebanyakan betalaktamase
kuman, tetapi berdaya menginduksi produksi enzim ini. Oleh ginjal
dehidropeptidase-1 dirombak menjadi metabolit nefrotoksis, maka hanya
digunakan terkombinasi dengan suatu penghambat enzim yaitu silastatin.
Dosis terkombinasi dengan cilastatin i.v. sebagai infus 250-1.000mg setiap
5 jam (Asiam, 2003). Efek samping sama dengan antibiotika betalaktam
lainnya. Neurotoksisitas pernah dilaporkan pada dosis sangat tinggi dan
pada pasien gagal ginjal (Effendy, 2004).

4.

Meropenem sama dengan imipenem, tetapi lebih tahan terhadap enzim di


ginjal sehingga dapat diberikan tanpa silastin. Penetrasinya ke dalam
semua jaringan baik termasuk ke dalam cairan serebrospinal sehingga
efektif terhadap meningitis bakterial. Dosisnya untuk intravena atau infus
10-120 mg/kg dalam 3-4 dosis atau setiap 8-12 jam (Effendy, 2004).

2.9 Golongan Makrolida


Kelompok antibiotika ini terdiri dari eritromisin dengan derivatnya
klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, dan diritromisin. Semua makrolida
diuraikan dalam hati, sebagian oleh sistem enzim oksidatif sitokrom-P450 menjadi
metabolit inaktif. Pengecualian adalah metabolit OH dari klaritromisin dengan
aktivitas cukup baik. Eksresinya berlangsung melalui empedu, tinja serta kemih,
terutama dalam bentuk inaktif (Davey, 2006).
Efek samping yang terpenting adalah pengaruhnya bagi lambung-usus berupa
diare, nyeri perut, nausea, dan kadang-kadang muntah, yang terutama terlihat pada
eritromisin akibat penguraiannya oleh asam lambung. Eritromisin pada dosis tinggi
dapat menimbulkan ketulian yang reversibel. Semua makrolida dapat mengganggu
fungsi hati, yang tampak sebagai peningkatan nilai-nilai enzim tertentu dalam serum
(Mandal BK, 2006).
c. Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir digunakan sama
dengan penisilin, sehingga obat ini digunakan sebagai alternatif pengganti

penisilin. Eritromisin bersifat bakteriostatis terhadap bakteri gram-positif.


Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman,
sehingga sintesis proteinnya dirintangi. Absorpsinya tidak teratur, agak sering
menimbulkan efek samping saluran cerna, sedangkan masa paruhnya singkat,
maka perlu ditakar sampai 4 x sehari. Eritromisin merupakan pilihan pertama
khususnya pada infeksi paru-paru dengan Legionella pneumophila dan
Mycoplasna pneumonia. Eritromisin menyebabkan mual, muntah, dan diare.
Dosis: oral 2-4 dd 250-500 mg pada saat perut kosong selama maksimal 7
hari.
d. Azitromosin dan klaritromisin merupakan derivat dari eritromisin. Memiliki
sifat farmakokinetik yang jauh lebih baik dibandingkan eritomisin, antara lain
resorpsinya dari usus lebih tinggi karena lebih tahan asam, begitu pula daya
tembus ke jaringan dan intra-seluler. Azitromisin mempunyai t 1/213 jam yang
memungkinkan pemberian dosis hanya 1 atau 2 kali sehari. Makanan
memperburuk resorpsinya, maka sebaiknya diminum pada saat perut kosong
(Mandal BK, 2006).
2.10 Golongan Aminoglikosida
Aminoglikosida

dihasilkan

oleh

jenis-jenis

fungi

Streptomyces

dan

Micromonospora. Aminoglikosida bersifat bakterisid berdasarkan dayanya untuk


menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses
translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesis proteinnya dikacaukan.
Spektrum kerjanya luas yaitu aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.

Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah streptomisin, gentamisin, amikasin,


kanamisin, neomisin, dan paramomisin (Asiam, 2003).
c. Amikasin: merupakan turunan kanamisin. Obat ini tahan terhadap 8 dari 9
enzim yang merusak aminoglikosida, sedangkan gentamisin dapat dirusak
oleh 5 dari enzim tersebut. Terutama diindikasikan untuk infeksi berat gram
negatif yang resisten terhadap gentamisin. Guna menghindari resisten, jangan
digunakan lebih dari 10 hari (Asiam, 2003).
d. Gentamisin: spektrum antibakterinya luas, tapi tida efektif terhadap kuman
anaerob, kurang efektif terhadap Str. Hemolyticus. Bila digunakan pada
infeksi berat yang belum diketahui penyebabnya, sebaiknya dikombinasi
dengan penisilin dan/atau metronidazol (Effendy, 2004). Dosis harian 5 mg/kg
dalam dosis terbagi tiap 8 jam (bila fungsi ginjal normal). Sebaiknya
pemberian jangan melebihi 7 hari. Dosis lebih tinggi kadang-kadang
diperlukan pada neonatus dan defisiensi imunologis (Manurung S, 2009).

4.11

Golongan Fluorokuinolon

d. Kloramfenikol: berkhasiat bakteriostatik terhadap hampir semua kuman grampositif dan sejumlah kuman gram-negatif, juga terhadap Chlamydia
trachomatis dan Mycoplasma. Bekerja bakterisid terhadap S. pneumonia, dan
H. influenzae. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesis
polipeptida kuman. Resorpsinya dari usus cepat dan lengkap dengan
bioavaibilitas 75-90%. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 50% , t

nya rata-rata 3 jam. Dalam hati 90% zat ini dirombak menjadi glukuronida
inaktif. Eksresinya melaui ginjal, terutama sebagai metabolit inaktif dan lebih
kurang 10% secara utuh. Efek samping umum berupa gangguan lambungusus, neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang
sangat berbahaya adalah depresi sumsum tulang yang dapat berwujud dalam
bentuk anemia (Effendy, 2004).
e. Vankomisin: antibiotika glikopeptida ini dihasilkan oleh Streptpmyces
orientalis. Berkhasiat bakterisid terhadap kuman Gram-positif aerob dan
anaerob termasuk Staphylococcus yang resistensi terhadap metisilin. Daya
kerjanya berdasarkan penghindaran pembentukan peptidoglikan. Penting
sekali sebagai antibiotika terakhir pada infeksi parah jika antibiotika yang lain
tidak ampuh lagi. Obat ini juga digunakan bila terdapat alergi untuk
penisilin/sefalosporin. Resorpsinya dari usus sehat sangat buruk, tetapi lebih
baik pada enteris. Vankomisin mempunyai t nya 5-11 jam. Eksresinya
berlangsung 80% melalui kemih. Efek sampingnya berupa gangguan fungsi
ginjal, terutama pada penggunaan lama dosis tinggi, juga neuropati perifer,
reaksi alergi kulit, mual, dan demam. Kombinasinya dengan aminoglikosida
meningkatkan risiko nefro dan ototoksisitas. Dosis untuk infeksi parah i.v.
(infuse) 1 g dalam 200 ml larutan NaCl 0,9% (atau glukosa 5%) setiap 12 jam
dengan jangka waktu minimal 2 jam (Effendy, 2004).
f. Doksisiklin: derivat long-acting ini berkhasiat bakteriostastik terhadap kuman
yang resisten terhadap tetrasiklin atau penisilin. Resorpsinya dari usus hampir
lengkap. Bioavaibilitasnya tidak dipengaruhi oleh makanan atau susu seperti

tetrasiklin, namun tidak boleh dikombinasi dengan logam berat (besi,


aluminium, dana bismuth). Doksisiklin mempunyai t yang panjang (14-17
jam), sekali sehari 100 mg setelah dimulai, dengan loading dose 200 mg. Efek
samping dapat mengakibatkan borok kerongkongan bila ditelan dalam
keadaan berbaring atau dengan terlampau sedikit air(Asiam, 2003).
2.12 Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian
ini adalah :
Gambaran :

Penderita ISPA

Umur

Jenis kelamin

Pekerjaan

Jenis
Penyakit

2.13 Definisi Operasional


Penderita ISPA adalah pasien yang dinyatakan menderita pneumonia
berdasarkan hasil diagnosa dokter, diambil dari data rekam medik di RSUD.
Dr.Djasamen Saragih PematangSiantar Tahun 2012
Karakteristik dibedakan atas :

d. Umur adalah usia pasien pada saat dinyatakan terkena ISPA sesuai dengan
yang tertulis pada kartu status pasien yang dikategorikan menjadi :
- < 40 tahun
- 40 tahun
e. Jenis kelamin adalah identitas pasien yang dapat membedakan pasien laki-laki
dan perempuan secara biologis sesuai dengan yang tercatat pada kartu status
pasien.
f. Pekerjaan adalah suatu profesi yang dijalani seseorang dalam kurun waktu
cukup lama yang dikelompokkan menjadi :
- PNS
- TNI - AD
- Wiraswasta
- Ibu Rumah Tangga ( IRT)

d. Jenis penyakit adalah jenis jenis penyakit yang di derita pasien pada saat di
rawat dirumah sakit yang dikelompokkan menjadi :
- bronkitis
- Bronkiolitis
-Meningitis
-Pneumonia

BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Gambaran Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. DJASAMEN
SARAGIH

PEMATANGSIANTAR

yang

terletak

di

Jalan

Sutomo

No.23

PEMATANGSIANTAR. Adapun alasan peneliti melakukan lokasi tersebut dengan


mempertimbangkan ketersedian data karena RSUD Dr.DJASAMEN SARAGIH
Pematang Siantar merupakan pusat pelayanan kesehatan pemerintah kota Siantar
yang menjadi salah satu tempat rujukan sehingga memudahkan untuk dilakukan
penelitian.
Pengambilan

data

dilaksanakan

di

bagian

rekam

medik

RSUD

Dr.DJASAMEN SARAGIH Pematang Siantar dengan mencatat data rekam medik


sesuai dengan form data yang sudah disiapkan. Dari data yang terpilih diperoleh
pasien yang rawat inap yang di diagnosa ISPA di RSUD Dr.DJASAMEN SARAGIH
Pematang Siantar tahun 2012 berjumlah 50 orang pasien.

4.2 .1 Distribusi frekuensi berdasarkan kelompok umur


Tabel 4.1. Distribusi frekuensi berdasarkan kelompok umur
No

Umur

Frekuensi

Persentase ()

12 16 tahun

17 25 tahun

26 35 tahun

12

36 45 tahun

46 55 tahun

16

56 65 tahun

10

20

65 tahun

16

32

Total

50

100

Dari tabel 4.1 di dapatkan kelompok umur yang paling banyak menderita
ISPA adalah pada kelompok umur 65 tahun dengan jumlah 16 orang (32 ).
Kemudian diikuti dengan kelompok umur 56 65 tahun dengan jumlah 10 orang (20
). Kelompok umur 46 55 tahun dengan jumlah 8 orang (16). Kelompok umur 26
35 tahun dengan jumlah 6 orang (12 ). Kelompok umur 17 25 tahun dengan

jumlah 4 orang (8 ). Kelompok umur 36 45tahun dengan jumlah 3 orang (6 ).


Kelompok umur 12 16 tahun dengan jumlah 3 orang (6 ).

4.2.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin


Tabel 4.2. Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin
No

Jenis kelamin

Frekuensi

Persentase ()

Laki laki

28

56

Perempuan

22

44

Total

50

100

Dari tabel 4.2 didapatkan jumlah sampel laki laki lebih banyak dari pada
jumlah sampel perempuan dimana terdapat 28 orang (56 ) sampel laki laki dan 22
orang (44 ) sampel perempuan yang di diagnosa menderita ISPA.

4.2.3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan


Tabel 4.3 Distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan
No

Pekerjaan

Frekuensi

Persentase ()

PNS

10

TNI-AD

14

Wiraswasta

16

32

Ibu Rumah Tangga

12

24

Petani

10

20

Total

50

100

Dari tabel 4.3 terlihat bahwa pekerjaan sampel paling banyak adalah
wiraswasta dengan jumlah 16 orang (32 ), setelah itu Ibu Rumah Tangga dengan
jumlah 12 orang (24 ), kemudian Petani dengan jumlah 10 orang (20 ), setelah itu
TNI-AD dengan jumlah 7 orang (14 ), dan terakhir PNS dengan jumlah 5 orang
(10 ).

4.2.4 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis ISPA


Tabel 4.4 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis ISPA
No

Jenis ISPA

Frekuensi

Persentase ()

Bronkitis

10

20

Bronkiolitis

12

24

Meningitis

16

Pneumonia

20

40

Total

50

100

Dari tabel 4.4 terlihat bahwa jenis ISPA yang paling banyak adalah
Pneumonia dengan jumlah 20 orang (40 ), kemudian Bronkiolitis dengan jumlah 12
orang (24 ), setelah itu Bronkitis dengan jumlah 10 orang (20 ), dan yang terakhir
Meningitis dengan jumlah 8 orang (16).

BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Pembahasan
Sampel penelitian adalah seluruh pasien yang di diagnosa menderita ISPA yang dirawat
di RSUD Dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar. Selama kurun waktu penelitian
dari bulan november sampai desember 2014 diperoleh data yang terpilih sebanyak 50 kasus
ISPA.
Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui karakteristik penderita ISPA
yang dirawat inap secar umum dan mengetahui karakteristik berdasarkan usia, jenis kelamin,
pekerjaan, dan pembagian ISPA di Rumah Sakit Dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang
Siantar tahun 2012.
Berdasarkan karakteristik umur, pasien yang tercatat menderita ISPA tahun 2012 di
RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar berjumlah 50 pasien, pada tabel 4.1,
dapat dilihat bahwa penderita ISPA yang paling banyak ditemukan dalam penelitian ini adalah
kelompok umur 65 tahun dengan jumlah 16 orang (32 ). Kemudian diikuti dengan kelompok
umur 56 65 tahun dengan jumlah 10 orang (20 ). Kelompok umur 46 55 tahun dengan
jumlah 8 orang (16 ). Kelompok umur 26 35 tahun dengan jumlah 6 orang (12 ).
Kelompok umur 17 25 tahun dengan jumlah 4 orang (8 ). Kelompok umur 36 45 tahun
dengan jumlah 3 orang (6 ). Kelompok umur 12 16 tahun dengan jumlah 3 orang (6 ).
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa penderita ISPA dapat menyerang hampir semua
kelompok umur. Kejadian ini banyak ditemukan pada kelompok umur 65tahun dan terendah
pada kelompok umur 36 45 tahun dan pada kelompok umur 12 16 tahun. Sedangkan pada

penelitian lain yang dilakukan Romulus di RSUP Adam malik Medan dan RSUD dr. Pringadi
Medan dari Maret 2010 April 2011 didapati 60 penderita ISPA dengan perbandingan laki laki
dan perempuan adalah 1:1 dengan usia rata rata, laki laki 27,8 dan perempuan 23,5 tahun.
Berdasarkan karakteristik jenis kelamin, jumlah pasien yang tercatat menderita ISPA
tahun 2012 di RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar berjumlah 50 pasien,
pada tabel 4.2 dapat dilihat bahwa penderita ISPA yang paling banyak ditemukan dalam
penelitian ini adalah penderita ISPA dengan jenis kelamin laki laki terdapat 28 orang (56 )
dan pada perempua 22 orang (44 ). Perbandingan laki laki dan perempuan adalah 2:1.
Sedangkan menurut Muttaqin (2008) laki laki lebih sering terkena ISPA daripada perempuan.
Berdasarkan karakteristik pekerjaan, jumlah pasien yang tercatat menderita ISPA di
RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar tahun 2012 berjumlah 50 pasien,
pada tabel 4.3 dapat dilihat bahwa penderita ISPA yang paling banyak ditemukan pada penelitian
ini adalah wiraswasta dengan jumlah 16 orang (32 ) dan terendah adalah PNS dengan jumlah 5
orang (10 ). Hal ini disebabkan karena wiraswasta paling sering merokok dan paling banyak
menghirup udara yang sudah terkontaminasi dengan bakteri. Menurut Mandal BK (2006) ISPA
sering terjadi akibat masuknya kuman mikroorganisme (bakteri dan virus) kedalam organ saluran
pernafasan yang berlangsung selama 14 hari.
Berdasarkan karakteristik jenis penyakit, jumlah pasien yang tercatat menderita ISPA
yang dirawat inap di RSUD dr.DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar berjumlah 50
pasien. Pada tabel 4.4 dapat dilihat bahwa penderita ispa yang paling banyak ditemukan dengan
jenis penyakit Pneumonia dengan jumlah 20 orang (40 ), kemudian Bronkiolitis dengan jumlah
12 orang (24 ), setelah itu Bronkitis dengan jumlah 10 orang (20 ), dan yang terakhir

Meningitis dengan jumlah 8 orang (16). Menurut Dongoes (2006) pasien yang menderita
pneumonia adalah pasien yang sering menghirup udara yang sudah terkontaminasi oleh virus dan
bakteri sehingga virus dan bakteri tersebut masuk dan menyebar melalui aspirasi,
5.2 Keterbatasan Penelitian
Ada beberapa keterbatasan pada penelitian ini, data yang digunakan merupakan data
sekunder yang diperoleh dari rekam medik, sehingga peneliti tidak terjun langsung berhadapan
dengan penderita ISPA. Dari hal ini penulis merasa bahwa penelitian ini kurang objektif dan
efisien. Data yang dipakai tidak semuanya standart dan merupakan kelemahan dari penelitian ini
dengan kata lain penelitian ini memiliki ruang lingkup terbatas. Meskipun demikian, pada
akhirnya diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi untuk penelitian
kedepannya.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Dari penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Penderita yang mengalami ISPA di RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH Kota
Pematang Siantar berjumlah 50 orang
2. Distribusi penderita yang mengalami ISPA di RSUD dr. DJASAMEN
SARAGIH Kota Pematang Siantar tahun 2012 berdasarkan kelompok umur
pasien terbanyak adalah kelompok umur 65 tahun dengan jumlah 16 orang
(32 ) dan terendah adalah kelompok umur 36 45 tahun dan kelompok
3.

umur 12 16 tahun dengan jumlah 3 orang (6 ).


Distribusi penderita yang mengalami ISPA di RSUD dr. DJASAMEN
SARAGIH Kota Pematang Siantar tahun 2012 berdasarkan jenis kelamin
terbanyak adalah pasien yang berjenis kelamin laki laki dengan jumlah 28

orang (56 ) dan perempuan dengan jumlah 22 orang (44 )


4. Distribusi penderita yang mengalami ISPA di RSUD dr. DJASAMEN
SARAGIH Kota Pematang Siantar tahun 2012 berdasarkan pekerjaan
terbanyak adalah Wiraswasta dengan jumlah 16 orang (32 ), dan terendah
adalaha PNS dengan jumlah 5 orang (10 )
5. Distribusi penderita yang mengalam ISPA di RSUD dr. DJASAMEN
SARAGIH Kota Pematang Siantar tahun 2012 berdasarkan jenis penyakit

ISPA terbanyak adalah pasien yang menderita Pneumonia dengan jumlah 20


orang (40 ), dan terendah adalah pasien yang menderita penyakit meningitis
dengan jumlah 8 orang (16 )
6.2 . Saran
Adapun saran yang diberikan peneliti berkaitan dengan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagi pihak RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar
diharapkan agar meningkatkan kualitas dalam membuat data rekam medis
yang objektif dan efisien sehingga data rekam medis pasien dapat digunakan
untuk keperluan penelitian selanjutnya maupun keperluan lainnya.
2. Bagi para peneliti lain untuk tetap melakukan penelitian penelitian sejenis
dengan sampel yang lebih besar dan memiliki variabel lain yang belum diteliti
pada penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Asiam M (2003). Farmasi Klinis. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, hal: 76.
Asih & Effendy (2004). Keperawatan Medikal Bedah Klien Dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC
Davey, P (2006). At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga, hal: 174- 175.
Depkes RI (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Doenges, Marilynn (2006). Rencana Asuhan Keperawatan, edisi ke 3. Jakarta: EGC.
Jeremy PT (2007). At Glance Sistem Respirasi, edisi ke 2. Jakarta: Erlangga Medical
Series, hal 76-77.
Mandal BK, Wilkins EGL,dkk (2006). Lecture Notes Penyakit Infeksi, edisi ke 6.
Jakarta: Erlangga, hal : 46-50.
Manurung S, Surantum, dkk (2009). Gangguan Sistem Pernafasan Akibat Infeksi. CV.
Jakarta: Trans Info Media, hal: 93- 98.
Misnadiarly (2008). Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia Pada Anak Balita,
Orang Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Obor Populer, hal: 55- 60.

Muttaqin, A (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika, hal: 102- 108.
Robbins & Cotran (2006). Dasar Patologis Penyakit, edisi ke 7. Jakarta : EGC, hal:
446-448
Sudoyono & Aru W (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Padila (2013). Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika, hal:
281- 294.
Tjay TH & Raharja K (2007). Obat- Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan EfekEfek Sampingnya Edisi ke 6. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, hal 65-86.

Zul Dahlan (2009). Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke 2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

You might also like