Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
1.1
Nanopartikel
1.1.1
Definisi nanopartikel
1.1.2
Jenis Nanopartikel
Pada dasarnya, nanopartikel dapat dibagi menjadi dua yaitu nanokristal dan nanocarrier.
Nanocarrier memiliki berbagai macam jenis seperti nanotube, liposom, nanopartikel lipid
padat (solid lipid nanoparticle/SLN), misel, dendrimer, nanopartikel polimerik dan lainlain (Rawat et al., 2006).
a. Nanokristal
Nanokristal adalah penggabungan dari ratusan atau ribuan molekul yang membentuk
kristal, terdiri dari senyawa obat murni dengan penyaluran tipis dengan menggunakan
surfaktan. Pembuatan nanokristal disebut nanonisasi. Tidak seperti nanocarrier,
nanokristal hanya memerlukan sedikit surfaktan untuk stabilisasi permukaan karena gaya
elektrostatik sehingga mengurangi kemungkinan keracunan karena bahan tambahan untuk
pembawa (Rawat et al., 2006).
Ketika ukuran partikel dikurangi hingga kurang dari 100 nanometer, sifat partikel tersebut
akan berubah. Berkurangnya ukuran partikel akan meningkatkan kelarutan obat sehingga
dapat meningkatkan bioavailabilitas obat dalam tubuh. Oleh karena itu, pengembangan
obat berukuran nano, dengan menggunakan teknik seperti miling, homogeniser tekanan
tinggi, spray-drying, dan nano-presipitasi, terus dilakukan untuk membuat senyawa obat
nanokristal. Selain itu penggunaan nanokristal juga dapat mencegah penggunaan pelarut
berbahaya dan surfaktan dalam pembuatan larutan obat suntik. Nanokristal juga
f. Dendrimer
Dendrimer adalah senyawa makromolekul yang terdiri atas cabang-cabang di sekeliling
inti pusat yang ukuran dan bentuknya dapat diubah sesuai dengan yang diinginkan (Rawat
et al., 2006; Rachmawati, 2006).
g. Nanopartikel Polimerik
Nanopartikel adalah struktur koloidal berukuran nanometer yang tediri dari polimer
sintesis atau semisintesis dengan rentang ukuran 10-1000 nm. Berdasarkan metode
pembuatannnya, dapat diperoleh nanosfer atau nanokapsul yang didalamnya terdapat obat
baik dengan cara dilarutkan, dijerat, dikapsulasi atau diikatkan pada matrik nanopartikel
(Rawat et al., 2006).
Nanopartikel polimerik meliputi nanokapsul dan nanosfer. Nanokapsul terdiri atas polimer
yang membentuk dinding yang melingkupi inti dalam tempat di mana senyawa obat
dijerat. Nanosfer dibuat dari matrik polimer padat dan di dalamnya terdispersi senyawa
obat (Delie and Blanco, 2005).
Gambar 1.6 Perbandingan antara nanokapsul (A) dan nanosfer (B) (Delie and
Blanco, 2005).
Polimer sintesis yang biasa digunakan sebagai bahan untuk nanopartikel polimerik antara
lain poli(asam laktat) (PLA), poli(asam glikolat) (PGA), poli(asam laktat-glikolat) (PLGA)
poli(metilmetakrilat) (PMMA), poli(alkilsianoakrilat) (PACA), dan poli(metilidenmanolat)
(PMM). Beberapa polimer alam juga digunakan sebagai bahan dasar pembuatan
nanopartikel polimerik. Polimer alam tersebut antara lain kitosan, gelatin, albumin, dan
natrium aliginat (Rawat et al., 2006; Delie and Blanco, 2005).
Material polimer memiliki sifat-sifat yang menguntungkan meliputi kemampuan
terdegradasi dalam tubuh, modifikasi permukaan, dan fungsi yang dapat disesuaikan
dengan keinginan. Sistem polimerik dapat mengatur sifat farmakokinetik dari obat yang
dimuatkan yang mengakibatkan obat berada pada keadaan stabil. Kelebihan-kelebihan
tersebut membuktikan bahwa nanopartikel polimerik merupakan sistem yang efektif dalam
menjerat atau mengenkapsulasi obat-obat bioteknologi yang biasanya sensitif terhadap
perubahan lingkungan. Nanopartikel polimerik yang mengikat peptida dapat digunakan
sebagai penghantaran melalui oral yang diperpanjang dan dapat meningkatkan penyerapan
dan ketersediaan hayati (Rawat et al., 2006).
Dengan perekayasaan, nanopartikel polimerik dapat ditargetkan untuk menghantarkan
konsentrasi senyawa obat yang lebih tinggi menuju lokasi yang dikehendaki. Tetapi
partikel pembawa obat akan dibuang dari sistem sirkulasi oleh makrofag. Hal tersebut
adalah rintangan utama bila sel non-fagosit dalam tubuh merupakan sasaran pengobatan
(Rawat et al., 2006).
Disamping manfaat dan kelebihannya, nanopartikel polimerik memiliki keterbatasan
seperti sitotoksisitasnya. Ukurannya yang kecil akan membuat makrofag memasukkannya
dalam sel dan proses degradasi dalam sel dapat memberikan efek sitotoksik. Selain itu,
metode produksi dalam skala besar yang sukar dilakukan disamping usaha yang cukup
besar untuk mensintesis polimer dan kopolimer yang sesuai dengan sifat hidrofob dan
hidrofil dari obat (Rawat et al., 2006).
1.1.3
1.1.4
Kelebihan Nanopartikel
Nanopartikel memiliki beberapa kelebihan, antara lain: dapat menghantarkan obat dengan
lebih baik ke unit yang kecil dalam tubuh; mengatasi resistensi yang disebabkan oleh
barier fisiologi dalam tubuh yang disebabkan sistem penghantaran obat yang langsung
dipengaruhi oleh ukuran partikel; meningkatkan efisiensi penghantaran obat dengan
meningkatkan kelarutan dalam air obat-obat yang susah larut dalam air sehingga
meningkatkan bioavailabilitas; dapat ditargetkan, sehingga dapat mengurangi toksisitas
dan meningkatkan efisiensi distribusi obat; memungkinkan penghantaran obat hasil
rekayasa bioteknologi melalui berbagai anatomi tubuh yang ekstrim misalnya sawar otak,
cabang saluran sistem pulmonari, tight junction dari sel epitel usus, dan lain sebagainya;
dan memungkinkan penetrasi yang lebih baik pada tumor yang memiliki pori-pori
berdiameter 100-1000 nm (Rawat et al., 2006).
1.1.5
Kekurangan Nanopartikel
1.1.6
Pembuatan Nanopartikel
Sifat fisikokimia dari partikel sangat mempengaruhi tingkat absorbsi dalam saluran cerna.
Dan sifat tersebut dipengaruhi oleh metode pembuatan nanopartikel polimerik. Pemilihan
metode pembuatan nanopartikel bergantung pada sifat obat dan polimer (Delie and Blanco,
2005). Secara konvensional, secara umum nanopartikel dibuat dengan dua metode, yaitu:
(i) polimerisasi monomer sintesis; dan (ii) dispersi polimer sintesis atau makromolekul
alam (Soppimath et al., 2001; Delie and Blanco, 2005).
Pembuatan nanopartikel dengan reaksi polimerisasi telah dikembangkan untuk polimer
seperti
poli(metilmetakrilat)
(PMMA),
poli(alkilsianoakrilat)
(PACA),
dan
poli(metilidenmanolat) (PMM). Pada dasarnya, monomer yang tidak larut air didispersikan
dalam fase air kemudian polimerisasi diinduksi dan dikendalikan dengan penambahan
inisiator kimia atau dengan variasi dalam parameter fisik seperti pH, penggunaan radiasi
sinar dan surfaktan sebagai penstabil. Senyawa obat akan terjerat dalam dinding polimer
ketika ditambahkan ke dalam medium polimerisasi atau diadsorbsi pada permukaan
partikel yang sudah terbentuk (Delie and Blanco, 2005).
10
Gambar 1.7 Perbandingan antara obat yang terjerat dalam polimer (A) dan yang
teradsorpsi dipermukaan partikel (B) (Delie and Blanco, 2005).
Pembuatan nanopartikel menggunakan polimer, berdasar pada pembentukan endapan. Pada
prinsipnya, larutan organik yang mengandung polimer diemulsikan dalam fase air dengan
atau tanpa surfaktan. Kemudian pelarut organik dihilangkan dengan berbagai macam cara
seperti penguapan, difusi atau salting out dengan disertai pengadukan hingga terbentuk
partikel. (Delie and Blanco, 2005). Beberapa metode telah dikembangkan dalam
pembuatan nanopartikel dengan menggunakan polimer PLA, PLG, PLGA dan poly(kaprolakton) dengan metode dispersi polimer (Soppimath et al., 2001), antara lain:
a. Metode Penguapan Pelarut
Dalam metode ini, polimer dilarutkan dalam pelarut organik, misalnya diklorometan,
kloroform atau etil asetat. Zat aktif dilarutkan atau didispersikan dalam fase organik
tersebut, dan campuran ini kemudian diemulsikan dalam air untuk membentuk emulsi fase
organik dalam fase air, misalnya emulsi dengan menggunakan surfaktan atau emulgator
seperti gelatin, PVA, polisorbat-80, poloksamer-188, dan lain-lain. Setelah terbentuk
emulsi yang stabil, pelarut organik diuapkan baik dengan meningkatkan temperatur atau
dengan pengadukan yang kontinu. Metode emulsi ganda juga telah digunakan untuk
membuat nanopartikel yang berisi obat yang larut air. Kedua metode tersebut
menggunakan homogenisasi dengan kecepatan tinggi atau sonikasi (Soppimath et al.,
2001). Prosedur tersebut hanya dapat digunakan dalam skala lab, karena untuk produksi
pilot skala besar diperlukan metode alternatif yang menggunakan emulsifikasi dengan
energi rendah.
b. Metode Emulsifikasi Spontan/Difusi Pelarut
Metode emulsifikasi spontan/difusi pelarut adalah hasil modifikasi dari metode penguapan
pelarut. Dalam metode ini, fase minyak yang digunakan berupa pelarut yang dapat larut
dengan air (aseton atau metanol) yang ditambahkan dalam pelarut organik yang tidak larut
11
air (diklorometan atau kloroform). Karena difusi yang terjadi secara spontan dari pelarut
yang larut air, terbentuk turbulensi antar muka diantara dua fase sehingga membentuk
partikel yang lebih kecil. Bersamaan dengan berdifusinya pelarut larut air, ukuran partikel
yang terbentuk semakin kecil (Soppimath et al., 2001).
c. Modifikasi Metode Emulsifikasi Spontan/Difusi Pelarut
Metode ini adalah hasil modifikasi lanjutan dari penguapan pelarut. Dibandingkan dengan
metode emulsifikasi spontan/difusi pelarut, fase minyak yang digunakan dalam metode ini
adalah campuran dari 2 pelarut organik yang bercampur air seperti etanol/aseton atau
metanol/aseton, dan bukannya campuran pelarut yang dapat larut dengan air dengan
pelarut organik yang tidak larut air seperti aseton/diklorometan atau aseton/kloroform.
Alternatif ini mencegah agregasi partikel bahkan dalam fase organik yang mengandung
polimer dalam konsentrasi tinggi, yang mengakibatkan peningkatan hasil sehingga tepat
digunakan untuk skala industri. Kelebihan lainnya adalah penggunaan dari pelarut
berbahaya seperti diklorometan dapat dihindari, proses pemurnian dapat disederhanakan
dengan menggunakan teknik ultrafiltrasi. Prosedur yang digunakan terdiri dari 3 tahap,
yaitu quasi emulsification (pelarutan polimer dalam alkohol/aseton dan pembentukan
emulsi dalam air), pemurnian (menggunakan ultrafiltrasi) dan proses kering-beku
(Murakami et al., 1999).
d. Pembuatan Nanopartikel dengan Menggunakan Teknologi Cairan Superkritis
Cairan superkritis menjadi metode alternatif yang cukup menarik karena cairan ini
merupakan pelarut yang ramah lingkungan dan dapat menghasilkan partikel yang memiliki
kemurnian tinggi dan tanpa adanya pelarut yang tersisa. Secara umum prosedur yang
dilakukan adalah sebagai berikut: bahan nanopartikel dilarutkan dalam cairan superkritis
dibawah tekanan yang sangat tinggi kemudian larutan tersebut disemprotkan melalui
nozzle. Ketika disemprotkan, tekanan cairan superkritis menurun, hal ini menyebabkan
kemampuan cairan superkritis untuk melarutkan berkurang drastis sehingga partikelpartikel kecil akan mengendap seketika. Kelebihan lain dari penggunaan cairan superkritis
adalah proses pembentukan partikel yang sangat kecil sehingga ukuran partikel yang
dihasilkan sangat kecil (Gupta, 2006; Soppimath et al., 2000).
d. Metode Spray-Drying
Cara lain pembuatan nanopartikel dengan menggunakan polimer adalah melalui metode
spray-drying dimana obat dilarutkan atau didispersikan ke dalam pelarut organik yang
12
mengandung polimer, kemudian disemprotkan dalam aliran udara panas. Pelarut akan
segera menguap dan nanopartikel yang kering dapat diperoleh (Delie and Blanco, 2005).
1.1.7
Secara fisiologi, fungsi dari saluran gastrointestinal (GI) adalah untuk mencerna dan
menyerap nutrisi, air dan vitamin yang terkandung dalam makanan. Tetapi, saluran GI juga
berfungsi sebagai penghalang antara lingkungan dengan sisten sirkulasi sistemik untuk
mencegah masuknya patogen, toksin dan makromolekul yang tidak tercerna (Delie and
Blanco, 2005; Bhardwaj et al., 2006).
Saluran GI dilapisi dengan epitel yang terbuat dari sel-sel, diantaranya adalah sel absorpsi
(enterosit) dan sel goblet yang mensekresi mukus. Sel-sel ini bergabung secara erat dan
membentuk penghalang yang kuat dan dilapisi mukus. Folikel limfoid, bagian dari usus
yang berhubungan dengan sisten limfoid (GALT) dan berperan dalam pengembangan
respon imun mukosal, terletak di antara lapisan enterosit. Folikel limfoid terdistribusi
menyebar atau berkelompok di dalam bagian yang disebut Peyers patches (PPs). PPs
merupakan lapisan tunggal epitel terdiferensiasi yang terdiri dari enterosit absorptif seperti
epitel yang terasosiasi folikel (FAE). Jumlah PPs berbeda-beda pada tiap individu dan
spesies serta tergantung pada umur. PPs berada sepanjang usus dan jumlah terbanyak
terdapat pada ileum. Folikel limfoid-folikel limfoid terselubungi oleh FAE yang terdiri dari
enterosit, sel M yang didiferensiasi dari enterosit dan beberapa sel goblet. Bagian ini
merupakan tempat awal antigen ditemukan. FAE dan sel M merupakan tempat untuk
pengambilan partikel. Absobsi partikel khususnya, tetapi tidak hanya, terjadi pada PPs
pada tingkat sel M. Partikel dapat melintasi PPs atau melalui lapisan enterosit. Absorbsi
partikel terjadi sangat cepat dan merupakan mekanisme transelular dan beberapa dengan
jalur paraselular (Delie and Blanco, 2005; Bhardwaj et al., 2006).
13
Gambar 1.8 Skema representasi dari epitel usus pada bagian Peyers patch dan detail
FAE (Delie and Blanco, 2005).
Sifat fisikokimia nanopartikel sangat mempengaruhi tingkat pengambilan pada usus. Dua
faktor utama yang mempengaruhi adalah ukuran partikel dan sifat polimer yang digunakan
untuk membuat nanopartikel. Sebelum diabsobsi, terjadi interaksi antara partikel dengan
permukaan sel. Karena hal tersebut, sifat polimer yang digunakan untuk membuat
nanopartikel, khususnya kesetimbangan sifat hidrofobik/hidrofilik polimer dan muatan
permukaan, dan juga adanya senyawa obat yang terdapat pada permukaan nanopartikel
akan mempengaruhi tingkat pengambilan. Setelah diinternalisasi, nanopartikel akan
difagositosis oleh makrofag dan didistribusikan dalam seluruh bagian tubuh (Delie and
Blanco, 2005).
Selain mekanisme transselular yang telah diterangkan diatas, mekanisme transport
nanopartikel melintasi sel usus yang memungkinkan lainnya adalah jalur paraselular
melalui kanal air. Absorbsi paraselular adalah perlintasan obat melalui ruang antara sel
yang berukuran dalam rentang nanometer. Pada manusia, diameter pori kanal air berukuran
antara 4 dan 8 , sedangkan pada tikus dan kelinci berukuran sekitar 10-15 . Epitel
14
mukosal dalam usus halus berdiri dari sel yang terpolarisasi yang terhubung oleh
sambungan antar sel yang erat (tight intercellular junctions) seluas <1% dari luas
permukaan usus. Pengambilan partikel melalui antar sel absorbsi berbanding terbalik
dengan integritas struktur dari penghalang sambungan erat. Transport epitel partikel dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan permeabilitas jaringan epitel dengan cara membuka
sambungan erat dibawah pengaruh polimer mukoadesif dan meningkat penetrasi seperti
kitosan dan karbomer (Bhardwaj et al., 2006).
Gambar 1.9 Jalur penyerapan obat pada usus meliputi difusi paraseluler (A); difusi
paraseluler yang dibantu oleh modulator sambungan erat (B); difusi
pasif transseluler dengan metabolisme intraseluler (C); transpor
transseluler termediasi pembawa (D); difusi transseluler dimodifikasi
(E); transpor transeluler menggunakan vesikel. (Hamman, 2005)
Partikel dalam rentang 40-120 nm dapat diabsorpsi baik secara transelular maupun
paraselular. Ukuran merupakan faktor yang menentukan baik pengambilan maupun
perlakuan biologi partikel. Pada mencit, partikel dengan ukuran >5000 nm tidak dapat
menembus PPs, sedangkan pertikel berukuran antara 2000-5000 nm tetap berada pada PPs
dan partikel berukuran <2000nm dapat bermigrasi melalui PPs (Bhardwaj et al., 2006).
1.1.8
Karakterisasi nanopartikel
Seperti telah dibahas sebelumnya, sifat unik yang dimiliki oleh nanopartikel disebabkan
secara langsung oleh sifat fisikokimianya. Karena itu, penentuan karakteristik nanopertikel
diperlukan untuk mendapatkan pengertian mekanis dari perilaku nanopartikel. Pengertian
yang mendalam dapat digunakan dalam memperkirakan kinerja secara in vivo juga
diperlukan dalam merancang partikel, pengembangan formulasi dan mengatasi masalahmasalah dalam proses pembuatan nanopartikel.
Karakterisasi nanopartikel meliputi antara lain ukuran dan distribusi ukuran partikel,
morfologi partikel, muatan permukaan partikel, persen penjeratan zat aktif, profil
15
melepasan zat aktif secara in vitro dan in vivo, dan kemampuan penetrasi menembus barier
fisiologis.
a. Ukuran dan Distribusi Ukuran Nanopartikel
Ukuran partikel mempengaruhi secara langsung terhadap keunikan sifat dari nanopartikel,
karena itu penentuan ukuran dan distribusi ukuran nanopartikel harus dilakukan. Beberapa
metode dapat digunakan dalam penentuan seperti penghamburan cahaya dinamis (dynamic
light scattering/DLS), penghamburan cahaya statis (static light scattering/SLS), Ultrasonik
spektroskopi, turbidimetri, NMR, Coulter counter, penyaringan dan lain sebagainya
(Haskell, 2006).
b. Morfologi Nanopartikel
Bentuk dan keadaan permukaan nanopartikel penting untuk diketahui karena hal ini dapat
memberikan informasi tentang sifat pelepasan obat. Untuk melihat permukaan nanopartikel
dapat digunakan mikroskop elektron pemindaian (scanning electron microscopy/SEM),
mikroskop elektron transmisi (transmission electron microscopy/TEM), mikroskop daya
atom (atomic force microscopy) (Haskell, 2006).
c. Muatan Permukaan Nanopartikel
Muatan permukaan partikel mempengaruhi pengambilan partikel. Partikel yang hidrofob
akan diabsorbsi lebih cepat daripada partikel yang permukaannya bersifat hidrofil. Jumlah
partikel yang berada dalam PPs melalui rute oral berkorelasi dengan hidrofobisitas relatif
polimer yang digunakan untuk membuat partikel. Meningkatkan hidrofobisitas partikel
menambah permeabilitas melalui mukus tetapi mengurangi translokasi melalui dan
melintasi sel absorpsi. Karena itu, kesetimbangan sifat hidrofil-lipofil optimum merupakan
sifat yang perlu dimiliki oleh polimer pembentuk matrik (Bhardwaj et al., 2006). Selain itu
muatan yang terdapat pada permukaan dapat mengakibatkan agregasi partikel dalam
penyimpanan dan akan mempersulit partikel dalam melintasi membran plasma karena
molekul atau partikel yang bermuatan tidak bisa melintasi membran plasma (Haskell,
2006).
Untuk mengetahui muatan permukaan nanopartikel dapat digunakan beberapa metode,
antara lain penghamburan cahaya elektroforesis (electrophoretic light scattering),
elektroforesis tube U (U-tube electrophoresis), dan fraksinasi medan elektrostatis
(electrostatic field fractionation/electrostatic-FFF) (Haskell, 2006).
16
Semakin mendekati 100%, persen penjeratan semakin baik. Persen penjeratan perlu
diketahui untuk mengoptimasi metode sehingga bahan yang digunakan tidak banyak
terbuang.
e. Profil Pelepasan Zat Aktif
Profil pelepasan zat aktif penting dalam pengembangan formula sediaan farmasi. Tingkat
pelepasan zat aktif bergantung pada: (i) desorpsi obat yang teradsorbsi; (ii) difusi obat
menembus matrik nanopartikel untuk nanosfer atau difusi obat menembus dinding polimer
untuk nanokapsul; (iii) erosi matrik nanopartikel; (iv) kombinasi proses erosi matrik dan
difusi obat (Soppimath et al., 2001).
Metode yang digunakan dalam mengamati pelepasan zat aktif secara in vitro adalah : (i) sel
difusi berdampingan dengan membran biologis atau membran buatan; (ii) teknik difusi
kantung dialisis; (iii) teknik dialisis balik; (iv) ultrasentrifugasi; (v) ultrafiltrasi; (vi) teknik
ultrafiltrasi sentrifuga (Soppimath et al., 2001).
f. Kemampuan Penetrasi Menembus Barier Fisiologi
Kemampuan penetrasi menembus barier fisiologis perlu diketahui karena hal ini akan
mempengaruhi jumlah nanopartikel yang berhasil masih dalam sistem sirkulasi mengingat
zat aktif yang dimuatkan dalam nanopartikel adalah zat yang sulit atau bahkan tidak
memiliki kemampuan penetrasi menembus barier fisiologis (Bhardwaj et al., 2006).
Pengamatan secara in vitro dapat menggunakan kultur sel. Lapisan sel Caco-2 didapat dari
adenocarcinoma kolon manusia adalah cara pemeriksaan permeabilitas yang baing sering
digunakan untuk mempelajari transpor transepitel. Lapisan sel Caco-2 dapat diubah
menjadi sel M dengan cara kokultur dengan limfosit PPs (Bhardwaj et al., 2006).
17
Percobaan secara ex vivo dilakukan dengan menggunakan bagian usus untuk mengamati
permeabilitas obat melalui jaringan usus mamalia. Jaringan usus yang akan digunakan
untuk pengamatan pengambilan dan transport nanopartikel harus diperoleh dari binatang
yang baru dikorbankan karena lapisan sel epitel akan cepat lisis (Bhardwaj et al., 2006).
1.2
HPMCP
CH2OR
O
OH
OH
O
OR
O
OR
CH2OR'
HPMCP tersedia dalam berbagai jenis, diantaranya HP-55, HP-50, HP-55 F, HP-55S.
Angka di belakang HP menunjukkan kelarutan polimer dalam pH tersebut, S menunjukkan
bobot molekul yang besar, sedangkan F menunjukkan produk dengan ukuran partikel kecil
(Rowe et al., 2006).
HPMCP merupakan serbuk berwarna putih, tidak berbau dan tidak berasa. HPMCP larut
dalam aseton, campuran aseton-metanol (1:1), metilen klorida-metanol (1:1) dan larutan
alkali. Tidak larut dalam air, heksan dan larutan asam (Rowe et al., 2006).
Secara umum penambahan pemlastis dari luar dalam penyalutan menggunakan HPMCP
tidak diperlukan, karena HPMCP memiliki sifat pemlastis sehingga film yang terbentuk
cukup kuat dan kenyal untuk melindungi sediaan yang disalut secara mekanik. Berbeda
18
dengan selulosa asetat ftalat (CAP) dan kopolimer akrilat yang membutuhkan pemlastis
jika digunakan sebagai penyalut. HPMCP dapat digunakan sebagai penyalut, zat
pensuspensi, bahan pembentuk film, dan penyalut enterik (Rowe et al., 2006).
1.3
Eudragit RL PO
Eudragit RL, dikenal juga sebagai kopolimer amonium metakrilat, merupakan kopolimer
yang disintesis dari asam akrilat dan ester asam metakrilat dengan mengandung kelompok
amonium kuarterner sebanyak 10%. Kelompok amonium tersebut berada dalam bentuk
garam dan meningkatkan permeabilitas tidak tergantung pH polimer. Eudragit RL
memiliki struktur kimia pada gambar 1.2
H
CH3
CH3
CH3
H2
C
H2
C
H2
C
H2
C
CH3
CH2
C2H5
CH2CH2N(CH3)3+ Cl-
CH2N(CH3)3+ Cl-
19
1.4
Isoniazid
Isoniazid atau INH (C6H7N3O, BM 137,14) memiliki sinonim asam nikotinat hidrazida
mengandung tidak kurang dari 98% dan tidak lebih dan 102% C6H7N3O, dihitung terhadap
zat anhidrat. Tampak sebagai kristal putih atau tidak berwarna atau serbuk kristalin putih,
tidak berbau dan secara perlahan dipengaruhi oleh udara dan cahaya, awalnya berasa manis
kemudian pahit. Titik leleh isoniazid adalah 170-174 C.
H2N
NH
N
O
20
INH langsung diserap dari saluran cerna. Pemberian dosis oral sebesar 300 mg (5mg/kg
untuk anak-anak) menghasilkan konsentrasi plasma puncak 3-5 g/mL dalam l-2 jam. INH
langsung berdifusi cepat dari dalam darah ke seluruh cairan tubuh dan jaringan.
Metabolisme INH, terutama asetilasi oleh N-asetiltransferase hati ditentukan secara
genetik. Waktu paruh rata-rata pada asetilator cepat dan lambat secara berturut-turut adalah
kurang dari 1 jam dan 3 jam. Metabolit-metabolit INH dan sebagian kecil obat dalam
bentuk tetap dikeluarkan melalui urin. Dosis tidak perlu disesuaikan pada pasien dengan
gagal ginjal, tapi direkomendasikan dosis 1/3 sampai 1/2 dari dosis normal pada pasien
dengan insufisiensi hati parah (McEvoy, 2002).
1.1
Papain
Papain adalah senyawa proteolitik yang dimurnikan berasal dari Carica papaya Linn
(Kel. Caricaceae). Nama lain papain adalah papayatin atau vegetable pepsin karena
mempunyai kerja yang mirip dengan pepsin dan tripsin dalam kemampuannya
menguraikan protein (Harsha et al., 1996). Papain mengandung tidak kurang dari 6000
Unit tiap mg. Satu unit aktivitas enzim papain adalah aktivitas yang melepas setara dengan
1g tirosin dari susbstrat kasein pada kondisi tertentu (USP 28th, 2005).
21
pada hanya menggunakan papain. Campuran papain-urea pada umumnya dapat ditoleransi
dan tidak mengiritasi (National PBM Drug Monograph, 2004).
Kegunaan papain sebagai enzim proteolitik dalam bidang industri sangat beragam. Papain
merupakan enzim penting pada industri makanan dan minuman, kosmetika, industri kulit
dan farmasi. Pada industri makanan, selain digunakan sebagai pengempuk daging, juga
digunakan sebagai penggumpal kasein susu pada proses pembuatan keju (Jagtiani et
al.,1988). Dalam bidang farmasi, papain digunakan untuk mengatasi gangguan pencernaan.
Telah terbukti pemberian sediaan ini pada pasien dengan beberapa jenis tumor
menunjukkan kelangsungan hidup yang diperlama. Salah satu efek samping papain adalah
terjadinya reaksi alergi seperti kulit kemerahan dan gatal-gatal. Papain tidak dianjurkan
untuk orang hamil dan yang mengalami gangguan pendarahan.