You are on page 1of 26

TUGAS

MATA KULIAH PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN


PERKEMBANGAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN DI KOTA BOGOR

DOSEN PENGAMPU:
PEDIA ALDY, ST, M.Sc

DI SUSUN OLEH:
FACHRY ENZETA
1307123225

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan untuk saya
agar dapat menyusun sebuah makalah.
Perumahan dan pemukiman merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan primer manusia, karena rumah atau papan merupakan kebutuhan primer yang
harus dimiliki oleh setiap manusia. Perkembangan pemukiman tak terlepas dari
perkembangan sebuah kota ataupun wilayah administratif. Setiap wilayah administratif
yang semakin maju akan membuat perumahan dan pemukiman akan semakin
berkembang pula.
Didalam makalah ini saya akan membahas lebih lanjut mengenai perkembangan
pemukiman di wilayah kota Bogor. Bogor merupakan kota satelit ataupun penunjang dari
kota induk yaitu Jakarta. Tentunya kota Bogor akan memiliki perkembangan sebagai
pemukiman untuk membantu kota induk dalam mnegatasi permasalahan kebutuhan dan
penunjang kota induknya.
Syukur Alhamdullilah pada akhirnya saya dapat menyusun sebuah makalah dan
dapat saya selesaikan. Saya membuat ini agar data dan informasi yang saya susun dapat
di manfaatkan sebaik-baiknya.

Penyusun
Pekanbaru, 20 September 2015

(Fachry Enzeta)

DAFTAR ISI
Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

BAB II Pembahasan
2.1 Perkembangan Kota

2.2 Bentuk Awal dan Perkembangan Kota Bogor

2.3 Bogor Sebagai Sub Sistem Pembangunan Jabodetabek

13

2.4 Bogor Masa Kini

15

BAB III Penutup


3.1 Kesimpulan

23

3.2 Saran

24

Daftar Pustaka

25

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Kota bukanlah lingkungan buatan manusia yang dibangun dalam waktu singkat

tetapi merupakan lingkungan yang dibentuk dalam waktu yang relatif panjang. Kondisi
wilayah perkotaan sekarang ini merupakan akumulasi dan setiap tahap perkembangan
yang terjadi sebelumnya dan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Dapat pula
dikatakan bahwa kota merupakan sebuah artefak urban yang kolektif dan pada proses
pembentukannya mengakar dalam budaya masyarakat setempat (Rapoport, 1977).
Kostof (1991) menjelaskan kota sebagai leburan dari bangunan dan penduduk.
Bentuk kota pada awalnya adalah netral tetapi kemudian berubah sampai dipengaruhi
dengan budaya tertentu. Produk morfologi kota merupakan hasil evolusi sejarah
kehidupan yang ditentukan oleh dua keputusan. Yang pertama oleh perencana dan yang
kedua oleh proses perkembangan kota (urban process). Keputusan perencana dapat
dilakukan melalui suatu kelembagaan baik secara otoriter maupun demokrasi. Sedang
perkembangan kota ditentukan oleh proses keputusan semua aktor pembangunan kota
yang beragam dan terus berlangsung sebagai suatu pasage of time and daily life, yang
dapat berada di luar skenario keputusan atau perencanaan formal (Kostof, dalam
Soetomo, 2009).
Kota adalah sebuah tempat di mana orang-orang di dalamnya mengidentifikasi diri
mereka dengan lokasinya. Sebuah kota merupakan kumpulan tempat yang mempunyai
berbagai penanda dan kenangan masingmasing. Saat manusia belajar, dia akan mencerna
penanda dari lingkungannya dan mengingatnya terus menerus. Hal ini dapat menjelaskan
mengapa manusia dapat mempunyai keterikatan yang erat dengan daerah asalnya, karena
telah belajar untuk mengingat dalam rentang waktu yang cukup lama. Kota menjadi
kumpulan memori karena merupakan wadah dari fungsi hidup manusia yang merekam
siklus dan daur hidup manusia (Carmona, 2003).
Kota-kota di Jawa berkembang dengan sangat pesat terutama setelah awal abad ke
20. Hal ini disebabkan karena perkembangan penduduk yang sangat cepat akibat besarnya
urbanisasi yang terjadi pada kota-kota di Jawa dari tahun ke tahun. Pusat kota pada kota-

kota di Jawa terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Keadaan sosial, budaya,
politik, serta sejarah masa lalu sebuah kota sangat berpengaruh pada kawasan-kawasan
di perkotaan. Setelah tahun 1980-an terjadi gejala pemekaran yang tidak terkontrol pada
kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Malang, dan lain-lain,
yang disinyalir oleh McGee (1991) sebagai akibat dari terjadinya proses pergeseran
fungsi pusat kota dari pusat pemerintahan menjadi pusat kegiatan jasa dan keuangan.
Secara fisik restrukturisasi ini ditandai dengan perubahan penggunaan lahan secara besarbesaran, karena munculnya lokasi-lokasi industri di tepi kota yang kemudian disusul
dengan munculnya daerah perumahan baru. Terjadilah istilah mega urban pada kota-kota
seperti

Jakarta

(Jabotabek),

Surabaya

(Gerbangkertasusila),

dan

Semarang

(Kedungsepur).
Susunan kota-kota tradisional dipengaruhi oleh beberapa faktor yang membatasi
pola susunannya, yaitu keamanan dan persatuan, keterbatasan bahan dan teknologi,
keterbatasan mobilitas, struktur sosial yang kaku, serta perkembangan yang agak lambat.
Faktor-faktor ini sangat menentukan penataan kota-kota lama. Susunan kota yang
dianggap modern tidak lagi dipengaruhi oleh batasan tertentu seperti pada kota
tradisional. Hal itu disebabkan oleh ketidakterbatasan komunikasi dan pengaruh pada
masyarakat secara individual mengenai ide-ide baru, ketidakterbatasan teknologi, serta
ketidakterbatasan mobilitas yang mengarah pada perluasan dan kepadatan kawasan kota
(Zahnd, 1999).
Banyak kota-kota di Indonesia yang telah memiliki identitas kota yang kuat sebagai
akibat dari proses perkembangan kota tersebut. Kota-kota besar di Indonesia secara
umum mengalami alur sejarah perkembangan yang hampir sama. Berawal dari kota
tradisional (kerajaan), berkembang pada masa kolonial, dan setelah masa kemerdekaan
menghadapi era modernisasi dan globalisasi. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah
perkembangan kota-kota di Indonesia menjadi kota metropolitan yang pengaruhnya
berdampak luas kota-kota satelit di sekitarnya. Perkembangan kota Bogor ini merupakan
suatu hal yang perlu dicermati terutama berkaitan dengan perkembangan identitas kota
pada kota-kota regional (regional city) di Indonesia pada masa yang akan datang.
Permukiman menurut Undang-Undang No.4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan
Permukiman adalah, bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik dalam

lingkup perkotaan maupun pedesaan, dan juga memiliki fungsi sebagai lingkungan
tempat hunian serta tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan..
Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1992, pasal 1 (satu) angka 4(empat) : disebutkan
pula bahwa, satuan lingkungan permukiman merupakan kawasan perumahan dengan luas
wilayah dan jumlah penduduk yang tertentu, yang dilengkapi sistem prasarana dan sarana
lingkungan, dan tempat kerja terbatas dan dengan penataan ruang terencana dan teratur
sehingga memungkinkan pelayanan dan pengelolaan yang optimal. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa permukiman terdiri dari komponen: perumahan, jumlah penduduk,
tempat kerja, sarana dan prasarana.
Antara kota dan pemukiman penduduk merupakan hal yang tidak dapat di pisahkan.
Kota merupakan pusat dimana manusia modern hidup, bekerja, berkehidupan sosial dan
bertempat

tinggal.

Perkembangan

kota

akan

sebanding

dengan

perkembangan

pemukimannya. Dimana dengan semakin tingginya pertumbuhan kota akan semakin


banyak arus urban yang akan mendiami kota maju tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1

Perkembangan Kota
Kota-kota pedalaman di Indonesia telah memancarkan pesona masing-masing sejak

dulu kala, ketika bangsa Eropa sedang giat-giatnya menjelajah bumi Nusantara dan
menikmati hasil alamnya. Jika kita sejenak meluangkan waktu untuk mempelajari
bagaimana mereka menghargai keindahan dan kenyamanan lingkungan hidup di kawasan
sejuk pedalaman, kita bisa menengok (misalnya) Bandung dan Malang sebagai dua kota
yang terkenal kaya akan asset arsitektur dan perkotaan kolonial. Berbekal otoritas mereka
sebagai kelas puncak dalam sistem kasta kolonial di Hindia Belanda, masyarakat Eropa
berusaha menikmati iklim sejuk dan suasana alam di pedalaman dengan menghuni
rumah-rumah lapang lega yang dirancang dengan baik, yang didirikan di atas bidang
tanah yang berpenghijauan baik pula. Karena tidak berkesempatan untuk memiliki
kemewahan serupa di negeri asal mereka, masyarakat expatriat Eropa benar-benar tahu
cara memanjakan diri mereka di kota-kota pedalaman ini.
Berkembang pesat seiring dengan ekspansi kolonial pada akhir abad ke-19 (pasca
VOC), kota-kota pedalaman berkembang dari nukleus-nukleus permukiman yang
dihubungkan oleh Groote Postweg (Jalan Raya Pos, dibangun mulai 1811 oleh Daendels)
dan maraknya perdagangan, industri, dan distribusi barang. Bermuara di kota-kota pesisir
(di Jawa, misalnya Semarang, Surabaya, dan Batavia), jaringan perdagangan berhulu di
pertanian, perkebunan, dan hutan yang dihubungkan oleh kota-kota pedalaman ini. Selain
itu, karena letaknya strategis, kota-kota pedalaman ini juga sering berfungsi sebagai pusat
pos-pos militer Belanda (misalnya Magelang), sebagai benteng bagi pusat-pusat
kekuasaan dan ekonomi yang berada di kota-kota pesisir.
Peranan kota-kota pedalaman juga dipacu dengan terhubungkannya mereka dengan
jalur kereta api. Jalur kereta api pertama di Indonesia (Hindia Belanda) dibuka pada
tanggal 10 Agustus 1867. Jalur tersebut merupakan jalur perdana Nederlandsch Indische
Spoorweg

Maatschappij

(Maskapai Kereta

Api Hindia

Belanda,

menghubungkan Semarang dengan Yogyakarta dan Surakarta untuk

NIS)

yang

mendukung

distribusi hasil bumi (khususnya tebu). Selanjutnya NIS membuka jalur Batavia
Buitenzorg pada tahun 1873.
Perencanaan Kota Modern Awal Abad Ke-20
Menyusul Politik Etis yang dicanangkan Ratu Wilhelmina pada 1901 mendorong
diberlakukannya sistem desentralisasi di Hindia Belanda. Hal ini membuka peluang bagi
daerah-daerah jajahan untuk menata dirinya sendiri, khususnya dalam menanggulangi
permasalahan perkotaan seperti terpuruknya kebersihan dan kesehatan yang disebabkan
oleh kepadatan penduduk dan ketidakteraturan.
Sistem sentralisasi yang dijalankan oleh penguasa pusat di Buitenzorg tidak mampu
menangani masalah-masalah yang detail tetapi penting seperti itu, sehingga sebagai jalan
keluar diterbitkanlah Undang-Undang Desentralisasi 1903. Konkretnya dibentuklah
kotamadya-kotamadya (stadsgemeenten) dan kabupaten-kabupaten (gewesten) pada
kurun waktu 1903-1940. Batavia merupakan stadsgemeenten pertama yang didirikan
pada 1905 dengan langsung disusul kota-kota lain. Pada tahun 1918 telah ada 18
kotamadya dan 70 kabupaten di Hindia Belanda. Dewan kota (gementee) bertugas
diantara lain dalam hal permukiman dan perumahan, pembangunan jalan dan saluran air,
pengawasan bangunan (mencakup dari rumah tinggal, hingga pasar dan rumah
pemotongan hewan). Untuk itu, timbul pula inisiatif untuk membuat perangkat hukum
dan panduan yang mendukung. Percobaan juga dilakukan di Batavia (1 April 1905),
Bandung (1906), Surabaya (1906), dan Semarang (1907).
Orang yang paling menonjol kontribusinya dalam pembentukan rancangan kotakota di Hindia Belanda pada masa ini adalah Ir. Thomas Karsten (1884-1945). Karsten
dengan semangat modernitas dan sosialnya ditugaskan untuk membuat paket-paket
rancangan untuk kota-kota, mulai dari rencana keseluruhan (misalnya peruntukan lahan)
hingga detil (seperti tipologi jalan dan penghijauan, sanitasi publik) dan peraturan
bangunan (misalnya garis sempadan bangunan dan pengelompokan tipe hunian). Di Jawa,
kontribusi Karsten

meliputi Semarang

(1916-1920),

Bandung,

Batavia/

Jakarta,

Magelang, Malang (1933), Buitenzorg/ Bogor (1920), Madiun, Cheribon/ Cirebon,


Meester Cornelis/ Karawang,

Yogyakarta,

Surakarta,

dan Purwokerto.

Karsten

menentang perencanaan kota tradisional yang memilah-milah hunian kota berdasarkan


ras/ etnis dan mengusulkan pembagian menurut tingkatan ekonomi lebih masuk akal

sebagai dasar perencanaan kota modern. Idenya didukung dengan usulan tipe-tipe
permukiman dan hunian yang sesuai dengan status ekonomi penghuninya.
2.2

Bentuk Awal dan Perkembangan Kota Bogor

Buitenzorg
Kota Bogor dahulu bernama Pakuan, merupakan ibu kota pemerintahan Kerajaan
Pajajaran. Daerah ini menjadi pusat pemerintahan Prabu Siliwangi yang dinobatkan pada
3 Juni 1482. Hari penobatannya ini diresmikan sebagai hari jadi kota Bogor dan
diperingati setiap tahunnya hingga saat ini. Selain itu, senjata khas kerajaan Pajajaran
yaitu Kujang dijadikan lambang kota Bogor dan dijadikan Landmark kota dalam bentuk
Monumen Kujang.
Meskipun secara umum dan politis diakui bahwa cikal bakal Kota Bogor adalah
Ibukota Kerajaan Hindu Pajajaran (Pakuan), Bogor sebagai kota modern sebenarnya baru
lahir pada kurun waktu 1745-1845. Proses terbentuknya Bogor diawali dengan
dibangunnya Vila Buitenzorg (1745, sekarang Istana Bogor). Vila tersebut dibangun atas
prakarsa Gubernur-Jenderal G.W. Baron van Imhoff (1743-50) untuk berfungsi sesuai
namanya, buitenzorg (Belanda), yang berarti free from care (Inggris) atau sans
souci (Perancis), sebagai tempat beristirahat dari segala kesibukan (di Batavia) dan juga
sebagai pos kunjungan ke daerah Priangan.
Pada waktu itu, Bogor belum merupakan permukiman yang terorganisir mandiri
dan lebih merupakan tanah luas yang dimanfaatkan sebagai kawasan pendukung Batavia.
Pada 1687, Letnan Tanoe-Djiwa (seorang letnan bagi masyarakat pribumi, Lieutenant der
Javanen) diperintahkan oleh Gubernur-Jenderal Johannes Camphuijs (1684-1691) untuk
membuka Hutan Pajajaran sebagai lahan pertanian yang pada akhirnya dinamakan
Kampoeng Baroe. Kawasan ini mencakup kampung-kampung: Parakan Panjang,
Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banteng, dan
Cimahpar, dengan Kampung Baru sebagai pusatnya. Akhirnya pada 1745, sembilan
kampung (Tjisaroea, Pondok Gede, Tjiawi, Tjiomas, Tjitdjeroek, Sindang Barang,
Balaoboer, Darmaga, dan Kampoeng Baroe) disatukan dalam satu pemerintahan di bawah
kekuasaan seorang demang dengan nama Regentschap Kampoeng Baroe (kemudian
dinamakan Regentschap Buitenzorg).

Pembentukan karakter tata ruang Bogor banyak dipengaruhi oleh praktik penjualan
tanah pada jaman van Imhoff ini. Van Imhoff sendiri membeli sebidang tanah Kampung
Baru tersebut dan menamakannya Buitenzorg. Pada kelanjutannya, sebidang tanah dan
bangunan yang sekarang disebut Istana Bogor ini secara status dimiliki oleh Gubernur
Jenderal selama masa jabatannya (ex officio). Sedangkan tanah-tanah disekitarnya, pada
jaman Daendels (1811-1816), dijadikan tanah-tanah partikelir yang diperjualbelikan
maupun disewakan sehingga hampir seluruh tanah di kawasan ini dimiliki secara swasta.
Tanah-tanah ini diatur oleh demang/ mandur (overseers) yang ditunjuk oleh pemiliknya
dengan tetap diawasi oleh pemerintah. Sistem partikelir ini didukung oleh tidak adanya
kekuasan priyayi lokal maupun struktur kekuasaan pribumi yang kuat seperti yang
terdapat di daerah lain. Pada fase embrio ini, Bogor dibentuk seakan-akan sebagai pulaupulau kecil yang digabungkan oleh sebuah pusat, yakni Vila Buitenzorg. Dengan
penataan aksis dan lingkungan pendukungnya (dibangun pada 1799), Vila Buitenzorg
timbul sebagai monumen yang tidak tersaingi pada radius yang cukup luas di daerah
Priangan pada masa ini.
Bentuk vila ini sendiri telah berubah beberapa kali sesuai dengan suksesi
kepemimpinan gubernur-jenderal. Jacob Mossel membangun kembali vila ini sebagai
sebuah istana pada kurun 1759-1761. Van Alting (1780) memutuskan untuk menjadikan
istana ini sebagai kantor resmi Gubernur-Jenderal VOC. Tempat ini menjadi lebih penting
setelah Algemeene Secretarie (Sekretaris Jenderal) ditempatkan di situ (1888), hingga
pada akhirnya dijadikan Istana Kepresidenan RI setelah Indonesia merdeka. Kebun Raya
Bogor sendiri pada awalnya berfungsi sebagai backyard dari Istana Bogor, sebelum
pada akhirnya diresmukan sebagai Kebun Raya Bogor (Hortus Botanicus Bogoriensis)
pada 1887 oleh Prof. Dr. C.G.C. Reinwardt, seorang botanis Jerman.
Zone Etnis dan Struktur Kota
Seperti halnya kebanyakan kota-kota kolonial, pusat Kota Bogor merupakan
konsentrasi dari 3 (tiga) nukleus etnis; Eropa, Cina, dan Pribumi. Zona permukiman
masyarakat

Eropa

ditandai

dengan

berbagai

gedung-gedung

pemerintahan

dan

fasilitasnya (sebagai civic center), permukiman-permukiman yang didominasi rumahrumah vila, dan berbagai fasilitas umum dan bangunan-bangunan komersial (kantorkantor, rumah sakit, sekolah, dan lain-lain). Meskipun memiliki jumlah penduduk yang

sangat kecil, zone Eropa menempati porsi lahan terbesar. Zone permukiman Eropa di
Bogor dapat kita tandai mulai di sekeliling Kebun Raya Bogor, gedung-gedung institusi
di sepanjang Jalan Ir. Juanda, Jalan A. Yani (untuk fungsi-fungsi perkantoran dan
pemerintahan), hingga daerah Ciwaringin (ke arah Utara) dan daerah Taman Kencana
(Timur) (untuk fungsi hunian).
Bangunan-bangunan

yang

menampung

fungsi-fungsi

penting

(Kota

Bogor

maupun Hindia Belanda) bermunculan. Selain Istana Bogor yang ditempati oleh
Gubernur Jenderal dan Sekretaris Jenderal, fungsi-fungsi birokrasi lain ditempatkan
disekelilingnya. Juga halnya dengan fasilitas lain seperti Gereja Katedral, sekolahsekolah, kantor Residen, dan hotel-hotel (misalnya Hotel Binnenhof; sekarang Hotel
Salak). Hotel Belle Vue, yang terletak menghadap Gunung Salak (sekarang Bioskop
Ramayana), merupakan hotel yang sangat terkemuka saat itu. Dikembangkannya Bogor
(dan Kebun Raya-nya) sebagai pusat penelitian tanaman menjadikan Bogor subur akan
lembaga-lembaga penelitian pertanian dan perhutanan sehingga Bogor juga menyimpan
sejumlah koleksi bangunan perkantoran modern awal abad ke-20 yang masih terpelihara
cukup baik.

Sebaran peninggalan sejarah kota kolonial

Permukiman Eropa di bagian Utara tersebar dan terkelompok berdasarkan tingkatan


ekonominya. Rumah-rumah Belanda bertipe besar dan luas untuk kaum elit banyak
10

terdapat di tepi jalan-jalan utama, sedangkan rumah-rumah yang lebih kecil untuk
tingkatan karyawan/ pengusaha biasa tersebar di jalan-jalan sekunder. Meskipun banyak
dari fisik rumah-rumah tersebut bertahan baik hingga kini, setelah 1942, kepemilikan
mereka serentak berpindah dari tangan orang-orang Eropa ke orang-orang Indonesia
(Pribumi maupun Tionghoa).

Permukiman pada zona Eropa

Masyarakat Tionghoa telah mengadakan hubungan intensif dengan kerajaankerajaan pedalaman Priangan sebelum Belanda berekspansi. Peninggalan sebuah altar
pemujaan (shrine) yang bertahun 1678 yang terletak di delta Sungai Ciliwung (Pulo
Pasar/ Pulau Parakan Baranangsiang/ Pulo Geulis terletak di sebelah timur dari pecinan
yang sekarang) membuktikan bahwa masyarakat Tionghoa telah menetap di sana. Peran
masyarakat Tionghoa dalam pembentukan sebuah kota di Jawa (maupun Asia Tenggara
pada umumnya) sebenarnya sangat penting, terutama karena mereka memainkan peranan
sebagai perantara (distributor) dalam sistem perdagangan maupun sosial dalam struktur
masyarakat kolonial (terutama pada abad ke-19). Selain itu, sistem struktur perkotaan
yang mereka kembangkan dalam lingkungan mereka sendiri telah begitu modern dengan
(tentunya) tidak lepas dari hegemoni struktural yang diterapkan pemerintahan kolonial.
Pecinan Bogor terletak di penggal jalan Suryakencana yang merupakan penggal
Jalan Raya Pos yang berada di selatan Istana Bogor. Diawali oleh Klenteng Hok Tek Bio
(berdiri 1867) dan Pasar Bogor (berdiri 1872), pecinan yang dipenuhi rapat oleh rukoruko (rumah-toko) memanjang ke arah Gunung Gede/ Pangrango sepanjang kira-kira 1,5
kilometer. Dengan diapit oleh dua sungai (Ciliwung di timur, dan Cipakancilan di barat),
struktur pecinan Bogor dibentuk oleh 3 jalan utama yang paralel, dengan jalan
Suryakencana sebagai jalan utamanya. Dahulu jalan ini bernama Handelstraat atau Jalan

11

Perniagaan yang menandakan fungsinya sebagai sentra ekonomi kota. Masyarakat


Tionghoa yang juga terkotak-kotak dalam kelas sosial, menempati hunian sesuai dengan
kelas mereka. Golongan pedagang berkumpul di sekitar Pasar Bogor, sedangkan
golongan bawah (kebanyakan Peranakan) menghuni ruko-ruko sewa dan rumah-rumah
petak di balik ruko-ruko. Golongan atas/ elit (biasanya Peranakan dengan pendidikan
Belanda, opsir Belanda, profesional) cenderung tidak berdagang, dan menghuni bagian
selatan pecinan. Rumah mereka biasanya sedikit banyak mencirikan gaya hidup mereka
yang kebarat-baratan: menggunakan corak-corak yang biasa ada di bangunanbangunan Belanda, ataupun menghuni rumah tipe vila.
Berkembang

akibat

transformasi bentuk.
pemadatan

hunian

Mulai
di

pertumbuhan

ekonomi,

dari perubahan

kantong-kantong

di

fisik
balik

pecinan

mengalami

banyak

bangunan-bangunannya,
ruko-ruko.

Terlebih

hingga
setelah

dihapuskannya wijkenstelsel (peraturan zone etnis) pada 1915, pembauran permukiman


Tionghoa dan Pribumi semakin pesat di kawasan-kawasan kantong ini. Karakter fisik
pecinan Bogor sendiri memudar seiring dengan diberlakukannya diskriminasi oleh
Pemerintah Orde Baru, yang secara umum juga dialami berbagai pecinan lain di
Indonesia). Peran institusi-institusi sosial budaya masyarakat Tionghoa memudar juga;
seperti fisik Hok Tek Bio yang semakin tenggelam dengan keramaian dan penataan
lingkungan pasar,

begitu pula

dengan dihapuskannya

sekolah-sekolah

Tionghoa,

digantikan dengan toko-toko yang lebih meriah dan beragam.


Masyarakat Pribumi sebenarnya tidak memiliki konsentrasi area khusus seperti
halnya masyarakat Eropa dan Cina. Tetapi karena absennya kekuasaan lokal di kawasan
partikelir ini, meleluasakan pemerintah kolonial untuk mengembangkan daerah ini sesuai
dengan keinginannya. Demang Wiranata (1749-1758 ) mengajukan permohonan pada
Gubernur Jenderal untuk membuka lahan di Sukahati (Empang, dahulu masih dalam
pekarangan Istana Bogor). Dengan terletak rendah membelakangi Sungai Cisadane,
daerah ini ditandai dengan alun-alun Empang yang pola penataannya mengikuti model
alun-alun pada umumnya (dikelilingi Istana Residen dan Masjid, dan ditanami dengan 5
pohon beringin), namun dengan aksis mengarah ke Istana Bogor. Kawasan ini kemudian
berkembang sebagai konsentrasi permukiman Pribumi dan Arab (permukiman Arab
ditandai dengan masjidnya sendiri). Kawasan ini juga tumbuh sebagai kawasan komersial
dan perdagangan meski secara skala masih di bawah Jalan Suryakencana.
12

2.3

Bogor Sebagai Sub Sistem Pembangunan Jabodetabek


Setelah Indonesia merdeka, seiring peresmian nama Bogor sebagai nama resmi

wilayah yang dulu disebut Buitenzorg, kota ini pun lambat laun kehilangan kedudukan
sentralnya seperti pada masa kolonial. Sejak tahun 1950 Kota Bogor, bersama Tangerang
dan Bekasi, menjadi kota yang direkomendasikan oleh Tim Jabotabek untuk dimasukkan
ke dalam wilayah kota metropolitan Jakarta. Kota Bogor diproyeksikan menjadi kota
satelit bagi Jakarta. Namun realisasi dari program itu baru terlaksana pada tahun 1970-an
melalui pelaksanaan proyek jalan tol pertama di Indonesia yang dikenal dengan nama
Jagorawi. Proyek ini dimulai dari tahun 1973 dan baru rampung serta diresmikan
penggunaannya pada tahun 1978.
Pada tahun 1976 dikeluarkan Instruksi Presiden no. 13 tahun 1976 tentang
Jabotabek (Jakarta-BogorTangerang-Bekasi) di mana wilayah Kota Bogor ditetapkan
sebagai salah satu kota penyangga ibukota dan sebagai kota permukiman (dormitory
town). Beberapa pokok Kebijaksanaan Pengembangan Wilayah Jabotabek adalah sebagai
berikut:
1.

Meringankan tekanan penduduk di wilayah DKI Jakarta, sehingga kehidupan


sosial ekonomi dan budaya dapat berlangsung serasi.

2.

Mengusahakan agar kegiatan industri dan perdagangan yang terdapat di


wilayah DKI. Jakarta dapat lebih mendorong kegiatan-kegiatan yang berkaitan
di daerah lain, terutama di daerah yang berbatasan dengan wilayah DKI
Jakarta.

3.

Menyerasikan perkembangan pada daerah-daerah perbatasan antara wilayah


DKI. Jakarta dengan wilayah Botabek (Bogor-Tangerang-Bekasi).

4.

Mengembangkan pusat-pusat permukiman di wilayah Botabek dengan bentukbentuk permukiman baru.

Struktur wilayah metropolitan Jabodetabek, dapat dilihat dengan adanya jumlah


migrasi yang keluar dan masuk DKI Jakarta dan kota sekitarnya. Jumlah ini menunjukkan
suatu keterkaitan karena adanya pergerakan yang dapat disebabkan oleh kegiatan
ekonomi (tempat bekerja), perumahan (tempat tinggal), dan lainnya. Keterkaitan ini juga
didukung oleh

adanya infrastruktur

terutama transportasi dan komunikasi yang

mendorong aliran informasi antar daerah.

13

Antara kota induk

dengan kota-kota satelitnya dilengkapi dengan sarana

transportasi massal yang mampu memenuhi kebutuhan para komuter. Pola permukiman
di kota-kota pinggiran kemudian berkembang mengikuti letak prasarana transportasi
metropolitan

yang menghubungkan kota induk. Para pengembang berlomba-lomba

membangun permukiman yang berlokasi dekat akses ke jalan tol atau stasiun KRL.
Fenomena commuter (penglaju) di Kota Bogor terlihat dari tingginya jumlah perjalanan
menuju Jakarta tiap harinya. Banyak penduduk Bogor yang menghabiskan waktunya
lebih banyak di Jakarta. Mereka berangkat ke Jakarta untuk berkerja dari jam 6 pagi dan
baru pulang ke rumahnya di Bogor jam 8 malam. Menurut Bappeda Kota Bogor (RPJPD
2005-2025), pada tahun 2004 jumlah perjalanan dari Kota Bogor menuju Jakarta
menggunakan kendaraan pribadi adalah 53.188 perjalanan/hari dan yang menggunakan
kendaraan umum sebanyak 25.972 perjalanan/hari. Pergerakan ke Jakarta menggunakan
moda Kereta Api tahun 2004 menurut catatan Stasiun Bogor rata-rata sebanyak 28.572
perjalanan orang/hari.

Sebaran Perumahan Baru Berskala Besar pada Wilayah

Botabek.

Sumber: Sujarto, dalam Nas, 2002.

Semakin

mudahnya

akses

dan

singkatnya

waktu

tempuh

Jakarta-Bogor

menyebabkan Bogor menjadi salah satu alternatif daerah tujuan untuk bermukim. Kota
Bogor secara riil berperan sebagai sub-urban dari Jakarta sehingga banyak menarik
pendatang untuk dipilih menjadi tempat tinggal di dalamnya (dormitory town). Kota
Bogor tumbuh sebagai kota berbasis pemukiman para pekerja yang mencari nafkah di
Jakarta. Hal ini secara nyata terlihat dengan menjamurnya perumahan sejak awal tahun

14

1990-an. Data tahun 2007 menunjukkan bahwa terdapat 90 perumahan, baik yang
dikelola oleh pemerintah maupun pengembang swasta.
2.4

Bogor Masa Kini


Bogor sejak pada masa Orde Baru diikutsertakan dalam perencanaan Jabotabek

(Jakarta Bogor Tangerang Bekasi) sebagai kawasan metropolitan terpadu. Dalam


perannya, Bogor diharapkan menjadi daerah penyangga Ibukota dalam hal permukiman
penduduk (yang diproyeksikan mencapai 4 juta jiwa pada 2005) dan sebagai daerah
resapan dan cadangan air.
Dalam iklim ekonomi yang tumbuh pesat, Bogor sendiri bertumbuh. Perencanaan
tata ruang yang dimulai pada 1970-an memproyeksikan sebuah jalan lingkar luar di
sebelah timur Bogor yang juga dihubungkan dengan Jakarta lewat Jalan Tol Jagorawi
pada tahun 1980. Daerah di sekeliling lingkar luar tersebut diperuntukkan bagi
pengembangan pasokan perumahan baik kecil, menengah, maupun atas yang menjamur
pesat. Mulai dari Perumnas (Bantarjati dan Bantarkemang), perumahan Bogor Baru,
hingga perumahan elit Vila Duta. Memasuki dasawarsa 1990, daerah utara Bogor
(Cimanggu) dikembangkan juga sebagai daerah permukiman baru yang memiliki akses
ke Jakarta lewat Parung (jalan lama).
Potret Kehidupan Masyarakat Perumahan Indraprasta II
Perumahan Indraprasta II merupakan perluasan dari proyek Perumahan Nasional
(Perumnas). Dalam sejarah perumahan di Indonesia dikenal kebijakan perumahan yang
merupakan bagian dari Repelita I (1969-1974). Sebagai implikasinya kemudian
dikeluarkan Keputusan Presidien RI No.29/1974 tentang pembentukan Perusahaan
Umum Perumahan Nasional (Perum Perumnas) (Silas, 2005 :14). Perumnas di Kota
Bogor pada awalnya merupakan sebuah perumahan yang menempati areal yang sangat
luas. Namun seiring perkembangan zaman, kemudian areal ini dibagi-bagi ke dalam
beberapa unit komplek perumahan. Salah satunya yang terbesar adalah Perumahan
Indraprasta I yang mulai dibangun pada awal tahun 1990. Semakin membaiknya sarana
transportasi di wilayah tersebut, membuat pengembang kemudian membuat kembali
Perumahan Indraprasta II pada akhir tahun 1990-an dengan keunggulan akses jalan yang
langsung ke jalan tol. Kemudahan ini kemudian membuat perumahan ini laku, terutama

15

dari kalangan para pekerja yang berkator di Jakarta, namun lebih memilih bermukim di
Kota Bogor. Dalam perkembangannya, karena letaknya yang strategis di sekitar komplek
Indraprasta II ini kemudian bertebaran pula tempat-tempat usaha, seperti Factory Outlet
(FO), bengkel, dan yang paling banyak adalah usaha rumah makan.
Dalam kehidupan masyarakatnya pun dapat dikatakan unik. Hal ini disebabkan oleh
letak wilayah Perumahan Indraprsta itu sendiri. Walaupun dalam kompleks perumahan
itu didominasi oleh masyarakat perkotaan, namun di sekitar tempat tersebut terdapat pula
masyarakat-masyarakat asli terutama yang berasal dari wilayah Cimahpar. Relasi diantara
para penduduk di kompleks ini dapat sangat mencerminkan kehidupan masyarakat
perkotaan yang lebih cenderung individualis, mengembangkan hubungan yang bersifat
formal, dan bersifat profesional. Namun bukan berarti relasi diantara penghuni kompleks
tersebut tidak berjalan . Hal ini terutama ditujukkan dengan diadakannya acara arisan
rutin kompleks setiap satu bulan sekali yang pelaksanaannya dilakukan secara bergiliran.
Selain itu, setiap hari minggu pun diadakan kegiata olahraga bersama dari semua
kalangan umur yang secara tidak langsung berfungsi untuk menjalin dan membangun
relasi yang baik antara sesama warga komplek. Sedangkan intensitas hubungan antara
warga komplek dengan penduduk asli sekitar juga cukup baik. Hal ini, paling tidak
ditujukkan dengan dikaryakannya beberapa penduduk asli, baik sebagai asisten rumah
tangga, maupun sebagai tenaga keamanan di wilaya h komplek.
Dari data penggunaan lahan diketahui bahwa penggunaan lahan dominan adalah
untuk kegiatan perumahan dan permukiman yaitu sebesar 4.577 Ha (38,63% dari luas
lahan kota). Hal ini dikarenakan karena Kota Bogor secara riil berperan sebagai sub-urban
dari Jakarta sehingga banyak menarik pendatang untuk dipilih menjadi tempat tinggal di
dalamnya (dormitory town). Pengembangan perumahan di Kota Bogor pada saat ini
masih dengan menggunakan konsep landed house atau berkembang secara horizontal,
untuk mengantisipasi keterbatasan lahan di Kota Bogor, terutama di kawasan pusat kota
maka sudah sebaiknya untuk dimulai pembangunan rumah dengan konsep vertikal untuk
semua golongan, baik itu rumah susun maupun apartemen.

16

Pada umumnya pertumbuhan perumahan atau permukiman skala besar di Wilayah


Bogor terjadi secara spontan. Dalam hal ini pola pertumbuhan atau perkembangan tidak
mengikuti sistem kota-kota yang berjenjang. Akibatnya terjadi ketidakefektifan dan
kurang efisiennya pelayanan jaringan prasarana. Selain itu, dengan adanya kota baru atau
permukiman berskala besar beserta kegiatan ekonomi yang mengikutinya mendorong
perubahan ordo kota di beberapa kota kecil seperti Kota Cikupa, Pasar Kemis dan lain
sebagainya.

Pola Permukiman Berdasarkan Aksesibilitas Trasportasi

Perkembangan permukiman skala besar ditandai oleh pesatnya permintaan akan


lahan untuk kegiatan usaha atau tempat hunian, khususnya kawasan perumahan sebagai
akibat perkembangan ekonomi yang cukup

pesat di Kota Jakarta.

Sehingga

perkembangan permukiman di wilayah sub-urban Jabotabek yang terjadi pada umumnya


masih punya ketergantungan yang sangat tinggi dengan Kota Jakarta. Pembangunan
perumahan di kota Bogor sejak ditetapkan sebagai hinterland Jakarta lebih didasarkan
pada kedekatan dan kemudahan akses transportasi bagi para commuter. Setelah adanya
jalan tol Jagorawi tahun 1970an perumahan awal (perumnas) berlokasi di daerah
Bantarjati

dan sekitarnya. Perumahan ini ditujukan bagi masyarakat berpengasilan

menengah dan menengah ke bawah. Penduduk perumahan ini 60% bekerja di dalam kota
Bogor dan sisanya bekerja di Jakarta. Penduduk yang bekerja di Jakarta banyak
menggunakan akses jalan kabupaten Bogor maupun terminal Baranangsiang.
Perumahan yang lebih baru ada di kawasan Ciomas dan Cimanggu. Perumahan di
kawasan ini lebih ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan menengah dan menengah ke

17

bawah. Pemilihan lokasi perumahan didasarkan karena dekatnya dengan stasiun Bogor
dan kemudahan angkutan kota untuk mencapai stasiun tersebut. Sebagian besar penduduk
di kawasan ini (75%) bekerja di Jakarta dan menggunakan KRL sebagai moda
transportasinya. Kawasan perumahan lain yang juga relatif baru adalah di kawasan Bogor
bagian Timur sampai dengan Tajur seperti perumahan Villa Duta dan Bogor Nirwana
Residence (BNR). Pihak pengembang merencanakan perumahan ini untuk masyarakat
berpenghasilan menengah ke atas. Penduduk perumahan ini sebagian besar bekerja di
Jakarta dan menggunakan kendaraan pribadi melalui akses jalan tol Jagorawi. Karena
daerah ini relatif belum padat, selain perumahan juga di bangun tempat-tempat rekreasi
seperti water boom The Junggle yang cukup luas dan lengkap.
Pola penyebaran daerah terbangun masih berpusat di Pusat Kota Bogor, sedangkan
daerah pinggiran relatif lebih kecil dari penggunaan lahan terbangun, terutama di
Kecamatan Bogor Selatan, Bogor Barat, dan sebagian kecil di Tanah Sereal dan Bogor
Utara. Hal ini terjadi sebagai akibat dari terkonsentrasinya kegiatan ekonomi di
pusatpusat kota sehingga untuk meminimalisasi jarak banyak penduduk Bogor yang juga

Pola Pembangunan Internal (Ribbon Development)


pada kota Bogor.

tinggal di pusat kota, walaupun kondisi perumahannya sudah tidak nyaman dan bersih.
Untuk daerah pinggiran maka pola ruangnya adalah bersifat memita (ribbon) terutama
pada ruas-ruas jalan utama seperti Jalan Pajajaran, Jalan Raya Tajur dan Jalan Raya

18

Sholeh Iskandar. Hal ini mengakibatkan bangkitan perjalanan di Kota Bogor berpusat
pada ruas-ruas jalan tersebut sehingga jalan-jalan tersebut yang seharusnya berfungsi
arteri tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Banyaknya penduduk dengan gaya hidup perkotaan yang pindah dari Jakarta ke
Bogor menyebabkan kebutuhan akan fasilitas perkotaan modern seperti shopping mall,
fast food restaurant, dan lain-lain. Kecepatan modernisasi kota menjadi lebih cepat dan
pengendalian pembangunan kawasan perdagangan menjadi sulit dilaksanakan. Efek
globalisasi yang terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta ikut menyebar ke kota-kota
pinggirannya. Terjadi proses universalisasi akibat persebaran informasi, produk, dan lainlain. Selain itu globalisasi juga dapat dilihat sebagai de-teritorialisasi akibat adanya
intesifikasi hubungan secara menyeluruh antar

kota-kota di dunia sehingga apa yang

terjadi di suatu tempat dapat mempengaruhi atau dipengaruhi tempat lain.


Kawasan sepanjang jalan Pajajaran merupakan pusat pertokoan dan perdagangan
yang paling tinggi intensitasnya. Pola pembangunan linear (ribbon Development) ini
memanjang sampai ke Tajur melewati Kebun Raya, tugu Kujang, dan terminal
Baranangsiang. Di kawasan ini juga berdiri beberapa bangunan pusat perbelanjaan
Wawancara terhadap beberapa penglaju (comuter) yang berdomisili di Bogor dan
bekerja atau kuliah di Jakarta menunjukkan bahwa place attachment mereka terhadap
kota Bogor cukup tinggi. Hampir seluruh responden menyukai tinggal di Bogor dan tidak
mau bila rumah mereka diganti atau ditukar dengan rumah daerah lain misalnya Bekasi.
Padahal hanya setengah dari mereka yang asli orang Bogor, sisanya merupakan
pendatang.

Suasana Pertokoan dan Pusat perbelanjaan di Jalan Pajajaran

19

Tumbuhnya pendudukan dan permukiman ini tentunya membutuhkan saranasarana seperti sekolah, pusat perbelanjaan, hiburan, dan juga prasarana jalan juga
transportasi yang memadai.

Ketidaksiapan satu komponen esensial kota

dapat

mengakibatkan kepincangan sistem kota dan berbagai dampak. Hal ini nampak dari
berbagai permasalah yang dihadapi warga Bogor khususnya, dan juga warga Jabotabek
pada aspek-aspek tertentu. Di satu sisi, Kota Bogor menghadapi tantangan untuk dapat
mempertahankan kualitas lingkungannya sedangkan di sisi lain Kota Bogor juga terdesak
oleh pertumbuhan kotanya sendiri dan juga perkembangan Jabotabek yang sangat pesat.
Hal ini nampak jelas pada suasana Bogor pasca 1990 yang penuh dengan kemacetan
di mana-mana. Media massa sejak itu mulai banyak menyoroti Bogor yang dikurung
kemacetan pada ruas-ruas jalan antar kotanya. Hal ini diwarnai oleh isu hangat izin
trayek angkutan umum yang kian membengkak melebihi kapasitas dan permintaan sejak
beberapa tahun lalu, yang juga diiringi meningkatnya pemakai kendaraan bermotor di
Bogor. Hal ini diperburuk dengan fungsi Bogor sebagai kota permukiman yang dihuni
masyarakat komuter, yang bekerja di Ibukota pada siang hari dan kembali ke Bogor
pada malam/ sore hari, yang menambah beban lalu lintas pada jam-jam tertentu setiap
harinya.
Fungsi Bogor sebagai tempat beristirahat/ rekreasi bagi masyarakat Jakarta juga
telah nyata membebani fasilitas jalan dan kenyamanan lingkungan. Kesohoran kawasan
Puncak menarik penduduk Jabotabek untuk memiliki sebuah rumah wisata pribadi di
kawasan yang sejuk ini sehingga pada tahun 1990-an hal ini berkembang menjadi
permasalahan pelik yang telah menyebabkan fenomena banjir kiriman di Jakarta. Pada
akhir Minggu, tidak pelak spot-spot tertentu di Bogor yang terkenal akan oleh-oleh dan
makanan khas

dipenuhi oleh

mobil-mobil berpelat

yang

secara

akumulatif

mengakibatkan kemacetan di seluruh kota, belum lagi dengan adanya acara-acara seperti
resepsi di gedung-gedung pertemuan yang kekurangan tempat parkir, yang seharusnya
sudah mengantisipasi kapasitas tempat bagi pengunjung dan kendaraannya sejak awal
perencanaannya (atau dari proses pemberian izinnya).
Urban sprawling juga menjadi isu penting di sebuah kota yang senantiasa
bertumbuh ini. Tidak terkendalikannya pertumbuhan fisik ke arah pinggiran kota
menyebabkan hilangnya batas tegas antara kota dengan daerah pinggiran. Daerah yang

20

dulu merupakan suburban telah berubah menjadi urban, seiring dengan bertambah
luasnya Kotamadya Bogor (ke arah selatan, batas Kota Bogor bergeser dari daerah Tajur
ke Ciawi). Daerah pinggiran sekarang telah berubah menjadi daerah perkotaan, sehingga
banyak fungsi-fungsi (seperti pabrik) yang tadinya berada di luar kota sekarang berada
di dalam kota dengan berbagai dampaknya. Pertumbuhan sarana dan prasarana bagi
daerah yang melejit pesat ini nampaknya juga tak kunjung seimbang.
Di sisi pranata, hukum dan pengawasan yang berlaku tidak menjamin tertib dan
terencananya pertumbuhan. Akhir-akhir ini dipermasalahkan seputar isu tata guna
bangunan dan peruntukan lahan yang tidak lagi dipatuhi. Masalah menjamurnya trend
bisnis factory outlet dan cafe, seperti yang diilhami dari Kota Bandung, nampak tidak
terkendalikan dan bisa diramalkan hal ini akan terus berlanjut. Ini disebabkan banyak
hal yang saling tumpang tindih. Di satu sisi, Kota Bogor sedang memicu tumbuhnya
tempat-tempat komersial dan perkantoran untuk mengimbangi pertumbuhannya sebagai
pusat jasa dan distribusi bagi daerah sekitarnya. Di sisi lain, sarana dan penataan fisik
yang ada masih didominasi penataan kota warisan 1920 dengan modifikasi tahun 1970an yang belum mengantisipasi pertumbuhan kota seperti sekarang ini. Akibatnya banyak
fungsi-fungsi hunian berubah menjadi tempat usaha, bisnis, dan perkantoran meskipun
hal tersebut telah melewati ketentuan yang berlaku. Ruko-ruko menjamur tanpa
menghiraukan konteks tempat di mana mereka berada karena yang menjadi tujuan
mereka berdiri adalah bahwa ruko-ruko tersebut dapat memberikan uang sewa dan hasil
penjualan setinggi-tingginya kepada pemiliknya. Persimpangan jalan dan jalan-jalan
utama nampak menjadi sasaran menjamurnya bisnis-bisnis spontan ini. Dari segi
perizinan, ruko-ruko tersebut nampaknya berperan seperti bunglon karena fleksibilitas
fungsi mereka, siap berubah setiap saat menjadi apakah itu hunian, kantor, toko, ataupun
tempat hiburan. Akhir-akhir ini perihal peruntukan lahan dan tata guna bangunan ini
mulai mencuat sehingga media massa lokal juga telah menyoroti ketidaktegasan dalam
penegakkan aturan yang nampak gamblang di lapangan.
Kalaupun ditegakkan dengan semestinya, aturan-aturan yang telah ditetapkan juga
masih bisa dipertanyakan kesahihannya dari segi visi dan konseptual. Contoh konkret
adalah masih digunakannya pendekatan pelebaran jalan sebagai solusi kemacetan lalu
lintas yang diramalkan sama sekali tidak memecahkan inti permasalahan. Untuk
mendukung proyek tersebut, misalnya di Jalan Suryakencana jalan niaga utama kota
21

Bogor menerapkan aturan garis sempadan bangunan 8 meter dari bahu jalan untuk
mengantisipasi pelebaran di masa mendatang. Pendekatan ini berakibat sampingan secara
drastis merubah karakter fisik kota yang pada akhirnya menghasilkan karakter fungsi dan
perilaku yang sama sekali tidak terprediksikan dalam perencanaan. Secara sekilas hal ini
dipahami sebagai solusi kemacetan dan terbatasnya lahan parkir, tetapi aturan tersebut
telah mengakibatkan hilangnya karakter istimewa jalan ini dan punahnya bangunanbangunan tua indah yang telah berumur lebih dari 50 tahun.
Rasanya terlalu jauh untuk memikirkan tindakan konkrit apa saja yang bisa
dilakukan segera dalam menyelesaikan benang kusut Kota Bogor ini. Terlebih karena
akumulasi permasalahan dan isu terus menerus terjadi, dan terutama karena paradigma
pemerintahan yang berlaku saat ini belum juga berubah. Pendekatan-pendekatan
penyelesaian masalah dengan bentuk proyek yang ad hoc, kasuistik, bersifat simbolik,
dan rawan korupsi sudah sepantasnya dibuang jauh-jauh dan digantikan pendekatan yang
lebih berpihak pada publik, transparan, realistik, serta terencana baik dan profesional.
Semua ini karena masalah tidak berhenti pada fase kita telah dapat menegakkan hukum
dan aturan bermain di pembangunan kota dengan benar, tetapi juga bagaimana kita
berkesadaran untuk memproyeksikan dan merencanakan masa depan kota.

22

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Secara fisik kota Bogor memang memiliki banyak peninggalan sejarah yang

memberi kontribusi pada identitas kota. Walaupun demikian, karena fenomena extending
metropolitan yang terjadi saat ini, karakter kota Bogor yang bersejarah tersebut sekarang
mulai terdesak dampak pembangunan regional. Bogor sekarang merupakan kota yang
merepresentasikan perpaduan kultur tradisional Sunda, budaya kolonial, dan modernitas
kota metropolitan.
Tarik menarik antara kekuatan lokal dan regional sedang berlangsung di kota ini.
Akibatnya saat ini terdapat 3 tipe kawasan yang membentuk karakter kota Bogor yaitu
kawasan historis kolonial (kekuatan lokal), kawasan pembangunan ekonomi internal
(campuran kekuatan lokal & regional), dan kawasan permukiman yang terkait dengan
pembangunan

berpola

komuter

(kekuatan

regional).

Sayangnya

ketiga

karakter

pembangunan kota ini belum bisa bersinergi untuk menjadikan Bogor sebagai kota yang
beridentitas kuat. Identitas perkotaan (urban identitiy) dapat diungkap melalui faktorfaktor penyebab keterikatan emosional (place attachment) penduduk kota tersebut.
Walaupun saat ini kawasan historis kolonial merupakan kawasan yang paling tidak
berkembang di Bogor, kawasan dengan konsep garden city ini memiliki kontribusi yang
paling kuat pada tingkat place attachment penduduk Bogor.
Pemukiman di kota Bogor sejatinya mulai terbentuk secara modern sejak masuknya
Belanda ke Indonesia. Sejak pemeritahan Belanda mulai mendirikan pemerintahannya di
wilayah Bogor Pemukiman di daerah ini berkembang pesat. Terlebih karena keadaan
alamnya yang mendukung untuk hidup secara nyaman untuk bangsawan Eropa pada saat
itu.
Bogor sejatinya merupakan kota pendukung untuk kota Jakarta yang mengalami
permasalahan kekurangan lahan untuk pemukiman, sehingga kota Bogor sebagai daerah
penunjang untuk pemukiman para pekerja yang bekerja di Jakarta.

23

Perkembangan perumahan di kota Bogor semakin berkembang ketika mulai


masuknya pengembang perumahan milik pemerintah pada tahun 1990-an sampai
akhirnya banyak pengembang yang memulai pembangunan di kota Bogor sampai pada
tahuun 2010-an.
Permasalahan kota Bogor pada saat ini ialah terbatasnya lahan secara horizontal
yang pada awalnya di harapkan untuk pembangunan kota ini. Sehingga pada akhir 2015
ini pengembang mulai untuk memikirkan pembangunan secara vertikal di kota Bogor.
Bogor sebenarnya kota pemukiman yang di kelilingi oleh kemudahan transportasi untuk
mencapai kota Jakarta. Sehingga untuk urusan transportasi di kota ini sangat mudah untuk
menuju titik manapun di kota ini.
3.2

Saran
Perkembangan perumahan di kota bogor yang sangat pesat ini seharusnya

memperhatikan perencaan lahan yang baik agar kota Bogor tidak kekurangan lahan di
masa mendatang. Dan padatnya pemukiman di beberapa wilayah dapat di atasi dengan
baik. Bogor yang merupakan kota pemukiman dapat menjadi pemukiman yang nyaman
dan sehat bagi para penduduk kota bogor.
Secara historis kota bogor yang juga merupakan pemukiman zaman Belanda
harusnya dapat menjadi pembelajaran bagi para perencana pembangun perumahan,
karena pemukiman bekas zaman belanda memiliki perencanaan yang baik dalam hal
kenyamanan dan fasilitas yang baik bagi pengguna perumahan.

24

DAFTAR PUSTAKA
Batarfie, Farida.

Sebuah Pengamatan Mengenai Rumah Peribadatan Masyarakat

Tionghoa di Kecamatan Bogor Tengah, Kotamadya Bogor: Vihara Dhanagun.


Skripsi. Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1986.
Danasasmita, Saleh. Sejarah Bogor. Bogor: Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor,
1983.
History

of

Railroads

in

Indonesia

PERUMKA,

[http://www.cybernet.or.id/kereta/main.html]
Kambali, Urip Herdiman. Status dan Kondisi Tanah Partikelir Buitenzorg: Lahir dan
Perkembangannya sampai Tahun 1829. Skripsi. Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra,
Universitas Indonesia, Jakarta, 1990.
Muhsin, Mumuh. Bogor, in Nina H. Lubis, et.al. Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa
Barat. Bandung: Alqaprint, 2000.
Pranayama, Anton. Peranan Hok Tek Bio di Kawasan Gerbang Suryakencana pada
Periode 1901-2005. Skripsi. Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas
Katolik Parahyangan, Bandung, 1999.
Wiryomartono, A. Bagoes P. Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia, Kajian
Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban HinduBuddha, Islam hingga Sekarang. Jakarta: Gramedia, 1995.
Tinjauan Arsitektur Sejarah Kota Bogor. Seminar Morfologi Kota, Seminar Arsitektur,
1985/86, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Tjahjono, Gunawan (ed.). Indonesian Heritage: Architecture. Singapore: Archipelago
Press, 1999.
https://teguhmanurung.wordpress.com/tag/sunda/
https://handelstraat.wordpress.com/2008/11/24/arsitektur-kota-bogor-dulu-dansekarang-setiadi-sopandi/
http://repository.gunadarma.ac.id/576/1/Kota%20Bogor%20dalam%20Tarik%20Menari
k%20Kekuatan%20Lokal%20dan%20Regional_UG.pdf
25

You might also like