You are on page 1of 25

REKOMENDASI

TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK


PADA ANAK
DIAGNOSIS
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:

1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio


protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:

1. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis


yang mengarah kepada infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,
1.1 trombosit, hematokrit, LED)
1.2 Albumin dan kolesterol serum
1.3 Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwartz
1.4 Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik
pemeriksaan
ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear
antibody), dan anti ds-DNA

BATASAN
Remisi. : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam)
3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
Relaps. : proteinuria 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu
Relaps jarang. : relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan
Relaps sering. (frequent relaps): relaps 2 x dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal atau 4 x dalam periode 1 tahun
Dependen steroid. : relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid
diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan
dihentikan
Resisten steroid. : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
Sensitif steroid. : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh
selama 4 minggu

TATA LAKSANA UMUM


Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di
rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid,
dan edukasi orangtua.

Sebelum pengobatan
pemeriksaan berikut:

steroid

dimulai,

dilakukan

pemeriksaan-

1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan


2. Pengukuran tekanan darah2.
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap
infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis
diberikan obat antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi
berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan
aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema
tidak berat, anak boleh sekolah.
Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi
karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme
protein
(hiperfiltrasi)
dan
menyebabkan
sklerosis
glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi
protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup
diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily
allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya
diperlukan selama anak menderita edema.
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya
diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik
hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih
dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium
darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya
terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1 g/dL), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam
untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan
pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu
dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelanpelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi de-

kompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan


selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. Skema pemberian
diuretik untuk mengatasi edema tampak pada Gambar 1.

Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2
mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari,
merupakan pasien imunokompromais.11 Pasien SN dalam keadaan ini dan
dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin
virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian
prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti
polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat
dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan
varisela.
PENGOBATAN DENGAN KORTIKOSTEROID
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal,
kecuali bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah
prednison atau prednisolon.
A. TERAPI INSIAL

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa


kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan
prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari)
dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung
sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan).
Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila
terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu
kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5
mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi
remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid (Gambar 2).

B. PENGOBATAN SN RELAPS
Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu
diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN
remisi yang mengalami proteinuria kembali ++ tetapi tanpa edema,
sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya
infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7
hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ++ disertai
edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai
diberikan.

Keterangan:
Pengobatan SN relaps: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai
remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison
intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu.
C. PENGOBATAN SN RELAPS SERING ATAU DEPENDEN STEROID
Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:

1. Pemberian steroid jangka panjang


2. Pemberian levamisol

3. Pengobatan dengan sitostatik


4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi 4.
terakhir)
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi,
radang telinga tengah, atau kecacingan.
1. Steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid,
setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid
dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan
perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis
tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps
yaitu antara 0,1 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis
threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba
dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan
prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1
mg/kgbb secara alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 0,5 mg/kgbb
alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb
dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah
remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara
alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai
satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps
yang sebelumnya atau relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating,
tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat
dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb
selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).
Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:
1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau
2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
a. Efek samping steroid yang berat
b. trombosis, dan sepsis diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis
2-3 mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama
4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik,
vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel.
3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.
Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari
dalam dosis tunggal (Gambar 4), maupun secara intravena atau puls
(Gambar 5). CPA puls diberikan dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang

dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA
puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi
pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual,
muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia,
dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena
itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin,
leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL,
hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan
sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL,
hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai 200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3
bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 0,3 mg/kg bb/hari selama 8
minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek
toksik berupa kejang dan infeksi.

Keterangan:
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu), kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis
500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6
bulan dan prednison intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari
selama 12 minggu. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1
mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari
selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
atau
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu), kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3
mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 12 minggu dan prednison alternating
(AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison
ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan
dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5
mg/kgbb/hari
(100-150
mg/m2
LPB).15
Dosis
tersebut
dapat
mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL.
Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan
dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi
atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali
(dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA
dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.
5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau
sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 1200
mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis
steroid selama 12 - 24 bulan.16 Efek samping MMF adalah nyeri abdomen,
diare, leukopenia.
Ringkasan tata laksana anak dengan SN relaps sering atau dependen
steroid dapat dilihat pada Gambar 6.

D. PENGOBATAN SN DENGAN KONTRAINDIKASI STEROID


Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid,
seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin,
infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls.
Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis ambar 6. Diagram
pengobatan SN relaps resing atau dependen steroid Keterangan:
1.Pengobatan steroid jangka panjang 2.Langsung diberi CPA 3.Sesudah
prednison jangka panjang, dilanjutkan dengan CPA 4.Sesudah jangka
panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA 11
Gambar 6. Diagram pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Keterangan:
1.
2.
3.
4.

Pengobatan steroid jangka panjang


Langsung diberi CPA
Sesudah prednison jangka panjang, dilanjutkan dengan CPA
Sesudah jangka panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA 2-3
mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA
oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500
750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%,
diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).

E. PENGOBATAN SN RESISTEN STEROID


Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya
dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena
gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis.
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat
menimbulkan remisi.16 Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi
dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian
prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif
kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi
remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali,
dapat diberikan siklosporin. Skema pemberian CPA oral dan puls dapat
dilihat pada Gambar 7.
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.
Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis,
hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi
tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan
terhadap:
Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 1.
nanogram/mL
Kadar kreatinin darah berkala2.
Biopsi ginjal setiap 2 tahun3.
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA
jarang atau sangat selektif.

3. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil
prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid
atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb
(maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan
dalam 2-4 jam.19 (Tabel 1)
Keterangan:
Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6
bulan
Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian
siklofosfamid oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1
mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari
selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan). atau
Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui
infus satu kali sebulan selama 6 bulan yang dapat dilanjutkan
tergantung keadaan pasien.
Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian
siklofosfamid puls (6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan
dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5
mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

Keterangan:
Dosis maksimum metilprednisolon 1000 mg; dosis maksimum
prednison oral 60 mg. Siklofosfamid (2-2,5 mg/kgbb/hari) atau klorambusil
(0,18-0,22 mg/kgbb/hari) selama 8-12 minggu dapat diberikan bila
proteinuria masif masih didapatkan setelah pemberian metilprednisolon
selama 10 minggu.
4. Obat imunosupresif lain
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS
adalah vinkristin,20 takrolimus,21 dan mikofenolat mofetil.22 Karena
laporan dalam literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan
studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi di Indonesia.

Skema tata laksana sindrom nefrotik selengkapnya seperti terlihat pada


Gambar 8.
PEMBERIAN OBAT NON-IMUNOSUPRESIF UNTUK MENGURANGI
PROTEINURIA
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin
receptor blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi
proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein
di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah
permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor
melalui penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-1 dan
plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin
penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. Pada SNSS
relaps, kadar TGF-1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS,
berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid
mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan
SNRS.23 Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI
dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak.
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS
dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB,
bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang
bisa digunakan adalah:
Golongan 1.
ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5
mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal
Golongan2.
ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal

PENDAHULUAN
Glomerulonefritis adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk menjelaskan berbagai
macam
penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi di glomerulus akibat suatu proses
imunologis.1 Istilah glomerulonefritis akut pasca infeksi termasuk grup yang besar dari dari
glomerulonefritis akut sebagai akibat dari bermacam-macam agen infeksi. 2 Pada
glomerulonefritis pasca infeksi, proses inflamasi terjadi dalam glomerulus yang dipicu oleh
adanya reaksi antigen antibodi, selanjutnya menyebabkan aktifasi lokal dari sistem komplemen
dan kaskade koagulasi. Kompleks imun dapat terjadi dalam sirkulasi atau in situ pada membran
basalis glomerulus.
Glomerulonefritis akut yang paling sering terjadi pada anak di negara berkembang adalah
setelah infeksi bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A, yaitu Glomerulonefritis Akut Pasca
infeksi Streptokokus (GNAPS). Manifestasi klinis yang paling sering dari GNAPS berupa
sindrom nefritik akut, manifestasi klinis lainnya dapat berupa sindrom nefrotik, atau
glomerulonefritis progresif cepat. Sindrom nefritis akut merupakan kumpulan gejala klinis
akibat penurunan secara tiba-tiba dari laju filtrasi glomerulus dengan disertai retensi air dan
garam, pada analisis urin ditemukan eritrosit, cast eritrosit dan albumin. Meskipun penyebab
umum (80%) dari sindrom nefris akut adalah GNAPS, tetapi karena penyebabnya beragam,
maka perlu difikirkan diagnosa diferensial yang lain. Pada penderita sindrom nefritik akut yang
mempunyai gambaran klinis klasik GNAPS harus dibedakan dengan penderita yang mempunyai
gambaran klinis unusual GNAPS. Gambaran klinis unusual tersebut adalah: riwayat keluarga
dengan glomerulonefritis, umur < 4 tahun dan > 15 tahun, mempunyai riwayat gejala yang sama
sebelumnya, ditemukan penyakit ekstrarenal (seperti arthritis, rash, kelainan hematologi),
ditemukan bukti bukan infeksi kuman streptokokus dan adanya gejala klinis yang mengarah ke
penyakit ginjal kronis/CKD (anemia, perawakan pendek, osteodistrofi, ginjal yang mengecil,
atau hipertrofi ventrikel kiri).
EPIDEMIOLOGI
GNAPS dapat terjadi secara sporadik ataupun epidemik. Biasanya kasus terjadi pada
kelompok
sosioekonomi rendah, berkaitan dengan higiene yang kurang baik dan jauh dari tempat
pelayanan kesehatan.2-4 Risiko terjadinya nefritis 5% dari infeksi kuman streptokokus beta
hemolitikus grup A yang menyerang tenggorokan sampai 25% yang menyerang kulit
(pioderma), sedangkan tanpa melihat tempat infeksi risiko terjadinya nefritis 10-15%. Rasio
terjadinya GNAPS pada pria dibanding wanita adalah 2:1. Penyakit ini terutama menyerang
kelompok usia sekolah 5-15 tahun, pada anak < 2 tahun kejadiannya kurang dari 5%.
Kejadian glomerulonefritis pasca streptokokus sudah mulai menurun pada negara maju,
namun masih terus berlanjut pada negara berkembang, penurunan kejadian GNAPS berkaitan
banyak faktor diantaranya penanganan infeksi streptokokus lebih awal dan lebih mudah oleh
pelayanan kesehatan yang kompeten.2 Di beberapa negara berkembang, glomerulonefritis pasca
streptokokus tetap menjadi bentuk sindroma nefritik yang paling sering ditemui. Attack rate dari
glomerulonefritis akut terlihat memiliki pola siklus, yaitu sekitar setiap 10 tahun.
PATOGENESIS
Mekanisme dari pathogenesis terjadinya jejas glomerulus pada GNAPS sampai sekarang
belum
diketahui, meskipun telah diduga terdapat sejumlah faktor host dan faktor kuman streptokokus
yang berhubungan dalam terjadinya GNAPS.
Faktor host
Penderita yang terserang infeksi kuman streptokokus grup A strain nefritogenik, hanya
10-15%

yang berkembang menjadi GNAPS, mengapa hal ini demikian masih belum dapat diterangkan,
tetapi diduga beberapa faktor ikut berperan. GNAPS menyerang semua kelompok umur dimana
kelompok umur 5-15 tahun (di Indonesia antara umur 2.5 15 tahun, dengan puncak umur 8.4
tahun) merupakan kelompok umur tersering dan paling jarang pada bayi. Anak laki-laki
menderita 2 kali lebih sering dibandingkan anak wanita. Rasio anak laki-laki dibanding anak
wanita adalah 76.4%:58.2% atau 1.3:1. GNAPS lebih sering dijumpai di daerah tropis dan
biasanya menyerang anak-anak dari golongan ekonomi rendah.
Di Indonesia 68.9% berasal dari keluaga sosial ekonomi rendah dan 82% dari keluarga
berpendidikan rendah. Keadaan lingkungan yang padat, higiene sanitasi yang jelek, malnutrisi,
anemia, dan infestasi parasit, merupakan faktor risiko untuk GNAPS, meskipun kadang-kadang
outbreaks juga terjadi dinegara maju. Faktor genetik juga berperan, misalnya alleles HLA-DRW4,
HLA-DPA1 dan HLA-DPB1 paling sering terserang GNAPS.
Faktor kuman streptokokus
Proses GNAPS dimulai ketika kuman streptokokus sebagai antigen masuk kedalam tubuh
penderita,yang rentan, kemudian tubuh memberikan respon dengan membentuk antibodi. Bagian
mana dari kuman streptokokus yang bersifat antigen masih belum diketahui. Beberapa penelitian
pada model binatang dan penderita GNAPS menduga yang bersifat antigenik adalah: M protein,
endostreptosin, cationic protein, Exo-toxin B, nephritis plasmin-binding protein dan
streptokinase.3 Kemungkinan besar lebih dari satu antigen yang terlibat dalam proses ini,
barangkali pada stadium jejas ginjal yang berbeda dimungkinkan akibat antigen M protein dan
streptokinase.3,7
Protein M adalah suatu alpha-helical coiled-coil dimer yang terlihat sebagai rambutrambut
pada permukaan kuman. Protein M menentukan apakah strain kuman tersebut bersifat
rematogenik atau nefritogenik. Strain nefritogenik dibagi menjadi serotype yang berkaitan
dengan faringitis (M 1, 4, 12, 25) dan serotipe infeksi kulit (M 2, 42, 49, 56, 57, 60). 2,3,8
Streptokinase adalah protein yang disekresikan oleh kuman streptokokus, terlibat dalam
penyebaran kuman dalam jaringan karena mempunyai kemampuan memecah plasminogen
menjadi plasmin. Streptokinase merupakan prasarat terjadinya nefritis pada GNAPS. 3
Saat ini penelitian lebih menitikberatkan terhadap protein M yang terdapat pada
streptokokus sebagai tipe nefritogenik yang dapat menyebabkan kerusakan glomerulus. Selain
itu penelitian-penelitian terahir menemukan adanya dua fraksi antigen, yaitu nephritis associated
plasmin receptor (NAPlr) yang diidentifikasi sebagal glyceraldehide 3-phosphate dehydrogenase
(GAPDH) dan streptococcal pyrogenic exotoxin B (SPEB) sebagai fraksi yang menyebabkan
infeksi nefritogenik. NAPlr dan SPEB didapatkan pada biopsi ginjal dini dan menyebabkan
terjadinya respon antibodi di glomerulus. Penelitian terbaru pada pasien GNAPS
memperlihatkan deposit SPEB di glomerulus lebih sering terjadi daripada deposit NAPlr.
Mekanisme terjadinya jejas renal pada GNAPS
GNAPS adalah suatu penyakit imunologik akibat reaksi antigen-antibodi yang terjadi
dalamsirkulasi atau in situ dalam glomerulus. Mekanisme terjadinya inflamasi yang
mengakibatkan terjadinya jejas renal didahului oleh proses sebagai berikut:
1. Terbentuknya plasmin sebagai akibat pemecahan plasminogen oleh streptokinase yang akan
menaktivasi reaksi kaskade komplemen.
2. Terperangkapnya kompleks Ag-Ab yang sudah terbentuk sebelumnya kedalam glomerulus.
3. Antibodi antistreptokokus yang telah terbentuk sebelumnya berikatan dengan molekul tiruan
(molecul mimicry) dari protein renal yang menyerupai Ag Streptokokus (jaringan glomerulus
yang normal yang bersifat autoantigen).
Proses terjadinya jejas renal pada GNAPS diterangkan pada gambar dibawah ini:

Sistem imun humoral dan kaskade komplemen akan aktif bekerja apabila terdapat deposit
subepitel C3 dan IgG dalam membran basal glomerulus. Kadar C3 dan C5 yang rendah dan
kadar komplemen jalur klasik (C1q, C2 dan C4) yang normal menunjukkan bahwa aktivasi
komplemen melalui jalur alternatif. Deposisi IgG terjadi pada fase berikutnya yang diduga oleh
karena Ab bebas berikatan dengan komponen kapiler glomerulus, membran basal atau terhadap
Ag Streptokokus yang terperangkap dalam glomerulus. Aktivasi C3 glomerulus memicu aktivasi
monosit dan netrofil. Infiltrat inflamasi tersebut secara histologik terlihat sebagai
glomerulonefritis eksudatif. Produksi sitokin oleh sel inflamasi memperparah jejas glomerulus.
Hiperselularitas mesangium dipacu oleh proliferasi sel glomerulus akibat induksi oleh mitogen
lokal.
Mekanisme cell-mediated turut terlibat dalam pembentukan GNAPS. Infiltrasi
glomerulus oleh sel limfosit dan makrofag, telah lama diketahui berperan dalam menyebabkan
GNAPS. Intercellular leukocyte adhesion molecules seperti ICAM-I dan LFA terdapat dalam
jumlah yang banyak di glomerulus dan tubulointersisial dan berhubungan dengan intensitas

infiltrasi dan inflamasi. Hipotesis lain yang sering disebut adalah adanya neuraminidase yang
dihasilkan oleh Streptokokus, mengubah IgG menjadi autoantigenic sehingga terbentuk
autoantibodi terhadap IgG itu sendiri. Pada pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks
imun, ditemukan endapan-endapan terpisah atau gumpalan karateristik pada mesangium,
subendotel, dan epimembranosa.
Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola nodular atau granular serupa, dan
molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta komponen-komponenkomplomen seperti C3,C4
dan C2 sering dapat diidentifikasi dalam endapan-endapan ini.
Hasil penelitian-penelitian pada binatang dan penderita GNAPS menunjukkan adanya
kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab, diantaranya sebagai berikut:
1. Terperangkapnya kompleks antigen-antibodi dalam glomerulus yang kemudian akan
merusaknya.
2. Proses auto-imun kuman Streptokokus yang bersifat nefritogenik dalam tubuh
menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus.
3. Streptokokus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen antigen
yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrana basalis
glomerulus.
Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks yang
dideposit. Bila deposit pada mesangium respon mungkin minimal, atau dapat terjadi perubahan
mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan matrik yang dapat meluas diantara sel-sel
endotel dan membran basalis, serta menghambat fungsi filtrasi glomerulus. Jika kompleks
terutama terletak di subendotel atau subepitel, maka respon cenderung berupa glomerulonefritis
difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel. Pada kasus deposit komplek imun di
subepitel, maka respon peradangan dan proliferasi menjadi kurang nyata, dan membran basalis
glomerulus berangsur-angsur menebal dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam
membran basalis glomerulus.
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit kompleks
imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun demikian ukuran dari
kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan utama. Kompleks-kompleks kecil
cenderung menembus membran basalis kapiler, mengalami agregasi, dan berakumulasi
sepanjang dinding kapiler di bawah epitel, sementara kompleks-kompleks berukuran sedang
tidak sedemikian mudah menembus membran basalis, tapi masuk ke dalam mesangium.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis GNAPS terjadi secara tiba-tiba, 714 hari setelah infeksi saluran nafas
(faringitis), atau 3-6 minggu setelah infeksi kulit (piodermi) . Gambaran klinis GNAPS sangat
bervariasi, kadang-kadang gejala ringan atau tanpa gejala sama sekali, kelainan pada urin
ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan rutin. Pada anak yang menunjukkan gejala berat,
tampak sakit parah dengan manifestasi oliguria, edema, hipertensi, dan uremia dengan
proteinuria, hematuria dan ditemukan cast. Kerusakan pada dinding kapiler gromelurus
mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan albuminuria., Gejala overload
cairan berupa sembab (85%), sedangkan di Indonesia 76.3% kasus menunjukkan gejala sembab
orbita dan kadang-kadang didapatkan tanda-tanda sembab paru (14%), atau gagal jantung
kongestif (2%). Hematuria mikroskopik ditemukan pada hampir semua pasien (di Indonesia
99.3%).6 Hematuria gros (di Indonesia6 53.6%) terlihat sebagai urin berwarna merah kecoklatan
seperti warna coca-cola.
Penderita tampak pucat karena anemia akibat hemodilusi. Penurunan laju filtrasi
glomerulus biasanya ringan sampai sedang dengan meningkatnya kadar kreatinin (45%).
Takhipnea dan dispnea yang disebabkan kongesti paru dengan efusi pleura sering ditemukan pada
penderita glomerulonefritis akut. Takikardia, kongesti hepar dan irama gallop timbul bila terjadi
gagal jantung kongesti. Proteinuria (di Indonesia 98.5%) biasanya bukan tipe proteinuria nefrotik.
Gejala sindrom nefrotik dapat terjadi pada kurang dari 5% pasien. 3,6 Hipertensi ringan sampai

sedang terlihat pada 60-80% pasien ( di Indonesia 61.8%) yang biasanya sudah muncul sejak
awal penyakit.
Tingkat hipertensi beragam dan tidak proporsional dengan hebatnya sembab.
Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal, maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa
minggu dan menjadi permanen bila keadaan penyakitnya menjadi kronis. Hipertensi selalu
terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin hanya sedang. Hipertensi terjadi akibat
ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau akibat vasospasme masih belum diketahui dengan
jelas.
Kadang-kadang terjadi krisis hipertensi yaitu tekanan darah mendadak meningkat tinggi
dengan tekanan sistolik > 200 mm Hg, dan tekanan diastolik > 120 mmHg. Sekitar 5% pasien
rawat inap mengalami ensefalopati hipertensi (di Indonesia 9.2%), dengan keluhan sakit kepala
hebat, perubahan mental, koma dan kejang. 3,6 Patogenesis hipertensi tidak diketahui, mungkin
multifaktorial dan berkaitan dengan ekspansi volume cairan ekstraseluler. Ensefalopati
hipertensi meskipun jarang namun memerlukan tindakan yang cepat dan tepat untuk
menyelamatkan nyawa pasien. Kadang kadang terdapat gejala-gejala neurologi karena vaskulitis
serebral, berupa sakit kepala dan kejang yang bukan disebabkan karena ensefalopati hipertensi.
Adanya anuria, proteinuria nefrotik, dan penurunan fungsi ginjal yang lebih parah, mungkin
suatu glomerulonefritis progresif cepat yang terjadi pada 1% kasus GNAPS.
Gejala-gejala GNAPS biasanya akan mulai menghilang secara spontan dalam 1-2
minggu. Kelainan urin mikroskopik termasuk proteinuria dan hematuria akan menetap lebih lama
sekitar beberapa bulan sampai 1 tahun atau bahkan lebih lama lagi. 3 Suhu badan tidak beberapa
tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada hari pertama. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak
nafsu makan, konstipasi dan diare tidak jarang menyertai penderita GNA.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urinalisis
Pada pemeriksaan urin rutin ditemukan hematuri mikroskopis ataupun makroskopis
(gros),proteinuria. Proteinuri biasanya sesuai dengan derajat hematuri dan berkisar antara
sampai 2+ (100 mg/dL). Bila ditemukan proteinuri masif (> 2 g/hari) maka penderita
menunjukkan gejala sindrom nefrotik dan keadaan ini mungkin ditemukan sekitar 2-5% pada
penderita GNAPS. Ini menunjukkan prognosa yang kurang baik. Pemeriksaan mikroskopis
sedimen urin ditemukan eritrosit dismorfik dan kas eritrosit, kas granular dan hialin (ini
merupakan tanda karakteristik dari lesi glomerulus) serta mungkin juga ditemukan leukosit.
Untruk pemeriksaan sedimen urin sebaiknya diperiksa urin segar pagi hari.
Darah
Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda gagal ginjal
seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Komplemen C3 rendah pada
hampir semua pasien dalam minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit,
sedangkan kadar properdin menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan aktivasi
jalur alternatif komplomen.1,2,5 Penurunan C3 sangat mencolok pada penderita GNAPS kadar
antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg.dl). Penurunan komplemen C3 tidak berhubungan
dengan derajat penyakit dan kesembuhan. Kadar komplemen C3 akan mencapai kadar normal
kembali dalam waktu 6-8 minggu.
Bila setelah waktu tersebut kadarnya belum mencapai normal maka kemungkinan
glomerulonefritisnya disebabkan oleh yang lain atau berkembang menjadi glomerulonefritis
kronik atau glomerulonefritis progresif cepat. Anemia biasanya berupa normokromik normositer,
terjadi karena hemodilusi akibat retensi cairan. Di Indonesia 61% menunjukkan Hb < 10 g/dL.
Anemia akan menghilang dengan sendirinya setelah efek hipervolemiknya menghilang atau
sembabnya menghilang. Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan
tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba sebelumnya.

Beberapa uji serologis terhadap antigen streptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya
infeksi, antara lain
antistreptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining antistreptozim cukup
bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap beberapa antigen streptokokus.
Titer anti streptolisin O mungkin meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS dengan
faringitis, meskipun beberapa strain streptokokus tidak memproduksi streptolisin O, sebaiknya
serum diuji terhadap lebih dari satu antigen streptokokus. Bila semua uji serologis dilakukan,
lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi streptokokus, titer ASTO meningkat pada
hanya 50% kasus. Pada awal penyakit titer antibodi streptokokus belum meningkat, hingga
sebaiknya uji titer dilakukan secara serial. Kenaikan titer 2-3 kali berarti adanya infeksi.
Pencitraan
Gambaran radiologi dan USG pada penderita GNAPS tidak spesifik. Foto toraks
umumnya menggambarkan adanya kongesti vena sentral daerah hilus, dengan derajat yang sesuai
dengan meningkatnya volume cairan ekstraseluler. Sering terlihat adanya tanda-tanda sembab
paru (di Indonesia 11.5%), efusi pleura (di Indonesia 81.6%), kardiomegali ringan (di Indonesia
80.2%), dan efusi perikardial (di Indonesia 81.6%). Foto abdomen dapat melihat adanya asites.
Pada USG ginjal terlihat besar dan ukuran ginjal yang biasanya normal. Bila terlihat
ginjal yang kecil, mengkerut atau berparut, kemungkinannya adalah penyakit ginjal kronik yang
mengalami eksaserbasi akut. Gambaran ginjal pada USG menunjukkan peningkatan
echogenisitas yang setara dengan echogenisitas parenkhim hepar. Gambaran tersebut tidak
spesifik dan dapat ditemukan pada penyakit ginjal lainnya.
DIAGNOSIS
Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada pasien dengan
gejala klinis berupa hematuri makroskopis (gros) yang timbul mendadak, sembab dan gagal
ginjal akut, yang timbul setelah infeksi streptokokus. Tanda glomerulonefritis yang khas pada
urinalisis,
bukti adanya infeksi streptokokus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3
mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis. 1,4,5 Beberapa keadaan lain dapat menyerupai
glomerulonefritis akut pascastreptokok pada awal penyakit, yaitu nefropati-IgA dan
glomerulonefritis kronik.
Anak dengan nefropati-IgA sering menunjukkan gejala hematuria nyata mendadak segera
setelah infeksi saluran napas atas seperti glomerulonefritis akut pascastreptokok, tetapi hematuria
makroskopik pada nefropati-IgA terjadi bersamaan pada saat faringitis, sementara pada
glomerulonefritis akut pascastreptokok hematuria timbul 7-14 hari setelah faringitis, sedangkan
hipertensi dan sembab jarang ditemukan pada nefropati-IgA. Glomerulonefritis kronik lain juga
menunjukkan gambaran klinis berupa hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal
ginjal. Beberapa glomerulonefritis kronik yang menunjukkan gejala tersebut adalah
glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus, dan glomerulonefritis proliferatif
kresentik. Perbedaan dengan GNAPS sulit diketahui pada awal penyakit.
Pada GNAPS perjalanan penyakitnya cepat membaik (hipertensi, sembab dan gagal
ginjal akan cepat pulih). Pola kadar komplemen C3 serum selama pemantauan merupakan tanda
(marker) yang penting untuk membedakan dengan glomerulonefritis kronik yang lain. Kadar
komplemen C3 serum kembali normal dalam waktu 6-8 minggu pada GNAPS sedangkan pada
glomerulonefritis yang lain tetap rendah dalam waktu yang lama. Eksaserbasi hematuria
makroskopis sering terlihat pada glomerulonefritis kronik akibat infeksi karena streptokok dari
strain non-nefritogenik lain, terutama pada glomerulonefritis membranoproliferatif. Pasien
GNAPS tidak perlu dilakukan biopsi ginjal untuk menegakkan diagnosis; tetapi bila tidak terjadi
perbaikan fungsi ginjal dan terdapat tanda sindrom nefrotik yang menetap atau memburuk,
biopsi ginjal merupakan indikasi.
DIAGNOSIS BANDING

GNAPS harus dibedakan dengan beberapa penyakit glomerulonefritis penyebab lainnya,


yaitu:
Henoch-Schonlein purpura, IgA nephropathy, MPGN, SLE, ANCA-positive vasculitis. Untuk
ASPGN HSP Nefropati IgA MPGN SLE ANCA -positive vasculitis. Untuk membedakan seperti
yang terdapat dalam tabel dibawah ini:

Diagnosis DBD WHO 1997


Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila
semua hal ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif;
petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan
melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan
jenis kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:
Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan
perdaran lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur.
Keempat derajat tersebut ditunjukkan pada gambar 3.
Gambar 3. Patogenesis dan spektrum klinis DBD (WHO, 1997)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar
hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3).
Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya
demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan
terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis
(PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat
dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin. Untuk
membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di
antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah
metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga
laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 12 minggu), serta
biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang
dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik
virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction

(RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan


lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini
juga relatif mahal serta mudah mengalami
kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu.
Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan
serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.
Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai
minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG
mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi
sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2. Salah satu metode
pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan
antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1).
Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus
Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai
berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah
kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat
terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12
demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi
sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga
dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan
100%). Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan
pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk
pelayanan primer.
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus
kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama
pada hemitoraks
kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat
ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan USG.
Lampiran Gambar :

You might also like