You are on page 1of 25
LEARN- ING Daftar Isi BAB 1 PENDAHULUAN 1 A. Landasan Pemikiran 1 B. Tujuon Penulisan Buku 7 C. Ruang Lingkup Isi Buku BAB 2 TRANSFORMASI PENDIDIKAN DAN _GLOBALISAS! u A_Tiansformasi So: 1 3 Tre A nom 3 C. Transformasi Demografis 14 DALAM BUDAYA INDONESIA A. Penstrukturan B. Barat-Timur 2 bn BAB 4 MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE EARNIN 23 A. Model Kompetis 2. B. Model Individual 25 C. Model Cooperative Learning 28 Pendahuluan . Memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa. Tugas seorang guru adalah memberi dan tugas seorang siswa adalah menerima. Guru memberikan informasi dan mengharapkan siswa untuk menghafal dan mengingatnya. 2. Mengisi boto! kosong dengan pengetahuan. Siswa adalah penerima pengetahuan yang pasif. Guru memiliki penge- tahuan yang nantinya akan dihafal oleh siswa. 3. Mengotak-ngotakkan siswa. Guru mengelompokkan siswa berdasarkan nilai dan memasukkan siswa dalam kategori, siapa yang berhak naik kelos, siopa yang tidak, siapo yang bisa lulus dan siapa yang tidek, siapa yang bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan siapa yang tidak. Kemampuan dinilai dengan ranking dan siswa pun direduksi menjadi angka-angka. 4. Memacu siswa dalam kompetisi bagaikan ayam aduan. Siswa bekerja keras untuk mengalahkan teman sekelasnya. Siapa yang kuat, dia yang menang. Orang tua pun saling bersaing menyombongkan anaknya masing-masing dan me- nonjolkan prestasi anaknya bagaikan memamerkan binatang aduan. Paradigma yang lama adalah guru memberikan penge- tahuan kepada siswa yang pasif. Dalam konteks pendidikan tinggi, paradigma lama ini juga berarti jika seseorang mempunyai pengetahuan dan keahlian dalam suatu bidang, dia pasti akan dapat mengajar. Dia tidak perlu tahu me- ngenai proses belajar mengajar yang tepat. Dia hanya perlu menuangkan apa yang diketahuinya ke dalam botol kosong yang siap menerimanya. Banyak guru dan dosen masih menganggap paradigma lama ini sebagai satu-satunya alternatif. Mereka mengajar dengan metode ceramah dan mengharapkan siswa Duduk, Diam, Dengar, Catat, dan Hafal (DCH) serta mengadu siswa satu sama lain. Johnson, Johnson, dan Smith (1991) Cooperative Learning mengingatkan ketololan kita seperti dalam cerita Jubah Sang Raja karangan Hans Christian Andersen. Dalam cerita ini, Raja yang pesolek memesan jubah khusus pada dua orang pecundang. Kedua orang ini memperdayai sang Raja dengan mengatakan bahwa jubah yang mereka buat demikian ajaib dan mulianya sehingga hanya orang bijaksana saja yang bisa melihatnya. Dengan kata lain, mereka yang tidak bisa melihatjubah ini adalah orang bodoh. Oleh karena itu, kedua pecundang ini pura-pura menenun jubah barudan mengena- kannya pada Sang Raja. Pada hari yang telah ditentukan, Raja pun berjalan dalam prosesi disaksikan seluruh keraja- annya. Walaupun melihat Raja mereka tidak mengenakan apa-apa, semua orang berseru, "Wah, indahnya jubah itu!" Mereka takut dianggap bodoh sehingga ikut-ikutan memuji keindahan jubah itu. Di tengah-tengah kerumunan orang ini ternyata ada seorang anak kecil yang dengan kepolosan dan kejujurannya berujar, “Tetapi Raja kan telanjang!" Hanya anak kecil inilah yang tidak terbatasi oleh kekuatan- kekuatan tertentu yang sudah menjerumuskan orang dewasa ke dalam ketidakjujuran. Cerita ini adalah contoh betapa mudanh kita terjebak dalam konsensus mengenai praktik-praktik pengajaran dan kehilangan keberanian untuk menantang kebiasaan yang sudah berurat berakar dalam kegiatan belajar mengajar. Tradisi pengajaran berdasarkan paradigma yang disebutkan di atas diabadikan terus dalam dunia pendidikan walaupun korban-korban telah berjatuhan. Tuntutan dalam dunia pendidikan sudah banyak berubah. Kita tidak bisa lagi mempertahankan paradigma lama tersebut. Teori, penelitian, dan pelaksanaan kegictan belajar mengajor membuktikan bahwa para guru dan dosen sudah harus meng- ubah paradigma pengajaran. Pendidik perlu menyusun dan melaksanakan kegiaian belajar mengajar berdasarkan beberapa pokok pemikiran sebagai berikut. 4 Pendahuluan 1, Pengetahuan ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh siswa. Guru menciptakan kondisi dan situasi yang me- mungkinkan siswa membentuk makna dari bahan-bahan pelajaran melalui suatu proses belajar dan menyimpannya delam ingatan yang sewaktu-waktu dapat diproses dan dikembangkan lebih lanjut (Piaget, 1952 & 1960; Freire, 1970). 2. Siswa membangun pengetahuan secara aktif. Belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan siswa, bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Siswa tidak menerima penge- tahuan dari guru atau kurikulum secara pasif. Teori Skemata menjelaskan bahwa siswa mengaktifkan struktur kognitif mereka dan membangun struktur-struktur baru untuk meng- akomodasi masukan-masukan pengetahuan yang baru (Anderson & Armbruster, 1982; Piaget, 1952 & 1960). Jadi, penyusunan pengetahuan yang terus-menerus menempatkan siswa sebagai peserta yang aktif. 3. Pengajar perlu berusaha mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa. Kegiatan belajar mengajar harus lebih menekankan pada proses daripada hasil. Setiap orang pasti mempunyai potensi. Paradigma lama mengklasifikasikan siswa dalam kategori prestasi belajar seperti dalam penilaian ranking dan hasil-hasil tes. Paradigma lama ini menganggap kemampuan sebagai sesuatu yang sudah mapan dan tidak dipengaruhi oleh usaha dan pendidikan. Paradigma baru mengembangkan kompetensi dan potensi siswa berdasarkan asumsi bahwa usaha dan pendidikan bisa meningkatkan kemampuan mereka. Tujuan pendidikon adalah meningkat- kan kemampuan siswa sompai setinggi yang dia bisa (Maslow, 1962; Rogers, 1982). 4. Pendidikan adalah interaksi pribadi di antara para siswa dan interaksi antara guru dan siswa. Kegiatan pendidikan adalah suatu proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa inter- aksi antarpribadi. Belajar adalah suatu proses pribadi, tetapi juga proses sosial yang terjadi ketika masing-masing orang 5 Cooperative Learning berhubungan dengan yang lain dan membangun pengertian dan pengetahuan bersama (Johnson, Johnson & Smith, 1991) Gambar 1a: Siswa 3DCH (Duduk, Diam, Dengar, Catat, Hafal). latin Gambar 1b: Siswa membangun pengetahuan secara aktif. Walaupun sudah disadari bahwa siswa mendapatkan banyak keuntungan dari diskusi yang mengaktifkan mereka, tidak banyak guru yang melakukannya. Strategi yang paling sering digunakan untuk mengaktifkan siswa adalah melibatkan siswa dalam diskusi dengan seluruh kelas. Tetapi, strategi ini tidak terlalu efektif walaupun guru sudah berusaha dan mendorong siswa untuk berportisipasi. Kebanyakan siswa terpaku menjadi penonton sementara arena kelas dikuasai oleh hanya segelintir orang. Karp dan Yoels (1988) mencatat pengamatan mereka di tingkat perguruan tinggi dan menemukan bahwa dalam kelas dengan mahasiswa yang berjumlah kurang dari 40, hanya empat sampai 6 Pendahuluan lima mahasiswa saja yang menggunakan 75% dari waktu interaksi yang disediakan. Dalam kelas yang berisi lebih dari 40 mahasiswa, hanya dua sampai tiga mahasiswa yang men- dominasi separuh dari interaksi kelas. Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk berinter- aksi satu soma lain. Dalam interaksi ini, siswa akan membentuk komunitas yang memungkinkan mereka untuk mencintai proses belajar dan mencintai satu sama lain. Dalam suasona belajar yang penuh dengan persaingan dan pengisolasian siswa, sikap dan hubungan yang negatif akan terbentuk dan mematikan semangat siswa. Suasana seperti ini akan menghambat pem- bentukan pengetahuan secara aktif. Oleh karena itu, pengajar perlu menciptakan suasana belajar sedemikian rupa sehingga siswa bekerja sama secara gotong royong. Sangat banyak penelitian yang dilakukan terpisah oleh orang-orang yang berbeda dalam konteks yang berlainan mengenai penggunaan metode pembelajaran cooperative learning. Pada umumnya, hasil-hasil penelitian tersebut mendukung penggunaan metode pembelajaran cooperative learning. Data tersebut menunjukkan bahwa suasana belajar cooperative learning menghasilkan prestasi yang lebih tinggi, hubungan yang lebih positif, dan penyesuaian psikologis yang lebih baik daripada suasana belajar yang penuh dengan perscingan dan memisah-misahkan siswa Uohnson & Johnson, 1989). B. Tujuan Penulisan Buku Banyak guru menyatakan bahwa mereka telah melaksanakan metode belajar kelompok. Mereka telah membagi para siswa dalam kelompok dan memberikan tugas kelompok. Namun, guru- guru ini mengeluh bahwa hasil kegiatan-kegiatan ini tidak seperti yang mereka harapkan. Siswa bukannya memanfaatkan kegiat- an tersebut dengan baik untuk meningkatkan pengetahuan dan 7 Cooperative Learning kemampuan mereka, malah memboroskan waktu dengan ber- main, bergurau, dan sebagainya. Para siswa pun mengeluh tidak bisa bekerja sama dengan efektif dalam kelompok. Siswa-siswa yang rajin dan pandai merasa pembagian tugas dan penilaian kurang adil, sedangkan siswa yang kurang rajin dan pandai merasa minder bekerja sama dengan teman-temannya yang lebih mampu. Tidak semua kerja kelompok bisa dianggap sebagai belajar dengan metode cooperative learning. Keinginan baik para guru untuk mengaktifkan para siswa perlu dihargai. Namun, para guru juga perlu dibekali dengan sedikit latar belakang, landasan pemikiran, dan penerapan metode pembelajaran gotong royong untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal. Buku ini ditulis khusus untuk membekali para guru dalam pemakaian metode pembelajaran cooperative learning. Agar buku ini bisa bermanfaat, tujuan penulisan buku ini perlu dijelaskan. Buku ini ditulis dengan tujuan sebagai berikut. 1. Mengajak para guru, kepala sekolah, penilik, pengawas, dosen, dan asisten penggjar serta para pembina dan pengelola pen- didikan untuk mengenal ape yang sebenarnya dimaksudkan dengan metode pembelajaran cooperative learning. 2. Mendorong mereka untuk melihat metode pembelajaran cooperative learning sebagai suatu alternatif menarik dalam memecahkan beberapa masalah yong dihadapi dalam upaya mengaktifkan siswa dalam belojar. 3. Membantu mereka untuk melaksanakan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar secara efisien dan efektif. 4. Mendorong mereka untuk mengembangkan lebih lanjut metode pembelajaran cooperative learning melalui penerap- an di kelas sendiri maupun pembahasan bersama dengan rekan guru, kepala sekolah, penilik, pengawas, dosen, dan asisten penggjar serta para pembina dan pengelola pendidikan. 5. Melengkapi bahan pustaka sebagai penunjang kegiatan guru, kepala sekolah, penilik, pengawas, dosen, dan asisten pengajar seria para pembina dan pengelola pendidikan dan 8 Pendahuluan mendorong mereka untuk membaca bahan-bahan pustaka lainnya secara mandiri. 6. Membontu meningkatkan profesionalisme para guru, kepala sekolah, penilik, pengawas, dosen, dan asisten pengajar serta para pembina dan pengelola pendidikan dengan menerap- kan dan mengembangkan berbagai metode pembelajaran, menambah wawasan melalui bahan-bahan pustaka, dan membahasnya bersama dengan rekan-rekan seprofesi. C. Ruang Lingkup Isi Buku Dalam buku ini, penulis banyak memakai kata guru dan siswa, tetapi tidak menutup kemungkinan dipakainya metode pembelajar- an cooperative learning dalam konteks pendidikan tinggi. Buku ini membahas berbagai aspek yang secara langsung atau tak langsung berkaitan dengan metode pembelajaran cooperative learning mulai dari landasan teoretis sampai dengan prosedur penerapan metode dalam kegiatan belajarmengajar sehari-hari Isi buku jerbagi dalam sembilan bab. Bab 1 membahas landasan pemikiran, tujuan penulisan, dan ruang lingkup isi buku ini. Bab 2 mengetengahkan aspek-aspek di Ivar bidang pen- didikan, nomun sangat mempengaruhi proses pendidikan. Pada abad 21 ini, perubahan-perubahan besar yang mendasar melanda banyck aspek kehidupan kita. Transformasi sosial, ekonomi, dan demografis yang terjadi mengharuskan kita me- nelaah kembali praktik-praktik pembelajaran di sekolah-sekolah: Peranan yang harus dimainkan oleh dunia pendidikan dalam mempersiapkan anak didik untuk berpartisipasi secara utuh dalam kehidupan bermasyarakat di abed 21 akan lebih menantang. Bab 3 menjabarkan nilai-nilai gotong royong dalam budaya Indonesia yang akan sangat memungkinkan digunakannya metode pembelajaran cooperative learning dalam proses belajar mengajar di sekolah-sekolah. Cooperative Learning _Bab 4 membahas keunggulon model pembelajaran coopera- tive learning dibandingkan kedua model lainnya, kompetisi dan individual. Selanjutnya, Bab 5 mengetengahkan aspek-aspek yang mem- bedakan metode pembelajaran cooperative learning dengan proses-proses belajar kelompok yang biasanya sering dipakai. Dua bab berikutnya menjabarkan cara-cara praktis dalam melaksanakan metode pembelajaran cooperative learning. Bab 6 ditulis untuk membekoli para pendidik dengan cara-cara praktis dalam mengelola kelas yang sesuai dengan metode pem- belajaran cooperative learning. Pengelolaan kelas cooperative learning ini berhubungan dengan pengelompokan siswa, pe- mupukan semangat gotong royong, dan penataan ruang kelas. Kemudian, Bab 7 memberikan berbagai teknik yang bisa dipakai dalam metode pembelajaran cooperative learning. Bab ini juga disertai dengan contoh penerapan dari beberapa teknik tersebut dalam kegiatan belajar mengajar. Akhimnya, Bab 8 membahas model penilaian belajar coope- rative learning. Bab ini mengemukakan beberapa pokok pemikir- an yang menantang praktik-praktik penilaian yang selama ini banyak mewarnai dunia pendidikan kita. Model penilaian belajar cooperative learning ditawarkan sebagai alternatif yang patut dipertimbangkan untuk meningkatkan mutu pendidikan kita. Bab 9 merupakan bab penutup. Sebagaimana lazimnyo, Dafter Pustaka disertakan di akhir buku ini. Artikel, makalah, buku, dan disertasi yang dipakai langsung atau tidak langsung sebagai acuan diharapkan bisa menggugah keinginan para pendidik untuk melanjutkan sendiri pendalaman bahan-bahan tersebut dan pengembangan metode pembelajaran coopera- tive learning ini, baik secara mandiri maupun melalui kerja sama dengan rekan seprofesi. Bab 2 Transformasi Pendidikan dan Globalisasi Pada abad 21 ini, kita perlu menelaah kembali praktik-praktik pembelajaran di sekolah-sekolah. Peranan yang harus dimain- kan oleh dunia pendidikan dalam mempersiapkan anak didik untuk berpartisipasi secara utuh dalam kehidupan bermasyarakat di abad 21 akan sangat berbeda dengan peranan tradisional yang selama ini dipegang erat oleh sekolah-sekolah. Ada persepsi umum yang sudah berakar dalam dunia pen- didikon dan juga sudah menjadi harapan masyarakat. Persepsi umum ini menganggap bahwa sudah merupakan tugas guru untuk mengajar dan menyodori siswa dengan muatan-muatan informasi dan pengetahuan. Guru perlu bersikap atau setidaknya dipandang oleh siswa sebagai yang mahatahu dan sumber informasi. Lebih celaka lagi, siswa belajor dalam situasi yang membebani dan menakutkan karena dibayangi oleh tuntutan- tuntutan mengejar nilai-nilai tes dan ujian yang tinggi. Tampaknya, perlu adanya perubahan paradigma dalam menelaah proses belajar siswa dan interaksi antara siswa dan guru. Sudah seyogianyalah kegiatan belajar mengajar juga lebih mempertimbangkan siswa. Siswa bukanlah sebuah botol kosong yang bisa diisi dengan muatan-muatan informasi apa sajo yang 11 Cooperative Learning dianggap perlu oleh guru. Selain itu, alur proses belajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Siswa bisa juga saling mengajar dengan sesama siswa yang lainnya. Bahkan, banyak penelitian menunjukkan bahwa penggjaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh guru. Sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam jugas-tugos yang terstruktur disebut sebagai sistem “pem- belajaran gotong royong” atau cooperative learning. Dalam sistem ini, guru bertindak sebagai fasilitator. Ada beberapa alasan penting mengapa sistem pengajaran ini perlu dipakai lebih sering di sekolah-sekolah. Seiring dengan proses globalisasi, juga terjadi transformasi sosial, ekonomi, dan demografis yang mengharuskan sekolah dan perguruan tinggi untuk lebih menyiapkan anak didik dengan keterampilan- keterampilan baru untuk bisa ikut berpartisipasi dalam dunia yang berubah dan berkembang pesat. A. Transformasi Sosial Karena pengaruh modernisasi, struktur keluarga berubah drastis dalam dua dekade terakhir ini. Semakin banyak anak yang di- besarkan dalam keluarga inti tanpa kehadiran penuh kedua orang tua. Tingkat mobilitas dan isolasi keluarga makin meningkat dengan semakin bertambahnya kaum iby yang berkarier. Banyak anak tumbuh dengan sedikit sekali pengasuhan dari orang tua Yang lebih menyedihkan lagi, anak bisa meluangkan lebih banyak waktu di depan televisi daripada di sekolah. Stasiun televisi boleh saja membantah hasil penelitian mengenai pengaruh antisosial televisi, namun yang jelas menonton televisi adalah kegiatan solitair. Pada saat mata terpaku pada layar, hilanglah kesempatan untuk mengembangkan interaksi sosial dan keterampilan berkomuni- kasi. Anak usia SD menonton televisi rata-rata 15 kali lebih lama daripada berbicara dengan ayah mereka (Spencer Kagan, 1992). 12 Transformasi Pendidikan dan Globalisasi Sekolah tidak bisa lagi hanya memperhatikan perkembangan kognitif anak didik. Di tengah-tengah transformasi sosial yang membawa makin banyak dampak negatif, sekolah seharusnya merasa terpanggil untuk juga memperhatikan perkembangan moral dan sosial anak didik. Dalam sistem pengajaran tradisional, siswa dipaksa untuk bekerja secara individu atau kompetitif tanpa ada banyak kesempatan untuk berinteraksi dan bekerja sama dengan sesama. B. Transformasi Ekonomi Transformasi ekonomi adalah alasan kedua mengapa sistem pengagjaran perlu diubah. Seperti yang dikatakan John Naisbitt, hampir 90% pekerjaan dalam era post-industri bergerak dalam bidang atau berhubungan dengan informasi, ilmu pengetahuan, atau jasa. Derasnya arus informasi sudah tidak memungkinkan lagi bagi guru untuk bersikap mahatahu dan beranggapan bahwa siswa perlu dimasuki dengan berbagai fakta pengetahuan dan informasi. Agar bisa lebih siap memasuki era informasi, siswa perlu diajar bagaimana caranya untuk mendapatkan informasi sendiri, apakah itu dari guru, teman, bahan-bahan pelajaran, ataupun sumber-sumber lain. Selain itu, keterkaitan (interdependence) merupakan ciri lain dari transformasi ekonomi. Pada kebanyakan pekerjaan, kepandaicn atau kemampuan individu bukanlah yang ter- penting. Kemampuan untuk bekerja sama dalam tim lebih dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan keberhasilan suatu usaha. Sebagai pendidik yang bertanggung jawab, guru perlu melihat lebih jauh daripada sekadar nilai-nilai tes dan ujian. Seharusnyalah, para guru lebih merasa terpanggil untuk mempersiapkan anak didiknya agar bisa berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain dalam berbagai macam situasi sosial. Cooperative Learning C. Transformasi Demogratis Transformasi demografis merupakan dampak lain dari era global- isasi. Tingkat urbanisasi dunia meningkat menurut deret ukur. Pada tahun 1800, hanya ada 2,4% penduduk dunia yang hidup di kota. Angka ini meningkat menjadi 10% pada tahun 1900 dan 25% pada 1950. Urbanisasi membawa implikasi-implikasi serius dalam perubahan nilai-nilai sosial dan proses sosialisasi. Sejak awal abad ini, para pakar sosiologi telah mengingatkan me- ngenai konsekuensi hidup dan bekerja berdekatan dengan banyak orang lain tanpa keterkaitan sentimental, emosional, dan ekonomis. Kompetisi dan eksploitasi merupakan bagian dari kehidupan perkotaan dan mewarnai evolusi karakter dan nilai-nilai sosial. Ternyata, urbanisasi telah memegang peranan dalam penciptaan homo homini lupus. Sekolah sehorusnya bisa berbuat lebih banyak dalam mengubah arah evolusi nilai-nilai sosial. Sebagai keluarga kedua, sekolah bisa merupakan tempat untuk menanamkan sikap-sikap cooperative dan mengajarkan cara-cara bekerja sama. Sekolah bisa memegang peranan yang lebih penting dalam pembentukan anak didik menjadi homo homini socius. Kebinekaan suku bangsa dan ras merupakan ciri-ciri lain dari transformasi demografis. Sebagai bagian dari masyarakat, sekolah-sekolah juga merupakan tempat pertemuan anak-anak dari berbagai macam suku dan ras. Tanpa penanganan yang bijaksana, siswa-siswa bisa terjatuh dalam ketegangan antarsuku dan sikap-sikap rasialis. Seorang siswa bisa saja duduk di satu kelas yang sama dengan siswa lain yang berbeda suku atau ras selama bertahun-tahun. Namun, jika siswa ini tidak diajari untuk berinteraksi dengan teman sekelas dalam suasana yang coop- erative, kemungkinan besar siswa tersebut akan gagal untuk memandang siswa yang berbeda ras/suku sebagai seorang individu dengan segala nuansa kemanusiaannya. Yang dia lihat tidak akan lebih dari stereotip-stereotip yang sangat mungkin menjurus pada sikap-sikap prejudice dan rasialis. 14 Transformasi Pendidikan dan Globalisasi Berbagai konflik antarumat beragama serta manusia dari latar belakang etnis dan suku yang berbeda di Indonesia telah menimbulkan hilangnya banyak nyawa dan harta benda. Kegagal- an dalam hubungan entarmanusia ini tidak lepas dari kurangnya peran sekolah dalam membina tali persaudaraan antarsiswa dan mengembangkan dimensi efektif para siswa. Sekolah perlu mengambil peran lebih besar dalam membekali dan mengantar para siswa agar nantinya mereka bisa hidup dalam damai dengon diri mereka sendiri dan dengan orang lain yang berbeda latar belakang dalam masyarakat yang makin beragam. Seperti kata pakar pendidikan, John Dewey, sekolah adalah miniatur masyarakat, sudah selayaknyalah anak didik belajar mengenai tata cara bermasyarakat dalam konteks-konteks yang sesungguhnya semasa masih di sekolah. Metode pengajaran cooperative learning telah dibuktikan sangat efektif dalam me- ningkatkan hubungan antarras di Amerika Serikat (Robert Slavin, 1985). Sebelum pendekatan ini dipakai, ada jarak yang dalam antara siswa-siswa Amerika keturunan Anglo dengan siswa-siswa keturunan Afrika dan Hispanik. Walaupun sering kali tidak kentara, sikap saling mencurigai dan membenci merupakan sikap yang umum di antara masyarakat Amerika Serikat. Beberapa tahun setelah metode pembelajaran cooperative learning dipakai di beberapa sekolah, siswa-siswa yang berlainan ras mulai lebih bisa saling mengerti dan menerima. Kita sedang mengalami krisis dalam dunia pendidikan Perubahan-perubahan yang cepat dan dahsyat di dunia Ivar merupakan tantangan-tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan. Jika kita tidak mengubah praktik-praktik pengojaran dan pendidikan yang sudah usang, kita akan bergerak menuju keruntuhan, bukan saja dalam dunia pendidikan, melainkan juga dalam kehidupan bermasyarakat. Jika kita tidak mengubah kebiasaan-kebiasaan kontra-edukatif, kita malah akan men- jerumuskan anak didik dalam ketidakberdayaan menghadapi tantangan-tantangan kehidupan. Dengan tingkat kecepatan yang sangat tinggi, kita sedang memasuki kehidupan sosial 15 Cooperative Learning ekonomi yang didasari oleh perkembangan informasi, teknologi tingkat tinggi, dan keierkaitan. Seiring dengan fungsi tradisional sekolah untuk membekali anck didik dengan keterampilan- keterompilan dasar dan muatan-muatan informasi, sekolah juge harus membina anak didik agar mempunyai kemampuan untuk berpikir kritis dan kreatif, keterampilan berkomunikasi, dan berkehidupan sosial Bab 3 Nilai-Nilai Gotong Royong dalam Budaya Indonesia Tidak bisa dipungkiri bahwa latar belakang sejarah bangsa In- donesia sangat bertolak belakang dengan latar belakang masya- rakat Amerika Serikat. Karena perbedaan ini, ada suatu keragu- raguan bahwa penggunaan metode cooperative learning atau sistem pengajaran gotong royong mungkin bisa menghambat upaya pengembangan kemampuan diri sebagai individu (Surabaya Post, 31/7/95). Alasan yang dikemukakan adalah kecenderungan negatif yang menyertai semboyan "Bersatu kita teguh, bercerai kita tuntuh”. Karena selama 350 tahun ketenteraman kita diusik dan digerogoti oleh berbagai bangsa yang ingin menguasai negeri ini, kita begitu mudah, misalnya, mencari kambing hitam dan melempar kesalahan kepada orang lain. Mengakui kesalahan pun nyaris menjadi hal tabu. "Kecenderungan untuk membonceng pada keberhasilan orang lain juga amat kuat” (Toenlioe, 1995). Sesungguhnya, bagi guru-guru di negeri ini metode gotong royong tidak terlampau asing dan mereka telah sering meng- gunakannya dan mengenalnya sebagai metode kerja kelompok Memang tidak bisa disangkal bahwa banyak guru telah sering menugaskan para siswa untuk bekerja dalam kelompok. Salah satu contohnya adalch metode Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). 17 Cooperative Learning Sayangnya, metode kerja kelompok sering dianggap kurang efektif. Berbagai sikap dan kesan negatif memang bermunculan dalam pelaksanaan metode kerja kelompok. Jika kerja kelompok tidak berhasil, siswa cenderung saling menyalahkan. Sebaliknya jika berhasil, muncul perasaan tidak adil. Siswa yang pandai/ rajin merasa rekannya yang kurang mampu telah membonceng pada hasil kerja mereka. Akibatnya, metode kerja kelompok yang seharusnya berlujuan mulia, yakni menanamkan rasa per- saudaraan dan kemampuan bekerjo sama, justru bisa berakhir dengan kelidakpuasan dan kekecewaan. Bukan hanya guru dan siswa yang merasa pesimis mengenai penggunaan metode kerja kelompok, bahkan kadang-kadang orang tua pun merasa was- was jika anak mereka dimasukkan dolam satu kelompok dengan siswa lain yang dianggap kurang seimbang. A. Penstrukturan Berbagai dampak negatif dalam penggunaan metode kerja kelompok tersebut seharusnya bisa dihindari jika saja guru mau meluangkan lebih banyak waktu dan perhatian dalam persiapan dan penyusunan metode kerja kelompok. Yang diperkenalkan dalam metode pembelajaran cooperative learning bukan sekadar kerja kelompoknya, melainkan pada penstrukturannya. Jadi, sistem pengajaran cooperative learning bisa didefinisikan sebagai sistem kerja/belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok. Kelima unsur pokok ini akan dibahas dengan lebih mendalam dalam Bab 5. Kekhawatiran bahwa semangat siswa dalam mengembang- kan diri secara individu biso terancam dalam penggunaan metode kerja kelompok bisa dimengerti karena dalam penugasan kelompok yang dilakukan secara sembarangan, siswa bukannya belajar 18 Nilai Gotong Royong dalam Budaya Indonesia secara maksimal, melainkan malah belajar mendominasi ataupun melempar tanggung jawab. Metode-metode pembelajaran gotong royong distruktur sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota dalam satu kelompok melaksanakan tanggung jawab pribedinya karena ada sistem akuntabilitas individu. Siswa tidak bisa begitu saja membonceng jerih payah rekannya dan usaha setiap siswa akan dihargai sesuai dengan poin-poin perbaikannya. Jadi, walaupun individualisme masyarakat Amerika Serikat lebih menoniol, tidak berarti metode cooperative learning hanya cocok untuk diterapkan di sana dan akan menghambat perkembangan kemampuan individu dalam masyarakat kita, Dalam metode cooperative learning, justru siswa diarahkan untuk bisa juga bekerja, mengembangkan diri, dan bertanggung jawab secara individu Hal lain yang juga menarik adalah anggapan bahwa peng- gunaan metode cooperative leaming akan membuat orang Amerika makin mengukuhkan diri di papan atas dalam berbagai bidang kehidupan. Metode pembelajaran gotong royong atau cooper- ative learning yang mulai dipakai di Amerika Serikat dalam dua dekade terakhir justru bukan untuk mengukuhkan mereka dalam keberhasilan individu. Prestasi orang-orang Amerika Serikat secara individu dalam papan atas lebih disebabkan oleh banyaknya kesempatan untuk mengembangkan individualisme dan kreativitas dalam berbagai bidang kehidupan bermasya- rakat. Sebagai contoh, pemenang-pemenang hadiah Nobel sudah bermunculan dari Amerika Serikat jauh sebelum metode cooperative leaming digunakan secara gencar. Sebaliknya, metode cooperative learning digunakan di sekolah-sekolah di Amerika Serikat untuk menanamkan unsur yang lainnya, yaitu saling ketergantungan positif. Salah satu metode cooperative learning, Jigsaw, pada mulanya diperkenal- kan di sekolah-sekolah di mana ada ketegangan rasialis antara siswa keturunan Eropa, Afrika, dan Hispanik. Siswa-siswa ini digjar untuk biso—di balik kuatnya rasa individualisme mereka— berinteraksi secara positif dengan siswa-siswa lain dengan latar 19 Cooperative Learning belakang yang sangat berbeda dalam kegiatan akademis. Memang selang beberapa waktu konilik rasialis berhasil di- kurangi secara drastis dan prestasi akademis pun jadi meningkat. Ternyata, orang Amerika sendiri mulai menyadari bahwa individvalisme saja tidaklah cukup. Keberhasilan orang-orang Amerika di berbagai bidang kehidupan sudah mendapat peng- akuan di seluruh dunia. Namun, patut dipertanyakan apalch artinya keberhasilan pribadi jika tidak bisa ditindaklanjuti dan diterapkan dalam masyarakat. Banyak penemu dalam bidang Iptek berasal dari Amerika Serikat. Namun ironisnya, yang lebih bisa mengembangkan dan menikmati hasil temuan ini adalah bangsa lain yang lebih terbiasa untuk bekerja sama dalam saling ketergantungan. wa EP on a RE Saling menguntungkan melalui gotong royong. 20 Nilai-Nilai Gotong Royong dalam Budaya Indonesia Sebagci contoh, penemuan mesin mobil oleh Ford dan chip mikroprosesor oleh perusahaan komputer Intel, biso dikatakan sebagai hasil kreativitas dan kemampuan pengembangan individu yang tinggi dalam masyarakat Amerika Serikat. Namun kenyataannya, saat ini yang merajai pasaran adalah mobil-mobil Asia dan komputer buatan negora-negara macan Asia Walaupun merasa jengkel dengan sistem proteksi Jepang, banyak orang Amerika sendiri mengakui bahwa mobil Jepang lebih bermutu daripada mobil buatan bangsanya sendiri dan jauh lebih banyak mobil Jepang daripada mobil Amerika di jalan-jalan di Amerika Serikat. Komputer produk negara-negara macan Asia juga telah merajai dunia dengan harga yang makin lama makin murah dan dengan kemampuan yang makin tinggi (Kuswadi, 1994). B. Barat-Timur Bangsa Indonesia sedang berada dalam era menutup keter- tinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi, jangon sampai obsesi untuk menutup ketertinggalan ini menjadi keterusan dan merusak keseimbangan. Karena keberhasilan negara-negara Barat dalam bidang teknologi, pengembangan kemampuan individu dan sikap individualisme Barat dianggap sebagai mantera yang bisa mengatasi setiap masalah dan mengantarkan bangsa pada keberhasilan dalam berbagai bidang. Padahal di pihak lain, negara Barat justru sedang mempelgjari nilai-nilai gotong royong dan keterkaitan yang ada dalam budaya kita. Yong menarik, negara-negara Barat saat ini justru sudah menyadari kekurangan mereka dan sedang getol menutup keterlinggalan mereka. Di satu titik, kita mengagumi keberhasilan dunic Barat dan berusaha untuk juga mendapatkannya melalui cara mereka. Dititik lain, dunia Barat justru menemukan sesuatu pada kita yang selama ini tidak kita hiraukan. Keinginan untuk 21 Cooperative Learning maju dan berhasil adalah sesuatu yang sangat positif dan memang bangsa kita sedang membutuhkan dorongan ini, terutama pada saat-saat sekarang ini. Tetapi, mudah-mudahan saja kita tidak hanyut dalam proses kejar-mengejar yang melelahkan dalam lingkaran Barat-Timur. 22 Bab 4 Model Pembelajaran Cooperative Learning Sekolah adalah salah satu arena persaingan. Mulai dari awal masa pendidikan formal, seorang anak belajar dalam suasana kompetisi dan harus berjvang keras memenangkan kompetisi untuk bisa naik kelas atau lulus. Sebenarnya, kompetisi bukanlah satu-satunya model pembelajaran yang bisa dan harus dipakai Ada tiga pilihan model, yaitu kompetisi, individual, dan coope- rative learning. A. Model Kompetisi Banyak pengajar memakai sistem kompetisi dalam pengajaran dan penilaian anak didik. Dalam model pembelajaran kompetisi, siswa belajar dalam suasana persaingan. Tidak jarang pula, guru memakai imbalan dan ganjaran sebagai sarana untuk me- motivasi siswa dalam memenangkan kompetisi dengan sesama pembelajar. Teknik imbalan dan ganjaran yang didasari oleh feori behaviorisme atau stimulus-respons ini banyak mewarnai sistem penilaian hasil belajar. Tujiuan utama evaluasi dalam model pembelajaran kompetisi adalah menempatkan anak didik dalam urutan mulai dari yang paling baik sampai dengan yang 23 Cooperative Learning paling jelek. Pola penilaian biosanya menempatkan sebagian besar anak didik dalam kategori rata-rata, beberapa anak dalam kategori berprestasi, dan beberapa lagi sebagai calon tidak lulus. Akibat langsung pola penilaian semacam ini adalah sebagian besar anak harus melewati sedikitnya dua belas tahun dalam masa hidup mereka sebagai anak yang rata-rata atau biasa-biasa sajo. Mereka tidak pernah merasakan kebanggaan sebagai anak berprestasi. Secara positif, model kompetisi bisa menimbulkan rasa cemas yang justru bisa memacu siswa untuk meningkatkan kegiatan belajor mereka. Sedikit rasa cemas memang mempunyai korelasi positif dengan motivasi belajar. Namun sebaliknya, rasa cemas yang berlebihan justru bisa merusak motivasi. Selain itu, model kompetisi juga mempunyai dampak-dampak negatif yang perlu diwaspadai. Model pembelajaran kompetisi menciptakan suasana permusuhan di kelas. Untuk bisa berhasil dalam sistem ini, seorang anak harus mengalahkan teman-teman sekelasnya. Sering anak yang berhasil mendapatkan nilai tinggi dimusuhi karena dianggap menaikkan rata-rata kelas dan menjatuhkan teman. Anak semacam ini dicap sebagai “tidak kompak”. Se- baliknya, anak yang kalah dalam persaingan bisa menjadi anti- pati terhadap sesama siswa, pengajar, sekolah, atau malahan proses belajar. Label sebagai orang yang kalah dalam persaing- an ini bisa menjadi stigma atau Iuka batin yang terus mengganggu sepanjang kehidupan seseorang. Dalam pikiran anak didik ditanamkan sikap “agar aku bisa menang, orang lain harus kalah.” Tidak jarang sikap semacam ini terbawa terus sesudah sese- orang lulus dari sekolah. Akibatnya, tempat kerja merupakan kelanjutan dari arena persaingan yang diciptakan di sekolah Padahal, untuk bisa berhasil, setiap organisasi harus bisa men- ciptakan suasana kerja sama antaranggotanya. Keberhasilan suatu organisasi juga berarti keberhasilan pribadi para anggota Tetapi, tidak mudah untuk bersikap “biarkan orang lain menang supaya aku juga bisa menang,” setelah digembleng dalam suasana persaingan selama kurang lebih dua belas tahun. 24 Penerbit PT Grasindo JI. Palmerah Selatan 22-28 Jokarta 10270 a ER RS i Baa Sistem pengajaran di sekolah-sekolah kita, cenderung mengarahkan sigwa melihat sesamanya sebagai kompetitior. Setiap kompetitor, perlu Creu a et TNS ec Pere tne ace eS On ee een siapa saja sebagai pesaing yang harus dikalahkan-sikap yang kerap kali dipertontonkan di panggung politik ataupun dalam dunia usaha, Padahal, yang positif adalah bersaing dengan diri sendiri. Ukuran Pe ae ee cae aera erg ada orang lain, yang bersangkutan tetap melakukan dan menghasilkan yang terbaik. Orang lain bukan ancaman, melainkan mitra yang mendukung untuk mencapai tujuan dan kesuksesan. ‘Cooperative Leaming member landasan teoretis bagaimana siswa dapat See Uae rene COMO oe eee st ae eect et arc) Cora ne oe rs een menuai buah persahabatan dan perdamaian. Cooperative Learning ‘memandang siswa sebagai makhluk sosial (homo homini socius), bukan homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). per ey crn ete Ce Rete cE tee Pea en tee ete at ks CT en acy depan yang pasti mendapatkan perhatian, Reterena\ Pendidikan wl

You might also like