You are on page 1of 9

Acid Hydrolysis Pretreatment of Bagasse-Lignocellulosic Material for

Bioethanol Production
Orchidea Rachmaniah, Andi Krishnanta W., and Dedy Ricardo
Department of Chemical Engineering, FTI ITS Surabaya, Telp. 031-5946240, Fax. 031-5999282
Kampus ITS Keputih, Sukolilo, Surabaya 60111, Indonesia. Email: orchideaceae@yahoo.com

Abstract
The use of lignocellulosic biomass residues as a feedstock offers good prespectives for large scale production of fuel
ethanol at competitive costs. Many physio-chemical structural and compositional factors hinder the digestibility of
cellulose present in lignocellulosic biomass. The goal of any pretreatment technology is to alter or remove structural
and compositional impediments to hydrolysis in order to improve the rate of hydrolysis and increase yields of
fermentable sugars from cellulose or hemicellulose. Furthermore, pretreatment processing conditions must be
tailored to the specific chemical and structural composition of the various, and variable, sources of lignocellulosic
biomass. This paper objectives are to study the effect of acid concentrations (H2SO4) and acid-hydrolysis time on the
yield of glucose. Decreasing of inhibitor coumpounds (formic acid and phenol monomer coumpound) were also
investigated by two different types of detoxification methode. It was found that with the use of higher acid
concentration, higher glucose yield could be reached. 59,1378% by weight of glucose yield was obtained by 0,75
w/w sulfuric acid concentration within 45 minutes of hydrolysis time. Detoxification methodes were decreased
glucose yield in the range 15-25%, formic acid in the range 25-30%, and phenol monomer in the range 20-25%.
Both of those methodes did not give any significant result on glucose, formic acid and phenol monomer decreasing
yield.
Keywords: bagasse, ethanol, detoxification, acid-hydrolysis

Pendahuluan
Produksi minyak bumi dunia diperkirakan akan
turun hingga 20 billion barrels pada tahun 2050.
Ketersediaan sumber energi minyak yang cenderung
turun dari tahun ke tahun memicu adanya usaha-usaha
untuk mencari sumber energi alternatif yang dapat
diperbarui dan ramah lingkungan. Etanol adalah salah
satu bentuk energi alternatif yang ditawarkan.
Meningkatnya permintaan akan etanol sebagai sumber
energi mengancam keseimbangan ketersediaan bahan
baku untuk pangan, pakan, dan untuk sumber energi.
Sehingga perlu dipikirkan bahan baku yang tepat
untuk produksi etanol tanpa mengancam ketersediaan
pangan. Bagasse adalah bahan yang tepat yang dapat
digunakan untuk memproduksi etanol. Selain berharga
murah, belum banyak dimanfaatkan, bagasse
mengandung serat/lignosellulosa yang dapat pecah
menjadi gula sederhana yang akhirnya diubah menjadi
etanol melalui proses fermentasi. Untuk memecah
lignosellulosa menjadi gula sederhana yang siap
difermentasi diperlukan metode pretreatment yaitu
hidrolisa. Metode hidrolisa asam encer lebih unggul
dibandingkan metode lain dan hidrolisa secara
enzimatik. Mengingat metode ini tidak memerlukan

recycle dan proses recovery enzim. Dengan


memperhatikan kendala yang dihadapi pada proses
hidrolisis asam, terutama konsentrasi asam, suhu dan
waktu hidrolisa yang sangat menentukan terbentuknya
produk inhibitor. Untuk itu akan dilakukan penelitian
dengan mengkombinasikan proses hidrolisa asam dan
detoksifikasi/netralisasi
dari
bagasse,
dengan
mengubah konsentrasi asam dan waktu hidrolisa serta
metode detoksifikasi pada hidrolisat.
Landasan Teori
Kebutuhan energi, untuk beberapa abad ke depan,
semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan
penduduk dunia dan berkembangnya negara-negara
maju menuju negara industri. Minyak bumi, hingga
saat ini, masih merupakan sumber energi terbesar
guna memenuhi peningkatan permintaan kebutuhan
energi. Produksi minyak bumi dunia diperkirakan
akan turun hingga 20 billion barrels pada tahun 2050
(Sun and Cheng, 2002). Ketersediaan sumber energi
minyak yang cenderung turun dari tahun ke tahun
memicu adanya usaha-usaha untuk mencari sumber
energi alternatif yang dapat diperbarui dan ramah
lingkungan.

Salah satu bentuk energi alternatif yang ditawarkan


adalah etanol. Tidak seperti bahan bakar minyak,
etanol adalah energi terbarukan dengan tingkat emisi
rendah. Etanol adalah bahan bakar alternatif yang
lebih aman, serta dapat mengurangi peningkatan
penggunaan zat aditif metil tersier butil eter (MTBE).
MTBE adalah senyawa racun yang ditambahkan pada
bahan bakar minyak sehingga pembakaran akan
terjadi lebih sempurna. MTBE diketahui dapat
mencemari air tanah, oleh karena itu penggunaannya
saat ini telah dibatasi (Sun and Cheng, 2002).
Meningkatnya permintaan akan etanol sebagai sumber
energi akan meningkatkan permintaan bahan baku.
Mengingat hingga saat ini teknologi proses pembuatan
etanol yang telah mantap berbahan baku tepung
jagung (di Amerika) (Sun and Cheng, 2002) maka
dikhawatirkan akan terjadi kompetisi antara
ketersediaan bahan baku untuk pangan, pakan, dan
untuk sumber energi (Anonim, 2008; Anonim, 2007;
Sun and Cheng, 2002). Selain itu, untuk menggantikan
semua kebutuhan bahan bakar minyak dunia saat ini
diperlukan luas tanah, lahan pertanian, hutan, dll. yang
tak terbatas. Sehingga pemenuhan energi alternatif
dengan menggunakan bahan baku pangan, khususnya,
sangat mengkhawatirkan kelangsungan hidup manusia
di masa datang (Anonim, 2007). Sumber bahan baku
potensial yang ketersediaannya melimpah, berharga
murah, belum banyak dimanfaatkan dan mengandung
gula sederhana yang dapat diubah menjadi etanol
adalah bahan-bahan lignosellulosa (Anonim, 2008;
Anonim 2007; Mosier et al., 2005; Sun and Cheng,
2002).Etanol yang dihasilkan dari bahan-bahan
lignosellulosa ini merupakan bioetanol generasi kedua
(Anonim, 2008; Sun and Cheng, 2002). Bahan-bahan
lignosellulosa
ini
diantaranya:
limbah-limbah
pertanian (rumput, alang-alang, sekam padi, rice husk,
wheat straw, sisa-sisa hasil panen/crop residues,
tongkol jagung/corn stover etc.), limbah-limbah
perternakan (kotoran hewan), limbah-limbah industri
(hasil samping industri fermentasi/silage, molasses,
bagasse, potongan-potongan kayu/wood chips, sisasisa produk pengalengan makanan/agri-food wastes
etc.), kertas bekas, kardus bekas, koran bekas dll.
(Anonim, 2008; Anonim 2007; Campo et al., 2006;
Iranmahboob et al., 2002; Lavarack et al., 2002; Sun
and Cheng, 2002).
Bagasse hasil samping proses pembuatan gula tebu
(sugarcane) mengandung residu berupa serat, minimal
50% serat bagasse diperlukan sebagai bahan bakar
boiler sedangkan 50% sisanya hanya ditimbun sebagai
buangan yang memiliki nilai ekonomi rendah
(Lavarack et al., 2002). Penimbunan bagasse dalam
kurun waktu tertentu akan menimbulkan permasalahan
bagi pabrik. Mengingat bahan ini berpotensi mudah
terbakar, mengotori lingkungan sekitar, dan menyita
lahan yang cukup luas untuk penyimpanannya
(Lavarack et al., 2002). Oleh karena itu, alangkah
baiknya jika bagasse ini dimanfaatkan sebagai salah
satu bahan pembentuk etanol mengingat serat-serat

bagasse umumnya mengandung lignosellulosa


(Lavarack et al., 2002).
Pembuatan bahan-bahan lignosellulosa hingga
menjadi etanol melalui empat proses utama:
pretreatment/hidrolisa, fermentasi, dan terakhir adalah
pemisahan serta pemurnian produk etanol (Mosier et
al., 2005). Bahan-bahan lignosellulosa umumnya
terdiri dari sellulosa, hemisellulosa dan lignin.
Sellulosa secara alami diikat oleh hemisellulosa dan
dilindungi oleh lignin. Adanya senyawa pengikat
lignin inilah yang menyebabkan bahan-bahan
lignosellulosa sulit untuk dihidrolisa (Iranmahboob et
al., 2002). Oleh sebab itu, proses pretreatment dan
hidrolisa merupakan tahapan proses yang sangat
penting yang dapat mempengaruhi perolehan yield
etanol. Proses pretreatment dilakukan untuk
mengkondisikan bahan-bahan lignosellulosa baik dari
segi struktur dan ukuran. Proses ini adakalanya
dilaksanakan bersama-sama dengan proses hidrolisa.
Sebagaimana bagan pada Gambar 1, proses
pretreatment yang sekaligus proses hidrolisa meliputi:
perlakuan secara fisik, fisik-kimiawi, kimiawi dan
enzimatik (Mosier et al., 2005; Sun and Cheng, 2002).
Proses ini bertujuan memecah ikatan lignin,
menghilangkan kandungan lignin dan hemisellulosa,
merusak struktur krital dari sellulosa serta
meningkatkan porositas bahan (Sun and Cheng, 2002).
Rusaknya
struktur
kristal
sellulosa
akan
mempermudah terurainya sellulosa menjadi glukosa.
Selain itu, hemisellulosa turut terurai menjadi
senyawa gula sederhana: glukosa, galaktosa, manosa,
heksosa, pentosa, xilosa dan arabinosa. Selanjutnya
senyawa-senyawa gula sederhana tersebut yang akan
difermentasi oleh mikroorganisme menghasilkan
etanol (Mosier et al., 2005).
Walaupun terdapat berbagai macam metode
hidrolisa untuk bahan-bahan lignosellulosa, hidrolisa
asam dan hidrolisa enzimatik merupakan dua metode
utama yang banyak digunakan khususnya untuk
bahan-bahan lignosellulosa dari limbah pertanian dan
potongan-potongan kayu (Mussantto dan Roberto,
2004). Hidrolisa sellulosa secara enzimatik memberi
yield etanol sedilkit lebih tinggi dibandingkan metode
hidrolisa asam (Palmqvist dan Hahn-Hgerdal, 2000).
Namun proses enzimatik tersebut merupakan proses
yang paling mahal. Proses recycle dan recovery enzim
sellulose diperlukan untuk menekan tingginya biaya
produksi (Iranmahboob et al., 2002; Szczodrak dan
Fiedurek, 1996). Selain itu, proses hidrolisa enzimatik
memerlukan pretreatment bahan baku agar struktur
sellulosa siap untuk dihirolisa oleh enzim (Palmqvist
dan Hahn-Hgerdal, 2000). Mengingat kerumitan
proses hidrolisa enzimatik sebagaimana tersebut di
atas, hidrolisa enzimatik dengan enzim sellulose
mempengaruhi 43,7% biaya total produksi (Szczodrak
dan Fiedurek, 1996).
Hemisellulosa mudah dihidrolisa menggunakan
asam konsentrasi rendah (encer) pada kondisi reaksi
moderat, akan tetapi diperlukan kondisi yang lebih

ekstrim untuk dapat menghidrolisa sellulosa.


Keuntungan utama hidrolisa dengan asam encer
adalah, tidak diperlukannya recovery asam, dan tidak
adanya kehilangan asam dalam proses (Iranmahboob
et al., 2002). Umumnya asam yang digunakan adalah
H2SO4 atau HCl (Mussatto dan Roberto, 2004) pada
range konsentrasi 2-5% (Iranmahboob et al., 2002;
Sun dan Cheng, 2002), dan suhu reaksi 160oC.
Konsentrasi asam dan suhu reaksi merupakan variabel
penting yang dapat mempengaruhi terbentuknya
senyawa-senyawa yang bersifat racun pada proses
fermentasi. Diperlukan suhu moderat (<160oC) untuk
dapat menghidrolisa hemisellulosa dan menekan
dekomposisi gula sedrehana. Suhu yang lebih tinggi
akan mempermudah dekomposisi gula sederhana dan
senyawa lignin (Mussatto dan Roberto, 2004). Pada
suhu dan tekanan tinggi, glukosa dan xylosa akan
terdegradasi
menjadi
furfural
dan
hidroksimetilfurfural.
Jika
furfural
dan
hidroksimetilfurfural terdekomposisi lanjut, akan
didapat asam levulinat dan asam formiat (Mussatto
dan Roberto, 2004; Palmqvist dan Hahn-Hgerdal,
2000). Degradasi senyawa lignin akan menghasilkan
senyawa-senyawa fenol yang sangat berbahaya bagi
mikroorganisme khususnya bagi membran dan matrik
enzim dalam sel (Palmqvist dan Hahn-Hgerdal,
2000). Oleh karena itu, hidrolisat hasil hidrolisis asam
harus
dinetralisasi
terlebih
dahulu
untuk
meminimalisasi produk inhibitor dan untuk
mengkondisikan hidrolisat supaya siap digunakan
pada proses selanjutnya (Mussatto dan Roberto,
2004). Mengingat hidrolisa asam encer efektif untuk
menghidrolisis
hemisellulosa
tanpa
proses
pretreatment terlebih dahulu, proses ini masih tetap
digunakan (Iranmahboob et al., 2002). Untuk
meminimalisasi terbentuknya produk inhibitor dari
degradasi gula-gula sederhana dan degradasi lignin
diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap parameterparameter proses hidrolisa asam serta proses
detoksifikasi (Mussatto dan Roberto, 2004;
Iranmahboob et al., 2002; Palmqvist dan HahnHgerdal, 2000; Szczodrak dan Fiedurek, 1996).
Parameter konsentrasi asam, suhu dan waktu hidrolisa
merupakan parameter yang sangat krusial pada proses
hidrolisa selain metode detoksifikasi yang tepat

sehingga dapat meminimalkan produk inhibitor yang


pada akhirnya meningkatkan yield etanol di akhir
proses fermentasi (Campo et al., 2006; Mussatto dan
Roberto, 2004; Lavarack et al., 2002).
Metodologi
Penelitian ini secara garis besar dilakukan dalam
dua tahap: tahap pretreatment dan hidrolisa asam yang
dilanjutkan dengan tahap detoksifikasi. Tahap
pretreatment dan hidrolisa asam: bagasse dikeringkan
terlebih dahulu pada suhu 105oC selama 16 jam
selanjutnya disimpan dalam desikator untuk
mempertahankan level moisture (Lavarack et al.,
2002). Bagasse yang telah mencapai level moisture
yang diinginkan selanjutnya diperkecil ukurannya
hingga 120 mesh (Iranmahboob et al., 2002).
Selanjutnya dilakukan hidrolisa dengan ditambahkan
H2SO4 (0,25, 0,5 dan 0,75 w/w) pada 155oC, 10 bar
dan berbagai waktu hidrolisa (5, 15, 30, dan 45
menit). Tahap berikutnya adalah netralisasi
/detoksifikasi, yaitu dengan menambahkan kombinasi
Ca(OH)2 dan H2SO4 hingga pH hidrolisat mencapai
5,5 (Mussatto dan Roberto, 2004) atau hanya dengan
menambahkan NaOH 1 N hingga pH hidrolisat
mencapai 5,5 (Iranmahboob et al., 2002). Penelitian
ini menggunakan 5 g bagasse dengan solid/liquid ratio
0,05 w/w. Tahapan penelitian dapat dilihat lebih jelas
pada Gambar 1.
Analisa bahan baku bagasse dilakukan untuk
mengetahui kandungan awal hemisellulosa, sellulosa
dan lignin. Analisa lignin dilakukan dengan metode
klason, dan analisa selulosa dan hemiselulosa
dilakukan dengan metode TAPPI tentative (1931).
Sedangkan kandungan glukosa diketahui dengan
analisa menggunakan refraktometer, dan kandungan
asam formiat dan senyawa phenol monomer
menggunakan GC. GC tipe HP 5890 digunakan untuk
analisa asam formiat dan phenol monomer dengan
kolom OV1 (Fused Silica), 25 m x 0,30 mm x 0,22
m, detektor FID, gas Nitrogen sebagai carrier dengan
laju alir 30 cm3/sec. Suhu injektor dan detektor diset
pada 200oC dan 300oC sedangkan oven diatur pada
100oC selama 3 menit hingga mencapai 125oC dengan
kenaikan
suhu
5oC/min.

Pretratment
Pengeringan (105oC, 16 jam)
Pengecilan ukuran (120 mesh)

Hidrolisa asam
5 g, solid /liquid ratio = 0,05 w/w, 155oC, 10 bar
- konsentrasi H2SO4 (0,25, 0,5 dan 0,75 w/w)
- Waktu hidrolisa (5, 15, 30 dan 45 min)
filtrasi
Hidrolisat
analisa glukosa, as. Formiat, dan
phenol monomer

detoksifikasi
+ Ca(OH)2 hingga pH = 10
+ H2SO4 hingga pH = 5,5

Hidrolisat
analisa glukosa, as. Formiat,
phenol monomer

+ NaOH 1 N hingga pH = 5,5

Hidrolisat
analisa glukosa, as. Formiat,
phenol monomer

Gambar 1. Diagram alir penelitian

Hasil dan Pembahasan


Proses pretreatment dan hidrolisa diperlukan untuk
bahan baku lignosellulosa, mengingat bahan
lignosellulose mengandung hemisellulosa, sellulosa
dan lignin. Ketiga komponen tersebut saling terikat
kuat akibat dari struktur amorphous dan ikatan 1,4-
pada sellulosa serta adanya lignin diantara rantai
sellulosa (Mosier et al., 2005). Proses hidrolisa
bertujuan untuk memecah ikatan dan menghilangkan
kandungan lignin dan hemisellulosa serta merusak
struktur kristal sellulosa menjadi senyawa gula
sederhana (Sun dan Cheng, 2002). Sun dan Cheng
(2002) melakukan proses pretreatment dan hidrolisa
terhadap bahan baku bagasse berukuran 80 mesh
dalam penelitiannya. Ukuran bahan baku akan
mempengaruhi
porositas
sehingga
dapat
memaksimalkan kontak antara bahan dengan asam
untuk meningkatkan hidrolisis hemisellulosa (Sun dan
Cheng, 2002). Semakin kecil ukuran bagasse yang
digunakan akan mempermudah terdegradasinya lignin
sehingga sellulosa dan hemisellulosa akan terhidrolisa
secara optimal. Penelitian ini menggunakan bagasse
berukuran 120 mesh.
Hasil analisa terhadap bahan baku bagasse yang
digunakan menunjukkan bahwa bahan baku tersebut
mengandung lignin 18,54%-berat, hemiselulosa

28,65%-berat dan selulosa 52,81%-berat. Komposisi


tersebut menunjukkan bahwa bagasse cukup
berpotensi sebagai bahan baku dalam pembuatan
glukosa. Kandungan selulosa dan hemiselulosa yang
tinggi pada bahan baku dapat menghasilkan glukosa
dengan kandungan yang tinggi, sedangkan kandungan
lignin akan menyebabkan terbentuknya senyawa
turunan phenol. Senyawa tersebut akan bersifat racun
dan menghambat proses fermentasi (Palmqvist dan
Hahn-Hgerdal, 2000).
Penelitian pendahuluan dilakukan menggunakan
alat yang berbeda, yaitu autoclave dan oven.
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui
pengaruh variabel (konsentrasi asam, suhu dan waktu
hidrolisa) terhadap yield glukosa. Lavarack et.al
(2002) mendapatkan kondisi optimum pada
temperatur maksimum 160oC, tekanan 23 bar dengan
waktu hidrolisa 34 jam. Hidrolisa menggunakan
autoclave dilakukan pada 121126oC, 11,5 bar dan
waktu hidrolisa 70, 90, 110, 130 menit, sedangkan
pada oven dilakukan pada temperatur 125oC dan
tekanan 1 atm selama 180, 200, 220, 240 menit.
Penelitian pendahuluan ini menggunakan bagasse
dengan solid/liquid ratio 0,05 w/w dan konsentrasi
H2SO4 0,25 dan 0,75 w/w.

Hasil analisa glukosa menunjukkan bahwa semakin


lama hidrolisa dilakukan maka semakin besar
perolehan yield glukosa. Namun terdapat beberapa
hasil yang menunjukkan adanya penurunan perolehan
glukosa (Tabel 1 dan 2). Penurunan tersebut
disebabkan tidak homogennya campuran bagasse
dengan larutan H2SO4 sehingga luas permukaan
kontak antara bagasse dengan larutan H2SO4 tidak
optimal. Pernyataan tersebut didukung dengan adanya

bagasse yang terapung dan tidak tercampur dengan


larutan H2SO4 di akhir proses hidrolisa. Perolehan
hasil glukosa menunjukkan bahwa kondisi hirolisa
121 126 oC dan 1-1,5 bar lebih baik, karena yield
glukosa yang diperoleh lebih besar dengan waktu
yang lebih singkat, 18,7411% dengan waktu
hidrolisa130 menit. Hal ini menunjukkan bahwa
tekanan
mempengaruhi
proses
hidrolisa.

Tabel 1. Perolehan yield glukosa (%) pada kondisi hirolisa 121 126 oC dan 1-1,5 bar.
Waktu Konsentrasi H2SO4 (w/w)
No
(menit)
0,25
0,75
1

70

5,4078

13,5463

90

5,8407

13,7195

110

5,4944

10,0831

130

5,2346

18,7411

Tabel 2. Perolehan yield glukosa (%) pada kondisi hidroliasa 125 oC dan 1 atm
Waktu Konsentrasi H2SO4 (w/w)
No
(menit)
0,25
0,75
1

180

6,2736

16,1437

200

6,1870

15,2779

220

6,3602

19,6069

240

6,4468

21,3385

Perolehan yield glukosa dari kedua metode tersebut


tidak optimal (maksimal perolehan yield glukosa
sebesar 21,4313% dengan waktu hidrolisa 240 menit).
Menurut Balat (2007), hidrolisa pada temperatur
tinggi 180 220oC, hemiselulosa dapat terkonversi
sebesar 8095% dan selulosa terkonversi sebesar 50
55%. Mengingat,
kandungan selulosa dan hemiselulosa dalam bahan
baku bagasse yang digunakan lebih besar dari 50%
maka seharusnya yield glukosa yang diperoleh dapat
lebih besar. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya
dilakukan pada suhu dan tekanan operasi yang lebih
tinggi dan disertai pengadukan.
Selanjutnya, proses hidrolisa dilakukan pada 155oC,
10 bar selama 5, 15, 30, dan 45 menit. Kim et al
(2002) melakukan penelitian pada temperatur 200oC
dan konsentrasi H2SO4 3%-berat selama 20 menit,
dengan perolehan yield glukosa maksimum 34%.
Waktu reaksi hidrolisis yang lama akan memicu
terbentuknya inhibitor bersifat racun. Glukosa
terdegradasi membentuk hydroxymethylfurfural dan
bereaksi lebih lanjut membentuk asam formiat.
Sedangkan akibat dari degradasi lignin akan terbentuk
senyawa-senyawa phenol (Palmqvist and HahnHagerdal, 2000). Ketiga produk tersebut di atas dapat

menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada


proses fermentasi pembentukan etanol.
Glukosa dan senyawa gula lainnya merupakan
komponen utama dalam pembentukan etanol. Metode
hidrolisa asam merupakan salah satu metode untuk
memperoleh glukosa yang tinggi dari bahan-bahan
lignosellulosa. Konsentrasi asam dan waktu hidrolisa
menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam yield
pembuatan glukosa. Gambar 2 terlihat bahwa
semakin tinggi konsentrasi H2SO4 yang digunakan
dan semakin lama waktu hidrolisa menyebabkan
perolehan yield glukosa yang semakin besar. Kondisi
hidrolisa 155oC, 10 bar memberikan yield glukosa
maksimum sebesar 59,1378%
pada konsentrasi
H2SO4 0,75 (w/w) dan waktu hidrolisa 45 menit
(Gambar 2). Konsentrasi asam yang tinggi
menyebabkan selulosa dan hemiselulosa lebih mudah
terdegradasi menjadi glukosa dan senyawa gula
lainnya, terlebih lagi dengan waktu lama, kontak
antara bagasse dengan asam juga semakin besar
sehingga reaksi hidrolisa berjalan lebih sempurna.
Namun, seiring dengan tingginya konsentrasi dan
waktu reaksi, inhibitor yang dihasilkan juga semakin
besar. Menurut Kim et al (2002), dengan bahan yang
sama diperoleh yield glukosa maksimal sebesar 34%
pada temperatur 200oC, konsentrasi asam 0,3% selama

waktu 20 menit. Sedangkan pada penelitian ini yield


glukosa maksimal sebesar 59,1378% pada temperatur
155oC, konsentrasi asam 0,75% selama 45 menit. Ini

mengindikasikan bahwa konsentrasi asam dan waktu


reaksi yang besar menyebabkan yield glukosa juga
semakin
besar.

Gambar 2. Yield glukosa (%) hasil hidrolisa asam pada kondisi 155oC, 10 bar dengan berbagai konsentrasi asam
(H2SO4) dan waktu reaksi.

Gambar 3. Yield glukosa (%) sebelum dan setelah proses detoksifikasi (kondisi hidrolisa:155oC, 10 bar, 45 menit
waktu hidrolisa dan berbagai konsentrasi asam (H2SO4)).
Detoksifikasi bertujuan agar hidrolisat yang dihasilkan
mempunyai kandungan inhibitor yang lebih kecil,
selain itu juga mengatur pH agar tidak mengganggu
pertumbuhan bakteri pada proses
fermentasi
pembentukan etanol. Gambar 3 menunjukkan bahwa
yield glukosa setelah detoksifikasi mengalami
penurunan sebesar 1525%. Hal ini tampak pada
konsentrasi 0,75 w/w sebelum detoksifikasi yield

glukosa sebesar 59,1378%, sedangkan setelah


detoksifikasi (menambahkan Ca(OH)2 hingga pH = 10
selanjutnya ditambahkan H2SO4 hingga pH = 5,5)
yield glukosa menjadi 46,2489% dan setelah
detoksifikasi 2 (menambahkan NaOH 1 N hingga pH
= 5,5) menjadi 47,3156%. Penelitian Martin et al.,
(2002) juga menunjukkan adanya penurunan yield
senyawa gula setelah mengalami proses detoksifikasi.

Kedua metode detoksifikasi tersebut di atas, tidak


memberikan perbedaan yang signifikan terhadap
penurunan yield glukosa ataupun senyawa inhibitor
yang dihasilkan (asam formiat dan phenol monomer),
yaitu berkisar antara 25 %. Hal ini dapat dilihat dari

Gambar 3, pada konsentrasi 0,5 (w/w) dengan


metode detoksifikasi 1 diperoleh yield glukosa sebesar
44,0267 % dan dengan metode detoksifikasi 2
diperoleh
yield
glukosa
45,8044
%.

Gambar 4. Kadar asam formiat (%) sebelum dan setelah proses detoksifikasi (kondisi hidrolisa:155oC, 10 bar, 45
menit waktu hidrolisa dan berbagai konsentrasi asam (H2SO4)).
Asam formiat dan senyawa phenol monomer yang
terdapat dalam hidrolisat memiliki pengaruh yang
sangat besar
terhadap proses
fermentasi
pembentukan etanol, karena sifatnya sebagai inhibitor.
Oleh karena itu, dalam hidrolisat diinginkan produk
inhibitor seminimal mungkin. Gambar 4 diatas
menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi
H2SO4 maka kadar asam formiat juga semakin besar.
Kadar asam formiat terbesar yaitu 17,637% dengan
yield glukosa maksimum 59,1378% tercapai pada
konsentrasi H2SO4 0,75 w/w. Hal ini mengindikasikan
bahwa dengan konsentrasi yang tinggi, glukosa dan
senyawa gula lainnya akan lebih banyak terdegradasi
membentuk hydroxymethylfurfural dan furfural yang

akhirnya keduanya membentuk asam formiat


(Palmqvist and Hahn-Hagerdal, 2000).
Detoksifikasi memberikan pengaruh yang sangat
besar terhadap penurunan kadar asam formiat, antara
2530%. Hal ini terlihat pada Gambar 4, sebelum
detoksifikasi kadar asam fomiat pada konsentrasi
asam 0,75 w/w sebesar 17,637%, sedangkan dengan
menggunakan metode detoksifikasi 1 kadar asam
formiat sebesar 11,534 % dan dengan metode
detoksifikasi 2 diperoleh kadar 13,139%. Kedua
metode detoksifikasi yang dilakukan menunjukkan
tidak adanya perbedaan yang signifikan terhadap
penurunan
kadar
asam
formiat.

Gambar 5. Kadar Phenol monomer (luas area) sebelum dan setelah proses detoksifikasi (kondisi hidrolisa:155oC,
10 bar, 45 menit waktu hidrolisa dan berbagai konsentrasi asam (H2SO4)).
Kecenderungan hasil yang sama juga terdapat pada
kandungan phenol monomer, yang dalam hal ini
dideteksi sebagai vanilin (www.valcobond.com).
Terlihat pada Gambar 5, sebelum detoksifikasi kadar
asam fomiat pada konsentrasi asam 0,25 w/w sebesar
2,57x106 (luas area pada kromatogram), sedangkan
pada metode detoksifikasi 1 kadar asam formiat
sebesar 1,99x106 (luas area pada kromatogram) dan
dengan metode detoksifikasi 2 diperoleh kadar
2,03x106 (luas area pada kromatogram). Data tersebut
menunjukkan bahwa proses detoksifikasi memberikan
penurunan kadar phenol monomer 2025%, namun
kedua metode detoksifikasi tersebut tidak memberikan
perbedaan yang cukup signifikan terhadap penurunan
kadar phenol monomer. Hasil penurunan kandungan
asam formiat dan senyawa phenol monomer dengan
kedua metode detoksifikasi yang dilakukan tidaklah
signifikan dimungkinkan karena pH hidrolisat akhir
yang diinginkan sama (pH = 5,5).
Kesimpulan
Hasil penelitian memberikan kesimpulan sebagai
berikut: semakin tinggi konsentrasi asam (H2SO4) dan
waktu hidrolisa maka yield glukosa yang diperoleh
akan semakin besar, yield glukosa maksimal sebesar
59,1378% diperoleh pada kondisi 155oC, 10 bar
dengan konsentrasi H2SO4 0,75 (w/w) selama 45
menit; tahap detoksifikasi mengakibatkan penurunan
kandungan glukosa 1525 %, asam formiat 2530%
dan senyawa phenol monomer sebesar 2025 %; dan
kedua metode detoksifikasi yang digunakan tidak
memberikan hasil yang signifikan (perbedaan yang
terjadi berkisar 25%) terhadap penurunan kandungan

senyawa inhibitor
monomer).

(asam

formiat

dan

phenol

Daftar Pustaka
Anonim, 2008. The potential impacts of biofuels on
biodiversity. Convention on Biological Diversity.
UNEP, UNESCO, Bonn, Germany.
Anonim, 2007. New and emerging issues relating to
the conservation and sustainable use of
biodiversity. Biodiversity and liquid biofuel
production. Convention on Biological Diversity.
UNEP, UNESCO, Paris, France.
Balat, M., balat H., Oz C., 2008. Progress in
bioethanol processing. Progress in Energy and
Combustion Science.
Del Campo, I., Alegria, I., Zazpe, m., Echeverria, M.,
Echeverria, I., 2006. Diluted acid hydrolysis
pretreatment of agri-food wastes for bioethanol
production. Industrial Crops and Products, 24:
214 221.
Iranmahboob, J., Nadim, F., Monemi, S., 2002.
Optimizing acid-hydrlysis: a critical step for
production of ethanol from mixed wood chips.
Biomass and Bioenergy, 22: 401 404.
Kim, Jun Seok., Hong, Suk In., Lee, Yoon. Y., 2002.
Bed-Shrinking Flow-Through Reactor in Dilute
Acid Hydrolysis of Cane Bagasse Cellulose. Ind.
Eng. Chem., 8:432 436.
Larsson, S., Palmqvist, E., Hahn-Hgerdal, B.,
Tengborg, B., Stenberg, K., Zacchi, G.,
Nilvebrant, N.O., 1999. The generation of
fermentation inhibitors during dilute acid
hydrolysis of softwood. Enzyme Microb. Technol.,
24, 151-159.

Lavarack, B.P., Griffin, G.J., Rodman, D., 2002. The


acid
hydrolysis
of
sugarcane
bagasse
hemicellulose to produce xylose, arabinose,
glucose and other products. Biomass Bioenerg.,
23, 367-380.
Lavarack, B.P., Griffin, G.J., Rodman, D. 2000.
Measured kinetics of acid-catalysed hydrolysis of
sugar cane bagasse to produce xylose. Catalysis
Today, 63: 257 265.
Martin, Carlos., Galbe, Mats., Wahlbom, C. Fredrik.,
Hahn-Hgerdal, B., Jonsson, Leif J. 2002. Ethanol
production from enzymatic hydrolysates of sugar
cane bagasse using recombinant xylose-utilising
Saccharomyces cerevisiae. Enzyme Microb.
Technol., 31, 274-282.
Mosier, N., Wyman, C., Dale, B., Elander, R., Lee,
Y.Y., Holtzapple, M., Ladisch, M., 2005. Features
of promising technologies for pretreatment of
lignocellulosic biomass. Bioresource Technol., 96,
673-686.
Mussatto, S.I., Roberto, I.C., 2004. Alternatives for
detoxification of dilute-acid lignocellulosic
hydrolyzates for use in fermentative process: a
review. Bioresource Technology, 93, 1-10.
Palmqvist, E., Hahn-Hgerdal, B., 2000. Review
paper.
Fermentation
of
lignocellulosic
hydrolysates. II: inhibitors and mechanisms of
inhibition. Bioresource Technology, 74, 25-33.

Papatheofanous,M.G., Billa, E., Koullas, D.P.,


Monties, B., Koukios, E.G., 1995. Two Stage
Acid-Catalyzed Fraction Of Lignocellulosic
Biomass In Aqueous Ethanol Systems At Low
Temperatures. Bioresource Technology 95: 00152
2.
Quintero-Ramirez, R. Hydrolysis of lignocellulosic
biomass. Division of Natural Sciences and
Engineering. Autonomous Metropolitan University
CuajimalpaUnit.
Sassner, Per., Martensson, Carl-Gustav., Galbe, Mats.,
Zacchi, Guido., 2008. Steam Pretreatment of
H2SO4-impregnated Salix for the production of
bioethanol. Bioresource Technology, 99, 37 - 145.
Sun, Y., Cheng, J., 2002. Hydrolysis of lignocellulosic
materials for ethanol production: a review.
Bioresource Technol., 83, 1-11.
Szczodrak, J., Fiedurek, J., 1996. Technology for
conversion of lignocellulosic biomass to ethanol.
Biomass Bioenerg., 10, 367-375.
Verduyn, C., Postma, E., Scheffers, W.A., Dijken,
J.P., 1990. Energetics of Saccharomyces cerevisae
in anaerobic glucose-limited chemostat cultures. J.
Gen. Microbiol. 136, 405 412.
www.apta.sp.gov.br/cana/anexos/paper_quintero_Bras
il.pdf
www.valcobond.com
www.scientificpsychic.com

You might also like