Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sinusitis
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi atau peradangan pada suatu
atau lebih dari sinus pranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga/ruang
berisi udara dengan dinding yang terdiri dari membran mukosa. Meskipun
tipe sinusitis akut yang sering terjadi adalah disebabkan oleh virus dan
alergi akan tetapi diagnosa sinusitis fungal atau bakterial yang akurat
sangatlah penting bagi kebaikan pasien dan pencegahan komplikasi yang
mungkin terjadi seperti sinusitis kronis atau menyebarnya infeksi ketempat
yang lain (misal meningitis) (Padila, 2013).
Influenza,Streptococcus
Pyogenes,
dan
Streptococcus
Pnemonal. Adanya infeksi yang berulang pada sinusitis kronis maka akan
terjadi sikatrik yang berakibat pada penebalan membran-membran dan
aliran pembuangan sekret menjadi terhambat. Selanjutnya pada keadaan ini
sangat kondusif bagi tumbuhnya bakteri dan berkembang dengan subur
dilingkunga ini (misnadiarly, 2008).
2)
Rhinitis
Rhinitis
didefinisikan
sebagai
penyakit
inflamasi
membran
mukosa dari cavum nasal dan nasopharyng. Sama halnya dengan sinusitis,
rhinitis bisa berupa penyakit akut dan kronis yang kebanyakan disebabkan
oleh virus dan alergi. Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien meliputi
hidung berair ( rhinorrhea). Rhinitis paling sering akan menyertai infeksi
virus akut pada saluran pernafasan atas, yang sering dikenal dengan
Influenza ( common cold). Virus disebarkan melalui droplet (titik-titik)
yang berasal dari bersin (Davey P, 2006)
3)
Pharingitis
Pharingitis adalah proses peradangan pada tenggorokan. Penyakit ini
juga sering dilihat sebagai inflamasi virus, namun juga disebabkan oleh
Laryngitis
Laryngitis adalah proses peradangan dari membran mukosa yang
Pneumonia
disebabkan
oleh
kuman
seperti
menimbulkan
terjadinya
Pneumocystis
Carinii
virus
penyebab
ISPA
antara
lain
golongan
dari sindroma batuk rejan, bronkiolitis dan penyakit demam saluran nafas bagian atas.
Untuk virus influenza bukan penyebab terbesar terjadinya sindroma saluran
pernafasan kecuali hanya epidemi-epidemi saja. Virus Ebola adalah sejenis virus dari
genus ebolavirus, familia filoviridae. Virus Ebola sangat menular, melalui kontak dan
tranfusi cairan tubuh,seperti darah, keringat, air liur, air mani, atau cairan tubuh yang
lainnya. Untungnya virus Ebola tidak dikatagorikan sebagai virus yang menyebar
melalui udara (Jeremy,2007).
2.5 Patofisiologi ISPA
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan
tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang
terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus kearah
faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut
gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan
(Robbins,2006).
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk
kering. Kerusakan struktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan
kenaikkan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran
nafas,sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan
cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal
gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk (Robbins,2006).
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder
bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang
merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri
B. Tanda-tanda laboratorius :
Hypoxemia
Hypercapnia, dan
Acylosis (Metabolik dan atau Respiratorik) (Doenges, 2006).
2. Gejala ISPA
Infeksi saluran nafas bagian atas memberikan gejala yang sangat penting yaitu
batuk. Infeksi saluran nafas bagian bawah memberikan beberapa tanda lainnya seperti
nafas yang cepat dan retraksi dada. Semua orang dapat mengenal batuk tetapi
mungkin tidak mengenal tanda-tanda lainnya dengan mudah. Selain batuk gejala
ISPA juga dapat dikenali yaitu flu,demam, dan suhu tubuh meningkat lebih dari 38,5 0
Celcius dan disertai sesak nafas.
Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga golongan
yaitu:
a. ISPA ringan bukan pneumonia
b. ISPA sedang,pneumonia
c. ISPA berat,pneumonia berat
a. Gejala ISPA ringan
Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala sebagai
berikut :
1) Batuk,
2) Demam,
3) Pilek yang mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
4) Panas atau demam.
b. Gejala ISPA sedang
Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA
ringan dengan disertai gejala sebagai berikut :
1) Pernafasan lebih dari 50x/menit,
2) Suhu tubuh lebih dari 390 Celcius,
3) Tenggorokan berwarna merah,
4) Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak,
5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga,
6) Pernafasan berbunyi seperti mendengkur,
7) Pernafasan berbunyi seperti mencuit-cuit.
c. Gejala ISPA berat
Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala ISPA ringan atau
sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut :
1) Bibir atau kulit membiru,
2) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu
3)
4)
5)
6)
7)
8)
bernafas,
Tidak sadar atau kesadarannya menurun,
Pernafasan menciut,
Pernafasan berbunyi mengorok,
Sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas,
Nadi lebih cepat dari 60x/menit atau tidak teraba,
Tenggorokan berwarna merah,
Pasien ISPA berat harus dirawat di Rumah sakit atau Puskesmas
pernafasan mulut yang menetap dan rangsang faring yang menetap tanpa
sebab yang jelas, perlu dipikirkan terjadinya komplikasi sinusitis. Sinusitis
paranasal ini dapat diobati dengan memberikan antibiotic (Asiam, 2003).
2. Penyebaran infeksi
Penjalaran infeksi sekunder dari nasofaring kearah bawah seperti
laryngitis,trakeitis, bronkitis, dan broncopneumonia. Selain itu dapat juga
terjadi komplikasi jauh, misalnya terjadi meningitis purulenta (Tjay TH,
2007).
Infeksi Bakteri
Streptococcus pneumoniae
Infeksi Atipikal
Mycoplasma pneumoniae
Infeksi Jamur
Aspergillus
Haemophillus influenza
Legionella pneumophillia
Histoplasmosis
Klebsiella pneumoniae
Coxiella burnetii
Candida
Pseudomonas aeruginosa
Chlamydia psittaci
Nocardia
Infeksi Protozoa
Pneumocytis carinii
Penyebab Lain
Aspirasi
Coxsackie
Toksoplasmosis
Pneumonia lipoid
Adenovirus
Amebiasis
Bronkiektasis Fibrosis
Sinsitial respiratori
kistik
(Padila, 2013).
Tabel 2.2. Stratifikasi pasien CAP
Kelompok
I
Tipe Pasien
Pasien rawat jalan, tanpa riwayat penyakit kardiopulmonal
II
III
modifikasi lainnya
IV
Pasien rawat inap ICU :
a. Tanpa terinfeksi Pseudomonas aeruginosa
b. Dengan resiko terinfeksi P. Aeruginosa.
The clinical presentation of serious infections in hospitalized patients
Lacteria
Clinical Presentation
Bacteria
ICU
APACHE II/III
SOFA Score
ARDS Sore
Modiried Apache II
System failure
S.Cardivasvular F
Endotoxin
Binds to LPS-binding protein
CD 14
Macrophag
e
Hypothalamus
Vessel wall
Fever
Tachycardia
Neutrophil margination
Platelet adherence
Cellular hypoxia
Low systemic vascular resistance, toxic oxygen radicals
Lactic acidosis
Multi-organ dysfuction
(myocardial pulmonary, trenal, hepatical)
Death
Tipe pasien
Jenis
Regimen
Rawat inap
mikroorganisme
Streptococcus
Penyakit
pneumonia (DRSP)
(Cefotaxin,Cefriaxone
kardiopulmonal (+)
Hemophilus
influenzae
Ampicillin/sulbactam
modifikasi (+4)
Mycoplasma
Ampicilin(dosis
pneumonia
tinggi) dikombinasi:
Macrolide. I.V. atau
Infeksi campuran
oral
atau :
fluroquinolone
antipneumococcus
IIIB
S.pneumoniae
H. influenzae atau :
M. pneumoniae
atau : fluoroquinolone
Infeksi
antipneumococcus
campuran(bakteri
dan atipik)
Virus
Legionella spp
Lain lain :
M.tuberculosis
Jamur endemic,
Pneumocystis,
carinii
IVA
S.pneumoniae Beta-
resiko
lactam I.V.
Cefotaxin,
Ps.Aeruginosa
Legionella ,spp
Cefriaxone
Haemophilus
Dikombinasi :
Enteric gram
Macrolide I.V
negative
Azithromycin
s.aureus
Mycoplasma
Atau
Fluoroquinolone
pneumoniae
I.V
Respiratory virosis
Lain lain:
Chlamidya
pneumonia
M.tuberculosis
IV B
Jamur endemic
Sama dengan IV A +
P.Aeroginosa
Antibiotika Yang
Pilihan Antibiotika
Legionella
Digunakan
Eritromisin dengan
Lain
Klaritromisin atau
Tanggapan
azitromisin,
siprofloksasin
rifampin,
doksisiklin dengan
Mycoplasma
Doksisiklin,
rifampin, ofloksasin
Klaritromisin atau
pneumoniae
eritromisin
azitromisin,
Selama1-2 minggu
rifampin,
siprofloksasin atau
Chlamydia
Doksisiklin,
ofloksasin
Klaritromisin atau
pneumoniae
eritromisin
azitromisin,
Selama1-2
minggu
Siprofloksasin atau
Chlamydia psittaci
Doksisiklin
ofloksasin
Eritromisin,
S. pneumonia
Penisilin G atau V
kloramfenikol
Sefalosporin :
Dosis untuk
Sefazolin
Penyakit berat :
Sensitif terhadap
penisilin
(MIC < 0,1 ug/ml)
Penisilin IV
Sefuroksim,
0,5 juta unit/ 4
Sefotaksim
jam
Sefuroksim:
Sefrizokisim
Resistensi sedang
Penisilin G:2-3
terhadap penisilin
Seftriakson
Seftriakson
2 g/hari IV
Sefalosporin oral
Vankomisin
Tingkat resistensi
Sedang
Sefataksim
0,1 1 ug/ml;
Agen oral
80%
Makrolida
Biasanya
Sefuroksim
sensitive
sefodoksim
Terhadap
Sefalosporin
Resistensi tinggi
Vankomisin
Imipenem
Resistensi tingkat
terhadap penisilin
Tinggi
> 1 ug/ml
20% perlu
Vankomisin
H. Influenzae
Sefalosporin
Tetrasiklin :
Generasi kedua
Atau ketiga
Betalaktam-
Klaritromisin,
Betalaktamase
Azittromisin
Fluorokuinolon
Trimetoprin
Kloramfenikol
Sulfametoksazol
S. aureus
Nafsilin/ oxasilin
Sefazolin atau
dengan atau
Sefuroksim,
tanpa
rimfapinisin atau
Vankomisin
gentamisin
Klindamisin
Klindamisin
Sulfametoksazol
Enterobakteriaceae(E
Sefalosporin
Fluorokuinolon
Aztreonam,
. coli, Klebsiella,
imipenem,
Proteus,
ketiga dengan/tanpa
betalaktam-
Enterobacter)
aminoglikosida
betalaktamase
A. Kelompok Penisilin
Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai
jenis yang dihasilkannya, perbedaannya hanya pada gugus samping-R saja.
Penisillin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis
dnding sel. Efek samping yang terpenting adalah reaksi yang dapat
menimbulkan urtikaria, dan kadang-kadang reaksi analfilaksis dapat menjadi
fatal (Asiam, 2003).
1. Benzilpenisilin: penisilin G bersifat bakterisid terhadap kuman Grampositif (khususnya cocci) dan hanya beberapa kuman negatif. Penisilin G
tidak tahan-asam, maka hanya digunakan sebagai injeksi i.m atau infus
intravena. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 60%; plasma t nya
sangat singkat, hanya 30 menit dan kadar darahnya cepat menurun.
Eksresinya berlangsung sebagian besar melalui transport aktif tubuler dari
ginjal dan dalam keadaan utuh. Aktivitas penisilin G masih dinyatakan
dalam Unit Internasional (UI).
2. Fenoksimetilpenisilin: Penisilin-V; derivate semisintesis ini tahan asam
dan memiliki spektrum kerja yang dapat disamakan dengan pen-G, tetapi
terhadap kuman negatif (antara lain suku Nesseira dan bacilli H.
influenzae) 5-10 kali lebih lemah. Resorpsi penisilin-V tidak diuraikan
oleh asam lambung. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 80%,
plasma t 30-60 menit. Sebagian besar zat dirombak di dalam hati, dan
rata-rata 30% dieksresikan lewat kemih dalam keadaan utuh. Dosis oral 36 dd 25-500 mg 1 jam sebelum makan, atau 2 jam sesudah makan
3. Ampisilin: penisilin broad spectrum ini tahan asam dan lebih luas
spektrum kerjanya yang meliputi banyak kuman gram-negatif yang hanya
peka bagi penisilin-G dalam dosis intravena tinggi. Kuman-kuman yang
memproduksi penisilinase tetap resisten terhadap ampisilin (dan
amoksisilin). Ampisilin efektif terhadap E. coli, H. influenzae,
Salmonella, dan beberapa suku Proteus. Resorpsinya dari usus 30-40%
(dihambat oleh makanan), plasma t nya 1-2 jam. Ikatan dengan protein
plasmanya jauh lebih ringan daripada penisilin G dan penisilin V.
Eksresinya berlangsung melalui ginjal yaitu 30-45% dalam keadaan utuh
aktif dan sisanya sebagai metabolit. Efek samping berkaitan dengan
gangguan lambung-usus dan alergi. Dosis untuk oral 4 dd sehari 0,5-1 g
(garam-K atau trihidrat) sebelum makan.
4. Amoksisilin: derivat hidroksi dengan aktivitas sama seperti ampisilin.
Resorpsinya lebih lengkap (80%) dan pesat dengan kadar darah dua kali
lipat. Ikatan dengan protein plasma dan t nya lebih kurang sama, namun
difusinya ke jaringan dan cairan tubuh lebih baik. Kombinasi dengan asam
klavulanat efektif terhadap kuman yang memproduksi penisilinase. Efek
samping yang umum adalah gangguan lambung-usus dan radang kulit
lebih jarang terjadi. Dosis untuk oral 3 dd 375-1.000 mg, anak-anak < 10
tahun 3 dd 10 mg/kg, juga diberikan secara i.m/i.v.
B. Kelompok Sefalosporin
Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang berasal dari
Sicilia. Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur, khasiat, dan
sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-keuntungan antara lain
spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup enterococci dan kumankuman anaerob serta resisten terhadap penisilinase, tetapi tidak efektif terhadap
Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin (Davey, 2006).
sefalosporin
dengan
aminoglikosida
mempermudah
terjadinya
Dosis: oral 2-4 dd 250-500 mg pada saat perut kosong selama maksimal 7
hari.
b. Azitromosin dan klaritromisin merupakan derivat dari eritromisin. Memiliki
sifat farmakokinetik yang jauh lebih baik dibandingkan eritomisin, antara lain
resorpsinya dari usus lebih tinggi karena lebih tahan asam, begitu pula daya
tembus ke jaringan dan intra-seluler. Azitromisin mempunyai t 1/213 jam yang
memungkinkan pemberian dosis hanya 1 atau 2 kali sehari. Makanan
memperburuk resorpsinya, maka sebaiknya diminum pada saat perut kosong
(Mandal BK, 2006).
2.10 Golongan Aminoglikosida
Aminoglikosida
dihasilkan
oleh
jenis-jenis
fungi
Streptomyces
dan
2.11
Golongan Fluorokuinolon
a. Kloramfenikol: berkhasiat bakteriostatik terhadap hampir semua kuman grampositif dan sejumlah kuman gram-negatif, juga terhadap Chlamydia
trachomatis dan Mycoplasma. Bekerja bakterisid terhadap S. pneumonia, dan
H. influenzae. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesis
polipeptida kuman. Resorpsinya dari usus cepat dan lengkap dengan
bioavaibilitas 75-90%. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 50% , t
nya rata-rata 3 jam. Dalam hati 90% zat ini dirombak menjadi glukuronida
inaktif. Eksresinya melaui ginjal, terutama sebagai metabolit inaktif dan lebih
kurang 10% secara utuh. Efek samping umum berupa gangguan lambungusus, neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang
sangat berbahaya adalah depresi sumsum tulang yang dapat berwujud dalam
bentuk anemia (Effendy, 2004).
Penderita ISPA
Umur
Jenis kelamin
Pekerjaan
Jenis
Penyakit
b. Jenis kelamin adalah identitas pasien yang dapat membedakan pasien laki-laki
dan perempuan secara biologis sesuai dengan yang tercatat pada kartu status
pasien.
c. Pekerjaan adalah suatu profesi yang dijalani seseorang dalam kurun waktu
cukup lama yang dikelompokkan menjadi :
- PNS
- TNI - AD
- Wiraswasta
- Ibu Rumah Tangga ( IRT)
d. Jenis penyakit adalah jenis jenis penyakit yang di derita pasien pada saat di
rawat dirumah sakit yang dikelompokkan menjadi :
- bronkitis
- Bronkiolitis
-Meningitis
-Pneumonia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6)
Sinusitis
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi atau peradangan pada suatu
atau lebih dari sinus pranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga/ruang
berisi udara dengan dinding yang terdiri dari membran mukosa. Meskipun
tipe sinusitis akut yang sering terjadi adalah disebabkan oleh virus dan
alergi akan tetapi diagnosa sinusitis fungal atau bakterial yang akurat
sangatlah penting bagi kebaikan pasien dan pencegahan komplikasi yang
Influenza,Streptococcus
Pyogenes,
dan
Streptococcus
Pnemonal. Adanya infeksi yang berulang pada sinusitis kronis maka akan
terjadi sikatrik yang berakibat pada penebalan membran-membran dan
aliran pembuangan sekret menjadi terhambat. Selanjutnya pada keadaan ini
sangat kondusif bagi tumbuhnya bakteri dan berkembang dengan subur
dilingkunga ini (misnadiarly, 2008).
7)
Rhinitis
Rhinitis
didefinisikan
sebagai
penyakit
inflamasi
membran
mukosa dari cavum nasal dan nasopharyng. Sama halnya dengan sinusitis,
rhinitis bisa berupa penyakit akut dan kronis yang kebanyakan disebabkan
oleh virus dan alergi. Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien meliputi
hidung berair ( rhinorrhea). Rhinitis paling sering akan menyertai infeksi
virus akut pada saluran pernafasan atas, yang sering dikenal dengan
Influenza ( common cold). Virus disebarkan melalui droplet (titik-titik)
yang berasal dari bersin (Davey P, 2006)
8)
Pharingitis
Laryngitis
Laryngitis adalah proses peradangan dari membran mukosa yang
Pneumonia
disebabkan
oleh
kuman
seperti
imunosupresi,protozoa
menimbulkan
terjadinya
Pneumocystis
Carinii
Pneumonia (CPC)
Pneumonia fungal, infeksi yang disebabkan oleh jamur seperti
Histoplasmosis. Menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung
spora. Infeksi histoplasma terkadang hilang dengan sendirinya sehingga tidak
memerlukan perawatan (Mandal, 2006).
Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri atas: bakteri, virus(flu burung,SARS, EBOLA),protozoa,
virus
penyebab
ISPA
antara
lain
golongan
Patofisiologi ISPA
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan
tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang
terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus kearah
faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut
gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan
(Robbins,2006).
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk
kering. Kerusakan struktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan
kenaikkan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran
nafas,sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan
cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal
gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk (Robbins,2006).
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder
bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang
merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri
sehingga memudahkan bakteri-bakteri pathogen yang terdapat pada saluran
pernafasan atas seperti Streptococcus Pneumonia,Haemophylus influenza, dan
Staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut (Robbins,2006).Infeksi
sekunder bakteri ini menyebabkan infeksi mukus terlalu banyak dan dapat
menyumbat saluran nafas sehinggal timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk
yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya faktor-faktor seperti
kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan
adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan
gizi aku pada bayi dan anak (Tjay TH, 2007).
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ketempat-tempat
lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang,demam,dan juga bisa
menyebar kesaluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa
menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya
ditemukan dalam saluran pernafasan atas,sesudah terjadinya infeksi virus,dapat
meginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Sudoyono, 2006).
Dari uraian diatas,perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi
empat tahap, yaitu:
5. Tahap prepatogenesis,penyebab telah ada tetapi penderita belum
menunjukkan reaksi apa-apa.
B. Tanda-tanda laboratorius :
Hypoxemia
Hypercapnia, dan
Acylosis (Metabolik dan atau Respiratorik) (Doenges, 2006).
2. Gejala ISPA
Infeksi saluran nafas bagian atas memberikan gejala yang sangat penting yaitu
batuk. Infeksi saluran nafas bagian bawah memberikan beberapa tanda lainnya seperti
nafas yang cepat dan retraksi dada. Semua orang dapat mengenal batuk tetapi
mungkin tidak mengenal tanda-tanda lainnya dengan mudah. Selain batuk gejala
ISPA juga dapat dikenali yaitu flu,demam, dan suhu tubuh meningkat lebih dari 38,5 0
Celcius dan disertai sesak nafas.
Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga golongan
yaitu:
d. ISPA ringan bukan pneumonia
e. ISPA sedang,pneumonia
f. ISPA berat,pneumonia berat
d. Gejala ISPA ringan
Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala sebagai
berikut :
5) Batuk,
6) Demam,
7) Pilek yang mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
8) Panas atau demam.
e. Gejala ISPA sedang
Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA
ringan dengan disertai gejala sebagai berikut :
5-6 hari jika kita tidak terjadi invasi kuman lainnya. Komplikasi yang dapat terjadi
adalah sinusitis paranasal, penutupan tuba eusthacii dan penyeberan infeksi.
3. Sinusitis paranasal
Komplikasi ini hanya terjadi pada orang dewasa karena pada bayi dan
anak kecil sinus paranasal belum tumbuh. Gejala umum tampak lebih
besar,nyeri kepala bertambah, rasa nyeri dan nyeri tekan biasanya didaerah
Infeksi Bakteri
Streptococcus pneumoniae
Infeksi Atipikal
Mycoplasma pneumoniae
Infeksi Jamur
Aspergillus
Haemophillus influenza
Legionella pneumophillia
Histoplasmosis
Klebsiella pneumoniae
Coxiella burnetii
Candida
Pseudomonas aeruginosa
Chlamydia psittaci
Nocardia
Infeksi Virus
Influenza
Infeksi Protozoa
Pneumocytis carinii
Penyebab Lain
Aspirasi
Coxsackie
Toksoplasmosis
Pneumonia lipoid
Adenovirus
Amebiasis
Bronkiektasis Fibrosis
Sinsitial respiratori
kistik
(Padila, 2013).
Tabel 2.2. Stratifikasi pasien CAP
Kelompok
I
Tipe Pasien
Pasien rawat jalan, tanpa riwayat penyakit kardiopulmonal
II
III
modifikasi lainnya
IV
Pasien rawat inap ICU :
c. Tanpa terinfeksi Pseudomonas aeruginosa
d. Dengan resiko terinfeksi P. Aeruginosa.
The clinical presentation of serious infections in hospitalized patients
Lacteria
Clinical Presentation
Bacteria
ICU
APACHE II/III
SOFA Score
ARDS Sore
Modiried Apache II
System failure
S.Cardivasvular F
Endotoxin
Hypothalamus
Vessel wall
Fever
Tachycardia
Neutrophil margination
Platelet adherence
Cellular hypoxia
Death
Lactic acidosis
Multi-organ dysfuction
(myocardial pulmonary, trenal, hepatical)
Tipe pasien
Jenis
Regimen
Rawat inap
mikroorganisme
Streptococcus
Penyakit
pneumonia (DRSP)
(Cefotaxin,Cefriaxone
kardiopulmonal (+)
Hemophilus
influenzae
Ampicillin/sulbactam
modifikasi (+4)
Mycoplasma
Ampicilin(dosis
pneumonia
tinggi) dikombinasi:
Macrolide. I.V. atau
Infeksi campuran
oral
atau :
fluroquinolone
antipneumococcus
Jamur endemic,
Pneumocystis,
carinii
IIIB
S.pneumoniae
H. influenzae atau :
M. pneumoniae
atau : fluoroquinolone
Infeksi
antipneumococcus
campuran(bakteri
dan atipik)
Virus
Legionella spp
Lain lain :
M.tuberculosis
Jamur endemic,
Pneumocystis,
carinii
IVA
S.pneumoniae Beta-
resiko
lactam I.V.
Cefotaxin,
Ps.Aeruginosa
Legionella ,spp
Cefriaxone
Haemophilus
Dikombinasi :
Enteric gram
Macrolide I.V
negative
Azithromycin
s.aureus
Mycoplasma
pneumoniae
Atau
Fluoroquinolone
I.V
Respiratory virosis
Lain lain:
Chlamidya
pneumonia
M.tuberculosis
Jamur endemic
IV B
Sama dengan IV A +
P.Aeroginosa
Agen Penyebab
Antibiotika Yang
Pilihan Antibiotika
Legionella
Digunakan
Eritromisin dengan
Lain
Klaritromisin atau
azitromisin,
siprofloksasin
rifampin,
Tanggapan
doksisiklin dengan
Mycoplasma
Doksisiklin,
rifampin, ofloksasin
Klaritromisin atau
pneumoniae
eritromisin
azitromisin,
Selama1-2 minggu
rifampin,
siprofloksasin atau
Chlamydia
Doksisiklin,
ofloksasin
Klaritromisin atau
Selama1-2
pneumoniae
eritromisin
azitromisin,
minggu
Siprofloksasin atau
Chlamydia psittaci
Doksisiklin
ofloksasin
Eritromisin,
S. pneumonia
Penisilin G atau V
kloramfenikol
Sefalosporin :
Dosis untuk
Sefazolin
Sensitif terhadap
penisilin
Penyakit berat :
Penisilin IV
Sefuroksim,
0,5 juta unit/ 4
Sefotaksim
jam
Sefuroksim:
Sefrizokisim
Resistensi sedang
Penisilin G:2-3
terhadap penisilin
Seftriakson
Seftriakson
2 g/hari IV
Sefalosporin oral
Vankomisin
Tingkat resistensi
Sedang
Sefataksim
0,1 1 ug/ml;
Agen oral
80%
Makrolida
Biasanya
Sefuroksim
sensitive
sefodoksim
Terhadap
Sefalosporin
Resistensi tinggi
Vankomisin
Imipenem
Resistensi tingkat
terhadap penisilin
Tinggi
> 1 ug/ml
20% perlu
Vankomisin
H. Influenzae
Sefalosporin
Tetrasiklin :
Generasi kedua
Atau ketiga
Betalaktam-
Klaritromisin,
Betalaktamase
Azittromisin
Fluorokuinolon
Trimetoprin
Kloramfenikol
Sulfametoksazol
S. aureus
Nafsilin/ oxasilin
Sefazolin atau
dengan atau
Sefuroksim,
tanpa
rimfapinisin atau
Vankomisin
gentamisin
Klindamisin
Klindamisin
Sulfametoksazol
Enterobakteriaceae(E
Sefalosporin
Fluorokuinolon
Aztreonam,
. coli, Klebsiella,
imipenem,
Proteus,
ketiga dengan/tanpa
betalaktam-
Enterobacter)
aminoglikosida
betalaktamase
E. Kelompok Sefalosporin
Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang berasal dari
Sicilia. Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur, khasiat, dan
sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-keuntungan antara lain
spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup enterococci dan kumankuman anaerob serta resisten terhadap penisilinase, tetapi tidak efektif terhadap
Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin (Davey, 2006).
sefalosporin
dengan
aminoglikosida
mempermudah
terjadinya
gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tapi jauh lebih aktif
terhadap Enterobacteriaceae termasuk strain penghasil penisilinase (Elin,
2008). Aktivitasnya terhadap gram negatif lebih kuat dan lebih luas lagi dan
meliputi Pseudomonas dan Bacteroides, khususnya seftazidim (Jeremy,
2007).
8. Sefalosporin generasi keempat: sefepim dana sefpirom. Obat-obat baru ini
sangat resisten terhadap laktamase, sefepim juga aktif sekali terhadap
pseudomonas (jeremy, 2007).
4.
dihasilkan
oleh
jenis-jenis
fungi
Streptomyces
dan
4.11
Golongan Fluorokuinolon
d. Kloramfenikol: berkhasiat bakteriostatik terhadap hampir semua kuman grampositif dan sejumlah kuman gram-negatif, juga terhadap Chlamydia
trachomatis dan Mycoplasma. Bekerja bakterisid terhadap S. pneumonia, dan
H. influenzae. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesis
polipeptida kuman. Resorpsinya dari usus cepat dan lengkap dengan
bioavaibilitas 75-90%. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 50% , t
nya rata-rata 3 jam. Dalam hati 90% zat ini dirombak menjadi glukuronida
inaktif. Eksresinya melaui ginjal, terutama sebagai metabolit inaktif dan lebih
kurang 10% secara utuh. Efek samping umum berupa gangguan lambungusus, neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang
sangat berbahaya adalah depresi sumsum tulang yang dapat berwujud dalam
bentuk anemia (Effendy, 2004).
e. Vankomisin: antibiotika glikopeptida ini dihasilkan oleh Streptpmyces
orientalis. Berkhasiat bakterisid terhadap kuman Gram-positif aerob dan
anaerob termasuk Staphylococcus yang resistensi terhadap metisilin. Daya
kerjanya berdasarkan penghindaran pembentukan peptidoglikan. Penting
sekali sebagai antibiotika terakhir pada infeksi parah jika antibiotika yang lain
tidak ampuh lagi. Obat ini juga digunakan bila terdapat alergi untuk
penisilin/sefalosporin. Resorpsinya dari usus sehat sangat buruk, tetapi lebih
baik pada enteris. Vankomisin mempunyai t nya 5-11 jam. Eksresinya
berlangsung 80% melalui kemih. Efek sampingnya berupa gangguan fungsi
ginjal, terutama pada penggunaan lama dosis tinggi, juga neuropati perifer,
reaksi alergi kulit, mual, dan demam. Kombinasinya dengan aminoglikosida
meningkatkan risiko nefro dan ototoksisitas. Dosis untuk infeksi parah i.v.
(infuse) 1 g dalam 200 ml larutan NaCl 0,9% (atau glukosa 5%) setiap 12 jam
dengan jangka waktu minimal 2 jam (Effendy, 2004).
f. Doksisiklin: derivat long-acting ini berkhasiat bakteriostastik terhadap kuman
yang resisten terhadap tetrasiklin atau penisilin. Resorpsinya dari usus hampir
lengkap. Bioavaibilitasnya tidak dipengaruhi oleh makanan atau susu seperti
Penderita ISPA
Umur
Jenis kelamin
Pekerjaan
Jenis
Penyakit
d. Umur adalah usia pasien pada saat dinyatakan terkena ISPA sesuai dengan
yang tertulis pada kartu status pasien yang dikategorikan menjadi :
- < 40 tahun
- 40 tahun
e. Jenis kelamin adalah identitas pasien yang dapat membedakan pasien laki-laki
dan perempuan secara biologis sesuai dengan yang tercatat pada kartu status
pasien.
f. Pekerjaan adalah suatu profesi yang dijalani seseorang dalam kurun waktu
cukup lama yang dikelompokkan menjadi :
- PNS
- TNI - AD
- Wiraswasta
- Ibu Rumah Tangga ( IRT)
d. Jenis penyakit adalah jenis jenis penyakit yang di derita pasien pada saat di
rawat dirumah sakit yang dikelompokkan menjadi :
- bronkitis
- Bronkiolitis
-Meningitis
-Pneumonia
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Gambaran Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. DJASAMEN
SARAGIH
PEMATANGSIANTAR
yang
terletak
di
Jalan
Sutomo
No.23
data
dilaksanakan
di
bagian
rekam
medik
RSUD
Umur
Frekuensi
Persentase ()
12 16 tahun
17 25 tahun
26 35 tahun
12
36 45 tahun
46 55 tahun
16
56 65 tahun
10
20
65 tahun
16
32
Total
50
100
Dari tabel 4.1 di dapatkan kelompok umur yang paling banyak menderita
ISPA adalah pada kelompok umur 65 tahun dengan jumlah 16 orang (32 ).
Kemudian diikuti dengan kelompok umur 56 65 tahun dengan jumlah 10 orang (20
). Kelompok umur 46 55 tahun dengan jumlah 8 orang (16). Kelompok umur 26
35 tahun dengan jumlah 6 orang (12 ). Kelompok umur 17 25 tahun dengan
Jenis kelamin
Frekuensi
Persentase ()
Laki laki
28
56
Perempuan
22
44
Total
50
100
Dari tabel 4.2 didapatkan jumlah sampel laki laki lebih banyak dari pada
jumlah sampel perempuan dimana terdapat 28 orang (56 ) sampel laki laki dan 22
orang (44 ) sampel perempuan yang di diagnosa menderita ISPA.
Pekerjaan
Frekuensi
Persentase ()
PNS
10
TNI-AD
14
Wiraswasta
16
32
12
24
Petani
10
20
Total
50
100
Dari tabel 4.3 terlihat bahwa pekerjaan sampel paling banyak adalah
wiraswasta dengan jumlah 16 orang (32 ), setelah itu Ibu Rumah Tangga dengan
jumlah 12 orang (24 ), kemudian Petani dengan jumlah 10 orang (20 ), setelah itu
TNI-AD dengan jumlah 7 orang (14 ), dan terakhir PNS dengan jumlah 5 orang
(10 ).
Jenis ISPA
Frekuensi
Persentase ()
Bronkitis
10
20
Bronkiolitis
12
24
Meningitis
16
Pneumonia
20
40
Total
50
100
Dari tabel 4.4 terlihat bahwa jenis ISPA yang paling banyak adalah
Pneumonia dengan jumlah 20 orang (40 ), kemudian Bronkiolitis dengan jumlah 12
orang (24 ), setelah itu Bronkitis dengan jumlah 10 orang (20 ), dan yang terakhir
Meningitis dengan jumlah 8 orang (16).
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Pembahasan
Sampel penelitian adalah seluruh pasien yang di diagnosa menderita ISPA yang dirawat
di RSUD Dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar. Selama kurun waktu penelitian
dari bulan november sampai desember 2014 diperoleh data yang terpilih sebanyak 50 kasus
ISPA.
Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui karakteristik penderita ISPA
yang dirawat inap secar umum dan mengetahui karakteristik berdasarkan usia, jenis kelamin,
pekerjaan, dan pembagian ISPA di Rumah Sakit Dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang
Siantar tahun 2012.
Berdasarkan karakteristik umur, pasien yang tercatat menderita ISPA tahun 2012 di
RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar berjumlah 50 pasien, pada tabel 4.1,
dapat dilihat bahwa penderita ISPA yang paling banyak ditemukan dalam penelitian ini adalah
kelompok umur 65 tahun dengan jumlah 16 orang (32 ). Kemudian diikuti dengan kelompok
umur 56 65 tahun dengan jumlah 10 orang (20 ). Kelompok umur 46 55 tahun dengan
jumlah 8 orang (16 ). Kelompok umur 26 35 tahun dengan jumlah 6 orang (12 ).
Kelompok umur 17 25 tahun dengan jumlah 4 orang (8 ). Kelompok umur 36 45 tahun
dengan jumlah 3 orang (6 ). Kelompok umur 12 16 tahun dengan jumlah 3 orang (6 ).
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa penderita ISPA dapat menyerang hampir semua
kelompok umur. Kejadian ini banyak ditemukan pada kelompok umur 65tahun dan terendah
pada kelompok umur 36 45 tahun dan pada kelompok umur 12 16 tahun. Sedangkan pada
penelitian lain yang dilakukan Romulus di RSUP Adam malik Medan dan RSUD dr. Pringadi
Medan dari Maret 2010 April 2011 didapati 60 penderita ISPA dengan perbandingan laki laki
dan perempuan adalah 1:1 dengan usia rata rata, laki laki 27,8 dan perempuan 23,5 tahun.
Berdasarkan karakteristik jenis kelamin, jumlah pasien yang tercatat menderita ISPA
tahun 2012 di RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar berjumlah 50 pasien,
pada tabel 4.2 dapat dilihat bahwa penderita ISPA yang paling banyak ditemukan dalam
penelitian ini adalah penderita ISPA dengan jenis kelamin laki laki terdapat 28 orang (56 )
dan pada perempua 22 orang (44 ). Perbandingan laki laki dan perempuan adalah 2:1.
Sedangkan menurut Muttaqin (2008) laki laki lebih sering terkena ISPA daripada perempuan.
Berdasarkan karakteristik pekerjaan, jumlah pasien yang tercatat menderita ISPA di
RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar tahun 2012 berjumlah 50 pasien,
pada tabel 4.3 dapat dilihat bahwa penderita ISPA yang paling banyak ditemukan pada penelitian
ini adalah wiraswasta dengan jumlah 16 orang (32 ) dan terendah adalah PNS dengan jumlah 5
orang (10 ). Hal ini disebabkan karena wiraswasta paling sering merokok dan paling banyak
menghirup udara yang sudah terkontaminasi dengan bakteri. Menurut Mandal BK (2006) ISPA
sering terjadi akibat masuknya kuman mikroorganisme (bakteri dan virus) kedalam organ saluran
pernafasan yang berlangsung selama 14 hari.
Berdasarkan karakteristik jenis penyakit, jumlah pasien yang tercatat menderita ISPA
yang dirawat inap di RSUD dr.DJASAMEN SARAGIH Kota Pematang Siantar berjumlah 50
pasien. Pada tabel 4.4 dapat dilihat bahwa penderita ispa yang paling banyak ditemukan dengan
jenis penyakit Pneumonia dengan jumlah 20 orang (40 ), kemudian Bronkiolitis dengan jumlah
12 orang (24 ), setelah itu Bronkitis dengan jumlah 10 orang (20 ), dan yang terakhir
Meningitis dengan jumlah 8 orang (16). Menurut Dongoes (2006) pasien yang menderita
pneumonia adalah pasien yang sering menghirup udara yang sudah terkontaminasi oleh virus dan
bakteri sehingga virus dan bakteri tersebut masuk dan menyebar melalui aspirasi,
5.2 Keterbatasan Penelitian
Ada beberapa keterbatasan pada penelitian ini, data yang digunakan merupakan data
sekunder yang diperoleh dari rekam medik, sehingga peneliti tidak terjun langsung berhadapan
dengan penderita ISPA. Dari hal ini penulis merasa bahwa penelitian ini kurang objektif dan
efisien. Data yang dipakai tidak semuanya standart dan merupakan kelemahan dari penelitian ini
dengan kata lain penelitian ini memiliki ruang lingkup terbatas. Meskipun demikian, pada
akhirnya diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi untuk penelitian
kedepannya.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Penderita yang mengalami ISPA di RSUD dr. DJASAMEN SARAGIH Kota
Pematang Siantar berjumlah 50 orang
2. Distribusi penderita yang mengalami ISPA di RSUD dr. DJASAMEN
SARAGIH Kota Pematang Siantar tahun 2012 berdasarkan kelompok umur
pasien terbanyak adalah kelompok umur 65 tahun dengan jumlah 16 orang
(32 ) dan terendah adalah kelompok umur 36 45 tahun dan kelompok
3.
DAFTAR PUSTAKA
Asiam M (2003). Farmasi Klinis. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, hal: 76.
Asih & Effendy (2004). Keperawatan Medikal Bedah Klien Dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC
Davey, P (2006). At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga, hal: 174- 175.
Depkes RI (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Doenges, Marilynn (2006). Rencana Asuhan Keperawatan, edisi ke 3. Jakarta: EGC.
Jeremy PT (2007). At Glance Sistem Respirasi, edisi ke 2. Jakarta: Erlangga Medical
Series, hal 76-77.
Mandal BK, Wilkins EGL,dkk (2006). Lecture Notes Penyakit Infeksi, edisi ke 6.
Jakarta: Erlangga, hal : 46-50.
Manurung S, Surantum, dkk (2009). Gangguan Sistem Pernafasan Akibat Infeksi. CV.
Jakarta: Trans Info Media, hal: 93- 98.
Misnadiarly (2008). Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia Pada Anak Balita,
Orang Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Obor Populer, hal: 55- 60.
Muttaqin, A (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika, hal: 102- 108.
Robbins & Cotran (2006). Dasar Patologis Penyakit, edisi ke 7. Jakarta : EGC, hal:
446-448
Sudoyono & Aru W (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Padila (2013). Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika, hal:
281- 294.
Tjay TH & Raharja K (2007). Obat- Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan EfekEfek Sampingnya Edisi ke 6. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, hal 65-86.
Zul Dahlan (2009). Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke 2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.