You are on page 1of 18

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah menganugerahkan nikmat


iman serta limpahan barakah kepada kami, sehingga kami berkesempatan untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam selalu
tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, Yakni suri tauladan ummat,
hingga menjadi motivasi kami untuk berkarya melalui ilmu bermanfaat. Tak lupa
kami haturkan terima kasih kepada dosen pembimbing, yang telah memberikan
kami pemahaman akan beberapa disiplin ilmu sehingga kami mempunyai bekal
dalam menyelesaikan makalah kami, karena tanpa bimbingan dosen maka sulit
bagi kami untuk bisa menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang
informed consent(persetujuan tindakan medis).
Dalam makalah ini kami membahas tentang informed
consent(persetujuan tindakan medis) secara luas, dengan berpatokan pada
berbagai referensi yang telah kami tampung menjadi satu referensi, meliputi
referensi cetak, jejaring social, serta referensi jurnal kesehatan tentang informed
consent, dalam format PDF .
Tiada lain tujuan kami menyusun makalah ini, kecuali hanya untuk
menambah pengethuan kita dalam bidang etika dan hukum kesehatan, maka
kami sediakan makalah ini yang di dalamnya telah kami bahas secara spesifik
tentang informed consent mulai dari pengertian dasar serta penerapannya.
kami berharap dengan hadirnya makalah ini maka akan menambah ilmu
pengetahuan dan harapan besar kami semoga makalah ini bisa bermamfaat
untuk kami dan pembaca semuanya.

Yogyakarta,
2015

26

September

DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR ...........................................................................................................................1
DAFTAR ISI ..........................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang ....................................................................................................................3
1.2 . Rumusan masalah...............................................................................................................4
1.3 . Tujuan.........................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian informed consent...........................................................................4
2.2. Tujuan perlunya informed consent......................................................5
2.3 Fungsi informed consent.......6
2.4 Bentuk- bentuk dan unsur informed consent.
...7
2.5 Tata laksana informed consent..
...8
2.6
Aspek

aspek

penting

dalam

consent....8
2.7Dasar
hukum

informed
informed

consent....13
2.8

Sanksi

hukum

terhadap

informed

consent...15
BAB 1II PENUTUP
3.1. Kesimpulan..15
3.2. Saran.....16

DAFTAR PUSTAKA...16

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang

Pada hakikatnya, persetujuan atas dasar informasi atau dikenal dengan


istilah informed consent, merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib
sendiri yang berfungsi di dalam pelayanan kesehatan. Penentuan nasib sendiri
adalah nilai dan sasaran dari informed consent, dan intisari dari permasalahan
informed consent adalah alat. Secara konkret persyaratan informed consent
ditujukan untuk setiap tindakan baik yang bersifat diagnostic ataupun terapeutik,
dan pada dasarnya senantiasa diperlukan persetujuan pasien yang
bersangkutan. Agar pemberian pertolongan dapat berfungsi di dalam pelayanan
medis, para pemberi pertolongan perlu memberikan informasi atau keterangan
pada pasien tentang keadaan dan situasi kesehatannya. Hubungan antara
informasi dan persetujuan dinyatakan dalam istilah informed consent. Serta
bisa disebut juga persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien
atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Aspek utama Informed Consent adalah memberikan perlindungan kepada pasien
serta memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan
dan bersifat negatif.
Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan diharapkan terlaksana
hubungan yang lancar antara pasien dan tenaga kesehatan. akan tetapi dapat
terjadi masalah diantara 2 prinsip, yaitu prinsip memberikan kebaikan kepada
pasien yang bertolak dari sudut pandang nilai etika dan ilmu kesehatan
berdasarkan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman tenaga kesehatan,
dan prinsip menghormati hak menentukan diri sendiri dari sudut pandang
pasien. Sehingga terdapat benturan yang dilematis antara tanggung jawab moral
profesi dan hak asasi manusia yang universal dalam hubungannya dengan
kesehatan. dengan demikian informed consent dibuat dengan tujuan untuk (1)
memberikan perlindungan kepada pasie atas segala tindakan medis dan (2)
memberikan perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang
tidak terduga yang dianggap merugikan pihak lain.

Secara aspek hukum informed consent dapat disimpulkan yaitu


persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga atas dasar informasi dan
penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien yang
tertera dalam Permenkes No 290/MENKES/PER/III/2008 Pasal 1 Ayat (1). Tujuan
Informed Consent adalah melindungi hak individu untuk menentukan nasibnya
sendiri (self-determination).
Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan baik antara Dokter
dan pasien akan sama-sama terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat
perbuatan diluar peraturan yang sudah dibuat tentu dianggap melanggar
hukum. Dalam pelanggaran Informed Consent telah diatur dalam pasal 19
Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran,
dinyatakan terhadap dokter yang melakukan tindakan tanpa Informed Consent
dapat dikenakan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan
pencabutan Surat Ijin Praktik.
Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa
tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia)
bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan
hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu
dapat diterapkan.
Untuk itu, sangat diperlukan bagi dokter,

tenaga kesehatan serta

masyarakat untuk mengetahui tentang aspek hukum informed consent. Selain


itu perlu pula mengetahui isi dari informed consent serta format informed
consent yang sah secara hukum.
1.2

1.3

Rumusan Masalah
Pengertian Informed consent
Tujuan perlunya informed consent
Fungsi informed consent
Bentuk- bentuk dan unsur informed consent
Tata laksana informed consent
Aspek aspek penting dalam informed consent
Dasar hukum informed consent
Sanksi hukum terhadap informed consent
Tujuan
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui Informed consent
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui fungsi dan tujuan informed

consent
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui Bentuk- bentuk dan unsur

informed consent
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui bagaimana tata laksana
informed consent

Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui aspek-aspek penting dalam

informed consent
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui

consent
Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui sanksi hukum terhadap

dasar hukum informed

informed consent
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Informed Consent

Informed Consent adalah istilah yang telah diterjemahkan dan lebih


sering disebut dengan Persetujuan Tindakan Medik. Secara harfiah, Informed
Consent terdiri dari dua kata, yaitu : Informed dan Consent. Informed berarti
telah mendapatinformasi/penjelasan/keterangan. Consent berarti memberi
persetujuan atau mengizinkan. Menurut D. Veronika Komalawati, SH ,
informed consent dirumuskan sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien
atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah
memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan
untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin
terjadi.
Pengertian yang lebih luas terkait informed consent yakni
adalah
memberi izin atau wewenang kepada seseorang untuk melakukan suatu
informed consent(IC),dengan demikian berarti suatu pernyataan setuju atau izin
oleh pasien atau secara sadar, bebas dan rasional setelah memperoleh informasi
yang dipahaminya, dari tenaga kesehatan/doker yang memahami tentang
penyakitnya. Kata dipahami harus digaris bawahi atau ditekankan, karena
pemahaman suatu informasi oleh tenaga kesehatan/dokter belum tentu
dipahami juga oleh pasien. Harus diingat bahwa yang terpenting adalah
pemahaman oleh pasien (Hendrik, 2010,hal.57).
Definisi operasional dari informed consent adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien(orang tua/wali/suami/istri/orang yang berhak ,mewakilinya)
kepada tenaga kesehatan/dokter untuk dilakukan suatu tindakan medis yang
bertujuan untuk kesembuhan penyakit yang dideritanya. Dalam hal ini tenaga
kesehatan ataudokter telah memberikan informasi yang cukup yang diperlukan
pasien mengenai tindakan yang harus dilakukan.
Dalam pengertian demikian, informed consent(persetujuan tindakan
medis) dapat dilihat dari dua sudut, yaitu pertama membicarakan Persetujuan
Tindakan Medik dari pengertian umum, adalah persetujan yang diperoleh dokter
sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan dan tindakan medik apapun yang
akan dilakukan. Dan kedua membicarakan Persetujuan Tindakan Medik dari
5

pengertian khusus, adalah Persetujuan Tindakan Medik yang dikaitkan dengan


persetujuan atau izin tertulis dari pasien/keluarga pada tindakan operatif, lebih
dikenal sebagai Surat Izin Operasi (SIO), surat perjanjian dan lainlain, istilah
yang dirasa sesuai oleh rumah sakit tersebut (Amri, 1999).

2.2 Tujuan Perlunya Informed Consent

Di Indonesia informed Consent tentu memiliki maksud tujuan diatur


terlihat dari arti pentingnya perlindungan terhadap hak-hak azasi pasien
untuk menentukan nasib sendiri (hak informasi tentang penyakitnya, hak
untuk menerima/menolak rencana perawatan). Juga merupakan suatu
tindakan konkrit atas penghormatan kalangan kesehatan terhadap hak
perorangan. mengingat perlu dan pentinya pembatasan Otorisasi Tenaga
kesehatan terhadap pasien juga merupakan hal yang bisa dilepaskan.
Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari
tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis
yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment
yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan
teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam
batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan
kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan
(ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat
lainnya.
Menurut Appelbaum(Veronica K,1999) untuk menjadi doktrin
consent harus memenuhi syarat sebagai berikut:

informed

1. Adanya kewajiban dari tenaga kesehatan untuk menjelaskan informasi


kepada pasien
2. Adanya kewajiban dari tenaga kesehatan untuk mendapatkan izin atau
persetujuan dari pasien, sebelum dilaksanakan perawatan/pengobatan.
Dari pernyataan diatas, timbul persepsi di kalangan para tenaga
kesehatan bahwa tampaknya kewajiban itu hanya membebani para tenaga
kesehatan, sedangkan risiko yang dihadapi dalam pelayanan medis tertentu
tergolong tinggi. Dalam hal ini, informed consent diartikan sebagai perwujudan
prinsip mengutamakan kepentingan pasien, tetapi kepentingan tenaga
kesehatan tersebut terabaikan. Selain itu, ada juga yang menafsirkan bahwa
informed consent secara tertulis dari pasien dapat dijadikan alat bukti ada
tidaknya kesalahan dalam tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan. Didasarkan pada asas tidak merugikan, penetapan syarat informed
consent justru bertujuan agar tenaga kesehatan dapat menghindarkan risiko
sekecil apapun demi kepentingan pasiennya.
Untuk menghindari tuntutan pasien terhadap tenaga kesehatan, di dalam
informed consent secara tertulis dicantumkan syarat bahwa tenaga kesehatan
tidak dituntut dikemudian hari. Syarat yang dimaksudkan antara lain
menyatakan bahwa, Pasien menyadari sepenuhnya atas segala resiko tindakan
medis yang akan dilakukan tenaga kesehatan dan jika dalam tindakan medis itu
6

terjadi sesuatu yang tidak diinginkan maka pasien tidak akan mengadakan
tuntutan apapun di kemudian hari. Akan tetapi rumusan tersebut jika ditinjau
dari segi hukum tidak mempunyai arti atau kekuatan hukum. Dalam khazanah
hukum, izin seperti ini disebut dengan blanket consent yang sama seklai tidak
mempunyai kekuatan atau arti dalam hal legalitas. Maksudnya, izin seperti ini
tidak dapat digunakan sebagai dasat pembelaan terhadap tenaga
kesehatan/dokter, apabila terjadi sesuatu pada pasien. Dengan demikian,
semuanya harus dikembalikan kepeada pemenuhan standar profesi medis. Di
samping itu, seseorang tidak dapat membebaskan diri dari tanggungjawabnya
atas kesalahan yang belum dilakukan(bertentangan dalam pasal 1335-1337 KUH
Perdata).
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed
consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :
1.
2.
3.

Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia;


promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri;
untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati

pasien;
4.
menghindari penipuan dan misleading oleh dokter;
5.
mendorong diambil keputusan yang lebih rasional;
6.
mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan;
7.
sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan
kesehatan;
Pada prinsipnya informed consent diberikan di setiap pengobatan oleh
dokter. Akan tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat
terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut :
1.
dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi
2.
dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai
teknologi baru yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
3.
dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan
banyak efek samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll.
4.
dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
5.
dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan
riset dan eksperimen dengan berobjekan pasien.
Tujuan lain dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi
yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan
dilaksanakan. Informed consent juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak
pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna apabila
pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan sehingga ia dapat
mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila informasi
yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.
2.3 Fungsi Informed Consent

Fungsi informed consent secara umum adalah:


7

Proteksi dari pasien dan subyek;


Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;

Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan


introspeksi terhadap diri sendiri;
Promosi dari keputusan-keputusan rasional;
Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai
suatu nilai social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan
biomedik.

Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan / tujuannya dibagi


tiga, yaitu:
a. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek
penelitian)
b. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis;
c. Yang bertujuan untuk terapi.
2.4

Bentuk Informed Consent

Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) yaitu :


1.

Tersirat atau dianggap telah diberikan (Implied Consent), yaitu bisa


dalam keadaan normal (biasa) atau darurat, umumnya tindakan yang
biasa dilakukan atau sudah diketahui umum misal menyuntik pasien.
Bila pasien dalam keadaan gawat darurat Emergency memerlukan
tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan tidak bisa
memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak ditempat, maka
dokter dapat melakukan tindakan edik terbaik menurut dokter
(Permenkes No. 585 tahun 1989, pasal 11).
2. Dinyatakan (Expressed Consent), yaitu persetujuan dinyatakan secara
lisan atau tertulis. Persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan
medis yang tidak mengandung resiko tinggi seperti pencabutan kuku,
sedangkan persetujuan secara tertulis mutlak diperlukan pada
tindakan medis yang mengandung resiko tinggi seperti tindakan
pembedahan perlu surat pernyataan dari pasien/keluarga. (Amri,
1999).
Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat:
1. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko
atau efek samping yang bermakna;
2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi;
3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna
bagi kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien;
4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.
Menurut J.Guwandi, SH.(2004) terdapat 3 bagian dari informed consent:
1. Pengungkapan dan penjelasan (disclosure and explanation) kepada
pasien dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh pasiennya tentang:
Penegakan diagnosis;
Sifat dan prosedur atau tindakan medic yang diusulkan;
8

Kemungkinan timbulnya resiko;


Manfaatnya;
Alternative (jika ada)
2. a. memastikan bahwa pasien mengerti apa yang telah dijelaskan
kepadanya(harus diperhitungkan tingkat intelektualnya)
b. bahwa pasien menerima risiko-risiko tersebut
c. bahwa pasien mengizinkan dilakukan prosedur atau tindakan medic
tersebut
3. harus didokumentasikan (dalam bentuk rekam medis atau medical
record)
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi
minimal 3 (tiga) unsure sebagai berikut :

Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter;


Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan;
Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.

2.5 Tata Laksana Informed Consent


Pada umumnya, keharusan adanya Informed Consent secara tertulis yang
ditandatangani oleh pasien sebelum dilakukannya tindakan medik tertentu itu,
dilakukan di sarana kesehatan yaitu di Rumah Sakit atau Klinik, karena erat
kaitannya dengan pendokumentasiannya ke dalam catatan medik (Medical
Record). Hal ini disebabkan, Rumah Sakit atau Klinik tempat dilakukannya
tindakan medik tersebut, selain harus memenuhi standar pelayanan rumah sakit
juga harus memenuhi standar pelayanan medik sesuai dengan yang ditentukan
dalam keputusan Menteri Kesehatan No. 436/MENKES/SK/VI/1993 Tentang
Berlakunya Standar Pelayanan di Rumah Sakit. Dengan demikian, Rumah Sakit
turut bertanggung jawab apabila tidak dipenuhinya persyaratan Informed
Consent. Apabila tindakan medik yang dilakukan tanpa adanya Informed
Consent, maka dokter yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administratif
berupa pencabutan surat izin praktik, Berarti, keharusan adanya Informed
Consent secara tertulis dimaksudkan guna kelengkapan administrasi Rumah
Sakit yang bersangkutan.
Dengan demikian, penandatanganan Informed Consent secara tertulis
yang dilakukan oleh pasien sebenarnya dimaksudkan sebagai penegasan atau
pengukuhan dari persetujuan yang sudah diberikan setelah dokter memberikan
penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukannya. PERMENKES
No.585/MENKES/PER/IX/1989 Pasal 3 dan 4 menyatakan bahwa
penandatangan Informed Consent secara tertulis dilakukan oleh yang berhak
memberikan persetujuan yaitu baik pasien maupun keluarganya, setelah pasien
atau keluarganya mendapat informasi yang lengkap.
Oleh karena itu, dengan ditandatanganinya Informed Consent secara
tertulis tersebut, maka dapat diartikan bahwa pemberi tanda tangan
bertanggung jawab dalam menyerahkan sebagian tanggung jawab pasien atas
dirinya sendiri kepada dokter yang bersangkutan, beserta resiko yang mungkin
9

akan dihadapinya. Untuk itu, tindakan medik yang ditentukan oleh dokter harus
dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan standar profesinya.(Guwandi,
2004).
2.6 Aspek-aspek Penting dalam informed consent
Beberapa aspek-aspek penting terkait pelaksanaan informed consent ialah
sebagai berikut:

Informasi

Bagian yang terpenting dalam Informed Consent adalah mengenai


informasi atau penjelasan yang perlu disampaikan kepada pasien atau keluarga.
Yaitu informasi mengenai apa (what) yang harus disampaikan, tentulah segala
sesuatu yang berkaitan dengan penyakit pasien. Tindakan apa yang akan
dilakukan tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani baik diagnostik maupun
terapi dan lain lain sehingga pasien/keluarga dapat memahaminya. Ini
mencakup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan
dan alternatif terapi. Mengenai kapan (when) disampaikan, tergantung pada
waktu yang tersedia setelah dokter akan memutuskan akan melakukan tindakan
invasif dimaksudkan.
Pasien/keluarganya harus diberi waktu yang cukup untuk menentukan
keputusannya. Siapa (who) yang menyampaikan, tergantung dari jenis tindakan
yang akan dilakukan. Dalam Permenkes dijelaskan dalam tindakan bedah dan
tindakan invasif lainnya harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan
tindakan. Dalam keadaan tertentu dapat pula oleh dokter lain atas
sepengetahuan dan petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Bila bukan
tindakan bedah atau invasif sifatnya, dapat disampaikan oleh dokter atau
perawat. Mengenai informasi yang mana (which) yang harus disampaikan, dalam
Permenkes dijelaskan haruslah yang selengkaplengkapnya, kecuali dokter
menilai informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau
pasien menolak memberikan informasi. Bila perlu informasi dapat diberikan
kepada keluarga pasien (Amri, 1999).
Dalam uu no.36 tahun 2009 menyatakan bahwa dokter harus
menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien/keluarga diminta atau
tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan. Informasi harus diberikan
sebelum dilakukannya suatu tindakan operasi atau yang bersifat invasif, baik
yang berupa diagnostik maupun terapeutik.
Menurut Kerbala (1993), fungsi informasi dokter kepada pasien sebelum
pasien memberikan consent-nya, dapat dibedakan atas :
a. Fungsi Informasi bagi pasien
Berfungsi sebagai perlindungan atas hak pasien untuk menentukan diri
sendiri. Dalam arti bahwa pasien berhak penuh untuk diterapkannya suatu
tindakan medis atau tidak.

10

b. Fungsi Informasi bagi dokter


Dilihat dari pihak dokter maka informasi dalam proses Informed consent
pun mempunyai fungsi yang tidak kecil. Azwar (1991) mengemukan ada 5 hal
pentingnya fungsi informasi terlebih dokter:
1. Dapat membantu lancarnya tindakan kedokteran
Dengan penyampaian informasi kepada pasien mengenai penyakit, terapi,
keuntungan, risiko, dan lain-lain. Dari tindakan medis yang akan dilakukan maka
terjalin hubungan yang baik antara dokter dan pasien. Sementara pasien pun
akan menentukan hal yang terbaik dengan landasan informasi dokter tadi,
sehingga tindakan-tindakan medis pun akan lancar dijalani oleh kedua pihak
karena keduanya telah memahami kegunaan semua tindakan medis itu.
2. Dapat mengurangi timbulnya akibat sampingan dan komplikasi
Dengan penyampaian informasi yang baik akan memberi dampak yang
baik dalam komunikasi dokter pasien terutama dalam menerapkan terapi. Misal
dokter sebelum menyuntik pasien dengan penisilin bertanya, apakah pasien
alergi terhadap penisilin? Bila pasien memang alergi maka akibat/risiko yang
besar jika terjadi anafilaktik shock dapat dihindari. Betapa risiko besar itu akan
menimpa pasien bila dokter tidak bertanya kepada pasien.
3. Dapat mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan penyakit
Sama halnya dengan kelancaran tindakan, maka sebagai akibat adanya
pengetahuan dan pemahaman yang cukup dari pasien terhadap tindakan
kedokteran yang akan dilakukan, maka proses pemulihan dan penyembuhan
penyakit akan lebih cepat. Keadaan yang demikian juga jelas akan
menguntungkan dokter, karena dapat mengurangi beban kerja.
4. Dapat meningkatkan mutu pelayanan
Keberhasilan meningkatkan mutu pelayanan disini adalah sebagai akibat dari
lancarnya tindakan kedokteran, berkurangnya akibat sampingan dan komplikasi
serta cepatnya proses pemulihan dan penyembuhan penyakit.
5. Dapat melindungi dokter dari kemungkinan tuntutan hukum
Perlindungan yang dimaksudkan disini adalah apabila disuatu pihak,
tindakan dokter yang dilakukan memang tidak menimbulkan masalah apapun,
dan dilain pihak, kalaupun kebetulan sampai menimbulkan masalah, misalnya
akibat sampingan dan atau komplikasi, sama sekali tidak ada hubungannya
dengan kelalaian dan ataupun kesalahan tindakan (malpractice). Timbulnya
masalah tersebut sematamata hanya karena berlakunya prinsip ketidakpastian
hasil dari setiap tindakan kedokteran/medis. Dengan perkataan lain, semua
tindakan kedokteran yang dilakukan memang telah sesuai dengan standar
pelayanan profesi (standar profesi medis) yang telah ditetapkan.

11

Menurut Guwandi (2004), informasi yang harus diberikan sebelum


dilakukan tindakan operasi oleh dokter kepada pasien atau keluarga adalah yang
berkenaan dengan :
a. Tindakan operasi apa yang hendak dilakukan.
b. Manfaat dilakukan operasi tersebut.
c. Resiko yang terjadi pada operasi tersebut.
d. Alternatif lain apa yang ada (ini kalau memang ada dan juga kalau mungkin
dilakukan).
e. Apa akibatnya jika operasi tidak dilakukan.

Persetujuan

Inti dari persetujuan adalah persetujuan harus didapat sesudah pasien mendapat
informasi yang adekuat. Berpedoman pada uu no.36 tahun 2009 tentang
persetujuan tindakan medik maka yang menandatangani perjanjian adalah
pasien sendiri yang sudah dewasa (diatas 21 tahun atau sudah menikah) dan
dalam keadaan sehat mental. Dalam banyak perjanjian tindakan medik yang ada
selama ini, penandatanganan persetujuan ini sering tidak dilakukan oleh pasien
sendiri, tetapi lebih sering dilakukan oleh keluarga pasien. Hal ini mungkin
berkaitan dengan kesangsian terhadap kesiapan mental pasien untuk menerima
penjelasan tindakan operasi dan tindakan medis yang invasive tadi serta
keberanian untuk menandatangani surat tersebut, sehingga beban demikian
diambil alih oleh keluarga pasien.
Tindakan medis yang diambil oleh dokter tanpa persetujuan pasien
terlebih dahulu, meski untuk kepentingan pasien tetap tidak dapat dibenarkan
secara etika kedokteran dan hukum, sebagaimana telah ditegaskan oleh fatwa
IDI tentang Informed Consent (dokter tidak berhak melakukan tindakan medis
yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan
pasien itu sendiri).
Namun terhadap ketentuan tersebut terdapat pengecualian, yaitu dalam
keadaan gawat darurat dan terjadinya perluasan operasi yang tidak dapat
diduga sebelumnya serta dilakukan dalam rangka life saving. Dalam keadaankeadaan seperti ini dokter dapat melakukan tindakan medis tanpa mendapat
persetujuan terlebih dahulu.
Persetujuan dalam tindakan medik terdiri dari dua bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis
Bentuk persetujuan tertulis ini harus dimintakan dari pasien/keluarganya
jika dokter akan melakukan suatu tindakan medik invasif yang mempunyai resiko
besar. Hal ini dinyatakan dengan jelas dalam pasal 3 (1) Permenkes No.585
tahun 1989. Persetujuanpersetujuan tertulis itu dalam bentuk formulirformulir
persetujuan bedah, operasi dan lain-lain yang harus diisi (umumnya) dengan
tulisan tangan. Dan dari sudut hukum positif, formulir persetujuan ini sangat
penting sebagai bukti tertulis yang dapat dikemukan oleh para pihak kepada
12

hakim bila terjadi kasus malpraktek. Oleh karena itu, pengisian data pada
formulir itu haruslah tepat dan benar sehingga tidak akan menimbulkan masalah
dikemudian hari bagi para pihak.
2. Persetujuan Lisan
Terhadap tindakan medik yang tidak invasif dan tidak mengandung resiko
besar maka persetujuan dari pasien dapat disampaikan secara lisan kepada
dokter. Segi praktis dan kelancaran pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter
merupakan alasan dari penyampaian persetujuan itu secara tertulis. Meski
persetujuan lisan itu diperbolehkan untuk tindakan, dokter membiasakan diri
untuk menulis/mencatat persetujuan lisan pasien itu pada rekam medis/rekam
kesehatan, karena segala kegiatan yang dilakukan oleh dokter harus dicatat
dalam rekam medis termasuk persetujuan pasien secara lisan.

Penolakan(Informed Refusal)
Penolakan Pemeriksaan/ Tindakan

Pasien yang kompeten (dia memahami informasi, menahannya dan


mempercayainya dan mampu membuat keputusan) berhak untuk menolak suatu
pemeriksaan atau tindakan kedokteran, meskipun keputusan pasien tersebut
terkesan tidak logis. Kalau hal seperti ini terjadi dan bila konsekuensi penolakan
tersebut berakibat serius maka keputusan tersebut harus didiskusikan dengan
pasien, tidak dengan maksud untuk mengubah pendapatnya tetapi untuk
mengklarifikasi situasinya. Untuk itu perlu dicek kembali apakah pasien telah
mengerti informasi tentang keadaan pasien, tindakan atau pengobatan, serta
semua kemungkinan efek sampingnya.
Kenyataan adanya penolakan pasien terhadap rencana pengobatan yang
terkesan tidak rasional bukan merupakan alasan untuk mempertanyakan
kompetensi pasien. Meskipun demikian, suatu penolakan dapat mengakibatkan
dokter meneliti kembali kapasitasnya, apabila terdapat keganjilan keputusan
tersebut dibandingkan dengan keputusan-keputusan sebelumnya. Dalam setiap
masalah seperti ini rincian setiap diskusi harus secara jelas didokumentasikan
dengan baik.
Penundaan Persetujuan
Persetujuan
suatu
tindakan
kedokteran
dapat
saja
ditunda
pelaksanaannya oleh pasien atau yang memberikan persetujuan dengan
berbagai alasan, misalnya terdapat anggota keluarga yang masih belum setuju,
masalah keuangan, atau masalah waktu pelaksanaan. Dalam hal penundaan
tersebut cukup lama, maka perlu di cek kembali apakah persetujuan tersebut
masih berlaku atau tidak.
Pembatalan Persetujuan Yang Telah Diberikan
Prinsipnya, setiap saat pasien dapat membatalkan persetujuan mereka
dengan membuat surat atau pernyataan tertulis pembatalan
persetujuan
13

tindakan kedokteran. Pembatalan tersebut sebaiknya dilakukan sebelum


tindakan dimulai. Selain itu, pasien harus diberitahu bahwa pasien
bertanggungjawab atas akibat dari pembatalan persetujuan tindakan. Oleh
karena itu, pasien harus kompeten untuk dapat membatalkan persetujuan.
Kompetensi pasien pada situasi seperti ini seringkali sulit. Nyeri, syok atau
pengaruh obat-obatan dapat mempengaruhi kompetensi pasien dan kemampuan
dokter dalam menilai kompetensi pasien. Bila pasien dipastikan kompeten dan
memutuskan untuk membatalkan persetujuannya, maka dokter harus
menghormatinya dan membatalkan tindakan atau pengobatannya. Kadangkadang keadaan tersebut terjadi pada saat tindakan sedang berlangsung. Bila
suatu tindakan menimbulkan teriakan atau tangis karena nyeri, tidak perlu
diartikan bahwa persetujuannya dibatalkan. Rekonfirmasi persetujuan secara
lisan yang didokumentasikan di rekam medis sudah cukup untuk melanjutkan
tindakan. Tetapi apabila pasien menolak dilanjutkannya tindakan, apabila
memungkinkan, dokter harus menghentikan tindakannya, mencari tahu masalah
yang dihadapi pasien dan menjelaskan akibatnya apabila tindakan tidak
dilanjutkan. Dalam hal tindakan sudah berlangsung sebagaimana di atas, maka
penghentian tindakan hanya bisa dilakukan apabila tidak akan mengakibatkan
hal yang membahayakan pasien.
Lama Persetujuan Berlaku
Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap sah sampai dicabut
kembali oleh pemberi persetujuan atau pasien. Namun demikian, bila informasi
baru muncul, misalnya tentang adanya efek samping atau alternatif tindakan
yang baru, maka pasien harus diberitahu dan persetujuannya dikonfirmasikan
lagi. Apabila terdapat jedah waktu antara saat pemberian persetujuan hingga
dilakukannya tindakan, maka alangkah lebih baik apabila ditanyakan kembali
apakah persetujuan tersebut masih berlaku. Hal-hal tersebut pasti juga akan
membantu pasien, terutama bagi mereka yang sejak awal memang masih raguragu atau masih memiliki pertanyaan.

Perilaku Petugas Kesehatan


Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat diukur dengan wawancara yang


menanyakan sesuatu yang ingin diukur tentang pengetahuan dari subjek
penelitian (Notoatmodjo, 2003). Untuk mengukur pengetahuan dokter tentang
Informed Consent maka perlu diketahui pengertiannya tentang Informed
Consent, manfaat seerta peraturan tertera dalam uu no 36 tahun 2009.

Sikap

.
Allport (1954), seperti yang dikutip dari Notoatmodjo (2003), menjelaskan
bahwa sikap terdiri dari 3 komponen pokok yaitu :
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
14

3. Kecendrungan untuk bertindak (trend to behave).


Ketiga komponen ini secara bersamasama membentuk sikap yang utuh
(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini pengetahuan berpikir,
keyakinan, dan emosi memegang peranan penting,bahwa pasienlah yang harus
memutuskan apakah mereka akan melakukan suatu tindakan medis dan oleh
petugas kesehatan memberi tahu mengenai prosedur, risiko, dan efektifitas
sehingga mereka bisa mengambil keputusan yang tepat.

Tindakan

adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi suatu perbuatan nyata.
Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
nyata atau terbuka (Notoatmodjo, 2003). Respon terhadap stimulus tersebut
sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah
dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh karena itu disebut juga over
behavior.
2.7 Dasar Hukum Informed Consent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai subyek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan
jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang
sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh
hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping
terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat
melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi,
sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan
medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum.
Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku pada barang siapa merugikan orang
lain harus memberikan ganti rugi.Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolak ukur yang
dipergunakan adalah kesalahan berat (culpa lata). Oleh karena itu, adanya kesalahan kecil (ringan)
pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk menjatuhkan sanksi
pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan
medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan
pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai
pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan

15

hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus
menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive
(misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis
tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah
melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa informed
consent benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan
dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat
dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative,
misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan
oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum
mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang
berkenaan dengan informed consent ini.
Adanya kewajiban dari pihak pemberi informasi dalam menyampaikan sebuah persetujuan
tindak medik yang akan dilakukan atau setelah dilakukan. Tentunya tenaga kesehatan harus
menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien/ keluarga diminta atau tidak diminta.
Informasi tersebut: harus dengan jelas yang berkaitan dengan penyakit pasien ; prosedur diagnostik,
tindakan/terapi, alternatif terapi dan pembiayaan serta resiko yang mungkin timbul dari proses
tersebut dan harus dijelaskan selengkap-lengkapnya, kecuali dipandang merugikan pasien atau pasien
menolak untuk diberikan informasi. Informasi itu juga sewajarnya diberikan oleh tenaga kesehatan
yang melakukan tindakan atau tenaga kesehatan lain yang diberi wewenang, dan bila dipandang perlu
informasi bisa diberikan pada pihak keluarga pasien
Persetujuan dari pasien dari merupakan hal yang harus sangat diperhatikan, pasien tepat tidak
dibawah tekanan hubungan tenaga pasien. Sebelum dan sesudahnya telah mendapatkan informasi
lengkap, dan pihak yang membuat persetujuan adalah mereka pasien dewasa
(lebih dari 21 tahun atau sudah menikah ) atau dapat diwakilkan pihak Keluarga/ Wali/ induk
semang.
Syarat sahnya persetujuan tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga medis terhadap pasien,
sejatinya pasien diberikan secara bebas, diberikan oleh orang yang sanggup membuat perjanjian.Telah
mendapatkan penjelasan dan memahaminya, Mengenai susuatu hal yang khas dari persetujuan ini,
tindakan dilakukan pada situasi yang sama.
Tetapi penolakan (informed refusal) bisa juga dilakukan oleh pasien, karena merupakan hak pasien/
keluarga pasien dan tiada satupun tenaga kesehatan yang bisa memaksa sekalipun berbahaya bagi
16

pasien maka sebaiknya pihak rumah sakit/ dokter meminta pasien/ kel menandatangani surat
penolakan terhadap anjuran tindakan medik tersebut di lembaran khusus.
Seperti yang telah di atur dalam peraturan berikut:

Undang-Undang Republik Indonesia no.36 tahun 2009


Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang Penyelanggaraan
Praktik Kedokteran.

2.8 Sanksi Hukum Informed Consent

Sanksi pidana
Apabila seorang tenaga kesehatan menorehkan benda tajam tanpa persetujuan pasien
dipersamakan dengan adanya penganiayaan yang dapat dijerat Pasal 351 KUHP
Sanksi perdata
Tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat digugat dengan
1365, 1367, 1370, 1371 KUHPer
Sanksi administratif
Pasal 13 Pertindik mengatur bahwa :
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau keluarganya
dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin praktik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai dengan
munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui SK PB-IDI
No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun
1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent. Serta dipertegas oleh UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004.
informed Consent yang diperoleh dengan tata cara yang tidak benar tidak dapat di anggap sebagai
penemu hak otonomi pasien, sehingga tindakan tersebut merupakan tindakan melanggar hukum
namun demikian pelaksanaan informed Consennt di indonesia hanya dilakukan dengan mengindahkan
nilai-nilai dalam budaya setempat yang sangat bervariasi.
3.2 Saran
Dalam Hal ini semoga dapat membatu pengetahuan dan menambah ilmu pengetahuan kita
dalam kesehatan , dan yang terpenting adalah dalam hal ini Pemerintah Bertanggung jawab
merencanakan , mengatur, menyelenggarakan dan membina Serta mengawasi penyelenggaraan upaya
17

kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masayarakat. Juga sumber daya di bidang kesehatan yang
adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggitingginya, terhadap Informed Consent agar kelak tidak terjadi perselisihan
DAFTAR PUSTAKA
Guwandi,J.2004.Informed

Consent&Informed

Refusal

4th

edition.Fakultas

Kedokteran

Indonesia:Jakarta
Hendrik,SH.M.Kes.2010.Etika dan Hukum Kesehatan.Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta

https://www.academia.edu/6608171/Informed_Consent_dan_Rahasia_Medis.html
http://www.Unsu.ac.id/makalah Informed consent Chapter II.html Format PDF
http://www.Undip.ac.id/daftar pustaka informed consent.html Format PDF

18

You might also like