You are on page 1of 59

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian hibah pasca, baik penelitian yang sudah selesai, maupun penelitian
sedang dilakukan ini, mengacu kepada berbagai referensi yang berhubungan dengan
masing-masing penelitian yang dilakukan. Referensi tersebut pada umumnya diperoleh
dari thesis yang sudah ada atau yang sudah pernah dilakukan dan berhubungan dengan
materi yang dipilih. Selain itu referensi juga diperoleh dari jurnal-jurnal dan berbagai
referensi lain yang mendukung. Berikut adalah tinjauan pustaka yang digunakan sebagai
referensi untuk masing-masing jenis penelitian.

2.1 Teori Penunjang


2.1.1 Pegas
Pegas diterapkan dalam berbagai bentuk dan dalam banyak konstruksi.
Penggunaan pegas adalah agar suatu konstruksi berfungsi dengan baik, bukan suatu hal
yang mutlak, melainkan suatu pilihan sehubungan dengan pembuatan dan biaya. Sifat
pegas yang terpenting ialah kemampuannya menerima kerja lewat perubahan bentuk
elastik dan ketika mengendur. Pada Gambar 2.1 dapat dilihat kondisi pegas sebelum
diberikan beban.

Gambar 2.1. Pegas sebelum diberi beban

Pegas yang panjang awalnya adalah L0 dengan kekakuan pegas adalah k, jika
diberikan beban sebesar F, maka akan terjadi pertambahan panjang pada pegas sebesar
x (Gambar 2.2). Besarnya pertambahan panjang pegas berbanding lurus dengan besar
gaya yang diberikan dan dapat dirumuskan:

F = k .x

.................................................................................................(2.1)

Gambar 2.2. Pegas saat diberi beban tarik

Hubungan antara gaya dan pertambahan panjang pada pegas dapat ditunjukkan
pada diagram pegas (Gambar 2.3), pada sumbu horisontal adalah perpindahan (x) dan
sumbu vertikal adalah gaya (F).

Gambar 2.3. Diagram pegas

Garis a pada Gambar 2.3 adalah karakteristik dari sebuah pegas, garis b adalah
karakteristik suatu pegas yang lebih kaku, dan garis c adalah karakteristik sebuah pegas
yang kekakuannya lebih rendah. Berarti dari Gambar 2.3 dan persamaan (2.1) dapat
dituliskan rumusan kekakuan pegas:
k=

F
x

....................................................................................................(2.2)

2.1.2. Persamaan gerak benda


Sebuah benda berada dalam keadaan diam (v0 = 0) kemudian setelah bergerak
sejauh s kecepatannya menjadi vt, maka besar percepatan yang terjadi pada benda
tersebut (Gambar 2.4) dapat dirumuskan:

a =

v2
vt2 - v02
= t
2.s
2.s

.....................................................................(2.3)

Gambar 2.4. Gerak benda dengan percepatan

Sebuah benda dengan massa m yang terikat dengan sebuah pegas apabila ditarik
dengan gaya sebesar F = m.a, maka pegas akan memberikan gaya perlawanan yang
sama besarnya dengan gaya F yaitu Fp = k.x, sehingga berlaku hukum kesetimbangan
gaya (Gambar 2.5) yaitu:
F = m.a

...................(2.3)

Fp = m.a
k.x = m.a
Jika besar percepatan yang diinginkan adalah sebesar a dan pertambahan panjang
(displacement) pegas sebesar x, maka besar kekakuan pegas yang dihasilkan adalah:
k=

m . a
x

........................(2.4)

Gambar 2.5. Gerak suatu benda dan gaya perlawanan pegas

2.1.3. Pegas tarik (extension springs)


Dalam perancangan pegas, kekakuan sebuah pegas dapat ditentukan dengan
menggunakan rumus berikut:

G.d 4
k=
8nD 3

..............................................................................................(2.5)

Gambar 2.6. Dimensi pegas

Keterangan simbol persamaan (2.5):


Fp = gaya pegas

D = diameter pegas

G = modulus geser pegas

n = jumlah lilitan pegas

d = diameter coil pegas

k = kekakuan pegas

Perbedaan antara pegas tarik dengan pegas tekan terletak pada arah pembebanan
yang terjadi. Pada pegas tekan, arah gaya yang bekerja dalam bentuk kompresi (tekan)
menuju ke dalam pegas, sedangkan pegas tarik arah gaya yang bekerja menuju ke luar
dari pegas (aksial) (Gambar 2.7).

Gambar 2.7. Pegas tarik

10

Besar tegangan tarik maksimum yang terjadi pada A akibat beban bending dan
beban aksial dapat dirumuskan:

A = F. (K ) A

16D
4
3 +
.d
.d 2

. (2.6)

Harga faktor koreksi tegangan akibat momen (K)A diperoleh dari:


(K)A =
C1 =

4C12 + C1 + 1
, dengan
4C1 (C1 + 1)

2.r1
d

..................................................................(2.7)

....................................................(2.8)

Besar tegangan geser maksimum yang terjadi pada titik B diberikan oleh:

A = (K ) B

8F .D
.d 3

........(2.9)

Harga faktor koreksi tegangan (K)B diperoleh dari:


(K)B =
C2 =

4C 2 + 1
, dengan
4C 2 + 4

2.r2
d

............................................................................(2.10)

......................................................(2.11)

Gambar 2.8. Diagram tegangan dan defleksi pada pegas tarik

18

Gambar 2.9. Geometri pegas tarik

Dari Gambar 2.8 dapat dirumuskan hubungan antara beban dengan defleksi:
F = Fi + ky

...........................................................................................(2.12)

Panjang pegas (free length) L0 dapat dihitung dari rumus:


L0 = 2(D d) + (Nb + 1)d = (2C 1 + Nb)d

......................................(2.13)

Jumlah lilitan aktif pegas diperoleh dari rumus:


Na = Nb +

G
E

................................................................................(2.14)

Gambar 2.10. Tegangan torsional dan tegangan inisial sebagai fungsi indeks C pegas tarik

19

Dari Gambar 2.10 daerah yang diinginkan (preferred range) dapat ditunjukkan
besar tegangan torsional (uncorrected):

i =

33500
C -3
1000(4 ) psi
exp(0.105 C)
6.5

................................................(2.15)

Keterangan simbol rumus persamaan (2.12) sampai (2.15):


F = gaya yang bekerja pada pegas
Fi = tegangan inisial (initial tension)
D = diameter pegas
d = diameter kecil pegas (coil
diameter)
r1 dan r2 lihat Gambar 2.7
Na = jumlah lilitan aktif pegas
(number of active helical)
Nb = jumlah lilitan pegas (number of
body coils)
C=

D
= perbandingan diameter
d

pegas dengan diameter coil pegas


k = konstanta pegas (spring rate)
G = modulus geser pegas
E = modulus elastis pegas

2.1.4. Analisis kegagalan pegas


Setiap benda atau material apabila bekerja padanya beban secara terus menerus
atau beban berlebih, maka material tersebut suatu saat akan mengalami kegagalan
karena kemampuan material tersebut lama kelamaan akan semakin menurun.
Agar suatu material masih dapat bekerja dengan baik, maka hendaklah besar
tegangan yang bekerja padanya tidak boleh melebihi kemampuan (strength)
material tersebut. Dari Gambar 2.7, pegas dikatakan aman pada A, apabila besar

20

tegangan tarik maksimum yang terjadi tidak melebihi tegangan luluh (yield
stress) material pegas:
A

Sy
nA

...............................................................................................(2.16)

Demikian juga analisis pada titik B (Gambar 2.7), tegangan geser maksimum
yang terjadi tidak boleh melebihi tegangan geser luluh pegas:

( S sy ) B
nB

......................................................................................(2.17)

Dimana:
n A, nB = nilai faktor keamanan (safety factor)

Besar tegangan luluh pegas (yield stress):

S y = 0.75.S ut ..................................................................................(2.18)

Besar tegangan geser luluh (torsional shear):


S sy = 0,45 S ut ...................................................................................(2.19)

Besar tegangan ultimate (ultimate tensile stress):


S ut =

A
dm

..............................................................................................(2.20)

Nilai A dan m diperoleh dari Tabel A1 (Lampiran A) untuk nilai d yang dipilih
atau yang ditentukan.
2.1.5 Tumbukan elastis dua buah benda
Suatu benda bermassa m yang bergerak dengan kecepatan v, maka besar
momentum benda tersebut dapat dirumuskan:
Momentum = m.v

.................................................................................(2.21)

21

Gambar 2.11. Tumbukan elastis dua buah benda

Dua buah benda yang bermassa m1 dan m2 masing-masing bergerak


dengan kecepatan awal u 1 dan u 2, pada saat selama tumbukan kecepatan kedua
benda adalah v dan setelah tumbukan kecepatan kedua benda menjadi v1 dan v2
(Gambar 2.11). Berdasarkan

hukum kekekalan momentum yaitu momentum total kondisi awal sama dengan
momentum total kondisi akhir, maka dapat dirumuskan:
m1u1 + m2u 2 = m1v1 + m2v2 ....................................................................(2.22)

Perubahan momentum pada fase pertama (Gambar 2.11a) untuk benda pertama:
M1 = m1(v1 v)

................................................................................(2.23)

Perubahan momentum pada fase kedua (Gambar 2.11b) untuk benda pertama:
M1 = m1(v u1)

...............................................................................(2.24)

Dari persamaan (2.23) dan (2.24) diperoleh kecepatan benda pertama setelah
tumbukan:
v1 = 2.v u 1

.........................................................................................(2.25)

Dengan cara yang sama, maka diperoleh kecepatan benda kedua setelah
tumbukan:
v2 = 2.v u 2

.........................................................................................(2.26)

Dari persamaan (2.25) dan (2.36) diperoleh hubungan:

22

v1 v2 = (u1 u2) = (u1 u 2)

..............................................................(2.27)

Dari persamaan (2.27) dapat dilihat bahwa kecepatan relatif dari kedua
benda sesudah tumbukan adalah sama dan berlawanan terhadap kecepatan relatif
kedua benda sebelum tumbukan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedua
benda tidak terjadi tumbukan elastik sempurna karena kecepatan relatif kedua
benda sesudah tumbukan selalu lebih kecil dari kecepatan relatif kedua benda
sebelum tumbukan.
Perbandingan kecepatan relatif benda sesudah tumbukan dengan kecepatan
relatif benda sebelum tumbukan disebut coefisient restitution dan dapat
dirumuskan:
e=

v1 - v 2
v -v
v -v
= 1 2 = 2 1
(u1 - u 2 )
u 2 - u1
u1 - u 2

...................................................(2.28)

2.1.6. Gerak lurus berubah beraturan


Suatu benda yang bergerak dengan kecepatan awal v0 dan setelah
menempuh jarak sejauh s dalam waktu t dengan percepatan a, maka kecepatan
akhir benda dapat dirumuskan:

vt=v0at ......................................................................................(2.29)
vt2=v022as ...............................................................................(2.30)
Sedangkan jarak yang ditempuh suatu benda yang bergerak dengan kecepatan
awal v0 dengan percepatan a dalam waktu t dapat dirumuskan:
s = v0.t

1 2
at
2

.....................................................................................(2.31)

2.1.7. Hubungan antara energi tumbukan dengan kecepatan tumbukan


Suatu benda dengan massa m1 yang bergerak dengan kecepatan v '1 ,
apabila menumbuk sebuah benda yang lain (m2), maka besar energi benda m1
sesaat hendak menumbuk benda tersebut adalah:

23

1
Ek= m1 (v'1 ) 2 ....................(2.32)
2

Gambar 2.12. Gerak benda pertama menumbuk benda kedua

2.1.8. Hubungan kecepatan tumbukan dengan defleksi


Peristiwa kecelakaan atau tabrakan kendaraan bermotor menyebabkan
pengendara terlempar dengan kecepatan tertentu dan akhirnya badan atau kepala
akan membentur aspal/tanah yang diam. Pada pengujian ini diasumsikan
headform dan helm yang dibuat diam sedangkan beban (penumbuk) yang
bergerak menumbuk helm. Pemodelan kasus ini dapat dilihat seperti Gambar
2.13, dimana headform (helm) sebagai massa m2 yang
memiliki kecepatan nol (diam), dan penumbuk dengan massa m1 yang bergerak
menumbuk helm dengan kecepatan v1' .

Gambar 2.13. Beban menumbuk helm (headform)

24

Dengan pemodelan sederhana yang ditunjukkan pada Gambar 2.13


diasumsikan bahwa busa helm adalah sistem pegas (spring)

yang memiliki

konstanta kekakuan busa (k) dan kepala diasumsikan sebagai headform.


Keterangan simbol rumus dan Gambar 2.13:
v1 = kecepatan awal penumbuk yang dilepaskan pelontar
v1' = kecepatan penumbuk saat hendak mengenai permukaan helm

v = kecepatan kedua benda saat bersamaan (menyatu) atau selama menempuh


jarak d

v1" = kecepatan penumbuk setelah menempuh jarak d (berhenti, bernilai nol)


v2, v 2' , v 2" = kecepatan helm (headform) bernilai nol (setiap keadaan selalu diam)
k = konstanta kekakuan busa helm
xo = tebal busa helm
x1 = tebal busa ketika terdesak beban (penumbuk)
x0 x1 = x = defleksi pegas (foam) akibat tumbukan
s = jarak beban (penumbuk) dengan permukaan helm
Peristiwa pada saat helm terdesak oleh beban (penumbuk), maka besar koefisien
restitusi bernilai nol (e = 0, elastis sempurna) karena kecepatan benda masssa 1
dengan massa 2 sama (menyatu) dengan kecepatan v. Dari kondisi ini, maka
berlaku hukum kekekalan momentum:
m1 v1' +m2 v 2' =(m1+m2).v

..............................................................(2.33)

Dengan mensubstitusikan nilai v 2' = 0, maka diperoleh kecepatan kedua benda


saat bersamaan:
v=

m1v1'
m1 + m2

..................................................................................(2.34)

Persamaan perpindahan (displacement) penumbuk dengan shell (helm) dapat


dirumuskan:
d=

x02 +

v 02
x0 .
2 . sin .t + arctan

v0

25

..................................................(2.35)

Dimana:
x0 = perpindahan awal = 0
v0 = v = kecepatan peluru bersama
helm (m/s)
t = waktu tempuh perpindahan (s)
= kecepatan sudut (rad/s)

Besar frekuensi natural dihitung dari rumus:


=

k
m

......................................................................................(2.36)

Percepatan yang terjadi pada headform adalah turunan kedua persamaan (2.35),
dan dengan memasukkan nilai x0 = 0, maka:
..

d = a = -v..sin(.t)

............................................................................(2.37)

Besar nilai percepatan maksimum diperoleh jika nilai sin(.t) = -1, sehingga:

a=v. ............................................................................................(2.38)
Besar durasi waktu selama tumbukan dihitung dari rumus:

t=

v - v1 '
.......................................................................................(2.39)
a

Jarak yang ditempuh penumbuk bersama helm yang bergerak bersamaan


(menyatu) dapat dihitung dari persamaan (2.35) dengan x0 = 0, v0 = v sebesar:

d=

v0
sin( t ) ...........................................................................................(2.40)

2.1.9 Screw
Perancangan screw disesuaikan dengan besar beban yang bekerja
padanya. Pada screw akibat beban yang bekerja akan terjadi tegangan-tegangan

26

baik dar tegangan yang paling kecil sampai tegangan kritis. Tegangan-tegangan
yang terjadi dapat dilihat seperti Gambar 2.13 dan terjadi pada titik-titik tertentu.

Gambar 2.14. Titik kritis dan tegangan pada screw

Besar tegangan yang terjadi di titik kritis A dapat dirumuskan:


B = pB =

W
W
.......................................................(2.41)
=
2
Ap (ro - rr2 )n e

Besar tegangan yang terjadi di titik kritis B dapat dirumuskan:

Tegangan geser torsional

s =

(Tr - Tcf )rr


Jr

(Tr - Tcf )rr


4
r

( r / 4)

4(Tr - Tcf )
rr3

..............................................(2.42)

Dimana:
Tr = W .rp .

2rp cos - L l

.........................................................(2.42a)

+ Wrc c

Tegangan yang disebut direct stress

dir =

L cos + 2rp l

W
W
=
Ar
.rr2

......................................................................................(2.43)

Tegangan geser maksimum transverse:

27

r ,maks =

3W 3
W
3W
=
=
...........................................(2.44)
2 Atr 2 2r r .nc ( p / 2) 2rr p.n e

Besar tegangan yang terjadi di titik kritis C dapat dirumuskan:


b =

Mc 12W (rp - rr )
=
I
rr n e p 2

.....................................................................(2.45)

Dimana:
W = beban yang bekerja
ro = radius luar ulir
rr = root radius ulir
ne = jumlah ulir efektif yang bekerja
Tr = Torsi untuk menaikkan beban
Tr = Torsi penahan gesekan
p = pitch ulir

2.2 Studi Hasil Penelitian Sebelumnya


2.1 Teori Penunjang
Perancangan dan pembuatan alat uji impak helm yang sudah pernah dibuat dilakukan
oleh:
1. R. Yulianto dari ITS Surabaya pada tahun 2006 telah merancang alat uji impak
helm sepeda motor. Alat yang dibuatnya menggunakan unit kontrol berupa
loadcell, strain amplifier dan plotter untuk mengukur besar beban impak yang
diserap oleh kepala saat terjadi benturan. Output pengujian berupa besar
simpangan garis yang diplot di kertas milimeter blok. Peralatan ini cukup mahal
dan sangat rentan terhadap kerusakan terutama komponen loadcell. Untuk
membaca hasil pengujian alat uji ini dilakukan secara manual yaitu dengan
mengukur panjang simpangan yang tercatat pada kertas milimeter, kemudian
dikonversikan kedalam persamaan kalibrasi untuk mendapatkan nilai beban
yang terjadi. Pengolahan data ini memerlukan waktu yang panjang dan

28

pembacaan simpangan pada kertas milimeter blok harus sangat cermat karena
jika terjadi kesalahan kecil pada pembacaan tersebut akan mengakibatkan hasil
uji yang berbeda.
2. Utsman Syah Amrullah ITS tahun 2006 juga telah merancang alat uji impak
helm sepeda motor. Ia mengembangkan alat uji impak berbasis komputer.
Output pengujian disimpan di komputer dan grafik percepatan dapat ditampilkan
secara real time sehingga hasil uji impak dapat langsung di lihat di layar
monitor. Adapun mekanisme kerja alat uji impaknya adalah dengan memasang
helm pada headform. Headform dan helm berada pada ketinggian tertentu yang
diinginkan dengan mengereknya menggunakan tali pengerek. Kemudian tali
pengerek dilepas maka headform akan bergerak jatuh bebas. Saat bergerak jatuh
bebas headform akan melewati sinar inframerah ke-1 dan menghalangi sinar
tersebut. Ketika sinar infra merah terhalang oleh headform, resistensi berubah
menjadi rendah atau voltase tinggi dan berlogika 1. Kemudian dalam selang
beberapa waktu headform akan menghalangi sinar infra merah ke-2, maka sinyal
akan berlogika tinggi (atau 1). Selisih waktu antara pembacaan 1 diolah
mikrokontroler diperoleh nilai kecepatan. Dengan demikian kecepatan headform
sesaat sebelum menumbuk landasan bisa diperoleh.
3. Pada rancang bangun ini digunakan beberapa karya tulis yang mendukung:
4. Dimas Fajri Hendrayana pada tahun 2006 telah menulis didalam karya
ilmiahnya tentang alat uji helm dengan standar Snell Memoriam Fondation
(SMF). Pada alat uji ini telah dirancang dengan memanfaatkan energi jatuh
bebas dari indentor dengan ketinggian tertentu. Adapun jatuhnya indentor ke
benda uji dengan menggunakan mekanisme 2 rel yang berupa sling, sehingga
pengukuran model ini menghasilkan hasil akurasi yang belum baik. Adapun
penyebabnya adalah penyimpangan target penetrasi, selain itu sebelum proses
penetrasi indentor yang digantung tidak boleh goyang sehingga proses pengujian
membutuhkan waktu relatif lama (Gambar 3.6).
5. Pada tahun 2007 produk alat uji penetrasi helm dikembangkan lagi oleh Achmad
Faizin dengan menggunakan standar SII 1651-1985. Pada model ini (Gambar

29

3.7) telah dilakukan penyempurnaan pengarah dari indentor, tidak lagi


menggunakan mekanisme sling tetapi menggunakan pengarah yang berupa pipa
dan tetap menggunakan energi jatuh bebas untuk melakukan penetrasi ke benda
uji. Alat uji ini telah menghasilkan hasil pengukuran yang baik, tetapi dengan
berkembangnya helm dipasaran ternyata standar uji SII telah diubah menjadi
SNI 1811-2007 dengan energi yang lebih besar karena indentor dijatuhkan
setinggi 1,6 meter dari benda uji. Hal ini mengakibatkan alat uji harus
dikembangkan, tetapi jika tetap menggunakan energi jatuh bebas sebagai
penghasil energi tentunya alat uji akan semakin tinggi dan besar. Oleh karena itu
perlu adanya pengembangan alat uji penetrasi dengan energi yang sama tetapi
dengan dimensi yang tidak terlalu besar. Adapun sebagai pengganti energi
potential adalah energi kinetic dari sebuah pelontar , sehingga indentor nantinya
dilontarkan dengan kecepatan tertentu sehingga akan menumbuk benda uji
dengan energi tertentu.

Gambar 2.15 Alat uji penetrasi dengan mekanisme 2 sling

30

Gambar 2.16 Alat uji penetrasi dengan mekanisme pipa pengarah

6. Sujarwanto (2004) telah merancang sebuah Bar Hopkinson dengan pelontar


pegas yang digunakan untuk mendapatkan harga strain rate pada sebuah
material. Dengan pengembangan produk, model pelontar ini dapat digunakan
sebagai penghasil energi kinetik yang dapat digunakan untuk mengganti energi
potensial dalam alat uji penetrasi helm standar SNI maupun Snell.

2.2.1 Kedalaman dan Volume Hasil Penetrasi


Pada saat sebuah indentor dengan ujung runcing dan mempunyai sudut tertentu
mengenai benda, maka bentuk luka tersebut diasumsikan seperti bentuk ujung indentor,
yaitu seperti kerucut (lihat gambar 2.6). Kedalaman hasil penetrasi dapat dihitung
melalui hubungan antara d, h , dan sebagai berikut (Faidzin, 2007):
2

Volume hasil penetrasi dapat dihitung dengan rumus seperti berikut:

31

2.2.2 Pengembangan alat uji kekuatan sabuk dagu helm


Bram dan Seken tahun 2007, telah merancang dan membuat alat uji kekuatan
sabuk dagu helm sebagai Tugas Akhir dan Tesis Marthina Mini 2007, telah
menganalisis ketidakpastian dari alat uji kekuatan sabuk dagu helm. Ketidakpastian
terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah ketidakpastian karena kesalahan
sistem pembebanan, ketidakpastian karena sliding antara batang pengantung dengan
pemegangnya, ketidakpastian karena putaran sisa motor penggerak dan ketidakpastian
karena penyimpangan jangka sorong.
Alat uji kekuatan sabuk dagu helm dapat dilihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.17 Hasil Penetrasi


2.2.3

Rasio E/V
Salah satu definisi dari kekerasan adalah ketahanan suatu material terhadap

penetrasi (Neely dkk, 2003). Ketahanan penetrasi adalah kemampuan untuk menahan
beban penetrasi dan merupakan hubungan antara beban penetrasi dengan deformasi
akibat beban tersebut. Makin besar beban yang diberikan, semakin besar pula deformasi
yang terjadi. Apabila beban yang sama besar diberikan pada dua jenis material yang
berbeda, maka deformasi yang lebih kecil terjadi pada material yang lebih tahan
terhadap beban penetrasi.

32

Berdasarkan hal di atas, ketahanan material terhadap beban penetrasi dapat dilihat dari
perbandingan antara energi penetrasi yang didapatkan dari hukum kekekalan energi
pada sebuah tumbukan dan volume luka hasil penetrasi, yang disebut sebagai Rasio
E/V, yang besarnya:

Pengujian penetrasi dengan energi penetrasi sama besar, dilakukan terhadap dua
jenis material berbeda, dapat menunjukkan bahwa, pada jenis material yang lebih tahan
terhadap beban penetrasi, akan terjadi luka yang lebih kecil, sehingga perbandingan
antara energi penetrasi dengan volume luka, lebih besar.

2.2.4 Fotodioda dan Infra Merah


Sinar infra merah merupakan sebuah sinar yang dapat digunakan dalam
rangkaian sensor suatu sistem, adapun untuk menangkap sinar ini biasanya
menggunakan fotodioda. Fotodioda merupakan sambungan pn yang dirancang untuk
beroperasi bila dibiaskan dalam arah terbalik, seperti yang tampak pada gambar 2.7.
Ketika energi cahaya dengan panjang gelombang yang benar jatuh pada sambungan
fotodioda, arus mengalir dalam sirkuit eksternal. Alat ini kemudian bekerja sebagai
generator arus, yang arusnya sebanding dengan intensitas cahaya itu. Semakin besar
intensitas cahaya infra yang diterima maka kemampuannya untuk menghasilkan arus
semakin besar sebaliknya kemampuan untuk menghasilkan arus akan lemah apabila
intensitas cahaya infra yang diterima semakin kecil. Silikon merupakan bahan yang
paling banyak digunakan untuk fotodiode dan memberikan waktu reaksi sebesar 1 ns.
(Faizal, 2005).

33

Gambar 2.5 Rangkaian sensor inframerah

2.3 Teori Penunjang

Headform
Jangka Sorong
Dudukan Jangka Sorog
Penggantung

Landasan Penekan Pegas

Batang Penggantung

Pegas
Landasan Pegas

Lead Screw

Gambar 2.18 Alat uji sabuk dagu helm SII 1961.85


[Bram, Seken dan Marthina Mini 2007]

34

Ada beberapa standar pengujian keselamatan helm yang masing-masing memiliki


metode serta karakteristik berbeda-beda. Standar pengujian tersebut adalah DOT
(Departement of Transportation), Snell Memorial Foundation, ASTM, ANSI,
CPSC, BSI, Standar Nasional
Indonesia (SNI) dan lain-lain. Standar DOT dan M2000 (Standar Snell) banyak
dipakai di wilayah Amerika Serikat dan Kanada, Standar EN 22/05 (Standar BSI
6658-85 Type A dan Regulation 22 Rev. 5) banyak dipakai di Eropa dan Inggris.
Salah satu standar pengujian keselamatan helm yaitu uji kekuatan sabuk dagu
Dynamic retentin test menurut Standar Snell dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.19 Uji kekuatan sabuk dagu


(Dynamic Retention Test, Standar Snell)
Cara kerja:

Helm diletakkan pada headform dan sabuk dagu diikatkan pada pengikat sabuk dagu
massa awal 23 kg dan catat kemuluran sabuk. Setelah itu beban di jatuhkan sehingga
mencapai total pembebanan 38 kg dan obserfasi kemuluran sabuk tidak boleh lebih dari
30 mm. Alat uji kekuatan sabuk dagu helm menurut Badan Standar Industri Indonesia
(SII 1651-85) yaitu:

35

Gambar 2.20 Alat uji kekuatan sabuk dagu helm menurut SII 1651-85

Cara kerja alat uji adalah :


Helm diletakkan pada headform dan sabuk dagu diikatkan pada roller pengikat sabuk
dagu (massa penggantung dengan berat 4.5 kg) selama 30-60 detik kemudian dicatat
pemuluran
yang terjadi. Setelah itu beban ditambah hingga 50 kg selama 30 detik dengan laju
konstan, setelah 120 detik catat pemuluran yang terjadi.
\Kemudian pengembangan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) pada tahun 2007
tentang standar helm motor roda dua yaitu SNI 1811-2007. Adapun alat uji kekuatan
sabuk dagu helm menurut Badan Standar Nasional Indonesia (SNI 1811-2007) yaitu:

Gambar 2.21 Alat uji kekuatan sabuk dagu helm (SNI) 1811-2007

36

2.3.1 Energi jatuh bebas


Benda yang dijatuhkan secara bebas dari suatu ketinggian kecepatannya akan
mengalami pertambahan. Pertambahan kecepatan tersebut disebabkan oleh adanya
percepatan jatuh bebas. Pada gambar 2.10 menggambarkan benda yang dilepaskan dari
ketinggian tertentu (h), sehingga jatuh bebas, maka berlaku:
Besarnya energi potensial jatuh bebas adalah:Ep = m g h (2.13)
Dimana:
m = massa jatuh bebas
\h = ketinggian jatuhan
g = Gaya grafitasi

Besarnya kecepatan jatuh bebas adalah:


v

2g h = m/s. (2.14)

dimana:
v = kecepatan beban jatuh bebas
h = ketinggian jatuhan
g = Gaya grafitasi

Gambar 2.22 Benda jatuh bebas

37

2.3.2 Hukum kekekalan energi


Hukum kekekalan energi mekanik menyatakan bahwa apabila dalam suatu sistem
terdapat benda dengan massa (m) pada posisi 1 yang memiliki energy potensial, maka
pada posisi 2 benda tersebut akan memiliki total energi yang sama dengan saat posisi 1.
Disaat beban dijatuhkan dari ketinggian h1 (posisi 1). Beban akan mulai menimpa
permukaan apron (posisi 2) dengan kecepatan v2

Gambar 2.23 Sketsa alat uji

38

2.3.3 Proses manufaktur


Mesin-mesin manufaktur yang digunakan dalam proses pembuatan alat uji
kekuatan sabuk dagu helm adalah sebagai berikut:
1. Mesin las SMAW (Shielded Metal Arc Welding) atau las listrik
Proses las merupakan salah satu proses penggabungan dua material. Las SMAW
merupakan pengelasan busur listrik dengan busur berupa logam las yang
terbungkuslogam las.
2. Mesin lathe atau bubut
Mesin bubut adalah alat yang memutar material atau benda kerja untuk
dikenaiberbagai macam pengerjaan seperti memotong (cutting), menghaluskan
(sanding),
membuat alur (knurling), melubangi (drilling).
3. Mesin bor vertikal
Mesin bor vertikal adalah alat yang berfungsi untuk membuat lubang serta
memperbesar lubang dari arah atas benda kerja (vertikal).
4. Gergaji elektrik/mesin (electric hacksaw)
Gergaji elektrik/mesin adalah alat yang berfungsi untuk memotong suatu benda
kerja, sumber tenaga untuk menggerakkan gergaji ini adalah motor listrik.
5. Gergaji tangan
Gergaji tangan adalah alat yang berfungsi untuk memotong suatu benda
kerja,sumber tenaga untuk mengoperasikannya adalah manusia (manual).
6. Gerinda tangan (angle grinder)
Gerinda tangan adalah alat perkakas tangan yang berfungsi untuk memotong
(cutting), menggerinda (grinding) dan memoles (polishing.
7. Die

39

2.3.4 Sistem akuisisi data


Pengertian dasar dari sistem akuisisi data adalah pengumpulan informasi dari
sumber angka-angka analog dan kemudian diubah menjadi bentuk digital agar dapat
dibaca oleh komputer yang pada akhirnya diperoleh data-data yang akurat dan
mempermudah dalam merencanakan suatu pengukuran. Sistem akuisisi data digunakan
untuk mengukur dan mencatat sinyal listrik. Sistem instrumentasinya terdiri dari sistem
analog dan sistem digital. Sistem analog biasanya merupakan voltase output dari alat
ukur yang digunakan yang kemudian diubah menjadi bentukbiner atau digital dan
disusun menjadi sekelompok angka-angka yang kita kenal sebagai data.

Elemen-elemen dasar dari sistem data akuisisi dapat dilihat padagambar 2.12 berikut ini

Gambar 2.24 Elemen dasar dari sistem akuisisi data [Priventa;2004]

2.3.5 Linear variable differential transformer (LVDT)


Struktur dasar dari sensor LVDT adalah sebuah inti besi yang bergerak didalam
tiga kumparan. Kumparan primer dihubungkan dengan sumber arus AC untuk
membangkitkan fluk magnetik. Dua kumparan sekunder mempunyai tegangan induksi
karena hubungan fluk dengan bagian primer. Ketika inti besi berada di pusat,tegangan

40

induksi tiap-tiap bagian adalah sama. Saat inti besi bergeser, terjadiperubahan fluk
magnetik sehingga kumparan sekunder yang satu tegangannya akan naik, sedangkan
kumparan sekunder yang lain tegangannya akan turun.

Gambar 2.25 Gambar sensor LVDT


Alat ukur LVDT yang digunakan bermerek OMEGA yang mempunyai daerah kerja
25 mm. Tegangan yang dihasilkan dari perbedaan harga fluks pada kumparan sekunder
masih berharga milivolt (mV). Agar bisa terbaca oleh rangkaian ADC, tegangan ini
diperkuat terlebih dahulu oleh rangkaian penguat differensial (differential amplifier).
2.3.6 Sensor kecepatan
Untuk mengukur kecepatan suatu benda yang sedang bergerak dipakai sensor
kecepatan. Sensor kecepatan merupakan satu kesatuan unit kontrol yang terdiri dari
sensor kecepatan (foto dioda), mikrokontroler dan komputer.
a. Rangkaian foto dioda dan infra merah
Sensor kecepatan adalah rangkaian foto dioda dan sinar infra merah. Infra merah
akan memancarkan sinar yang akan diterima oleh foto dioda. Ketika suatu benda
melewati sinar infra merah, maka hubungan infra merah dengan foto
diodaterputusterhalang menyebabkan terjadinya perubahan resistensi dari rendah

41

(0) ke tinggi (1). Perubahan resistensi ini adalah sinyal digital (data biner) yang
akan diteruskan ke mikrokontroler untuk diolah transportasinya.

Gambar 2.26 Rangkaian sensor infrared


b. Mikrokontroler
Mikrokontroler digunakan untuk mengontrol seluruh transportasi sinyal data yang
melewati rangkaian pengolah sinyal.

Gambar 2.27 Mikrokontroler


Mikrokontroler

yang digunakan adalah AT89C2051

Agar

dapat digunakan,

mikrokontroler harus diprogram. Program ini disimpan dalam PEROM. IC AT89C2051


memiliki beberapa port/saluran yang berhubungan dengan komponen-komponen lain.
Hubungan port-port tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.15.

42

2.3.7 Komunikasi data serial


Komunikasi data antara unit pengkondisian sinyal dengan unit pengolah data
dihubungkan oleh port serial. Pada komputer, port yang dipakai adalah port COM1.21
Antara mikrokontroler dan port serial terdapat IC RS232. Fungsi IC RS232 adalah
untuk membuat komunikasi data antara mikrokontroler dengan komputer menjadi
sinkron. Prinsip kerja IC RS232 adalah membalikkan sinyal digital yang melewatinya
karena saat komputer mengirimkan data pada sinyal tinggi (1) maka mikrokontroler
menerima sinyal tersebut pada kondisi rendah (0). IC RS232 mengubah sinyal tinggi (1)
menjadi sinyal rendah (0). Pada DB9 (port serial), kaki yang dipakai adalah kaki nomor
2 (received data), 3 (transfer data), dan 5 (ground). Gambar 2.14 Skema IC RS232

2.3.8 Ketidakpastian
Dalam era perdagangan bebas, parameter acceptability suatu produk ditentukan oleh
suatu spesifikasi yang berlaku universal. Kesesuaian terhadap spesifikasi tersebut
ditentukan oleh suatu batas tertentu disekitar nilai yang diinginkan, yang kemudian
disebut

dengan

ketidakpastian.

Perbedaan

metode

penaksiran

ketidakpastian

menyebabkan ditolaknya suatu komoditi ke negara lain yang mempunyai metode yang
berbeda. Untuk mencegah hambatan perdagangan tersebut, beberapa organisasi
internasional sepakat untuk menyusun suatu pedoman yang berlaku universal. Pedoman
tersebut kemudian disebut sebagai ISO GUIDE TO THE EXPRESSION OF
UNCERTAINTY IN MEASUREMENT yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1993.
Tujuan pengukuran adalah menentukan nilai besaran ukur. Hasil pengukuran adalah
taksiran nilai besaran ukur, karena hanya merupakan taksiran maka setiap hasil
pengukuran selalu mengandung kesalahan. Terdapat dua komponen kesalahan yaitu
kesalahan acak dan kesalahan sistematik. Kesalahan acak timbul dari besaran
berpengaruh yang tidak terduga, sedangkan kesalahan sistematik timbul dari besaran
berpengaruh yang dapat diduga berdasarkan model besaran ukur.
Ketidakpastian pengukuran didefinisikan sebagai suatu parameter yang terkait dengan
hasil pengukuran, yang menyatakan sebaran nilai yang secara beralasan dapat diberikan
kepada besaran ukur. Apabila taksiran nilai besaran ukur dinyatakan dengan x, dan

43

ketidakpastian pengukuran untuk tingkat kepercayaan tertentu dinyatakan dengan U,


maka nilai dari besaran ukur tersebut, yaitu X diyakini berada dalam rentang:
x- U < X < x + U (2.11)
Adapun sumber-sumber ketidakpastian adalah :
Standar atau acuan
Benda ukur
Alat ukur
Metode pengukuran
Kondisi lingkungan
Personil pelaku pengukuran

Dalam suatu proses pengukuran ketidakpastian ditaksir dari pengamatan terhadap n


sampel besaran ukur X . Dari n sampel besaran ukur X , ketidakpastian baku dapat
k

dihitung dengan:

2.3.9 Klasifikasi komponen ketidakpastian


Berdasarkan

teknik evaluasinya,

diklasifikasikan

menjadi

komponen

komponen

ketidakpastian pengukuran dapat

ketidakpastian

Tipe-A

dan

komponen

ketidakpastian Tipe-B:
Komponen Ketidakpastian Tipe-A
Ketidakpastian random dapat juga disebut ketidakpastian Tipe A dan diestimasikan dari
analisa statistik pada distribusi kesalahan random.Untuk mendapatkan distribusi
tersebut, diambil sample dengan ukuran N dan dicatat hasil pengukurannya, kemudian
dihitung harga rata-rata dan standar deviasinya dengan menggunakan persamaan
berikut:

44

Kemudian dengan batas kepercayaan 95% untuk sebuah sample pengukuran X,


sejumlah N dari distribusi Gauss, didefinisikan sebagai ketidakpastian random P,
sehingga persamaan ketidakpastiannya adalah sebagai berikut :

dimana r = pengukuran yang merupakan fungsi dari sejumlah n variabel pengukuran, X

Oleh karena itu ketidakpastian random hasil pengukuan dapat diestimasikan dari
persamaan sebagai berikut (Coleman & Steele,1999) :

45

Komponen ketidakpastian Tipe-B Kesalahan sistematik yang dapat juga disebut


ketidakpastian tipe B, untuk suatu variabel terukur adalah kesalahan yang tetap dan
tinggal setelah semua koreksi kalibrasi dibuat. Ketidakpastian sistematik hasil
pengukuran dapat diestimasikan dari persamaan sebagai berikut (Coleman &
Steele,1999) :

dimana :
B = ketidakpastian sistematik hasil pengukuran
r

B = ketidakpastian sistematik dari variabel X


i

B = covariance estimator untuk kesalahan sistematik pada X dan X


ik

B =
ik

=Lki

BB1)()(

L = Jumlah sumber kesalahan sistematik elemental untuk pengukuran variabel


X dan X
i

ISO Guide to Expression of Uncertainty in Measurement menyatakan bahwa metode


untuk mengkombinasikan estimasi ketidakpastian adalah menjumlahkan varian (atau
standar deviasi kuadrat) dari estimasi. Metode pada ISO Guide to the Expression of
Uncertainty in Measurement menyebutkan bahwa combined standard uncertainty untuk
variable i adalah 222iBCSSui+= (2.18)
dimana :
u = ketidakpastian standar gabungan
C

S = estimasi standar deviasi ketidakpastian sistematik untuk variable i


Bi

S = estimasi standar deviasi ketidakpastian random untuk variabel i


i

Sehubungan dengan tingkat kepercayaan ketidakpastian untuk suatu variabel, ISO


Guide to Expression of Uncertainty in Measurement merekomendasikan converage
factor yaitu :
U = t u , (2.19)
%

dimana U = expanded uncertainty dengan tingkat kepercayaan.


%

46

Sehingga dengan batas U , disekitar variable X akan mendapat nilai sebenarnya dari
%

variabel dengan tingkat kepercayaan yang diberikan. Untuk derajat kebebasan v 9 dan
i

tingkat kepercayaan 95%, maka t 2, sehingga persamaan 2.7 dan 2.8 menjadi :
95

2 SSUi+= (2.20)

212295 iB

dan untuk ketidakpastian sistematik B yang merupakan estimasi kepercayaan 95% (2S )
B

dari batas , maka persamaan 2.20 menjadi :

()

212295ii

PBU+= (2.21)

2.1.3 Teori Penunjang sistem monitoring posisi kecelakaan sepeda motor


2.4 Teori Penunjang
2.4.1. Penggunaan GPS (Global positioning system)
Menurut perkembangannya petugas kepolisian telah menggunakan alat
pemantau peristiwa kecelakaan seperti cloth tapes atau peralatan yang lebih modern
seperti electronic total stations dan laser rangefinders tetapi alat tersebut memerlukan
beberapa personil dengan pelatihan yang cukup dikarenakan pemakaian alat cukup sulit.
(Price dkk, 2005)
Dalam sisi penggunaannya GPS lebih unggul dibandingkan dengan alat-alat
terdahulu. GPS dapat bekerja dalam kondisi gelap dan cuaca yang buruk, dan mudah
dioperasikan oleh seorang operator. GPS juga memiliki ketepatan yang tinggi dalam
menentukan posisi, tingkat efisiensi yang tinggi, dan memiiki area cakupan yang lebih
luas. (Price dkk, 2005)
Macam-macam keuntungan dalam penggunaan GPS, antara lain (Johnson dkk,
2008):
1. Reduced workload.

47

Suatu manfaat yang penting tentang aplikasi GPS adalah dapat mengurangi beban
kerja karena hanya menggunakan seorang operator untuk memantau daerah yang luas.
2. Reduce uncertainty.
Di daerah lautan yang luas, padang pasir dan hutan rimba, GPS dapat menentukan
posisi secara pasti.
3. Multi-criteria optimisation.
4. Dynamic problem solving.
GPS dapat dengan cepat memberikan posisi suatu objek meskipun objek berpindahpindah secara cepat.
5. Monitoring of primary systems.
6. Multiple input mappings.
GPS dapat digunakan untuk memetakan berbagai macam objek.
7. Multiple output mappings.

2.4.2 Sinyal wicara pada manusia


B. H. Juang dkk, 1991 mengemukakan bahwa, Wicara adalah suatu isyarat
nonstationary. wicara manusia muncul karena adanya hembusan udara dari paru-paru
melewati suatu konfigurasi articulator yaitu bibir, rahang, lidah, dan langit-langit lunak,
seperti ditunjukkan pada Gambar 2.28).

Gambar 2.28 Sistem vokal manusia.(B.H. juang dkk, 1991)

48

Suatu isyarat nonstationary dari wicara manusia dapat dilihat pada Gambar 2.29 dengan
panjang gelombang kira-kira 450 msec, sesuai dengan ucapan yang direkam dari kata
"Judge".

Gambar 2.29 Gelombang wicara Judge. (B.H. juang dkk, 1991)

Sinyal wicara merupakan sinyal yang bervariasi lambat sebagai fungsi waktu, dalam hal
ini ketika diamati pada durasi yang sangat pendek (5 sampai 100 mili detik)
karakteristiknya masih stasioner. Tetapi bilamana diamati dalam durasi yang lebih
panjang (> 1/5 detik) karakteristik sinyalnya berubah untuk merefleksikan wicara yang
keluar dari pembicara. Gambar 2.30 menunjukkan tiga kondisi dasar sinyal wicara pada
manusia.

Gambar 2.30 Tiga kondisi dasar sinyal wicara manusia (Rabiner & Juang, 1993)

49

Salah satu cara dalam menyajikan sebuah sinyal wicara adalah dengan menampilkannya
dalam tiga kondisi dasar, yaitu silence (S) atau keadaan tenang dimana sinyal wicara
tidak diproduksi. Unvoice (U) dimana vocal cord tidak berfibrasi, dan yang ketiga
adalah voiced (V) dimana vocal cord bervibrasi secara periodik sehingga dapat
menggerakkan udara ke kerongkongan melalui mekanisme akustik sampai keluar mulut
dan menghasilkan sinyal wicara.

2.4.3 Sinyal suara dalam domain waktu


Bartek Plichta dkk, 2003, menjelaskan bahwa terdapat 4 konsep dasar merubah sinyal
wicara dalam domain waktu untuk perekaman wicara:
1.

Digitization : proses untuk merubah sinyal dalam waktu kontinyu menjadi waktu
diskrit

oleh

suatu

converter

ADC.

Setiap

sampling dari ADC

harus

mempresentasikan amplitudo yang sesuai dari sinyal waktu kontinyu.


2. Sampling : proses pengambilan data

secara berkelanjutan pada sinyal waktu

kontinyu dengan interval waktu yang sama. Persyaratan frekuensi sampling adalah
harus sama dengan atau melebihi 2 kali frekuensi maksimum sinyal yang disampel.
3. Aliasing : konsekwensi yang terjadi sepanjang proses digitisasi karena melanggar
persaratan frekuensi sampling, sehingga menciptakan informasi yang palsu dalam
bentuk frekuensi alias.
4. Quantization : menunjukkan tingkat kesempurnaan dalam proses pengambilan data.
Hal ini berkaitan dengan resolusi yang dimiliki oleh ADC, semakin tinggi resolusi
(jumlah bit) ADC maka semakin sempurna informasi yang di sampling.
Sinyal sinus x(t) = A cos(t +) merupakan contoh sinyal waktu kontinyu. Untuk
proses komputasi, sinyal waktu kontinyu harus dirubah menjadi bentuk waktu diskrit
dan dilanjutkan dengan proses digitalisasi. Untuk memperoleh bentuk sinyal waktu
diskrit, sinyal waktu kontinyu harus di-sampel.

50

Gambar 2.31 Diagram Blok konversi sinyal kontinyu menjadi sinyal diskrit (Rabiner &
Juang, 1993)
Gambar 2.18 merupakan diagram blok konversi sinyal kontinyu menjadi sinyal diskrit
dimana sekuen x[n] didapakan setelah proses perubahan dari continues to discrete (CtoD). Jika sinyal informasi yang di sample memiliki komponen frekuensi beragam,
misalnya untuk sinyal wicara memungkinkan untuk memiliki frekuensi dari 20 sampai
4000 Hz, maka sinyal informasi tersebut bisa dituliskan sebagai:

(1)

Frekuensi sampling seringkali dikatakan dengan sampling rate, yaitu jumlah sample
yang diambil setiap detik, fs=1/Ts juga dikenal sebagai Nyquist rate, sehingga
persyaratan untuk frekuensi sampling menjadi:
fs > 2x fimax

(2)

Bartek Plichta dkk, 2003, menunjukkan perekaman wicara manusia pada era tahun
1990, dengan frekuensi sampling sebesar 48kHz dan resolusi 16 bit. Gambar 2.19
menunjukkan bentuk gelombang dan spektrum dari Perekaman pembicara wanita
dewasa dengan frekuensi tertinggi mencapai 17kHz.dari suatu ucapan They got to the
mall at exactly ten oclock. Cakupan spektrum adalah 0- 24,000 Hz, sehingga dapat
memperlihatkan keseluruhan tanggapan frekuensi yang dapat didengar oleh manusia,
sebesar 20 Hz 20 kHz.

51

Gambar 2.32 Spektrum suara manusia era tahun 1990, dari suatu ucapanThey got to
the mall at exactly ten oclock.( Bartek Plichta dkk, 2003)
2.4.4 Analog to digital converters (ADC)
Gelombang wicara analog tidak dapat langsung direpresentasikan dalam proses
komputasi. Pengukuran amplitudo dari proses komputasi pada satuan waktu tertentu
untuk menghasilkan sejumlah angka. Tiap satuan pengukuran ini dinamakan sample.
Analog to Digital Converters (ADC) Adalah proses mengubah amplitudo gelombang
bunyi ke dalam interval waktu tertentu, sehingga menghasilkan representasi digital dari
wicara.

Gambar 2.33 Diagram Blok Encoder (Tri Budi S dkk, 2005)

Gambar 2.33 merupakan diagram blok dari encoder yang memiliki fungsi sebagai
berikut:
1. Membuang frekuensi tinggi dari source signal
2. Mengambil sample pada interval waktu tertentu (sampling)

52

3. Menyimpan amplitudo sample dan mengubahnya ke dalam bentuk diskrit


(kuantisasi)
4. Merubah bentuk menjadi nilai biner.
Gambar 2.34 menunjukkan proses sampling dan kuantisasi dari source input, dimana
terdapat Quantization error. Hal ini dikarenakan Quantization level dari ADC tidak
mampu memenuhi amplitudo dari sampling gelombang analog.

Gambar 2.34 Sampling dan kuantisasi (Nachwan Mufti, 2004)


2.4.5 Digital to analog converters (DAC)
Digital to Analog Converters (DAC) Adalah proses mengubah digital audio
menjadi sinyal analog. DAC biasanya hanya menerima sinyal digital Pulse Code
Modulation (PCM). PCM adalah representasi digital dari sinyal analog, dimana
gelombang disample secara beraturan berdasarkan interval waktu tertentu, yang
kemudian akan diubah ke biner. Proses pengubahan ke biner disebut Quantisasi.

2.4.6 Linear predictive coding (LPC)


Pengenalan wicara adalah proses dari ekstraksi otomatis untuk menentukan
informasi bahasa dari suatu gelombang wicara dengan menggunakan komputer ( Furui,
2001). Metoda pengenalan wicara secara otomatis telah diselidiki selama bertahuntahun dengan merealisasikan perekaman wicara manusia pada suatu komputer. Untuk
pertama kalinya teknik pengenalan wicara dipublikasikan di laboratorium Bell pada
tahun 1952. Teknik pengenalan wicara ini didasarkan pada pengukuran resonansi

53

spektral sepanjang daerah huruf hidup/vokal dari tiap digit. Pada tahun 1960 beberapa
gagasan yang pokok, seperti analisa spektrum filter bank, analisa Zero crossing, metoda
normalisasi waktu dikemukakan oleh Rabiner (Rabiner,1993). Kemudian, metoda
programming dinamis untuk mengurutkan waktu dari suatu ucapan diusulkan
(Vintsyuk, 1968). Pada era tahun 1970 pengenalan kata terisolasi menjadi
teknologi tingkat lanjut dalam kaitan dengan studi pokok (Velichko, 1970; Sakoe, 1978;
Itakura, 1975). Pengenalan pola, programming yang dinamis, dan Liniear Prediction
Coding (LPC) diberlakukan untuk pengenalan wicara.
Di tahun 1980 penelitian tentang pengenalan wicara difokuskan pada
permasalahan dalam pengenalan kata yang dihubungkan. Penelitian tentang pengenalan
wicara

digeser dari pendekatan berdasarkan template menjadi model metode yang

statistik,dengan pendekatan Hidden Markov Model (HMM) ( Rabiner, 1989; Jelinek,


1999) dan neural metoda jaringan ( Weibel, 1989). Kemudian pada tahun 1990 fokus
utama pada penelitian ini adalah pengenalan wicara dari kosa kata yang besar yang
berlanjut ( Lee, 1996), pengenalan pidato/suara yang sempurna ( Junqua, 1996),
mencakup sintaksis, ilmu semantik, pragmatis ke dalam pengenalan wicara ke tingkat
yang lebih tinggi ( Jurafsky, 2000).
Dari pengalaman yang telah dilakukan sebelumnya digunakan sistem pengenalan wicara
dengan menggunakan Linear Predictive coding (LPC). Linear Predictive Coding (LPC)
sangat luas digunakan untuk pengenalan suara disebabkan beberapa keuntungan yaitu:
1. LPC menyediakan pemodelan yang bagus untuk sinyal suara (speech signal), hal ini
terutama untuk bagian voiced dimana pemodelan all pole model LPC menghasilkan
pendekatan selubung spektral jalur vokal (vocal track spectral envelope) yang baik,
sedangkan untuk bagian unvoiced, pemodelan LPC ini tidak seefektif sebelumnya
tapi masih dapat digunakan untuk keperluan pengenalan suara.
2. LPC dapat dengan mudah dan langsung diterapkan baik secara perangkat lunak
maupun perangkat keras, sebab perhitungan matematis yang dilibatkan relatif lebih
singkat dari metode-metode yang dikenal sebelumnya seperti filter bank.
3. Hasil pengenalan suara yang didapat dengan menerapkan LPC cukup baik bahkan
lebih baik dari metode-metode yang dikenal sebelumnya.

54

Sebagai sebuah model speech alternatif yang dikenal adalah transformasi short time
Fourier pada

Linear Prediktive Coding (LPC). LPC ini disedikan untuk keakuratan dan

menghemat parameter yang relevant, untuk

dapat dikurangi perhitungannya pada speech

recognition dan menghasilkan suatu sintesa speech yang efisien. Penggunaan LPC ini untuk
kecepatan transmisi dalam speech coding. Penggunaan Adaptive pulse coding digunakan kosa
kata yang berbeda dan sebuah LP Coder.
LPC sangat umum digunakan untuk mengkode bit kecepatan rendah dan sangatlah
penting untuk itu bila kita akan menggunakan suatu tool analisa. LPC yang dikenal diturunkan
dari gabungan persentasi yang mirip dari pengucapan yang dihubungkan dengan suatu
perhitungan yang sederhana. LPC yang digunakan untuk penentuan F0, fungsi area vokal track
yang frekuensi dan parameter speech yang direpresentasikan ke konfigurasi vokal track. LPC
mengestimasi setiap sample speech didasari

kepada kombinasi benar dan ada sample

sebelumnya. Sebuah pengucapan yang besar dapat dari sebuah model yang lebih akurat. Faktor
berat atau koeffisien LPC dalam linear kombinasi dapat dengan langsung digunakan dalam filter
digital sebagai coeffisien multiflier yang dapat digunakan untuk sintesis atau dapat disimpan
sebagai template dari suatu speech recognition. Koeffisien LPC dapat ditrnsformasikan kedalam
parameter set yang lain untuk perhitungan agar efisiensi. Kekurangan LPC untuk analisa
meminimkan suatu kompleksitas signal speech biasanya dianggap sebagai signal input dari
sebuah kutub-kutub signal speech. Seperti contoh bahwa spektrum tidak nol sejak speech aktual
mempunyai harga nol, digunakan suatu sumber celah yang dirangsang pada suatu nilai yang
harus mendapat perhatian pada path akustiknya. Dalam pengucapan yang sengau model yang
demikian disederhanakan,agar dapat dikenali meskipun demikian terdapat kesulitan.Beberapa
usaha untuk menyederhanakan kutub-kutub LPC ini untuk model Zero adalah:
Least Square Autocorelation Methode.
Dua pendekatan yang sering digunakan dalam menentukan koeffisien set LPC,
karakteristik seluruh kutub pada H(z) model sebagai spektrum speech secara klasik.Pemilihan
methode Least Square untuk meminimkan energi rata-rata dari signal error yang melalui pada
sebuah frame data speech.Dengan pendekatan lattice yang dibolehkan seketika itu juga
diperbaharui pada koeffisien. Dalam teknik penyederhanaan kedua s(n) atau e(n) di window
untuk membatasi perpanjangan analisa speech.Pertama dari teknik Least Square adalah data
window atau methode autocorelation perkalian speech dengan Hamming atau waktu window.

55

2.4.7 Rasio E/V


Salah satu definisi dari kekerasan adalah ketahanan suatu material terhadap
penetrasi (Neely dkk, 2003). Ketahanan penetrasi adalah kemampuan untuk menahan
beban penetrasi dan merupakan hubungan antara beban penetrasi dengan deformasi
akibat beban tersebut. Makin besar beban yang diberikan, semakin besar pula deformasi
yang terjadi. Apabila beban yang sama besar diberikan pada dua jenis material yang
berbeda, maka deformasi yang lebih kecil terjadi pada material yang lebih tahan
terhadap beban penetrasi.
Berdasarkan hal di atas, ketahanan material terhadap beban penetrasi dapat
dilihat dari perbandingan antara energi penetrasi yang didapatkan dari hukum kekekalan
energi pada sebuah tumbukan dan volume luka hasil penetrasi, yang disebut sebagai
Rasio E/V, yang besarnya:
Rasio=

E penetrasi

(2.7)

V 0 L penetrasi

Pengujian penetrasi dengan energi penetrasi sama besar, dilakukan terhadap dua jenis
material berbeda, dapat menunjukkan bahwa, pada jenis material yang lebih tahan
terhadap beban penetrasi, akan terjadi luka yang lebih kecil, sehingga perbandingan
antara energi penetrasi dengan volume luka, lebih besar.

2.4.8 Fotodioda dan infra merah


Sinar infra merah merupakan sebuah sinar yang dapat digunakan dalam
rangkaian sensor suatu sistem, adapun untuk menangkap sinar ini biasanya
menggunakan fotodioda.
Fotodioda merupakan sambungan pn yang dirancang untuk beroperasi bila
dibiaskan dalam arah terbalik, seperti yang tampak pada gambar 2.7.
Ketika energi cahaya dengan panjang gelombang yang benar jatuh pada sambungan
fotodioda, arus mengalir dalam sirkuit eksternal. Alat ini kemudian bekerja sebagai
generator arus, yang arusnya sebanding dengan intensitas cahaya itu. Semakin besar
intensitas cahaya infra yang diterima maka kemampuannya untuk menghasilkan arus
semakin besar sebaliknya kemampuan untuk menghasilkan arus akan lemah apabila

56

intensitas cahaya infra yang diterima semakin kecil. Silikon merupakan bahan yang
paling banyak digunakan untuk fotodiode dan memberikan waktu reaksi sebesar 1 ns.
(Faizal, 2005).

Gambar. 2.35 Rangkaian sensor infra merah

Output dari GPS sangat fleksible digunakan untuk berbagai macam simulasi
pemetaan.

2.4.9 Sistem integrasi GPS GSM module


Sistem integrasi antara GPS dengan GSM modul digunakan untuk penentuan
dari coverage area seluler dan untuk pemetaan posisi alat transportasi di darat (Sarma
dkk, 2005). Arsitektur dari sistem GPS-GSM Integrator (G2I) terdiri dari dua modul
yaitu:
1. In Vehicle Module (IVM).
2. Control Room Module ( CRM).
IVM ditempatkan dalam suatu alat transportasi, misal: mobil, motor,dll sedangkan
CRM dapat ditempatkan di manapun, di mana pemenuhan sinyal GSM tersedia. IVM
terdiri dari modul GPS dan GSM Modem yang dihubungkan dengan mikrokontroller.
CRM terdiri dari handphone GSM dan PC. Arsitektur dari sistem G2I ditunjukkan pada
Gambar 2.1, halaman 7.

57

Gambar 2.36 Arsitektur Dari Sistem G2I. (Sarma dkk, 2005)


Interkoneksi perangkat keras dari IVM ditunjukkan pada Gambar 2.36. GPS
Receiver dan GSM Modem dihubungkan dengan mikrokontroller dengan menggunakan
protokol RS-232. GPS Receiver memberikan input posisi kendaraan ke mikrokontroller
berupa lintang dan bujur, kemudian mikrokontroller akan meneruskan informasi ke
GSM Modem dengan menggunakan AT-Commands, GSM Modem akan mengirimkan
informasi lintang dan bujur ke CRM dengan metode Short Messages Service (SMS).
(Sarma dkk, 2005)

Gambar 2.37 IVM Hardware Interconnections. (Sarma dkk, 2005)

58

Interkoneksi perangkat keras dari CRM ditunjukkan pada Gambar 2.38.

Pada

CRM terdiri dari handphone Nokia 3310 yang dihubungkan dengan PC dengan
menggunakan protokol RS-232. Handphone Nokia 3310 berfungsi untuk menerima
informasi lintang dan bujur dari IVM kemudian diteruskan ke PC untuk divisualisasikan
berupa gambar posisi dari kendaraan. PC pada CRM bertanggung jawab atas semua
pengolahan data untuk menentukan coverage area selular dan untuk aplikasi mapping
posisi kendaraan secara real time. (Sarma dkk, 2005)

Gambar 2.38 CRM Hardware Interconnections. (Sarma dkk, 2005)


IVM dapat dioperasikan dengan beberapa mode, antara lain (Sarma dkk, 2005):

Autonomous Mapping mode: Pada mode ini hasil output dari GPS berupa lintang
dan bujur disimpan ke dalam memori mikrokontroller setiap waktu tertentu dan
tidak dipancarkan ke CRM. Mode ini digunakan untuk penentuan dari coverage area
seluler.

Continuous mode: Pada mode ini hasil output dari GPS berupa lintang dan bujur
akan dikirimkan ke CRM secara kontinyu setiap waktu tertentu. Mode ini digunakan
untuk aplikasi mapping posisi kendaraan secara real time.

Discrete mode: Pada mode ini hasil output dari GPS berupa lintang dan bujur akan
dikirimkan ke CRM hanya jika CRM mengirimkan permintaan.

59

2.4.10 Accelerometer ACC 101


Accelerometer adalah sebuah instrumen yang berfungsi untuk mengukur
percepatan, mendeteksi dan mengukur getaran, ataupun untuk mengukur percepatan
akibat gravitasi bumi. Pada aplikasiya accelerometer biasa digunakan untuk menghitung
percepatan dan penurunan percepatan dari sebuah kendaraan, mengukur getaran yang
terjadi pada kendaraan, bangunan, dan mesin. Prinsip kerja accelerometer pada dasarnya
mengukur percepatan dan gravitasi yang dirasakan. Sebuah accelerometer yang
diletakkan di permukaan bumi seharusnya mendeteksi percepatan sebesar 1 g (ukuran
gravitasi bumi) pada titik vertikalnya. Untuk percepatan yang dikarenakan oleh
pergerakan horizontal, accelerometer akan mengukur percepatannya secara langsung
ketika dia bergerak secara horizontal.
Satuan percepatan pada accelerometer adalah g, dimana g = 9.8 m/s2.
Sehingga jika diketahui percepatan suatu benda adalah 2g, maka 2g = 2 * 9.8 = 19.6
m/s2. Pada Tabel 2.1, halaman 10 ditunjukkan spesifikasi g dalam penggunannya
pada berbagai objek.
Tabel 2.1. Spesifikasi g dalam penggunaannya
1g

0-2g

10-50g

100-2,000g

50,000g

Digunakan untuk mengukur percepatan dari suatu benda


saat mengalami getaran seperti Handphone, laptop
Digunakan untuk mengukur percepatan seseorang ketika
sedang berjalan
Digunakan untuk mengukur percepatan suatu kendaraan
saat terjadi benturan (kecelakaan)
Digunakan untuk mengukur percepatan pada laptop saat
terjatuh ke lantai
Digunakan untuk mengukur percepatan dari peluru ketika
ditembakkan dari meriam

Sumber: Datasheet memsic

60

Pada penelitian ini accelerometer digunakan untuk mengukur percepatan sepeda


motor, sehingga diharapkan dengan perubahan level penurunan percepatan yang
signifikan dapat diketahui kendaraan tersebut mengalami kecelakaan. Berdasarkan
Tabel 2.1 maka dibutuhkan accelerometer yang dapat mengukur percepatan hingga 50g.
Pada penelitian ini accelerometer yang digunakan adalah ACC 101 yang dapat
mengukur percepatan hingga 80g. Bentuk fisik dari accelerometer ACC 101
ditunjukkan pada Gambar 2.4, halaman 11. Spesifikasi dari accelerometer ACC 101
dapat dilihat pada Tabel 2.2, halaman 11.

Gambar 2.39 Accelerometer ACC 101. (www.omega.com)

Tabel 2.2. Spesifikasi Accelerometer ACC 101.


SPECIFICATIONS
2 mA nominal @ 24 to 30 Vdc,
constant current (18 volt supply can be

Excitation

used but will limit amplitude range)


Rated Output

100 mV/g nominal @ 100 Hz

Frequency Range

3 Hz to 5 kHz (up to 10 % rated


output shift)
70 g peak with ACC-PS1 80 g peak

Amplitude Range

with ACC-PS2, ACC-PS3

61

Amplitude Linearity

1% up to 65 g peak

Temperature Range
Thermal Shock

-18 to 82C (0 to 180F)


1.2 g /C

Transverse Sensitivity

5% of axial maximum

Maximum g Without Damage

5,000 g peak

Maximum g Without Clipping

80 g peak

Mounted Resonance Frequency

>18 kHz

Output Impedance

50 ohms nominal

Bias Voltage

10 V nominal

Base Strain

0.002 g/microstrain max.

Noise Floor (wideband)

0.00025 g (rms)
50 grams (1.75 oz) nominal (without

Weight

cable)
Aluminum, hard anodized thermal

Material
Dimensions

insulating boot included


3.81 H x 2.54 cm hex base (1.50 x 1.0")
2.5 m (10') integral coaxial cable with

Connector

BNCM

Mounting

1/4-28 removable stud

Mounting Torque max

40 cm-kg (35 in-lb)

Sumber: www.omega.com

2.4.11 SIM300_GSM MODULE


SIM300 merupakan modul GSM yang dapat mengirimkan dan menerima pesan
dalam format SMS dengan memanfaatkan operator seluler GSM, sehingga jangkauan
pengiriman informasi data bisa sangat luas. Sama halnya dengan sebuah telepon seluler,
SIM300 juga membutuhkan sebuah kartu SIM. Dalam hal ini kartu yang digunakan
adalah tipe GSM, baik kartu pra-bayar atau paska-bayar. Setiap pengiriman pesan yang
dilakukan lewat GSM modem juga akan mengurangi deposit pada kartu pra-bayar yang
digunakan, atau jika menggunakan kartu paska-bayar biayanya akan ditambahkan pada

62

tagihan bulanan. Bentuk fisik dari Modul SIM300 EVB ditunjukkan pada Gambar 2.5,
halaman 13.

10 Cm

11,5 Cm TOP view

BOTTOM view

Gambar 2.40 Modul SIM300 EVB. (SIMCOM, 2005)

Keterangan Gambar 2.10:


A : SIM300 module interface.
B

: SIM card interface.

: Headset interface.

D : Download switch, turn on or off download function.


E

: VBAT switch, switch the voltage source from the adaptor or external battery.

: PWRKEY key, turn on or turn off SIM300.

G : RESET key.
H : Expand port, such as keypad port, main and debug serial port, display port.
I

: MAIN serial port for downloading, AT command transmiting, data exchanging.

: DEBUG serial port.

K : Hole for fixing the antenna.


L

: Source adapter interface.

M : Light.
N : Buzzer.
O : Headphones interface.
P

: Hole for fixing the SIM300.

63

2.4.12 RS232 Interface


Pada SIM300 EVB telah dilengkapi dengan serial port RS232 sehingga dapat
langsung dihubungkan dengan computer. Keterangan pada masing-masing pin serial
port RS232 ditunjukkan pada Tabel 2.3, halaman 64 untuk serial port Main Interface,
dan Tabel 2.4, halaman 14 untuk serial port Debug interface.

Gambar 2.41 Serial Port SIM300 EVB. (SIMCOM, 2005)

Tabel 2.3 Serial Port 1 Main Interface.

Sumber: SIMCOM, 2005

Tabel 2.4 Serial Port 2 Debug Interface.

Sumber: SIMCOM, 2005

64

2.4.13 AT Command
Fungsi Sim300 EVB adalah untuk menggantikan telepon seluler dalam hal
pengiriman/penerimaan pesan SMS, namun Sim300 EVB tidak akan berjalan tanpa
dikontrol sebuah program. Oleh karena itu digunakan sebuah program dengan instruksi
AT Command, dimana terdiri dari beberapa instruksi dengan fungsi yang berbeda-beda
seperti yang terlihat pada Tabel 2.5, halaman 15.

Contoh penggunaan salah satu

instruksi dapat dilihat pada Tabel 2.6, halaman 15.


Tabel 2.5 AT Command According to GSM07.05.

Sumber: SIMCOM, 2005


Tabel 2.6 AT+CMGF Select SMS Message Format.

Sumber: SIMCOM 2005

65

2.4.14 SIM508_GSM+GPS MODULE


SIM508 adalah modul yang terdiri dari GPS receiver dan GSM modem yang
terletak dalam satu board. Sehingga jika digunakan dalam suatu aplikasi dimana
dibutuhkan perangkat GPS dan GSM modem, maka modul ini sangat menguntungkan
karena ukuran lebih ramping jika dibandingkan dengan menggunakan dua modul yang
berbeda. Bentuk fisik dari modul SIM508 dapat dilihat pada Gambar 2.41, halaman 66.

9 Cm

13 Cm

BOTTOM view

TOP view

Gambar 2.41 Modul SIM508. (SIMCOM, 2006)

Keterangan Gambar 2.41:


A : 80pin connector, SIM508 module interface.

B1-B5: LED indicator.


B1 : VBAT ON/OFF.
B2 : GSM net status.
B3 : The GSM part of the module ON/OFF status.
B4 : 1PPS output for GPS part.
B5 : GPS TX/RX status.

C1-C9: Key control for various functions.


C1 : GSM part power-up / power down control (button Z1).
C2 : VBAT ON/OFF control (shifter S2).
C3 : VCHG ON/OFF control (shifter S5).
C4 : GSM part program download control (shifter S1).
C5 : GPS part power ON/OFF control (shifter S7).

66

C6 : GPS part reset control (button Z2).


C7 : GPS part RX/TX LED status selective shifter (shifter S6).
C8 : GPS part wake up control (shifter S3).
C9 : GPS part program download control (shifter S4).
D : Power source adapter interface.

E1-E3: Audio interface.


E1 : Handset interface.
E2 : Headphone interface.
E3 : Buzzer.

F1-F4: Serial ports.


F1 : Main serial port for downloading, AT command transmitting, data exchanging.
F2 : Debug serial port.
F3 : GPS part serial port A.
F4 : GPS part serial port B.

G1-G2: Hole for antenna fixed.


G1 : Hole for GSM antenna fixed.
G2 : Hole for GPS antenna fixed.
H : Expand port, such as keypad port, serial ports, display port.
I1-I4: Hole for EVB board fixed.
J

: SMA connector for 1PPS output.

K : SIM card connector.


L

: 3.3V Back-up battery for GPS part.

2.4.15 GPS dan GSM Serial Port


Pada SIM508 terdapat 10 jenis pin untuk mengaktifkan dan mengambil data dari
GPS seperti yang terlihat pada Gambar 2.8, halaman 18 dimana masing-masing pin
memiliki fungsi yang berbeda-beda yang ditunjukkan pada Tabel 2.7, halaman 18.

67

Gambar 2.43 GPS Serial Port. (SIMCOM, 2006)


Tabel 2.7 GPS Serial Port.

Sumber: SIMCOM, 2006


Gambar 2.44, halaman 66 menunjukkan port serial pengoperasian GSM modul
yang terdapat pada SIM508. Port tersebut terdiri dari 10 pin dengan fungsi masingmasing pin ditunjukkan pada Tabel 2.8, halaman 19.

Gambar 2.44 GSM Serial Port. (SIMCOM, 2006)

68

Tabel 2.8 GSM Serial Port.

Sumber: SIMCOM, 2006

2.4.16 Data GPS Tipe NMEA dengan Format GGA


Data output dari GPS tidak langsung didapatkan berupa posisi lintang dan
bujur, tetapi berupa kode-kode tertentu yang harus dipisah-pisah untuk mendapatkan
informasi yang diinginkan. Data output dari GPS bertipe NMEA dengan format GGA,
GLL, GSA, GSV, RMC, VTG, dimana masing-masing format memiliki urutan kode
yang berbeda-beda. Contoh output dari GPS dengan format GGA adalah sebagai
berikut:
$GPGGA,161229.487,3723.2475,N,12158.3416,W,1,07,1.0,9.0,M, , , ,0000*18

69

Tabel 2.9 Data GPS Tipe NMEA dengan Format GGA.

Sumber: SIMCOM, 2006

2.4.17 Mikrokontroller ATmega162


Mikrokontroller adalah Central Processing Unit (CPU) yang disertai memori
serta sarana input dan output yang dibuat dalam bentuk chip (IC). Pada umumnya
mikrokontroller terdiri dari beberapa bagian, yaitu: Alamat (address), Data, Pengendali,
Memori (RAM atau ROM), dan bagian input-output. Sebuah mikrokontroller dapat
bekerja bila dalam mikrokontroller tersebut terdapat sebuah program yang berisi
instruksi-instruksi yang akan digunakan untuk menjalankan sistem mikrokontroller
tersebut. Instruksi-instruksi dari sebuah program pada tiap jenis mikrokontroller
mempunyai perbedaan, misalnya instruksi pada mikrokontroller Atmel berbeda dengan
mikrokontroller Motorola. Pada prinsipnya program pada mikrokontroller dijalankan
secara bertahap. Maksudnya, pada program itu sendiri terdapat beberapa set instruksi
yang mana setiap instruksi itu dijalankan secara bertahap atau berurutan.
Mikrokontroler ATmega162 memiliki arsitektur RISC 8-bit, dimana semua
instruksi dikemas dalam kode 16-bit (16-bits word) dan sebagian besar instruksi
dieksekusi dalam satu siklus clock, berbeda dengan instruksi MCS51 yang
membutuhkan 12 siklus clock. Adapun fitur-fitur yang dimiliki ATmega162 adalah :

70

- Bisa di-interface dengan SRAM eksternal hingga 64k


- SRAM internal 1kbyte
- Flash program memory 16 kbyte
- Clock max = 16 MHz
- SPI

2.4.18 Konfigurasi pin-pin ATmega162

Gambar 2.44 Konfigurasi IC ATmega162. (Atmel, 2002; Datasheet ATmega162)

VCC
Sebagai tegangan penyuplai.

Ground
Sebagai ground.

Reset
Input reset, pulsa akan menjadi minimum sekalipun clock bekerja.

XTAL1
Input ke Inverting Oscillator Amplifier.

XTAL2
Output dari Inverting Oscillator Amplifier.

Port A (PA7...PA0)

71

Port B (PB7...PB0)

Port C (PC7...PC0)

Port D (PD7...PD0)
Port A, port B, port C dan port D adalah port I/0 8-bit bi-directional dengan resistorresistor internal pull-up.

Port E (PE2...PE0)
Port E adalah port I/0 3-bit bi-directional.

72

You might also like