Professional Documents
Culture Documents
Yogyakarta,
2015
26
September
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR ...........................................................................................................................1
DAFTAR ISI ..........................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang ....................................................................................................................3
1.2 . Rumusan masalah...............................................................................................................4
1.3 . Tujuan.........................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian informed consent...........................................................................4
2.2. Tujuan perlunya informed consent......................................................5
2.3 Fungsi informed consent.......6
2.4 Bentuk- bentuk dan unsur informed consent.
...7
2.5 Tata laksana informed consent..
...8
2.6
Aspek
aspek
penting
dalam
consent....8
2.7Dasar
hukum
informed
informed
consent....13
2.8
Sanksi
hukum
terhadap
informed
consent...15
BAB 1II PENUTUP
3.1. Kesimpulan..15
3.2. Saran.....16
DAFTAR PUSTAKA...16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.3
Rumusan Masalah
Pengertian Informed consent
Tujuan perlunya informed consent
Fungsi informed consent
Bentuk- bentuk dan unsur informed consent
Tata laksana informed consent
Aspek aspek penting dalam informed consent
Dasar hukum informed consent
Sanksi hukum terhadap informed consent
Tujuan
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui Informed consent
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui fungsi dan tujuan informed
consent
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui Bentuk- bentuk dan unsur
informed consent
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui bagaimana tata laksana
informed consent
informed consent
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui
consent
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui sanksi hukum terhadap
informed consent
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Informed Consent
informed
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan maka pasien tidak akan mengadakan
tuntutan apapun di kemudian hari. Akan tetapi rumusan tersebut jika ditinjau
dari segi hukum tidak mempunyai arti atau kekuatan hukum. Dalam khazanah
hukum, izin seperti ini disebut dengan blanket consent yang sama seklai tidak
mempunyai kekuatan atau arti dalam hal legalitas. Maksudnya, izin seperti ini
tidak dapat digunakan sebagai dasat pembelaan terhadap tenaga
kesehatan/dokter, apabila terjadi sesuatu pada pasien. Dengan demikian,
semuanya harus dikembalikan kepeada pemenuhan standar profesi medis. Di
samping itu, seseorang tidak dapat membebaskan diri dari tanggungjawabnya
atas kesalahan yang belum dilakukan(bertentangan dalam pasal 1335-1337 KUH
Perdata).
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed
consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :
1.
2.
3.
pasien;
4.
menghindari penipuan dan misleading oleh dokter;
5.
mendorong diambil keputusan yang lebih rasional;
6.
mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan;
7.
sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan
kesehatan;
Pada prinsipnya informed consent diberikan di setiap pengobatan oleh
dokter. Akan tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat
terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut :
1.
dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi
2.
dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai
teknologi baru yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
3.
dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan
banyak efek samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll.
4.
dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
5.
dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan
riset dan eksperimen dengan berobjekan pasien.
Tujuan lain dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi
yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan
dilaksanakan. Informed consent juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak
pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna apabila
pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan sehingga ia dapat
mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila informasi
yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.
2.3 Fungsi Informed Consent
akan dihadapinya. Untuk itu, tindakan medik yang ditentukan oleh dokter harus
dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan standar profesinya.(Guwandi,
2004).
2.6 Aspek-aspek Penting dalam informed consent
Beberapa aspek-aspek penting terkait pelaksanaan informed consent ialah
sebagai berikut:
Informasi
10
11
Persetujuan
Inti dari persetujuan adalah persetujuan harus didapat sesudah pasien mendapat
informasi yang adekuat. Berpedoman pada uu no.36 tahun 2009 tentang
persetujuan tindakan medik maka yang menandatangani perjanjian adalah
pasien sendiri yang sudah dewasa (diatas 21 tahun atau sudah menikah) dan
dalam keadaan sehat mental. Dalam banyak perjanjian tindakan medik yang ada
selama ini, penandatanganan persetujuan ini sering tidak dilakukan oleh pasien
sendiri, tetapi lebih sering dilakukan oleh keluarga pasien. Hal ini mungkin
berkaitan dengan kesangsian terhadap kesiapan mental pasien untuk menerima
penjelasan tindakan operasi dan tindakan medis yang invasive tadi serta
keberanian untuk menandatangani surat tersebut, sehingga beban demikian
diambil alih oleh keluarga pasien.
Tindakan medis yang diambil oleh dokter tanpa persetujuan pasien
terlebih dahulu, meski untuk kepentingan pasien tetap tidak dapat dibenarkan
secara etika kedokteran dan hukum, sebagaimana telah ditegaskan oleh fatwa
IDI tentang Informed Consent (dokter tidak berhak melakukan tindakan medis
yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan
pasien itu sendiri).
Namun terhadap ketentuan tersebut terdapat pengecualian, yaitu dalam
keadaan gawat darurat dan terjadinya perluasan operasi yang tidak dapat
diduga sebelumnya serta dilakukan dalam rangka life saving. Dalam keadaankeadaan seperti ini dokter dapat melakukan tindakan medis tanpa mendapat
persetujuan terlebih dahulu.
Persetujuan dalam tindakan medik terdiri dari dua bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis
Bentuk persetujuan tertulis ini harus dimintakan dari pasien/keluarganya
jika dokter akan melakukan suatu tindakan medik invasif yang mempunyai resiko
besar. Hal ini dinyatakan dengan jelas dalam pasal 3 (1) Permenkes No.585
tahun 1989. Persetujuanpersetujuan tertulis itu dalam bentuk formulirformulir
persetujuan bedah, operasi dan lain-lain yang harus diisi (umumnya) dengan
tulisan tangan. Dan dari sudut hukum positif, formulir persetujuan ini sangat
penting sebagai bukti tertulis yang dapat dikemukan oleh para pihak kepada
12
hakim bila terjadi kasus malpraktek. Oleh karena itu, pengisian data pada
formulir itu haruslah tepat dan benar sehingga tidak akan menimbulkan masalah
dikemudian hari bagi para pihak.
2. Persetujuan Lisan
Terhadap tindakan medik yang tidak invasif dan tidak mengandung resiko
besar maka persetujuan dari pasien dapat disampaikan secara lisan kepada
dokter. Segi praktis dan kelancaran pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter
merupakan alasan dari penyampaian persetujuan itu secara tertulis. Meski
persetujuan lisan itu diperbolehkan untuk tindakan, dokter membiasakan diri
untuk menulis/mencatat persetujuan lisan pasien itu pada rekam medis/rekam
kesehatan, karena segala kegiatan yang dilakukan oleh dokter harus dicatat
dalam rekam medis termasuk persetujuan pasien secara lisan.
Penolakan(Informed Refusal)
Penolakan Pemeriksaan/ Tindakan
Sikap
.
Allport (1954), seperti yang dikutip dari Notoatmodjo (2003), menjelaskan
bahwa sikap terdiri dari 3 komponen pokok yaitu :
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
14
Tindakan
adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi suatu perbuatan nyata.
Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
nyata atau terbuka (Notoatmodjo, 2003). Respon terhadap stimulus tersebut
sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah
dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh karena itu disebut juga over
behavior.
2.7 Dasar Hukum Informed Consent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai subyek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan
jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang
sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh
hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping
terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat
melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi,
sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan
medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum.
Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku pada barang siapa merugikan orang
lain harus memberikan ganti rugi.Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolak ukur yang
dipergunakan adalah kesalahan berat (culpa lata). Oleh karena itu, adanya kesalahan kecil (ringan)
pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk menjatuhkan sanksi
pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan
medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan
pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai
pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan
15
hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus
menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive
(misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis
tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah
melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa informed
consent benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan
dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat
dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative,
misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan
oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum
mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang
berkenaan dengan informed consent ini.
Adanya kewajiban dari pihak pemberi informasi dalam menyampaikan sebuah persetujuan
tindak medik yang akan dilakukan atau setelah dilakukan. Tentunya tenaga kesehatan harus
menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien/ keluarga diminta atau tidak diminta.
Informasi tersebut: harus dengan jelas yang berkaitan dengan penyakit pasien ; prosedur diagnostik,
tindakan/terapi, alternatif terapi dan pembiayaan serta resiko yang mungkin timbul dari proses
tersebut dan harus dijelaskan selengkap-lengkapnya, kecuali dipandang merugikan pasien atau pasien
menolak untuk diberikan informasi. Informasi itu juga sewajarnya diberikan oleh tenaga kesehatan
yang melakukan tindakan atau tenaga kesehatan lain yang diberi wewenang, dan bila dipandang perlu
informasi bisa diberikan pada pihak keluarga pasien
Persetujuan dari pasien dari merupakan hal yang harus sangat diperhatikan, pasien tepat tidak
dibawah tekanan hubungan tenaga pasien. Sebelum dan sesudahnya telah mendapatkan informasi
lengkap, dan pihak yang membuat persetujuan adalah mereka pasien dewasa
(lebih dari 21 tahun atau sudah menikah ) atau dapat diwakilkan pihak Keluarga/ Wali/ induk
semang.
Syarat sahnya persetujuan tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga medis terhadap pasien,
sejatinya pasien diberikan secara bebas, diberikan oleh orang yang sanggup membuat perjanjian.Telah
mendapatkan penjelasan dan memahaminya, Mengenai susuatu hal yang khas dari persetujuan ini,
tindakan dilakukan pada situasi yang sama.
Tetapi penolakan (informed refusal) bisa juga dilakukan oleh pasien, karena merupakan hak pasien/
keluarga pasien dan tiada satupun tenaga kesehatan yang bisa memaksa sekalipun berbahaya bagi
16
pasien maka sebaiknya pihak rumah sakit/ dokter meminta pasien/ kel menandatangani surat
penolakan terhadap anjuran tindakan medik tersebut di lembaran khusus.
Seperti yang telah di atur dalam peraturan berikut:
Sanksi pidana
Apabila seorang tenaga kesehatan menorehkan benda tajam tanpa persetujuan pasien
dipersamakan dengan adanya penganiayaan yang dapat dijerat Pasal 351 KUHP
Sanksi perdata
Tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat digugat dengan
1365, 1367, 1370, 1371 KUHPer
Sanksi administratif
Pasal 13 Pertindik mengatur bahwa :
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau keluarganya
dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin praktik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai dengan
munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui SK PB-IDI
No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun
1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent. Serta dipertegas oleh UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004.
informed Consent yang diperoleh dengan tata cara yang tidak benar tidak dapat di anggap sebagai
penemu hak otonomi pasien, sehingga tindakan tersebut merupakan tindakan melanggar hukum
namun demikian pelaksanaan informed Consennt di indonesia hanya dilakukan dengan mengindahkan
nilai-nilai dalam budaya setempat yang sangat bervariasi.
3.2 Saran
Dalam Hal ini semoga dapat membatu pengetahuan dan menambah ilmu pengetahuan kita
dalam kesehatan , dan yang terpenting adalah dalam hal ini Pemerintah Bertanggung jawab
merencanakan , mengatur, menyelenggarakan dan membina Serta mengawasi penyelenggaraan upaya
17
kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masayarakat. Juga sumber daya di bidang kesehatan yang
adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggitingginya, terhadap Informed Consent agar kelak tidak terjadi perselisihan
DAFTAR PUSTAKA
Guwandi,J.2004.Informed
Consent&Informed
Refusal
4th
edition.Fakultas
Kedokteran
Indonesia:Jakarta
Hendrik,SH.M.Kes.2010.Etika dan Hukum Kesehatan.Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta
https://www.academia.edu/6608171/Informed_Consent_dan_Rahasia_Medis.html
http://www.Unsu.ac.id/makalah Informed consent Chapter II.html Format PDF
http://www.Undip.ac.id/daftar pustaka informed consent.html Format PDF
18