LEARN-
INGDaftar Isi
BAB 1 PENDAHULUAN 1
A. Landasan Pemikiran 1
B. Tujuon Penulisan Buku 7
C. Ruang Lingkup Isi Buku
BAB 2 TRANSFORMASI PENDIDIKAN
DAN _GLOBALISAS! u
A_Tiansformasi So: 1
3 Tre A nom 3
C. Transformasi Demografis 14
DALAM BUDAYA INDONESIA
A. Penstrukturan
B. Barat-Timur 2
bn
BAB 4 MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE
EARNIN 23
A. Model Kompetis 2.
B. Model Individual 25
C. Model Cooperative Learning 28Pendahuluan
. Memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa. Tugas
seorang guru adalah memberi dan tugas seorang siswa adalah
menerima. Guru memberikan informasi dan mengharapkan
siswa untuk menghafal dan mengingatnya.
2. Mengisi boto! kosong dengan pengetahuan. Siswa adalah
penerima pengetahuan yang pasif. Guru memiliki penge-
tahuan yang nantinya akan dihafal oleh siswa.
3. Mengotak-ngotakkan siswa. Guru mengelompokkan siswa
berdasarkan nilai dan memasukkan siswa dalam kategori,
siapa yang berhak naik kelos, siopa yang tidak, siapo yang
bisa lulus dan siapa yang tidek, siapa yang bisa mendapatkan
pekerjaan yang layak dan siapa yang tidak. Kemampuan
dinilai dengan ranking dan siswa pun direduksi menjadi
angka-angka.
4. Memacu siswa dalam kompetisi bagaikan ayam aduan.
Siswa bekerja keras untuk mengalahkan teman sekelasnya.
Siapa yang kuat, dia yang menang. Orang tua pun saling
bersaing menyombongkan anaknya masing-masing dan me-
nonjolkan prestasi anaknya bagaikan memamerkan binatang
aduan.
Paradigma yang lama adalah guru memberikan penge-
tahuan kepada siswa yang pasif. Dalam konteks pendidikan
tinggi, paradigma lama ini juga berarti jika seseorang
mempunyai pengetahuan dan keahlian dalam suatu bidang,
dia pasti akan dapat mengajar. Dia tidak perlu tahu me-
ngenai proses belajar mengajar yang tepat. Dia hanya perlu
menuangkan apa yang diketahuinya ke dalam botol kosong
yang siap menerimanya.
Banyak guru dan dosen masih menganggap paradigma
lama ini sebagai satu-satunya alternatif. Mereka mengajar
dengan metode ceramah dan mengharapkan siswa Duduk,
Diam, Dengar, Catat, dan Hafal (DCH) serta mengadu
siswa satu sama lain. Johnson, Johnson, dan Smith (1991)Cooperative Learning
mengingatkan ketololan kita seperti dalam cerita Jubah Sang
Raja karangan Hans Christian Andersen. Dalam cerita ini,
Raja yang pesolek memesan jubah khusus pada dua orang
pecundang. Kedua orang ini memperdayai sang Raja dengan
mengatakan bahwa jubah yang mereka buat demikian ajaib
dan mulianya sehingga hanya orang bijaksana saja yang
bisa melihatnya. Dengan kata lain, mereka yang tidak bisa
melihatjubah ini adalah orang bodoh. Oleh karena itu, kedua
pecundang ini pura-pura menenun jubah barudan mengena-
kannya pada Sang Raja. Pada hari yang telah ditentukan,
Raja pun berjalan dalam prosesi disaksikan seluruh keraja-
annya. Walaupun melihat Raja mereka tidak mengenakan
apa-apa, semua orang berseru, "Wah, indahnya jubah itu!"
Mereka takut dianggap bodoh sehingga ikut-ikutan memuji
keindahan jubah itu. Di tengah-tengah kerumunan orang ini
ternyata ada seorang anak kecil yang dengan kepolosan
dan kejujurannya berujar, “Tetapi Raja kan telanjang!"
Hanya anak kecil inilah yang tidak terbatasi oleh kekuatan-
kekuatan tertentu yang sudah menjerumuskan orang
dewasa ke dalam ketidakjujuran.
Cerita ini adalah contoh betapa mudanh kita terjebak dalam
konsensus mengenai praktik-praktik pengajaran dan
kehilangan keberanian untuk menantang kebiasaan yang
sudah berurat berakar dalam kegiatan belajar mengajar.
Tradisi pengajaran berdasarkan paradigma yang disebutkan
di atas diabadikan terus dalam dunia pendidikan walaupun
korban-korban telah berjatuhan.
Tuntutan dalam dunia pendidikan sudah banyak berubah.
Kita tidak bisa lagi mempertahankan paradigma lama tersebut.
Teori, penelitian, dan pelaksanaan kegictan belajar mengajor
membuktikan bahwa para guru dan dosen sudah harus meng-
ubah paradigma pengajaran. Pendidik perlu menyusun dan
melaksanakan kegiaian belajar mengajar berdasarkan beberapa
pokok pemikiran sebagai berikut.
4Pendahuluan
1, Pengetahuan ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh
siswa. Guru menciptakan kondisi dan situasi yang me-
mungkinkan siswa membentuk makna dari bahan-bahan
pelajaran melalui suatu proses belajar dan menyimpannya
delam ingatan yang sewaktu-waktu dapat diproses dan
dikembangkan lebih lanjut (Piaget, 1952 & 1960; Freire,
1970).
2. Siswa membangun pengetahuan secara aktif. Belajar adalah
suatu kegiatan yang dilakukan siswa, bukan sesuatu yang
dilakukan terhadap siswa. Siswa tidak menerima penge-
tahuan dari guru atau kurikulum secara pasif. Teori Skemata
menjelaskan bahwa siswa mengaktifkan struktur kognitif
mereka dan membangun struktur-struktur baru untuk meng-
akomodasi masukan-masukan pengetahuan yang baru
(Anderson & Armbruster, 1982; Piaget, 1952 & 1960). Jadi,
penyusunan pengetahuan yang terus-menerus menempatkan
siswa sebagai peserta yang aktif.
3. Pengajar perlu berusaha mengembangkan kompetensi dan
kemampuan siswa. Kegiatan belajar mengajar harus lebih
menekankan pada proses daripada hasil. Setiap orang pasti
mempunyai potensi. Paradigma lama mengklasifikasikan
siswa dalam kategori prestasi belajar seperti dalam penilaian
ranking dan hasil-hasil tes. Paradigma lama ini menganggap
kemampuan sebagai sesuatu yang sudah mapan dan tidak
dipengaruhi oleh usaha dan pendidikan. Paradigma baru
mengembangkan kompetensi dan potensi siswa berdasarkan
asumsi bahwa usaha dan pendidikan bisa meningkatkan
kemampuan mereka. Tujuan pendidikon adalah meningkat-
kan kemampuan siswa sompai setinggi yang dia bisa
(Maslow, 1962; Rogers, 1982).
4. Pendidikan adalah interaksi pribadi di antara para siswa
dan interaksi antara guru dan siswa. Kegiatan pendidikan
adalah suatu proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa inter-
aksi antarpribadi. Belajar adalah suatu proses pribadi, tetapi
juga proses sosial yang terjadi ketika masing-masing orang
5Cooperative Learning
berhubungan dengan yang lain dan membangun pengertian
dan pengetahuan bersama (Johnson, Johnson & Smith, 1991)
Gambar 1a: Siswa 3DCH (Duduk, Diam, Dengar, Catat, Hafal).
latin
Gambar 1b: Siswa membangun pengetahuan secara aktif.
Walaupun sudah disadari bahwa siswa mendapatkan banyak
keuntungan dari diskusi yang mengaktifkan mereka, tidak banyak
guru yang melakukannya. Strategi yang paling sering digunakan
untuk mengaktifkan siswa adalah melibatkan siswa dalam diskusi
dengan seluruh kelas. Tetapi, strategi ini tidak terlalu efektif
walaupun guru sudah berusaha dan mendorong siswa untuk
berportisipasi. Kebanyakan siswa terpaku menjadi penonton
sementara arena kelas dikuasai oleh hanya segelintir orang.
Karp dan Yoels (1988) mencatat pengamatan mereka di tingkat
perguruan tinggi dan menemukan bahwa dalam kelas dengan
mahasiswa yang berjumlah kurang dari 40, hanya empat sampai
6Pendahuluan
lima mahasiswa saja yang menggunakan 75% dari waktu
interaksi yang disediakan. Dalam kelas yang berisi lebih dari
40 mahasiswa, hanya dua sampai tiga mahasiswa yang men-
dominasi separuh dari interaksi kelas.
Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian
rupa sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk berinter-
aksi satu soma lain. Dalam interaksi ini, siswa akan membentuk
komunitas yang memungkinkan mereka untuk mencintai proses
belajar dan mencintai satu sama lain. Dalam suasona belajar
yang penuh dengan persaingan dan pengisolasian siswa, sikap
dan hubungan yang negatif akan terbentuk dan mematikan
semangat siswa. Suasana seperti ini akan menghambat pem-
bentukan pengetahuan secara aktif. Oleh karena itu, pengajar
perlu menciptakan suasana belajar sedemikian rupa sehingga
siswa bekerja sama secara gotong royong. Sangat banyak
penelitian yang dilakukan terpisah oleh orang-orang yang
berbeda dalam konteks yang berlainan mengenai penggunaan
metode pembelajaran cooperative learning. Pada umumnya,
hasil-hasil penelitian tersebut mendukung penggunaan metode
pembelajaran cooperative learning. Data tersebut menunjukkan
bahwa suasana belajar cooperative learning menghasilkan
prestasi yang lebih tinggi, hubungan yang lebih positif, dan
penyesuaian psikologis yang lebih baik daripada suasana belajar
yang penuh dengan perscingan dan memisah-misahkan siswa
Uohnson & Johnson, 1989).
B. Tujuan Penulisan Buku
Banyak guru menyatakan bahwa mereka telah melaksanakan
metode belajar kelompok. Mereka telah membagi para siswa
dalam kelompok dan memberikan tugas kelompok. Namun, guru-
guru ini mengeluh bahwa hasil kegiatan-kegiatan ini tidak seperti
yang mereka harapkan. Siswa bukannya memanfaatkan kegiat-
an tersebut dengan baik untuk meningkatkan pengetahuan dan
7Cooperative Learning
kemampuan mereka, malah memboroskan waktu dengan ber-
main, bergurau, dan sebagainya. Para siswa pun mengeluh tidak
bisa bekerja sama dengan efektif dalam kelompok. Siswa-siswa
yang rajin dan pandai merasa pembagian tugas dan penilaian
kurang adil, sedangkan siswa yang kurang rajin dan pandai
merasa minder bekerja sama dengan teman-temannya yang
lebih mampu.
Tidak semua kerja kelompok bisa dianggap sebagai belajar
dengan metode cooperative learning. Keinginan baik para guru
untuk mengaktifkan para siswa perlu dihargai. Namun, para
guru juga perlu dibekali dengan sedikit latar belakang, landasan
pemikiran, dan penerapan metode pembelajaran gotong royong
untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal.
Buku ini ditulis khusus untuk membekali para guru dalam
pemakaian metode pembelajaran cooperative learning. Agar
buku ini bisa bermanfaat, tujuan penulisan buku ini perlu
dijelaskan. Buku ini ditulis dengan tujuan sebagai berikut.
1. Mengajak para guru, kepala sekolah, penilik, pengawas, dosen,
dan asisten penggjar serta para pembina dan pengelola pen-
didikan untuk mengenal ape yang sebenarnya dimaksudkan
dengan metode pembelajaran cooperative learning.
2. Mendorong mereka untuk melihat metode pembelajaran
cooperative learning sebagai suatu alternatif menarik dalam
memecahkan beberapa masalah yong dihadapi dalam
upaya mengaktifkan siswa dalam belojar.
3. Membantu mereka untuk melaksanakan kurikulum dan
kegiatan belajar mengajar secara efisien dan efektif.
4. Mendorong mereka untuk mengembangkan lebih lanjut
metode pembelajaran cooperative learning melalui penerap-
an di kelas sendiri maupun pembahasan bersama dengan
rekan guru, kepala sekolah, penilik, pengawas, dosen, dan
asisten penggjar serta para pembina dan pengelola pendidikan.
5. Melengkapi bahan pustaka sebagai penunjang kegiatan
guru, kepala sekolah, penilik, pengawas, dosen, dan asisten
pengajar seria para pembina dan pengelola pendidikan dan
8Pendahuluan
mendorong mereka untuk membaca bahan-bahan pustaka
lainnya secara mandiri.
6. Membontu meningkatkan profesionalisme para guru, kepala
sekolah, penilik, pengawas, dosen, dan asisten pengajar serta
para pembina dan pengelola pendidikan dengan menerap-
kan dan mengembangkan berbagai metode pembelajaran,
menambah wawasan melalui bahan-bahan pustaka, dan
membahasnya bersama dengan rekan-rekan seprofesi.
C. Ruang Lingkup Isi Buku
Dalam buku ini, penulis banyak memakai kata guru dan siswa,
tetapi tidak menutup kemungkinan dipakainya metode pembelajar-
an cooperative learning dalam konteks pendidikan tinggi. Buku
ini membahas berbagai aspek yang secara langsung atau tak
langsung berkaitan dengan metode pembelajaran cooperative
learning mulai dari landasan teoretis sampai dengan prosedur
penerapan metode dalam kegiatan belajarmengajar sehari-hari
Isi buku jerbagi dalam sembilan bab. Bab 1 membahas
landasan pemikiran, tujuan penulisan, dan ruang lingkup isi
buku ini.
Bab 2 mengetengahkan aspek-aspek di Ivar bidang pen-
didikan, nomun sangat mempengaruhi proses pendidikan. Pada
abad 21 ini, perubahan-perubahan besar yang mendasar
melanda banyck aspek kehidupan kita. Transformasi sosial,
ekonomi, dan demografis yang terjadi mengharuskan kita me-
nelaah kembali praktik-praktik pembelajaran di sekolah-sekolah:
Peranan yang harus dimainkan oleh dunia pendidikan dalam
mempersiapkan anak didik untuk berpartisipasi secara utuh
dalam kehidupan bermasyarakat di abed 21 akan lebih menantang.
Bab 3 menjabarkan nilai-nilai gotong royong dalam budaya
Indonesia yang akan sangat memungkinkan digunakannya metode
pembelajaran cooperative learning dalam proses belajar
mengajar di sekolah-sekolah.Cooperative Learning
_Bab 4 membahas keunggulon model pembelajaran coopera-
tive learning dibandingkan kedua model lainnya, kompetisi dan
individual.
Selanjutnya, Bab 5 mengetengahkan aspek-aspek yang mem-
bedakan metode pembelajaran cooperative learning dengan
proses-proses belajar kelompok yang biasanya sering dipakai.
Dua bab berikutnya menjabarkan cara-cara praktis dalam
melaksanakan metode pembelajaran cooperative learning. Bab
6 ditulis untuk membekoli para pendidik dengan cara-cara
praktis dalam mengelola kelas yang sesuai dengan metode pem-
belajaran cooperative learning. Pengelolaan kelas cooperative
learning ini berhubungan dengan pengelompokan siswa, pe-
mupukan semangat gotong royong, dan penataan ruang kelas.
Kemudian, Bab 7 memberikan berbagai teknik yang bisa
dipakai dalam metode pembelajaran cooperative learning. Bab
ini juga disertai dengan contoh penerapan dari beberapa teknik
tersebut dalam kegiatan belajar mengajar.
Akhimnya, Bab 8 membahas model penilaian belajar coope-
rative learning. Bab ini mengemukakan beberapa pokok pemikir-
an yang menantang praktik-praktik penilaian yang selama ini
banyak mewarnai dunia pendidikan kita. Model penilaian belajar
cooperative learning ditawarkan sebagai alternatif yang patut
dipertimbangkan untuk meningkatkan mutu pendidikan kita.
Bab 9 merupakan bab penutup. Sebagaimana lazimnyo,
Dafter Pustaka disertakan di akhir buku ini. Artikel, makalah,
buku, dan disertasi yang dipakai langsung atau tidak langsung
sebagai acuan diharapkan bisa menggugah keinginan para
pendidik untuk melanjutkan sendiri pendalaman bahan-bahan
tersebut dan pengembangan metode pembelajaran coopera-
tive learning ini, baik secara mandiri maupun melalui kerja sama
dengan rekan seprofesi.Bab 2
Transformasi Pendidikan
dan Globalisasi
Pada abad 21 ini, kita perlu menelaah kembali praktik-praktik
pembelajaran di sekolah-sekolah. Peranan yang harus dimain-
kan oleh dunia pendidikan dalam mempersiapkan anak didik
untuk berpartisipasi secara utuh dalam kehidupan bermasyarakat
di abad 21 akan sangat berbeda dengan peranan tradisional
yang selama ini dipegang erat oleh sekolah-sekolah.
Ada persepsi umum yang sudah berakar dalam dunia pen-
didikon dan juga sudah menjadi harapan masyarakat. Persepsi
umum ini menganggap bahwa sudah merupakan tugas guru
untuk mengajar dan menyodori siswa dengan muatan-muatan
informasi dan pengetahuan. Guru perlu bersikap atau setidaknya
dipandang oleh siswa sebagai yang mahatahu dan sumber
informasi. Lebih celaka lagi, siswa belajor dalam situasi yang
membebani dan menakutkan karena dibayangi oleh tuntutan-
tuntutan mengejar nilai-nilai tes dan ujian yang tinggi.
Tampaknya, perlu adanya perubahan paradigma dalam
menelaah proses belajar siswa dan interaksi antara siswa dan
guru. Sudah seyogianyalah kegiatan belajar mengajar juga lebih
mempertimbangkan siswa. Siswa bukanlah sebuah botol kosong
yang bisa diisi dengan muatan-muatan informasi apa sajo yang
11Cooperative Learning
dianggap perlu oleh guru. Selain itu, alur proses belajar tidak
harus berasal dari guru menuju siswa. Siswa bisa juga saling
mengajar dengan sesama siswa yang lainnya. Bahkan, banyak
penelitian menunjukkan bahwa penggjaran oleh rekan sebaya
(peer teaching) ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh
guru. Sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada
anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam
jugas-tugos yang terstruktur disebut sebagai sistem “pem-
belajaran gotong royong” atau cooperative learning. Dalam
sistem ini, guru bertindak sebagai fasilitator.
Ada beberapa alasan penting mengapa sistem pengajaran
ini perlu dipakai lebih sering di sekolah-sekolah. Seiring dengan
proses globalisasi, juga terjadi transformasi sosial, ekonomi,
dan demografis yang mengharuskan sekolah dan perguruan
tinggi untuk lebih menyiapkan anak didik dengan keterampilan-
keterampilan baru untuk bisa ikut berpartisipasi dalam dunia
yang berubah dan berkembang pesat.
A. Transformasi Sosial
Karena pengaruh modernisasi, struktur keluarga berubah drastis
dalam dua dekade terakhir ini. Semakin banyak anak yang di-
besarkan dalam keluarga inti tanpa kehadiran penuh kedua
orang tua. Tingkat mobilitas dan isolasi keluarga makin meningkat
dengan semakin bertambahnya kaum iby yang berkarier. Banyak
anak tumbuh dengan sedikit sekali pengasuhan dari orang tua
Yang lebih menyedihkan lagi, anak bisa meluangkan lebih banyak
waktu di depan televisi daripada di sekolah. Stasiun televisi boleh
saja membantah hasil penelitian mengenai pengaruh antisosial
televisi, namun yang jelas menonton televisi adalah kegiatan solitair.
Pada saat mata terpaku pada layar, hilanglah kesempatan untuk
mengembangkan interaksi sosial dan keterampilan berkomuni-
kasi. Anak usia SD menonton televisi rata-rata 15 kali lebih lama
daripada berbicara dengan ayah mereka (Spencer Kagan, 1992).
12Transformasi Pendidikan dan Globalisasi
Sekolah tidak bisa lagi hanya memperhatikan perkembangan
kognitif anak didik. Di tengah-tengah transformasi sosial yang
membawa makin banyak dampak negatif, sekolah seharusnya
merasa terpanggil untuk juga memperhatikan perkembangan
moral dan sosial anak didik. Dalam sistem pengajaran
tradisional, siswa dipaksa untuk bekerja secara individu atau
kompetitif tanpa ada banyak kesempatan untuk berinteraksi dan
bekerja sama dengan sesama.
B. Transformasi Ekonomi
Transformasi ekonomi adalah alasan kedua mengapa sistem
pengagjaran perlu diubah. Seperti yang dikatakan John Naisbitt,
hampir 90% pekerjaan dalam era post-industri bergerak dalam
bidang atau berhubungan dengan informasi, ilmu pengetahuan,
atau jasa. Derasnya arus informasi sudah tidak memungkinkan
lagi bagi guru untuk bersikap mahatahu dan beranggapan
bahwa siswa perlu dimasuki dengan berbagai fakta pengetahuan
dan informasi. Agar bisa lebih siap memasuki era informasi,
siswa perlu diajar bagaimana caranya untuk mendapatkan
informasi sendiri, apakah itu dari guru, teman, bahan-bahan
pelajaran, ataupun sumber-sumber lain.
Selain itu, keterkaitan (interdependence) merupakan ciri lain
dari transformasi ekonomi. Pada kebanyakan pekerjaan,
kepandaicn atau kemampuan individu bukanlah yang ter-
penting. Kemampuan untuk bekerja sama dalam tim lebih
dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan keberhasilan suatu
usaha. Sebagai pendidik yang bertanggung jawab, guru perlu
melihat lebih jauh daripada sekadar nilai-nilai tes dan ujian.
Seharusnyalah, para guru lebih merasa terpanggil untuk
mempersiapkan anak didiknya agar bisa berkomunikasi dan
bekerja sama dengan orang lain dalam berbagai macam situasi
sosial.Cooperative Learning
C. Transformasi Demogratis
Transformasi demografis merupakan dampak lain dari era global-
isasi. Tingkat urbanisasi dunia meningkat menurut deret ukur.
Pada tahun 1800, hanya ada 2,4% penduduk dunia yang hidup
di kota. Angka ini meningkat menjadi 10% pada tahun 1900 dan
25% pada 1950. Urbanisasi membawa implikasi-implikasi serius
dalam perubahan nilai-nilai sosial dan proses sosialisasi. Sejak
awal abad ini, para pakar sosiologi telah mengingatkan me-
ngenai konsekuensi hidup dan bekerja berdekatan dengan banyak
orang lain tanpa keterkaitan sentimental, emosional, dan ekonomis.
Kompetisi dan eksploitasi merupakan bagian dari kehidupan
perkotaan dan mewarnai evolusi karakter dan nilai-nilai sosial.
Ternyata, urbanisasi telah memegang peranan dalam penciptaan
homo homini lupus. Sekolah sehorusnya bisa berbuat lebih banyak
dalam mengubah arah evolusi nilai-nilai sosial. Sebagai keluarga
kedua, sekolah bisa merupakan tempat untuk menanamkan
sikap-sikap cooperative dan mengajarkan cara-cara bekerja
sama. Sekolah bisa memegang peranan yang lebih penting
dalam pembentukan anak didik menjadi homo homini socius.
Kebinekaan suku bangsa dan ras merupakan ciri-ciri lain
dari transformasi demografis. Sebagai bagian dari masyarakat,
sekolah-sekolah juga merupakan tempat pertemuan anak-anak
dari berbagai macam suku dan ras. Tanpa penanganan yang
bijaksana, siswa-siswa bisa terjatuh dalam ketegangan antarsuku
dan sikap-sikap rasialis. Seorang siswa bisa saja duduk di satu
kelas yang sama dengan siswa lain yang berbeda suku atau ras
selama bertahun-tahun. Namun, jika siswa ini tidak diajari untuk
berinteraksi dengan teman sekelas dalam suasana yang coop-
erative, kemungkinan besar siswa tersebut akan gagal untuk
memandang siswa yang berbeda ras/suku sebagai seorang
individu dengan segala nuansa kemanusiaannya. Yang dia lihat
tidak akan lebih dari stereotip-stereotip yang sangat mungkin
menjurus pada sikap-sikap prejudice dan rasialis.
14Transformasi Pendidikan dan Globalisasi
Berbagai konflik antarumat beragama serta manusia dari
latar belakang etnis dan suku yang berbeda di Indonesia telah
menimbulkan hilangnya banyak nyawa dan harta benda. Kegagal-
an dalam hubungan entarmanusia ini tidak lepas dari kurangnya
peran sekolah dalam membina tali persaudaraan antarsiswa
dan mengembangkan dimensi efektif para siswa. Sekolah perlu
mengambil peran lebih besar dalam membekali dan mengantar
para siswa agar nantinya mereka bisa hidup dalam damai
dengon diri mereka sendiri dan dengan orang lain yang berbeda
latar belakang dalam masyarakat yang makin beragam.
Seperti kata pakar pendidikan, John Dewey, sekolah adalah
miniatur masyarakat, sudah selayaknyalah anak didik belajar
mengenai tata cara bermasyarakat dalam konteks-konteks yang
sesungguhnya semasa masih di sekolah. Metode pengajaran
cooperative learning telah dibuktikan sangat efektif dalam me-
ningkatkan hubungan antarras di Amerika Serikat (Robert Slavin,
1985). Sebelum pendekatan ini dipakai, ada jarak yang dalam
antara siswa-siswa Amerika keturunan Anglo dengan siswa-siswa
keturunan Afrika dan Hispanik. Walaupun sering kali tidak
kentara, sikap saling mencurigai dan membenci merupakan
sikap yang umum di antara masyarakat Amerika Serikat. Beberapa
tahun setelah metode pembelajaran cooperative learning dipakai
di beberapa sekolah, siswa-siswa yang berlainan ras mulai lebih
bisa saling mengerti dan menerima.
Kita sedang mengalami krisis dalam dunia pendidikan
Perubahan-perubahan yang cepat dan dahsyat di dunia Ivar
merupakan tantangan-tantangan yang harus dijawab oleh dunia
pendidikan. Jika kita tidak mengubah praktik-praktik pengojaran
dan pendidikan yang sudah usang, kita akan bergerak menuju
keruntuhan, bukan saja dalam dunia pendidikan, melainkan
juga dalam kehidupan bermasyarakat. Jika kita tidak mengubah
kebiasaan-kebiasaan kontra-edukatif, kita malah akan men-
jerumuskan anak didik dalam ketidakberdayaan menghadapi
tantangan-tantangan kehidupan. Dengan tingkat kecepatan
yang sangat tinggi, kita sedang memasuki kehidupan sosial
15Cooperative Learning
ekonomi yang didasari oleh perkembangan informasi, teknologi
tingkat tinggi, dan keierkaitan. Seiring dengan fungsi tradisional
sekolah untuk membekali anck didik dengan keterampilan-
keterompilan dasar dan muatan-muatan informasi, sekolah juge
harus membina anak didik agar mempunyai kemampuan untuk
berpikir kritis dan kreatif, keterampilan berkomunikasi, dan
berkehidupan sosialBab 3
Nilai-Nilai Gotong Royong
dalam Budaya Indonesia
Tidak bisa dipungkiri bahwa latar belakang sejarah bangsa In-
donesia sangat bertolak belakang dengan latar belakang masya-
rakat Amerika Serikat. Karena perbedaan ini, ada suatu keragu-
raguan bahwa penggunaan metode cooperative learning atau
sistem pengajaran gotong royong mungkin bisa menghambat
upaya pengembangan kemampuan diri sebagai individu
(Surabaya Post, 31/7/95).
Alasan yang dikemukakan adalah kecenderungan negatif
yang menyertai semboyan "Bersatu kita teguh, bercerai kita
tuntuh”. Karena selama 350 tahun ketenteraman kita diusik dan
digerogoti oleh berbagai bangsa yang ingin menguasai negeri
ini, kita begitu mudah, misalnya, mencari kambing hitam dan
melempar kesalahan kepada orang lain. Mengakui kesalahan
pun nyaris menjadi hal tabu. "Kecenderungan untuk membonceng
pada keberhasilan orang lain juga amat kuat” (Toenlioe, 1995).
Sesungguhnya, bagi guru-guru di negeri ini metode gotong
royong tidak terlampau asing dan mereka telah sering meng-
gunakannya dan mengenalnya sebagai metode kerja kelompok
Memang tidak bisa disangkal bahwa banyak guru telah sering
menugaskan para siswa untuk bekerja dalam kelompok. Salah
satu contohnya adalch metode Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
17Cooperative Learning
Sayangnya, metode kerja kelompok sering dianggap kurang
efektif. Berbagai sikap dan kesan negatif memang bermunculan
dalam pelaksanaan metode kerja kelompok. Jika kerja kelompok
tidak berhasil, siswa cenderung saling menyalahkan. Sebaliknya
jika berhasil, muncul perasaan tidak adil. Siswa yang pandai/
rajin merasa rekannya yang kurang mampu telah membonceng
pada hasil kerja mereka. Akibatnya, metode kerja kelompok
yang seharusnya berlujuan mulia, yakni menanamkan rasa per-
saudaraan dan kemampuan bekerjo sama, justru bisa berakhir
dengan kelidakpuasan dan kekecewaan. Bukan hanya guru dan
siswa yang merasa pesimis mengenai penggunaan metode kerja
kelompok, bahkan kadang-kadang orang tua pun merasa was-
was jika anak mereka dimasukkan dolam satu kelompok dengan
siswa lain yang dianggap kurang seimbang.
A. Penstrukturan
Berbagai dampak negatif dalam penggunaan metode kerja
kelompok tersebut seharusnya bisa dihindari jika saja guru mau
meluangkan lebih banyak waktu dan perhatian dalam persiapan
dan penyusunan metode kerja kelompok. Yang diperkenalkan
dalam metode pembelajaran cooperative learning bukan
sekadar kerja kelompoknya, melainkan pada penstrukturannya.
Jadi, sistem pengajaran cooperative learning bisa didefinisikan
sebagai sistem kerja/belajar kelompok yang terstruktur. Yang
termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok (Johnson
& Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung
jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan
proses kelompok. Kelima unsur pokok ini akan dibahas dengan
lebih mendalam dalam Bab 5.
Kekhawatiran bahwa semangat siswa dalam mengembang-
kan diri secara individu biso terancam dalam penggunaan metode
kerja kelompok bisa dimengerti karena dalam penugasan kelompok
yang dilakukan secara sembarangan, siswa bukannya belajar
18Nilai Gotong Royong dalam Budaya Indonesia
secara maksimal, melainkan malah belajar mendominasi ataupun
melempar tanggung jawab. Metode-metode pembelajaran gotong
royong distruktur sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota
dalam satu kelompok melaksanakan tanggung jawab pribedinya
karena ada sistem akuntabilitas individu. Siswa tidak bisa begitu
saja membonceng jerih payah rekannya dan usaha setiap siswa
akan dihargai sesuai dengan poin-poin perbaikannya.
Jadi, walaupun individualisme masyarakat Amerika Serikat
lebih menoniol, tidak berarti metode cooperative learning hanya
cocok untuk diterapkan di sana dan akan menghambat
perkembangan kemampuan individu dalam masyarakat kita,
Dalam metode cooperative learning, justru siswa diarahkan
untuk bisa juga bekerja, mengembangkan diri, dan bertanggung
jawab secara individu
Hal lain yang juga menarik adalah anggapan bahwa peng-
gunaan metode cooperative leaming akan membuat orang Amerika
makin mengukuhkan diri di papan atas dalam berbagai bidang
kehidupan. Metode pembelajaran gotong royong atau cooper-
ative learning yang mulai dipakai di Amerika Serikat dalam dua
dekade terakhir justru bukan untuk mengukuhkan mereka dalam
keberhasilan individu. Prestasi orang-orang Amerika Serikat
secara individu dalam papan atas lebih disebabkan oleh
banyaknya kesempatan untuk mengembangkan individualisme
dan kreativitas dalam berbagai bidang kehidupan bermasya-
rakat. Sebagai contoh, pemenang-pemenang hadiah Nobel
sudah bermunculan dari Amerika Serikat jauh sebelum metode
cooperative leaming digunakan secara gencar.
Sebaliknya, metode cooperative learning digunakan di
sekolah-sekolah di Amerika Serikat untuk menanamkan unsur
yang lainnya, yaitu saling ketergantungan positif. Salah satu
metode cooperative learning, Jigsaw, pada mulanya diperkenal-
kan di sekolah-sekolah di mana ada ketegangan rasialis antara
siswa keturunan Eropa, Afrika, dan Hispanik. Siswa-siswa ini
digjar untuk biso—di balik kuatnya rasa individualisme mereka—
berinteraksi secara positif dengan siswa-siswa lain dengan latar
19Cooperative Learning
belakang yang sangat berbeda dalam kegiatan akademis.
Memang selang beberapa waktu konilik rasialis berhasil di-
kurangi secara drastis dan prestasi akademis pun jadi meningkat.
Ternyata, orang Amerika sendiri mulai menyadari bahwa
individvalisme saja tidaklah cukup. Keberhasilan orang-orang
Amerika di berbagai bidang kehidupan sudah mendapat peng-
akuan di seluruh dunia. Namun, patut dipertanyakan apalch
artinya keberhasilan pribadi jika tidak bisa ditindaklanjuti dan
diterapkan dalam masyarakat. Banyak penemu dalam bidang
Iptek berasal dari Amerika Serikat. Namun ironisnya, yang lebih
bisa mengembangkan dan menikmati hasil temuan ini adalah
bangsa lain yang lebih terbiasa untuk bekerja sama dalam saling
ketergantungan.
wa EP on
a RE
Saling menguntungkan melalui gotong royong.
20Nilai-Nilai Gotong Royong dalam Budaya Indonesia
Sebagci contoh, penemuan mesin mobil oleh Ford dan chip
mikroprosesor oleh perusahaan komputer Intel, biso dikatakan
sebagai hasil kreativitas dan kemampuan pengembangan
individu yang tinggi dalam masyarakat Amerika Serikat. Namun
kenyataannya, saat ini yang merajai pasaran adalah mobil-mobil
Asia dan komputer buatan negora-negara macan Asia
Walaupun merasa jengkel dengan sistem proteksi Jepang,
banyak orang Amerika sendiri mengakui bahwa mobil Jepang
lebih bermutu daripada mobil buatan bangsanya sendiri dan
jauh lebih banyak mobil Jepang daripada mobil Amerika di
jalan-jalan di Amerika Serikat. Komputer produk negara-negara
macan Asia juga telah merajai dunia dengan harga yang makin
lama makin murah dan dengan kemampuan yang makin tinggi
(Kuswadi, 1994).
B. Barat-Timur
Bangsa Indonesia sedang berada dalam era menutup keter-
tinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi,
jangon sampai obsesi untuk menutup ketertinggalan ini menjadi
keterusan dan merusak keseimbangan. Karena keberhasilan
negara-negara Barat dalam bidang teknologi, pengembangan
kemampuan individu dan sikap individualisme Barat dianggap
sebagai mantera yang bisa mengatasi setiap masalah dan
mengantarkan bangsa pada keberhasilan dalam berbagai
bidang. Padahal di pihak lain, negara Barat justru sedang
mempelgjari nilai-nilai gotong royong dan keterkaitan yang ada
dalam budaya kita.
Yong menarik, negara-negara Barat saat ini justru sudah
menyadari kekurangan mereka dan sedang getol menutup
keterlinggalan mereka. Di satu titik, kita mengagumi keberhasilan
dunic Barat dan berusaha untuk juga mendapatkannya melalui
cara mereka. Dititik lain, dunia Barat justru menemukan sesuatu
pada kita yang selama ini tidak kita hiraukan. Keinginan untuk
21Cooperative Learning
maju dan berhasil adalah sesuatu yang sangat positif dan
memang bangsa kita sedang membutuhkan dorongan ini,
terutama pada saat-saat sekarang ini. Tetapi, mudah-mudahan
saja kita tidak hanyut dalam proses kejar-mengejar yang
melelahkan dalam lingkaran Barat-Timur.
22Bab 4
Model Pembelajaran
Cooperative Learning
Sekolah adalah salah satu arena persaingan. Mulai dari awal
masa pendidikan formal, seorang anak belajar dalam suasana
kompetisi dan harus berjvang keras memenangkan kompetisi
untuk bisa naik kelas atau lulus. Sebenarnya, kompetisi bukanlah
satu-satunya model pembelajaran yang bisa dan harus dipakai
Ada tiga pilihan model, yaitu kompetisi, individual, dan coope-
rative learning.
A. Model Kompetisi
Banyak pengajar memakai sistem kompetisi dalam pengajaran
dan penilaian anak didik. Dalam model pembelajaran kompetisi,
siswa belajar dalam suasana persaingan. Tidak jarang pula,
guru memakai imbalan dan ganjaran sebagai sarana untuk me-
motivasi siswa dalam memenangkan kompetisi dengan sesama
pembelajar. Teknik imbalan dan ganjaran yang didasari oleh
feori behaviorisme atau stimulus-respons ini banyak mewarnai
sistem penilaian hasil belajar. Tujiuan utama evaluasi dalam
model pembelajaran kompetisi adalah menempatkan anak didik
dalam urutan mulai dari yang paling baik sampai dengan yang
23Cooperative Learning
paling jelek. Pola penilaian biosanya menempatkan sebagian
besar anak didik dalam kategori rata-rata, beberapa anak dalam
kategori berprestasi, dan beberapa lagi sebagai calon tidak
lulus. Akibat langsung pola penilaian semacam ini adalah
sebagian besar anak harus melewati sedikitnya dua belas tahun
dalam masa hidup mereka sebagai anak yang rata-rata atau
biasa-biasa sajo. Mereka tidak pernah merasakan kebanggaan
sebagai anak berprestasi.
Secara positif, model kompetisi bisa menimbulkan rasa cemas
yang justru bisa memacu siswa untuk meningkatkan kegiatan
belajor mereka. Sedikit rasa cemas memang mempunyai korelasi
positif dengan motivasi belajar. Namun sebaliknya, rasa cemas
yang berlebihan justru bisa merusak motivasi. Selain itu, model
kompetisi juga mempunyai dampak-dampak negatif yang perlu
diwaspadai. Model pembelajaran kompetisi menciptakan
suasana permusuhan di kelas. Untuk bisa berhasil dalam sistem
ini, seorang anak harus mengalahkan teman-teman sekelasnya.
Sering anak yang berhasil mendapatkan nilai tinggi dimusuhi
karena dianggap menaikkan rata-rata kelas dan menjatuhkan
teman. Anak semacam ini dicap sebagai “tidak kompak”. Se-
baliknya, anak yang kalah dalam persaingan bisa menjadi anti-
pati terhadap sesama siswa, pengajar, sekolah, atau malahan
proses belajar. Label sebagai orang yang kalah dalam persaing-
an ini bisa menjadi stigma atau Iuka batin yang terus mengganggu
sepanjang kehidupan seseorang. Dalam pikiran anak didik
ditanamkan sikap “agar aku bisa menang, orang lain harus kalah.”
Tidak jarang sikap semacam ini terbawa terus sesudah sese-
orang lulus dari sekolah. Akibatnya, tempat kerja merupakan
kelanjutan dari arena persaingan yang diciptakan di sekolah
Padahal, untuk bisa berhasil, setiap organisasi harus bisa men-
ciptakan suasana kerja sama antaranggotanya. Keberhasilan
suatu organisasi juga berarti keberhasilan pribadi para anggota
Tetapi, tidak mudah untuk bersikap “biarkan orang lain menang
supaya aku juga bisa menang,” setelah digembleng dalam
suasana persaingan selama kurang lebih dua belas tahun.
24Penerbit PT Grasindo
JI. Palmerah Selatan 22-28
Jokarta 10270
a ER RS i Baa
Sistem pengajaran di sekolah-sekolah kita, cenderung mengarahkan
sigwa melihat sesamanya sebagai kompetitior. Setiap kompetitor, perlu
Creu a et TNS ec
Pere tne ace eS On ee een
siapa saja sebagai pesaing yang harus dikalahkan-sikap yang kerap kali
dipertontonkan di panggung politik ataupun dalam dunia usaha,
Padahal, yang positif adalah bersaing dengan diri sendiri. Ukuran
Pe ae ee cae aera erg
ada orang lain, yang bersangkutan tetap melakukan dan menghasilkan
yang terbaik. Orang lain bukan ancaman, melainkan mitra yang
mendukung untuk mencapai tujuan dan kesuksesan.
‘Cooperative Leaming member landasan teoretis bagaimana siswa dapat
See Uae rene
COMO oe eee st ae eect et arc)
Cora ne oe rs een
menuai buah persahabatan dan perdamaian. Cooperative Learning
‘memandang siswa sebagai makhluk sosial (homo homini socius), bukan
homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya).
per ey crn ete Ce Rete cE tee
Pea en tee ete at ks CT en acy
depan yang pasti mendapatkan perhatian,
Reterena\ Pendidikan
wl