You are on page 1of 38

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang Demokratis, dimana semua warga memiliki
hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.
Demokrasi ini mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau
melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Dalam
mengimplikasikan hak memilih secara langsung yang dimiliki warga negara
Indonesia, Pemerintahan Eksekutif dan Legislatif menyelenggarakan suatu sistem
yang disebut dengan Pemilihan Umum. Pemilihan umum ini dilakukan terhadap
pemilihan Presiden, wakil Presiden, Gubernur, Wakil Gubernur, Walikota dan Bupati.
Pemerintah Indonesia pada tahun 2015 tepatnya pada tanggal 9 Desember
2015, akan melaksanakan Pilkada serentak dikarenakan seluruh kepala daerah sudah
habis jabatannya pada tahun 2014 dan 2015. Pilkada serentak ini dilakukan di 263
Propinsi, Kota, dan Kabupaten. Pilkada ini dilakukan oleh KPU dan KIP (Aceh)
sebagai komisi penyelenggara pemilihan umum yang di percaya oleh pemerintah
untuk menyelenggarakannya dengan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Pemilihan Gubernur, Walikota, dan Bupati. Dalam UU ini menerangkan
bahwa setiap propinsi, Kota, dan Kabupaten mempunyai minimal 2 (dua) pasangan
calon kepala daerah sebagai syarat untuk dapat diselenggarakannya Pilkada langsung.
Namun ada beberapa kota hanya mempunyai 1 (satu) pasangan calon kepala daerah
1

yang menyebabkan tidak bisanya dilaksanakan penyelenggaraan Pilkada serentak


diseluruh Indonesia, karena tidak terpenuhi syarat paling sedikit 2 pasangan calon
kepala daerah dan beberapa kota tersebut harus menunda penyelenggaraan
Pilkadanya.
Hal ini menyebabkan adanya ketidakpastian hukum karena menurut UndangUndang Pilkada, Pilkada harus dilaksanakan serentak sehingga dengan adanya
masalah tersebut menjadi Pilkada tidak dapat dilakukan serentak. Akan tetapi MK
melalui Putusannya No. 100/PUU-XIII/2015 memutuskan keikutsertaan calon
tunggal dalam pilkada serentak dapat dilakukan. Dengan adanya putusan MK tersebut
kelompok kami mengambil masalah-masalah yang akan menjadi pembahasan dalam
makalah ini, masalah-masalah tersebut antara lain :

2. Identifikasi Masalah
1. Apa penemuan hukum oleh hakim dalam putusan MK tersebut?
2. Apa yang menjadi alasan dan dasar hukum Hakim MK memutuskan untuk
mengikutsertakan calon tunggal dalam PILKADA Serentak?
3. Bagaimana mekanisme pemilihan bagi daerah daerah yang hanya mempunyai 1
(satu) pasangan calon Kepala Daerah?

BAB II
2

TINJAUAN PUSTAKA
1. NEGARA DEMOKRASI
Demokrasi mempunyai arti penting dalam suatu negara untuk menjamin
jalannya organisasi suatu negara. Demokraasi sebagai dasar hidup bernegara memberi
pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalahmasalah pokok mengenai kehidupannya termasuk dalam menilai kebijaksanaan
negara karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat.
Jadi, negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan
kehendak dan kemauan rakyat atau jika ditinjau dari sudut organisasi berarti suatu
pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan
rakyat karena kedulatan berada di tangan rakyat1.
Demokrasi dalam negara hukum formal (demokrasi abad ke-19) menimbulkan
suatu gagasan tentang tata cara membatasi kekuasaan pemerintah melalui pembuatan
konstitusi, baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini dilatarbelakangi dengan isu saat
itu, bahwa masalah hak politik rakyat dan hak asasi manusia secara individu
merupakan dasar pemikiran politik dalam ketatanegaraan. Gagasan diatas pada
akhirnya dinamakan konstitusionalisme dalam sistem ketatanegaraan. Ciri penting
dalam negara yang menganut konstitusionalisme adalah pemerintahan yang bersifat
pasif, artinya pemerintah hanya menjadi wasit atau pelaksana dari berbagai keinginan
rakyat yang dirumuskan oleh wakil rakyat di parlemen.
Carl J. Friedrich mengemukakan konstitusionalisme adalah gagasan dimana
pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama
rakyat, tetapi tunduk kepada beberapa pembatasan untuk memberikan jaminan
1

Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 24.

kepada kekuasaan. Disamping itu, kekuasaan yang diperlukan untuk memerintah


tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah.
1.1. Konsep Negara Hukum
Konsep negara hukum material (demokrasi abad ke-20) bahwa gagasan
pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara, baik di bidang sosial
maupun bidang ekonomi bergeser kea rah gagasan baru bahwa pemerintah harus
bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Pemerintah tidak boleh bersifat pasif
atau berlaku sebagai penjaga malam melainkan harus aktif melaksanakan upayaupaya untuk membangun kesejahteraan masyarakatnya dengan cara mengatur
kehidupan ekonomi dan sosial.
Pemerintahan yang demokratis dibawah rule of law berdasarkan syarat-syarat
yang ditentukan oleh International Comission of Jurists pada konferensinya di
Bangkok tahun 1965, sebagai berikut :
a. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu,
konstitusi harus pula menentukan cara procedural untuk memperoleh
b.
c.
d.
e.
f.

perlindungan atas hak-hak yang dijamin;


Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
Pemilihan umum yang bebas;
Kebebasan menyatakan pendapat;
Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
Pendidikan kewarganegaraan2.

1.2. Asas Umum Penyelenggara Negara


Asas umum penyelenggaraan negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1998 yang pada dewasa ini diamandemen kedalam Undang-Undang Nomor 23
2

Ibid, hlm. 26

tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme, telah menetapkan beberapa asas penyelenggaraan negara
yang bersih tersebut, meliputi :
a. Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggara negara;
b. Asas tertib penyelenggara negara,yaitu asas yang menjadi landasan
keteraturan,

keserasian,

dan

keseimbangan

dalam

pengendalian

penyelenggaraan negara;
c. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif atas
hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara;
d. Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak
dan kewajiban penyelenggara negara;
e. Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
f. Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil

akhir

dari

kegiatan

penyelenggara

negara

harus

dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang


kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku3.

Ibid, hlm. 34

2. MAKNA PILKADA MENURUT PASAL 18 AYAT (4) UUD 1945


Perubahan UUD 1945 berimplikasi luas terhadap sistem ketatanegaraan RI.
Sal satunya adalah ketentuan yang menyangkut pemerintahan daerah. Amandemen
kedua UUD 1945 (tahun 2000) menghasilkan rumusan baru pasal-pasal yang
mengatur pemerintahan di daerah, yakni Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B.
Secara sederhana dapat ditarik kesimpulan menyangkut prinsip-prinsip yang
terkandung dalam pasal-pasal baru, Pasal 18 (hasil perubahan kedua UUD 1945)
adalah sebagai berikut :
1. prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2),
2. prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat (5);
3. prinsip kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18 ayat (1);
4. prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya (Pasal 18 B ayat (2);
5. prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat
khusus dan istimewa (Pasal 18 B ayat (1);
6. prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilu (Pasal 18 ayat
(3);
7. prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil
(Pasal 18 A ayat (2).
Menurut Bagir Manan, Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen lebih sesuai
dengan

gagasan

daerah

membentuk

pemerintahan

daerah

sebagai

satuan

pemerintahan mandiri di daerah yang demokratis. Lebih lanjut Bagir Manan


mengatakan bahwa asas dekonsentrasi adalah instrument sentralisasi, karena itu

sangat keliru kalau ditempatkan dalam sistematik pemerintahan daerah yang


merupakan antithesis dari sentralisasi4.
Rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang merupakan hasil amandemen
kedua (tahun 2000) dapat ditafsirkan sama dengan tata cara dan procedural pemilu
sebagaimana dinyatakan dalam beberapa pasal amandemen ketiga (Tahun 2001).
Artinya, pilkada langsung, khususnya lembaga yang memiliki kewenangan
melakukan rekrutmen calon kepala daerah. Pilkada langsung adalah pilkada yang
dilakukan secara langsung oleh rakyat, sedangkan pilkada tidak langsung adalah
pilkada yang dilakukan secara tidak langsung melainkan melalui DPRD.
Adapun ciri-ciri sistem Demokrasi Pancasila/Orde Baru (1966/1998) meliputi :
1. dari sudut konstitusi, credo Orde Baru adalah melaksanakan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Oleh karena itu,
lembaga-lembaga negara ditata sesuai dengan format UUD 1945;
2. dari sudut bentuk negara dan bentuk pemerintahan, tetap dianut bentuk
negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republic;
3. dari sudut sistem pemerintahan, tetap dianut sistem presidensial
dengan sangat dominannya peranan Presiden Soeharto dalam
kehidupan politik dan ketatanegaraan selama tiga dasawarsa, sehingga
cenderung excutive heavy;
4. dari sudut tipologi negara, meskipun secara normative konstitusional
tetap merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, bahkan dalam
GBHN 1973-1978 juga dimasukkan prinsip-prinsip negara hukum
atau rule of law, tetapi dalam prakteknya telah terjadi distorsi atas
prinsip-prinsip tersebut;
4

Suharizal, Pemilukada, Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 25

5. dari sudut model demokrasi, disebut sistem Demokrasi Pancasila yang


bukan demokrasi liberal parlementer dan bukan demokrasi terpimpin,
dengan mengutamakan prinsip musyawarah mufakat;
6. dari sudut sistem pemerintahan local/daerah, berdasarkan UU No. 5
tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah, dianut
prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, serta titik berat
otonomi pada daerah tingkat II;
7. dari sudut kepartaian dan pemilu, dilakukan penataan parpol menjadi
hanya tiga dengan asas tunggal Pancasila, kebijakan floating mass,
campur tangan negara melalui konsep Pembina politik telah
melahirkan suatu sistem kepartaian yang hegemonik, dimana Golkar
menjadi perpanjangan tangan politik ABRI dan Birokrasi, sehingga
bisa selalu meraih single majority dalam Pemilu yang diadakan
secara periodic setiap lima tahun sekali;
8. dari sudut peranan militer dalam politik, ditandai dengan sangat
dominannya peranan politik ABRI melalui konsep Dwi FUngsi, baik
governmental political lilfe maupun social political life;
9. dari sudut HAM, khususnya hak atas kebebasan berserikat dan
berkumpul dibatasi dan kebebasan pers sangat terkendali melalui
konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab5;
Akibat tidak adanya pertumbuhan kelas-kelas baru selain transformasi dari
kelompok-kelompok kekuasaan yang ada ke dalam lingkaran luar-kekuasaan, bukan
saja selama tahun-tahun Demokrasi Terpimpin, tetapi juga ketika partai-partai politik
5

Abdul Mukhtie Fadjar, Partai Politik dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia, Setara Pers, Malang, 2013, hlm. 7

dan serikat buruh amat sangat lemah, walaupun tetap tumbuh dalam kurun Orde
Baru, tatkala organisasi petani dan organisasi massa dibatasi dan perhimpunan
mahasiswa diawasi.
Dalam struktur kekuasaan seperti ini hanya sedikit tersedia ruang bagi
pembatasan kelembagaan yang hendak diterapkan oleh para pendukung negara
hukum. Selain itu tidak ada cukup kekuatan pada gabungan kaum kaum liberal untuk
memaksakan kehendaknya terhadap kemauan pihak militer dan birokrasi pusat yang
ada sekarang. Tanpa landasan ekonomi yang cukup kuat di pihak swasta yang
sanggup mandiri, yang relatif tidak tergantung kepada birokrasi, kekuatan tawar
menawar golongan menengah akan jatuh bangun secara sporadic sejalan dengan
perubahan-perubahan politik yang tidak dapat mereka kendalikan6.
3. PENGERTIAN DAN TUJUAN POLITIK HUKUM NASIONAL
Dalam rangka memahami pengertian dan tujuan dari politik hukum nasional,
kelompok kami akan berangkat pada pengertian politik secara umum.
Pengertian politik hukum nasional disini adalah dasar penyelenggara negara
(Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang
bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara
(Republik Indonesia) yang dicita-citakan.
Tujuan itu meliputi dua aspek yang saling berkaitan : (1) sebagai suatu alat
(tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk
menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki ; dan (2) dengan sistem
hukum nasional itu akan diwujdkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar.

Daniel S Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cetakan Keempat, LP3ES, Jakarta, 2014,
hlm. 363.

Sistem hukum nasional terbentuk dari istilah, sistem hukum nasional. Sistem
di adaptasi dari bahasa Yunani Systema yang berarti keseluruhan yang tersusun dari
sekian banyak bagian (whole coumpounded of several parts)7.atau hubungan yang
berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen-komponen secara teratur (an
organized, functioning realationship among units or components).8 Dalam bahasa
Inggris system mengandung arti susunan atau jaringan. Jadi, dengan kata lain istilah
sistem itu mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen yang saling
berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan (a Whole).9
Adapun hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan
yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu Pancasila
dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun di atas kreativitas atau aktivitas yang
didasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri 10. Sehubungan dengan itu,
hukum nasional merupakan sistem hukum yang timbul sebagai buah usaha budaya
rakyat Indonesia yang berjangkauan nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi
seluruh rakyat sejauh batas-batas nasional negara Republik Indonesia11.
Pentingnya pemilu yang demokratis (objektif) sebagai sarana demokrasi
dalam sistem perwakilan setidaknya menjamin terbentuknya

representative

government. Kata perwakilan (representation) adalah konsep seorang atau suatu


kelompok mempunyai kemempuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas
nama suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota Dewan Perwakilan
7

Istilah sistem pada mulanya hanya dipakai dikalangan ahli manajemen. Lihat William A. Shorde dan Dan Voich,
Jr.Organization and management: Basic Systems Concept( Malaysia: Irwin Book Co.,1974),hlm.115
8
Elias M. Awad. System Analysis and Design (Homewood, Illionis: Richard D.Irwin,1979,hlm.4.
9
Tatang M. Amirin. Pokok-Pokok Teori Sistem, cet.VI,(Jakarta: Rajawali Pers,1996),hlm.1.
10
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 64.
11
Kodiran, Aspek Kebudayaan Bangsa dalam Hukum Nasional, Identitas Hukum Nasional, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta,
hlm. 87.

10

Rakyat pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Hal itu dinamakan
perwakilan yang bersifat politik (political representation)12.
Kekuasaan pemerintahan harus dilaksanakan secara bertanggung jawab,
karena kekuasaan itu lahir dari suatu kepercayaan rakyat. Kekuasaan yang diperoleh
dari suatu lembaga yang dibentuk secara demokratis adalah logis harus
dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Degnan demikian, pertanggungjawaban
merupakan syarat mutlak yang harus ada pada pemerintahan demokrasi, walaupun
political responsibility is actually some what ambigious13.
4. STRUKTUR PENYELENGGARA PEMERINTAHAN DAERAH
Dalam peraturan perundang-undangan, wewenang untuk menetapkan
kebijakan merupakan pengaturan (regeling), sedangkan wewenang melaksanakan
kebijakan tersebut merupakan wewenang pengurusan (bestuur). Wewenang
pengaturan adalah wewenang untuk menciptakan norma hukum tertulis yagn berlaku
umum. Adapun wewenang pengurusan adalah wewenang untuk melaksanakan dan
menerapkan norma hukum umum dan abstrak kepada situasi konkret. Penyerahan
wewenang pengaturan dan wewenang pengurusan dalam gatra kehidupan tertentu
menurut peraturan perundang-undangan disebut penyerahan urusan pemerintahan.
Pengembangan wewenang untuk membentuk kebijakan dalam daerah otonom
adalah lembaga-lembaga daerah yang keberadaannya atas dasar pemilihan. Ciri inilah
yang melatarbelakangi sehingga devolusi sebagai desentralisasi demokratis.
Desentralisasi terkadang dilihat dari devolusi, desentralisasi territorial, desentralisasi
politik, atau desentralisasi fungsional.
12

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 75.
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni,
Bandung, 2004, hlm. 109.
13

11

Daerah otonom yang terbentuk dalam rangka desentralisasi memiliki berbagai


ciri, yakni daerah otonom adalah badan hukum (rechtspersoon), sebagai badan
hukum maka daerah otonom memiliki kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan
hukum. Dalam kedudukannya sebagai badan hukum tersebut, daerah otonom dapat
menuntut dan dituntut oleh pihak lain. Daerah otonom juga memiliki wewenang yang
mengalokasikan sumber-sumber daya yang dimiliki. Ciri multifungsi inilah
merupakan salah satu pembeda utama antara daerah otonom dengan lembaga yang
terbentuk dalam rangka desentralisasi fungsional.
Desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkup
pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah. Perwujudan dari desentralisasi di tingkat
daerah adalah otonomi daerah. Desentralisasi seringkali disebut pemberian otonomi.
Desentralisasi merupakan sistem pengelolaan yang berkebalikan dengan sentralisasi.
Jika sentralisasi merupakan pemusatan pengelolaan, desentralisasi adalah pembagian
dan pelimpahan. Secara umum desentralisasi dikenal dalam bentuk desentralisasi
territorial atau kewilayahan dan desentralisasi fungsional.
Desentralisasi territorial adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat
kepada daerah dalam negara. Adapun desentralisasi fungsional adalah yang secara
langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat. Devolusi adalah kemampuan
unit pemerintah lokal dalam melaksanakan peralihan kekuasaan dari pemerintah
pusat, adapun pilar penyelenggaraan urusan pemerintahan meliputi aspek pemerintah
daerah, perangkat daerah, kepegawaian daerah dan keuangan daerah.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan,

pemerintah

menyelenggarakan sendiri, atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan

12

kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah, penyelenggaraan


urusan pemerintahan dibagi dalam criteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi
dengan memerhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan, sebagai
suatu sistem antara hubungan kewenangan pemerintah, kewenangan pemerintah
daerah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, atau pemerintahan daerah yang
saling terkait, tergantung, dan sinergis.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, terdiri
atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib, artinya penyelenggaraan
pemerintahan yang berpedoman pada standar pelayanan minimal, dilaksanakan secara
bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah. Adapun untuk urusan pemerintahan yang
bersifat pilihan, baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi
merupakan urusan dalam skala provinsi dan dalam skala kabupaten/kota, meliputi :
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang;
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. Penanganan bidang kesehatan;
6. Penyelenggaraan pendidikan;
7. Penanggulangan masalah sosial;
8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
9. Memfasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
10. Pengendalian lingkungan hidup;
11. Pelayanan pertanahan;
12. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14. Pelayanan administrasi penanaman modal;
15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya;

13

16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan14.


Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota,
berwenang untuk membuat peraturan daerah dan peraturan kepala daerah guna
menyelenggarakan urusan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Peraturan daerah
(Perda) ditetapkan oleh kepala daerah, setelah mendapat persetujuan bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Substansi atau muatan materi Perda adalah
penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi,
dengan memerhatikan ciri khas masing-masing daerah, dan substansi materi tidak
boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangan yang
lebih tinggi.
4.1. Tugas dan Kewajiban Pemerintah Daerah
Penyelenggara pemerintahan adalah presiden dibantu oleh satu orang wakil
presiden, dan penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan
DPRD. Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintahan daerah yang disebut kepala
daerah, untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk
kota disebut walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah,
yang masing-masing untuk provinsi disebut wakil gubernur, untuk kabupaten disebut
wakil bupati, dan untuk kota disebut wakil walikota.
Tugas dan wewenang kepala daerah adalah :
b. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan bersama DPRD;
14

Ibid, hlm. 35

14

c. mengajukan rancangan Peraturan Daerah;


d. menetapkan Peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan bersama
DPRD;
e. menyusun dan mengajukan rancangan Peraturan daerah tentang APBD kepada
DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
f. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
g. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk
kuasa

hukum

untuk mewakilinya

sesuai

dengan

peraturan

perundangundangan; dan
h. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundangundangan
4.2. Tugas Wakil Kepala Daerah, meliputi :
a. membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;
b. membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal
di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat
pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta
mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan
hidup;
c. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan
kota bagi wakil kepala daerah provinsi;
d. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah
kecamatan,

kelurahan

dan/atau

desa

bagi

wakil

kepala

daerah

kabupaten/kota;
e. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;

15

f. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh


kepala daerah; dan
g. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah
berhalangan.
4.3. Pertanggungjawaban Kepala Daerah
Selain mempunyai kewajiban di atas, kepala daerah mempunyai kewajiban
untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah
dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta
menginformasikan

laporan

penyelenggaraan

pemerintahan

daerah

kepada

masyarakat. Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah,


disampaikan kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk gubernur, dan
kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk bupati/walikota satu kali
dalam satu tahun.
Rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang merupakan hasil amandemen
kedua (tahun 2000) dapat ditafsirkan sama dengan tata cara dan procedural pemilu
sebagaimana dinyatakan dalam beberapa pasal amandemen ketiga (tahun 2001).
Artinya, pilkada langsung khususnya lembaga yang memiliki kewenangan melakukan
rekrutmen calon kepala daerah adalah lembaga yang juga menjadi penanggung jawab
pelaksanaan pemilu (Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif)
yaitu KPU(D). Pasal 22E ayat ((1) UUD 1945, bahwa pemilihan umum dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Pilkada langsung merupakan salah satu tujuan dari desentralisasi dalam
kerangka otonomi daerah. Desentralisasi secara garis besar mencakup dua aspek,

16

yaitu desentralisasi administrasi dan desentralisasi politik. Berdasarkan perspektif


administrative, desentralisasi didefinisikan secagai the transfer of administrative
responsibility
administrative

from

central

desentralisasi

to

lokal

governments.

sesungguhnya

kata

Berdasarkan

lain

dari

perspektif

dekonsentrasi.

Dekonsentrasi sendiri menurut Pasal 1 UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah


Daerah, Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan
bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.
Menurut Philip Mawhood (1983) dan J.A. Chandler (1993), pemerintah lokal
memiliki potensi dalam mewujudkan demokratisasi karena proses desentralisasi
mensyaratkan adanya tingkat responsivitas, keterwakilan dan akuntabilitas yang lebih
besar. Pemilu merupakan aktualisasi nyata demokrasi dalam praktik bernegara masa
kini karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya atas
negara dan pemerintahan15.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan di setiap negara,
terdapat berbagai urusan di daerah. Suatu urusan tetap menjadi urusan pemerintah
pusat dan urusan lain menjadi urusan rumah tangga daerah sendiri, sehingga harus
ada pembagian yang jelas. Dalam rangka melaksanakan cara pembagian urusan
dikenal adanya sistem otonomi yang dikenal sejak dulu, yakni cara pengisian rumah
tangga daerah atau sistem rumah tangga daerah. Salah satu penjelmaan pembagian
15

Suharizal, Pemilukada, Regulasi, DInamika, dan Konsep Mendatang, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 175.

17

tersebut adalah bahwa daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan


baik atas dasar penyerahan atau pengakuan maupun yang dibiarkan sebagai urusan
rumah tangga daerah16.
5. PROSEDUR PENEMUAN HUKUM
Hukum acara pada umumnya, baik perdata maupun pidana, dapat dibagi
dalam garis besarnya menjadi tiga tahap, yaitu tahap pendahuluan atau permulaan,
tahap penentuan, dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan adalah tahap sebelum
acara pemeriksaan di persidangan. Dalam acara perdata pada tahap pendahuluan ini
tidak berapa banyak kegiatan dilakukan, seperti memasukkan gugatan, memajukan
permohonan penyitaan jaminan, dan pencabutan gugatan.
Kegiatan hakim yang utama dan yang paling banyak adalah pada tahap
penentuan, yaitu pemeriksaan di persidangan. Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh
hakim di persidangan adalah mengkonstatasi pristiwa konkret, yang sekaligus berarti
merumuskan pristiwa konkret, mengkualifikasi pristiwa konkret, yang berarti
menetapkan pristiwa hukumnya dan pristiwa konkret dan mengkonstitusi atau
member hukum atau hukumnya, yang pada dasarnya semua itu tidak ubahnya dengan
kegiatan seseorang sarjana hukum yang dihadapkan pada suatu konflik atau kasus dan
harus memecahkanya, yaitu legal problem indentification, legal problem solving, dan
decision making . Setiap sarjana hukum yang bekerja dibidang hukum, terutama
hakim, selalu dihadapkan pada pristiwa konkret, suatu kasus atau konflik, yang harus
dicarikan hukumnya dan dipecahkan atau diselesaikan17.
16

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH), Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1999, hlm.
26.
17
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Cahaya Atma Pustaka, Yogykarta, 2014, hlm. 102

18

Telah dikemukakakan bahwa penemuan hukum adalah proses pembentukan


hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainya yang diberi tugas
melaksanakan hukum terhadap pristiwa-pristiwa konkret. Lebih konkret lagi dapat
dikatakan

bahwa

penemuan

hukum

adalah

konkretisasi,

kristalisasi,

atau

individualisasi peraturan hukum atau dsa Sollen, yang bersifat umum dengan
mengingat pristiwa konkret atau das Sein. Untuk mengetahui prosedur penemuan
hukum dapat diikuti tahap-tahap dalam pemerikasaan perkara perdata
Penggugat mengajukan gugatan yang berisi pristiwa konkret yang dijawab
oleh tergugat dalam jawabanya yang berisi pristiwa konkret pula. Sering terjadi
bahwa pristiwa konkret yang diajukan oleh tergugat dalam jawabanya ada yang sama
atau ada yang tidak sama dengan pristiwa konkret yang diajukan oleh penggugat
dalam gugatanya. Maka, hakim perlu mengetahui apa yang sekiranya menjadi
sengketa bagi kedua belah pihak. Untuk itu, diadakan prosedur jawab-menjawab
antara kedua belah pihak. Dari jawab-menjawab itu akhirnya akan diketahui oleh
hakim pristiwa manakah yang sekiranya menjadi sengketa. Dikatakan sekiranya
karena pristiwa konkret itu masih harus dibuktikan kebenaranya 18.

18

Ibid, hlm. 103.

19

BAB III
RINGKASAN PUTUSAN DAN KASUS
PUTUSAN MK NOMOR 100/PUU-XIII/2015PEMILIHAN KEPALA DAERAH
DENGAN HANYA SATU PASANGAN CALON

1. PEMOHON
1) Effendi Gazali (Pemohon I)
2) Yayan Sakti Suryandaru (Pemohon II)
Kuasa Hukum
AH. Wakil Kamal, S.H, M.H berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 5
Agustus2015

2. OBJEK PERMOHONAN
Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
PemilihanGubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang

3. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI


Pemohon

menjelaskan

kewenangan

mengujiUndang-Undang adalah:

20

Mahkamah

Konstitusi

untuk

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji
Undang-Undang terhadap UUD 1945;
Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan

Kehakiman

menyatakan,

Mahkamah

Konstitusi

berwenangmengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya


bersifat finaluntuk: a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945;
Pasal 7 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun

2011

tentang

Pembentukan

Peraturan

Perundang-undangan

menyatakan bahwa secara hierarkis kedudukan UUD 1945 adalah lebih tinggi
dari Undang-Undang, oleh karena itu setiap ketentuan Undang-Undang tidak
boleh bertentangan dengan UUD 1945 (constitutie is de hoogste wet). Dalam
hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi.

21

4. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING)


Pemohon I adalah perseorangan warga Indonesia yang mempunyai hak
untukmemilih;

serta

merupakan

warga

negara

Indonesia

yang

selalu

aktifmelaksanakan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum dam Pemilihan Kepala


DaerahAdapun Pemohon II adalah perseorangan warga Indonesia yang
merasadirugikan oleh pasal yang diajukan permohonan a quo karena
menyebabkanpemilihan Kepala Daerah Kota Surabaya mengalami penundaan.

5. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945


A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN
Norma materiil yaitu Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan
(9), Pasal 51 ayat (2), Pasa 52 ayat (2) dan Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat
(6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.
Pasal 49 ayat (8) UU 8/2015
Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat
(7)menghasilkan pasangan calon yang memenuhi persyaratan kurang dari
2(dua) pasangan calon, tahapan pelaksanaan Pemilihan ditunda paling
lama10 (sepuluh) hari.
Pasal 49 ayat (9) UU 8/2015
KPU Provinsi membuka kembali pendaftaran pasangan Calon
Gubernur danCalon Wakil Gubernur paling lama 3 (tiga) hari setelah
penundaan tahapansebagaimana dimaksud pada ayat (8).
22

Pasal 50 ayat (8) UU 8/2015


Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat
(7)menghasilkan pasangan calon yang memenuhi persyaratan kurang dari
2(dua) pasangan calon, tahapan pelaksanaan pasangan Calon Bupati
danCalon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil
Walikotapemilihan ditunda paling lama 10 (sepuluh) hari.
Pasal 50 ayat (9) UU 8/2015
KPU Kabupaten/Kota membuka kembali pendaftaran pasangan Calon
Bupatidan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon
WakilWalikota paling lama 3 (tiga) hari setelah penundaan tahapan
sebagaimanadimaksud pada ayat (8).
Pasal 51 ayat (2) UU 8/2015
Berdasarkan Berita Acara Penetapan sebagaimana dimaksudpada ayat
(1),KPU Provinsi menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan Calon
Gubernurdan Calon Wakil Gubernur dengan Keputusan KPU Provinsi.
Pasal 52 ayat (2) UU 8/2015
Berdasarkan Berita Acara Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),KPU Kabupaten/Kota menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan
CalonBupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan
CalonWakil Walikota dengan Keputusan KPU Kabupaten/Kota.
Pasal 54 ayat (4) UU 8/2015

23

Dalam hal pasangan berhalangan tetap sejak penetapan pasangan


calonsampai pada saat dimulainya hari Kampanye sehingga jumlah
pasangancalon kurang dari 2 (dua) orang, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kotamembuka kembali pendaftaran pengajuan pasangan calon
paling lama 7(tujuh) hari.
Pasal 54 ayat (6) UU 8/2015
Dalam

hal

pasangan

calon

berhalangan

tetap

pada

saat

dimulainyaKampanye sampai hari pemungutan suara pasangan calon


kurang dari 2(dua) orang, tahapan pelaksanaan Pemilihan ditunda paling
lama 14 (empatbelas) hari.
B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945.
Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastianhukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atasdasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuanyang bersifat diskriminatif itu.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
danpemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengantidak ada kecualinya.
24

Pasal 27 ayat (2) UUD 1945


Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan;
Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
danmendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak
memperolehpelayanan kesehatan;
Pasal 28 C ayat (1) UUD 1945
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhandasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat
dari ilmupengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitashidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

6. ALASAN PERMOHONAN
1) Pasal-pasal dan ayat-ayat a quo menjadi ruh dari UU 8/2015 yang kemudian
diturunkan kepada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun
2015;
2) Warga negara yang tinggal di daerah yang Pemilihan Kepala Daerahnya hanya
memiliki satu pasangan calon terdaftar di KPUD, mengalami perlakuan
diskriminatif dan tidak mendapat kepastian hukum yang adil, dibandingkan
25

dengan warga negara yang tinggal di daerah yang Pemilihan Kepala


Daerahnya memiliki lebih dari satu pasangan calon terdaftar di KPUD;
3) Warga negara yang tinggal di daerah yang Pemilihan Kepala Daerahnya hanya
memiliki satu pasangan calon terdaftar di KPUD, mengalami kerugian hak
memilih, yang tidak hanya dapat tertunda satu kali, namun dapat pula tertunda
berkali-kali dalam kondisi tidak menentu;
4) Penundaan Pemilihan Kepala Daerah mengakibatkan terhambatnya keputusan
strategis dan penting dalam pembangunan daerah mengingat daerah tersebut
dipimpin oleh seorang Pelaksana Tugas;
5) Hal-hal tersebut tidak hanya merugikan warga negara di daerah tersebut
namun juga seluruh warga negara Indonesia, yang amat berpotensi terlibat
dengan hasil-hasil pembangunan di seluruh Negara Kesatuan Republik
Indonesia, misalnya hasil pembangunan dalam bentuk infrastruktur, fasilitas
umum, dan sebagainya;
6) Mengingat Tahapan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 9 Desember 2015
sudah berjalan, maka Pemohon memohon agar kiranya Mahkamah Konstitusi
memberikan prioritas, serta berkenan memeriksa, memutus dan mengadili
perkara ini dalam waktu yang tidak terlalu lama agar pelaksanaan Pemiliha
Kepala

Daerah

dimaksud

segera

mendapat

kepastian

hukum

dan

terlaksanatanpa merugikan hak konstitusional warga negara dan bangsa


Indonesia.

26

7. PETITUM
1) Mengabulkan

permohonan

yang

dimohonkan

para

Pemohon

untuk

seluruhnya;
2) Menyatakan Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9),
Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) dan Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat (6) UU
8/2015 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
3) Menyatakan Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9),
Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) dan Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat (6) UU
8/2015 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah Konstitusi
berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.

27

BAB IV
ANALISIS
PUTUSAN MK NOMOR 100/PUU-XIII/2015

1. Penemuan Hukum dalam Putusan MK Nomor 100/PUU-XII/2015

2. Alasan dan Dasar Hukum Hakim MK Memutuskan Mengikutsertakan


Calon Tunggal dalam PILKADA Serentak.
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara pengujian Undang-undang No 8
tahun 2015 yang tercatat sebagai perkara konstitusi No 100/PUU-XIII/2015,
mengundang perdebatan menarik dari sisi politik maupun dari sisi konstitusi. Dari
sisi politik putusan MK ini menegaskan demokrasi tanpa kontestasi adalah sah
dengan segala konsekuensinya. Dari sisi konstitusi putusan ini membuka jalan
buntu akibat tidak adanya calon alternatif dalam pemilihan kepala daerah. Putusan
MK tersebut di atas mengandung makna penting sebagai pembelajaran bagi
partai politik. Merekalah yang diberi mandat penuh untuk mengusung pasangan
calon dalam pemilu termasuk pemilukada. Tapi apa yang terjadi telah semakin
menurunkan kepercayaan publik terhadap partai politik sebagai infrastruktur
utama dalam sistem politik.

28

Dalam pemilihan umum termasuk pemilukada, ada dua hak konstitusional


yang penting yang dijamin pemenuhannya oleh pemilihan umum yakni hak untuk
dipilih dan hak untuk memilih. Hak untuk memilih kandidat yang diusung partai
politik pada dasarnya adalah menyetujui gagasan, ide, program dan visi yang
ditawarkan oleh kandidat tersebut. Memilih kandidat tertentu dalam pemilu
hakikatnya memilih yang terbaik dari ide, gagasan, program, dan visi yang
ditawarkan para kandidat yang berkontestasi dalam pemilu atau pemilukada.
Karena itu kontestasi dalam pemilu tidak semata memilih kandidat tapi juga
memilih ide dan gagasan yang terbaik untuk dijadikan prioritas utama dalam lima
tahun kedepan.
Dari perspektif pendidikan politik, kontestasi dalam pemilu ini memberikan
kesempatan pada pemilih untuk menimbang, menilai dan memutuskan gagasan,
ide, program maupun visi siapa yang paling realistis dan pantas didukung dalam
pemilihan umum atau pilkada. Perdebatan yang lahir dari perbedaan ide, gagasan,
program dan visi masing-masing kandidat adalah dalam rangka mempertajam ide,
gagasan, program dan visi tersebut. Sehingga siapapun yang akhirnya menang
dalam kontestasi tersebut memiliki pemahaman yang komprehensif terhadap
persoalan-persoalan yang menjadi perhatian publik di daerah tersebut. Sebaliknya
yang kalah dalam kontestasi memiliki kesempatan untuk menjadi oposisi yang
mengkritisi terus menerus gagasan yang dijalankan oleh pemenang kontestasi.
Bagi masyarakat, perbedaan pendapat dan kontestasi politik yang terjadi
dalam ruang publik, bisa menjadi arena belajar yang penting dalam memahami
29

dan menilai persoalan-persoalan yang diperdebatkan. Kondisi inilah yang


sesungguhnya dihilangkan dari demokrasi tanpa kontestasi yang diputuskan MK
beberapa waktu lalu. Memang kita bisa saja berdalih bahwa calon tunggal pun
dituntut untuk memperjelas ide, gagasan, program dan visi mereka melalui
kampanye, tapi tentu berbeda jika ada pihak pesaing yang secara khusus dan kritis
mencermatinya.
Dari perspektif yang lain, kontestasi ide, gagasan, program dan visi kandidat
akan memudahkan proses akuntabilitas demokratis bagi kandidat yang terpilih.
Penajaman visi misi dalam kampanye menjadi ide gagasan yang lebih dimengerti
dan dipahami pemilih adalah tantangan setiap kandidat yang maju dalam pemilu
dan pemilukada.
Masalah terbesar dari calon tunggal dalam demokrasi non kontestasi ini
adalah proses penajaman visi misi dan gagasan serta ide tersebut tidak seintensif
jika ada lebih dari satu calon. Ada dorongan calon lain untuk mengritisi setiap
gagasan yang diajukan calon lain. Lebih dari itu calon tunggal tidak memiliki
kesempatan untuk berdebat dan mempersoalkan detail program dan gagasan yang
diajukan. Padahal detail itulah yang sering menjadi masalah dalam setiap program
dan gagasan yang ditawarkan. Akuntabilitas demokratis kepala daerah terpilih
bisa dituntut melalui catatan-catatan detail yang mengikuti program dan kegiatan
yang ditawarkannya ketika kampanye.
Jika politik dimaknai sebagai proses penentuan prioritas-prioritas utama yang
akan dilaksanakan dalam periode waktu tertentu, maka proses pemilu adalah
30

proses untuk mengukur prioritas mana yang lebih menarik bagi masyarakat
sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Calon tunggal dalam demokrasi non
kontestasi ini berpotensi mengaburkan pilihan-pilihan prioritas tersebut karena
ketiadaan ruang publik yang memadai untuk memperdebatkan setiap gagasan
yang dimunculkan oleh kandidat tunggal tersebut.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada) yang dimohonkan oleh Akademisi
Effendi Gazali. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan Pilkada yang hanya
diikuti oleh satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat
dilaksanakan apabila telah diusahakan dengan sungguh-sungguh terpenuhinya
syarat paling sedikit dua pasangan calon. Untuk itu, Pilkada tidak lagi sematamata digantungkan pada keharusan paling sedikit adanya dua pasangan calon
kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Menurut Mahkamah, dalam UU Pilkada, tampak bahwa pembentuk UndangUndang ingin kontestasi Pilkada setidaknya diikuti dua pasangan calon. Namun,
pembentuk Undang-Undang tidak memberikan jalan keluar apabila syarat paling
kurang dua pasangan calon tersebut tidak terpenuhi. Dengan demikian, akan ada
kekosongan hukum manakala syarat paling kurang dua pasangan calon tersebut
tidak terpenuhi. Kekosongan hukum itu akan berakibat pada tidak dapat
diselenggarakannya Pemilihan Kepala Daerah, jelas Hakim Konstitusi Suhartoyo
membacakan pertimbangan hukum.

31

Mahkamah mengimbuhkan, adanya kekosongan hukum tersebut telah


mengancam tidak terlaksananya hak hak rakyat untuk dipilih dan memilih karena
dua alasan. Pertama, penundaan ke Pemilihan serentak berikutnya sesungguhnya
telah menghilangkan hak rakyat untuk dipilih dan memilih pada Pemilihan
serentak saat itu. Kedua, apabila penundaan demikian dapat dibenarkan, tetap
tidak ada jaminan bahwa pada Pemilihan serentak berikutnya itu, hak rakyat
untuk dipilih dan memilih akan dapat dipenuhi. Pasalnya, penyebab tidak dapat
dipenuhinya hak rakyat untuk dipilih dan memilih itu tetap ada, yaitu ketentuan
yang mempersyaratkan paling sedikit adanya dua pasangan calon dalam
kontestasi Pilkada.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pilkada yang ditunda sampai pemilihan
berikutnya hanya karena tak terpenuhinya syarat paling sedikit dua pasangan
calon bertentangan dengan UUD 1945. Demi menjamin terpenuhinya hak
konstitusional warga negara, pemilihan Kepala Daerah harus tetap dilaksanakan
meskipun hanya terdapat satu pasangan calon kepala daerah dan calon wakil
kepala daerah, setelah sebelumnya diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk
mendapatkan paling sedikit dua pasangan calon, tegas Suhartoyo.

3. Mekanisme Pemilihan
Mahkamah memutuskan, keikutsertaan calon tunggal dalam Pilkada dapat
dilakukan jika telah diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk terpenuhi syarat
paling sedikit dua pasangan calon. Hal ini berarti penyelenggara telah
32

melaksanakan ketentuan yang terdapat pada Pasal 49 ayat (1) sampai dengan ayat
(9) UU Pilkada (untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur) dan ketentuan Pasal
50 ayat (1) sampai dengan ayat (9) UU Pilkada (untuk pemilihan Bupati/Wakil
Bupati dan Walikota/Wakil Walikota).
Setelah itu, dilakukan proses seperti referendum, yakni jika hanya ada satu
pasangan calon, maka dilakukan proses untuk meminta kepada rakyat (pemilih)
untuk menyatakan Setuju atau Tidak Setuju dalam surat suara, terhadap calon
tunggal tersebut. Apabila pilihan Setuju memperoleh suara terbanyak maka
pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dimaksud ditetapkan
sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, sedangkan apabila pilihan
Tidak Setuju memperoleh suara terbanyak maka pemilihan ditunda sampai
Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya.Penundaan demikian tidaklah
bertentangan dengan konstitusi sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah
memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara Tidak Setuju tersebut,
jelas Suhartoyo.
Agar proses tersebut dapat dijalankan, maka ketentuan Pasal 49 ayat (9) UU
Pilkada yang menyatakan, KPU Provinsi membuka kembali pendaftaran
pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur paling lama 3 (tiga) hari
setelah penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8)harus
dimaknai termasuk menetapkan satu pasangan Calon Gubernur dan Calon
Wakil Gubernur peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga) hari
dimaksud telah terlampaui namun tetap hanya ada satu pasangan Calon
33

Gubernur dan Calon Wakil Gubernur. Pemaknaan yang sama juga berlaku
untuk ketentuan Pasal 50 ayat (9) yang mengatur pembukaan kembali pendaftaran
calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon
Wakil Walikota. Demikian juga dengan pasal terkait lainnya, yakni Pasal 51 ayat
(2) dan Pasal 52 ayat (2) UU Pilkada.
Namun, Putusan nomor 100/PUU-XIII/2015 ini diwarnai adanya pendapat
berbeda dari Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Menurutnya, keberadaan Calon
tunggal pada dasarnya meniadakan kontestasi. Sedangkan Pemilu tanpa kontestasi
hakikatnya bukan Pemilu yang senafas dengan asas Luber dan Jurdil. Hak-hak
untuk memilih dan hak untuk dipilih akan terkurangi dengan adanya calon
tunggal karena pemilih dihadapkan pada pilihan artifisial (semu).
Sedangkan terhadap pengujian norma yang sama dengan nomor perkara yang
berbeda, yakni perkara nomor 95/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan warga
Surabaya dan perkara nomor 96/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan Calon Wakil
Walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana, Mahkamah menyatakan kedua
permohonan tersebut tidak dapat diterima.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai argumentasi tentang kerugian
hak konstitusional para Pemohon didasarkan pada keadaan aktual pada saat
permohonan diajukan, yaitu tidak adanya paling sedikit 2 (dua) pasangan calon
Walikota dan calon Wakil Walikota Surabaya. Namun, saat permohonana
quo diputus, keadaan sebagaimana didalilkan para Pemohon telah berubah. Syarat
paling sedikit 2 (dua) pasangan calon tersebut telah terpenuhi, sebagaimana
34

diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya yang tertuang
dalam

Keputusan

KPU

Kota

Surabaya

Nomor

36/Kpts/KPU-Kota-

014.329945/2015 tentang Penetapan Pasangan Calon Dalam Pemilihan Walikota


dan Wakil Walikota Surabaya Tahun 2015, tanggal 24 September 2015.
Oleh karena itu, Mahkamah memandang dalil kerugian hak konstitusional
para Pemohon menjadi tidak relevan lagi sehingga para Pemohon kehilangan
kedudukan hukum (legal standing)-nya sebagai Pemohon dalam permohonan a
quo.

35

BAB V
KESIMPULAN
???

36

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku :
Abdul Mukhtie Fadjar, Partai Politik dalam Perkembangan Ketatanegaraan
Indonesia, Setara Pers, Malang, 2013.
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH),
Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1999.
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung, 1991.
Daniel S. Lev., Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,
Cetakan Keempat, LP3ES, Jakarta, 2013.
Elias M. Awad. System Analysis and Design, Homewood, Illionis : Richard
D.Irwin,1979.
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara
DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, 2004.
Kodiran, Aspek Kebudayaan Bangsa dalam Hukum Nasional, Identitas Hukum
Nasional, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1999.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1998.
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cetakan keempat,
Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Cahaya Atma
Pustaka, Yogykarta, 2014.
Suharizal, Pemilukada, Regulasi, DInamika, dan Konsep Mendatang, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Tatang M. Amirin. Pokok-Pokok Teori Sistem, Cetakan keempat, Rajawali Pers,
Jakarta,1996.

37

1. Daftar Pustaka dari Jurnal (2) ?


2. Cover/Sampul ?
3. Daftar Isi ?
4. Kata Pengantar ?
5. Bab IV, Analisis ?

38

You might also like