You are on page 1of 82

PRESENTASI KASUS

Para 4 Abortus 0 Usia 50 Tahun dengan Vaginitis dan Cervicitis

Pembimbing
dr. Aditiyono, Sp. OG
Disusun oleh :
Prasastie Gita Wulandari
Rostikawaty Azizah
Akhmad Ikhsan Prafita Putra

G4A013050
G4A013051
G4A013052

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN
SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
RSUD PROF. DR MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2014

PRESENTASI KASUS

Para 4 Abortus 0 Usia 50 Tahun dengan Vaginitis dan Cervicitis

Disusun oleh :
Prasastie Gita Wulandari
Rostikawaty Azizah
Akhmad Ikhsan Prafita Putra

G4A013050
G4A013051
G4A013052

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat


di Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disetujui dan disahkan


Pada tanggal,
September 2014
Pembimbing,

dr. Aditiyono, Sp. OG


KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyelesaikan presentasi
kasus yang berjudul Para 4 Abortus 0 Usia 50 Tahun dengan Vaginitis dan Servicitis
ini. Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada dr. Aditiyono, Sp.OG selaku
pembimbing penulis sehingga presentasi kasus ini dapat selesai dan tersusun paripurna.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan untuk segenap konsulen di bagian Ilmu Kebidanan
dan Kandungan yang telah memberikan dukungan moriil dan keilmuan sehingga penulis
dapat menyelesaikan presentasi kasus ini. Penulis mengharapkan agar presentasi kasus ini

dapat bermanfaat bagi para dokter, dokter muda, ataupun para medis lainnnya, khususnya di
bidang kedokteran.
Purwokerto, September 2014
Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pap Smear atau tes Pap adalah suatu prosedur yang meliputi pengumpulan selsel dari lehserviks wanita dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk
mendeteksi lesi kanker atau prakanker. Tes Pap merupakan tes yang aman, murah dan
telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang
terjadi pada sel-sel leher rahim (Lestadi, 2009). Tujuan dan manfaat pap smear
diantaranya: evaluasi sitohormonal, mendiagnosis peradangan, identifikasi organisme
penyebab peradangan, mendiagnosis kelainan prakanker (displasia) dan kanker
serviks dini atau lanjut (karsinoma/invasif), serta memantau hasil terapi (Karjani,
2012). Wanita yang dianjurkan untuk melakukan tes pap smear biasanya mereka yang
tinggi aktifitas seksualnya. Namun tidak menjadi kemungkinan juga wanita yang
tidak beraktifitas seksual tinggi atau yang tidak diindikasikan memeriksaan diri.
Kanker yang paling sering terdiagnosis adalah kanker serviks yang merupakan
tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di daerah squamocolumnar
junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis. Kanker
serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker
leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal
dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim.
Sebelum terjadinya kanker akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker
atau neoplasia intraepitel serviks (NIS).
Insidensi kanker serviks di dunia mencapai 25-40 kasus per 100.000 wanita
pertahun. Prevalensinya menurut Xiang (2011) mencakup 12% dari seluruh kanker
pada wanita yang lebih sering dijumpai di negara berkembang yang mencakup 80%
dari kasus kanker seviks di dunia. Mortalitas kanker serviks cukup tinggi. Menurut
World Health Organization (WHO), setiap tahunnya lebih dari 270.000 wanita mati
akibat kanker serviks dan 85% kematian berasal dari negara berkembang. Oleh sebab
itu, WHO menetapkan kanker serviks kanker dengan prevalensi dan mortalitas
tertinggi di dunia setelah kanker payudara.
Vaginitis merupakan masalah ginekologis yang paling sering terjadi pada
90% wanita remaja di dunia, kondisi ini disebabkan oleh vaginosis bakterial (50%),
kandidiasis vulvovaginal (75%), trikomoniasis (25%) (KESPRO INFO, 2009).
Penelitian-penelitian sebelumnya telah melaporkan angka kejadian vaginitis di

beberapa negara, diantaranya Thailand 33 %, Afrika-Amerika 22,7 %, London 21 %,


Indonesia 17 %, Jepang 14 %, Swedia 14 %, dan Helsinki 12 %. Vaginitis adalah
suatu kondisi peradangan pada mukosa vagina yang dapat disebabkan oleh
mekanisme infeksi maupun noninfeksi. Vaginitis ditandai dengan pengeluaran cairan
abnormal yang sering disertai rasa ketidaknyamanan pada vulvovagina (Syed dan
Braverman, 2004).
Servisitis adalah peradangan jaringan serviks yang umumnya dianggap sebagai
hasil infeksi secara seksual dari organisme, paling sering Neisseria gonorrhoeae dan
Chlamydia trachomatis. Hampir semua kasus servisitis disebabkan oleh penyakit
menular seksual dan, bisa juga karena cedera pada jaringan serviks, kontrol jalan lahir
yang berkurang seperti diafragma dan bahkan kanker (Marrazzo, 2006
Angka penderita servisitis di seluruh dunia dan Indonesia belum diketahui
secara pasti, namun sebuah studi yang dilakukan di India menyebutkan bahwa 14,5 %
dari 3.000 wanita di India terkena sindrom duh (discharge) vagina, dimana servisitis
termasuk didalamnya (Patel, 2005).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui tentang pemeriksaan pap smear dan aplikasinya dalam deteksi
neoplasia serviks.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi melakukan pap smear
b. Mengetahui prosedur yang dilakukan pada pemeriksaan pap smear sebagai
pemeriksaan penunjang
c. Mengetahui mengenai interpertasi hasil pap smear dan mengaplikasikannya
pada kasus-kasus reproduksi wanita.

BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama
Usia
Agama
Suku/bangsa
Pekerjaan
Alamat
Nomor CM
Tanggal/Jam Masuk

: Ny. SB
: 50 tahun
: Islam
: Jawa
: Ibu Rumah Tangga
: Cilacap
: 904167
: 29 september 2014 pukul 09.00 WIB

B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Keputihan berwarna putih kekuningan
2. Keluhan tambahan
Agak panas dikemaluan, flek
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang di Poli Klinik Kebidanan RSMS dengan keluhan keputihan. Keluhan
tersebut sudah dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Keputihan berwarna putih
kekuningan, cair, jumlah sedikit, dan barbau amis, tidak berbuih. Keputihan muncul
setiap hari selama 2 bulan bulan dan keluar banyak setelah pasien berhubungan
dengan suaminya. Selama keputihannya muncul pasien sudah 2 kali berobat ke RSMS
untuk memperingan keluhannya. Selama pengobatan, pasien merasa keluhannya
berkurang dalam hal jumlah namun masih keputihan.
Selain keputihan, pasien mengeluhkan munculnya flek berwarna merah segar sampai
cokelat yang menyertai keluhan keputihan. Jumlahnya bervariasi, terkadang hanya
berupa flek cokelat atau sampai membuat pasien mengganti pembalut. Pasien juga
menyangkal adanya nyeri pada perut bagian bawah. Keluhan lain yang dikeluhankan
pasien adalah agak panas di area kemaluan. Keluhan nyeri dan berdarah saat
berhubungan seksual juga disangkal oleh pasien. Buang air kecil lancar tidak ada
keluhan.
Riwayat menstruasi
HPHT 10 September 2014, siklus teratur selama 7 hari, dismenore (+)
Riwayat Obstetrik
P4A0 :
Anak 1 : Perempuan/stillbirth
Anak 2 : laki-laki/ UK aterm/ spontan/ dukun/ 3200 gram/ sehat/ 32 tahun
Anak 3 : perempuan/ UK aterm/ spontan/ bidan/ 3200 gram/ sehat / 31 tahun
Anak 4 : laki-laki/ UK aterm/ spontan/ bidan/ 3200 gram/ sehat/ 27 tahun

Riwayat Pernikahan
Menikah 1 kali/ 34 tahun
Riwayat KB
Pil
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat hipertensi: Riwayat diabetes mellitus: + (terkontrol sejak 10 tahun yll)
Riwayat Alergi
Antibiotik, pasien tidak mengetahui jenis antibiotiknya
Riwayat sosial ekonomi
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga, suami pasien seorang pedagang di
pasar. Kesan ekonomi menengah ke bawah. Pasien memiliki kebiasaan menggunakan
celana dalam ketat dan mengganti celana dalam sekali dalam sehari. Pasien tidak
pernah membersihkan daerah kemaluannya dengan sabun pencuci khusus area
kemaluan.
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tinggi badan
: 151 cm
Berat badan
: 60 kg
BMI
: 22,34
Vital sign
Tekanan darah
: 150/80 mmHg
Nadi
: 80 kali/ menit, isi dan tegangan cukup
Respirasi Rate
: 20 kali/ menit, regular
Suhu
: 36,1o C
Mata
: conjungtiva mata kanan dan kiri anemis, tidak ada skela ikterik pada
mata kanan dan kiri.
tidak ada ottorhea.
tidak keluar sekret
mukosa bibir tidak sianosis
tidak ada pembesaran kelenjar tiroid

Telinga
Hidung
Mulut
Leher

:
:
:
:

Thorax
Paru
Inspeksi

: Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris (tidak ada gerakan

Palpasi
Perkusi
Auskultasi

nafas yang tertinggal), tidak ada retraksi spatium intercostalis.


: Gerakan dada simetris, vocal fremitus kanan sama dengan kiri
: Sonor pada seluruh lapang paru
: Suara dasar nafas vesikuler, tidak terdapatronkhi basah kasar di
parahiler dan ronkhi basah halus di basal pada kedua lapang paru,
tidak ditemukan wheezing.

Jantung

Inspeksi

: Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada dinding dada sebelah kiri

Palpasi

atas.
: Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC V, 2 jari medial LMC
sinistra
: Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kiri bawah SIC V LMCS
: S1>S2 reguler, tidak ditemukan murmur, tidak ditemukan gallop.

Perkusi

Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Perkusi

: Cembung
: Timpani

Palpasi

: Supel, nyeri tekan (-), massa (-)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Genitalia eksterna
Inspeksi
Mons pubis, labia mayor dan minor, introitus, perineum: warna tidak hiperemis, tidak
tampak ada benjolan maupun edema, ukuran normal, tidak ada darah, tampak adanya
keputihan berwarna putih kekuningan, encer, jumlah sedikit, dan berbau amis.
Palpasi
Tidak didapatkan nyeri tekan
Genitalia interna (inspekulo)
Cairan vagina : tampak cairan yang berada di sisi-sisi lateral vagina, berwarna putih
keabuan, encer dan jumlah banyak. Setelah dibersihkan dengan menggunakan tampon
tang dan kassa steril, tidak tampak adanya cairan atau sekret yang keluar dari serviks.
Dinding vagina : warna tampak sedikit hiperemis, permukaan licin tidak berbenjol-benjol.
Portio/ cervix : warna sedikit hiperemis, ukuran normal seukuran ibu jari kaki, permukaan
licin tidak ada benjolan.
OUE : tertutup
D. Hasil pap smear (Tanggal 15 September)
Diterima
: 2 buah preparat kering pada tanggal 30 September 2014
Mikrosik
:
Pap Smear menunjukkan sel epitel intermedia, superficial, dan endocervik
Sebaran difus leukosit PMN, limfosit, dan eritrosit.
Tak tampak jamur dan Trichomonas vaginalis
Tampak sel dysplasia ringan
Tak tampak sel ganas
Kualitas sediaan baik
Kesan

Saran

Radang kronik non spesifik disertai dysplasia ringan

Keterangan Klasifikasi Diagnosis:


Klas 0 : Sediaan tidak representatif
Klas I : Normal Smear
Klas II : Ditemukan sel-sel abnormal, tetapi tidak tersangka keganasan
Klas III : Ditemukan sel-sel abnormal, yang meragukan untuk keganasan
Klas IV: Ditemukan sel-sel abnormal, yang mencurigakan untuk keganasan
Klas V : Ditemukan sel-sel ganas

E. Diagnosa dari Poliklinik


P4A0 usia 50 tahun dengan Vaginitis dan Cervicitis
F. Plan
1. Po. Clindamicin 2 x 150 mg
2. Neo gynoxa ovula 1x1

BAB III
DISKUSI MASALAH
Diagnosis masuk dari Poli Kebidanan dan Kandungan RSMS adalah Para 4 Abortus 0
Usia 50 Tahun dengan Vaginitis dan Cervicitis. Beberapa hal yang perlu dibahas mengenai
kasus tersebut antara lain :
1. Apakah diagnosis saat masuk sudah tepat ?
Diagnosis adalah proses penentuan jenis masalah kesehatan atau penyakit
dengan cara meneliti atau memeriksa. Diagnosis klinis adalah diagnosis yang
ditegakan melalui serangkaian proses anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang yang saling berkaitan satu sama lain. Dalam penegakan diagnosis sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain pasien, pelaku diagnosis, serta sarana dan
prasarana penunjang diagnosis. Diagnosis pasien adalah para 4 abortus 0 usia 50
tahun dengan vaginitis. servicitis Diagnosis tersebut ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pasien mengalami keputihan yang sudah dirasakan sejak 2 bulan yang lalu.
Keputihan berwarna putih kekuningan, cair, jumlah sedikit, dan barbau amis, tidak
berbuih. Keputihan muncul setiap hari selama 2 bulan bulan dan keluar banyak
setelah pasien berhubungan dengan suaminya. Selama keputihannya muncul pasien
sudah 2 kali berobat ke RSMS untuk memperingan keluhannya. Selama pengobatan,
pasien merasa keluhannya berkurang dalam hal jumlah namun masih keputihan.
Selain keputihan, pasien mengeluhkan munculnya flek berwarna merah segar
sampai cokelat yang menyertai keluhan keputihan. Jumlahnya bervariasi, terkadang
hanya berupa flek cokelat atau sampai membuat pasien mengganti pembalut. Pasien
juga menyangkal adanya nyeri pada perut bagian bawah. Keluhan lain yang
dikeluhankan pasien adalah rasa agak panas didaerah kemaluan. Keluhan nyeri dan
berdarah saat berhubungan seksual juga disangkal oleh pasien. Buang air kecil lancar
tidak ada keluhan.
Pemeriksaan genitalia eksterna dan interna (inspekulo) dikonfirmasi adanya
sekret pada vagina yang berada di sisi-sisi lateral vagina, berwarna putih kekuningan,
encer dan jumlah banyak. Setelah dibersihkan dengan menggunakan tampon tang dan
kassa steril, tidak tampak adanya cairan atau sekret yang keluar dari serviks. Dinding
vagina berwarna hiperemis, permukaan licin tidak berbenjol-benjol. Portio sedikit
hiperemis, ukuran normal seukuran ibu jari kaki, permukaan licin tidak ada benjolan,
dan ostium uteri eksterna tertutup.

Pasien vaginitis hampir selalu datang dengan keluhan keluarnya cairan vagina
yang abnormal, meliputi jumlah yang berlebihan, keputihan yang lama, perubahan
warna dan konsistensi sekret vagina serta cairan vagina yang berbau tidak sedap.
Kadang dapat disertai dengan adanya rasa gatal dan terbakar pada vagina. Anamnesis
yang diungkapkan pasien sesuai dengan gejala pada vaginitis.
Diagnosa vaginitis dikonfirmasi dengan adanya sekret vagina yang berwarna
putih di dinding-dinding lateral vagina, berbau tidak sedap dan dinding vagina yang
hiperemis. Sedangkan diagnosis servicitis didapatkan dari pemeriksaan fisik pada saat
melakukan inspekulo yakni didapatkan portio / servic berwarna hiperemis.
Diagnosis vaginitis sudah tepat karena sesuai dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasien. Namun belum dapat dipastikan
etiologi pasti dari vaginitis tersebut. Untuk mengetahui etiologi dari vaginitis,
dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan preparat basah
dengan NaCl 0,9%, whiif test, pewarnaan gram, serta pemeriksaan pH dengan kertas
lakmus. Pemeriksaan penunjang untuk mengetahui kuman penyebab vaginitis
dibutuhkan agar dapat diberikan terapi yang sesuai dengan penyebab penyakit
tersebut.
Karena keluhan yang sama berulang dan tidak membaik dengan pengobatan,
langkah selanjutnya yang diberikan kepada pasien ini adalah melakukan pemeriksaan
sitologi vagina atau sering disebut Pap Smear test merupakan salah satu metode
diagnosis dini pada karsinoma serviks uteri dan karsinoma korporis uteri yang
dianjurkan dilakukan rutin (0,5 1 tahun sekali). Pada pemeriksaan ini bahan diambil
dari dinding vagina atau dari serviks (endo- dan ektoserviks) dengan spatel Ayre (dari
kayu atau plastik). Sel-sel yang diambil pada Pap Smear kemudian diperiksa dibawah
mikroskop untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada sel. Pap Smear tidak
hanya mampu mendeteksi kanker serviks stadium awal tetapi juga lesi prekanker.
Berdasarkan hasil Pap Smear Test, terdapat adanya dysplasia ringan dan radang
non spesifik pada serviks Ny. SB. Berdasarkan klasifikasi Bethesda 2001, dysplasia
pada epitel serviks Ny. SB termasuk dalah CIN I atau low grade SIL. Diagnosis yang
tepat untuk Ny. SB adalah: Ny. SB, Para 2 Abortus 1, usia 44 tahun, dengan servisitis,
Pap Smear Test (+) CIN I. Diagnosis servisitis ditegakkan dengan adanya gejala
keputihan yang terkadang disertai perdarahan dan flek kecokelatan serta hasil Pap
Smear Test terdapat radang non spesifik pada epitel serviks.

Perubahan sel-sel abnormal pada leher rahim paling sering ditemukan pada usia
35-55 tahun dan memiliki resiko 2-3 kali lipat untuk menderita kanker serviks Lowgrade SIL (LSIL) berhubungan dengan infeksi HPV yang tidak merubah siklus sel
secara signifikan. Sebagian besar LSIL mengalami regresi spontan dan jarang menjadi
high-grade SIL (HSIL). Low-grade SIL tidak langsung berkembang menjadi kanker
invasif. Oleh karena itu, LSIL tidak diterapi seperti lesi premaligna.
2.

Apakah tindakan dan terapi yang diberikan sudah tepat ?


Terapi yang diberikan pada pasien adalah clindamycin 3 x 300 mg dan
metronidazol 3x 500 mg, masing-masing diberikan selama 7 hari. Pemberian terapi
idealnya dilakukan sesuai dengan etiologi dari penyakitnya. Namun, karena pada
kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, etiologi dari penyakit belum dapat
dipastikan. Akan tetapi, dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang kami lakukan
etiologi dari penyakit pada kasus ini lebih mengarah kepada vaginosis bakterialis.
Terapi yang diberikan sudah sesuai dengan terapi pada vaginosis bakteriali.
Clindamycin merupakan salah satu antibiotik yang aktif terhadap bakteri anaerob.
Mekanisme kerjanya menghambat sintesa protein dengan cara mengikat pada gugus
50 S sub unit ribosomal bakteri, sehingga menghambat langkah translokasi sintesa
protein bakteri. Metronidazole yang merupakan sitotoksik terhadap bakteri anaerob
seperti misalnya Gardnerella vaginalis, salah satu mikroorganisme penyebab
vaginosis bakterialis. Metronidazole bekerja dengan menghasilkan radikal bebas yang
bersifat toksik bagi sel bakteri (Gerald et al., 2010).
Penanganan lesi prakanker serviks menurut Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (Depkes RI) tahun 2008, dengan hasil Pap Smear Test terklasifikasi CIN I
maka ada 3 pilihan penanganan yaitu obervasi, destruksi menggunakan krioterapi
elektrokoagulasi laser, laser kombinasi 5 FU, atau eksisi diatermi loop. Karena tidak
ada penanganan khusus untuk LSIL, maka pasien disarankan untuk mengulang
pemeriksaan Pap Smear Test antara 3 bulan sampai 6 tahun dan apabila hasilnya
normal maka ditinjau kembali setelah 3 tahun. Namun, apabila hasilnya tetap LSIL
atau Atypical Squamous Cells Undetermined Significance (ASC-US) maka disarankan
untuk pemeriksaan colposcopy dan biopsy. Tindakan observasi dilakukan jika Pap
Smear Test memiliki hasil HPV (+), atipia, CIN I yang termasuk LSIL. Terapi CIN
dengan destruksi dan eksisi dapat dilakukan pada LSIL dan HSIL. Perbedaan
destruksi dan eksisi terletak pada ada/tidaknya spesimen yang diangkat.

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Histologi
1. Anatomi Serviks
Serviks adalah bagian uterus yang terendah dan menonjol ke vagina bagian atas.
Terbagi menjadi dua bagian, bagian atas disebut bagian supravaginal dan bagian bawah
disebut bagian vaginal (portio). Serviks merupakan bagian yang terpisah dari badan
uterus dan biasanya membentuk silinder, panjangnya 2,5-3 cm, mengarah ke belakang
bawah. Bagian luar dari serviks pars vaginalis disebut ektoserviks dan berwarna merah
muda. Di bagian tengah portio terdapat satu lubang yang disebut ostium uteri
eksternum yang berbentuk bundar pada wanita yang belum pernah melahirkan dan
berbentuk bulan sabit bagi wanita yang pernah melahirkan (Randall et al,. 2005).

Gambar 4.1. Anatomi serviks (Ferenczy, 1997).

Ostium uteri internum dan ostium uteri eksternum dihubungkan oleh kanalis
servikalis yang dilapisi oleh epitel endoserviks. Biasanya panjang kanalis servikalis
adalah 2,5 cm, berbentuk lonjong, lebarnya kira-kira 8 mm dan mempunyai lipatan
mukosa yang memanjang. Serviks sendiri disusun oleh sedikit otot polos (terutama
pada endoserviks), jaringan elastik, dan banyak jaringan ikat sehingga kanalis servikalis
mudah dilebarkan dengan dilator. Jika terjadi infeksi pada kanalis servikalis, dapat
terjadi perlekatan dan pembengkakan lipatan-lipatan mukosa sehingga spekulum
endoserviks sulit ataupun tidak mungkin dimasukkan sehingga tidak dapat dilakukan
penilaian kanalis servikalis (Randall et al,. 2005).

Pembuluh darah serviks berada pada bagian kanan kirinya. Arteri terutama
berasal dari cabang servikovaginalis arteri uterina, dari arteri vaginalis, dan secara
langsung dari arteri uterina. Serviks diinervasi oleh susunan saraf otonom baik susunan
saraf simpatis maupun saraf parasimpatis. Susunan saraf simpatis berasal dari daerah
T5-L2 yang mengirimkan serat-serat yang bersinaps pada satu atau beberapa pleksus
yang terdapat pada dinding abdomen belakang atau di dalam pelvis sehingga yang
sampai di serviks adalah serat post ganglionik. Serat parasimpatis berasal dari daerah
S2-S4 dan bersinaps dalam pleksus dekat atau dinding uterus. Karena otot lebih banyak
terdapat di sekitar ostium uteri internum, maka inervasi di daerah tersebut lebih banyak
daripada di ostium uteri eksternum (Ferenczy, 1997).
Saraf sensorik serviks sangat erat hubungannya dengan saraf otonom dan
memasuki susunan saraf pusat melalui daerah torakolumbal dan daerah sakral. Seratserat dalam stroma terlihat berjalan sejajar dengan serat otot walaupun ujung-ujung
saraf sensorik belum pernah ditemukan (Ferenczy, 1997).
2. Histologi Serviks
Secara histologi serviks terdiri dari epitelium dan jaringan stroma yang
dipisahkan oleh membrana basalis.

Gambar 4.2. Histologi serviks (Kurman, 1994).

Epitelium serviks terdiri dari dua macam epitel : bagian ektoserviks dilapisi oleh
sel-sel yang sama dengan sel-sel pada vagina yaitu epitel skuamosa, berwarna merah
muda dan tampak mengkilat. Bagian endoserviks atau kanalis servikalis dilapisi oleh
epitel kolumner, yang berbentuk kolom atau lajur, tersusun selapis dan terlihat
berwarna kemerahan. Batas kedua epitel tersebut disebut squamocolumner junction
(SCJ). Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologik pada epitel serviks,
dimana epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang disebut proses
metaplasia. Metaplasia terjadi karena pH vagina yang rendah. Pada proses metaplasia
terjadi proliferasi sel-sel cadangan yang terletak di bawah sel epitel kolumnar
endoserviks yang secara perlahan-lahan mengalami pematangan menjadi epitel
skuamosa (Kumar, 2007).

Gambar 4.3. Epitel skuamosa ektoservik (kanan), epitel kolumnar (kiri)

Gambar 4.4. Sel metaplasia


Kanalis servisis uteri dilapisi epitel kolumnar penyekresi mukus. Epitel ini
berbeda dengan epitel uterus yang merupakan kelanjutannya. Epitel serupa juga
melapisi banyak kelenjar serviks tubular dan bercabang tersusum serong terhadap
kanalis serviks uteri di bagian dalam lamina propia yang lebar. Ujung bawah serviks,
yaitu ostium uteri menonjol ke dalam lumen liang vagina. Epitel kolumner servisis
uteri pada ujung bawah langsung berubah menjadi epitel skuamos non keratin. Epitel
ini melapisi bagian vagina pada serviks yang disebut portio vaginalis dan permukaan
luar forniks vagina. Pada dasar forniks, epitel serviks vagina membalik menjadi
epitel dinding vagina. Sebuah penonjolan SCJ ke ektoserviks disebut sebagai
"ectropion" atau "erosi." (Kumar, 2007).

Gambar 4.4. Ektropion


B. Kelainan Seluler

Onkogenik HPV merupakan faktor terpenting pada onkogenesis kanker serviks.


Onkogenik HPV. Faktor risiko kanker serviks berhubungan dengan faktor pejamu dan
karakteristik virus seperti paparan HPV, onkogenitas virus, inefisien respon imun, dan
ko-karsinogen. Faktor tersebut adalah:
a. Partner seksual
b. Berhubungan seksual usia muda
c. Paritas
d. Infeksi persisten HPV 16 dan 18
e. Kondisi imun yang lemah
f. Subtipe HLA
g. Penggunaan kontrasepsi oral
h. Paparan nikotin

Gambar 4.5. Perjalanan Penyakit Kanker Serviks

Infeksi HPV genital bersifat asimptomatik dan tidak menyebabkan perubahan


jaringan, dan tidak terdeteksi oleh Pap Smear. Lesi prekanker pada serviks menurut
klasifikasi yang lama dibagi menjadi 4 yaitu; displasia ringan, displasia sedang, dan
displasia berat, serta karsinoma in situ. Klasifikasi ini kemudian berubah berdasarkan
cervical intraepithelial neoplasia (CIN) yang terbagi menjadi 3 klasifikasi yaitu CIN I
(displasia ringan), CIN II (displasia sedang), dan CIN III ( displasia berat dan karsinoma
in situ). Klasifikasi CIN kemudian diubah karena perbedaan penanganan dan kaitannya
dengan terapi bedah. Klasifikasi yang sekarang dipakai adalah berdasarkan squamous
intraepithelial lesion (SIL) yang terdiri dari: low-grade SIL (CIN I) dan high-grade SIL
(CIN II & CIN III).

Gambar 4.6. Spektrum Neoplasia Intraepitelial Serviks

Low-grade SIL (LSIL) berhubungan dengan infeksi HPV yang tidak merubah
siklus sel secara signifikan. Sebagian besar LSIL mengalami regresi spontan dan jarang
menjadi high-grade SIL (HSIL). Low-grade SIL tidak langsung berkembang menjadi
kanker invasif. Oleh karena itu, LSIL tidak diterapi seperti lesi premaligna. Sementara
pada HSIL, terjadi perubahan siklus sel oleh HPV sehingga terjadi peningkatan
proliferasi sel, penurunan maturitas sel, dan penurunan replikasi virus. Sebanyak 10%
LSIL akan berkembang menjadi HSIL dan 10% HSIL akan berkembang menjadi
karsinoma dalam 2 hingga 10 tahun.
Tabel 1. Klasifikasi Pap Class dan System Bethesda 2001 (Ries et al., 2009)
Pap Classes

Description

Bethesda 2001

Normal

Normal and variants

II

Reactive Changes

Reactive Changes

Atypi
Koilocytosis

ASC, ASG
Low Grade SIL

Displasia ringan

Low Grade SIL

III CIN I

III CIN II

Displasia sedang

High Grade SIL

III CIN III

Displasia berat

High Grade SIL

IV

Karsinoma in situ

High Grade SIL

Invasif

Mikroinvasif (<3mm )
Frankly invasif (>3mm)

Human papillomavirus adalah virus DNA-circular dengan genome 7800-8000


pasang. Virus ini ada lebih dari 70 jenis yang tidak dapat diidentifikasi secara serologis,
tetapi dengan DNA-hybridization dan PCR-spesifik primer dapat teridentifikasi. Genome
HPV terdiri dari the early region (E) yang mengkode protein yang berperan pada
replikasi genome, mengkrontrol transkripsi dan replikasi serta transformasi sel. The late
region (L) berisi L-genes yang mengkode protein kapsid. Definisi tipe HPV yang terbaru
tidak lebih dari 90% terlihat adanya homologi pada sequence DNA E6, E7, dan L1.
Protein E6 (oncoprotein) high-risk HPV (tipe 16 dan 18) mempunyai peran dalam
proliferasi sel yang dihubungkan dengan tumor supressor gene (TSG) p53. Protein E6
HPV 16 and 18 akan mengakibatkan inaktivasi gen p53 melalui mekanisme pengikatan
yang disebut ubiquitin-dependent proteolytic pathway (E6AP). Jadi dengan penurunan
kadar protein p53 dalam sel akan berakibat pada kegagalan pengendalian pertumbuhan
sel, karena tidak terjadinya hambatan aktivasi sel. Protein E7 berperan dalam proliferasi
sel yang dihubungkan dengan TSG Rb. Protein E7 akan mengikat gen Rb. Ikatan tersebut
menyebabkan tidak terikatnya gen E2F (faktor transkripsi) oleh protein Rb, sehingga gen
E2F menjadi aktif dan akan membantu c-myc (faktor transkripsi) untuk terjadinya
replikasi DNA dan menstimuli siklus sel.
Protein c-myc (protooncogene) adalah protein yang disandi oleh gen c-myc, yang
berfungsi sebagai protein inti sel untuk transkripsi dan replikasi sel dalam siklus sel,
sehingga dikelompokkan dalam gen-gen pemicu terjadinya tumor. Gen ras adalah famili
proto-oncogenes juga yang merupakan second major class dari GTP-binding proteins,
dimana dalam banyak penelitian protein ini berperan dalam mitogenic signal
transduction pada siklus sel. Gen p53 adalah gen yang mengkode fosfoprotein inti sel
seberat 53 kDa, dan bertindak sebagai negatif regulator dalam siklus sel, sehingga
dikelompokkan dalam gen-gen penekan tumor. Gen Rb adalah gen yang ditemukan
bertanggung jawab pada tumor retina-mata (retinoblastoma) dan merupakan prototipe
dari gen-gen penekan tumor.

Perbedaan potensi berbagai tipe HPV terhadap karsinogenesis tergantung affinitas


protein-E6 dalam mengikat gen p53 dan protein-E7 dalam mengikat gen Rb. yang
mempunyai arti yang penting dalam karsinogenesis kanker serviks uteri. Hal tersebut
diatas bukan merupakan proses mutasi akibat pengaruh karsinogen.
Klasifikasi Internasional untuk stadium malignansi serviks yang dikemukakan
oleh Morehead (1965) sebagai berikut berdasarkan International classification of the
cervical cancer:
a.
b.
c.
d.
e.

Stage 0 : Intra epithelial carcinoma


Stage 1 : Carcinoma in situ
Stage 2 : The carcinoma extends beyond the cervix but not reached the pelvic wall
Stage 3 : The carcinoma has reached the pelvic wall
Stage 4 : The carcinoma has invaded another organ
Berdasarkan klasifikasi dari International Federation of Gynecologists and

Obstetricians Staging System for Cervical Cancer (FIGO) tahun 2000 menetapkan
stadium kanker serviks sebagai berikut:
Tabel 2. Stadium Kanker Serviks menurut FIGO Tahun 2000

C. Pap Smear
1. Definisi
Pap Smear atau tes Pap adalah suatu prosedur untuk memeriksa kanker serviks
pada wanita. Pap Smear meliputi pengumpulan sel-sel dari leher rahim dan kemudian
diperiksa di bawah mikroskop untuk mendeteksi lesi kanker atau prakanker. Tes Pap
merupakan tes yang aman, murah dan telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk
mendeteksi kelainan-kelainan yang terjadi pada sel-sel leher rahim (Lestadi, 2009).
Skrining utama dari kanker serviks selama 60 tahun terakhir adalah tes
Papanicolaou. Tes Papanicolaou, juga dikenal sebagai tes Pap atau Pap smear,
dikembangkan pada 1940-an oleh Georgios Papanikolaou. Pap smear mengambil nama
dari Papanikolau, yang merupakan seorang dokter yang meneliti, mengumumkan serta
mempopulerkan tentang teknik tersebut. Berkas penelitian yang dilakukan dengan ahli

patologi Dr Herbert Traut mempunyai dampak yang luar biasa pada pengurangan
jumlah kematian akibat kanker rahim di seluruh dunia. Pada awalnya diharapkan untuk
mendeteksi kanker leher rahim pada tahap awal, tetapi seiring waktu bahkan lesi prakanker juga dapat terdeteksi (Lestadi, 2009).
2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat pap smear, yaitu:
a. Evaluasi sitohormonal
Penilaian hormonal pada seorang wanita dapat dievaluasi melalui
pemeriksaan pap smear yang bahan pemeriksaannya adalah sekret vagina yang
berasal dari dinding lateral vagina satu per tiga bagian atas (Karjani, 2012).
b. Mendiagnosis peradangan
Peradangan pada vagina dan serviks pada umumnya dapat didiagnosa dengan
pemeriksaan pap smear. Baik peradangan akut maupun kronis. Sebagian besar akan
memberi gambaran perubahan sel yang khas pada sediaan pap smear sesuai dengan
organisme penyebabnya. Walaupun terkadang ada pula organisme yang tidak
menimbulkan reaksi yang khas pada sediaan pap smear (Karjani, 2012).
c. Identifikasi organisme penyebab peradangan
Dalam vagina ditemukan beberapa macam organisme/kuman yang sebagian
merupakan flora normal vagina yang bermanfaat bagi organ tersebut. Pada
umumnya organisme penyebab peradangan pada vagina dan serviks sulit
diidentifikasi dengan pap smear, sehingga berdasarkan perubahan yang ada pada sel
tersebut, dapat diperkirakan organisme penyebabnya (Karjani, 2012).
d. Mendiagnosis kelainan prakanker (displasia) leher rahim dan kanker leher rahim dini
atau lanjut (karsinoma/invasif).
Pap smear paling banyak dikenal dan digunakan adalah sebagai alat
pemeriksaan untuk mendiagnosis lesi prakanker atau kanker leher rahim. Pap smear
yang semula dinyatakan hanya sebagai alat skrining deteksi kanker mulut rahim, kini
telah diakui sebagai alat diagnostik prakanker dan kanker leher rahim yang ampuh
dengan ketepatan diagnostik yang tinggi, yaitu 96% terapi didiagnostik sitologi tidak
dapat menggantikan diagnostik histopatologik sebagai alat pemasti diagnosis. Hal itu
berarti setiap diagnosik sitologi kanker leher rahim harus dikonfirmasi dengan
pemeriksaan histopatologi jaringan biopsi leher rahim, sebelum dilakukan tindakan
selanjutnya (Karjani, 2012).
e. Memantau hasil terapi
Memantau hasil terapi hormonal, misalnya infertilitas atau gangguan endokrin.
Memantau hasil terapi radiasi pada kasus kanker leher rahim yang telah diobati
dengan radiasi, memantau adanya kekambuhan pada kasus kanker yang telah

dioperasi, memantau hasil terapi lesi prakanker atau kanker leher rahim yang telah
diobati dengan elekrokauter kriosurgeri, atau konisasi (Karjani, 2012).
3. Indikasi
Tes Pap Smear diindikasikan untuk skrining lesi kanker dan lesi prakanker dari
serviks. Wanita yang dianjurkan untuk melakukan tes pap smear biasanya mereka yang
tinggi aktifitas seksualnya. Namun tidak menjadi kemungkinan juga wanita yang tidak
mengalami aktivitas seksualnya memeriksakan diri (Karjani, 2012).
Rekomendasi skrining
Wanita yang perlu melakukan pap smear adalah : (a) wanita menikah atau
melakukan hubungan seksual pada usia < 20 tahun, (b) wanita muda memiliki mulut
rahim yang belum matang, ketika melakukan hubungan seksual terjadi gesekan yang
dapat menimbulkan luka kecil, yang dapat mengundang masuknya virus, (c) wanita
sering berganti-ganti pasangan seks, akan menderita infeksi di daerah kelamin,
sehingga dapat mengundang virus HPV dan herves genitalis, (d) wanita yang sering
melahirkan, kanker serviks banyak dijumpai pada wanita yang sering melahirkan
disebabkan oleh trauma persalinan, perubahan hormonal dan nutrisi selama
kehamilan, (e) wanita perokok, memiliki risiko dibandingkan dengan wanita tidak
merokok, karena rokok akan menghasilkan zat karsinogen yang menyebabkan
turunnya daya tahan di daerah serviks (Depkes, 2007; Aziz, 2002). Rekomendasi
terbaru dari American Collage of Obstetricions and gynecologist adalah melakukan
pemeriksaan pelvis dan penapisan pulasan pap setiap tahun bagi semua perempuan
yang telah aktif secara seksual atau telah berumur 21 tahun. Setelah tiga kali atau
lebih secara berturut-turut hasil pemeriksaan tahunan ternyata normal, uji pap dapat
dilakukan dengan frekuensi yang lebih jarang atas kebijakan dokter (Price, 2006).
Menurut The American Cancer Society 2004 (dalam Depkes 2007) pap smear
dapat dilakukan secara rutin pada seorang wanita 3 tahun sesudah melakukan
hubungan seksual pertama kali atau tidak melebihi 21 tahun. Pemeriksaan dilakukan
setiap tahun (peralatan pap smear konvensional) atau setiap 2 tahun (dengan peralatan
liquid-based) sampai umur 30 tahun. Pemeriksaan dilakukan setiap 2-3 tahun, bila 3
kali berturut-turut hasil normal pemeriksaan dapat dilakukan dengan frekuensi yang
lebih jarang.
Menurut Tjokronegoro (2002), Pap smear pada wanita yang berumur 35-40
tahun minimal dilakukan sekali, kalau fasilitas tersedia dilakukan setiap 10 tahun pada
umur 35-55 tahun, bila fasilitas tersedia lebih maka dapat dilakukan setiap 5 tahun

pada wanita berumur 35-55 tahun. Idealnya atau jadwal yang optimal setiap 3 tahun
pada wanita yang berumur 25-60 tahun.
Sasaran skrining ditentukan oleh Departemen Kesehatan masing-masing negara,
WHO (2002 dalam Wilopo 2010) merekomendasikan agar program skrining pada
wanita dengan beberapa persyaratan sebagai berikut :
1) Usia 30 tahun ke atas dan hanya mereka yang berusia lebih muda manakala
program telah mencakup seluruh sasaran vaksinasi.
2) Skrining tidak perlu dilakukan pada perempuan usia kurang 25 tahun.
3) Apabila setiap wanita hanya dapat dilakukan pemeriksaan sekali selama umur
hidupnya (misalnya karena keterbatasan sumber dana yang dimiliki pemerintah
atau swasta), maka usia paling ideal untuk melakukan skrining adalah pada usia
35-45 tahun.
4) Pada perempuan berusia diatas 50 tahun tindakan skrining perlu dilakukan setiap 5
tahun sekali.
5) Pada perempuan berusia 25-49 tahun tindakan skrining dilakukan setiap 3 tahun
sekali.
6) Pada usia berapapun skrining setiap tahun tidak dianjurkan.
7) Bagi mereka yang berusia diatas 65 tahun tidak perlu melakukan skrining apabila 2
kali skrining sebelumnya hasilnya negatif.
Abnormal sitologi serviks paling sering pada wanita muda dan hampir seluruh
kelainan sitologi pada remaja terselesaikan tanpa pengobatan. Wanita di bawah usia 21
tahun terhitung hanya 0,1% yang mengidap kanker serviks dan tidak ada bukti yang
kuat bahwa skrining kanker serviks pada kelompok usia tersebut dapat menurunkan
insidensi, morbiditas atau mortalitas dari kanker serviks. Menyadari fakta tersebut dan
kemungkinan skrining kanker serviks menyebabkan evaluasi tidak perlu dan berpotensi
berbahaya pada wanita berisiko sangat rendah untuk keganasan, ACOG merevisi
pedoman skrining kanker serviks, yaitu dimulai saat usia 21 tahun, tanpa
mempertimbangkan riwayat seksual sebelumnya (Karjani, 2012).
Tabel 3. Summary of 2012 Screening Guidelines from the American Cancer Society,
American Society for Colposcopy and Cervical Pathology, and American Society for
Clinical Pathology
Parameter
ACS Rekomendasi
Usia
memulai Mulai skrining sitologi pada usia 21 tahun, tanpa mempertimbangkan
skrining
riwayat seksual sebelumnya.
Skrining
antara Skrining dengan sitologi saja setiap 3 tahun. * Pemeriksaan HPV tidak
usia 2129
harus dilakukan pada kelompok umur ini.
Skrining

antara Skrining dengan kombinasi sitologi dan pemeriksaan HPV setiap 5 tahun

usia 30-65
Usia
skrining

(dianjurkan) atau sitologi saja setiap 3 tahun. * Skrining HPV saja secara
umum tidak direkomendasikan..
berhenti Usia 65 tahun, jika wanita memiliki skrining awal negatif dan tidak
dinyatakan risiko tinggi kanker serviks.

Skrining
setelah tidak diindikasikan untuk wanita tanpa leher rahim dan tanpa riwayat lesi
histerektomi
prakanker grade tinggi (misalnya, CIN2 atau CIN3) dalam 20 tahun
terakhir atau kanker serviks.
Wanita
yang Skrining dengan rekomendasi yang sama dengan wanita tanpa vaksin HPV.
vaksin HPV
Pedoman ini tidak ditujukan pada populasi spesial (seperti, wanita dengan riwayat kanker
serviks, wanita yang rahimnya terpapar dietilstilbestrol, wanita yang immunocompromised)
yang mungkin membutuhkan skrining lebih intensif atau alternatif lain.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pap smear, yaitu :
a. Umur
Perubahan sel-sel abnormal pada leher rahim paling sering ditemukan pada
usia 35-55 tahun dan memiliki resiko 2-3 kali lipat untuk menderita kanker leher
rahim. Semakin tua umur seseorang akan mengalami proses kemunduran,
sebenarnya proses kemunduran itu tidak terjadi pada suatu alat saja, tetapi pada
seluruh organ tubuh. Semua bagian tubuh mengalami kemunduran, sehingga pada
usia lebih lama kemungkinan jatuh sakit.
b. Sosial ekonomi
Golongan sosial ekonomi yang rendah sering kali terjadi keganasan pada selsel mulut rahim, hal ini karena ketidak mampuan melakukan pap smear secara rutin.
c. Paritas
Paritas adalah seseorang yang sudah pernah melahirkan bayi yang dapat hidup.
Paritas dengan jumlah anak lebih dari 2 orang atau jarak persalinan terlampau dekat
mempunyai resiko terhadap timbulnya perubahan sel-sel abnormal pada leher rahim.
Jika jumlah anak menyebabkan perubahan sel abnormal dari epitel pada mulut rahim
yang dapat berkembang pada keganasan.
d. Usia wanita saat nikah
Usia menikah <20 tahun mempunyai resiko lebih besar mengalami perubahan
sel-sel mulut rahim. Hal ini karena pada saat usia muda sel-sel rahim masih belum
matang, maka sel-sel tersebut tidak rentan terhadap zat-zat kimia yang dibawa oleh
sperma dan segala macam perubahanya, jika belum matang, bisa saja ketika ada
rangsangan sel yang tumbuh tidak seimbang dan sel yang mati, sehingga kelebihan
sel ini bisa merubah sifat menjadi sel kanker.

5. Jenis pap smear


Ada 2 cara pemeriksaan Pap Smear:
a. Pemeriksaan Sitologi Konvensional
Keterbatasan pemeriksaan Sitologi Konvensional :
1) Sampel tidak memadai karena sebagian sel tertinggal pada brus (sikat untuk
pengambilan

sampel),

sehingga

sampel

tidak

representatif

dan

tidak

menggambarkan kondisi pasien sebenarnya


2) Subyektif dan bervariasi, dimana kualitas preparat yang dihasilkan tergantung
pada operator yang membuat usapan pada kaca benda
3) Kemampuan deteksi terbatas (karena sebagian sel tidak terbawa dan preparat
yang bertumpuk dan kabur karena kotoran/faktor pengganggu)(Lestadi, 2009).
b. Pemeriksaan Sitologi Berbasis cairan atau Liquid
Merupakan metode baru untuk meningkatkan keakuratan deteksi kelainan selsel leher rahim. Dengan metode ini, sampel (cara pengambilan sama seperti
pengambilan untuk sampel sitologi biasa/Pap Smear) dimasukkan ke dalam cairan
khusus sehingga sel atau faktor pengganggu lainnya dapat dieliminasi. Selanjutnya,
sampel diproses dengan alat otomatis lalu dilekatkan pada kaca benda kemudian
diwarnai lalu dilihat di bawah mikroskop oleh seorang dokter ahli Patologi Anatomi.
Keungulan pemeriksaan sitologi berbasis cairan/Liquid :
1) Sampel memadai karena hampir 100 % sel yang terambil dimasukkan ke dalam
cairan dalam tabung sampel
2) Proses terstandardisasi karena menggunakan prosesor otomatis, sehingga preparat
(usapan sel pada kaca benda) representatif, lapisan sel tipis, serta bebas dari
kotoran/pengganggu
3) Meningkatkan kemampuan/keakuratan deteksi awal adanya kelainan sel leher
rahim
4) Sampel dapat digunakan untuk pemeriksaan HPV-DNA(Lestadi, 2009).

Gambar 4.7. Gambaran Pemeriksaan Sitologi Konvensional dan berbasis Cairan

6. Syarat Pengambilan Bahan


Penggunaan pap smear untuk mendeteksi dan mendiagnosis lesi prakanker dan
kanker leher rahim, dapat menghasilkan interpretasi sitologi yang akurat bila memenuhi
syarat yaitu:
a. Bahan pemeriksaan harus berasal dari porsio leher rahim.
b. Pengambilan pap smear dapat dilakukan setiap waktu diluar masa haid, yaitu
sesudah hari siklus haid ketujuh sampai dengan masa pramenstruasi.
c. Apabila klien mengalami gejala perdarahan diluar masa haid dan dicurigai
penyebabnya kanker leher rahim, sediaan pap smear harus dibuat saat itu walaupun
ada perdarahan.
d. Pada peradangan berat, pengambilan sediaan ditunda sampai selesai pengobatan.
e. Klien dianjurkan untuk tidak melakukan irigasi vagina (pembersihan vagina dengan
zat lain), memasukkan obat melalui vagina atau melakukan hubungan seks
sekurang-kurangnya 24 jam, sebaiknya 48 jam.
f. Klien yang sudah menopause, pap smear dapat dilakukan kapan saja (Lestadi, 2009).
7. Prosedur Pemeriksaan
Alat-alat dan Bahan:
a. spekulum cocor bebek
b. spatula ayre

c. cytobrush
d. kaca objek
e. alcohol 95%(Lestadi, 2009).
Prosedur pemeriksaan Pap Smear adalah:
a. Beri label nama pada ujung kaca objek

b. Masukkan spekulum, dapat diberikan air atau salin jika perlu.


c. Lihat adanya abnormalitas serviks
d. Identifikasi zone transformasi
e. Pilih ujung spatula yang paling cocok dengan mulut serviks dan zona transformasi.
f. Putar spatula 360 disekitar mulut serviks sambil mempertahankan kontak dengan
permukaan epithelial.
g. Dengan putaran searah jarum jam diawali dan diakhiri pada jam 9, hasil yang
terkumpul dipertahankan horizontal pada permukaan atasnya ketika instrument
dikeluarkan.
h. Jangan memulas sample pada saat ini jika belum akan fiksasi. Pegang spatula antara
jari dari tangan yang tidak mengambil sample, sementara sample dari cytobrush
dikumpulkan.
i. Cytobrush mempunyai bulu sikat sirkumferen yang dapat kontak dengan seluruh
permukaan mulut serviks ketika dimasukkan.
j. Cytobrush hanya perlu diputar putaran searah jarum jam.

k. Pulas sampel pada spatula pada kaca obyek dengan satu gerakan halus.

l. Kemudian pulas cytobrush tepat diatas sampel sebelumnya dengan memutar


gagangnya berlawanan dengan arah jarum jam.
m. Pulasan harus rata dan terdiri dari satu lapisan, hindari gumpalan besar sebisanya
tapi juga hindari manipulasi berlebihan yang dapat merusak sel, pindahkan sampel
dari kedua instrument ke kaca objek dalam beberapa detik.

n. Fiksasi specimen secepatnya untuk menghindari artefak karena pengeringan dengan


merendam kaca objek dalam tempat tertutup yang berisi larutan ethanol 95% selama
20 menit.

o. Keringkan dan kirimkan ke Bagian Sitologi Patologi Anatomi.


f. Hasil pemeriksaan dibaca dengan system Bethesda (Lestadi, 2009).
8. Interpretasi
Terdapat banyak sistem dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan Pap Smear,
sistem Papanicolaou, sistem Cervical Intraepithelial Neoplasma (CIN), dan sistem
Bethesda. Klasifikasi Papanicolaou membagi hasil pemeriksaan menjadi 5 kelas
(Saviano, 1993), yaitu:
a. Kelas I : tidak ada sel abnormal.
b. Kelas II : terdapat gambaran sitologi atipik, namun tidak ada indikasi adanya
c.

keganasan.
Kelas III : gambaran sitologi yang dicurigai keganasan, displasia ringan sampai

d.
e.

sedang.
Kelas IV : gambaran sitologi dijumpai displasia berat.
Kelas V : keganasan.
Sistem CIN pertama kali dipublikasikan oleh Richart RM tahun 1973 di Amerika

Serikat. Pengelompokan hasil uji Pap Smear menurut sistem ini terdiri dari:

a.

CIN I merupakan displasia ringan dimana ditemukan sel neoplasma pada kurang

b.
c.

dari sepertiga lapisan epitelium.


CIN II merupakan displasia sedang dimana melibatkan dua pertiga epitelium.
CIN III merupakan displasia berat atau karsinoma in situ yang dimana telah
melibatkan sampai ke basement membrane dari epitelium.
Klasifikasi Bethesda pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988. Setelah

melalui beberapa kali pembaharuan, maka saat ini digunakan klasifikasi Bethesda 2001.
Klasifikasi Bethesda 2001 adalah sebagai berikut (Marquardt, 2002):
a. Sel skuamosa
1) Atypical Squamous Cells Undetermined Significance (ASC-US)
2) Low Grade Squamous Intraepithelial Lesion (LSIL)
3) High Grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL)
4) Squamous Cells Carcinoma
b. Sel glandular
1) Atypical Endocervical Cells
2) Atypical Endometrial Cells
3) Atypical Glandular Cells
4) Adenokarsinoma Endoservikal In situ
5) Adenokarsinoma Endoserviks
6) Adenokarsinoma Endometrium
7) Adenokarsinoma Ekstrauterin
8) Adenokarsinoma yang tidak dapat ditentukan asalnya (NOS)
9. Cara Penulisan Laporan Pap Smear
Item pertama pada laporan Pap Smear adalah untuk tujuan identifikasi. Laporan
ini diharapkan memiliki nama wanita, nama dan patologi atau cytotechnologist yang
membaca kotor, sumber spesimen (dalam hal ini adalah serviks), dan tanggal periode
menstruasi terakhir wanita. Laporan Pap Smear juga harus mencakup sebagai berikut:
a. Sebuah gambaran status menstruasi wanita (misalnya, menopause (tidak lagi
b.
c.

haid) atau periode menstruasi yang teratur)


Relevan Sejarah wanita medis (misalnya, sejarah kutil kelamin)
Jumlah slide (baik satu atau dua, tergantung pada praktek rutin perawatan

d.

kesehatan praktisi)
Sebuah deskripsi kecukupan spesimen (apakah sampel memuaskan untuk

e.
f.

interpretasi)
Diagnosis akhir (misalnya, dalam batas normal)
Rekomendasi untuk tindak lanjut (misalnya, merekomendasikan rutin follow-up

atau merekomendasikan Pap ulangi)


10. Alur Penatalaksanaan Hasil Pap Smear
Diagnosis definitif kanker serviks harus didasarkan pada konfirmasi histopatologi
dari hasil biopsi lesi sebelum pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut dilakukan.
Tindakan penunjang diagnostic dapat berupa pap smear, kolposkopi, biopsi terarah,
dan kuretase endoservikal.
Alur penatalaksaan hasil pap smear dalam uji tapis adalah sebagai berikut:

Gambar 4.8. Penatalaksaan Hasil Pap Smear pada Uji Tapis


Penatalaksanaan lesi prakanker serviks yang pada umumnya tergolong CIN dapat
dilakukan denan observasi saja, medikamentosa, terapi destruktif, dan atau terapi
eksisi. Tindakan observasi dilakukan jika Pap Smear memiliki hasil HPV, atipia, CIN
I yang termasuk LSIL. Terapi CIN dengan destruksi dan eksisi dapat dilakukan pada
LSIL dan HSIL. Perbedaan destruksi dan eksisi terletak pada ada/tidaknya spesimen
yang diangkat.
Secara garis besar, penanganan lesi prakanker serviks adalah sebagai berikut:
Tabel 4.9 Penanganan Lesi Prakanker Serviks

D. Vaginitis
a. Definisi
Vaginitis adalah suatu kondisi peradangan pada mukosa vagina yang dapat
disebabkan oleh mekanisme infeksi maupun noninfeksi. Vaginitis ditandai dengan
pengeluaran cairan abnormal yang sering disertai rasa ketidaknyamanan pada
vulvovagina (Syed dan Braverman, 2004).
b. Epidemiologi
Vaginitis merupakan masalah ginekologis yang paling sering terjadi pada
90% wanita remaja di dunia, kondisi ini disebabkan oleh vaginosis bakterial (50%),
kandidiasis vulvovaginal (75%), trikomoniasis (25%) (KESPRO INFO, 2009).
Penelitian-penelitian sebelumnya telah melaporkan angka kejadian vaginitis di
beberapa negara, diantaranya Thailand 33 %, Afrika-Amerika 22,7 %, London 21 %,
Indonesia 17 %, Jepang 14 %, Swedia 14 %, dan Helsinki 12 %.
Vaginosis bakterial menyerang lebih dari 30% populasi. Dari penelitian pada
wanita berusia 14-49 tahun, 29% diantaranya didiagnosis mengalami vaginosis
bakterial. Wanita dengan riwayat aktivitas seksual beresiko lebih besar mengalami
penyakit ini. Douching diketahui juga dapat meningkatkan resiko vaginosis bakterial.
Prevalensi meningkat pada wanita perokok, karena diketahui bahwa kandungan rokok
dapat menghambat produksi hidrogen peroksida oleh Lactobacillus.
c. Faktor resiko
1. Ras
2. Promiskuitas
3. Stabilitas marital
4. Penggunaan kontrasepsi IUD
5. Riwayat kehamilan
d. Etiologi
1. Bakterial vaginosis
a) Definisi
Bakterial vaginosis merupakan suatu keadaan dimana terjadi perubahan
eksosistem vagina yang ditandai oleh peningkatan pertumbuhan bakteri
anaerob dan penurunan jumlah Lactobacillus spp (Sessa et al.,

2013).

Penyakit ini ditandai dengan perubahan secara kompleks baik jumlah dan
fungsi dari flora normal pada vagina(Lamont et al., 2011).
Bakterial vaginosis dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme
diantaranya adalah Gardnerella vaginalis, Prevotella spp, Mobiluncus spp,
Corynebacterium

spp,

Viridans

streptococci,

Enterococcus

faecalis,

Atopobium vaginalis dan Mycoplasma hominis. Dari semua jenis mikrobakteri


tersebut, Gardnerella vaginalis menjadi penyebab tersering dari bakterial
vaginosis.

b) Epidemiologi
Bakterial vaginosis merupakan penyebab tersering dari vaginitis.
Frekuensi tergantung pada tingkatan sosial ekonomi dan aktivitas seksual.
Penelitian sebelumnya telah melaporkan angka kejadian BV di beberapa
negara, diantaranya Thailand 33%, Afrika-Amerika 22,7 %, London 21 %,
Indonesia 17 %, Jepang 14%, Swedia 14%, dan Helsinki 12%.
c) Faktor resiko
Pada umumnya BV ditemukan pada wanita usia reproduktif dengan
aktifitas seksual yang tinggi dan promiskuitas. Penggunaan alat kontrasepsi
dalam rahim,usia menopause,vaginal douching, sosial ekonomi rendah, dan
wanita hamil juga merupakan faktor resiko terjadinya.
Tabel 5. Faktor resiko bakterial vaginosis

d)

Etilogi
Mikroorganisme yang
dapat

menyebabkan

terjadinya bakterial vaginosis adalah:


1) Gardnerella vaginalis
Bakteri yang tidak memilki kapsul, tidak bergerak, dan berbentuk batang
gram negatif. Kuman bersifat anaerob fakultatif, memproduksi asam asetat
dari hasil fermentasi.
2) Mobilincus spp dan Bacteriodes spp
Merupakan bakteri anaerob berbentuk batang lengkung. Perannya dalam
menimbulkan bakterial vaginosis lebih jarang dibandingkan dengan
Gardnerella vaginalis.
3) Mycoplasma hominis
e) Penegakan diagnosis
1) Anamnesis
a) Dapat asimptomatis
b) Rasa tidak nyaman sekitar vulvavagina (rasa terbakar, gatal), biasanya
lebih ringan daripada yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis dan
Candida albicans.
c) Dispareunia
d) Keputihan berbau amis fishy odor yang semakin parah setelah
berhubungan seksual dan menstruasi (vagina dalam keadaan basa).
Cairan vagina yang basa menimbulkan terlepasnya amin dari

perlekatannya pada protein dan amin yang menguap tersebut


menimbulkan bau amis.
e) Tidak ditemukan inflamasi pada vulva dan vagina.
f) RP.Sos: Perlu ditanyakan kebiasaan douching, aktivitas seksual.
2) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan genitalia eksterna: tidak didapatkan tanda iritasi pada
vulva.
Pada pemeriksaan inspekulo : didapatkan sekret vagina berwarna putih-abu
abu, tipis, viskositas rendah. Setelah secret dibersihkan, tampak dinding
vagina yang hiperemis.

Gambar 4.10. Sekret


vagina

pada bakterial vaginosis

3) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan preparat basah
Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes NaCl 0,9% pada sekret
vagina diatas objek glass kemudian ditutup dengan coverglass. Diamati
dibawah mikroskop dengan perbesaran 400x untuk melihat Clue cells
yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi dengan bakteri
sehingga tepinya tidak terlihat jelas. Pemeriksaan ini memilki sensivitas
60% dan spesifitas 98%.
b) Whiff test
Dinyatakan positif jika bau amis timbul setelah penambahan satu tetes
KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau amis muncul sebagai akibat
pelepasan amin dan asam organik hasil dari bakteri anaerob.
c) Tes lakmus
Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Ditemukan
kadar pH > 4,5.
d) Pewarnaan gram
Ditemukan penurunan jumlah Lactobacillus dan peningkatan jumlah
bakteri anaerob.
e) Kultur vagina

Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis


bakterial vaginosis karena bakteri ini ditemukan hampir 50% pada
perempuan normal.
f) Tes proline aminopeptidase yang dihasilkan oleh bakteri anaerob, karena
Lactobacillus tidak menghasilkan zat tersebut.
Terdapat beberapa kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis bakterial
vaginosis, diantaranya adalah:
a) Kriteria Amsel
Kriteria ini memiliki tingkat spresifitas yang lebih tinggi daripada
pewarnaan gram. Kriteria ini paling sering digunakan untuk mendiagnosis
vaginitis bakterial. Diagnosis dapat ditegakkan jika didapatkan minimal tiga
dari empat kriteria.
1) Secret vagina yang homogen, putih, dan tipis melekat pada vagina
2) pH vagina > 4,5. Peningkatan pH dapat menyebabkan terlepasnya
amin (trimetilamin).
3) Secret vagina yang berbau amis setelah penambahan KOH 10 % (tes
whiff). Tes trimetilamin atau tes whiff positif jika didapatkan bau amis
setelah menambahkan satu tetes 10-20% KOH (potasium hidroxide) pada
sekret vagina.
4) Ditemukannya sel Clue pada pemeriksaan mikroskopis menggunakan
preparat salin basah. Pada pemeriksaan sampel pasien vaginitis bakterial
didapatkan adanya peningkatan jumlah kuman Gardnerella. Sel squamosa
normal memiliki ciri selnya runcing diujungnya, jernih, tepi yang lurus,
sedangkan sel Clue memiliki ciri granular, tidak jernih, dan pinggir yang
kasar. Sel Clue adalah sel epitel vagina yang batas tepinya sudah tidak
terlihat jelas karena terdapat banyak bakteri yang menempel pada
permukaan sel tersebut. Ditemukannya sel Clue pada pemeriksaan
mikroskopis memiliki sensivitas 98% dan spesifitas 94,3%.

Gambar 4.11. Sel Clue pada larutan salin dengan perbesaran 400x.
Batas yang kasar, warna yang suram, dan tepi yang ireguler adalah sel
Clue (sel ketiga dan keempat dari kiri)

Gambar 4.12 Pemeriksaan mikroskopis dengan larutan saline. A.


Single clue cell B. Sel-sel squamosa yang dikelilingi oleh bakteri.
Batas sel tidak jelas.
b) Skor dari pewarnaan Gram (kriteria Nugent) :
Pemeriksaan ini memiliki sensivitas yang lebih tinggi dari kriteria
Amsel. Sekret vagina dibuat apusan kemudian difiksasi menggunakan
penangas atau dengan metanol. Gram positif atau negatif dapat dibedakan
berdasarkan kandungan lipopolisakarida di dinding sel.
Gambar 4.11. Pewarnaan gram c) normal d) vaginitis bakterial dengan

perbesaran 1000x
Kriteria yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah morfologi dan
perubahan warna. Lactobacillus ditandai dengan batang gram positif
berukuran besar, G vaginalis atau Bacteroides sp ditandai dengan batang
gram positif berukuran kecil, sedangkan Mobiluncus spp ditandai dengan
batang gram positif dengan bentuk yang melengkung.
Tabel 6. Kriteria Nugent

f) Patofisiologi
Bakterial vaginosis disebabkan oleh faktor-faktor yang mengubah
lingkungan asam normal di vagina menjadi keadaan basa sehingga terjadi
pertumbuhan dari bakteri anaerob secara berlebihan. Faktor-faktor yang dapat
mengubah pH vagina diantaranya adalah mukus serviks, semen, darah
menstruasi, douching, pemakaian antibiotik, dan perubahan hormonal saat
kehamilan dan menopause. Metabolisme bakteri anaerob yang meningkat
menyebabkan lingkungan asam di vagina berubah menjadi basa dan dapat
menghambat pertumbuhan bakteri patogen yang oportunistik.
Pada bakterial vaginosis terjadi simbiosis antara Gardnerella vaginalis
sebagai pembentuk asam amino dan kuman anaerob yang mengubah asam
amino menjadi amin, sehingga pH vagina meningkat (basa) optimal untuk
pertumbuhan bakteri anaerob. beberapa amin diketahui menyebabkan iritasi
kulit, mempercepat pelepasan sel epitel, dan menimbulkan bau busuk pada
sekret vagina.
Gardnerella vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina, menimbulkan
deskuamasi sel epitel sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pada dinding
vagina. Organisme ini tidak invasif dan respon inflamasi lokal yang terbatas,
hal ini dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam sekret vagina
atau dengan pemeriksaan histopatologis.
Bakterial vaginosis yang berulang dapat disebabkan oleh hal-hal berikut
ini:

1) Infeksi berulang dari pasangan yang menderita bakterial vaginosis. Seorang


wanita yang terinfeksi G. vaginalis akan menyebarkan bakteri tersebut pada
suaminya, namun tidak menimbulkan uretritis (asimptomatis). Saat
berhubungan seksual, wanita yang sudah menjalani pengobatan akan
terinfeksi kembali jika tidak menggunakan pelindung.
2) Kekambuhan dapat desebabkan oleh mikroorganisme yang hanya dihambat
pertumbuhannya namun tidak dibunuh.
3) Kegagalan pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus sebagai flora
normal.
4) Menetapnya mikroorganisme lain yang bersifat patogen.

Gambar 4.12. Patofisiologi Bakterial Vaginosis


g) Penatalaksanaan
1) Terapi sistemik
a) Metronidazol
Wanita normal : 2x500 mg selama 7 hari
Wanita hamil : 3x200-250 mg selama 7 hari
b) Clindamycin
Wanita normal : 2x300 mg selama 7 hari
2) Terapi topikal
a) Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 2 kali sehari selama 5 hari
b) Clindamycin krim (2%) 5 gram intravagina, malam hari selama 7 hari
2. Candidiasis
a. Definisi
Kandidiasis (atau kandidosis, monoliasis, trush) merupakan berbagai
macam penyakit infeksi yang disebabkan oleh Candida albicans dan anggota

genus

kandida

lainnya.Kandidiasis

vulvovaginalis

atau

kandidosis

vulvovaginalis/ kandida vulvovaginitis adalah infeksi vagina dan atau vulva


oleh genus candida.
b. Epidemiologi
Diperkirakan lebih dari 75% wanita di sini akan mengalami sedikitnya
satu kali episode vaginitis yang disebabkan oleh kandida, 40-45% mengalami
dua atau lebih episode candidiasis vulvovaginal bahkan sebagian kecil dari
wanita yang mengalami infeksi candidiasis vulvovaginalini (< 5%) akan
mengalami rekurensi yang akhirnya dapat mengurangi kualitas hidupnya
(Szumigala et al., 2009). Sebuah penelitian internasional oleh Foxman (2013)
menunjukkan tingkat insidensi candidiasis yang tinggi di 5 negara Eropa dan
Amerika Serikat yaitu sebesar 29-49%.
Banyak studi mengindikasikan candidiasis vulvovaginal merupakan
diagnosis paling banyak diantara wanita muda, mempengaruhi sebanyak 1530% wanita yang bersifat simptomatik yang mengunjungi dokter. Pada
Amerika serikat, candidiasis vulvovaginal merupakan penyebab infeksi vagina
tersering kedua setelah vaginosis bakteri (Sobel, 2008).
c. Faktor Resiko
1) Faktor endogen
a) Kehamilan
b) Kegemukan
c) Iatrogenik, missal kateter saluran kemih
d) Endokrinopati: diabetes mellitus
e) Penyakit kronik: tuberculosis, lupus eritomatosus
f) Usia
g) Imunodefisiensi
2) Faktor eksogen
a) Pemberian antimikroba yang intensif
b) Kontrasepsi oral
c) Terapi kortikosteroid
d) Iklim panas dan kelembaban
e) Higienitas buruk
d. Etiologi
Sebagian besar penyebab candidiasis vulvovaginal adalah candida
albicans. Antara 85-90% ragi yang berhasil diisolasi dari vagina adalah spesies
C.albicans sedangkan penyebab yang lainnya dari jenis candida glabrata
(torulopsis glabrata). Spesies selain C. albicans yang menyebabkan

candidiasis vulvovaginal sering lebih resisten terhadap terapi konvensional


(Hay dan Moore, 2005).
Candidasp adalah jamur sel tunggal, berbentuk bulat sampai oval.
Jumlahnya sekitar 80 spesies dan 17 diantaranya ditemukan pada manusia. Dari
semua spesies yang ditemukan pada manusia, C.albicans lah yang paling
pathogen. Candidasp memperbanyak diri dengan membentuk blastospora
(budding cell). Blastospora akan saling bersambung dan bertambah panjang
sehingga membentuk pseudohifa. Bentuk pseudohifa lebih virulen dan invasif
daripada spora. Hal itu dikarenakan pseudohifa berukuran lebih besar sehingga
lebih sulit difagositosis oleh makrofag. Selain itu, pseudohifa mempunyai titiktitik blastokonidia multipel pada satu filamennya sehingga jumlah elemen
infeksius yang ada lebih besar.
Faktor virulensi lain pada Candida adalah dinding sel. Dinding sel
Candida sp mengandung turunan mannoprotein yang bersifat imunosupresif
sehingga mempertinggi pertahanan jamur terhadap imunitas pejamu, dan
proteinase aspartil yang menyebabkan Candidasp dapat melakukan penetrasi
ke lapisan mukosa.
Dalam menghadapi invasi dari Candida, tubuh mengerahkan sel fagosit
untuk mengeliminasinya. Interferon (IFN)-gamma akan memblok proses
transformasi dari bentuk spora menjadi hifa. Maka bisa disimpulkan, pada
seorang wanita dengan defek imunitas humoral, Candida lebih mudah
membentuk diri menjadi hifa yang lebih virulen dan mudah menimbulkan
vaginitis.
.Kandida adalah organisme yang dimorfik yaitu bisa ditemukan dalam 2
fase fenotipe yang berbeda di dalam tubuh manusia. Pada umumnya
blastospora (blastokonidia) adalah bentuk fenotipe yang bertanggung jawab
terhadap penyebaran atau transimisinya termasuk ketika menyebar mengikuti
aliran darah maupun ketika dalam bentuk kolonisasi asimtomatik di vagina.
Sebaliknya ragi yang sedang bertunas dan membentuk miselia adalah bentuk
invasif terhadap jaringan serta sering teridentifikasi pada kondisi yang
simtomatik.

Gambar 4.13. Candida albicans


e. Patofisiologi
Candida albicans merupakan organisme normal dari saluran cerna tetapi
dapat menimbulkan infeksi oportunistik. Terdapat dua faktor virulensi jamur
kandida yaitu dinding sel dan sifat dismorfik kandida. Dinding sel berperan
penting dalam virulensi karena merupakan bagian yang berinteraksi langsung
dengan sel pejamu. Dinding sel kandida mengandung 80-90% karbohidrat,
yang terdiri dari b-glukan, khitin, mannoprotein, 6-25% protein dan 1-7%
lemak. Salah satu komponen dinding sel yaitu mannoprotein mempunyai sifat
imunosupresif sehingga mempertinggi pertahanan jamur terhadap imunitas
pejamu (Calderone, 2001).
Kandida tidak hanya menempel, namun juga penetrasi ke dalam mukosa.
Enzim proteinase aspartil membantu kandida pada tahap awal invasi jaringan
untuk menembus lapisan mukokutan yang berkeratin. Faktor virulensi lain
berupa sifat dismorfik kandida yaitu kemampuan kandida berubah bentuk
menjadi pseudohifa. Bentuk utama kandida adalah bentuk ragi (spora) dan
bentuk pseudohifa (hifa, miselium, filamen). Dalam keadaan patogen bentuk
hifa mempunyai virulensi lebih tinggi dibandingkan bentuk spora karena
ukurannya lebih besar dan lebih sulit difagositosis oleh sel makrofag. Selain
itu, terdapat titik-titik blastokonidia multipel pada satu filamen sehingga jumlah
elemen infeksius yang ada lebih besar. Perubahan dari komensal menjadi
patogen merupakan adaptasi terhadap perubahan lingkungan sekitarnya.
Pertumbuhan dan perubahan bentuk dari ragi menjadi hifa yang lebih invasif
juga dipengaruhi imunitas seluler. IFN- memblok transisi bentuk sel ragi
menjadi bentuk pseudohifa (Hay dan Moore, 2004).
Kandida adalah sel jamur yang bersifat parasit dan menginvasi sel
pejamu dengan cara imunomodulasi dan adhesi. Imunomodulasi adalah
kemampuan potensial sel kandida dalam memodulasi sistem imunologi pejamu
berupa rangsangan untuk meningkatkan atau menurunkan reaksi imun pejamu.
Zat seperti khitin, glukan, dan mannoprotein adalah kandungan yang terdapat
dalam dinding sel yang berperan dalam proses imunomodulasi. Respon

imunomodulasi menyebabkan diproduksinya sejumlah protein yang disebut


sebagai heat shock protein (hsp) yang berperan dalam proses perangsangan
respon imun dan proses pertumbuhan kandida. Adhesi merupakan langkah awal
untuk terjadinya kolonisasi. Dengan adhesi, kandida melekat pada sel pejamu
melalui interaksi hidrofobik. Hal ini menurunkan kadar pembersihan jamur dari
tubuh melalui regulasi imun normal.
Ketika Candida albicans penetrasi ke permukaan mukosa pejamu terjadi
perubahan bentuk jamur dari spora ke pseudohifa sehingga membantu jamur
menginvasi jaringan perjamu melalui pelepasan beberapa enzim degradatif
seperti berbagai proteinase, proteinase aspartil dan fosfolipase (Hay dan Moore,
2004).

Gambar 4.14. Patogenesis Candidiasis


f. Penegakan diagnosis
1) Anamnesis
a) Pruritus berat
b) Discharge vagina seperti keju lembut,dapat bervariasi dari berair sampai
tebal secara homogeni, berbau.
c) Nyeri pada vaginal, iritasi, rasa terbakar,
d) Dispareunia,dan disuria eksternal biasanya ada.
2) Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi: labia eritematosa dapat menyebar hingga perineum
b) Inspekulo: Terdapat plak keputih-putihan pada dinding vagina dengan
dasar eritema dan dikelilingi edema yang dapat menyebar ke labia dan
perineum.Terdapat erosi pada serviks, vesikel kecil pada permukaannya.
Gambar 4.15.Candidiasis vulvovaginal

3) Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan miroskopik langsung
Dengan menggunakan KOH 10-20%, tampak adanya sel ragi yang
polimorfik, berbentuk lonjong, atau bulat berukuran 2-6 x 4-9 m,
blastospora (sel ragi yang sedang bertunas), sel budding yang khas, hifa
bersekat atau pseudohifa, kadang-kadang ditemukan klamidiospora.
b) Pewarnaan Gram
Elemen jamur (budding yeast cell/ blastospora/ blastokonidia/
pseudohifa/ hifa) tampak sebagai Gram positif dan sporanya lebih besar
dari bakteri yang dapat diamati dengan pewarnaan Gram
c) Pemeriksaan sediaan basah
Pemeriksaan sediaan basah juga dapat melihat bentuk hifa dan budding
yeast dari kandida, dengan cara sediaan cairan vagina diletakkan pada
objek glas kemudian ditetesi 1-2 tetes larutan 0,9% isotonik sodium
klorida dan diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 400 x.
d) Pemeriksaan pH
pH kandidiasis vaginal kurang dari 4,5 dapat dibuktikan dengan
menggunakan kertas lakmus
e) Kultur
Kultur memiliki nilai sensitivitas yang tinggi sampai 90%. Medium
kultur yang dipakai adalah agar dekstrose Sabouraud dan modifikasi agar
Sabouraud. Pada modifikasi agar Sabouraud, komposisinya ditambahkan
antibiotik kloramfenikol yang digunakan untuk menekan pertumbuhan
bakteri. Media ini merupakan media selektif untuk mengisolasi kandida.
Kandida umumnya mudah tumbuh pada suhu kamar 25-30C, dan
pertumbuhan dapat terjadi 2-5 hari setelah biakan. Koloni tampak
berwarna krem atau putih kekuningan, permukaan koloni halus, licin,
lama kelamaan berkeriput dan berbau ragi. Biakan dinyatakan negatif
bila dalam waktu 4 minggu tidak tumbuh. Untuk melakukan identifikasi
spesies perlu dilakukan subkultur untuk mendapatkan koloni yang murni,
kemudian koloni baru dapat diidentifikasi.
f) Tes fermentasi
Tes fermentasi dilakukan untuk menentukan

spesies

kandida,

menggunakan tes gula-gula yang mengandung indikator warna glukosa,


maltosa, sukrosa, dan laktosa , dikatakan positif bila dapat disertai atau
tanpa pembentukan gas.
g. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan

candidiasis

vulvovaginal

dilakukan

berdasarkan

klasifikasinya yaitu tanpa komplikasi dan dengan komplikasi . Untuk


candidiasis vulvovaginal tanpa komplikasi dipilih pengobatan topikal. Derivat
azole dinyatakan lebih efektif daripada nistatin, namun hargannya jauh lebih
mahal. Pengobatan dengan golongan azole dapat menghilangkan gejala dan
kultur negatif pada 80-90% kasus (Workhowski, 2006).
Tabel 7. Macam obat antijamur yang digunakan untuk terapi candidiasis
vulvovaginal tanpa komplikasi (Workhowski, 2006).
Nama Obat
Ketokonazole
Itrakonazole

Formulasi
200 mg oral tablet
100 mg oral kapsul

Flukonazole

150 mg oral tablet


50 mg oral tablet
1% krim intravagina
2% krim intravagina
100 mg tab vag
500 mg tab vag
2% krim
200 mg tab vag
100000 U tab vag
50 mg tab vag
100 mg cap

Klotrimazole

Mikonazole
Nistatin
Amphoterisin B+
Tetrasiklin

Dosis
2x1 tab, 5 hari
2x1 cap, 2 hari
2x2 cap, 1 hari selang 8 jam
Dosis tunggal
1x1 tab, 7 hari
5 g, 7-14 hari
5 g, 3 hari
2x1 tab vag, 3 hari
1 tab vag, 1 hari
5 g, 1-7 hari
1 tab vag, 1-7 hari
1x1 tab, 12-14 hari
1x1 tab, 7-12 hari
1x1 tab, 7-12 hari

Candidiasis vulvovaginaldengan komplikasi seperti infeksi rekuren,


candidiasis vulvovaginalberat, candidiasis vulvovaginaldengan penyebab Candida

non-albicans,

candidiasis

vulvovaginalpada

penderita

imunokompromis, candidiasis vulvovaginalpada wanita hamil, dan candidiasis


vulvovaginalpada penderita HIV. Untuk infeksi rekuren perlu dilakukan biakan
jamur untuk mencari spesies penyebab. Dapat diberikan flukonazole 150 mg
selama 3 hari atau topikal golongan azole selama 7-14 hari. Untuk pengobatan
dosis pemeliharaan diberikan tablet ketokonazole 100 mg/hari, kapsul
flukonazole 100-150 mg/minggu atau itrakonazole 400 mg/bulan atau 100
mg/hari atau topikal tablet vagina klotrimazole 500 mg. Pengobatan dosis
pemeliharaan ini diberikan selama 6 bulan. candidiasis vulvovaginalberat
ditanda dengan vulva eritem, edema,ekskoriasi dan fisura. Terapi dapat
diberikan flukonazole 150 mg dengan 2 dosis selang waktu pemberian 72 jam
atau obat topikal golongan azole selama 7-14 hari. Pada candidiasis

vulvovaginaldengan penyebab Candida non-albicans, dengan pemberian obat


golongan azole tetap dianjurkan selama 7-14 hari, kecuali flukonazole karena
banyak Candida non-albicans yang resisten. Jika terjadi kekambuhan dapat
diberikan asam borak 600 mg dalam kapsul gelatin sekali sehari selama 2
minggu. Jika masih terjadi kekambuhan dianjurkan pemberian nistatin tablet
vagina 100000 U per hari sebagai pengobatan dosis pemeliharaan. candidiasis
vulvovaginalpada penderita imunokompromis diberikan obat antijamur
konvensional selama 7-14 hari. candidiasis vulvovaginalpada wanita hamil,
dianjurkan pengobatan dengan preparat azole topikal, yakni mikonazole krim
2%, 5 g intravagina selama 7 hari atau 100 mg tabet vagina tiap malam selama
7 hari atau mikonazol 200 mg tablet vagina selama 3 hari. Dan juga
klotrimazole krim 1 % sebanyak 5 g tiap malam selama 7-14 hari atau 200 mg
tablet vagina tiap malam selama 3 hari atau 500 mg tablet vagina selama 1 hari.
Pengobatan candidiasis vulvovaginalsimtomatis pada wanita dengan HIV
positif sama dengan pada wanita dengan HIV negatif. candidiasis vulvovaginal
tanpa komplikasi dapat diterapi dengan flukonazole 150 mg dosis tunggal
jangka pendek, atau topikal azole jangka pendek. Terapi pada candidiasis
vulvovaginal komplikata, sebaiknya diberikan obat sistemik oral atau topikal
salam jangka lama dan dilanjutkan terapi dosis pemeliharaan dengan
flukonazole dosis mingguan untuk kasus candidiasis vulvovaginalatau
ketokonazole dosis 100 mg/hari selama 6 bulan. Pengobatan untuk penderita
kandidiasis asimtomatik masih kontroversi. Pada wanita dengan HIV negatif
tidak dianjurkan pemberian terapi antijamur.
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

pengobatan

candidiasis vulvovaginalyang dianjurkan adalah klotrimazole 200 mg


intravagina setiap hari selama 3 hari atau klotrimazole 500 mg intravagina
dalam dosis tunggal atau flukoazole 150 mg/oral dalam dosis tunggal atau
itrakonazole 200 mg/oral 2 kali sehari dosis tunggal atau nistatin 100000 IU
intravagina setiap hari selama 14 hari.
3. Trikomoniasis
a. Definisi
Trikomoniasis

merupakan

penyakit

menular

seksual

(PMS)

yangdisebabkan parasit uniselluler Trichomonas vaginalis (T.vaginalis).


Penyakit ini mempunyai hubungan dengan peningkatan serokonversi virus

HIV pada wanita. T.vaginalisbiasanya ditularkan melalui hubungan seksual


dan sering menyerang traktus urogenitalis bagian bawah, baik pada wanita
maupun laki-laki. Parasit ini dapat ditemukan pada vagina, urethra, kantong
kemih atau saluran parauretral(Van der Pol, 2007).
b. Epidemiologi
Prevalensi trikomoniasis di seluuh dunia setiap tahunnya berkisar antara
170 juta hingga 180 juta. Menurut WHO, insidemsi trikomoniasis di seluruh
dunia

mencapai 170 juta setiap tahunnya (WHO, 2001). Penelitian yang

dilakukan pada populasi beresiko tinggi di Inggris menunjukan prevalensi


trikomoniasis di klinik penyakit menular seksual berisar antara 15%-54%
(Sobel, 2005).
Trikomoniasis sering ditemukan pada usia remaja dan dewasa yang aktif
secara seksual (Hupert, 2009). Menurut National Longitudinal Study of
Adolescent Health Study prevalensi trikomoniasis pada usia 18-24 tahun
adalah 2,3%, usia 25 tahun keatas adalah 4% (Danesh, 1995).
Trikomoniasis simptomatik lebih sering terjadi
diabandingkan

pria.

Namun,

wanita

juga

dapat

pada

menjadi

wanita
pembawa

trikomoniasis asimptomatik. Menurut penelitian NHANES 2001-2004 yang


dilakukan pada perempuan usia 14-49 tahun menemukan bahwa 85% wanita
yang mengalami trikomoniasis melaporkan tidak memimiliki gejala (Sutton et
al., 2007).
Transmisi vertikal saat persalinan mungkin terjadi dan dapat bertahan
hingga 1 tahun. Sebanyak 2-17% anak yang dilahirkan dari perempuan yang
terinfeksi trikomoniasis mengalami infeksi serupa (Danesh, 1995).
c. Faktor Resiko
Faktor resiko trikomoniasis meliputi:
1) Wanita beresiko lebih tinggi dibandingkan pria
2) Berganti-ganti pasangan
3) Riwayat dan atau sedang mengalami penyakit menular seksual
4) Tidak menggunakan barier kontrasepsi
d. Etiologi
Penyebab trikomoniasis ialah Trichomonas vaginalis yang merupakan
satu-satunya spesies Trichomonas yang bersifat patogen pada manusia dan
dapat dijumpai pada traktus urogenital (Djajakusumah, 2009). T. vaginalis
merupakan

flagelata

berbentuk

filiformis,

berukuran

15-18

mikron,

mempunyai 4 flagela, dan bergerak seperti gelombang (Djuanda, 2009).

Gambar 4.16. Tropozoit


Trichomonas vaginalis

e. Patofisiologi
T. vaginalis mampu menimbulkan peradangan pada dinding saluran
urogenital dengan cara invasi sampai mencapai jaringan epitel dan
subepitel. T. vaginalis ditemukan pada lumen dan mukosa traktur urinarius,
flagellanya menyebabkan tropozoit berpindah ke vagina dan jaringan
uretra.T.vaginalis akan lebih lekat pada mukosa epitel vagina atau urethra dan
menyebabkan lesi superficial dan sering menginfeksi epital skuamous. Parasit
ini akan menyebabkan degenerasi dan deskuamasi epitel vagina. T.vaginalis
merusakkan sel epitel dengan kontak langsung dan produksi bahan sitotoksik.
Parasit ini juga akan berkombinasi dengan protein plasma hostnya maka ia
akan terlepas dari reaksi lytik pathway complemen dan proteinase host (Parija,
2004).
T. vaginalis adalah organisme anaerobik maka energi diproduksi melalui
fermentasi gula dalam strukturnya yang dikenal sebagai hydrogenosome. T.
vaginalis

memperoleh

makanan

melalui

osmosis

dan

fagositosis.

Perkembangbiakannya adalah melalui pembelahan diri (binary fision) dan


intinya membelah secara mitosis yang dilakukan dalam 8 hingga 12 jam pada
kondisi yang optimum. Trichomanas ini cepat mati pada suhu 50C dan jika
pada 0C dapat bertahan sampai 5 hari. Masa inkubasi 4 28 hari serta
pertumbuhannya baik pada pH 4,9 7,5. Parasit ini bersifat obligat maka
sukar untuk hidup di luar kondisi yang optimalnya dan perlu jaringan vagina,
urethra atau prostat untuk berkembangbiak (Parija, 2004).
Trikomoniasis mempunyai beberapa faktor virulensi yaitu:
1) Cairan protein dan protease yang membantu trofozoi adhere pada sel epital
traktus genitourinaria
2) Asam laktat dan asetat di mana akan menurunkan pH vagina lebih rendah
dan sekresi vagina dengan pH rendah adalah sitotoksik terhadap sel epital

3) Enzim cysteine proteases yang menyebabkan aktivitas haemolitik parasit

Gambar 4.17.
T. vaginalis
f.

Siklus hidup
Penegakan

Diagnosis
1) Anamnesis
Pada wanita yang simptomatik sering ditemukan gejala sebagai berikut
(Adriyani, 2006):
a) Discharge vagina berwarna kuning kehijauan berbuih, berbau busuk
berjumlah banyak
b) Gatal-gatal atau rasa panas pada vagina
c) Rasa sakit dan perdarahan sewaktu berhubungan seksual
d) Jika terjadi urethritis maka gejala yang timbul adalah disuria dan
frekuensi berkemih meningkat
e) Sakit perut bagian bawah
2) Pemeriksaan Fisik (Swygard et al., 2004).
Pada pemeriksaan dengan menggunakan speculum ditemukan:
a) Colpitis macularis atau strawberry cervix, yaitu merupakan lesi berupa
bintik makula eritematosa yang difus pada serviks. Namun, lesi ini
hanya terlihat pada 1-2% kasus tanpa menggunakan kolposkopi.
Dengan menggunakan kolposkopi lesi ini terdeteksi sampai dengan
45% kasus.
b) Discharge purulen berwarna kuning kehijauan berbuih, berbau busuk
berjumlah banyak. Colpitis macularis dan keputihan yang berbusa
bersama-sama memiliki spesifisitas 99% dan secara sendiri-sendiri

memiliki nilai prediksi positif (positive predictive value) 90% dan


62%.
c) Erithema pada vagina, dan serviks. Serviks terkadang rapuh.

Gambar 4.18.Colpitis macularis


3) Pemeriksaan Penunjang
a) pH vagina
Penentuan pH vagina dengan cara menempelkan swab dengan sekresi
vagina pada kertas pH. pH vagina normal secara praktis menunjukkan
diagnosis trikomoniasis negatif. pH lebih dari 4.5 ditemukan pada
trikomoniasis dan vaginosis bacterial.
b) Tes Whiff
Tes ini berguna untuk menyingkirkan kemungkinan vaginosis bakterial.
c) Sediaan Basah (Wet mount)
Pemeriksaan dengan sediaan garam basah melalui mikrokoskop
terhadap secret vagina yang diusapkan pada objek glass dapat
mengidentifikasi protozoa yang berbentuk seperti tetesan air, berflagela,
dan bergerak. Pemeriksaan ini juga dapat menemukan clue cells (tanda
adanya penyakit vaginosis bacterial). Sensitivitas pemeriksaan ini
mencapai 40-60%. Sedangkan spesifisitas dapat mencapai 100% jika
sediaan garam basah segera dilihat di bawah mikroskop.
d) Pap smear
e) Pemeriksaan lain
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya
trikomoniasis yaitu pemeriksaan biakan (kultur) secret vagina, direct
immunofluorescence assay, dan Polymerase chain reaction (PCR)
g. Penatalaksanaan
Terapi definitif untuk trikomoniasis adalah dengan menggunakan
nitroimidazole.

Pada

penelitian

metaanalisis

dengan

menggunakan

nitroimidazole (mayoritas menggunakan metronidazole atau tinidazole) untuk


terapi trikomoniasis jangka pendek atau panjang, tingkat kesembuhan secara
parasitologis mencapai 90% kasus (Swygard et al., 2004)

Gambar 4.20. Algoritma terapi nitroimidazole untuk trikomoniasis


Tabel 7. Perbedaan Vaginitis bacterial, Candidiasis dan Trikomoniasis
pH
Keputihan

Normal
<4,5
Putih, jelas,

Kandidiasis
Variase ; normal
Seperti keju

jumlah
Mikroskopis

Vaginosis Bakteri
>4,5
Homogen, banyak,

Trikomoniasis
4,5
Berbusa,

putih keabu-abuan

banyak, kuning

sedikit
Sel epitel

Budding pada

Clue cell, Gram

kehijauan
Sel darah putih

dengan batas

pewarnaan Gram

negatif pada

banyak, adanya

jelas,

atau kerokan

pewarnaan Gram,

motile

lactobasilus

KOH, sel darah

jumlah bakteri banyak

trikomonad

Gram (+)

putih banyak, sel


batas jelas
Rasa gatal pada

+
Keputihan bau

Variasi
Keputihan,

vagina, iritasi,

sepertiikan,dispanuria,

pruritus pada

keputihan

nyeri

vulva

epitel dengan
KOH Whiff
Gejala

Tidak ada

abdomenbag.Bawah

G. Komplikasi
1. Ketuban pecah dini
2. Korioamniositis
3. Postpartum endometritis
4. Pelvic inflamatory disease
5. Cervical intraepitelial neoplasia
G. Prognosis

Prognosis vaginitis oleh bakterial vaginosis berprognosis baik dengan angka


kesembuhan spontan mencapai 84-96% menggunakan metronidazol dan clindamicin.
Trokomoniasis yang diterapi dengan regimen yang direkomendasikan yaitu
metronidazole memiliki angka kesembuhan 86 100% (CDC, 2010). Infeksi rekuren
sering ditemukan pada pasien yang aktif secara seksual. Sebuah penelitian
menunjukkan sebanyak 17% pasien trikomoniasis yang aktif secara seksual
mengalami reinfeksi setelah 3 bulan follow up (Peterman et al., 2006).
Sebagian besar wanita yang mengalami vulvovaginal candidiasis berespon
cepat terhadap terapi. Tetapi vuvovaginal candidiasis rekuren yang didefinisikan
sebagai 4 atau lebih episode infeksi dalam setahun terjadi pada sekitar kurang dari 5%
pada wanita sehat.
E. Servicitis
1. Definisi Servisitis
Servisitis adalah peradangan jaringan serviks yang umumnya dianggap sebagai
hasil infeksi secara seksual dari organisme, paling sering Neisseria gonorrhoeae dan
Chlamydia trachomatis. Hampir semua kasus servisitis disebabkan oleh penyakit
menular seksual dan, bisa juga karena cedera pada jaringan serviks, kontrol jalan lahir
yang berkurang seperti diafragma dan bahkan kanker (Marrazzo, 2006).
2. Epidemiologi Servisitis
Angka penderita servisitis di seluruh dunia dan Indonesia belum diketahui secara
pasti, namun sebuah studi yang dilakukan di India menyebutkan bahwa 14,5 % dari
3.000 wanita di India terkena sindrom duh (discharge) vagina, dimana servisitis
termasuk didalamnya (Patel, 2005).
3. Patofisiologi Servisitis
Serviks mempunyai beberapa fungsi yang penting bagi wanita, antara lain melalui
keadaannya antara rahim dan vagina, ia mempertahankan posisi normal dari organ
panggul. Serviks juga berperan penting dalam kehamilan dimana berfungsi sebagai
penghalang antara vagina dan rahim, selain itu serviks juga berperan sebagai indikator
dalam proses melahirkan (Sarwono, 2008).
Serviks mempunyai fungsi yang penting tetapi epitel selaput lendir servikalis
hanya terdiri dari satu lapisan sel silindris oleh karena itu mudah terkena infeksi
dibandingkan dengan selaput lendir vagina. Risiko servisitis meningkat saat seorang
wanita menderita diabetes, vaginitis akut dan servisitis berulang atau memiliki banyak
pasangan seksual. Servisitis juga dapat dipicu penggunaan kondom wanita (cervical
cap dan diafragma), penyangga uterus, alergi spermisida pada kondom pria, dan
paparan terhadap bahan kimia. Serviks yang mengalami perlukaan dapat berakibat

pada infeksi. Infeksi ini menyebabkan deskuamasi pada epitel gepeng dan perubahan
inflamasi kronik dalam jaringan serviks yang mengalami trauma (Sarwono, 2008).
4. Terapi Servisitis
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan RI telah berusaha untuk
perduli dengan fenomena banyaknya jumlah penderita penderita servisitis dengan
mengeluarkan pedoman nasional mengenai penanganan IMS pada tahun 2011.
Pedoman nasional tersebut menyebutkan bahwa servisitis bisa diobati sebagai berikut
(Kemenkes, 2011):
Pengobatan Servisitis Gonokokus

Pengobatan Servisitis Non-Gonokokus

Sefiksim 400 mg, dosis tunggal, per oral Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per oral
ATAU
ATAU
Levofloksasin* 500 mg, dosis tunggal, Doksisiklin* 2x100 mg/hari, per oral, 7
per oral

hari
Pilihan Pengobatan Lain

Kanamisin 2 g, injeksi IM, dosis Eritromisin 4x500 mg/hari, per oral, 7


tunggal ATAU

hari

Tiamfenikol 3,5 g, per oral, dosis


tunggal ATAU
Seftriakson 250 mg, injeksi IM, dosis
tunggal
* Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, atau anak di bawah 12
tahun
Tabel 8. Pengobatan servisitis gonore/non-gonore.
Terapi untuk servisitis selain memakai obat-obatan antara lain melalui pembedahan.
Pembedahan dilakukan pada hari-hari pertama setelah menstruasi, agar dapat
memberikan waktu penyembuhan untuk bekas luka setelah pembedahan sampai haid
berikutnya sehingga dapat mencegah infeksi. Sebelum melakukan pembedahan terlebih
dahulu dibutuhkan pemeriksaan ginekologi. Prosedur ini tidak boleh dilakukan pada
keadaan peradangan akut serviks, pada keadaan ini prosedur pembedahan harus ditunda,
karena beresiko memperparah peradangan. Pasca operasi, pasien dilarang melakukan
hubungan seksual dahulu dengan pasangannya (Marrazzo, 2007).
F. Kanker Serviks

a. Definisi
Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di
daerah squamocolumnar junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa
kanalis servikalis. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau
leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk
ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina. Kanker
leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari
kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya
berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim.
Kanker seviks uteri adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa.
Sebelum terjadinya kanker akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker
atau neoplasia intraepitel serviks(NIS).
b. Epidemiologi
Insidensi kanker serviks di dunia mencapai 25-40 kasus per 100.000 wanita
pertahun. Prevalensinya menurut Xiang (2011) mencakup 12% dari seluruh kanker
pada wanita yang lebih sering dijumpai di negara berkembang yang mencakup 80%
dari kasus kanker seviks di dunia. Mortalitas kanker serviks cukup tinggi. Menurut
World Health Organization (WHO), setiap tahunnya lebih dari 270.000 wanita mati
akibat kanker serviks dan 85% kematian berasal dari negara berkembang. Oleh sebab
itu, WHO menetapkan kanker serviks kanker dengan prevalensi dan mortalitas
tertinggi di dunia setelah kanker payudara.
c. Klasifikasi
Secara histopatologi, kanker serviks terdiri atas berbagai jenis. Dua bentuk yang
sering dijumpai adalah karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma. Sekitar 85%
merupakan

karsinoma

serviks

jenis

skuamosa

(epidermoid),

10%

jenis

adenokarsinoma, serta 5% adalah jenis adenoskuamosa, clear cell, small cell,


verucous,dan lain-lain.
d. Etiologi dan Faktor Predisposisi
1. Etiologi
Infeksi Human papillomavirus (HPV) merupakan penyebab utama kanker
serviks. Menurut American Social Health Association (ASHA) sekitar 6.2 juta
orang di Amerika Serikat (AS) terinfeksi HPV setiap tahunnya. Globocan (2008)
menunjukkan bahwa 31% populasi wanita di Indonesia telah terinfeksi HPV. Data
infeksi HPV dan kanker serviks di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut:

Tabel 8. Data Statistik HPV dan Kanker Serviks di Indonesia

Human papillomavirus genitalia adalah penyebab infeksi paling sering yang


ditularkan melalui hubungan seksual (sexually transmitted infection) di dunia.
Infeksi persisten HPV, khususnya HPV tipe high risk, dapat menimbulkan kanker
serviks pada wanita dan kanker anogenital lainnya (vulva, vagina, penis, dan
anus), sedangkan infeksi HPV tipe low risk dapat menimbulkan kutil kelamin
(condyloma acuminatum), baik pada wanita maupun pria.
Manusia adalah reservoar utama bagi HPV dan setiap individu dapat
terinfeksi oleh lebih dari satu tipe HPV (infeksi multipel). Lebih dari 100
genotipe HPV telah teridentifikasi, 40 di antaranya menginfeksi sistem genitalia.
Tipe HPV genitalia digolongkan berdasarkan asosiasi epidemiologis dengan
kanker serviks. Infeksi HPV tipe low risk dapat menyebabkan perubahan sel-sel
serviks yang bersifat benign atau low-grade, kutil kelamin, dan papillomatosis.
HPV tipe high riskbersifat karsinogenik, cenderung berkembang menjadi kanker
serviks atau kanker anogenital lainnya. HPV tipe high risk, meliputi tipe 16, 18,
31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, 73, dan 82, dapat menyebabkan
abnormalitas low-grade hingga high-grade pada sel-sel serviks yang merupakan
prekursor kanker.
HPV adalah jenis virus dari keluarga Papillomaviridae dengan materi inti
DNA untai ganda (double-stranded DNA) dan tidak memiliki selubung
(envelope). HPV terdiri dari Early protein (E6 dan E7, yang diekspresikan pada

awal infeksi) dan Late protein(L1 dan L2, yang berfungsi menghasilkan kapsid
untuk virion baru). Genotipe HPV ditentukan oleh adanya variasi genetik di
protein kapsid L1 dan L2, sedangkan yang bersifat onkogenik adalah E6 dan E7.
Aktivasi protein onkogenik pada HPV tipe high riskmenyebabkan terjadinya
perubahan epigenetik pada beberapa promoter tumor suppressor gene (TSG)
sehingga dapat menimbulkan kanker. Siklus HPV dapat dilihat pada gambar 2.
Beberapa studi menunjukkan protein E6 dan E7 pada HPV tipe low risk memiliki
afinitas yang rendah terhadap TSG dibandingkan tipe high risksehingga HPV tipe
low risk tidak berpotensi menimbulkan kanker. Protein E6 dan E7 pada HPV tipe
low risk hanya berfungsi untuk menjaga stabilitas episom genomnya.

Gambar 4.19. Infeksi dan Siklus HPV pada Sel Epitel Serviks
(a) Serviks yang normal memiliki zona transfomasi (atau TZ) yang tiba-tiba bertransisi dari epitel
kolumnar menjadi epitel skuamosa. (b) HPV mendapatkan akses ke sel-sel epitel basal serviks via
vagina (selama berhubungan seksual) dan bereplikasi secara episomal (siklus lisogenik) dan
mengekspresikan early gen (E1, E2, E4, E5, E6, dan E7). (c) Sel-sel basal yang rusak akibat
infeksi HPV, terus berdiferensiasi dan bermigrasi ke permukaan epitel, tempat sel-sel skuamosa
mulai mengekspresikan late gen (L1 dan L2). Partikel virus baru akan menyebar ke dalam lumen
vagina. (e) Infeksi HPV (terutama tipe high risk) dapat berkembang menjadi: 1. displasia ringan,
2. cervical intraepithelial neoplasia stadium akhir (CIN3), dan 3. invasive cervical cancer (CaCx);

bila dasar membran rusak, akan terjadi penyebaran lokal dan metastasis. (f ) Pada sel-sel epitel
yang bertransformasi, gen HPV berintegrasi dengan kromosom inang dan mengekspresikan
protein onkogenik (E6 dan E7) yang berikatan dengan tumor suppressor protein (p53 dan Rb).

Kurang lebih 90% kasus kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV tipe
high risk. Meskipun infeksi HPV tipe high risk dapat menyebabkan kanker
serviks, mayoritas infeksi yang terjadi bersifat self-limiting. Hasil penelitian di
tiga kota di Indonesia (Jakarta, Tasikmalaya, dan Bali) tahun 2004-2006, pada
2.686 wanita yang sudah menikah, menunjukkan bahwa prevalensi HPV tipe high
risk adalah sekitar 7,9%. Prevalensi HPV tipe high risk pada 118 sampel dari
beberapa rumah sakit rujukan di laboratorium KalGen adalah 6,8%, yaitu tipe 16 ,
51 , 52 , 68 dan 58 dan tipe low riskyang terdeteksi adalah tipe 6, 43 dan 44.
2.

Faktor Risiko
Rasjidi (2009) membagi factor risiko kanker cerviks menjadi 2 yaitu faktor
resiko yang telah dibuktikan dan faktor resiko yang diperkirakan.
a) Fakor Resiko Telah Dibuktikan
1) Hubungan Seksual
Kanker serviks diperkirakan sebagai penyakit yang ditularkan secara
seksual. Beberapa bukti menunjukkan adanya hubungan antara riwayat
hubungan seksual dan risiko penyakit ini. Sesuai dengan etiologi
infeksinya, wanita dengan partner seksual yang banyak dan wanita yang
memulai hubungan seksual pada usia muda akan meningkatkan risiko
terkena kanker serviks. Karena sel kolumnar serviks lebih peka terhadap
metaplasia selama usia dewasa maka wanita yang berhubungan seksual
sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena kanker serviks lima kali lipat.
Keduanya, baik usia saat pertama berhubungan maupun jumlah partner
seksual, adalah faktor risiko kuat untuk terjadinya kanker serviks.
2) Karakteristik Partner
Sirkumsisi pernah dipertimbangkan menjadi faktor pelindung, tetapi
sekarang hanya dihubungkan dengan penurunan faktor risiko. Studi kasus
kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan kanker serviks lebih sering
menjalani seks aktif dengan partner yang melakukan seks berulang kali.
Selain itu, partner dari pria dengan kanker penis atau partner dari pria
yang istrinya meninggal terkena kanker serviks juga akan meningkatkan
risiko kanker serviks.
3) Riwayat Ginekologis

Walaupun usia menarke atau menopause tidak mempengaruhi risiko


kanker serviks, hamil di usia muda dan jumlah kehamilan atau manajemen
persalinan yang tidak tepat dapat pula meningkatkan risiko.
4) Dietilstilbestrol (DES)
Hubungan antara clear cell adenocarcinoma serviks dan paparan DES in
utero telah dibuktikan.
5) Agen Infeksius
Mutagen pada umumnya berasal dari agen-agen yang ditularkan melalui
hubungan seksual seperti HPV dan Herpes Simpleks Virus Tipe 2 (HSV
2).
6) Human papillomavirus
Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa HPV sebagai
penyebab neoplasia servikal. Karsinogenesis pada kanker serviks sudah
dimulai sejak seseorang terinfeksi HPV yang merupakan faktor inisiator
dari kanker serviks yang menyebabkan terjadinya gangguan sel serviks.
Ada bukti lain yaitu onkogenitas virus papiloma hewan; hubungan infeksi
HPV serviks dengan kondiloma dan atipik koilositotik yang menunjukkan
displasia ringan atau sedang; serta deteksi antigen HPV dan DNA dengan
lesi servikal. HPV tipe 6 dan 11 berhubungan erat dengan diplasia ringan
yang sering regresi. HPV tipe 16 dan 18 dihubungkan dengan diplasia
berat yang jarang regresi dan seringkali progresif menjadi karsinoma
insitu. Infeksi HPV persisten dapat berkembang menjadi neoplasia
intraepitel serviks (NIS). Seorang wanita dengan seksual aktif dapat
terinfeksi oleh HPV risiko-tinggi dan 80% akan menjadi transien dan
tidak akan berkembang menjadi NIS. HPV akan hilang dalam waktu 6-8
bulan. Dalam hal ini, respons antibodi terhadap HPV risiko-tinggi yang
berperan. Dua puluh persen sisanya berkembang menjadi NID dan
sebagian besar, yaitu 80%, virus menghilang, kemudian lesi juga
menghilang. Oleh karena itu, yang berperan adalah cytotoxic T-cell.
Sebanyak 20% dari yang terinfeksi virus tidak menghilang dan terjadi
infeksi yang persisten. NIS akan bertahan atau NIS 1 akan berkembang
menjadi NIS 3, dan pada akhirnya sebagiannya lagi menjadi kanker
invasif. HPV risiko rendah tidak berkembang menjadi NIS 3 atau kanker
invasif, tetapi menjadi NIS 1 dan beberapa menjadi NIS 2. Infeksi HPV
risiko-rendah sendirian tidak pernah ditemukan pada NIS 3 atau
karsinoma invasif. Berdasarkan hasil program skrining berbasis populasi

di Belanda, interval antara NIS 1 dan kanker invasive diperkirakan 12,7


tahun dan kalau dihitung dari infeksi HPV risiko-tinggi sampai terjadinya
kanker adalah 15 tahun. Waktu yang panjang ini, di samping terkait
dengan infeksi HPV risiko-tinggi persisten dan faktor imunologi (respons
HPV-specific T-cell, presentasi antigen), juga diperlukan untuk terjadinya
perubahan genom dari sel yang terinfeksi. Dalam hal, ini faktor onkogen
E6 dan E7 dari HPV berperan dalam ketidakstabilan genetic sehingga
terjadi perubahan fenotipe ganas. Oncoprotein E6 dan E7 yang berasal
dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan.
Oncoprotein E6 akan mengikat p53 sehingga TSG p53 akan kehilangan
fungsinya. Sementara itu, oncoprotein E7 akan mengikat TSG Rb. Ikatan
ini menyebabkan terlepasnya E2F yang merupakan faktor transkripsi
sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol.
7) Virus Herpes Simpleks
Walaupun semua virus herpes simpleks tipe 2 (HPV-2) belum
didemonstrasikan pada sel tumor, teknik hibridisasi insitu telah
menunjukkan bahwa terdapat HSV RNA spesifik pada sampel jaringan
wanita dengan displasia serviks. DNA sekuens juga telah diidentifikasi
pada sel tumor dengan menggunakan DNA rekombinan. Diperkirakan,
90% pasien dengan kanker serviks invasive dan lebih dari 60% pasien
dengan neoplasia intraepithelial serviks (CIN) mempunyai antibodi
terhadap virus.
8) Lain-lain
Infeksi trikomonas, sifilis, dan gonokokus ditemukan berhubungan
dengan kanker serviks. Namun, infeksi ini dipercaya muncul akibat
hubungan seksual dengan multipel partner dan tidak dipertimbangkan
sebagai faktor risiko kanker serviks secara langsung.
9) Merokok
Saat ini terdapat data yang mendukung bahwa rokok sebagai penyebab
kanker serviks dan hubungan antara merokok dengan kanker sel skuamosa
pada serviks (bukan adenoskuamosa atau adenokarsinoma). Mekanisme
kerja bisa langsung (aktivitas mutasi mukus serviks telah ditunjukkan
pada perokok) atau melalui efek imunosupresif dari merokok. Bahan
karsinogenik spesifik dari tembakau dapat dijumpai dalam lendir dari
mulut rahim pada wanita perokok. Bahan karsinogenik ini dapat merusak

DNA sel epitel skuamosa dan bersama infeksi HPV dapat mencetuskan
transformasi keganasan.
b) Faktor Risiko Diperkirakan
1) Kontrasepsi Oral
Risiko noninvasif dan invasif kanker serviks telah menunjukkan hubungan
dengan kontrasepsi oral. Bagaimanapun, penemuan ini hasilnya tidak
selalu konsisten dan tidak semua studi dapat membenarkan perkiraan
risiko dengan mengontrol pengaruh kegiatan seksual. Beberapa studi
gagal dalam menunjukkan beberapa hubungan dari salah satu studi,
bahkan melaporkan proteksi terhadap penyakit yang invasif. Hubungan
yang terakhir ini mungkin palsu dan menunjukkan deteksi adanya bias
karena peningkatan skrining terhadap pengguna kontrasepsi. Beberapa
studi lebih lanjut kemudian memerlukan konfirmasi atau menyangkal
observasi ini mengenai kontrasepsi oral.
2) Diet
Diet rendah karotenoid dan defisiensi asam folat juga dimasukkan dalam
faktor risiko kanker serviks.
3) Etnis dan Faktor Sosial
Wanita di kelas sosioekonomi yang paling rendah memiliki faktor risiko
lima kali lebih besar daripada wanita di kelas yang paling tinggi.
Hubungan ini mungkin dikacaukan oleh hubungan seksual dan akses ke
system pelayanan kesehatan. Amerika Serikat, ras negro, hispanik, dan
wanita Asia memiliki insiden kanker serviks yang lebih tinggi daripada
wanita ras kulit putih. Perbedaan ini mungkin mencerminkan pengaruh
sosioekonomi.
4) Pekerjaan
Sekarang ini, ketertarikan difokuskan pada pria yang pasangannya
menderita kanker serviks. Diperkirakan bahwa paparan bahan tertentu dari
suatu pekerjaan (debu, logam, bahan kimia, tar, atau oli mesin) dapat
menjadi faktor risiko kanker serviks
6. Patofisiologi
Petanda tumor atau kanker adalah pembelahan sel yang tidak dapat dikontrol
sehingga membentuk jaringan tumor. Mekanisme pembelahan sel yang terdiri dari 4
fase yaitu G1, S, G2 dan M harus dijaga dengan baik. Selama fase S, terjadi replikasi
DNA dan pada fase M terjadi pembelahan sel atau mitosis. Sedangkan fase G (Gap)
berada sebelum fase S (Sintesis) dan fase M (Mitosis). Dalam siklus sel p53 dan pRb

berperan penting, dimana p53 memiliki kemampuan untuk mengadakan apoptosis dan
pRb memiliki

kontrol untuk proses proliferasi sel itu sendiri (American Cancer

Society, 2012).
Infeksi dimulai dari virus yang masuk kedalam sel melalui mikro abrasi jaringan
permukaan epitel, sehingga dimungkinkan virus masuk ke dalam sel basal. Sel basal
terutama sel stem terus membelah, bermigrasi mengisi sel bagian atas, berdiferensiasi
dan mensintesis keratin. Pada HPV yang menyebabkan keganasan, protein yang
berperan banyak adalah E6 dan E7. mekanisme utama protein E6 dan E7 dari HPV
dalam proses perkembangan kanker serviks adalah melalui interaksi dengan protein
p53 dan retinoblastoma (Rb). Protein E6 mengikat p 53 yang merupakan suatu gen
supresor tumor sehingga sel kehilangan kemampuan untuk mengadakan apoptosis.
Sementara itu, E7 berikatan dengan Rb yang juga merupakan suatu gen supresor tumor
sehingga sel kehilangan sistem kontrol untuk proses proliferasi sel itu sendiri. Protein
E6 dan E7 pada HPV jenis yang resiko tinggi mempunyai daya ikat yang lebih besar
terhadap p53 dan protein Rb, jika dibandingkan dengan HPV yang tergolong resiko
rendah. Protein virus pada infeksi HPV mengambil alih perkembangan siklus sel dan
mengikuti deferensiasi sel (American Cancer Society, 2012).
Karsinoma serviks umumnya terbatas pada daerah panggul saja. Tergantung dari
kondisi immunologik tubuh penderita KIS akan berkembang menjadi mikro invasif
dengan menembus membrana basalis dengan kedalaman invasi <1mm dan sel tumor
masih belum terlihat dalam pembuluh limfa atau darah. Jika sel tumor sudah terdapat
>1mm dari membrana basalis, atau <1mm tetapi sudah tampak dalam pembuluh limfa
atau darah, maka prosesnya sudah invasif. Tumor mungkin sudah menginfiltrasi stroma
serviks, akan tetapi secara klinis belum tampak sebagai karsinoma. Tumor yang
demikian disebut sebagai ganas praklinik (tingkat IB-occult). Sesudah tumor menjadi
invasif, penyebaran secara limfogen melalui kelenjar limfa regional dan secara
perkontinuitatum (menjalar) menuju fornices vagina, korpus uterus, rektum, dan
kandung kemih, yang pada tingkat akhir (terminal stage) dapat menimbulkan fistula
rektum atau kandung kemih. Penyebaran limfogen ke parametrium akan menuju
kelenjar limfa regional melalui ligamentum latum, kelenjar-kelenjar iliak, obturator,
hipogastrika, prasakral, praaorta, dan seterusnya secara teoritis dapat lanjut melalui
trunkus limfatikus di kanan dan vena subklavia di kiri mencapai paru-paru, hati , ginjal,
tulang dan otak (American Cancer Society, 2012).

Gambar 4.20. Patofisiologi Ca cervix(American Cancer Society, 2012)


1. Penegakan Diagnosis
Diagnosis kanker serviks dapat ditegakan dengan cara pengenalan gejala dan
tanda, pengenalan faktor-faktor risiko dan metode deteksi dini.
a. Gejala dan tanda
1) Pada awal penyakit umumnya tanpa gejala.
2) Keputihan, keputihan berbau busuk dari vagina. Umumnya cairan vagina seperti
cairan cucian daging.
3) Contact bleeding
4) Nyeri daerah panggul infiltrasi tumor pada syaraf atau adanya radang panggul.
5) Adanya perdarahan campur air seni atau lewat anus, dapat terjadi pada keadaan
tumor telah menginfiltrasi kandung kemih atau ektum
b. Metode deteksi dini
1) Sitologi konvensional (Paps smear)/ tes PAP
Pemeriksaan diawali dengan evaluasi visual untuk mengamati adanya
servisitis, leukorea, polip, ulkus dan sebagainya secara inspekulo. Kemudian pap

smear sampel diambil dengan menggunakan spatula Ayre,

kemudian apusan

sampel difiksasi dengan etanol selama 30 menit (Jeronimo, et al., 2005).


Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker serviks secara
akurat dan dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Akibatnya angka kematian
akibat kanker serviks pun menurun sampai lebih dari 50%. Setiap wanita yang
telah aktif secara seksual atau usianya telah mencapai 18 tahun, sebaiknya
menjalani Pap smear secara teratur yaitu 1 kali/tahun.Jikaselama 3 kali berturutturut menunjukkan hasil yang normal, Pap smear bias dilakukan 1 kali/2-3 tahun
(Jeronimo, et al., 2005).
Hasilpemeriksaan Pap smear menunjukkan stadium darikankerserviks:
a) Normal.
b) Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas).
c) Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas).
d) Karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar).
e) Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih dalam
atau ke organ tubuh lainnya).
2) Inspeksi visual dengan asam asetat/ IVA
Prosedur screening

dengan inspeksi visual asam asetat memiliki banyak

kelebihan, yaitu sebagai berikut:


a)

Inspeksi visual serviks dengan menggunakan asam asetat atau cairan Lugol
untuk mewarnai lesi prekanker sehingga lesi tersebut dapat dilihat dengan
mata telanjang, sehingga identifikasi prekanker dapat dilakukan secara klinis.

b)

Prosedur tersebut mengurangi kebutuhan adanya laboratorium dan transportasi


specimen, sehingga hanya membutuhkansedikit peralatan dan hasil tesnya
dapat diketahui secara cepat oleh pasien.

c)

Hampir semua petugas pelayanan kesehatan (dokter, perawat dan bidan


professional) bisa melakukan prosedur ini secara efektif, dengan syarat telah
mendapatkan pelatihan dan supervise yang adekuat.

d)

Sebagai uji screening, IVA menghasilkan hasil yang lebih akurat dalam
mengidentifikasi lesi prekanker dibandingkan sitologi serviks. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa dengan IVA, dari wanita yang berisiko tinggi
mengalami karsinoma serviks, 45-79% dia antaranya teridentifikasi adanya
lesi prekanker, namun spesifitasnya lebih rendah dan terdapat risiko

overtreatment. Sedangkan tingkat sensitivitas pemeriksaaan sitologi sebesar


47-62%.2,4
Namun sama seperti pemeriksaan sitologi, salah satu kekurangan
pemeriksaan IVA adalah bahwa hasilnya sangat bergantung pada tingkat akurasi
dari interpretasi individu. Oleh karena itu, pelatihan dan system pengontrolan
kualitas merupakan hal yang sangat penting.4
IVA memiliki banyak kelebihan yang signifikan dibandingkan Pap smear
untuk kondisi dengan sarana dan prasarana terbatas, terutama dari segi
peningkatan jangkauan screening, perbaikan dalam perawatan dan follow up,
serta kualitas program secara umum. Pemeriksaan IVA dengan tingkat kebutuhan
personil, pelatihan, infrastruktur, dan peralatannya yang rendah, menjadikan
sistem pelayanan kesehatan masyarakat dapat menyediakan program screening
karsinoma serviks pada tempat yang terpencil dengan peralatan terbatas sehingga
dapat meliputi cakupan area yang lebih luas. Selain itu, penyedia layanan
kesehatan dapat mendiskusikan hasil pemeriksaan IVA dengan pasien secara
langsung sehingga memungkinkan untuk melakukan screening sekaligus
pengobatan dalam satu kali kunjungan.Hal ini menjamin sistem follow up dapat
dilaksanakan langsung di tempat dan mengurangi jumlah wanita yang tidak
terobati karena mereka tidak dapat melakukan kunjungan berikutnya. 4 Pada
negara dengan sumber daya terbatas, metode IVA merupakan pilihan terbaik
untuk screening karsinoma serviks. Syarat mengikuti tes IVA adalah :2
a) Sudah pernah melakukan hubungan seksual
b) Tidak sedang datang bulan/haid
c) Tidak sedang hamil
d) 24 jam sebelumnya tidak melakukan hubungan seksual
Klasifikasi IVA berdasarkan temuan klinis (SEE AND TRET,2007)
a) Hasil tes Positif : ditemukan Plak putih yang tebal atau epitel acetowhite,
biasanya dekat SCJ
b) Hasil Tes Negatif : Ditemukan pertemuan polos dan halus, berwarna merah
jambu: ectropion, polyp,cervicitis, inflammantion, Nabothian cysts
c) Kanker : ditemukan secara klinis massa mirip kembang kol atau bisul
Orang-Orang yang dirujuk untuk kelanjutan Tes IVA bila Ditemukan:
a) Diduga Kanker Cervix
b) Lesi > 75%

c) Lesi > 2 mm melebihi cryoprobe


d) Lesi meluas sampai dinding vagina
e) Hamil (> 20 minggu)
Pelaksanaan IVA
a) Ruangan tertutup, karena pasien diperiksa dengan posisi litotomi.
b) Meja/tempat tidur periksa yang memungkinkan pasien berada pada posisi
litotomi.
c) Terdapat sumber cahaya untuk melihat serviks
d) Spekulum vagina.
e) Asam asetat (3-5%)
f) Swab-lidi berkapas
g) Sarung tangan
h) Teknik Pengambilan Sampel
Dengan spekulum melihat serviks yang dipulas dengan asam asetat 35%. Pada lesi prakanker akan menampilkan warna bercak putih yang disebut
aceto white epithelum Dengan tampilnya porsio dan bercak putih dapat
disimpulkan bahwa tes IVA positif, sebagai tindak lanjut dapat dilakukan
biopsi. Andaikata penemuan tes IVA positif oleh bidan, maka di beberapa
negara bidan tersebut dapat langsung melakukan terapi dengan cryosergury.
Hal ini tentu mengandung kelemahan-kelemahan dalam menyingkirkan lesi
invasif.
Kategori pemeriksaan IVA
a) IVA negatif = Serviks normal.
b) IVA radang = Serviks dengan radang (servisitis), atau kelainan jinak lainnya
(polip serviks).
c) IVA positif = ditemukan bercak putih (aceto white epithelium)

Gambar 4.21. Hasil Pemeriksaan IVA


Untuk mensukseskan pendeteksian dini Ca. Cervix ini sudah seharusnya
setiap orang ikut berpartisipasi dalam pensosialisasian pelaksanaan program IVA
srining test ini, dengan harapan setiap wanita mewaspadai akan kesehatan diri
sendiri. Mencegah adalah tidakan bijaksana untuk kelaksungan hidup sehat, ini
lebih baik daripada mengobati.
3) Uji HPV DNA
Tes HPV DNA dapat mendeteksi adanya tipe virus HPV penyebab kanker
pada sel serviks atau vagina yang mengindikasikan apakah wanita tersebut baru
terinfeksi. Sebagian besar infeksi HPV dapat sembuh secara spontan dan tidak
mengarah ke karsinoma serviks, hal yang banyak terjadi pada wanita remaja dan
berumur 20 tahun. Namun apabila virus HPV penyebab kanker ditemukan pada
wanita berusia 30 tahun, terdapat kemungkinan virus tersebut menetap dalam
tubuh dan wanita tersebut berisiko tinggi untuk menderita karsinoma serviks, baik
pada saat virus HPV dideteksi atau di masa mendatang.

Gambar 4.22. Prosedur Uji HPV-DNA


Walaupun sangat efektif, uji HPV yang selama ini digunakan tidak didesain
untuk digunakan pada kondisi dengan sumber daya yang rendah. Uji HPV hanya
digunakan secara terbatas di negara berpenghasilan perkapita rendah, karena
membutuhkan infrastuktur laboratorium, teknisi yang terlatih, dan fasilitas
penyimpanan. yang biasanya ditemukan hanya di daerah perkotaan dengan
sumber daya yang memadai. Selain itu, prosedur uji HPV membutuhkan waktu
sekitar 4,5 jam, yang artinya hasil interpretasinya tidak akan langsung dapat
diterima pasien dalam sekali kunjungan.
Kelebihannya, uji HPV memberikan profil hasil tes yang lebih reprodusibel
bagi wanita yang berisiko tinggi menderita lesi kanker atau prekanker. Apabila
digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan IVA, ujia HPV DNA memberikan
hasil yang sangat menjanjikan.
Suatu uji HPV yang sederhana, akurat, cepat, terjangkau dan dapat diterima
secara luas akan berpotensi besar untuk mengurangi karsinoma serviks di negaranegara berkembang dan akan lebih hemat biaya pada kondisi dengan sumber daya
terbatas. Suatu asosiasi yang dinamakan Program for Appropriate Technology in
Health (PATH) telah meluncurkan suatu proyek yang diberi nama Screening
Techologies to Advance Rapid Testing for Cervical Cancer Prevention Project
(START Project), yang bertujuan untuk memajukan strategi pencegahan
karsinoma serviks di negara-negara dengan sumber daya terbatas, dengan cara
memfasilitasi pengembangan dan validasi format uji biokimia yang tepat,
terjangkau, dan efektif untuk mendeteksi CIN dan karsinoma serviks tahap awal
dengan deteksi HPV tipe onkogenik.
3) Spekuloskopi

4) Cervicography
5) Downstaging
Down staging yaitu skrining kanker serviks dengan cara melakukan inspekulo,
melihat serviks dengan mata telanjang.
6) Tes Schiller
Serviks diolesi dengan lauran yodium, sel yang sehat warnanya akan berubah
menjadi coklat, sedangkan sel yang abnormal warnanya menjadi putih atau
kuning.
2. Pencegahan
Karena pada umumnya kanker serviks berkembang dari sebuah kondisi prakanker, maka tindakan pencegahan terpenting harus segera dilakukan.
a. Pencegahan Primer
- Menghindari faktor-faktor risiko yang sudah diuraikan di atas. Misalnya: Tidak
berhubungan seksual dengan lebih dari satu pasangan, penggunaan kondom
(untuk mencegah penularan infkesi HPV), tidak merokok, selalu menjaga
kebersihan, menjalani pola hidup sehat, melindungi tubuh dari paparan bahan
kimia (untuk mencegah faktor-faktor lain yang memperkuat munculnya penyakit
kanker ini).
- Vaksinasi
Vaksin merupakan cara terbaik dan langkah perlindungan paling aman bagi
wanita dari infeksi HPV tipe 16 dan 18. Vaksin akan meningkatkan kemampuan
system kekebalan tubuh untuk mengenali dan menghancurkan virus ketika masuk
kedalam

tubuh,

sebelumterjadiinfeksi.

Vaksin

dibuat

dengan

teknologi

rekombinan, vaksin berisi VLP (virus like protein) yang merupakan hasil cloning
dari L1 (viral capsid gene) yang mempunyai sifat imunogenik kuat. Dalam hal ini
dikembangkan 2 jenis vaksin:
- Vaksin pencegahan untuk memicu kekebalan tubuh humoral agar dapat
terlindung dari infeksi HPV.
- Vaksin Pengobatan untuk menstimulasi kekebalan tubuh seluler agar sel yang
terinfeksi HPV dapat dimusnahkan.
Respon imun yang benar pada infeksi HPV memiliki karakteristik yang kuat,
bersifat lokal dan selalu dihubungkan dengan pengurangan lesi dan bersifat
melindungi terhadap infeksi HPV genotif yang sama . Dalam hal ini, antibodi

humoral sangat berperan besar dan antibodi ini adalah suatu virus neutralising
antibodi yang bisa mencegah infeksi HPV dalam percobaan invitro maupun
invivo. Kadar serum neutralising hanya setelah fase seroconversion dan kemudian
menurun.
Kadar yang rendah ini berhubungan dengan infeksi dari virus. HPV yang
bersifat intraepitelial dan tidak adanya fase keberadaan virus di darah pada infeksi
ini. Selanjutnya protein L1 diekspresikan selama infeksi produktif dari virus HPV
dan partikel virus tersebut akan terkumpul pada permukaan sel epitel tanpa ada
proses kerusakan sel dan proses radang dan tidak terdeteksi oleh antigen
presenting cell dan makropag. Oleh karena itu partikel virus dan kapsidnya
terdapat dalam kadar yang rendah pada kelenjar limfe dan limpa, di mana kedua
organ tersebut adalah organ yang sangat berperan dalam proses kekebalan tubuh.
Meskipun dalam kadar yang rendah, antibodi tersebut bersifat protektif terhadap
infeksi virus HPV.
Terdapat dua jenis vaksin HPV L1 VLP yang sudah dipasarkan melalui uji
klinis, yakni Cervarik dan Gardasil :
- Cervarix
Adalah jenis vaksin bivalen HPV 16/18 L1 VLP vaksin yang diproduksi
oleh Glaxo Smith Kline Biological, Rixensart, Belgium. Pada preparat ini,
Protein L1 dari HPV diekspresikan oleh recombinant baculovirus vector dan
VLP dari kedua tipe ini diproduksi dan kemudian dikombinasikan sehingga
menghasilkan suatu vaksin yang sangat merangsang sistem imun . Preparat ini
diberikan secara intramuskuler dalam tiga kali pemberian yaitu pada bulan ke
0, kemudian diteruskan bulan ke 1 dan ke 6 masing-masing 0,5 ml.
- Gardasil
Adalah vaksin quadrivalent 40 g protein HPV 11 L1 HPV
( GARDASIL yang diproduksi oleh Merck) Protein L1 dari VLP HPV tipe
6/11/16/18 diekspresikan lewat suatu rekombinant vektor Saccharomyces
cerevisiae (yeast). Tiap 0,5 cc mengandung 20g protein HPV 6 L1, 40
gprotein HPV 11 L1, 20 g protein HPV18 L1. Tiap 0,5 ml mengandung 225
amorph aluminium hidroksiphosphatase sulfat. Formula tersebut juga
mengandung sodium borat. Vaksin ini tidak mengandung timerasol dan
antibiotika. Vaksin ini seharusnya disimpan pada suhu 20 80 C.

Yang sebaiknya dimiliki oleh vaksin HPV pencegah kanker serviks adalah
1) Memberikan perlindungan yang adekuat terhadap infeksi HPV penyebab
kanker serviks.
- Melawan virus tersering dan agresif penyebab kanker
- Memberikan perlindungan tambahan dari tipe virus HPVlain yang juga
menyebabkan kanker.
2) Respon imun tubuh yang baik akan menghasilkan neutralizing antibodies yang
tinggi.
3) Dapat memberikan perlindungan yang jangka panjang.
4) Memberikan perlindungan tinggi hingga ke lokasi infeksi (serviks).
5) Profil keamanan yang baik
6) Affordable (Terjangkau lebih banyak perempuan).
Rekomendasi pemberian vaksin
Vaksin profilaksis akan bekerja efisien bila vaksin tersebut diberikan sebelum
individu terpapar infeksi HPV. Vaksin mulai dapat diberikan pada wanita usia 10
tahun. Berdasarkan pustaka vaksin dapt diberikan pada wanita usia 10-26 tahun
(rekomendasi FDA-US), penelitian memperlihatkan vaksin dapat diberikan sampai
usia 55 tahun
Dosis dan cara pemberian vaksin:
Vaksin ini diberikan intramuskuler 0,5 cc diulang tiga kali, produk Cervarix
diberikan bulan ke 0,1 dan 6 sedangkan Gardasil bulan ke 0, 2 dan 6 (Dianjurkan
pemberian tidak melebihi waktu 1 tahun). Pemberian booster (vaksin ulangan),
respon antibodi pada pemberian vaksin sampai 42 bulan, untuk menilai efektifitas
vaksin diperlukan deteksi respon antibodi. Bila respon antibodi rendah dan tidak
mempunyai efek penangkalan maka diperlukan pemberian Booster. Vaksin dikocok
terlebih dahulu sebelum dipakai dan diberikan secara muskuler sebanyak 0,5 dan
sebaiknya disuntikkan pada lengan (otot deltoid)
Contoh :
1. Penyuntikan 1 : Januari
2. Penyuntikan 2 : Februari / Maret
3. Penyuntikan 3 : Juli
b.

Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder kanker serviks dilakukan dengan deteksi dini dan skrining
kanker serviks yang bertujuan untuk menemukan kasus-kasus kanker serviks secara

dini sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan. Perkembangan kanker


serviks memerlukan waktu yang lama. Dari prainvasif ke invasive memerlukan waktu
sekitar 10 tahun atau lebih. Pemeriksaan sitologi merupakan metode sederhana dan
sensitif untuk mendeteksi karsinoma prakanker. Bila diobati dengan baik, karsinoma
prakanker mempunyai tingkat penyembuhan mendekati 100%. Diagnosa kasus pada
fase invasif hanya memiliki tingkat ketahanan sekitar 35%. Program skrining dengan
pemeriksaan sitologi dikenal dengan Pap mear test dan telah dilakukan di Negaranegara maju. Pencegahan dengan pap smear terbuki mampu menurunkan tingkat
kematian akibat kanker serviks 50-60% dalam kurun waktu 20 tahun (WHO,1986).
3. Penatalaksanaan
Terapi karsinoma serviks dilakukan bilamana diagnosis telah dipastikan secara
histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup
melakukan rehabilitasi dan pengamatan lanjutan (tim kanker / tim onkologi)
(Wiknjosastro, 1997). Tindakan pengobatan atau terapi sangat bergantung pada stadium
kanker serviks saat didiagnosis. Dikenal beberapa tindakan (modalitas) dalam tata
laksana kanker serviks antara lain:
a. Terapi Lesi Prakanker Serviks
Penatalaksanaan lesi prakanker serviks yng pada umunya tergolong NIS
(Neoplasia

Intraepital

Serviks)

dapat

dilakukan

dengan

observasi

saja,

medikamentosa, terapi destruksi dan terapi eksisi.


Tindakan observasi dilakukan pada tes Pap dengan hasil HPV, atipia, NIS 1
yang termasuk dalam lesi intraepitelial skuamosa derajad rendah (LISDR). Terapi
nis dengan destruksi dapat dilakukan pada LISDR dan LISDT (Lesi intraeoitelial
serviks derajat tinggi). Demikian juga terapi eksisi dapat ditujukan untuk LISDR dan
LISDT. Perbedaan antara terapi destruksi dan terapi eksisi adalah pada terapi
destruksi tidak mengangkat lesi tetapi pada terapi eksisi ada spesimen lesi yang
diangkat.

Tabel 9. Klasifikasi lesi prakanker serviks dan penanganannya

b. Terapi NIS dengan destruksi lokal


Tujuannya metode ini untuk memusnahkan daerah-daerah terpilih yang
mengandung epitel abnormal yang nkelak akan digantikan dengan epitel
skuamosa yang baru.
Krioterapi adalah suatu cara penyembuhan penyakit dengan cara
mendinginkan

bagian yang sakit sampai dengan suhu 0 0 C. Pada suhu

sekurang-kurangnya 250Csel-sel jaringan termasuk NIS akan mengalami


nekrosis. Sebagai akibat dari pembekuan sel-sel tersebut, terjadi perubahan
tingkat seluller dan vaskular, yaitu: 1. sel-sel mengalami dehidrasi dan
mengkerut; 2.konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu; 3. Syok termal dan
denaturasi kompleks lipid protein; dan 4. Status umum sistem mikrovaskular.
Pada saat ini hampir semua alat menggunakan N20.
Elektrokauter memungkinkan

untuk pemusnahan jaringan dengan

kedalaman 2-3mm. Lesi NIS 1 yang kecil di lokasi yang keseluruhannya


terlihat pada umumnya dapat disembuhkan dengan efektif.
Diatermi Elektroagulasi Radikal dapat memusnahkan jaringan lebih luas
(sampai kedalaman 1cm) dan efektif dibandingkan elektrokauter tapi harus

dilakukan dengan anestesia umum. Tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi,


dianjurkan hanya terbatas pada NIS1/2 dengan batas lesi yang dapat
ditentukan.
CO2 Laser adalah muatan listrik yang berisi campuran gas helium,
nitrogen dan gas CO2 yang menimbulkan sinar laser dengan gelombang 10,6
u. Perbedaan patologis dapat dibedakan dalam 2 bagian, yaitu penguapan dan
nekrosis.
c. Terapi NIS dengan eksisi
Konisasi (cone biopsy) adalah pembuatan sayatan berbentuk kerucut
pada serviks dan kanal serviks untuk diteliti oleh ahli patologi. Digunakan
untuk diagnosa ataupun pengobatan pra-kanker serviks

Gambar 4.23. Cone biopsi


Punch Biopsi yaitu menggunakan alat yang tajam untuk menjumput sampel
kecil jaringan serviks

Gambar 4.24. Punch biopsi

Loop electrosurgical excision procedure (LEEP): menggunakan arus listrik


yang dilewati pada kawat tipis untuk memotong jaringan abnormal kanker
serviks

Gambar 4.25. Loop electrosurgical excision procedure (LEEP):


Trakelektomi radikal (radical trachelectomy) : Dokter bedah mengambil leher
rahim, bagian dari vagina, dan kelenjar getah bening di panggul. Pilihan ini
dilakukanuntuk wanita dengan tumor kecil yang ingin mencoba untuk hamil di
kemudian hari

Gambar 4.26. Tratelektomi

Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk


mengangkat uterus dan serviks (total) ataupun salah satunya (subtotal).
Biasanya dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi FIGO).
Umur pasien sebaiknya sebelum menopause, atau bila keadaan umum baik,
dapat juga pada pasien yang berumur kurang dari 65 tahun. Pasien juga
harus bebas dari penyakit umum (resiko tinggi) seperti: penyakit jantung,
ginjal dan hepar. Ada 2 histerektomi :
a. Total Histerektomi: pengangkatan seluruh rahim dan serviks
b. Radikal Histerektomi: pengangkatan seluruh rahim dan serviks, indung
telur, tuba falopi maupun kelenjar getah bening di dekatnya

Gambar 4.27. Histerektomi


2. Terapi Kanker Serviks Invasif
a. Pembedahan
b. Radioterapi
Terapi ini menggunakan sinar ionisasi (sinar X) untuk merusak sel-sel
kanker. Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta
mematikan parametrial dan nodus limpa pada pelvik. Kanker serviks stadium
II B, III, IV diobati dengan radiasi. Metoda radioterapi disesuaikan dengan
tujuannya yaitu tujuan pengobatan kuratif atau paliatif. Pengobatan kuratif
ialah mematikan sel kanker serta sel yang telah menjalar ke sekitarnya dan
atau

bermetastasis

ke

kelenjar

getah

bening

panggul,

dengan

tetap

mempertahankan sebanyak mungkin kebutuhan jaringan sehat di sekitar


seperti rektum, vesika urinaria, usus halus, ureter. Radioterapi dengan dosis
kuratif hanya akan diberikan pada stadium I sampai III B. Bila sel kanker
sudah keluar rongga panggul, maka radioterapi hanya bersifat paliatif yang
diberikan secara selektif pada stadium IV A. Ada 2 macam radioterapi, yaitu :
1) Radiasi

eksternal

sinar

berasar

dari

sebuah

mesin

besar

Penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya dilakukan


sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu.
2) Radiasi internal : zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkan
langsung ke dalam serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu
penderita dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali
selama 1-2 minggu.
Efek samping dari terapi penyinaran adalah :
a. Iritasi rektum dan vagina
b. Kerusakan kandung kemih dan rektum
c. Ovarium berhenti berfungsi.
Biasanya, selama menjalani radioterapi penderita tidak boleh melakukan
hubungan seksual. Kadang setelah radiasi internal, vagina menjadi lebh sempit dan
kurang lentur, sehingga bisa menyebabkan nyeri ketika melakukan hubungan
seksual. Untuk mengatasi hal ini, penderita diajari untuk menggunakan dilator dan
pelumas dengan bahan dasar air. Pada radioterapi juga bisa timbul diare dan sering
berkemih.
3) Kemoterapi
Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat
melalui infus, tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan utamanya
untuk membunuh sel kanker dan menghambat perkembangannya. Tujuan
pengobatan kemoterapi tegantung pada jenis kanker dan fasenya saat
didiagnosis.

Beberapa

kanker

mempunyai

penyembuhan

yang

dapat

diperkirakan atau dapat sembuh dengan pengobatan kemoterapi.


Dalam hal lain, pengobatan mungkin hanya diberikan untuk mencegah
kanker

yang

kambuh,

ini

disebut

pengobatan

adjuvant. Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol


penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin sembuh. Jika
kanker menyebar luas dan dalam fase akhir, kemoterapi digunakan sebagai

paliatif untuk memberikan kualitas hidup yang lebih baik. Kemoterapi


kombinasi telah digunakan untuk penyakit metastase karena terapi dengan agenagen dosis tunggal belum memberikan keuntungan yang memuaskan Contoh
obat yang digunakan pada kasus kanker serviks antara lain CAP
(Cyclophopamide Adremycin Platamin), PVB (Platamin Veble Bleomycin) dan
lain lain. Cara pemberian kemoterapi dapat bsecara ditelan, disuntikkan dan
diinfus
Obat kemoterapi yang paling sering digunakan sebagai terapi awal /
bersama terapi radiasi pada stage IIA, IIB, IIIA, IIIB, and IVA adalah cisplatin,
flurouracil. Sedangkan Obat kemoterapi yang paling sering digunakan untuk
kanker

serviks

stage

IVB

recurrent

adalah

mitomycin.

pacitaxel, ifosamide.topotecan telah disetujui untuk digunakan bersama dengan


cisplastin untuk kanker serviks stage lanjut, dapat digunakan ketika operasi /
radiasi tidak dapat dilakukan atau tidak menampakkan hasil; kanker serviks
yang timbul kembali / menyebar ke organ lain.
Kemoterapi dapat digunakan sebagai :
1) Terapi utama pada kanker stadium lanjut
2) Terapi adjuvant/tambahan setelah pembedahan untuk meningkatkan hasil

pembedahan dengan menghancurkan sel kanker yang mungkin tertinggal dan


mengurangi resiko kekambuhan kanker.
3) Terapi neoadjuvan sebelum pembedahan untuk mengurangi ukuran tumor
4) Untuk

mengurangi

gejala

terkait

kanker

yang

menyebabkan

ketidaknyamanan dan memperbaiki kehidupan pasien (stadium lanjut /


kanker yang kambuh)
5) Memperpanjang masa hidup pasien (stadium lanjut / kanker yang kambuh)

Efek samping dari kemoterapi adalah :


1) Lemas
Timbulnya mendadak atau perlahan dan tidak langsung menghilang saat
beristirahat, kadang berlangsung terus sampai akhir pengobatan.
2) Mual dan muntah
Mual dan muntah berlangsung singkat atau lama. Dapat diberikan obat anti
mual sebelum, selama, dan sesudah pengobatan.
3) Gangguan pencernaan

Beberapa obat kemoterapi dapat menyebabkan diare, bahkan ada yang diare
sampai dehidrasi berat dan harus dirawat. Kadang sampai terjadi sembelit.
Bila terjadi diare : kurangi makan-makanan yang mengandung serat, buah
dan sayur. Harus minum air yang hilang untuk mengatasi kehilangan cairan.
Bila susah BAB : makan-makanan yang berserat, dan jika memungkinkan
olahraga.
4) Sariawan
5) Rambut rontok
Kerontokan rambut bersifat sementara, biasanya terjadi dua atau tiga minggu
setelah kemoterapi dimulai. Dapat juga menyebabkan rambut patah didekat
kulit kepala. Dapat terjadi seminggu setelah kemoterapi.
6) Otot dan saraf
Beberapa obat kemoterapi menyebabkan kesemutan dan mati rasa pada jari
tangan dan kaki. Serta kelemahan pada otot kaki.
7) Efek pada darah
Beberapa jenis obat kemoterapi ada yang berpengaruh pada kerja sumsum
tulang yang merupakan pabrik pembuat sel darah merah, sehingga jumlah sel
darah merah menurun. Yang paling sering adalah penurunan sel darah putih
(leukosit). Penurunan sel darah terjadi setiap kemoterapi, dan test darah
biasanya dilakukan sebelum kemoterapi berikutnya untuk memastikan
jumlah sel darah telah kembali normal. Penurunan jumlah sel darah dapat
menyebabkan:
c. Mudah terkena infeksi
Hal ini disebabkan oleh penurunan leukosit, karena leukosit adalah sel
darah yang memberikan perlindungan infeksi. Ada juga beberapa obat
kemoterapi yang menyebabkan peningkatkan leukosit.
d. Perdarahan
Keping darah (trombosit) berperan pada proses pembekuan darah, apabila
jumlah trombosit rendah dapat menyebabkan pendarahan, ruam, dan bercak
merah pada kulit.
e. Anemia
Anemia adalah penurunan sel darah merah yang ditandai dengan penurunan
Hb (Hemoglobin). Karena Hb letaknya didalam sel darah merah. Penurunan
sel darah merah dapat menyebabkan lemah, mudah lelah, tampak pucat.

1) Kulit menjadi kering dan berubah warna


2) Lebih sensitive terhadap sinar matahari.
3) Kuku tumbuh lebih lambat dan terdapat garis putih melintang
c. Terapi paliatif (supportive care) yang lebih difokuskan pada peningkatan
kualitas hidup pasien. Contohnya: Makan makanan yang mengandung nutrisi,
pengontrol sakit

(pain

control). Manajemen Nyeri KankerBerdasarkan

kekuatan obat anti nyeri kanker, dikenal 3 tingkatan obat, yaitu :


- Nyeri ringan (VAS 1-4) : obat yang dianjurkan antara lain Asetaminofen,
OAINS (Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid)
- Nyeri sedang (VAS 5-6) : obat kelompok pertama ditambah kelompok
opioid ringan seperti kodein dan tramadol
- Nyeri berat (VAS 7-10) : obat yang dianjurkan adalah kelompok opioid kuat
seperti morfin dan fentanil
4. Prognosis
Faktor-faktor yang menentukan prognosis adalah :
a. Umurpenderita
b. Keadaanumum
c. Tingkat klinikkeganasan
d. Sitopatologisel tumor
e. Kemampuan ahli atau tim ahli yang menanganinya
f.Sarana pengobatan yang ada
Tabel 9. Prognosis kanker serviks
Stadium

Penyebaran kanker serviks

% Harapan Hidup 5
Tahun
100

Karsinoma insitu

Terbatas pada uterus

85

II

Menyerang luar uterus tetapi meluas

60

III

ke dinding pelvis
Meluas ke dinding pelvis dan atau

33

sepertiga bawah vagina atau


IV

hidronefrosis
Menyerang mukosa kandung kemih
atau rektum atau meluas keluar pelvis
sebenarnya

Ciri-ciri karsinoma serviks yang tidak diobati atau tidak memberikan respon
terhadap pengobatan, 95 % pasien akan mengalami kematian dalam 2 tahun setelah
timbul gejala. Pasien yang menjalani histerektomi dan memiliki resiko tinggi terjadinya
rekurensi haus terus diawasi karena lewat deteksi dini dapat diobati dengan radioterapi.
Setelah histerektomi radikal, terjadi 80% rekurensi dalam 2 tahun.

BAB V
KESIMPULAN
1. Diagnosis pasien ini adalah para 4 abortus 0 usia 50 tahun dengan vaginitis dan
cervicitis.
2. Pap Smear atau tes Pap adalah suatu prosedur yang meliputi pengumpulan sel-sel
dari leher rahimwanita dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk mendeteksi
lesi kanker atau prakanker.
3. Tujuan dan manfaat pap smear diantaranya ; evaluasi sitohormonal, mendiagnosis
peradangan, identifikasi organisme penyebab peradangan, Mendiagnosis kelainan
prakanker (displasia) leher rahim dan kanker leher rahim dini atau lanjut
(karsinoma/invasif).Memantau hasil terapi
4. Tes Pap Smear diindikasikan untuk skrining lesi kanker dan lesi prakanker dari
serviks.
5. Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di
daerah squamocolumnar junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa
kanalis servikalis.

DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society. 2012. Cervical Cancer. At lanta. American Cancer Society.
Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika,
2005.
Calderone, R.A., and Fonzi, W.A. (2001). Virulence factors of Candida albicans. Trends in
Microbiology, 9(7): 327-35.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Skrining Kanker Leher Rahim dengan
Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA)
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Skrining Kanker Leher Rahim dengan
Metode Pap Smear.
Elit, L., W. Jimenez, J. Mc Alpine, P. Ghatage, D. Miller, and M. Plante. 2011. SOGC-GOCSCC Joint Policy Statement: Cervical Cancer Prevention in Low Resource Setting.
Journal of Obstetrician and Gynaecologists of Canada. 33 (3): 272-279.
Foxman B, Muraglia R, Dietz JP, Sobel JD, Wagner J. Prevalence of recurrent vulvovaginal
candidiasis in 5 European countries and the United States: results from an internet
panel survey. J Low Genit Tract Dis. Jul 2013;17(3):340-5.
Gerald L, Mandell. Principles and Practice of Infectious Disease Seventh Edition. Elsevier.
2010.
Gizelka, DW., Davis A., Pereira E., & Shirazian T. 2014. Assessing Patient Understanding of
the ACOG Abnormal Pap Smear Pamphplet: A Randomized Controlled Trial. Journal
of Women Health Care, 3(2):1-3
Jena, A., Bharathi T., Siva KR., Manilal B., Rashm P., & Phaneendra BV. 2012. Papanicolaou
(Pap) Test Screening of Staff Members of a Tertiary Care Teaching Hospital in South
India. Journal of Clinical Sciences & Research, 1:174-7
Jeronimo, J., O. Morales, J. Horna, J. Pariona, J. Manrique, J. Rubinos and R. Takahashi.
2005. Visual Inspection with Acetic Acid for Cervical Cancer Screening Outside of
Low-Resource Setting. Rev PanamSaludPublica. 17 (1): 1-5.
Hay RJ, Moore MK. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths, editors. Rooks
textbook of dermatology. 7th ed. Massachusets: Blackwell Publishing; 2004; p.
31.60-75.
Huppert JS. Trichomoniasis in teens: an update. Curr Opin Obstet Gynecol. Oct
2009;21(5):371-8
Karjane NW, Chelmow D. Pap Smear. Medscape Medical News; 2012.
(http://emedicine.medscape.com/article/1947979-overview#showall
diakses
23
September 2014).
Kemenkes, 2011. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual. Jakarta: Dirjen
PPL

Kim, S., Dong-Soo S., Ki-Hyung K., Man-Soo Y., & Kyung-Un C. 2013. Clinicopathological
Significance of Atypical Glandular Cells on Pap Smear. Obstetrics & Gynecology
Science, 56(2): 76-83
Lestadi, Julisar. 2009. Sitologi Pap Smear : Alat Pencegahan & Deteksi Dini Kanker Leher
Rahim. Jakarta : EGC.
Massad, LS., Mark HE., Warner KH., Hormuzd AK., Walter KK., Mark S., Diane S., Nicolas
W., & Herschel WL. 2013. 2012 Updated Consensus Guidlines for the Management
Abnormal Cervical Cancer Screening Tests and Cancer Precursors. Journal of Lower
Genital Tract Disease, 17(5): S1-7
Marrazzo, Jean M. et al. 2006. Risk Factors for Cervicitis among Women with Bacterial
Vaginosis. The Journal of Infectious Diseases; 193: 61724.
Marrazzo, Jean M. et al. 2007. Management of Women with Cervicitis. Clinical Infectious
Diseases; 44: S10210.
Noviana, H. 2012. Human Papillomavirus dan Kanker Serviks. Cermin Dunia Kedokteran,
39(1): 65-6
Parija, Subash C., 2004. Textbook of Medical Parasitology: Protozoology and Helminthology.
2nd ed. Intestinal, Oral and Genital Flagellates. India: All India Publishers and
Distributors, 73 78.
Peterman TA, Tian LH, Metcalf CA, et al. High incidence of new sexually transmitted
infections in the year following a sexually transmitted infection: a case for
rescreening. Ann Intern Med. Oct 17 2006;145(8):564-72
Patel, MM., Amrish NP. & Jigna M. 2011. Cervical Pap Smear Study and Its Utility in Cancer
Screening, to Specify the Strategy for Cervical Cancer Control. National Journal of
Community Medicine, 2(1): 49-51
Patel, Vikram et al. 2005. Why do women complain of vaginal discharge? A population
survey of infectious and pyschosocial risk factors in a South Asian community.
International Journal of Epidemiology; 34: 853862
Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohadjo.
Prayitno, A., Ruben D., Istar Y., & Ambar M. 2005. Ekspresi Protein p53, Rb, dan c-myc
pada Kanker Serviks Uteri dengan Pengecatan Immunohistokimia. Biodiversitas, 6(3):
157-9
Randall, M. E., Michael, H., Ver Morken, J., & Stehman, F. Uterine cervix. Hoskins, W. J.,
Perez, C. A., & Young, R. C., et al. (Eds.). (2005). Principles and Practice of
Gynecologic Oncology. (4th Edition). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 22:
pp. 743-822.

Rasjidi, I. 2009. Epidemiologi Kanker Serviks. Indonesian Journal of Cancer, 3(3): 103-8
Ries LA, Melbert D, Krapcho M, Stinchcomb DG, Howlander N, Horner MJ, et al.
2009. SEER cancer statistics review. Bethesda (MD): National Cancer Institute.
RJ Kurman. 1994. Blausteins Pathology of the Female Genital Tract / Fourth Edition. Ed.
Springer-Verlag, New York.
Romadhoni, Noor Y., & Dian A. 2012. Penyerapan Pengetahuan Tentang Kanker Serviks
Sebelum dan Sesudah Penyuluhan. Jurnal Kedokteran Muhammadiyah, 1(1): 38-42
Srivastava, S., Sadhana G., & Jagat KR. 2012. High Prevalence of Oncogenic HPV-16 in
Cervical Smears of Asymptomatic Women of Eastern Uttar Pradesh, India: A
Population-based Study. Journal of Biosciences, 37(1):63-72
Swygard, A. C. Sena, M.M. Hobbs. Trichomoniasis: clinical manifestations, diagnosis and
management. Sex Transm Infect. 2004. 80: 91-95.
Szumigala JA, Alveredo R. Vulvovaginitis. In: Ferri. Ferri's Clinical Advisor 2009. Mosby;
Elsevier; 2009:155, 1008-1012.
Workowshi KA, Berman SM. Sexually Transmitted Diseases Treatment guidelines 2006. US
Department of Health and Human Services. Centers For Disease Control and
Prevention (CDC). Morbidity and MortalityWeekly Report; 2006. 55 : p. 54-6.
World Health Organization. Global Prevalence and Incidence of Selected Curable Sexually
Transmitted Infections: Overviews and Estimates. WHO/HIV_AIDS/2001.02.
Geneva: World Health Organization. 2001
World Health Organization. 2013. Comprehensive Cervical Cancer Prevention and Control:
a Healthier Future for Girls and Women

You might also like