You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick
Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald
Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863.
Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas.
Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa
megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan
peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion. (Sodikin, 2011)
Insidens penyakit Hirschsprung di dunia adalah 1 : 5.000 kelahiran hidup. Di
Amerika dan Afrika dilaporkan penyakit Hirschsprung terjadi pada satu kasus
setiap 5.400-7.200 kelahiran hidup. Di Eropa Utara, insidens penyakit ini
adalah 1,5 dari 10.000 kelahiran hidup sedangkan di Asia tercatat sebesar 2,8
per 10.000 kelahiran hidup. Angka kematian untuk penyakit Hirschsprung
berkisar antara 1-10%. Pada tahun 1993-2010 di Genoa, Italia mencatat ada 8
orang dari 313 penderita penyakit Hirschsprung yang meninggal (CFR=
2,56%). Penyakit Hirschsprung yang tidak segera ditangani atau diobati dapat
menyebabkan kematian sebesar 80% yang terutama akibat terjadinya
enterokolitis dan perforasi usus. Penanganan penyakit Hirschsprung yang
dilakukan lebih dini efektif menurunkan kejadian enterokolitis menjadi 30%.
Pada tahun 1976-1993 di Ankara, Turki menunjukkan ada sebanyak 302
penderita penyakit Hirschsprung. (Wiknjosastro, 2006)
Insidensi hisprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Dengan jumlah
penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka
diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit hisprung.
Laki-laki lebih banyak diserang dibandingkan perempuan ( 4: 1 ). Biasanya,
penyakit hisprung terjadi pada bayi aterm dan jarang pada bayi prematur.
Penyakit ini mungkin disertai dengan cacat bawaan dan termasuk sindrom
down, sindrom waardenburg serta kelainan kardiovaskuler. Aganglionik

megacolon kongenital, atau Hirschsprung's disease, merupakan penyebab


tersering dari obstruksi usus pada neonatus (DepKes RI, 2008).
Kelainan lainnya yang terkait terjadi pada sekitar 20% pasien, yang tersering
adalah Down syndrome, terjadi antara 8 dan 16% pasien. Pasien dengan
Down syndrome memiliki prognosis yang lebih buruk setelah pengobatan
karena adanya peningkatan enterokolitis terkait Hirschsprung's (pada sekitar
50%), hasil fungsional yang lebih buruk dengan berlanjutnya kontinensia
feces, dan peningkatan mortalitas (sampai dengan 38%).
Kelainan lainnya yang terkait termasuk defek jantung kongenital pada 7,8%,
kelainan genitourinaria pada 5.6%, dan kelainan gastrointestinal lainnya pada
3.9% pasien. Salah satu kondisi lainnya yang jarang terjadi, disebut dengan
neurocristopathy', adalah hubungan antara Hirschsprung's disease (biasanya
dengan keterlibatan keseluruhan kolon) dengan sindroma hipoventilasi sentral
(Ondine's curse) dan neuroblastoma.
Diharapkan perawat dapat ikut serta dalam upaya penurunan angka insiden
penyakit hisprung melalui pemberian askep, edukator, konsultan dan edukator.
Peran edukator dilakukan dengan memberikan penyuluhan kesehatan terkait
penyakit yang diderita oleh pasien, baik kepada pasien maupun keluarga yang
mendampingi pasien.
Peran koordinator dilaksankan dengan mengarahkan, mrencanakan serta
mengorganisasikan pelayanan kesehatan dan tim kesehatan sehingga
pemberian pelayana kesehatan dapat terarah.
Peran kolaborator dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan
lainnya dengan berupaya mengidentifikasikan pelayanan keperawatan yang
diperlukan termasuk diskusi/tukar pendapat dalam penentuan bentuk
pelayanan selanjutnya.
Peran perawat sebagai konsultan adalah sebagai tempat untuk berkonsultasi
terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan.
Dari data diatas penulis tertarik untuk membahas Asuhan Keperawatan Pada
Anak dengan Penyakit Hisprung.
2

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari makalah ini agar mahasiswa/i mampu memahami teori
dan memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit
hisprung.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari makalah ini, yaitu mahasiswa/i mampu :
a. Melakukan pengkajian pada anak dengan penyakit hisprung.
b. Menegakkan diagnosa keperawatan pada anak dengan penyakit
hisprung.
c. Menyusun intervensi keperawatan pada anak dengan penyakit
hisprung.
C. Metode penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan
melakukan studi pustaka melalui pengumpulan literatur dari berbagai sumber.
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari permasalahan dalam makalah ini ialah segala sesuatu
yang berkenaan dengan konsep dasar dan asuhan keperawatan pada anak
dengan penyakit hisprung.
E. Sistematika Penulisan
BAB I. PENDAHULUAN: Terdiri dari latar belakang masalah, tujuan
penulisan, metode penulisan, ruang lingkup, dan sistematika penulisan. BAB
II. TINJAUAN TEORI: Terdiri dari pengertian, klasifikasi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, penatalaksanaan, pemeriksaan
penunjang, konsep tumbuh kembang anak, konsep hospitalisasi, asuhan
keperawatan

meliputi

pengkajian,

diagnosa

keperawatan,

intervensi

keperawatan. BAB III. PENUTUP: Terdiri dari kesimpulan dan saran. Daftar
pustaka. Lampiran.

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Hirschsprung (megakolon atau aganglionik kongenital) adalah anomali
kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan
motalitas sebagian usus. (Ngastiyah, 2005)
Penyakit hirschsprung merupakan ketiadaan saraf ganglion parasimpatik pada
pleksus meinterikus kolon distal. Daerah yang terkena di kenal sebagai
segmen aganglionik. (Sodikin, 2011)
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel-sel ganglion
dalam rectum atau bagian rektosigmoid colon. Dan ketidakadaan ini menimbulkan
keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan.
(Yongki, dkk. 2012)

Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit


ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan
(aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah
atas)

yang

tidak

mempunyai

persarafan

(ganglion),

maka

terjadi

kelumpuhan usus besar dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus


menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbedabeda untuk setiap individu.
B. Etiologi
Penyebab

penyakit

Hirschprung

belum

diketahui

(Greaf,

1994).

Kemungkinan terdapat keterlibatan faktor genetik, sering terjadi pada anak


dengan Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam
dinding usus, gagal ekstensi kraniokaudal myenterik dan submukosa dinding
plexus. Anak laki-laki lebih banyak terkena penyakit Hirschprung
dibandingkan anak perempuan (4:1). (Suriadi dan Rita Yuliani. 2010. Asuhan
Keperawatan Pada Anak).
C. Klasifikasi
Menurut Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (1996), Hirschprung
dibedakan sesuai dengan panjang segmen yang terkena, Hirschprung
dibedakan menjadi dua tipe berikut :
1. Segmen Pendek
Segmen pendek aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid, terjadi
pada sekitar 70% kasus penyakit hirschprung dan tipe ini lebih sering
ditemukan pada laki-laki di bandingkan anak perempuan. Pada tipe
segmen pendek yang umum, insiden 5 kali lebih besar pada laki-laki
dibanding wanita.
2. Segmen Panjang
Daerah aganglionosis dapat melebihi sigmoid, bahkan kadang dapat
mengenai seluruh kolon atau sampai usus halus. Laki-laki dan perempuan
memiliki peluang yang sama, terjadi pada 1 dari 10 kasus tanpa
membedakan jenis kelamin. (Sodikin. 2011. Keperawatan Anak
Gangguan Pencernaan)
D. Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic mega colon menggambarkan adanya kerusakan
primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon
distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian
proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan

atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya
evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga
mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya
akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal
sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden,
2002:197).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol
kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke
segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan
terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi
obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar (Price, S &
Wilson, 1995 : 141).
Penyakit Hirschsprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion pada dinding
usus, meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang yang
bervariasi. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan
perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang
agangloinik terbatas pada rektosigmoid pada 75 % penderita, 10% seluruh
kolonnya tanpa sel-sel ganglion. Bertambah banyaknya ujung-ujung saraf
pada usus yang aganglionik menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi.
Secara histologi, tidak di dapatkan pleksus Meissner dan Auerbach dan
ditemukan

berkas-berkas

saraf

yang

hipertrofi

dengan

konsentrasi

asetikolinesterase yang tinggi di antara lapisan-lapisan otot dan pada


submukosa.
Pada penyakit ini, bagian kolon dari yang paling distal sampai pada bagian
usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion
parasimpatik intramural. Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat
mengembang sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan
defekasi ini kolon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang
tertimbun, membentuk megakolon. (Suriadi dan Rita Yuliani. 2010).
E. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia


gejala klinis mulai terlihat :
1. Pada Bayi Baru Lahir (Neonatal)
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni :
a. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)
b. Muntah hijau
c. Distensi abdomen.
2. Pada Bayi dan Anak-Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan
peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok
dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid
dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur,
sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi, penderita
tidak dapat meningkatkan berat badan, pembesaran perut (perut menjadi
buncit), demam dan kelelahan. (Suriadi dan Rita Yuliani.2010. Asuhan
Keperawatan Pada Anak).
F. Komplikasi
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan
yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat
pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose
serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan
terlalu dini dan tidak hati-hati. Manifestasi klinis yang terjadi akibat
kebocoran anastomose ini beragam. Kebocoran anastomosis ringan
menimbulkan gejala peningkatan suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses
rongga

pelvik,

kebocoran

berat

dapat

terjadi

demam

tinggi,

pelvioperitonitis atau peritonitis umum, sepsis.


2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang menyebabkan
terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan.
Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit,
distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang

dapat dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari


businasi hingga sfinkterektomi posterior.
3. Enterokolitis
Enterokolitis terjadi karena proses peradangan mukosa kolon dan usus
halus. Semakin berkembang penyakit hirschprung maka lumen usus halus
makin dipenuhi eksudat fibrin yang dapat meningkatkan resiko perforasi.
(Sodikin. 2011. Keperawatan Anak Gangguan Pencernaan)
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis dan Bedah
Bila diagnosis sudah ditegakkan, pengobatan alternative adalah operasi
berupa

pengangkatan

segmen

usus

aganglion

diikutii

dengan

pengembalian kontinuitas usus. Tetapi belum dapat di lakukan operasi


biasanya merupakan tindakan sementara di pasnag pipa rectum dengan
atau tanpa di lakukan pembilasan dengan air garam fisiologis secara
teratur.
Penatalaksanaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di
usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan
motilitas usus besar dan juga fungsi spingter ani internal.
Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :
a. Temporary ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik
untuk melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan
terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan ukuran normalnya.
b. Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat
berat anak mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan
setelah operasi pertama.
Ada beberapa prosedur pembedahan yang di lakukan seperti :
a. Prosedur duhamel yaitu dengan cara penarikan kolon normal kearah
bawah dan menganastomosisnya di belakang usus aganglionik,
membuat dinding ganda yaitu selubung aganglionik dan bagian
posterior kolon normal yang telah ditarik.
b. Prosedur Swenson yaitu membuang bagian aganglionik kemudian
menganastomoskan end to end pada kolon yang berganglion dengan
saluran anal yang dilatasi dan pemotongan sfingter dilakukan pada
bagian posterior.

c. Prosedur Soave yaitu dengan cara membiarkan dinding otot dari


segmen tetap utuh kemudian kolon yang bersaraf normal ditarik
sampai ke anus tempat dilakukannya anastomosis antara kolon normal
dan jaringan otot rectosigmoid yang tersisa.
Terapi farmakologi :
a. Pada kasus stabil, penggunaan laksatif sebagian besar dan juga
modifikasi diet dan wujud feses adalah efektif.
b. Obat kortikosteroid dan obat anti-inflamatori digunakan dalam
megakolon toksik. Tidak memadatkan dan tidak menekan feses
menggunakan tuba.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya
bila ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan
utama antara lain :
a. Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital
pada anak secara dini.
b. Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak.
c. Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi

medis

(pembedahan).
d. Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana
pulang
Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak
anak dengan mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai
status fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan
simptomatik seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat,
tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi
parenteral total.
H.

Pemeriksaaan Penunjang
1. Pemeriksaan Colok Dubur
Pada pasien Hirschprung, pemeriksaan colok dubur sangat penting
dilakukan. Pada pemeriksaan ini, jari pemeriksa merasakan jepitan karena
lumen rektum yang sempit dan pada waktu ditarik diikuti dengan
keluarnya udara dan mekonium (feses) yang menyemprot.
2. Pemeriksaan Lain
a. Pemeriksaan laboratorium

Pada tahap awal, ditemukan hasil laboratorium yang normal.


Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukositosis dan nilai
elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amilase sering
didapatkan. Leukositosis

menunjukkan

adanya

iskemik

atau

strangulasi, tetapi hanya terjadi pada 38%-50% obstruksi strangulasi


dibandingkan 27%-44% pada obstruksi non strangulata. Hematokrit
yang meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain itu dapat
ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas darah mungkin
terganggu, dengan alkalosis metabolik bila muntah berat, dan
metabolik asidosis bila tedapattanda-tanda shock.
b. Pada foto polos abdomen tegak menunjukkan usus yang melebar atau
terdapat gambaran obstruksi usus rendah.
c. Barium enema
1) Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi.
2) Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan
ke arah daerah dilatasi.
3) Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
d. Pemeriksaan radiologis menemukan kelainan pada kolon setelah
enema barium. Radiografi biasa memperlihatkan dilatasi kolon di atas
segmen aganglionik.

e. Biopsi rektum
Biopsi merupakan tes paling akurat untuk penyakit Hirschsprung.
Pemeriksaan ini memberikan diagnosa definitif dan digunakan untuk
mendeteksi ketiadaan ganglion. Tidak adanya sel-sel ganglion
menunjukkan penyakit Hirschsprung.
f. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dari hasil biosi isap.
Pada penyakit ini khas terdapat peningkatan aktivitas enzim
asetilkolin enterase.
g. Manometri anorektal (balon ditiupkan dalam rektum untuk mengukur
tekanan dalam rektum)
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif
mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan
spinkter

anorektal.

Dalam
10

prakteknya,

manometri

anorektal

dilaksanakan

apabila

hasil

pemeriksaan

klinis,

radiologis

dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2


komponen dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti
balon

mikro

dan

kateter

mikro,

serta

sisitem pencatat

seperti poligraph atau komputer. Beberapa hasil manometri anorektal


yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah :
1) Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi.
2) Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada
3)

segmen usus aganglionik.


Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi
spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feces.
Tidak dijumpai relaksasi spontan. (Ngastiyah. 2005. Perawatan
Anak Sakit)

I. Konsep Tumbuh Kembang Anak


1. Neonatus (bayi lahir sampai usia 28 hari)
Dalam tahap neonatus ini bayi memiliki kemungkinan yang sangat
besar tumbuh dan kembang sesuai dengan tindakan yang dilakukan
oleh orang tuanya. Sedangkan perawat membantu orang tua dalam
memenuhi kebutuhan tumbuh kembang bayi yang masih belum
diketahui oleh orang tuanya.
2. Bayi (1 bulan sampai 1 tahun)
Dalam tahap ini bayi memiliki kemajuan tumbuh kembang yang
sangat pesat. Bayi pada usia 1-3 bulan mulai bisa mengangkat
kepala,mengikuti objek pada mata, melihat dengan tersenyum dll. Bayi
pada usia 3-6 bulan mulai bisa mengangkat kepala 90, mulai bisa
mencari benda-benda yang ada di depan mata dll. Bayi usia 6-9 bulan
mulai bisa duduk tanpa di topang, bisa tengkurap dan berbalik sendiri
bahkan bisa berpartisipasi dalam bertepuk tangan dll. Bayi usia 9-12
bulan mulai bisa berdiri sendiri tanpa dibantu, berjalan dengan
dtuntun, menirukan suara dll. Perawat disini membantu orang tua
dalam memberikan pengetahuan dalam mengontrol perkembangan
lingkungan sekitar bayi agar pertumbuhan psikologis dan sosialnya
bisa berkembang dengan baik.

11

3. Konsep tumbuh kembang anak difokuskan pada usia todler yakni 1 3


tahun bisa juga dimasukkan dalam tahapan pre operasional yakni umur
2 7 tahun. Menurut Yupi. S ( 2004 ) berdasarkan teori peaget bahwa
masa ini merupakan gambaran kongnitif internal anak tentang dunia
luar dengan berbagai kompleksitasnya yang tumbuh secara bertahap
merupakan suatu masa dimana pikiran agak terbatas. Anak mampu
menggunakan simbol melalui kata kata, mengingat sekarang dan
akan datang. Anak mampu membedakan dirinya sendiri dengan objek
dalam dunia sekelilingnya baik bahasa maupun pikiranya bercirikan
egosenterisme, ia tidak mahu menguasai ide persamaan terutama
berkaitan dengan masalahmasalah secara logis, tetapi dalam situasi
bermain bebas ia cenderung untuk memperlihatkan perilaku logis dan
berakal sehat pada tahap ini akan mulai mengenal tubuhnya. Pada
pertumbuhan fisik dapat dinilai pertambahan berat badan sebanyak 2,2
Kg/ tahun dan tinggi badan akan bertambah kira kira 7,5 cm/ tahun.
Proporsi tumbuh berubah yaitu lengan dan kaki tumbuh lebih cepat
dari pada kepala dan badan lorosis lumbal pada medulla spinalis
kurang terlihat dan tungkai mempunyai tampilan yang bengkok.
Lingkar kepala meningkat 2,5 cm/ tahun dan fontanella anterior
menutup pada usia 15 bulan. Gigi molar pertama dan molar kedua
serta gigi taring mulai muncul ( Betz & Sowden, 2002: 546 ).
4. Usia sekolah (6-12 tahun)
Kelompok usia sekolah sangat dipengaruhi oleh teman sebayanya.
Perkembangan fisik, psikososial, mental anak meningkat. Perawat
disini membantu memberikan waktu dan energi agar anak dapat
mengejar hoby yang sesuai dengan bakat yang ada dalam diri anak
tersebut.
5. Remaja ( 12-18)
Perawat membantu para remaja untuk pengendalian emosi dan
pengendalian koping pada jiwa mereka saat ini dalam menghadapi
konflik.
J. Konsep Hospitalisasi
Reaksi anak terhadap hospitalisasi :

12

1. Masa bayi(0-1 th)


a. Pembentukan rasa percaya diri dan kasih saying
b. Usia anak > 6 bln terjadi stanger anxiety /cemas
c. Menangis keras
d. Pergerakan tubuh yang banyak
e. Ekspresi wajah yang tak menyenangkan
2. Masa todler (2-3 th)
a. Sumber utama adalah cemas akibat perpisahan .Disini respon perilaku
anak dengan tahapnya.
b. Tahap protes menangis, menjerit, menolak perhatian orang lain.
c. Putus asa menangis berkurang,anak tak aktif,kurang menunjukkan
d.
e.
f.
g.

minat bermain, sedih, apatis.


Pengingkaran/ denial.
Mulai menerima perpisahan.
Membina hubungan secara dangkal
Anak mulai menyukai lingkungannya

Pada usia todler anak cenderung egosentris maka dalam menjelaskan


prosedur dalam hubungan dengan cara apa yang akan anak lihat, dengar,
bau, raba dan rasakan. Katakan pada anak tidak apa- apa menangis atau
gunakan ekspresi verbal untuk mengatakan tidak nyaman. Pada usia ini
juga mengalami keterbatasan kemampuan berkomunikasi lebih sering
menggunakan perilaku atau sikap. Sedikit pendekatan yang sederhana
menggunkan contoh peralatan yang kecil ( ijinkan anak untuk memegang
peralatan ) menggunakan permainan. Pada usia ini menjadikan hubungan
yang sulit antara anak dengan perawat diperlukan orang tua pada keadaan
ini, apapun cara yang dilakukan anaka harus merupakan pertimbangan
pertama. Ibu harus didorong untuk tinggal atau paling sedikit
mengunjungi anaknya sesering mungkin ( Yupi, S 2004).
3. Masa prasekolah ( 3 sampai 6 tahun )
a. Menolak makan
b. Sering bertanya
c. Menangis perlahan
d. Tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan
e. Perawatan di rumah sakit : kehilangan control, pembatasan aktivitas
f. Sering kali dipersepsikan anak sekolah sebagai hukuman. Sehingga
ada perasaan malu, takut, menimbulkan reaksi agresif, marah,
berontak, tidak mau bekerja sama dengan perawat.
4. Masa sekolah 6 sampai 12 tahun

13

Perawatan di rumah sakit memaksakan meninggalkan lingkungan yang


dicintai , keluarga, kelompok sosial sehingga menimbulkan kecemasan.
Kehilangan kontrol berdampak pada perubahan peran dalam keluarga,
kehilangan kelompok sosial,perasaan takut mati,kelemahan fisik. Reaksi
nyeri bisa digambarkan dengan verbal dan non verbal.
5. Masa remaja (12 sampai 18 tahun )
a. Anak remaja begitu percaya dan terpengaruh kelompok sebayanya.
b. Pembatasan aktifitas menyebabkan kehilangan kontrol
Reaksi yang muncul :
1) Menolak perawatan / tindakan yang dilakukan
2) Tidak kooperatif dengan petugas
3) Perasaan sakit akibat perlukaan menimbulkan respon :

a) Bertanya-tanya
b) Menarik diri
c) Menolak kehadiran orang lain
K. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan
merupakan kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau
bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada segmen aganglionosis
dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi
sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama
banyak pada anak laki-laki dan perempuan.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir.
Trias yang sering ditemukan adalah mekonium yang lambat
keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir), perut kembung dan
muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare.
2) Riwayat penyakit sekarang
Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional.
Obstruksi total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen
dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi sering mengalami
konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa

14

konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti


dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga yang konstipasi
ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen, dan
demam. Diare berbau busuk dapat terjadi.
3) Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat
kehamilan, persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang
lain yang menderita Hirschsprung.
5) Riwayat tumbuh kembang
Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sudah BAB.
6) Riwayat kebiasaan sehari-hari
Meliputi kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.
c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinis.
Pada survey umum terlihat lemah atau gelisah. TTV biasa
didapatkan

hipertermi

dan

takikardi

dimana

menandakan

terjadinya iskemia usus dan gejala terjadinya perforasi. Tanda


dehidrasi dan demam bisa didapatkan pada kondisi syok atau
sepsis.
Pada pemeriksaan fisik fokus pada area abdomen, lipatan paha,
dan rectum akan didapatkan
Inspeksi
:Tanda khas

didapatkan

adanya

distensi

abnormal. Pemeriksaan rectum dan feseS akan


didapatkan adanya perubahan feses seperti pita
Auskultasi

dan berbau busuk.


:Pada fase awal didapatkan penurunan bising

Perkusi

usus, dan berlanjut dengan hilangnya bisng usus.


:Timpani
akibat
abdominal
mengalami

kembung.
Palpasi
:Teraba dilatasi kolon abdominal.
1) Sistem kardiovaskuler
: Takikardia.
2) Sistem pernapasan
: Sesak napas, distres pernapasan.
3) Sistem
pencernaan
: Umumnya
obstipasi.
Perut
kembung/perut tegang, muntah berwarna hijau. Pada anak yang
lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus jari akan

15

merasakan jepitan dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan


keluarnya udara dan mekonium atau tinja yang menyemprot.
4) Sistem saraf
: Tidak ada kelainan.
5) Sistem muskuloskeletal
: Nyeri.
6) Sistem endokrin
: Tidak ada kelainan.
7) Sistem integument
: Akral hangat, hipertermi.
8) Sistem pendengaran
: Tidak ada kelainan.
d. Pengkajian psikososial keluarga berkaitan dengan
Anak
: Kemampuan beradaptasi dengan penyakit, mekanisme
koping yang digunakan.
Keluarga : Respon emosional keluarga, koping yang digunakan
keluarga, penyesuaian keluarga terhadap stress menghadapi
penyakit anaknya.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pre Operasi
1) Konstipasi berhubungan dengan penyempitan kolon, obstruksi
mekanik (megakolon).
2) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mual, muntah.
3) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat.
b. Post Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan inkontinuitas jaringan (pembedahan).
2) Risiko infeksi berhubungan dengan pasca prosedur pembedahan.
3. Intervensi Keperawatan
a. Pre Operasi
1) Konstipasi berhubungan dengan penyempitan kolon, obstruksi
mekanik (megakolon).
Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan, pola eliminasi
normal/konstipasi dapat teratasi.
Kriteria Hasil : a) Mempertahankan defekasi setiap hari
b) BAB lancar
c) Feses lunak
d) Bau feses tidak menyengat
e) Warna feses kuning kecoklatan
Intervensi :
a) Auskultasi bising usus dan periksa adanya distensi abdomen
pasien. Pantau dan catat frekuensi dan karakteristik feses.
Rasional : untuk menyusun rencana penanganan yang efektif
dalam mencegah konstipasi dan impaksi fekal.
b) Catat asupan haluaran secara akurat.
16

Rasional : untuk meyakinkan terapi penggantian cairan yang


adekuat.
c) Dorong pasien untuk mengonsumsi cairan 2,5 L setiap hari,
bila tidak ada kontraindikasi.
Rasional : untuk meningkatkan terapi penggantian cairan dan
hidrasi.
d) Lakukan program defekasi. Letakkan pasien di atas pispot atau
commode pada saat tertentu setiap hari, sedekat mungkin
sewaktu biasa defekasi (bila diketahui).
Rasional : untuk membantu adaptasi terhadap fungsi fisiologis
normal.
e) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian laksatif, enema
atau supositoria sesuai instruksi.
Rasional : untuk membantu memperlancar BAB.
2) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mual, muntah.
Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan, kebutuhan
nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil : a) BB pasien sesuai umurnya
b) Nafsu makan meningkat
c) Tidak ada mual dan muntah
Intervensi :
a) Kaji riwayat makanan yang biasa dimakan dan kebiasaan
makan.
Rasional : untuk meningkatkan nafsu makan pasien.
b) Monitor mual dan muntah.
Rasional : untuk untuk mengetahui keseimbangan
c) Monitor intake nutrisi.
Rasional : untuk mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai
kebutuhan.
d) Timbang berat badan.
Rasional : untuk mengetahui perubahan berat badan.
e) Anjurkan ibu untuk tetap memberikan ASI rutin.
Rasional : untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
f) Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
kalori dan nutrisi yang dibutuhkan.
Rasional : penentuan diit yang tepat dapat membantu
meningkatkan kebutuhan nutrisi pasien.

17

3) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake


yang tidak adekuat.
Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan, kekurangan
volume cairan tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
a) Tidak di temukan tanda-tanda kekurangan volume cairan.
b) Keseimbangan intake dan out put 24 jam.
c) Berat badan stabil.
d) Mata tidak cekung.
e) Membran mukosa lembab
f) Kelembaban kulit normal
Intervensi :
a) Timbang popok jika diperlukan.
Rasional : untuk mengetahui haluaran cairan.
b) Pertahankan intake dan output yang akurat.
Rasional : untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh.
c) Monitor status hidrasi
Rasional : untuk mengetahui tanda-tanda kekurangan cairan.
d) Dorong masukan oral seperti ASI
Rasional : mencegah terjadinya dehidrasi.
e) Kolaborasikan pemberian cairan IV
Rasional : untuk membantu memenuhi kebutuhan cairan
pasien.
b. Post Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan inkontinuitas jaringan (pembedahan).
Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan, nyeri
berkurang/teratasi.
Kriteria Hasil :
a) Skala nyeri berkurang dari 3-2 atau 2-1
b) anak tidak rewel
c) ekspresi wajah dan sikap tubuh rileks
Intervensi :
a) Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi : lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau
beratnya nyeri dan faktor faktor presipitasi.
Rasional : untuk mengetahui tingkat nyeri dan langkah
selanjutnya.
b) Observasi isyarat isyarat non verbal dari ketidaknyamanan,
khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara
efektif.
18

Rasional : reaksi non verbal merupakan indikator yang penting


untuk mengetahui rasa nyeri dan ketidaknyamanan pasien.
c) Kontrol faktor faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap ketidaknyamanan (contoh : temperatur
ruangan , penyinaran)
Rasional : untuk membantu mengurangi rasa nyeri.
d) Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (misalnya :
relaksasi, guided imagery, distraksi, terapi bermain, terapi
aktivitas)
Rasional : untuk membantu mengurangi atau mengatasi nyeri.
e) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
Rasional : pemberian analgetik yang tepat dapat membantu
mengurangi nyeri.
2) Risiko infeksi berhubungan dengan pasca prosedur pembedahan.
Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan, infeksi tidak
terjadi.
Kriteria Hasil :
a) Tidak di temukannya tanda-tanda infeksi
b) Suhu dalam batas normal.
c) Hasil lab normal (leukosit).
Intervensi :
a) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.
Rasional : merupakan indikator yang penting

untuk

menentukan intervensi selanjutnya.


b) Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan,
panas dan drainase.
Rasional : untuk mengetahui tanda-tanda infeksi.
c) Inspeksi kondisi luka/ insisi bedah.
Rasional : untuk mengetahui baik atau tidaknya proses
penyembuhan luka.
d) Dorong masukan nutrisi yang cukup.
Rasional : untuk membantu proses penyembuhan luka.
e) Minimalkan risiko infeksi dengan : mencuci tangan sebelum
dan setelah memberikan perawatan, menggunakan sarung
tangan untuk mempertahankan asepsis pada saat memberikan
perawatan langsung.
Rasional : Mencuci tangan adalah satu-satunya cara terbaik
untuk mencegah patogen, sarung tangan dapat melindungi
19

tangan pada saat memegang luka yang dibalut atau melakukan


berbagai tindakan.
f) Kolaborasi pemberian antibiotik dalam penatalaksanaan
pengobatan terhadap mikroorganisme.
Rasional : Antibiotik menurunkan resiko infeksi yang
menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan dapat memperlama
proses penyembuhan pasca funduplikasi lambung. (Sodikin.
2011. Keperawatan Anak Gangguan Pencernaan)

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hirschsprung (megakolon atau aganglionik kongenital) adalah anomali
kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan
motalitas sebagian usus. Penyebab penyakit Hirschprung belum diketahui

20

(Greaf, 1994). Kemungkinan terdapat keterlibatan faktor genetik, sering


terjadi pada anak dengan Down syndrom.
Klasifikasi hisprung terdiri dari segmen pendek dan segmen panjang. Pada
penyakit ini, bagian kolon dari yang paling distal sampai pada bagian usus
yang

berbeda

ukuran

penampangnya,

tidak

mempunyai

ganglion

parasimpatik intramural. Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat


mengembang sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan
defekasi ini kolon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang
tertimbun, membentuk megakolon. Ada trias gejala klinis yang sering
dijumpai, yakni : pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam
pertama), muntah hijau, distensi abdomen.
Komplikasi penyakit hisprung yaitu kebocoran anastomose, stenosis, dan
enterokolitis. Penatalaksanaan penyakit hisprung terdiri dari penatalaksanaan
medis dan bedah serta keperawatan, penatalaksanaan medis biasanya
menggunakan tiga prosedur yaitu duhamel, swenson dan soave. Pemeriksaan
penunjangnya terdiri dari pemeriksaan colok dubur, laboratorium, barium
enem dan foto polos abdomen. Konsep tumbuh kembang anak di mulai pada
saat neonatus sampai dengan usia 18 tahun. Dampak hospitalisasi terhadap
anak tentunya berbeda-beda mulai dari bayi sampai remaja.
Asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit hisprung berpusat pada
mengatasi konstipasi, ketidakseimbangan nutrisi, risiko kekurangan volume
cairan, nyeri serta risiko infeksi.
B. Saran
a. Bagi mahasiswa
Meningkatkan kualitas belajar dan memperbanyak literatur dalam
pembuatan makalah agar dapat membuat makalah yang baik dan benar.
b. Bagi pendidikan
Bagi dosen pembimbing agar dapat memberikan bimbingan yang lebih
baik dalam pembuatan makalah selanjutnya.
c. Bagi kesehatan

21

Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa kesehatan khususnya untuk


mahasiswa keperawatan agar mengetahui pada anak dengan penyakit
hisprung dalam hal ini meliputi pengertian, etiologi, klasifikasi,
patofisologi, menifestasi klinis, penatalaksanaan, pemeriksaan penunjang,
konsep

tumbuh

kembang,

konsep

hospitalisasi,

keperawatan pada anak dengan penyakit hisprung.

22

beserta

asuhan

You might also like