Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing
dr. Aditiyono, Sp. OG
Disusun oleh :
Prasastie Gita Wulandari
Rostikawaty Azizah
Akhmad Ikhsan Prafita Putra
G4A013050
G4A013051
G4A013052
PRESENTASI KASUS
Disusun oleh :
Prasastie Gita Wulandari
Rostikawaty Azizah
Akhmad Ikhsan Prafita Putra
G4A013050
G4A013051
G4A013052
dapat bermanfaat bagi para dokter, dokter muda, ataupun para medis lainnnya, khususnya di
bidang kedokteran.
Purwokerto, September 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pap Smear atau tes Pap adalah suatu prosedur yang meliputi pengumpulan selsel dari lehserviks wanita dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk
mendeteksi lesi kanker atau prakanker. Tes Pap merupakan tes yang aman, murah dan
telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang
terjadi pada sel-sel leher rahim (Lestadi, 2009). Tujuan dan manfaat pap smear
diantaranya: evaluasi sitohormonal, mendiagnosis peradangan, identifikasi organisme
penyebab peradangan, mendiagnosis kelainan prakanker (displasia) dan kanker
serviks dini atau lanjut (karsinoma/invasif), serta memantau hasil terapi (Karjani,
2012). Wanita yang dianjurkan untuk melakukan tes pap smear biasanya mereka yang
tinggi aktifitas seksualnya. Namun tidak menjadi kemungkinan juga wanita yang
tidak beraktifitas seksual tinggi atau yang tidak diindikasikan memeriksaan diri.
Kanker yang paling sering terdiagnosis adalah kanker serviks yang merupakan
tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di daerah squamocolumnar
junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis. Kanker
serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker
leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal
dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim.
Sebelum terjadinya kanker akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker
atau neoplasia intraepitel serviks (NIS).
Insidensi kanker serviks di dunia mencapai 25-40 kasus per 100.000 wanita
pertahun. Prevalensinya menurut Xiang (2011) mencakup 12% dari seluruh kanker
pada wanita yang lebih sering dijumpai di negara berkembang yang mencakup 80%
dari kasus kanker seviks di dunia. Mortalitas kanker serviks cukup tinggi. Menurut
World Health Organization (WHO), setiap tahunnya lebih dari 270.000 wanita mati
akibat kanker serviks dan 85% kematian berasal dari negara berkembang. Oleh sebab
itu, WHO menetapkan kanker serviks kanker dengan prevalensi dan mortalitas
tertinggi di dunia setelah kanker payudara.
Vaginitis merupakan masalah ginekologis yang paling sering terjadi pada
90% wanita remaja di dunia, kondisi ini disebabkan oleh vaginosis bakterial (50%),
kandidiasis vulvovaginal (75%), trikomoniasis (25%) (KESPRO INFO, 2009).
Penelitian-penelitian sebelumnya telah melaporkan angka kejadian vaginitis di
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama
Usia
Agama
Suku/bangsa
Pekerjaan
Alamat
Nomor CM
Tanggal/Jam Masuk
: Ny. SB
: 50 tahun
: Islam
: Jawa
: Ibu Rumah Tangga
: Cilacap
: 904167
: 29 september 2014 pukul 09.00 WIB
B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Keputihan berwarna putih kekuningan
2. Keluhan tambahan
Agak panas dikemaluan, flek
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang di Poli Klinik Kebidanan RSMS dengan keluhan keputihan. Keluhan
tersebut sudah dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Keputihan berwarna putih
kekuningan, cair, jumlah sedikit, dan barbau amis, tidak berbuih. Keputihan muncul
setiap hari selama 2 bulan bulan dan keluar banyak setelah pasien berhubungan
dengan suaminya. Selama keputihannya muncul pasien sudah 2 kali berobat ke RSMS
untuk memperingan keluhannya. Selama pengobatan, pasien merasa keluhannya
berkurang dalam hal jumlah namun masih keputihan.
Selain keputihan, pasien mengeluhkan munculnya flek berwarna merah segar sampai
cokelat yang menyertai keluhan keputihan. Jumlahnya bervariasi, terkadang hanya
berupa flek cokelat atau sampai membuat pasien mengganti pembalut. Pasien juga
menyangkal adanya nyeri pada perut bagian bawah. Keluhan lain yang dikeluhankan
pasien adalah agak panas di area kemaluan. Keluhan nyeri dan berdarah saat
berhubungan seksual juga disangkal oleh pasien. Buang air kecil lancar tidak ada
keluhan.
Riwayat menstruasi
HPHT 10 September 2014, siklus teratur selama 7 hari, dismenore (+)
Riwayat Obstetrik
P4A0 :
Anak 1 : Perempuan/stillbirth
Anak 2 : laki-laki/ UK aterm/ spontan/ dukun/ 3200 gram/ sehat/ 32 tahun
Anak 3 : perempuan/ UK aterm/ spontan/ bidan/ 3200 gram/ sehat / 31 tahun
Anak 4 : laki-laki/ UK aterm/ spontan/ bidan/ 3200 gram/ sehat/ 27 tahun
Riwayat Pernikahan
Menikah 1 kali/ 34 tahun
Riwayat KB
Pil
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat hipertensi: Riwayat diabetes mellitus: + (terkontrol sejak 10 tahun yll)
Riwayat Alergi
Antibiotik, pasien tidak mengetahui jenis antibiotiknya
Riwayat sosial ekonomi
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga, suami pasien seorang pedagang di
pasar. Kesan ekonomi menengah ke bawah. Pasien memiliki kebiasaan menggunakan
celana dalam ketat dan mengganti celana dalam sekali dalam sehari. Pasien tidak
pernah membersihkan daerah kemaluannya dengan sabun pencuci khusus area
kemaluan.
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tinggi badan
: 151 cm
Berat badan
: 60 kg
BMI
: 22,34
Vital sign
Tekanan darah
: 150/80 mmHg
Nadi
: 80 kali/ menit, isi dan tegangan cukup
Respirasi Rate
: 20 kali/ menit, regular
Suhu
: 36,1o C
Mata
: conjungtiva mata kanan dan kiri anemis, tidak ada skela ikterik pada
mata kanan dan kiri.
tidak ada ottorhea.
tidak keluar sekret
mukosa bibir tidak sianosis
tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Telinga
Hidung
Mulut
Leher
:
:
:
:
Thorax
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
: Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada dinding dada sebelah kiri
Palpasi
atas.
: Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC V, 2 jari medial LMC
sinistra
: Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kiri bawah SIC V LMCS
: S1>S2 reguler, tidak ditemukan murmur, tidak ditemukan gallop.
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Perkusi
: Cembung
: Timpani
Palpasi
Auskultasi
Genitalia eksterna
Inspeksi
Mons pubis, labia mayor dan minor, introitus, perineum: warna tidak hiperemis, tidak
tampak ada benjolan maupun edema, ukuran normal, tidak ada darah, tampak adanya
keputihan berwarna putih kekuningan, encer, jumlah sedikit, dan berbau amis.
Palpasi
Tidak didapatkan nyeri tekan
Genitalia interna (inspekulo)
Cairan vagina : tampak cairan yang berada di sisi-sisi lateral vagina, berwarna putih
keabuan, encer dan jumlah banyak. Setelah dibersihkan dengan menggunakan tampon
tang dan kassa steril, tidak tampak adanya cairan atau sekret yang keluar dari serviks.
Dinding vagina : warna tampak sedikit hiperemis, permukaan licin tidak berbenjol-benjol.
Portio/ cervix : warna sedikit hiperemis, ukuran normal seukuran ibu jari kaki, permukaan
licin tidak ada benjolan.
OUE : tertutup
D. Hasil pap smear (Tanggal 15 September)
Diterima
: 2 buah preparat kering pada tanggal 30 September 2014
Mikrosik
:
Pap Smear menunjukkan sel epitel intermedia, superficial, dan endocervik
Sebaran difus leukosit PMN, limfosit, dan eritrosit.
Tak tampak jamur dan Trichomonas vaginalis
Tampak sel dysplasia ringan
Tak tampak sel ganas
Kualitas sediaan baik
Kesan
Saran
BAB III
DISKUSI MASALAH
Diagnosis masuk dari Poli Kebidanan dan Kandungan RSMS adalah Para 4 Abortus 0
Usia 50 Tahun dengan Vaginitis dan Cervicitis. Beberapa hal yang perlu dibahas mengenai
kasus tersebut antara lain :
1. Apakah diagnosis saat masuk sudah tepat ?
Diagnosis adalah proses penentuan jenis masalah kesehatan atau penyakit
dengan cara meneliti atau memeriksa. Diagnosis klinis adalah diagnosis yang
ditegakan melalui serangkaian proses anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang yang saling berkaitan satu sama lain. Dalam penegakan diagnosis sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain pasien, pelaku diagnosis, serta sarana dan
prasarana penunjang diagnosis. Diagnosis pasien adalah para 4 abortus 0 usia 50
tahun dengan vaginitis. servicitis Diagnosis tersebut ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pasien mengalami keputihan yang sudah dirasakan sejak 2 bulan yang lalu.
Keputihan berwarna putih kekuningan, cair, jumlah sedikit, dan barbau amis, tidak
berbuih. Keputihan muncul setiap hari selama 2 bulan bulan dan keluar banyak
setelah pasien berhubungan dengan suaminya. Selama keputihannya muncul pasien
sudah 2 kali berobat ke RSMS untuk memperingan keluhannya. Selama pengobatan,
pasien merasa keluhannya berkurang dalam hal jumlah namun masih keputihan.
Selain keputihan, pasien mengeluhkan munculnya flek berwarna merah segar
sampai cokelat yang menyertai keluhan keputihan. Jumlahnya bervariasi, terkadang
hanya berupa flek cokelat atau sampai membuat pasien mengganti pembalut. Pasien
juga menyangkal adanya nyeri pada perut bagian bawah. Keluhan lain yang
dikeluhankan pasien adalah rasa agak panas didaerah kemaluan. Keluhan nyeri dan
berdarah saat berhubungan seksual juga disangkal oleh pasien. Buang air kecil lancar
tidak ada keluhan.
Pemeriksaan genitalia eksterna dan interna (inspekulo) dikonfirmasi adanya
sekret pada vagina yang berada di sisi-sisi lateral vagina, berwarna putih kekuningan,
encer dan jumlah banyak. Setelah dibersihkan dengan menggunakan tampon tang dan
kassa steril, tidak tampak adanya cairan atau sekret yang keluar dari serviks. Dinding
vagina berwarna hiperemis, permukaan licin tidak berbenjol-benjol. Portio sedikit
hiperemis, ukuran normal seukuran ibu jari kaki, permukaan licin tidak ada benjolan,
dan ostium uteri eksterna tertutup.
Pasien vaginitis hampir selalu datang dengan keluhan keluarnya cairan vagina
yang abnormal, meliputi jumlah yang berlebihan, keputihan yang lama, perubahan
warna dan konsistensi sekret vagina serta cairan vagina yang berbau tidak sedap.
Kadang dapat disertai dengan adanya rasa gatal dan terbakar pada vagina. Anamnesis
yang diungkapkan pasien sesuai dengan gejala pada vaginitis.
Diagnosa vaginitis dikonfirmasi dengan adanya sekret vagina yang berwarna
putih di dinding-dinding lateral vagina, berbau tidak sedap dan dinding vagina yang
hiperemis. Sedangkan diagnosis servicitis didapatkan dari pemeriksaan fisik pada saat
melakukan inspekulo yakni didapatkan portio / servic berwarna hiperemis.
Diagnosis vaginitis sudah tepat karena sesuai dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasien. Namun belum dapat dipastikan
etiologi pasti dari vaginitis tersebut. Untuk mengetahui etiologi dari vaginitis,
dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan preparat basah
dengan NaCl 0,9%, whiif test, pewarnaan gram, serta pemeriksaan pH dengan kertas
lakmus. Pemeriksaan penunjang untuk mengetahui kuman penyebab vaginitis
dibutuhkan agar dapat diberikan terapi yang sesuai dengan penyebab penyakit
tersebut.
Karena keluhan yang sama berulang dan tidak membaik dengan pengobatan,
langkah selanjutnya yang diberikan kepada pasien ini adalah melakukan pemeriksaan
sitologi vagina atau sering disebut Pap Smear test merupakan salah satu metode
diagnosis dini pada karsinoma serviks uteri dan karsinoma korporis uteri yang
dianjurkan dilakukan rutin (0,5 1 tahun sekali). Pada pemeriksaan ini bahan diambil
dari dinding vagina atau dari serviks (endo- dan ektoserviks) dengan spatel Ayre (dari
kayu atau plastik). Sel-sel yang diambil pada Pap Smear kemudian diperiksa dibawah
mikroskop untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada sel. Pap Smear tidak
hanya mampu mendeteksi kanker serviks stadium awal tetapi juga lesi prekanker.
Berdasarkan hasil Pap Smear Test, terdapat adanya dysplasia ringan dan radang
non spesifik pada serviks Ny. SB. Berdasarkan klasifikasi Bethesda 2001, dysplasia
pada epitel serviks Ny. SB termasuk dalah CIN I atau low grade SIL. Diagnosis yang
tepat untuk Ny. SB adalah: Ny. SB, Para 2 Abortus 1, usia 44 tahun, dengan servisitis,
Pap Smear Test (+) CIN I. Diagnosis servisitis ditegakkan dengan adanya gejala
keputihan yang terkadang disertai perdarahan dan flek kecokelatan serta hasil Pap
Smear Test terdapat radang non spesifik pada epitel serviks.
Perubahan sel-sel abnormal pada leher rahim paling sering ditemukan pada usia
35-55 tahun dan memiliki resiko 2-3 kali lipat untuk menderita kanker serviks Lowgrade SIL (LSIL) berhubungan dengan infeksi HPV yang tidak merubah siklus sel
secara signifikan. Sebagian besar LSIL mengalami regresi spontan dan jarang menjadi
high-grade SIL (HSIL). Low-grade SIL tidak langsung berkembang menjadi kanker
invasif. Oleh karena itu, LSIL tidak diterapi seperti lesi premaligna.
2.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Histologi
1. Anatomi Serviks
Serviks adalah bagian uterus yang terendah dan menonjol ke vagina bagian atas.
Terbagi menjadi dua bagian, bagian atas disebut bagian supravaginal dan bagian bawah
disebut bagian vaginal (portio). Serviks merupakan bagian yang terpisah dari badan
uterus dan biasanya membentuk silinder, panjangnya 2,5-3 cm, mengarah ke belakang
bawah. Bagian luar dari serviks pars vaginalis disebut ektoserviks dan berwarna merah
muda. Di bagian tengah portio terdapat satu lubang yang disebut ostium uteri
eksternum yang berbentuk bundar pada wanita yang belum pernah melahirkan dan
berbentuk bulan sabit bagi wanita yang pernah melahirkan (Randall et al,. 2005).
Ostium uteri internum dan ostium uteri eksternum dihubungkan oleh kanalis
servikalis yang dilapisi oleh epitel endoserviks. Biasanya panjang kanalis servikalis
adalah 2,5 cm, berbentuk lonjong, lebarnya kira-kira 8 mm dan mempunyai lipatan
mukosa yang memanjang. Serviks sendiri disusun oleh sedikit otot polos (terutama
pada endoserviks), jaringan elastik, dan banyak jaringan ikat sehingga kanalis servikalis
mudah dilebarkan dengan dilator. Jika terjadi infeksi pada kanalis servikalis, dapat
terjadi perlekatan dan pembengkakan lipatan-lipatan mukosa sehingga spekulum
endoserviks sulit ataupun tidak mungkin dimasukkan sehingga tidak dapat dilakukan
penilaian kanalis servikalis (Randall et al,. 2005).
Pembuluh darah serviks berada pada bagian kanan kirinya. Arteri terutama
berasal dari cabang servikovaginalis arteri uterina, dari arteri vaginalis, dan secara
langsung dari arteri uterina. Serviks diinervasi oleh susunan saraf otonom baik susunan
saraf simpatis maupun saraf parasimpatis. Susunan saraf simpatis berasal dari daerah
T5-L2 yang mengirimkan serat-serat yang bersinaps pada satu atau beberapa pleksus
yang terdapat pada dinding abdomen belakang atau di dalam pelvis sehingga yang
sampai di serviks adalah serat post ganglionik. Serat parasimpatis berasal dari daerah
S2-S4 dan bersinaps dalam pleksus dekat atau dinding uterus. Karena otot lebih banyak
terdapat di sekitar ostium uteri internum, maka inervasi di daerah tersebut lebih banyak
daripada di ostium uteri eksternum (Ferenczy, 1997).
Saraf sensorik serviks sangat erat hubungannya dengan saraf otonom dan
memasuki susunan saraf pusat melalui daerah torakolumbal dan daerah sakral. Seratserat dalam stroma terlihat berjalan sejajar dengan serat otot walaupun ujung-ujung
saraf sensorik belum pernah ditemukan (Ferenczy, 1997).
2. Histologi Serviks
Secara histologi serviks terdiri dari epitelium dan jaringan stroma yang
dipisahkan oleh membrana basalis.
Epitelium serviks terdiri dari dua macam epitel : bagian ektoserviks dilapisi oleh
sel-sel yang sama dengan sel-sel pada vagina yaitu epitel skuamosa, berwarna merah
muda dan tampak mengkilat. Bagian endoserviks atau kanalis servikalis dilapisi oleh
epitel kolumner, yang berbentuk kolom atau lajur, tersusun selapis dan terlihat
berwarna kemerahan. Batas kedua epitel tersebut disebut squamocolumner junction
(SCJ). Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologik pada epitel serviks,
dimana epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang disebut proses
metaplasia. Metaplasia terjadi karena pH vagina yang rendah. Pada proses metaplasia
terjadi proliferasi sel-sel cadangan yang terletak di bawah sel epitel kolumnar
endoserviks yang secara perlahan-lahan mengalami pematangan menjadi epitel
skuamosa (Kumar, 2007).
Low-grade SIL (LSIL) berhubungan dengan infeksi HPV yang tidak merubah
siklus sel secara signifikan. Sebagian besar LSIL mengalami regresi spontan dan jarang
menjadi high-grade SIL (HSIL). Low-grade SIL tidak langsung berkembang menjadi
kanker invasif. Oleh karena itu, LSIL tidak diterapi seperti lesi premaligna. Sementara
pada HSIL, terjadi perubahan siklus sel oleh HPV sehingga terjadi peningkatan
proliferasi sel, penurunan maturitas sel, dan penurunan replikasi virus. Sebanyak 10%
LSIL akan berkembang menjadi HSIL dan 10% HSIL akan berkembang menjadi
karsinoma dalam 2 hingga 10 tahun.
Tabel 1. Klasifikasi Pap Class dan System Bethesda 2001 (Ries et al., 2009)
Pap Classes
Description
Bethesda 2001
Normal
II
Reactive Changes
Reactive Changes
Atypi
Koilocytosis
ASC, ASG
Low Grade SIL
Displasia ringan
III CIN I
III CIN II
Displasia sedang
Displasia berat
IV
Karsinoma in situ
Invasif
Mikroinvasif (<3mm )
Frankly invasif (>3mm)
Obstetricians Staging System for Cervical Cancer (FIGO) tahun 2000 menetapkan
stadium kanker serviks sebagai berikut:
Tabel 2. Stadium Kanker Serviks menurut FIGO Tahun 2000
C. Pap Smear
1. Definisi
Pap Smear atau tes Pap adalah suatu prosedur untuk memeriksa kanker serviks
pada wanita. Pap Smear meliputi pengumpulan sel-sel dari leher rahim dan kemudian
diperiksa di bawah mikroskop untuk mendeteksi lesi kanker atau prakanker. Tes Pap
merupakan tes yang aman, murah dan telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk
mendeteksi kelainan-kelainan yang terjadi pada sel-sel leher rahim (Lestadi, 2009).
Skrining utama dari kanker serviks selama 60 tahun terakhir adalah tes
Papanicolaou. Tes Papanicolaou, juga dikenal sebagai tes Pap atau Pap smear,
dikembangkan pada 1940-an oleh Georgios Papanikolaou. Pap smear mengambil nama
dari Papanikolau, yang merupakan seorang dokter yang meneliti, mengumumkan serta
mempopulerkan tentang teknik tersebut. Berkas penelitian yang dilakukan dengan ahli
patologi Dr Herbert Traut mempunyai dampak yang luar biasa pada pengurangan
jumlah kematian akibat kanker rahim di seluruh dunia. Pada awalnya diharapkan untuk
mendeteksi kanker leher rahim pada tahap awal, tetapi seiring waktu bahkan lesi prakanker juga dapat terdeteksi (Lestadi, 2009).
2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat pap smear, yaitu:
a. Evaluasi sitohormonal
Penilaian hormonal pada seorang wanita dapat dievaluasi melalui
pemeriksaan pap smear yang bahan pemeriksaannya adalah sekret vagina yang
berasal dari dinding lateral vagina satu per tiga bagian atas (Karjani, 2012).
b. Mendiagnosis peradangan
Peradangan pada vagina dan serviks pada umumnya dapat didiagnosa dengan
pemeriksaan pap smear. Baik peradangan akut maupun kronis. Sebagian besar akan
memberi gambaran perubahan sel yang khas pada sediaan pap smear sesuai dengan
organisme penyebabnya. Walaupun terkadang ada pula organisme yang tidak
menimbulkan reaksi yang khas pada sediaan pap smear (Karjani, 2012).
c. Identifikasi organisme penyebab peradangan
Dalam vagina ditemukan beberapa macam organisme/kuman yang sebagian
merupakan flora normal vagina yang bermanfaat bagi organ tersebut. Pada
umumnya organisme penyebab peradangan pada vagina dan serviks sulit
diidentifikasi dengan pap smear, sehingga berdasarkan perubahan yang ada pada sel
tersebut, dapat diperkirakan organisme penyebabnya (Karjani, 2012).
d. Mendiagnosis kelainan prakanker (displasia) leher rahim dan kanker leher rahim dini
atau lanjut (karsinoma/invasif).
Pap smear paling banyak dikenal dan digunakan adalah sebagai alat
pemeriksaan untuk mendiagnosis lesi prakanker atau kanker leher rahim. Pap smear
yang semula dinyatakan hanya sebagai alat skrining deteksi kanker mulut rahim, kini
telah diakui sebagai alat diagnostik prakanker dan kanker leher rahim yang ampuh
dengan ketepatan diagnostik yang tinggi, yaitu 96% terapi didiagnostik sitologi tidak
dapat menggantikan diagnostik histopatologik sebagai alat pemasti diagnosis. Hal itu
berarti setiap diagnosik sitologi kanker leher rahim harus dikonfirmasi dengan
pemeriksaan histopatologi jaringan biopsi leher rahim, sebelum dilakukan tindakan
selanjutnya (Karjani, 2012).
e. Memantau hasil terapi
Memantau hasil terapi hormonal, misalnya infertilitas atau gangguan endokrin.
Memantau hasil terapi radiasi pada kasus kanker leher rahim yang telah diobati
dengan radiasi, memantau adanya kekambuhan pada kasus kanker yang telah
dioperasi, memantau hasil terapi lesi prakanker atau kanker leher rahim yang telah
diobati dengan elekrokauter kriosurgeri, atau konisasi (Karjani, 2012).
3. Indikasi
Tes Pap Smear diindikasikan untuk skrining lesi kanker dan lesi prakanker dari
serviks. Wanita yang dianjurkan untuk melakukan tes pap smear biasanya mereka yang
tinggi aktifitas seksualnya. Namun tidak menjadi kemungkinan juga wanita yang tidak
mengalami aktivitas seksualnya memeriksakan diri (Karjani, 2012).
Rekomendasi skrining
Wanita yang perlu melakukan pap smear adalah : (a) wanita menikah atau
melakukan hubungan seksual pada usia < 20 tahun, (b) wanita muda memiliki mulut
rahim yang belum matang, ketika melakukan hubungan seksual terjadi gesekan yang
dapat menimbulkan luka kecil, yang dapat mengundang masuknya virus, (c) wanita
sering berganti-ganti pasangan seks, akan menderita infeksi di daerah kelamin,
sehingga dapat mengundang virus HPV dan herves genitalis, (d) wanita yang sering
melahirkan, kanker serviks banyak dijumpai pada wanita yang sering melahirkan
disebabkan oleh trauma persalinan, perubahan hormonal dan nutrisi selama
kehamilan, (e) wanita perokok, memiliki risiko dibandingkan dengan wanita tidak
merokok, karena rokok akan menghasilkan zat karsinogen yang menyebabkan
turunnya daya tahan di daerah serviks (Depkes, 2007; Aziz, 2002). Rekomendasi
terbaru dari American Collage of Obstetricions and gynecologist adalah melakukan
pemeriksaan pelvis dan penapisan pulasan pap setiap tahun bagi semua perempuan
yang telah aktif secara seksual atau telah berumur 21 tahun. Setelah tiga kali atau
lebih secara berturut-turut hasil pemeriksaan tahunan ternyata normal, uji pap dapat
dilakukan dengan frekuensi yang lebih jarang atas kebijakan dokter (Price, 2006).
Menurut The American Cancer Society 2004 (dalam Depkes 2007) pap smear
dapat dilakukan secara rutin pada seorang wanita 3 tahun sesudah melakukan
hubungan seksual pertama kali atau tidak melebihi 21 tahun. Pemeriksaan dilakukan
setiap tahun (peralatan pap smear konvensional) atau setiap 2 tahun (dengan peralatan
liquid-based) sampai umur 30 tahun. Pemeriksaan dilakukan setiap 2-3 tahun, bila 3
kali berturut-turut hasil normal pemeriksaan dapat dilakukan dengan frekuensi yang
lebih jarang.
Menurut Tjokronegoro (2002), Pap smear pada wanita yang berumur 35-40
tahun minimal dilakukan sekali, kalau fasilitas tersedia dilakukan setiap 10 tahun pada
umur 35-55 tahun, bila fasilitas tersedia lebih maka dapat dilakukan setiap 5 tahun
pada wanita berumur 35-55 tahun. Idealnya atau jadwal yang optimal setiap 3 tahun
pada wanita yang berumur 25-60 tahun.
Sasaran skrining ditentukan oleh Departemen Kesehatan masing-masing negara,
WHO (2002 dalam Wilopo 2010) merekomendasikan agar program skrining pada
wanita dengan beberapa persyaratan sebagai berikut :
1) Usia 30 tahun ke atas dan hanya mereka yang berusia lebih muda manakala
program telah mencakup seluruh sasaran vaksinasi.
2) Skrining tidak perlu dilakukan pada perempuan usia kurang 25 tahun.
3) Apabila setiap wanita hanya dapat dilakukan pemeriksaan sekali selama umur
hidupnya (misalnya karena keterbatasan sumber dana yang dimiliki pemerintah
atau swasta), maka usia paling ideal untuk melakukan skrining adalah pada usia
35-45 tahun.
4) Pada perempuan berusia diatas 50 tahun tindakan skrining perlu dilakukan setiap 5
tahun sekali.
5) Pada perempuan berusia 25-49 tahun tindakan skrining dilakukan setiap 3 tahun
sekali.
6) Pada usia berapapun skrining setiap tahun tidak dianjurkan.
7) Bagi mereka yang berusia diatas 65 tahun tidak perlu melakukan skrining apabila 2
kali skrining sebelumnya hasilnya negatif.
Abnormal sitologi serviks paling sering pada wanita muda dan hampir seluruh
kelainan sitologi pada remaja terselesaikan tanpa pengobatan. Wanita di bawah usia 21
tahun terhitung hanya 0,1% yang mengidap kanker serviks dan tidak ada bukti yang
kuat bahwa skrining kanker serviks pada kelompok usia tersebut dapat menurunkan
insidensi, morbiditas atau mortalitas dari kanker serviks. Menyadari fakta tersebut dan
kemungkinan skrining kanker serviks menyebabkan evaluasi tidak perlu dan berpotensi
berbahaya pada wanita berisiko sangat rendah untuk keganasan, ACOG merevisi
pedoman skrining kanker serviks, yaitu dimulai saat usia 21 tahun, tanpa
mempertimbangkan riwayat seksual sebelumnya (Karjani, 2012).
Tabel 3. Summary of 2012 Screening Guidelines from the American Cancer Society,
American Society for Colposcopy and Cervical Pathology, and American Society for
Clinical Pathology
Parameter
ACS Rekomendasi
Usia
memulai Mulai skrining sitologi pada usia 21 tahun, tanpa mempertimbangkan
skrining
riwayat seksual sebelumnya.
Skrining
antara Skrining dengan sitologi saja setiap 3 tahun. * Pemeriksaan HPV tidak
usia 2129
harus dilakukan pada kelompok umur ini.
Skrining
antara Skrining dengan kombinasi sitologi dan pemeriksaan HPV setiap 5 tahun
usia 30-65
Usia
skrining
(dianjurkan) atau sitologi saja setiap 3 tahun. * Skrining HPV saja secara
umum tidak direkomendasikan..
berhenti Usia 65 tahun, jika wanita memiliki skrining awal negatif dan tidak
dinyatakan risiko tinggi kanker serviks.
Skrining
setelah tidak diindikasikan untuk wanita tanpa leher rahim dan tanpa riwayat lesi
histerektomi
prakanker grade tinggi (misalnya, CIN2 atau CIN3) dalam 20 tahun
terakhir atau kanker serviks.
Wanita
yang Skrining dengan rekomendasi yang sama dengan wanita tanpa vaksin HPV.
vaksin HPV
Pedoman ini tidak ditujukan pada populasi spesial (seperti, wanita dengan riwayat kanker
serviks, wanita yang rahimnya terpapar dietilstilbestrol, wanita yang immunocompromised)
yang mungkin membutuhkan skrining lebih intensif atau alternatif lain.
sampel),
sehingga
sampel
tidak
representatif
dan
tidak
c. cytobrush
d. kaca objek
e. alcohol 95%(Lestadi, 2009).
Prosedur pemeriksaan Pap Smear adalah:
a. Beri label nama pada ujung kaca objek
k. Pulas sampel pada spatula pada kaca obyek dengan satu gerakan halus.
keganasan.
Kelas III : gambaran sitologi yang dicurigai keganasan, displasia ringan sampai
d.
e.
sedang.
Kelas IV : gambaran sitologi dijumpai displasia berat.
Kelas V : keganasan.
Sistem CIN pertama kali dipublikasikan oleh Richart RM tahun 1973 di Amerika
Serikat. Pengelompokan hasil uji Pap Smear menurut sistem ini terdiri dari:
a.
CIN I merupakan displasia ringan dimana ditemukan sel neoplasma pada kurang
b.
c.
melalui beberapa kali pembaharuan, maka saat ini digunakan klasifikasi Bethesda 2001.
Klasifikasi Bethesda 2001 adalah sebagai berikut (Marquardt, 2002):
a. Sel skuamosa
1) Atypical Squamous Cells Undetermined Significance (ASC-US)
2) Low Grade Squamous Intraepithelial Lesion (LSIL)
3) High Grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL)
4) Squamous Cells Carcinoma
b. Sel glandular
1) Atypical Endocervical Cells
2) Atypical Endometrial Cells
3) Atypical Glandular Cells
4) Adenokarsinoma Endoservikal In situ
5) Adenokarsinoma Endoserviks
6) Adenokarsinoma Endometrium
7) Adenokarsinoma Ekstrauterin
8) Adenokarsinoma yang tidak dapat ditentukan asalnya (NOS)
9. Cara Penulisan Laporan Pap Smear
Item pertama pada laporan Pap Smear adalah untuk tujuan identifikasi. Laporan
ini diharapkan memiliki nama wanita, nama dan patologi atau cytotechnologist yang
membaca kotor, sumber spesimen (dalam hal ini adalah serviks), dan tanggal periode
menstruasi terakhir wanita. Laporan Pap Smear juga harus mencakup sebagai berikut:
a. Sebuah gambaran status menstruasi wanita (misalnya, menopause (tidak lagi
b.
c.
d.
kesehatan praktisi)
Sebuah deskripsi kecukupan spesimen (apakah sampel memuaskan untuk
e.
f.
interpretasi)
Diagnosis akhir (misalnya, dalam batas normal)
Rekomendasi untuk tindak lanjut (misalnya, merekomendasikan rutin follow-up
D. Vaginitis
a. Definisi
Vaginitis adalah suatu kondisi peradangan pada mukosa vagina yang dapat
disebabkan oleh mekanisme infeksi maupun noninfeksi. Vaginitis ditandai dengan
pengeluaran cairan abnormal yang sering disertai rasa ketidaknyamanan pada
vulvovagina (Syed dan Braverman, 2004).
b. Epidemiologi
Vaginitis merupakan masalah ginekologis yang paling sering terjadi pada
90% wanita remaja di dunia, kondisi ini disebabkan oleh vaginosis bakterial (50%),
kandidiasis vulvovaginal (75%), trikomoniasis (25%) (KESPRO INFO, 2009).
Penelitian-penelitian sebelumnya telah melaporkan angka kejadian vaginitis di
beberapa negara, diantaranya Thailand 33 %, Afrika-Amerika 22,7 %, London 21 %,
Indonesia 17 %, Jepang 14 %, Swedia 14 %, dan Helsinki 12 %.
Vaginosis bakterial menyerang lebih dari 30% populasi. Dari penelitian pada
wanita berusia 14-49 tahun, 29% diantaranya didiagnosis mengalami vaginosis
bakterial. Wanita dengan riwayat aktivitas seksual beresiko lebih besar mengalami
penyakit ini. Douching diketahui juga dapat meningkatkan resiko vaginosis bakterial.
Prevalensi meningkat pada wanita perokok, karena diketahui bahwa kandungan rokok
dapat menghambat produksi hidrogen peroksida oleh Lactobacillus.
c. Faktor resiko
1. Ras
2. Promiskuitas
3. Stabilitas marital
4. Penggunaan kontrasepsi IUD
5. Riwayat kehamilan
d. Etiologi
1. Bakterial vaginosis
a) Definisi
Bakterial vaginosis merupakan suatu keadaan dimana terjadi perubahan
eksosistem vagina yang ditandai oleh peningkatan pertumbuhan bakteri
anaerob dan penurunan jumlah Lactobacillus spp (Sessa et al.,
2013).
Penyakit ini ditandai dengan perubahan secara kompleks baik jumlah dan
fungsi dari flora normal pada vagina(Lamont et al., 2011).
Bakterial vaginosis dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme
diantaranya adalah Gardnerella vaginalis, Prevotella spp, Mobiluncus spp,
Corynebacterium
spp,
Viridans
streptococci,
Enterococcus
faecalis,
b) Epidemiologi
Bakterial vaginosis merupakan penyebab tersering dari vaginitis.
Frekuensi tergantung pada tingkatan sosial ekonomi dan aktivitas seksual.
Penelitian sebelumnya telah melaporkan angka kejadian BV di beberapa
negara, diantaranya Thailand 33%, Afrika-Amerika 22,7 %, London 21 %,
Indonesia 17 %, Jepang 14%, Swedia 14%, dan Helsinki 12%.
c) Faktor resiko
Pada umumnya BV ditemukan pada wanita usia reproduktif dengan
aktifitas seksual yang tinggi dan promiskuitas. Penggunaan alat kontrasepsi
dalam rahim,usia menopause,vaginal douching, sosial ekonomi rendah, dan
wanita hamil juga merupakan faktor resiko terjadinya.
Tabel 5. Faktor resiko bakterial vaginosis
d)
Etilogi
Mikroorganisme yang
dapat
menyebabkan
3) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan preparat basah
Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes NaCl 0,9% pada sekret
vagina diatas objek glass kemudian ditutup dengan coverglass. Diamati
dibawah mikroskop dengan perbesaran 400x untuk melihat Clue cells
yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi dengan bakteri
sehingga tepinya tidak terlihat jelas. Pemeriksaan ini memilki sensivitas
60% dan spesifitas 98%.
b) Whiff test
Dinyatakan positif jika bau amis timbul setelah penambahan satu tetes
KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau amis muncul sebagai akibat
pelepasan amin dan asam organik hasil dari bakteri anaerob.
c) Tes lakmus
Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Ditemukan
kadar pH > 4,5.
d) Pewarnaan gram
Ditemukan penurunan jumlah Lactobacillus dan peningkatan jumlah
bakteri anaerob.
e) Kultur vagina
Gambar 4.11. Sel Clue pada larutan salin dengan perbesaran 400x.
Batas yang kasar, warna yang suram, dan tepi yang ireguler adalah sel
Clue (sel ketiga dan keempat dari kiri)
perbesaran 1000x
Kriteria yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah morfologi dan
perubahan warna. Lactobacillus ditandai dengan batang gram positif
berukuran besar, G vaginalis atau Bacteroides sp ditandai dengan batang
gram positif berukuran kecil, sedangkan Mobiluncus spp ditandai dengan
batang gram positif dengan bentuk yang melengkung.
Tabel 6. Kriteria Nugent
f) Patofisiologi
Bakterial vaginosis disebabkan oleh faktor-faktor yang mengubah
lingkungan asam normal di vagina menjadi keadaan basa sehingga terjadi
pertumbuhan dari bakteri anaerob secara berlebihan. Faktor-faktor yang dapat
mengubah pH vagina diantaranya adalah mukus serviks, semen, darah
menstruasi, douching, pemakaian antibiotik, dan perubahan hormonal saat
kehamilan dan menopause. Metabolisme bakteri anaerob yang meningkat
menyebabkan lingkungan asam di vagina berubah menjadi basa dan dapat
menghambat pertumbuhan bakteri patogen yang oportunistik.
Pada bakterial vaginosis terjadi simbiosis antara Gardnerella vaginalis
sebagai pembentuk asam amino dan kuman anaerob yang mengubah asam
amino menjadi amin, sehingga pH vagina meningkat (basa) optimal untuk
pertumbuhan bakteri anaerob. beberapa amin diketahui menyebabkan iritasi
kulit, mempercepat pelepasan sel epitel, dan menimbulkan bau busuk pada
sekret vagina.
Gardnerella vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina, menimbulkan
deskuamasi sel epitel sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pada dinding
vagina. Organisme ini tidak invasif dan respon inflamasi lokal yang terbatas,
hal ini dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam sekret vagina
atau dengan pemeriksaan histopatologis.
Bakterial vaginosis yang berulang dapat disebabkan oleh hal-hal berikut
ini:
genus
kandida
lainnya.Kandidiasis
vulvovaginalis
atau
kandidosis
3) Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan miroskopik langsung
Dengan menggunakan KOH 10-20%, tampak adanya sel ragi yang
polimorfik, berbentuk lonjong, atau bulat berukuran 2-6 x 4-9 m,
blastospora (sel ragi yang sedang bertunas), sel budding yang khas, hifa
bersekat atau pseudohifa, kadang-kadang ditemukan klamidiospora.
b) Pewarnaan Gram
Elemen jamur (budding yeast cell/ blastospora/ blastokonidia/
pseudohifa/ hifa) tampak sebagai Gram positif dan sporanya lebih besar
dari bakteri yang dapat diamati dengan pewarnaan Gram
c) Pemeriksaan sediaan basah
Pemeriksaan sediaan basah juga dapat melihat bentuk hifa dan budding
yeast dari kandida, dengan cara sediaan cairan vagina diletakkan pada
objek glas kemudian ditetesi 1-2 tetes larutan 0,9% isotonik sodium
klorida dan diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 400 x.
d) Pemeriksaan pH
pH kandidiasis vaginal kurang dari 4,5 dapat dibuktikan dengan
menggunakan kertas lakmus
e) Kultur
Kultur memiliki nilai sensitivitas yang tinggi sampai 90%. Medium
kultur yang dipakai adalah agar dekstrose Sabouraud dan modifikasi agar
Sabouraud. Pada modifikasi agar Sabouraud, komposisinya ditambahkan
antibiotik kloramfenikol yang digunakan untuk menekan pertumbuhan
bakteri. Media ini merupakan media selektif untuk mengisolasi kandida.
Kandida umumnya mudah tumbuh pada suhu kamar 25-30C, dan
pertumbuhan dapat terjadi 2-5 hari setelah biakan. Koloni tampak
berwarna krem atau putih kekuningan, permukaan koloni halus, licin,
lama kelamaan berkeriput dan berbau ragi. Biakan dinyatakan negatif
bila dalam waktu 4 minggu tidak tumbuh. Untuk melakukan identifikasi
spesies perlu dilakukan subkultur untuk mendapatkan koloni yang murni,
kemudian koloni baru dapat diidentifikasi.
f) Tes fermentasi
Tes fermentasi dilakukan untuk menentukan
spesies
kandida,
Penatalaksanaan
candidiasis
vulvovaginal
dilakukan
berdasarkan
Formulasi
200 mg oral tablet
100 mg oral kapsul
Flukonazole
Klotrimazole
Mikonazole
Nistatin
Amphoterisin B+
Tetrasiklin
Dosis
2x1 tab, 5 hari
2x1 cap, 2 hari
2x2 cap, 1 hari selang 8 jam
Dosis tunggal
1x1 tab, 7 hari
5 g, 7-14 hari
5 g, 3 hari
2x1 tab vag, 3 hari
1 tab vag, 1 hari
5 g, 1-7 hari
1 tab vag, 1-7 hari
1x1 tab, 12-14 hari
1x1 tab, 7-12 hari
1x1 tab, 7-12 hari
non-albicans,
candidiasis
vulvovaginalpada
penderita
pengobatan
merupakan
penyakit
menular
seksual
(PMS)
pria.
Namun,
wanita
juga
dapat
pada
menjadi
wanita
pembawa
flagelata
berbentuk
filiformis,
berukuran
15-18
mikron,
e. Patofisiologi
T. vaginalis mampu menimbulkan peradangan pada dinding saluran
urogenital dengan cara invasi sampai mencapai jaringan epitel dan
subepitel. T. vaginalis ditemukan pada lumen dan mukosa traktur urinarius,
flagellanya menyebabkan tropozoit berpindah ke vagina dan jaringan
uretra.T.vaginalis akan lebih lekat pada mukosa epitel vagina atau urethra dan
menyebabkan lesi superficial dan sering menginfeksi epital skuamous. Parasit
ini akan menyebabkan degenerasi dan deskuamasi epitel vagina. T.vaginalis
merusakkan sel epitel dengan kontak langsung dan produksi bahan sitotoksik.
Parasit ini juga akan berkombinasi dengan protein plasma hostnya maka ia
akan terlepas dari reaksi lytik pathway complemen dan proteinase host (Parija,
2004).
T. vaginalis adalah organisme anaerobik maka energi diproduksi melalui
fermentasi gula dalam strukturnya yang dikenal sebagai hydrogenosome. T.
vaginalis
memperoleh
makanan
melalui
osmosis
dan
fagositosis.
Gambar 4.17.
T. vaginalis
f.
Siklus hidup
Penegakan
Diagnosis
1) Anamnesis
Pada wanita yang simptomatik sering ditemukan gejala sebagai berikut
(Adriyani, 2006):
a) Discharge vagina berwarna kuning kehijauan berbuih, berbau busuk
berjumlah banyak
b) Gatal-gatal atau rasa panas pada vagina
c) Rasa sakit dan perdarahan sewaktu berhubungan seksual
d) Jika terjadi urethritis maka gejala yang timbul adalah disuria dan
frekuensi berkemih meningkat
e) Sakit perut bagian bawah
2) Pemeriksaan Fisik (Swygard et al., 2004).
Pada pemeriksaan dengan menggunakan speculum ditemukan:
a) Colpitis macularis atau strawberry cervix, yaitu merupakan lesi berupa
bintik makula eritematosa yang difus pada serviks. Namun, lesi ini
hanya terlihat pada 1-2% kasus tanpa menggunakan kolposkopi.
Dengan menggunakan kolposkopi lesi ini terdeteksi sampai dengan
45% kasus.
b) Discharge purulen berwarna kuning kehijauan berbuih, berbau busuk
berjumlah banyak. Colpitis macularis dan keputihan yang berbusa
bersama-sama memiliki spesifisitas 99% dan secara sendiri-sendiri
Pada
penelitian
metaanalisis
dengan
menggunakan
Normal
<4,5
Putih, jelas,
Kandidiasis
Variase ; normal
Seperti keju
jumlah
Mikroskopis
Vaginosis Bakteri
>4,5
Homogen, banyak,
Trikomoniasis
4,5
Berbusa,
putih keabu-abuan
banyak, kuning
sedikit
Sel epitel
Budding pada
kehijauan
Sel darah putih
dengan batas
pewarnaan Gram
negatif pada
banyak, adanya
jelas,
atau kerokan
pewarnaan Gram,
motile
lactobasilus
trikomonad
Gram (+)
+
Keputihan bau
Variasi
Keputihan,
vagina, iritasi,
sepertiikan,dispanuria,
pruritus pada
keputihan
nyeri
vulva
epitel dengan
KOH Whiff
Gejala
Tidak ada
abdomenbag.Bawah
G. Komplikasi
1. Ketuban pecah dini
2. Korioamniositis
3. Postpartum endometritis
4. Pelvic inflamatory disease
5. Cervical intraepitelial neoplasia
G. Prognosis
pada infeksi. Infeksi ini menyebabkan deskuamasi pada epitel gepeng dan perubahan
inflamasi kronik dalam jaringan serviks yang mengalami trauma (Sarwono, 2008).
4. Terapi Servisitis
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan RI telah berusaha untuk
perduli dengan fenomena banyaknya jumlah penderita penderita servisitis dengan
mengeluarkan pedoman nasional mengenai penanganan IMS pada tahun 2011.
Pedoman nasional tersebut menyebutkan bahwa servisitis bisa diobati sebagai berikut
(Kemenkes, 2011):
Pengobatan Servisitis Gonokokus
Sefiksim 400 mg, dosis tunggal, per oral Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per oral
ATAU
ATAU
Levofloksasin* 500 mg, dosis tunggal, Doksisiklin* 2x100 mg/hari, per oral, 7
per oral
hari
Pilihan Pengobatan Lain
hari
a. Definisi
Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di
daerah squamocolumnar junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa
kanalis servikalis. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau
leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk
ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina. Kanker
leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari
kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya
berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim.
Kanker seviks uteri adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa.
Sebelum terjadinya kanker akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker
atau neoplasia intraepitel serviks(NIS).
b. Epidemiologi
Insidensi kanker serviks di dunia mencapai 25-40 kasus per 100.000 wanita
pertahun. Prevalensinya menurut Xiang (2011) mencakup 12% dari seluruh kanker
pada wanita yang lebih sering dijumpai di negara berkembang yang mencakup 80%
dari kasus kanker seviks di dunia. Mortalitas kanker serviks cukup tinggi. Menurut
World Health Organization (WHO), setiap tahunnya lebih dari 270.000 wanita mati
akibat kanker serviks dan 85% kematian berasal dari negara berkembang. Oleh sebab
itu, WHO menetapkan kanker serviks kanker dengan prevalensi dan mortalitas
tertinggi di dunia setelah kanker payudara.
c. Klasifikasi
Secara histopatologi, kanker serviks terdiri atas berbagai jenis. Dua bentuk yang
sering dijumpai adalah karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma. Sekitar 85%
merupakan
karsinoma
serviks
jenis
skuamosa
(epidermoid),
10%
jenis
awal infeksi) dan Late protein(L1 dan L2, yang berfungsi menghasilkan kapsid
untuk virion baru). Genotipe HPV ditentukan oleh adanya variasi genetik di
protein kapsid L1 dan L2, sedangkan yang bersifat onkogenik adalah E6 dan E7.
Aktivasi protein onkogenik pada HPV tipe high riskmenyebabkan terjadinya
perubahan epigenetik pada beberapa promoter tumor suppressor gene (TSG)
sehingga dapat menimbulkan kanker. Siklus HPV dapat dilihat pada gambar 2.
Beberapa studi menunjukkan protein E6 dan E7 pada HPV tipe low risk memiliki
afinitas yang rendah terhadap TSG dibandingkan tipe high risksehingga HPV tipe
low risk tidak berpotensi menimbulkan kanker. Protein E6 dan E7 pada HPV tipe
low risk hanya berfungsi untuk menjaga stabilitas episom genomnya.
Gambar 4.19. Infeksi dan Siklus HPV pada Sel Epitel Serviks
(a) Serviks yang normal memiliki zona transfomasi (atau TZ) yang tiba-tiba bertransisi dari epitel
kolumnar menjadi epitel skuamosa. (b) HPV mendapatkan akses ke sel-sel epitel basal serviks via
vagina (selama berhubungan seksual) dan bereplikasi secara episomal (siklus lisogenik) dan
mengekspresikan early gen (E1, E2, E4, E5, E6, dan E7). (c) Sel-sel basal yang rusak akibat
infeksi HPV, terus berdiferensiasi dan bermigrasi ke permukaan epitel, tempat sel-sel skuamosa
mulai mengekspresikan late gen (L1 dan L2). Partikel virus baru akan menyebar ke dalam lumen
vagina. (e) Infeksi HPV (terutama tipe high risk) dapat berkembang menjadi: 1. displasia ringan,
2. cervical intraepithelial neoplasia stadium akhir (CIN3), dan 3. invasive cervical cancer (CaCx);
bila dasar membran rusak, akan terjadi penyebaran lokal dan metastasis. (f ) Pada sel-sel epitel
yang bertransformasi, gen HPV berintegrasi dengan kromosom inang dan mengekspresikan
protein onkogenik (E6 dan E7) yang berikatan dengan tumor suppressor protein (p53 dan Rb).
Kurang lebih 90% kasus kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV tipe
high risk. Meskipun infeksi HPV tipe high risk dapat menyebabkan kanker
serviks, mayoritas infeksi yang terjadi bersifat self-limiting. Hasil penelitian di
tiga kota di Indonesia (Jakarta, Tasikmalaya, dan Bali) tahun 2004-2006, pada
2.686 wanita yang sudah menikah, menunjukkan bahwa prevalensi HPV tipe high
risk adalah sekitar 7,9%. Prevalensi HPV tipe high risk pada 118 sampel dari
beberapa rumah sakit rujukan di laboratorium KalGen adalah 6,8%, yaitu tipe 16 ,
51 , 52 , 68 dan 58 dan tipe low riskyang terdeteksi adalah tipe 6, 43 dan 44.
2.
Faktor Risiko
Rasjidi (2009) membagi factor risiko kanker cerviks menjadi 2 yaitu faktor
resiko yang telah dibuktikan dan faktor resiko yang diperkirakan.
a) Fakor Resiko Telah Dibuktikan
1) Hubungan Seksual
Kanker serviks diperkirakan sebagai penyakit yang ditularkan secara
seksual. Beberapa bukti menunjukkan adanya hubungan antara riwayat
hubungan seksual dan risiko penyakit ini. Sesuai dengan etiologi
infeksinya, wanita dengan partner seksual yang banyak dan wanita yang
memulai hubungan seksual pada usia muda akan meningkatkan risiko
terkena kanker serviks. Karena sel kolumnar serviks lebih peka terhadap
metaplasia selama usia dewasa maka wanita yang berhubungan seksual
sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena kanker serviks lima kali lipat.
Keduanya, baik usia saat pertama berhubungan maupun jumlah partner
seksual, adalah faktor risiko kuat untuk terjadinya kanker serviks.
2) Karakteristik Partner
Sirkumsisi pernah dipertimbangkan menjadi faktor pelindung, tetapi
sekarang hanya dihubungkan dengan penurunan faktor risiko. Studi kasus
kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan kanker serviks lebih sering
menjalani seks aktif dengan partner yang melakukan seks berulang kali.
Selain itu, partner dari pria dengan kanker penis atau partner dari pria
yang istrinya meninggal terkena kanker serviks juga akan meningkatkan
risiko kanker serviks.
3) Riwayat Ginekologis
DNA sel epitel skuamosa dan bersama infeksi HPV dapat mencetuskan
transformasi keganasan.
b) Faktor Risiko Diperkirakan
1) Kontrasepsi Oral
Risiko noninvasif dan invasif kanker serviks telah menunjukkan hubungan
dengan kontrasepsi oral. Bagaimanapun, penemuan ini hasilnya tidak
selalu konsisten dan tidak semua studi dapat membenarkan perkiraan
risiko dengan mengontrol pengaruh kegiatan seksual. Beberapa studi
gagal dalam menunjukkan beberapa hubungan dari salah satu studi,
bahkan melaporkan proteksi terhadap penyakit yang invasif. Hubungan
yang terakhir ini mungkin palsu dan menunjukkan deteksi adanya bias
karena peningkatan skrining terhadap pengguna kontrasepsi. Beberapa
studi lebih lanjut kemudian memerlukan konfirmasi atau menyangkal
observasi ini mengenai kontrasepsi oral.
2) Diet
Diet rendah karotenoid dan defisiensi asam folat juga dimasukkan dalam
faktor risiko kanker serviks.
3) Etnis dan Faktor Sosial
Wanita di kelas sosioekonomi yang paling rendah memiliki faktor risiko
lima kali lebih besar daripada wanita di kelas yang paling tinggi.
Hubungan ini mungkin dikacaukan oleh hubungan seksual dan akses ke
system pelayanan kesehatan. Amerika Serikat, ras negro, hispanik, dan
wanita Asia memiliki insiden kanker serviks yang lebih tinggi daripada
wanita ras kulit putih. Perbedaan ini mungkin mencerminkan pengaruh
sosioekonomi.
4) Pekerjaan
Sekarang ini, ketertarikan difokuskan pada pria yang pasangannya
menderita kanker serviks. Diperkirakan bahwa paparan bahan tertentu dari
suatu pekerjaan (debu, logam, bahan kimia, tar, atau oli mesin) dapat
menjadi faktor risiko kanker serviks
6. Patofisiologi
Petanda tumor atau kanker adalah pembelahan sel yang tidak dapat dikontrol
sehingga membentuk jaringan tumor. Mekanisme pembelahan sel yang terdiri dari 4
fase yaitu G1, S, G2 dan M harus dijaga dengan baik. Selama fase S, terjadi replikasi
DNA dan pada fase M terjadi pembelahan sel atau mitosis. Sedangkan fase G (Gap)
berada sebelum fase S (Sintesis) dan fase M (Mitosis). Dalam siklus sel p53 dan pRb
berperan penting, dimana p53 memiliki kemampuan untuk mengadakan apoptosis dan
pRb memiliki
Society, 2012).
Infeksi dimulai dari virus yang masuk kedalam sel melalui mikro abrasi jaringan
permukaan epitel, sehingga dimungkinkan virus masuk ke dalam sel basal. Sel basal
terutama sel stem terus membelah, bermigrasi mengisi sel bagian atas, berdiferensiasi
dan mensintesis keratin. Pada HPV yang menyebabkan keganasan, protein yang
berperan banyak adalah E6 dan E7. mekanisme utama protein E6 dan E7 dari HPV
dalam proses perkembangan kanker serviks adalah melalui interaksi dengan protein
p53 dan retinoblastoma (Rb). Protein E6 mengikat p 53 yang merupakan suatu gen
supresor tumor sehingga sel kehilangan kemampuan untuk mengadakan apoptosis.
Sementara itu, E7 berikatan dengan Rb yang juga merupakan suatu gen supresor tumor
sehingga sel kehilangan sistem kontrol untuk proses proliferasi sel itu sendiri. Protein
E6 dan E7 pada HPV jenis yang resiko tinggi mempunyai daya ikat yang lebih besar
terhadap p53 dan protein Rb, jika dibandingkan dengan HPV yang tergolong resiko
rendah. Protein virus pada infeksi HPV mengambil alih perkembangan siklus sel dan
mengikuti deferensiasi sel (American Cancer Society, 2012).
Karsinoma serviks umumnya terbatas pada daerah panggul saja. Tergantung dari
kondisi immunologik tubuh penderita KIS akan berkembang menjadi mikro invasif
dengan menembus membrana basalis dengan kedalaman invasi <1mm dan sel tumor
masih belum terlihat dalam pembuluh limfa atau darah. Jika sel tumor sudah terdapat
>1mm dari membrana basalis, atau <1mm tetapi sudah tampak dalam pembuluh limfa
atau darah, maka prosesnya sudah invasif. Tumor mungkin sudah menginfiltrasi stroma
serviks, akan tetapi secara klinis belum tampak sebagai karsinoma. Tumor yang
demikian disebut sebagai ganas praklinik (tingkat IB-occult). Sesudah tumor menjadi
invasif, penyebaran secara limfogen melalui kelenjar limfa regional dan secara
perkontinuitatum (menjalar) menuju fornices vagina, korpus uterus, rektum, dan
kandung kemih, yang pada tingkat akhir (terminal stage) dapat menimbulkan fistula
rektum atau kandung kemih. Penyebaran limfogen ke parametrium akan menuju
kelenjar limfa regional melalui ligamentum latum, kelenjar-kelenjar iliak, obturator,
hipogastrika, prasakral, praaorta, dan seterusnya secara teoritis dapat lanjut melalui
trunkus limfatikus di kanan dan vena subklavia di kiri mencapai paru-paru, hati , ginjal,
tulang dan otak (American Cancer Society, 2012).
kemudian apusan
Inspeksi visual serviks dengan menggunakan asam asetat atau cairan Lugol
untuk mewarnai lesi prekanker sehingga lesi tersebut dapat dilihat dengan
mata telanjang, sehingga identifikasi prekanker dapat dilakukan secara klinis.
b)
c)
d)
Sebagai uji screening, IVA menghasilkan hasil yang lebih akurat dalam
mengidentifikasi lesi prekanker dibandingkan sitologi serviks. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa dengan IVA, dari wanita yang berisiko tinggi
mengalami karsinoma serviks, 45-79% dia antaranya teridentifikasi adanya
lesi prekanker, namun spesifitasnya lebih rendah dan terdapat risiko
4) Cervicography
5) Downstaging
Down staging yaitu skrining kanker serviks dengan cara melakukan inspekulo,
melihat serviks dengan mata telanjang.
6) Tes Schiller
Serviks diolesi dengan lauran yodium, sel yang sehat warnanya akan berubah
menjadi coklat, sedangkan sel yang abnormal warnanya menjadi putih atau
kuning.
2. Pencegahan
Karena pada umumnya kanker serviks berkembang dari sebuah kondisi prakanker, maka tindakan pencegahan terpenting harus segera dilakukan.
a. Pencegahan Primer
- Menghindari faktor-faktor risiko yang sudah diuraikan di atas. Misalnya: Tidak
berhubungan seksual dengan lebih dari satu pasangan, penggunaan kondom
(untuk mencegah penularan infkesi HPV), tidak merokok, selalu menjaga
kebersihan, menjalani pola hidup sehat, melindungi tubuh dari paparan bahan
kimia (untuk mencegah faktor-faktor lain yang memperkuat munculnya penyakit
kanker ini).
- Vaksinasi
Vaksin merupakan cara terbaik dan langkah perlindungan paling aman bagi
wanita dari infeksi HPV tipe 16 dan 18. Vaksin akan meningkatkan kemampuan
system kekebalan tubuh untuk mengenali dan menghancurkan virus ketika masuk
kedalam
tubuh,
sebelumterjadiinfeksi.
Vaksin
dibuat
dengan
teknologi
rekombinan, vaksin berisi VLP (virus like protein) yang merupakan hasil cloning
dari L1 (viral capsid gene) yang mempunyai sifat imunogenik kuat. Dalam hal ini
dikembangkan 2 jenis vaksin:
- Vaksin pencegahan untuk memicu kekebalan tubuh humoral agar dapat
terlindung dari infeksi HPV.
- Vaksin Pengobatan untuk menstimulasi kekebalan tubuh seluler agar sel yang
terinfeksi HPV dapat dimusnahkan.
Respon imun yang benar pada infeksi HPV memiliki karakteristik yang kuat,
bersifat lokal dan selalu dihubungkan dengan pengurangan lesi dan bersifat
melindungi terhadap infeksi HPV genotif yang sama . Dalam hal ini, antibodi
humoral sangat berperan besar dan antibodi ini adalah suatu virus neutralising
antibodi yang bisa mencegah infeksi HPV dalam percobaan invitro maupun
invivo. Kadar serum neutralising hanya setelah fase seroconversion dan kemudian
menurun.
Kadar yang rendah ini berhubungan dengan infeksi dari virus. HPV yang
bersifat intraepitelial dan tidak adanya fase keberadaan virus di darah pada infeksi
ini. Selanjutnya protein L1 diekspresikan selama infeksi produktif dari virus HPV
dan partikel virus tersebut akan terkumpul pada permukaan sel epitel tanpa ada
proses kerusakan sel dan proses radang dan tidak terdeteksi oleh antigen
presenting cell dan makropag. Oleh karena itu partikel virus dan kapsidnya
terdapat dalam kadar yang rendah pada kelenjar limfe dan limpa, di mana kedua
organ tersebut adalah organ yang sangat berperan dalam proses kekebalan tubuh.
Meskipun dalam kadar yang rendah, antibodi tersebut bersifat protektif terhadap
infeksi virus HPV.
Terdapat dua jenis vaksin HPV L1 VLP yang sudah dipasarkan melalui uji
klinis, yakni Cervarik dan Gardasil :
- Cervarix
Adalah jenis vaksin bivalen HPV 16/18 L1 VLP vaksin yang diproduksi
oleh Glaxo Smith Kline Biological, Rixensart, Belgium. Pada preparat ini,
Protein L1 dari HPV diekspresikan oleh recombinant baculovirus vector dan
VLP dari kedua tipe ini diproduksi dan kemudian dikombinasikan sehingga
menghasilkan suatu vaksin yang sangat merangsang sistem imun . Preparat ini
diberikan secara intramuskuler dalam tiga kali pemberian yaitu pada bulan ke
0, kemudian diteruskan bulan ke 1 dan ke 6 masing-masing 0,5 ml.
- Gardasil
Adalah vaksin quadrivalent 40 g protein HPV 11 L1 HPV
( GARDASIL yang diproduksi oleh Merck) Protein L1 dari VLP HPV tipe
6/11/16/18 diekspresikan lewat suatu rekombinant vektor Saccharomyces
cerevisiae (yeast). Tiap 0,5 cc mengandung 20g protein HPV 6 L1, 40
gprotein HPV 11 L1, 20 g protein HPV18 L1. Tiap 0,5 ml mengandung 225
amorph aluminium hidroksiphosphatase sulfat. Formula tersebut juga
mengandung sodium borat. Vaksin ini tidak mengandung timerasol dan
antibiotika. Vaksin ini seharusnya disimpan pada suhu 20 80 C.
Yang sebaiknya dimiliki oleh vaksin HPV pencegah kanker serviks adalah
1) Memberikan perlindungan yang adekuat terhadap infeksi HPV penyebab
kanker serviks.
- Melawan virus tersering dan agresif penyebab kanker
- Memberikan perlindungan tambahan dari tipe virus HPVlain yang juga
menyebabkan kanker.
2) Respon imun tubuh yang baik akan menghasilkan neutralizing antibodies yang
tinggi.
3) Dapat memberikan perlindungan yang jangka panjang.
4) Memberikan perlindungan tinggi hingga ke lokasi infeksi (serviks).
5) Profil keamanan yang baik
6) Affordable (Terjangkau lebih banyak perempuan).
Rekomendasi pemberian vaksin
Vaksin profilaksis akan bekerja efisien bila vaksin tersebut diberikan sebelum
individu terpapar infeksi HPV. Vaksin mulai dapat diberikan pada wanita usia 10
tahun. Berdasarkan pustaka vaksin dapt diberikan pada wanita usia 10-26 tahun
(rekomendasi FDA-US), penelitian memperlihatkan vaksin dapat diberikan sampai
usia 55 tahun
Dosis dan cara pemberian vaksin:
Vaksin ini diberikan intramuskuler 0,5 cc diulang tiga kali, produk Cervarix
diberikan bulan ke 0,1 dan 6 sedangkan Gardasil bulan ke 0, 2 dan 6 (Dianjurkan
pemberian tidak melebihi waktu 1 tahun). Pemberian booster (vaksin ulangan),
respon antibodi pada pemberian vaksin sampai 42 bulan, untuk menilai efektifitas
vaksin diperlukan deteksi respon antibodi. Bila respon antibodi rendah dan tidak
mempunyai efek penangkalan maka diperlukan pemberian Booster. Vaksin dikocok
terlebih dahulu sebelum dipakai dan diberikan secara muskuler sebanyak 0,5 dan
sebaiknya disuntikkan pada lengan (otot deltoid)
Contoh :
1. Penyuntikan 1 : Januari
2. Penyuntikan 2 : Februari / Maret
3. Penyuntikan 3 : Juli
b.
Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder kanker serviks dilakukan dengan deteksi dini dan skrining
kanker serviks yang bertujuan untuk menemukan kasus-kasus kanker serviks secara
Intraepital
Serviks)
dapat
dilakukan
dengan
observasi
saja,
bermetastasis
ke
kelenjar
getah
bening
panggul,
dengan
tetap
eksternal
sinar
berasar
dari
sebuah
mesin
besar
Beberapa
kanker
mempunyai
penyembuhan
yang
dapat
yang
kambuh,
ini
disebut
pengobatan
serviks
stage
IVB
recurrent
adalah
mitomycin.
mengurangi
gejala
terkait
kanker
yang
menyebabkan
Beberapa obat kemoterapi dapat menyebabkan diare, bahkan ada yang diare
sampai dehidrasi berat dan harus dirawat. Kadang sampai terjadi sembelit.
Bila terjadi diare : kurangi makan-makanan yang mengandung serat, buah
dan sayur. Harus minum air yang hilang untuk mengatasi kehilangan cairan.
Bila susah BAB : makan-makanan yang berserat, dan jika memungkinkan
olahraga.
4) Sariawan
5) Rambut rontok
Kerontokan rambut bersifat sementara, biasanya terjadi dua atau tiga minggu
setelah kemoterapi dimulai. Dapat juga menyebabkan rambut patah didekat
kulit kepala. Dapat terjadi seminggu setelah kemoterapi.
6) Otot dan saraf
Beberapa obat kemoterapi menyebabkan kesemutan dan mati rasa pada jari
tangan dan kaki. Serta kelemahan pada otot kaki.
7) Efek pada darah
Beberapa jenis obat kemoterapi ada yang berpengaruh pada kerja sumsum
tulang yang merupakan pabrik pembuat sel darah merah, sehingga jumlah sel
darah merah menurun. Yang paling sering adalah penurunan sel darah putih
(leukosit). Penurunan sel darah terjadi setiap kemoterapi, dan test darah
biasanya dilakukan sebelum kemoterapi berikutnya untuk memastikan
jumlah sel darah telah kembali normal. Penurunan jumlah sel darah dapat
menyebabkan:
c. Mudah terkena infeksi
Hal ini disebabkan oleh penurunan leukosit, karena leukosit adalah sel
darah yang memberikan perlindungan infeksi. Ada juga beberapa obat
kemoterapi yang menyebabkan peningkatkan leukosit.
d. Perdarahan
Keping darah (trombosit) berperan pada proses pembekuan darah, apabila
jumlah trombosit rendah dapat menyebabkan pendarahan, ruam, dan bercak
merah pada kulit.
e. Anemia
Anemia adalah penurunan sel darah merah yang ditandai dengan penurunan
Hb (Hemoglobin). Karena Hb letaknya didalam sel darah merah. Penurunan
sel darah merah dapat menyebabkan lemah, mudah lelah, tampak pucat.
(pain
% Harapan Hidup 5
Tahun
100
Karsinoma insitu
85
II
60
III
ke dinding pelvis
Meluas ke dinding pelvis dan atau
33
hidronefrosis
Menyerang mukosa kandung kemih
atau rektum atau meluas keluar pelvis
sebenarnya
Ciri-ciri karsinoma serviks yang tidak diobati atau tidak memberikan respon
terhadap pengobatan, 95 % pasien akan mengalami kematian dalam 2 tahun setelah
timbul gejala. Pasien yang menjalani histerektomi dan memiliki resiko tinggi terjadinya
rekurensi haus terus diawasi karena lewat deteksi dini dapat diobati dengan radioterapi.
Setelah histerektomi radikal, terjadi 80% rekurensi dalam 2 tahun.
BAB V
KESIMPULAN
1. Diagnosis pasien ini adalah para 4 abortus 0 usia 50 tahun dengan vaginitis dan
cervicitis.
2. Pap Smear atau tes Pap adalah suatu prosedur yang meliputi pengumpulan sel-sel
dari leher rahimwanita dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk mendeteksi
lesi kanker atau prakanker.
3. Tujuan dan manfaat pap smear diantaranya ; evaluasi sitohormonal, mendiagnosis
peradangan, identifikasi organisme penyebab peradangan, Mendiagnosis kelainan
prakanker (displasia) leher rahim dan kanker leher rahim dini atau lanjut
(karsinoma/invasif).Memantau hasil terapi
4. Tes Pap Smear diindikasikan untuk skrining lesi kanker dan lesi prakanker dari
serviks.
5. Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di
daerah squamocolumnar junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa
kanalis servikalis.
DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society. 2012. Cervical Cancer. At lanta. American Cancer Society.
Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika,
2005.
Calderone, R.A., and Fonzi, W.A. (2001). Virulence factors of Candida albicans. Trends in
Microbiology, 9(7): 327-35.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Skrining Kanker Leher Rahim dengan
Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA)
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Skrining Kanker Leher Rahim dengan
Metode Pap Smear.
Elit, L., W. Jimenez, J. Mc Alpine, P. Ghatage, D. Miller, and M. Plante. 2011. SOGC-GOCSCC Joint Policy Statement: Cervical Cancer Prevention in Low Resource Setting.
Journal of Obstetrician and Gynaecologists of Canada. 33 (3): 272-279.
Foxman B, Muraglia R, Dietz JP, Sobel JD, Wagner J. Prevalence of recurrent vulvovaginal
candidiasis in 5 European countries and the United States: results from an internet
panel survey. J Low Genit Tract Dis. Jul 2013;17(3):340-5.
Gerald L, Mandell. Principles and Practice of Infectious Disease Seventh Edition. Elsevier.
2010.
Gizelka, DW., Davis A., Pereira E., & Shirazian T. 2014. Assessing Patient Understanding of
the ACOG Abnormal Pap Smear Pamphplet: A Randomized Controlled Trial. Journal
of Women Health Care, 3(2):1-3
Jena, A., Bharathi T., Siva KR., Manilal B., Rashm P., & Phaneendra BV. 2012. Papanicolaou
(Pap) Test Screening of Staff Members of a Tertiary Care Teaching Hospital in South
India. Journal of Clinical Sciences & Research, 1:174-7
Jeronimo, J., O. Morales, J. Horna, J. Pariona, J. Manrique, J. Rubinos and R. Takahashi.
2005. Visual Inspection with Acetic Acid for Cervical Cancer Screening Outside of
Low-Resource Setting. Rev PanamSaludPublica. 17 (1): 1-5.
Hay RJ, Moore MK. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths, editors. Rooks
textbook of dermatology. 7th ed. Massachusets: Blackwell Publishing; 2004; p.
31.60-75.
Huppert JS. Trichomoniasis in teens: an update. Curr Opin Obstet Gynecol. Oct
2009;21(5):371-8
Karjane NW, Chelmow D. Pap Smear. Medscape Medical News; 2012.
(http://emedicine.medscape.com/article/1947979-overview#showall
diakses
23
September 2014).
Kemenkes, 2011. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual. Jakarta: Dirjen
PPL
Kim, S., Dong-Soo S., Ki-Hyung K., Man-Soo Y., & Kyung-Un C. 2013. Clinicopathological
Significance of Atypical Glandular Cells on Pap Smear. Obstetrics & Gynecology
Science, 56(2): 76-83
Lestadi, Julisar. 2009. Sitologi Pap Smear : Alat Pencegahan & Deteksi Dini Kanker Leher
Rahim. Jakarta : EGC.
Massad, LS., Mark HE., Warner KH., Hormuzd AK., Walter KK., Mark S., Diane S., Nicolas
W., & Herschel WL. 2013. 2012 Updated Consensus Guidlines for the Management
Abnormal Cervical Cancer Screening Tests and Cancer Precursors. Journal of Lower
Genital Tract Disease, 17(5): S1-7
Marrazzo, Jean M. et al. 2006. Risk Factors for Cervicitis among Women with Bacterial
Vaginosis. The Journal of Infectious Diseases; 193: 61724.
Marrazzo, Jean M. et al. 2007. Management of Women with Cervicitis. Clinical Infectious
Diseases; 44: S10210.
Noviana, H. 2012. Human Papillomavirus dan Kanker Serviks. Cermin Dunia Kedokteran,
39(1): 65-6
Parija, Subash C., 2004. Textbook of Medical Parasitology: Protozoology and Helminthology.
2nd ed. Intestinal, Oral and Genital Flagellates. India: All India Publishers and
Distributors, 73 78.
Peterman TA, Tian LH, Metcalf CA, et al. High incidence of new sexually transmitted
infections in the year following a sexually transmitted infection: a case for
rescreening. Ann Intern Med. Oct 17 2006;145(8):564-72
Patel, MM., Amrish NP. & Jigna M. 2011. Cervical Pap Smear Study and Its Utility in Cancer
Screening, to Specify the Strategy for Cervical Cancer Control. National Journal of
Community Medicine, 2(1): 49-51
Patel, Vikram et al. 2005. Why do women complain of vaginal discharge? A population
survey of infectious and pyschosocial risk factors in a South Asian community.
International Journal of Epidemiology; 34: 853862
Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohadjo.
Prayitno, A., Ruben D., Istar Y., & Ambar M. 2005. Ekspresi Protein p53, Rb, dan c-myc
pada Kanker Serviks Uteri dengan Pengecatan Immunohistokimia. Biodiversitas, 6(3):
157-9
Randall, M. E., Michael, H., Ver Morken, J., & Stehman, F. Uterine cervix. Hoskins, W. J.,
Perez, C. A., & Young, R. C., et al. (Eds.). (2005). Principles and Practice of
Gynecologic Oncology. (4th Edition). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 22:
pp. 743-822.
Rasjidi, I. 2009. Epidemiologi Kanker Serviks. Indonesian Journal of Cancer, 3(3): 103-8
Ries LA, Melbert D, Krapcho M, Stinchcomb DG, Howlander N, Horner MJ, et al.
2009. SEER cancer statistics review. Bethesda (MD): National Cancer Institute.
RJ Kurman. 1994. Blausteins Pathology of the Female Genital Tract / Fourth Edition. Ed.
Springer-Verlag, New York.
Romadhoni, Noor Y., & Dian A. 2012. Penyerapan Pengetahuan Tentang Kanker Serviks
Sebelum dan Sesudah Penyuluhan. Jurnal Kedokteran Muhammadiyah, 1(1): 38-42
Srivastava, S., Sadhana G., & Jagat KR. 2012. High Prevalence of Oncogenic HPV-16 in
Cervical Smears of Asymptomatic Women of Eastern Uttar Pradesh, India: A
Population-based Study. Journal of Biosciences, 37(1):63-72
Swygard, A. C. Sena, M.M. Hobbs. Trichomoniasis: clinical manifestations, diagnosis and
management. Sex Transm Infect. 2004. 80: 91-95.
Szumigala JA, Alveredo R. Vulvovaginitis. In: Ferri. Ferri's Clinical Advisor 2009. Mosby;
Elsevier; 2009:155, 1008-1012.
Workowshi KA, Berman SM. Sexually Transmitted Diseases Treatment guidelines 2006. US
Department of Health and Human Services. Centers For Disease Control and
Prevention (CDC). Morbidity and MortalityWeekly Report; 2006. 55 : p. 54-6.
World Health Organization. Global Prevalence and Incidence of Selected Curable Sexually
Transmitted Infections: Overviews and Estimates. WHO/HIV_AIDS/2001.02.
Geneva: World Health Organization. 2001
World Health Organization. 2013. Comprehensive Cervical Cancer Prevention and Control:
a Healthier Future for Girls and Women