You are on page 1of 10

FAKTOR INTERNAL YANG BERPENGARUH TERHADAP KESEMBUHAN

PENDERITA TB PARU BTA (+) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS CUKIR


KABUPATEN JOMBANG

Ivan Choirul Wiza, Yoyon Arif Martino, Noer Aini


Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang
Email : evan_rckholic@yahoo.com
ABSTRAK

Pendahuluan : Tuberkulosis Paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh


mycobacterium tuberculosis. Penyakit tuberkulosis merupakan masalah kesehatan di
seluruh dunia. Jumlah penderita TB Paru BTA (+) di Puskesmas Cukir Kabupaten
Jombang tinggi disertai dengan angka kesembuhan yang tinggi. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh faktor internal terhadap kesembuhan penderita TB Paru
BTA (+) di wilayah kerja PKM Cukir Kabupaten Jombang.
Metode: Penelitian analitik observasional , desain retrospective pada penderita TB
Paru BTA (+) di Puskesmas Cukir Kabupaten Jombang (45 penderita). Cara
pengambilan data dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari kartu
pengobatan TB (TB-01) di Puskemas. Analisa data meliputi analisa bivariat ( uji chi
square) dan multivariat ( uji regresi logistik).
Hasil : Hasil bivariat menunjukkan faktor yang berpengaruh terhadap kesembuhan TB
Paru BTA (+) yaitu keteraturan berobat (p=0,000; or 190) dan kepatuhan memeriksakan
dahak ulang (p=0,000) sedangkan faktor yang tidak berpengaruh adalah usia
( p=0,411), jenis kelamin (p=0,239 ; or=2,875) dan status gizi (p=0,197 ; or= 3,4).
Hasil analisa multivariat menunjukkan bahwa faktor resiko yang paling berpengaruh
terhadap kesembuhan adalah keteraturan berobat (p=0,037 ; or=190).
Kesimpulan : Faktor- faktor internal yang berpengaruh terhadap kesembuhan
tuberkulosis Paru BTA (+) di wilayah kerja Puskesmas cukir adalah keteraturan berobat
dan kepatuhan memeriksakan dahak. Sedangkan faktor umur, jenis kelamin dan status
gizi tidak berpengaruh. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kesembuhan penderita
tuberkulosis Paru BTA (+) di wilayah kerja Puskesmas cukir adalah keteraturan berobat.
Kata Kunci : Faktor internal, Kesembuhan penderita TB Paru BTA (+), TB Paru BTA
(+)

INTERNAL FACTORS AFFECTING PATIENT WITH PULMONARY TB BTA (+)


CURE RATE AT CUKIR JOMBANG PUBLIC HEALTH SERVICE WORK AREA
1

Ivan Choirul Wiza, Yoyon Arif Martino, Noer Aini


Medical Faculty Malang Islamic University
Email : evan_rckholic@yahoo.com
ABSTRACT
Introduction : Tuberculosis is an infectious disease caused by Mycobacterium
tuberculosis. Tuberculosis is a worldwide health problem. Number of patients with TB
BTA (+) in Jombang Cukir public health service is high accompanied by a high cure
rate. This study aims to investigate the influence of internal factors to cure rate of TB
BTA (+) in the region of PKM Cukir Jombang.
Method
: The study was analytic observational, with retrospective design in 45
pulmonary TB BTA (+) patients at the Cukir Jombang public health service. Data
acquiaition was using secondary data based on TB treatment card (TB-01) in the Public
Health Service. Data Analysis were using bivariate (chi-square test) and multivariate
(logistic regression) analysis.
Result
: The results of bivariate factors that affect the cure rate of TB BTA (+)
was the regularity of treatment (p = 0.000; or 190) and repeated sputum examined
adherence (p = 0.000), while no effect factors were age (p = 0.411), gender (p = 0.239;
or = 2.875) and nutritional status (p = 0.197; or = 3.4). The results of multivariate
analysis showed that the risk factors that most influence on the cure rate was the
regularity of treatment (p = 0.037; or = 190).
Conclusion : The regularity of treatment was the most influence on the tuberculosis
BTA (+) healing on Cukir Public Health Service
Keywords : Internal factors, TB BTA (+) cure rate , TB BTA (+)

PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB Paru) masih
merupakan masalah kesehatan di seluruh
dunia. WHO 2011 ( World Health
Organization ) menyatakan bahwa sekitar 8,6
milyar penduduk dunia telah terinfeksi TB
Paru dan diperkirakan 1,3 milyar orang
meninggal karena penyakit ini. Jumlah kasus
TB Paru di dunia mencapai 7.053.684
penderita.26 Jumlah kasus TB di daerah Asia
1.993.614 penderita dengan 1.065.852
penderita merupakan penderita dengan BTA
(+).24 Jumlah penderita TB Paru di Indonesia
mencapai 331.424 dan 202.319 diantaranya
merupakan kasus dengan BTA (+).24 Data di
provinsi Jawa Timur pada tahun 2012
didapatkan angka insidensi TB Paru BTA (+)
sebanyak 25.618 kasus.8
Kabupaten Jombang terdiri dari 21
kecamatan, diantara kecamatan tersebut
Puskesmas Cukir menduduki peringkat
pertama angka penderita TB Paru BTA (+)
dan didapatkan bahwa jumlah penderita BTA
(+) meningkat setiap tahunnya, meskipun
insidensi TB Paru BTA (+) di di wilayah
kerja PKM Cukir tertinggi namun angka
kesembuhan penderita mencapai 97,78 % . 7,
19,23

Pada penelitian yang dilakukan oleh


Rizkiani tahun 2006 dilaporkan bahwa angka
kesembuhan TB Paru BTA (+) terkait dengan
karakteristik penderita diantaranya umur dan
jenis kelamin.22
Faktor kesembuhan pada TB Paru
BTA (+) dipengaruhi oleh status gizi,
keteraturan
berobat
dan
kepatuhan
memeriksakan ulang dahak. 15,16,21
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
faktor
internal yang
berpengaruh terhadap kesembuhan penderita
TB Paru BTA (+) di wilayah kerja PKM
Cukir Kabupaten Jombang.

METODE PENELITIAN
Penelitian analitik observasional pada
penderita TB Paru BTA (+) di Puskesmas
Cukir Kabupaten Jombang. Menggunakan
rancangan restrospective dengan jumlah
responden sebanyak 45 penderita.
Penelitian dilakukan di Puskesmas
Cukir Kecamatan Cukir Kabupaten Jombang.
Waktu penelitian diperkirakan berlangsung
selama satu bulan dan direncanakan
pelaksanaannya berlangsung pada bulan

Februari 2015. Penentuan responden dalam


penelitian ini dilakukan dengan teknik total
sampling yaitu teknik pengambilan sampel
sejumlah responden yang sesuai kriteria
inklusi dan eksklusi. Dengan demikian
jumlah total sampel pada penelitian ini
sebanyak 45 penderita.
Cara pengambilan data sampel
dengan menggunakan data berupa rekam
medis yang berasal dari kartu pengobatan TB
(TB-01) di Puskemas Cukir. Sampel pada
penelitian ini adalah penderita TB Paru BTA
(+) yang tercatat di Puskesmas Cukir pada
tahun 2013, dengan kriteria inklusi dan
esklusi sebagai berikut.:
Kriteria inklusi
1; Penderita TB Paru BTA (+) yang telah
sembuh.
2; Penderita yang tercatat di Puskesmas
Cukir tahun 2013.
3; Bersedia untuk menjadi responden
penelitian
Kriteria eksklusi
1; Penderita TB Paru BTA (+) kambuh
2; Penderita yang menolak untuk menjadi
responden
3; Penderita tidak tercatat sebagai penderita
di Puskesmas Cukir pada tahun 2013.
Penelitian ini telah mendapatkan ethical
cleareance dengan nomor 157 / EC / KEPK/
02 / 2015 dari Komisi Etik Penelitian
Kesehatan Universitas Brawijaya.
Data yang telah terkumpul kemudian
dianalisis
dengan
menghitung
nilai
kemaknaan dan nilai Odds Ratio (OR).
Prosedur analisis yang digunakan antara lain :
bivariat (Chi-Square) dan multivariat
(Regresi Logistik ganda).1,17
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Populasi
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa
karakteristik jenis kelamin didominasi oleh
laki-laki dengan jumlah penderita sebanyak
25 (55%), dibandingkan dengan jumlah
penderita perempuan sebanyak 20 orang (45
%). Karakteristik umur didominasi oleh usia
produktif yaitu penderita berusia 15 sampai
55 tahun sebanyak 41 orang (91%),
sedangkan 9% adalah penderita lansia (4
orang). Pada karakteristik tipe penderita, 97
% merupakan penderita baru (44 orang)

sedangkan penderita lama atau gagal


sebanyak 1 orang (3%). Pada karakteristik
hasil pengobatan sebagian besar merupakan
penderita yang sembuh yaitu sebanyak 36
penderita (82%). Sedangkan 3 penderita
menjalani pengobatan lengkap (6%), 4
penderita ( 8%) pindah pengobatan dan 1
penderita dinyatakan meninggal (2%).

Dibawah ini adalah tabel


histogram
hubungan usia dengan kesembuhan penderita
TB Paru BTA (+). Usia produktif adalah usia
15-55 tahun, sedangkan usia lansia >55 th

Tabel 5.1. Karakteristik Responden


Karakteristik

Jenis kelamin
Umur
Tipe penderita
Hasil
pengobatan

Variasi
Kelompok

Jumlah
Penderita

laki-laki
perempuan
produktif
lansia
baru
Gagal/lama
sembuh
lengkap
gagal
pindah
meninggal

25
20
41
4
44
1
36
3
1
4
1

55
45
91
9
97
3
80
6
2
8
2

Hubungan
Antara
Usia
Dengan
Kesembuhan Penderita Tuberkulosis Paru
BTA (+)
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa proporsi
dari kelompok usia produktif sejumlah 35
orang (77,8 %) dinyatakan sembuh
sedangkan pada kelompok lansia didapatkan
4 orang (8%). Hasil analisis menggunakan uji
chi-square didapatkan nilai p= 0,411
(p>0,05), berarti tidak ada hubungan yang
signifikan antara usia dengan kesembuhan
penderita TB Paru BTA (+).
Tabel 5. 2. Hubungan antara usia dengan
kesembuhan penderita TB Paru BTA (+).
Sembuh

Tidak

Usia
n

Produktif

35

51,1 6

Lansia

8,9

Total

39

86,7 6

%
13,3
0
13,3

0,411

OR
(CI 95 %)

Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan


Kesembuhan Penderita TB Paru BTA (+)
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa proporsi
pada jenis kelamin laki-laki yang dinyatakan
sembuh 23 penderita (51,1%) sedangkan
pada jenis kelamin perempuan didapatkan 16
orang (35,6%). Dari hasil analisis uji chisquare didapatkan nilai p=0,239 (p>0,05),
sehingga tidak ada hubungan yang signifikan
antara jenis kelamin dengan kesembuhan
penderita TB Paru BTA (+). Pada variabel
jenis kelamin diperoleh nilai OR=2,875
dengan CI 95%
0,469-17,626. Hal ini
menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki
pada penderita TB Paru BTA (+) mempunyai
resiko sembuh 2,875
kali lebih besar
dibandingkan dengan penderita TB Paru BTA
(+) jenis kelamin perempuan.
Tabel 5.3. Hubungan antara jenis kelamin
dengan dengan kesembuhan penderita
tuberkulosis Paru BTA (+)
Sembuh

Tidak

Jenis kelamin
n

OR
(CI 95 %)

Laki-laki
Perempuan
Total

23

51,1 2

4,4

16

35,6 4

8,9

39

86,7 6

13,3

0,239

2,875

Hubungan Antara Keteraturan Berobat


Dengan Kesembuhan Penderita TB Paru
BTA (+)

Dibawah ini adalah tabel histogram hubungan


jenis kelamin dengan kesembuhan penderita
TB Paru BTA (+)
Hubungan Antara Status Gizi Dengan
Kesembuhan Penderita TB Paru BTA (+)
Pada penelitian ini
yang dimaksud
dengan status gizi normal apabila nilai IMT
18.5-25, sedangkan gizi kurus apabila nilai
IMT < 18.5.9 Tabel 5.4 menunjukkan bahwa
proporsi pada kelompok gizi normal
didapatkan 34 penderita (75,6%) dinyatakan
sembuh sedangkan 11,6 % merupakan
penderita gizi kurus (5 orang). Tidak ada
hubungan yang signifikan antara status gizi
dengan kesembuhan penderita TB Paru BTA
(+) berdasarkan uji chi-square dengan nilai
p=0,197 (p>0,05). Sedangkan status gizi
normal bagi penderita TB Paru BTA (+)
mempunyai resiko sembuh 3,4 kali lebih
besar dibandingkan dengan penderita TB
Paru BTA (+) status gizi kurus berdasarkan
nilai OR=3,400 dengan CI 95% 0,48923,562.
Tabel 5.4. Hubungan antara status gizi
dengan kesembuhan penderita TB Paru BTA
(+)
Sembuh

Tidak

Gizi
n

Normal

34

75,6

4,4

Kurus

11,1

8,9

29

100

29

13,3

Total

Dibawah ini tabel histogram hubungan antara


status gizi dengan kesembuhan penderita
Tuberkulosis Paru BTA (+)

OR
(CI 95 %)

0,197

3,4

Yang dimaksud dengan keteraturan berobat


pada penelitian ini adalah keteraturan
penderita TB Paru BTA (+) yang datang
berobat ke PKM Cukir sesuai jadwal dan
teratur dalam minum obat. Tabel 5.5
menunjukkan bahwa 97 % kelompok yang
berobat secara teratur dinyatakan sembuh
sedangkan pada kelompok yang tidak teratur
berobat
sebanyak.
Hasil
analisis
menggunakan uji chi-square didapatkan nilai
p=0,000 (p<0,05), berarti ada hubungan yang
signifikan antara keteraturan berobat dengan
kesembuhan penderita TB Paru BTA (+).
Pada variabel keteraturan berobat diperoleh
nilai OR=190 dengan CI 95% 10,2023538,481. Hal ini berarti keteraturan berobat
bagi penderita TB Paru BTA (+) mempunyai
resiko sembuh 190 kali lebih besar
dibandingkan dengan penderitaTB Paru BTA
(+) yang tidak teratur berobat.
Tabel 5.5. Hubungan antara keteraturan
berobat dengan kesembuhan penderita TB
Paru BTA (+)
Keteraturan
berobat

Teratur
Tidak teratur
Total

Sembuh

Tidak

38

84,4

2,2

1 2,2
39

86,7

5 11,1
6

OR
(CI 95 %)

0,411

190

13,3

dibawah
ini adalah tabel
histogram
hubungan keteraturan berobat responden
dengan kesembuhan penderita TB Paru BTA
(+)

Hubungan Antara Kepatuhan Periksa


Dahak Dengan Kesembuhan Penderita
TB Paru BTA (+)
Yang dimaksud dengan kepatuhan untuk
periksa dahak yaitu perilaku penderita
memeriksakan dahaknya pada satu bulan
sebelum akhir pengobatan dan pada akhir

pengobatan. Tabel 5.6 menunjukkan bahwa


86,7% dinyatakan sembuh pada kelompok
yang patuh dalam memeriksakan dahaknya,
sedangkan pada kelompok yang tidak patuh
didapatkan
8.9%.
Hasil
analisis
menggunakan uji chi-square didapatkan nilai
p=0,000 (p<0,05), berarti ada hubungan
antara kepatuhan memeriksakan dahak
dengan kesembuhan penderita TB Paru BTA
(+).

keteraturan
berobat
memeriksakan dahak.

Tabel 5.6. Hubungan antara kepatuhan


memeriksa dahak dengan kesembuhan
penderita TB Paru BTA (+)

Hasil uji regresi logistik ganda dan OR dapat


dilihat pada Tabel 5.8. Pada tahap pertama.
terdapat 3 variabel yang dikeluarkan umur,
jenis kelamin dan status gizi. Pada tahap
kedua,
variabel
keteraturan
berobat
merupakan variabel yang paling berpengaruh
terhadap kesembuhan penderita TB Paru BTA
(+)
dengan
nilai
kemaknaan
p=0,037(p<0,05). Nilai OR terbesar yang
diperoleh yaitu OR=190 dan CI 95% berarti
keteraturan minum obat mempunyai resiko
sembuh 190 lebih besar dibandingkan dengan
penderita penderita TB Paru BTA (+) yang
tidak teratur berobat.

Sembuh

Tidak

Kepatuhan
Periksa
dahak

Patuh

39

86,7

4,4

Tidak patuh
Total

0 0,0
39

86,7

8,9
6

OR
(CI 95 %)

0,000

13,3

dan

kepatuhan

Tabel 5.7. Uji Regresi Logistik untuk Seleksi


Faktor Resiko yang Diteliti
Variabel

Keteraturan berobat

0,000

Kepatuhan memeriksakan dahak

0,000

Tabel 5.8. Faktor Internal yang paling


berpengaruh terhadap kesembuhan penderita
TB Paru BTA (+)
Dibawah
ini adalah tabel histogram
hubungan kepatuhan memeriksakan dahak
dengan kesembuhan penderita TB Paru BTA
(+)

Tahap Uji

Pertama
Faktor Internal yang Paling Berpengaruh
terhadap Kesembuhan Penderita TB Paru
BTA (+)
Hasil uji chi-square didadapatkan bahwa
keteraturan berobat dan kepatuhan periksa
dahak merupakan faktor internal yang
berpengaruh secara signifikan terhadap
kesembuhan penderita TB Paru BTA (+).
Untuk mengetahui faktor internal manakah
yang
paling
berpengaruh
terhadap
kesembuhan penderita TB Paru BTA (+)
dilakukan analisa multivariat (uji regresi
logistik). Berikut ini adalah langkah dalam
melakukan analisis multivariat. Faktor resiko
atau variabel yang diteliti diseleksi terlebih
dahulu menggunakan metode enter dalam uji
regresi logistik sederhana. Jika memiliki nilai
p<0,25 maka layak untuk dilakukan analisis
multivariat. Pada Tabel 5.5 menunjukkan
bahwa terdapat 2 variabel yang layak untuk
dilakukan
analisis
multivariat
yaitu:

Kedua

Variabel

OR
(CI 95 %)

Keteraturan
berobat

0,000

190

Kepatuhan
memeriksakan
dahak
Keteraturan
berobat
Kepatuhan
memeriksakan
dahak

0,000
0,037

190

0,999

PEMBAHASAN
Hubungan
Antara
Usia
Dengan
Kesembuhan Penderita TB Paru BTA (+)
Hasil uji statistik didapatkan usia tidak
memiliki hubungan yang signifikan dengan
kesembuhan penderita TB Paru BTA (+) di
Puskesmas Cukir. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan Kurniawan (2015)
yang menyatakan bahwa kesembuhan
penderita TB Paru BTA (+) tidak berkorelasi
dengan usia tetapi dipengaruhi oleh status

gizi penderita,.tubuh dapat melawan infeksi


apabila status gizinya cukup.14 Namun hal ini
tidak sesuai dengan penelitian Widarto (2007)
yang menyatakan bahwa usia berpengaruh
signifikan terhadap kesembuhan, hal ini
disebabkan pada penderita TB Paru BTA (+)
usia tua lebih patuh berobat dan mempunyai
keinginan kuat untuk sembuh 25
Hubungan
Jenis
Kelamin
Dengan
Kesembuhan Penderita TB Paru BTA (+)
Jenis kelamin secara statistik tidak
memiliki hubungan signifikan terhadap
kesembuhan penderita TB Paru BTA(+) di
Puskesmas Cukir. Hal ini diduga karena
aktivitas pekerjaan di luar rumah antara lakilaki dan perempuan relatif sama, sehingga
kemungkinan
untuk
terkena
paparan
m.tuberculosa relatif sama yang sama antara
perempuan dan laki-laki. Hal ini didukung
dengan data responden yang sebagian besar
responden wanita adalah bekerja di luar
rumah. Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan penelitian Rosidah (2008) yang
menyatakan jenis kelamin berhubungan
dengan kesembuhan penderita TB Paru, hal
ini diduga kesadaran berobat pada wanita
lebih baik daripada pria.27
Pada penelitian ini responden lakilaki memiliki resiko sembuh 2,8 kali lebih
besar dibandingkan dengan responden
perempuan. Hal ini diduga seorang
perempuan lebih sering mendapat hambatan
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
(keterbatasan informasi, transportasi dan
ketergantungan finasial)
sehingga
menyebabkan penderita TB Paru pada
perempuan lebih rendah dibandingkan lakilaki (Puspasari, 2014). Hasil penelitian ini
berbeda dengan penelitian Rizkiani (2006)
bahwa penderita perempuan
lebih
berpeluang 1,3 kali untuk sembuh
dibandingkan dengan laki-laki, hal ini diduga
karena tingkat kesadaran berobat pada wanita
lebih baik daripada pria.22
Hubungan
Status
Gizi
Dengan
Kesembuhan Penderita TB Paru BTA (+)
Status gizi secara statistik tidak
memiliki hubungan signifikan dengan
kesembuhan penderita TB Paru BTA (+) di
Puskesmas Cukir. Pada penelitian ini, status
gizi tidak berpengaruh terhadap kesembuhan
penderita disebabkan karena peneliti hanya
mengukur IMT, tidak menghitung asupan gizi

dan pola makan penderita selama masa


pengobatan serta pemeriksaan klinis, diduga
hal tersebut merupakan faktor yang
menyebabkan status gizi tidak berhubungan
dengan kesembuhan penderita TB Paru BTA
(+) di Puskesmas Cukir.27 Hal ini sesuai
dengan penelitian Yohana (2004) yang
menyatakan bahwa konsumsi gizi penderita
selama masa pengobatan merupakan salah
satu faktor yang berpengaruh terhadap
kesembuhan.25 Pengukuran status gizi pada
orang dewasa meliputi 2 macam yaitu
penilaian secara langsung dan tidak langsung.
Penilaian gizi secara langsung dibagi menjadi
empat penilaian, yaitu antropometri (TB/U,
BB/TB, LLA/U, dan IMT), pemeriksaan
klinis,
pemeriksaan
biokimia
dan
pemeriksaan biofisik. Pengukuran secara
tidak langsung dibagi menjadi 3, yaitu survei
konsumsi makanan, statistik vital dan faktor
ekologi.22 Pada penelitian ini responden yang
memiliki status gizi normal memiliki resiko
sembuh 3,4 kali lebih besar dibandingkan
dengan responden yang memiliki status gizi
kurus. Hal tersebut diduga pada keadaan
kurang gizi seseorang akan berpengaruh
terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan
respon immunologik terhadap penyakit.
infeksi dapat mengakibatkan gangguan gizi
dengan mempengaruhi
nafsu
makan.
Asupan yang tidak adekuat menimbulkan
pemakaian
cadangan
energi
yang
berlebihan untuk memenuhi kebutuhan
fisiologis dan mengakibatkan penurunan
berat
badan
yang
memperlambat
penyembuhan tuberkulosis paru
Penelitian
Murtatningsih
(2010)
menyatakan bahwa status gizi berpengaruh
terhadap kesembuhan penderita TB Paru
BTA (+) hal ini diduga pada responden
dengan kekurangan gizi akan mempengaruhi
kekuatan, daya tahan dan repon imunologis
terhadap penyakit. Keadaan gizi yang jelek
dapat mempersulit penyembuhan dan
memudahkan kambuhnya TB yang sudah
sembuh. 16
Hubungan Antara Keteraturan Berobat
Dan Kepatuhan Pemeriksaan Dahak
Dengan Kesembuhan Penderita TB Paru
BTA (+)
Keteraturan berobat memiliki hubungan yang
signifikan dengan kesembuhan penderita TB
Paru BTA (+) di Puskesmas Cukir.
Responden yang teratur berobat memiliki
resiko sembuh
190 kali
lebih besar
dibandingkan dengan responden yang tidak

teratur berobat. Hasil penelitian ini sesuai


dengan beberapa penelitian sebelumnya.
Dikatakan bahwa keteraturan berobat
penderita TB Paru BTA (+) disebabkan oleh
keaktifan petugas PKM memberikan
penyuluhan tentang pentingnya keteraturan
berobat terhadap kesembuhan sehingga
pengetahuan dan kesadaran penderita untuk
berobat secara teratur meningkat (Rosidah,
2000; Muniroh, 2012; Saharieng, 2013).
Pengobatan TB Paru diberikan dalam 2 tahap
yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap
intensif penderita TB Paru mendapat obat
setiap hari dan diawasi langsung oleh petugas
PKM untuk mencegah terjadinya resistensi
terhadap Obat Anti tuberculosa (OAT). Pada
fase awal / intensif diperlukan kombinasi
bakterisidal
untuk
membunuh
mycobacterium tuberculosa dalam jumlah
besar dan cepat, serta pencegahan resistensi
obat RHZES. Selanjutnya pada fase lanjutan
diberikan obat yang mempunyai aktivitas
sterilisasi
(RHZ)
untuk
membunuh
m.tuberculosa yang kurang aktif atau yang
membelah secara intermiten dan mencegah
terjadinya kekambuhan. 14,16
Menurut Rizkiani (2008) penderita yang
teratur berobat akan berpeluang untuk
sembuh 9,9 kali lebih besar dibandingkan
dengan penderita yang berobat tidak teratur.
Ketidakteraturan berobat dapat disebabkan
karena lamanya waktu pengobatan sampai
hasil akhir pengobatan sehingga penderita
mengalami kebosanan. disamping itu
penderita merasa sudah sembuh sehingga
tidak meneruskan pengobatannya.22
Kepatuhan pemeriksaan dahak memiliki
hubungan signifikan dengan kesembuhan
penderita TB Paru BTA (+) di Puskesmas
Cukir. Penelitian ini sesuai dengan penelitian
Rizkiani (2000) yang menyatakan terdapat
hubungan antara kepatuhan pemeriksaan
dahak dengan kesembuhan.22 Pemantauan
kemajuan hasil pengobatan dilaksanakan
dengan pemeriksaan dahak yang dilakukan
pada akhir tahap intensif, sebulan sebelum
akhir pengobatan, dan pada akhir pengobatan.
Kepatuhan pemeriksaan dahak merupakan
indikator keberhasilan pengobatan TB paru.
Dengan melakukan pemeriksaan dahak
secara rutin dapat diketahui hasil BTA
penderita TB setelah dilakukan terapi,
sehingga dapat dinilai keefektifan obat, serta
merencanakan dan menentukan pengobatan
yang akan dilakukan pada tahapan
selanjutnya.

Keteraturan Berobat Merupakan Faktor


yang paling berpengaruh terhadap
Kesembuhan Penderita TB Paru BTA(+)
Hasil analisis multivariat menunjukkan
bahwa keteraturan berobat merupakan faktor
yang
paling berpengaruh terhadap
kesembuhan penderita TB Paru BTA (+) di
Puskesmas Cukir Kabupaten Jombang. dan
didapatkan hasil bahwa responden yang
memiliki keteraturan berobat mempunyai
resiko 190 kali lebih besar untuk sembuh
dibandingkan dengan penderita yang tidak
teratur berobat. Pada penelitian ini diduga
keteraturan berobat penderita disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu penyuluhan TB
Paru yang dilakukan petugas PKM secara
aktif
sehingga
dapat
meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran penderita. Jarak
rumah penderita dengan PKM terjangkau
sehingga penderita dapat dengan mudah
memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan.
OAT di PKM mencukupi sehingga penderita
dapat meminum dan mengambil obat sesuai
jadwal. Dukungan keluarga yang baik
sehingga penderita minum obat secara teratur
dan tidak putus, mengingatkan penderita
untuk memeriksakan dahak ulang dahak
sesuai waktunya dan memberikan semangat
untuk sembuh.
Kesembuhan penderita TB Paru BTA (+)
memerlukan keteraturan berobat selama 6-8
bulan yang dilaksanakan dalam dua tahapan.
Tahap pertama (fase intensif) dilakukan
selama dua bulan yang bertujuan agar
mycobacterium tuberculosa menjadi tidak
aktif serta mencegah terjadinya resistensi
obat. Kemudian pada tahap kedua ( fase
lanjutan) selama 4 bulan untuk mencegah
terjadinya kekambuhan.22
Kesimpulan
Keteraturan berobat merupakan faktor
internal yang paling berpengaruh terhadap
kesembuhan penderita TB Paru BTA (+) di
PKM Cukir Kabupaten Jombang.
SARAN

1 Penelitian lebih lanjut tentang faktor


pengetahuan dan sikap perilaku penderita
dalam keteraturan berobat terhadap
kesembuhan penderita TB paru.

2 Penelitian lanjut tentang kektifan petugas

16; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,

P3M
PKM
dalam
memberikan
penyuluhan tuberkulosis dan dukungan
PMO terhadap kesembuhan penderita TB
paru.

2006. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis


dan Penatalaksanaan di Indonesia. Citra
Grafika, Jakarta
17; Profil Kesehatan Puskesmas Cukir,2014.
Data Tuberkulosis Tahun 2011-2014
18; Puspasari, N. 2014. Karakteristik pasien
tuberkulosis
yang
memperoleh
pengobatan kategori 2 di UP4 Provinsi
Kalimantan
Barat
tahun
20092012.Skripsi. Universitas Tanjungpura.
Kalimantan Barat.
19; Rizkiani, 2006. Faktor-faktor yang
berhubungan
dengan
kesembuhan
tuberkulosis Paru BTA positif tahun 2006
di Puskesmas wilayah kec Palmerah
Jakarta Barat. Skripsi. Universitas
Indonesia. Jakarta.
20; Rosidah, 2008. Beberapa faktor yang
berhubungan
dengan
keberhasilan
pengobatan TB Paru di BP4 Tegal.
Skripsi. Universitas Muhammadiyah
Semarang. Semarang.
21; Saharieng, 2013. Faktor faktor yang
berhubungan dengan status kesembuhan
tuberkulosis Paru di wilayah kerja
Puskesmas
Tamako,
Puskesmas
Manganitu dan Puskesmas Tahuna Timur
di Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Skripsi. Universitas Sam Ratulangi.
Manado.
22;Supariasa, 2002, Penilaian Status Gizi:
EGC. Jakarta
23;Widarto, 2007. Hubungan faktor
karakteristik, cara minum obat dan
kedisplinan minum obat TBC Paru
dengan tingkat keberhasilan pengobatan
TBC Paru di Puskesmas Ngembal Kulon
Kabupaten Kudus tahun 2007. Skripsi.
Universitas
Muhamadiah
semarang.
Semarang
24;WHO,2011.Global Tuberculosis Report.
WHO. 2011.
25;Yoana, 2006. Beberapa Faktor yang
Berhubungan
dengan
Kesembuhan
Pengobatan TB Paru di Kabupaten
Kudus Tahun 2004. Skripsi. Universitas
Negeri Semarang. Semarang
26;Zubaidah, 2013. Faktor
yang
Mempengaruhi Penurunan
Angka
Kesembuhan TB di Kabupaten Banjar
tahun 2013. Skripsi. Poltekes Kementrian
Kesehatan. Kalimantan
Selatan.
Kalimantan Selatan.

DAFTAR PUSTAKA
1; Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian
2;
3;
4;
5;
6;
7;
8;
9;

10;

11;
12;

13;

14;
15;

Suatu pendekatan Praktik. Jakarta:


Rineka Cipta.
Depkes RI, 2011. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta
Depkes RI, 2011. Strategi nasional
pengendalian TB di Indonesia 2010-2014.
Depkes RI
Dinkes Kabupaten Jombang, 2014. Data
tuberkulosis tahun 2011-2014.
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur,
2013. Profil Kesehatan Propinsi Jawa
Timur tahun 2012.Dinkes Jatim.
I Dewa Nyoman, 2001. Penilaian Status
Gizi. Jakarta:EGC
Kemenkes RI, 2013. Pedoman nasional
pelayanan
Kedokteran Tata laksana
Tuberkulosis. Jakarta:Depkes RI
Kemenkes RI, 2013. Profil Kesehatan
Indonesia 2012. Jakarta. Kemenkes RI.
Kemenkes
RI,
2013.
Informasi
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Kemenkes RI. Ditjen PP dan
PL
Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia
Nomor
364/
Menkes/SK/V/2009,2009,
Pedoman
Penanggulangan Tuberkulosis .Jakarta.
Linda,
2007.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi kesembuhan penderita TB
Paru. Jakarta
Muniroh, 2013. Faktor-faktor yang
Berhubungan
dengan
Kesembuhan
Penyakit
Tuberkulosis
(TBC)
di
wilayah kerja Puskesmas Mangkang
Semarang
Barat. Skripsi Universitas
Muhammadiyah. Semarang.
Murtatningsih, 2010. Faktor-faktor yang
Berhubungan
dengan
Kesembuhan
Tuberkulosis Paru. Semarang. Skripsi.
Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Notoadmojo, 2002.Metode Penelitian
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2002. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Citra
Grafika. Jakarta

10

You might also like