Professional Documents
Culture Documents
83
84
HASIL
Persentase
kejadian
filariasis
menurut propinsi dari data Riskesdas 2007
ditampilkan dalam tabel 1 dan label 2. Dari
hasil
wawancara terhadap
responden
diketahui bahwa dalam kurun waktu 12 bulan
Frequency
972.681
424
552
973.657
Percent
99.90
0.04
0.06
100.00
85
Jumlah
478.139
494.966
Kejadian Filariasis
Pernah
%
0.05
221
0.04
203
Tabel 4. Persentase Kejadian Filariasis menurut Kelompok Umur, Data Riskesdas 2007
Kelompok Umur
21 tahun - 35 tahun
< 21 tahun atau > 35 tahun
86
Jumlah
227.977
745.128
Kejadian Filariasis
%
Pernah
104
0.046
320
0.043
Tabel 5. Persentase Kejadian Filariasis Menurut Lama Sekolah, Data Riskesdas 2007
Lama Sekolah
>6tahun
< 6 tahun
Jumlah
313.138
452.775
Kejadian Filariasis
Pernah
128
0.04
249
0.05
memiliki pengaruh yang nyata) dengan
probabilitas terjadinya filariasis dalam 12
bulan terakhir. Jadi tidak ada perbedaan yang
nyata terhadap resiko terjadinya filariasis
dalam 12 bulan terakhir antara mereka yang
tidak bekerja yaitu yang sekolah, ibu rumah
tangga, penganggur dan yang bekerja.
Tabel 6. Persentase Kejadian Filariasis Menurut Status Bekerja/Tidak Bekerja, Data Riskesdas
2007
Kejadian Filariasis
Jumlah
Pekerjaan
Pernah
404399
0.06
Bekerja
232
362657
0.04
Tidak bekerja
147
Kejadian filariasis dengan klasifikasi
daerah tempat tinggal sangat erat kaitannya
sehingga dapat dikatagorikan daerah endemis
dan daerah non endemis filariasis. Dari Tabel
7, terlihat bahwa yang tinggal di perkotaan
sebasar 0.03% pernah terkena filariasis dan
tinggal di pedesaan yang pernah terkena
filariasis sebesar 0.05%. Secara statistik
variabel klasifikasi daerah tempat tinggal
memiliki
hubungan
yang
signifikan
(memiliki pengaruh yang nyata), dengan
probabilitas terjadinya filariasis dalam 12
Tabel 7. Persentase Kejadian Filariasis Menurut Klasifikasi Daerah Tempat Tinggal, Data
Riskesdas 2007
Kejadian Filariasis
Klasifikasi Daerah
jumian
Tempat Tinggal
Pernah
%
353463
0.03
Perkotaan
90
Pedesaan
619642
334
0.05
87
Tabel 8. Persentase Kejadian Filariasis Menurut Pemakaian Kelambu. Data Riskesdas 2007
Kejadian Filariasis
Pemakaian Kelambu
Jumlah
Pernah
Pakai
319088
148
0.05
Tidak Pakai
646244
269
0.04
Dari Tabel 9, kejadian filariasis
dengan ada-tidaknya pencemaran sumber air
(air limbah) ternyata masing-masing sebesar
0.04%, baik yang pernah terkena filariasis
maupun yang tidak pernah filariasis. Secara
statistik variabel pencemaran sumber air
tidak memiliki hubungan yang signifikan
Tabel 9. Persentase Kejadian Filariasis menurut Pencemaran Sumber Air (air limbah),
Data Riskesdas 2007
Kejadian Filariasis
i ciitciiicuaji Mimuci oti
Tidak ada
Ada limbah
juuiioii
~
Pernah
753.488
215.921
330
92
0.04
0.04
Tabel 10. Persentase Kejadian Filariasis menurut Genangan Air Limbah, Data Riskesdas 2007
Kejadian Filariasis
Lokasi Genangan Air
Jumlah
limbah
Pernah
%
186
0.045
409.140
Terdapat Genangan
228
0.041
549.827
Tidak Ada Genangan
Kejadian filariasis dengan kondisi
saluran pembuangan air limbah, secara
statistik variabei saiuran pembuangan air
limbah memiliki hubungan yang signifikan
dengan probabilitas terjadinya filariasis
dalam 12 bulan terakhir, dimana dalam
rumah tangga yang saluran air limbahnya
terbuka memiliki risiko lebih besar untuk
terkena filariasis dibandingkan saluran yang
tertutup. Rumah tangga yang pernah terkena
filariasis
dan
mempunyai
saluran
pembuangan
air
limbah
tertutup
88
label 11. Persentase Kejadian Filariasis menurut Kondisi Saluran Pembuangan Air limbah, Data
Riskesdas 2007
Kejadian Filariasis
Saluran Pembuangan
Jumlan
Pernah
%
air limbah
235.640
71
0.03
Tertutup
340
0.05
715.305
Terbuka
Letak hewan ternak yang dipelihara
kaitannya dengan kejadian filariasis, secara
statistik variabel letak hewan ternak besar
dan sedang yang dipelihara tidak memiliki
hubungan
yang
signifikan
dengan
probabilitas terjadinya filariasis dalam 12
bulan terakhir. Dari Tabel 12, terlihat bahwa
yang pernah terkena filariasis mempunyai
Tabel 12. Persentase Kejadian Filariasis menurut Lokasi Kandang Ternak Besar yang
Dipelihara, Data Riskesdas 2007
Kejadian Filariasis
Lokasi Ternak dipelihara
Jumlah
Pernah
Luar Rumah
176.189
131
0.07
Dalam Rumah
14
21.369
0.07
PEMBAHASAN
Filariasis limfatik diidentifikasikan
sebagai penyebab kecacatan menetap dan
berjangka lama, terbesar kedua di dunia
setelah kecacatan mental. Penyakit yang
bersifat menahun (kronis) dan bila tidak
mendapat pengobatan akan menimbulkan
cacat menetap berupa pembesaran kaki,
lengan dan alat kelamin baik perempuan
maupun laki-laki. Penyakit ini terutama
ditemukan di daerah katulistiwa dan
merupakan masalah kesehatan di daerah
dataran rendah, tetapi kadang - kadang
ditemukan di dataran tinggi (Sandjaya,2007).
Kejadian
filariasis
dari
hasil
Riskesdas tahun 2007, menunjukkan bahwa
dari 33 propinsi, Propinsi Papua Barat
persentase responden yang menyatakan
pernah terkena filariasis sebesar 0, 28%,
Daerah Istimewa Aceh (D.I. Aceh) sebesar
0,25 %. Propinsi yang tidak ada kejadian
filariasis dalam kurun waktu 12 bulan
terakhir adalah Daerah Istimewa Yogjakarta
(D.I.Y). Di Indonesia dilaporkan 22 propinsi
telah
terinfeksi
filarisis
diperkirakan
sebanyak 150 juta orang, dan tertinggi
ditemukan di Papua (WHO, 2001). Di daerah
endemik risiko terkena filariasis > 10 - 50%
89
90
daerah
transmigrasi
rentan
terhadap
penularan filariasis yang ditularkan oleh
nyamuk A nopheles sp.
Pemakaian kelambu merupakan
salah satu cara pencegahan terhadap penyakit
tular vektor termasuk filariasis, yaitu untuk
memutus rantai penularan (menghindarkan
kontak antara manusia dengan nyamuk
vektor). Temyata secara statistik variabel
pemakaian kelambu tidak memiiiki hubungan
yang
signifikan
dengan probabilitas
terjadinya filariasis dalam 12 bulan terakhir.
Jadi secara statistik tidak ada perbedaan yang
nyata terhadap risiko terjadinya filariasis
dalam 12 bulan terakhir antara mereka yang
semalam tidur memakai kelambu dan yang
tidak memakai kelambu. Ha! tersebut
mungkin disebabkan oleh karena cara
pemakaian kelambu yang kurang benar atau
kelambu yang digunakan sudah tidak layak
pakai (robek, sudah usang dan berlubang )
sehingga nyamuk masih dapat kontak dengan
manusia. Menurut laporan, Juriastuti P,
(2010) pemakaian kelambu ada kaitanya
dengan perilaku dari masyarakat sendiri.
Keadaan
lingkungan
sangat
berpengaruh terhadap transmisi filariasis.
Biasanya daerah endemis B. malayi adalah
daerah hutan rawa, sepanjang sungai atau
badan air yang lain dengan tanaman air.
Sedangkan daerah endemis W. brancofti tipe
perkotaan (urban) adalah daerah-daerah
perkotaan yang kumuh, padat penduduknya
dan banyak genangan air kotor sebagai
habitat vektor penular yaitu nyamuk Culex
quinquefaciatus.H&\
ini sesuai dengan
penelitian Febrianto B, (2010)
SARAN
Perlu dilakukan pemutusan rantai
penularan terhadap penyakit filariasis
baik di perkotaan maupun pedesaan
kebersihan
dengan
memperhatikan
lingkungan, mencegah adanya genangan
air yang potensial menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk di sekitar
pemukiman.
Perlu adanya penyuluhan tentang
penyakit filariasis terutama di pedesaan
mengenai gejala, cara pengobatan,
pencegahan serta pemakaian kelambu
yang baik dan benar pada penduduk yang
berisiko.
KESIMPULAN
1. Perbedaan
lokasi
tempat tinggal
responden
(di
pedesaan
dengan
perkotaan) dan saluran pembuangan air
limbah rumah tangga yang terbuka,
hubungan/
pengaruh
mempunyai
signifikan terhadap kejadian filariasis
dalam 12 bulan terakhir.
2. Responden yang tinggal di pedesaan
mempunyai resiko terhadap kejadian
filariasis lebih besar (2,4 kali) dibanding
dengan responden yang tinggal di
perkotaan.
3. Responden yang mempunyai saluran
pembuangan air limbah rumah tangga
yang terbuka mempunyai resiko lebih
besar terhadap kejadian filariasis (2,6
DAFTAR PUSTAKA
Baroji dick. (1999). Beberapa Aspek Bionomik Vektor
Filariasis Anopheles flaviroslris Ludlowdi
Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timut,
NTT. Buletin Penelitian Kesehatan Vol. 26.
No. l.h.36-46.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2005).
Ditjen PP&PL, Pedoman pengobatan massal
filariasis. h.1-3.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (2006).
Ditjen PP&PL. Pedoman Program Elimenasi
Filariassis di Indonesia .h.1-10.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006)
Ditjen PP&PL. Epidemiologi Filariasis h,l-6.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008).
Ditjen PP&PL, Subdit Filariasis Dan
Schistosomiasis. Situasi Filariasis Di
Indonesia Tahun 2007 dan Rencana Kegiatan
Tahun 2008.
91
92