You are on page 1of 32

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya menyerang
kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot, tulang dan
testis.
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah
tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa
menyerang di mana saja. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang
berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini
sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang
memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat.
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang
sangat kompleks yang bukan hanya pada segi medis, juga meluas hingga masalah sosial,
ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae, terutama mengenai kulit, sistem saraf perifer, namun dapat juga terjadi sistem
pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah bening dan testis dan sendi-sendi.
II. Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat intrasel,
aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro , berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 8
m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol2. Kuman ini memunyai afinitas terhadap makrofag
dn sel Schwann, replikasi yang lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune
response, yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di
perineurium, dapat ditemukan iskemia, fibrosis, dan kematian akson.3 Mycobacterium leprae
dapat bereproduksi maksimal pada suhu 27C 30C, tidak dapat dikultur secara in vitro,
menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan Tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin
(kulit, sistem saraf perifer,hidung, cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas,
kaki, dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah
punggung.
III. Epidemiologi
Prevalensi kusta di dunia dilaporkan hanya <1 per 10.000 populasi (sesuai dengan target
resolusi WHO mengenai eliminasi kusta). Paling banyak terjadi pada daerah tropis dan subtropis.
86% dilaporkan terjadi di 11 negara, Bangladesh, Brazil, China, Congo, Etiopia, India,
Indonesia, Nepal, Nogeria, Filipina, Tanzania. Namun prevalensi lepra berkurang sejak dimulai
adanya MDT pada tahun 1982. Pada pertengahan tahun 2000, jumlah penderita kusta terdaftar di
Indonesia sebanyak 20.7042 orang, banyak ditemukan di Jawa Timur, Jaa Barat, Sulawesi
Selaran, dan Irian Jaya.
Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan perbandingan 2:1,
dengan insidensi usia puncak 10-20 tahun dan 30-50 tahun, jarang terjadi pada bayi. Faktor
predisposisinya adalah penduduk pada area yang endemik, memiliki kerentanan lepra dalam
darah, kemiskinan (malnutrisi), dan kontak dengan affected armadillos.

IV. Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit lepra yang
terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB: mid borderline
bentuk yang labil
BL: borderline lepromatous
Li: lepromatosa indefinite
LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin
berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan
tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid
dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti
lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe
campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL2.
Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar (PB).
Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks biposi (IB), ditemukan bakteri
lebih dari +2, yaitu tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar
mengandung sedikit basil dengan IB kurang dari +2, yaitu tipe TT, BT, dan I klasifikasi RidleyJoping.
V. Patogenesis
Prinsip transmisi dari kusta adalah lewat udara yang tersebar dari sekresi nasal yang
terinfeksi ke mukosa nasal dan mulut. Kusta secara umum tidak disebabkan oleh kontak
langsung dari kulit yang intak. Periode inkubasi dari kusta adalah 6 bulan hingga 40 tahun atau
lebih, dengan rata-rata 4 tahun untuk tipe tuberkuloid dan 10 tahun untuk tipe lepromatous
(Lewis, 2010).
Area yang sering terkena kusta adalah saraf perifer superfisial, kulit, membran mukosa
dari saluran napas atas, ruang anterior mata, dan testes. Area-area tersebut merupakan bagian
yang dingin dari tubuh (Lewis, 2010). Kerusakan jaringan tergantung pada sitem simunitas
selular, tipe penyebaran bakeri, adanya komplikasi reaksi lepra, dan kerusakan saraf. Afinitas
pada sel Schwann, mycobacteria berikatan dengan Domain G rantai alpha laminin 2 yang
ditemukan di saraf perifer di lamina basal. Replikasi di dalam sel ini menyebabkan respon sistem
imunitas selular yang menyebabkan reaksi inflamasi, yang menyebabkan pembengkakan
perineureum, iskemia, fibrosis, dan kematian akson.
Kekuatan dari sistem imun hospes mempengaruhi manifestasi klinis dari kusta. Cellmediated immunity (interferon-gamma, interleukin (IL)-2) yang kuat dengan respon humoral
yang lemah akan menyebabkan bentuk yang ringan dari penyakit ini, sedangkan respon humoral
3

yang kuat (IL-4, IL-10) dengan cell-mediated immunity yang lemah/tidak ada, akan
menyebabkan bentuk lepromatous dengan lesi yang luas, mengenai kulit dan saraf secara
ekstensif, dan kadar bakteri yang banyak 3. Sistem imunitas selular (SIS) yang baik akan tampak
gambaran ke arah tuberkuloid, sedangkan SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa 2.
Pada kusta tipe LL, terjadin kelumpuhan sistem imunitas selulae, dengan demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman bermultiplikasi dengan bebas
dan merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT terjadi sebaliknya, kemampuan imunitas selular tinggi, sehingga
makrofag mampu menghancurkan kuman. Namun setelah kuman difagositosis, makrofag
berubah menjadi sel epiteloid dan kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Massa
epiteloid dapat menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.
Munculnya gejala kusta terjadi karena perkembangan granuloma, dan pasien mungkin
mengalami reactional state, yang dapat terjadi pada sekitar >50% pasien tertentu. Spektrum
granuloma lepra terdiri dari 1) a high-resistance tuberculoid response (TT), 2) a low- or absentresistance lepromatous pole (LL), 3) a dimorphic or borderline region (BB), 4) borderline
lepromatous (BL), dan 5) borderline tuberculoid (BT). Berdasarkan dari yang paling tinggi
resistensinya hingga ke yang paling rendah resistensinya, yaitu TT, BT, BB, BL, LL.
Respon imun terhadap M. leprae dapat menghasilkan beberapa tipe reaksi yang berhubungan
dengan status klinis. Reaksi lepra tipe 1 (downgrading and reversal reactions) terjadi pada
individu dengan BT dan BL, inflamasi terjadi diantara lesi kulit yang sudah ada. Downgrading
reaction terjadi sebelum terapi, reversal reaction terjadi karena respon terhadap terapi. Reaksi
tipe 1 berhubungan dengan demam derajat rendah, lesi satelit makulopapular baru yang kecil dan
banyak, dan/ atau neuritis. Reaksi tipe 2 (Erythema Nodosum Leprosum, ENL) terjadi pada
sebagian individu dengan LL, biasanya timbul setelah awal pemberian terapi antilepra, umumnya
dalam 2 tahun pertama terapi. Terdapat inflamasi yang hebat mirip seperti lesi eritema nodosum.
Reaksi lucio merupakan rekasi yang terjadi pada individu dengan LL yang meluas. Pada individu
tersebut terjadi ulserasi yang dangkal, large polygonal sloughing pada kaki. Reaksi ini timbul
baik sebagai varian dari ENL atau sekunder terhadap oklusi arteriol. Ulserasi ini sulit membaik,
sering rekuren, dan distribusinya dapat general akibat infeksi bakteri sekunder dan sepsis.
VI. Gejala klinis
Perbandingan gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar dan Multibasilar disajikan dalam
tabel berikut:
PB (Pausibasilar)
Lesi kulit (macula yang 1-5 lesi
datar,
papul
yang
meninggi, infiltrate, plak Hipopigmentasi/eritema
eritem, nocus)
Distribusi tidak simetris

MB (Multibasilar)
>5 lesi
Distribusi lebih simetris

Kerusakan
saraf Hilangnya sensasi yang jelas
(menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan otot Hanya satu cabang saraf
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena

Hilangnya sensasi kurang


jelas

BTA

Negatif

Positif

Tipe

Indeterminate (I), Tuberkuloid (T), Lepromatosa


(LL),
Borderline tuberkuloid (BT)
Borderline
lepromatous
(BL), Mid borderline (BB)

Banyak cabang saraf

Gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar


Karakteristik

Tuberkuloid

Borderline
Tuberkuloid

Indeterminate

Lesi
Tipe

Macula atau macula Macula


dibatasi infiltrate
infiltrate

dibatasi Macula

Jumlah

Satu atau beberapa

Distribusi

Terlokasi
asimetris

Permukaan

Kering,skuama

Kering,skuama

Dapat halus agak


berkilat

Sensibilitas

Hilang

Hilang

Agak terganggu

Pada lesi kulit

Negative

Negatif, atau 1+

Biasanya negatif

Tes Lepromin*

Positif kuat (3+)

Positif (2+)

Meragukan

Satu
dengan
satelit
dan Asimetris

lesi Satu atau beberapa


Bervariasi

BTA

*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah
3minggu.
Gejala klinik Morbus-Hansen Multibasilar

Karakteristi
k

Lepromatosa

Borderline
Lepromatosa

Mid-borderline

Lesi
Tipe

Macula, infiltrate difus, Macula, plak, papul


papul, nodus

Plak, lesi bentuk kubah,


lesi punched out

Jumlah

Banyak distribusi luas, Banyak tapi kulit Beberapa, kulit sehat (+)
praktis tidak ada kulit sehat masih ada
sehat

Distribusi

Simetris

Cenderung simetris

Asimetris

Permukaan

Halus dan berkilap

Halus dan berkilap

Sedikit berkilap, beberapa


lesi kering

Sensibilitas

Tidak terganggu

Sedikit berkurang

Berkurang

Banyak

Agak banyak

BTA
Pada
kulit

lesi Banyak

Pada

Banyak

Biasanya tidak ada

Tidak ada

Negatif

Negatif

Biasanya negatif

hem
busa
n
hidu
ng
Tes
Lepromin*

*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah
3minggu.

Gambaran klinis organ tubuh lain yang dapat diserang


Mata
: iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan.
Hidung
: epistaksis, hidung pelana.
Tulang dan sendi : absorbs, mutilasi, arthritis.
Lidah
: ulkus, nodus.
Larings
: suara parau.
Testis
: epididimis akut, orkitis, atrofi.
Kelenjar limfe : limfadenitis.
Rambut
: alopesia, madarosis.
Ginjal
: glomerulonefritis, amiloidosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.
Predileksi lesi kulit
Bagian tubuh yang relatif lebih dingin, misalnya pada muka, hidung, telinga, anggota
tbuh, dan bagian tubuh yang terbuka.

Predileksi kerusakan saraf tepi


N. fasialis
: lagoftalmos, mulut mencong
N. trigeminus
: anestesi kornea
N. radialis
: tangan lunglai (drop wrist)
N. ulnaris
: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari V dan sebagian jari IV
N. medianus
: anestesi dan paresis/paralisis otot jari tangan I, II, III dan sebagian jari IV.
Kerusakan N. ulnaris dan N. Medianus menyebabkan jari kiting (claw toes) dan tangan cakar
(claw hand)
7

N. peroneus komunis : kaki simper (drop foot)


N. tibialis posterior : mati rasa telapak kaki dan jari kiting (claw toes)

Tanda penyakit kusta masih aktif


Kulit
: lesi membesar, jumlah bertambah, ulserasi, eritematosa, infiltrate atau nodus.
Saraf
: nyeri, gangguan fungsi bertambah, jumlah saraf yang terkena bertambah
Tanda sisa penyakit kusta
Kulit
: atrofi, keriput, non-repigmentasi dan bulu hilang
Saraf
: mati rasa persisten, paralisis, kontraktur dan atrofi otot

Deformitas pada kusta


Deformitas dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer
sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.Leprae, yang
mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas,
tulang-tulang jari, dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat perubahan saraf, umumnya deformitas terjadi
diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. 1
8

Gejala-gejala kerusakan pada saraf :


1. N.ulnaris

Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis

Clawing kelingking dan jari manis

Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial

2. N. medianus

Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah

Tidak mampu aduksi ibu jari

Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah

Ibu jari kontraktur

Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk

Tangan gantung (wrist drop)

Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

3. N. radialis

4. N. poplitea lateralis

Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis

Kaki gantung (foot drop)

Kelemahan otot peroneus

5. N. tibialis posterior

Anestesia telapak kaki

Claw toes

Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis

6. N. fasialis
9

Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus

Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi


wajah dan kegagalan mengatupkan bibir

7. N. trigeminus

Anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata

Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata
lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis yang dapat membuat paralisis
N.Orbicularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang
selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau
bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. 1

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar
palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa
dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi
granuloma pada tubulus semineferus testis. 1

Kusta histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang ditandai dengan adanya
nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya
timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relapse resistent. 1
10

Relapse sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai
dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi karena kuman yang dorman aktif kembali atau
pengobatan yang diselesaikan tidak adekuat, baik dosis maupun pemberiannya,disebut juga
resisten sekunder. 1

Relaps resistents terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan
waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati dengan obat yang sama karena kuman telah
resisten terhadap obat MDT, disebut juga resisten primer.

VII. Diagnosis kusta


Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit lain. Sebaliknya banyak
penyakit lain dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit kusta. Oleh karena itu
dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan membedakannya
pelbagian penyakit yang lain agar tidak membuat kesalahan yang merugikan.
Diagnosis kusta didasarkan pada penemuan tanda-tanda kardinal (Cardinal sign), yaitu:
11

sekumpulan tanda-tanda utama utk menegakkan diagnosis kusta:


1) Adanya bercak kulit yang mati rasa, dimana bercak tersebut bisa hipopigmentasi atau
bercak eritemtosa,plak infiltrat (penebalan kulit) atau nodul-nodul. Mati rasa pada bercak
bisa total atau sebagian saja thd rasa raba, rasa suhu (panas/dingin) dan rasa sakit.
2) Adanya penebalan saraf tepi. Dapat di sertai rasa nyeri dan gangguan fungsi saraf yang
di kenai.
a.Saraf sensorik: mati rasa
b.Saraf motorik : parese dan paralisis
c.Saraf otonom : kulit kering, retak-retak edema, dll.
3) Dijumpai BTA pada hapusan jaringan kulit. Misalnya : kulit cuping telinga, lesi kulit yg
aktif, kadang-kadang bisa diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis harus dijumpai salah satu dari tanda-tanda kardinal tersebut,
dimana diagnosis pasti adalah ditemukan BTA (+) pada jaringan kulit. Bila ada kasus yg raguragu, orang tersebut dianggap sebagai suspect dan di periksa ulang setiap tiga bulan sampai enam
bulan diagnosa kusta dapat di tegakkan atau disingkirkan

PEMERIKSAAN PASIEN
1. Anamnesis
- Keluhan pasien
- Riwayat kontak dengan pasien
- Latar belakang keluarga, misalnya keadaan social ekonomi
2. Inspeksi
Dengan penerangan yang baik lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan kulit.
12

3. Palpasi
- Kelainan kulit : nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan
kaki.
- Kelainan saraf :
Pemeriksaan saraf termasuk meraba dengan teliti : N. Aurikularis magnus, N. ulnaris,
N.peroneus. petugas harus mencatat adanya nyeri tekan dan penebalan saraf. Harus
diperhatikan raut wajah pasien, apakah kesakitan atau tidak pada saat saraf diraba.
Pemeriksaan saraf harus sistematis, meraba atau palpasi sedemikian rupa jangan
sampai menyakiti atau pasien mendapat kesan yang kurang baik.
Pemeriksaan saraf tepi :
Bandingkan saraf bagian kanan dan kiri
Membesar atau tidak
Berbentuk bulat atau oval
Pemebesaran reguler atau ireguler
Perabaan keras atau kenyal
Nyeri atau tidak
Cara pemeriksaan saraf tepi :
a) N. Aurikularis magnus
-Pasien disuruh menoleh kesamping semaksimal mungkin, maka saraf yang
terlibat akan terdorong oleh otot dibawahnya sehingga acapkali sudah bisa terlihat
bila saraf membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya
saraf tersebut kearah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara
seksama akan menemukan jaringan seperti kabel atau kawat.
b) N. Ulnaris
-Tangan yang diperiksa harus sanatai, sedikit flekssi dan sebaiknya diletakkan
diatas satu tangan pemeriksa.
-Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan dibawah siku (sulcus nervi ulnaris)
dan merasakan apakah ada penebalan atau tidak.
-Perlu dibandingkan N.ulnaris kanan dan kiri untuk melihat adanya perbedaan
atau tidak.
Bila saraf yang disentuh oleh jari pemeriksa, sering pasien merasakan seperti
terkena setrumpada daerah yang disarafi oleh saraf tersebut. Pada keadaan neuritis
akut, sedikit sentuhan sudah memberikan rasa nyeri yang hebat.
4. Tes fungsi saraf
Gunakan kapas, jarum, serta tes tabung hangat dingin.
Tes Sensoris
a) Rasa suhu
13

Dilakukan dengan menggunakan dua tabung reaksi, yang satu berisi air
panas( sebaiknya 40oC) yang lainnya air dingin (sebaiknya 20oC)
- Mata penderita ditutup atau menoleh ketempat lain, lalu bergantian kedua tabung
tersebut ditempelkan pada bagian kulit yang dicurigai.
- Sebelumnya dilakukan tes kontrol pada daerah kulit yang normal, untuk memastrikan
bahwa orang yang diperiksa dapat membedakan panas dan dingin.
- Bila didaerah yang dicurigai tersebut beberapa kali penderita salah menyebutkan rasa
pada tabung yang ditempelkan, maka dapat disimpulkan bahwa sensasi suhu didaerah
tersebut terganggu.
b) Rasa raba
- Dengan kapas atau sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa
perasaan dengan menyinggung kulit. Yang diperiksa harus duduk pada waktu
pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menjelaskan bahwa bilamana disinggung
bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang tersinggung dengan
jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bila mana hal ini telah jelas,
maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong
kain/karton. Tanda-tanda dikulit dan bagian-bagian kulit lain yang dicurigai, diperiksa
sensitabilitasnya. Harus diperiksa sensibilitas kulit yang sehat dan kulit yang
tersangka diserang kusta. Bercak-bercak dikulit harus diperiksa ditengahnya dan
jangan dipinggirnya.
c) Rasa nyeri
- Diperiksa dengan memakain jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang
tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien dalam keadaan sedang
menutup mata harus menyatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.

Tes otonom
Adanya gangguan berkeringat di macula anastesi pada penyakit kusta. Pemeriksaan lesi
kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.
a) Tes dengan pensil tinta (tes gunawan)
Pinsil tinta digaris mulai dari daerah kulit yang normal, melewati daerah kulit yang
dicurigai terus sampai kedaerah kulit yang normal kembali. Pada kulit normal tinta akan
luntur. Sedangkan pada kulit abnormal tinta tidak luntur.
14

b) Tes histamin
Daerah kulit pada macula dan perbatasannya disuntik dengan histamine subkutan. Setelah
beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat, sedangkan daerah anhidrosis
tetap kering.
Tes motoris
Voluntary muscle test (VMT)
Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis, dan n.
peroneus.
5. Komplikasi ,mencari komplikasi
- Pada mata, hidung, laring dan testis
- Reaksi : nyeri saraf, eritrema nodosum leprosum, iridosiklitis.
- Kerusakan saraf sensoris
- Kerusakan saraf motoris
- Kerusakan saraf otonom
6. Pemeriksaan bakterioskopis
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit (bakterioskopis)
Tujuan:
1. Membantu menegakan diagnosis penyakit kusta
2. Menentukan klasifikasi tipe kusta
3. Membantu menilai hasil pengobatan
4. Menentukan end point pengobatan
5. Menentukan prognosis
6. Memperkirakan kepentingan epidemiologis dari pasien-pasien dan menentukan
prioritas pengobatan, pemeriksaan kontak dsb.

a) Pemeriksaaan bakterioskopik,
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat. Sediaan
dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan
berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Leprae. Pertama tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk
rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4
lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan
15

cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada
cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila
tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan
non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak
perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai
10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.
b) Pemeriksaan histopatologi,
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggu,
makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya
berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk
menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah
menjadi sel datia Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita
dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.Leprae yang
sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel
Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa
16

terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung
di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan
banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur unsur tersebut.
c) Pemeriksaan serologik:
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae.
Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.Leprae, yaitu antibodi anti
phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan
antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga
dihasilkan oleh kuman M.tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan serologik
adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked
Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).
4.Tes lepromin
adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis.
Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml
lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian
dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu (reaksi Mitsuda).
Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau
penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux
test (PPD) pada tuberkolosis.

Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. 1. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular
response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum
pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis
terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang
memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang
memegang peranan adalah imunitas humoral.
a. Reaksi tipe 1
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity reaction
yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal upgrading) seperti halnya
reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari kuman yang telah mati
(breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan
17

sistem imun selular yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe I terjadi akibat perubahan
keseimbangan antara imunitas dan basil. Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut
dapat terjadi upgrading/reversal. Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan
reaksi reversal oleh karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang
mendapatkan pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh
karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak
mendapat pengobatan.
Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta
yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain
sehingga disebut reaksi borderline.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah
ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya
lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa, lesi makula
menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah lesi luas.
Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.
b. Reaksi tipe II
Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral , yaitu reaksi
hipersnsitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang melibatkan
komplemen. Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak pada BL. Reaksi
tipe II sering disebut sebagai Erithema Nodosum Leprosum (ENL) dengan gambaran lesi
lebih eritematus, mengkilap, tampak nodul atau plakat, ukuran bernacam-macam, pada
umunnya kecil, terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah,
wajah, lengan, dan paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali
daerah kepala yang berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu
didapatkan nyeri, pustulasi dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan
malaise. Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal,
sendi, testis, dan limfe.
Tabel perbedaan reaksi kusta tipe 1 dan tipe 2
No Gejala/tanda
Tipe I (reversal)
.
1
Kondisi umum
Baik atau demam ringan
2

Peradangan
kulit

Waktu terjadi

Tipe II (ENL)

Buruk, disertai malaise dan


febris
di Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul kemerahan,
lebih meradang (merah), lunak, dan nyeri tekan.
dapat timbul bercak baru
Biasanya pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat pecah
(ulserasi)
Awal pengobatan MDT
Setelah pengobatan yang
18

4
5

6
7

Tipe kusta
Saraf

lama, umumnya lebih dari 6


bulan
MB
Dapat terjadi

PB atau MB
Sering terjadi
Umumnya berupa nyeri tekan
saraf dan atau gangguan
fungsi saraf
Keterkaitan organ Hampr tidak ada
Terjadi pada mata, KGB,
lain
sendi, ginjal, testis, dll
Faktor pencetus
Melahirkan
Emosi
Obat-obat
yang
Kelelahan dan stress
meningkatkan
fisik lainnya
kehamilan
kekebalan tubuh

Tabel Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2
N Gejala/tanda Tipe I
Tipe II
o
Ringan
Berat
Ringan
1. Kulit
Bercak : Bercak
: Nodul
:
merah,
merah,
merah,panas,nyer
tebal,
tebal,
i
panas,
panas,
nyeri
nyeri yang
bertambah
parah
sampai
pecah
2
Saraf tepi
Nyeri
Nyeri pada Nyeri
pada
pada
perabaan
perabaan (-)
perbaan
(+)
(-)
3
Keadaan
Demam
Demam (+) Demam (+)
umum
(-)
4
Keterlibatan
organ lain

Berat
Nodul : merah,
panas, nyeri yang
bertambah
parah
sampai pecah

Nyeri pada perabaan


(+)

Demam (+)
+
Terjadi peradangan
pada :
mata
:
iridocyclitis
testis
:
epididimoorchiti
s
ginjal : nefritis
19

kelenjar limpa :
limfadenitis
gangguan pada
tulang, hidung,
dan tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi
berat
Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta
tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus,
bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas,
kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai
purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi
lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah
lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak
ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak
deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah.
VIII. Diagnosis banding:
Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra:
Ada Makula hipopigmentasi
Ada daerah anestesi
Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam
Ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabang-cabangnya.
1. Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea, atau
dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik.
2. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis,
psoriasis,lupus eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea
3. Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas atau
psoriasis.
4. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis, atau erupsi
obat

20

IX. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai penularan
untuk menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita,
mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yang
dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin,
dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson
yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(Diaminodifenil sulfon) kemudoan klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO
menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative yaitu ofloksasin,
minosiklin, dan klaritomisin. Sejak tahun 1951 pengobatan tuberculosis dengan obat
21

kombinasi ditujukan untuk mencegah kemungkinan resistensi obaat sedangkan MDT


untuk kusta baru dimulai tahun 1971.
Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui
Kusta diperburuk selama kehamilan, sehingga sangat penting bahwa terapi
multidrug standar dilanjutkan selama kehamilan. Program Aksi untuk Penghapusan
Kusta, WHO, Jenewa telah menyatakan bahwa rejimen MDT standar dianggap aman,
baik untuk ibu dan anak, dan karena itu, harus dilanjutkan berubah selama kehamilan.
Sebuah jumlah kecil obat anti-lepra diekskresikan melalui ASI, tetapi tidak ada laporan
efek samping sebagai akibat dari ini kecuali untuk perubahan warna kulit ringan dari bayi
karena klofazimin. Perlakuan dosis tunggal untuk pasien kusta lesi tunggal paucibacillary
harus ditunda sampai setelah melahirkan.
Hormonal dan imunologi perubahan dalam penumpasan kehamilan menyebabkan
sel-dimediasi kekebalan dan memburuknya gejala. Bayi yang lahir dari ibu dengan berat
lahir rendah memiliki kusta dan peningkatan risiko terserang penyakit itu.
WHO merekomendasikan MDT karena itu dilanjutkan selama kehamilan .Namun,
obat yang digunakan dalam pengobatan kusta tidak tanpa risiko dan pengobatan harus di
bawah pengawasan spesialis.

Rifampisin mengurangi efektivitas kontrasepsi hormonal, saran kontrasepsi


sehingga alternatif harus ditawarkan. Dosis tinggi dari rifampisin mungkin teratogenik
dan tidak dianjurkan untuk digunakan selama trimester pertama.
Dapson dapat menyebabkan hemolisis neonatal dan methaemoglobinamea. Jika
perlu harus diresepkan untuk wanita hamil dalam kombinasi dengan asam folat.
Klofazimin dapat menyebabkan perubahan warna pada kulit bayi yang disusui.
Penggunaan thalidomide tetap ketat kontra-ditunjukkan pada wanita usia subur.
DDS:
Ada dua jenis relaps pada kusta yaitu relaps sensitive (persisten) dan relaps resisten. Pada
relaps persisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik dapat dinyatakan penyakit tiba-tiba
aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif kembali. Tetapi setelah
dibuktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada mencit, ternyata M.Leprae yang semula
dorman, sleeping, atau persisten bangun dan aktif kembali. Pada pengobatan sebelumnya, basil
dorman sukar dihancurkan dengan obat atau MDT apapun.

22

Pada relaps resisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik yang khas dapat
dibuktikan dengan percobaan dan inokulasi pada mencit, bahwa M.Leprae resisten terhadap
DDS. Resisten hanya terjadi pada kusta multibasilar tetapi tidak pada pausibasilar, oleh karena
SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relative singkat.
Pengertian MDT pada saat ini adalah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan obat-obat
lain. Dosis DDS ialah 1-2 mg/kg BB setiap hari. Efek sampingnya antara lain nyeri kepala,
erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrosis
epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.

Rifampicin:
Kombinasi DDS dengan dosis 10mg/kg BB, diberikan setiap hari atau setiap bulan.
Rifampicin tidak bileg diberikan sebagai monoterapi karena dapat memperbesar kemungkinan
terjadinya resistensi.
Efek Samping yang harus di perhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit.

Klofazimin (lamprene) :
Dosis sebagai antikusta ialah 50mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari atau 3x100mg
setiap minggu. Juga bersifat sebagai antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan
E.N.L dengan dosis lebih tinggi yaitu 200-300 mg/hari namun awitan kerja baru timbul setelah
2-3 minggu.
Efek sampingnya adalah warna kecokelatan pada kulit dan warna kekuningan pada sclera
sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang merupakan zat warna dan
dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan
pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek
samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal yakni nyeri
abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat
badan.Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan obat diberikan.

Ofloksasin:

23

Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium leprae in


vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan
membunuh kuman Mycobacterium Leprae hidup sebesar 99,99%.
Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya., berbagai
gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan
halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukkan dan biasanya tidak membutuhkan
penghentian pemakaian obat.
Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati, karena pada
hewan muda kuinolon menyebabkan artropati. Selain ofloksasin dapat pula digunakan
levofloksasin dengan dosis 500 mg sehari. Obat tersebut lebih baru, jadi lebih efektif. 1

Minosiklin:
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada
klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampicin. Dosis standar harian 100 mg. Efek
sampingna adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simptom saluran cerna dan susunan saraf
pusat, termasuk dizzines dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak di anjurkan untuk anak-anak atau
selama kehamilan.

Klaritromisin:
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap
Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian
500 mg dapat membunuh 99 % kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari.
Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare yang terbukti sering di temukan bila obat ini
diberikan dengan dosis 2000 mg.
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT
dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dengan tindak lanjut tanpa
pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama minimal 5 tahun. Kalau
bakterioskopis tetap negative dan klinis tidak ada keaktivan baru, maka dinyatakan bebas dari
pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).
MDT untuk pausibasilar ( I, TT, BT ) adalah rifampicin 600 mg setiap bulan dan DDS
100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 bulan sampai 9 bulan. Selama pengobatam,
pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan.
Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis.
24

Kalau tidak ada keaktivan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakn
RFC.
WHO pada tahun 1998 telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus Multibasilar
menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus Pausibasilar dengan lesi
kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. 1
Penderita multibasilar yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula
dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dalam hal ini rejimen pengobatan
menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan,
dilanjutkan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari
selama 8 bulan.
Bagi penderita MB yang menolak klofazimin dapat di berikan ofloksasin 400 mg/hari
atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lain ialah diberikan rifampicin 600 mg
ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama 24
bulan.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:

oleh

1. Pausi Basiler (PB)


2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment. Kegunaan MDT untuk
mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita
dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal
diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung
RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di
berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan
PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (25).
Tabel 1. Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut WHO/DEPKES
RI

Rifampicin

Ofloxacin

Minocyclin
25

Dewasa

600 mg

400 mg

100 mg

300 mg

200 mg

50 mg

(50-70 kg)
Anak
(5-14 th)
PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9) bulan.
Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum obat.
Tabel 2 Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)

Dewasa

Rifampicin

Dapson

600 mg/bulan

100 mg/hr diminum di


rumah

Diminum di depan
petugas kesehatan
Anak-anak

450 mg/bulan

(10-14 th)

Diminum di depan
petugas kesehatan

50 mg/hari diminum di
rumah

MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan
selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From
Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif
untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
Tabel 3 Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)

Rifampicin

Dapson

Lamprene

26

Dewasa

600
mg/bulan100 mg/hari diminum300
mg/bulan
diminum di depandi rumah
diminum di depan
petugas kesehatan
petugas
kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah

Anak-anak

450
diminum
petugas

(10-14 th)

mg/bulan50 mg/hari diminum150


mg/bulan
di depandi rumah
diminum di depan
petugas
kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg
selang
sehari
diminum di rumah

27

Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/File:MDTRegimens.jpg

Pengobatan Reaksi Kusta:


Pengobatan E.N.L :
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain prednison.
Dosisnya tergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadangkadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya
terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara
bertahap sampai berhenti sama sekali. 1

Ada lagi obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide, tetapi harus
berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan kepada orang hamil
atau masa subur. Jika hal ini tidak mungkin, adalah penting bahwa kehamilan dikeluarkan
sebelum perawatan ini dimulai. Kontrasepsi yang efektif harus digunakan selama 4 minggu
sebelum dan setelah pengobatan serta selama masa pengobatan. Haruskah kehamilan terjadi
meskipun tindakan pencegahan ini, ada risiko tinggi kelainan berat janin. 1

Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi E.N.L,
tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Khasiatnya lebih lambat dari kortikosteroid. Keuntungan
lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. 1

Pengobatan reaksi reversal:


Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa
neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan
28

pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya neuritis,
makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari, kemudian
diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat
untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. 1
Anggoata gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa
kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin dan thalidomid untuk reaksi reversal kurang
efektif, oleh karena itu jarang dipakai. 1

Pencegahan Cacat:
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya
kekuatan otot. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat adalah dengan melaksanakan
diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan
mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan
dengan kortikosteroid sesegera mungkin. 1

X. KOMPLIKASI

Gangguan saraf
tepi

Tangan/kaki
kurang rasa

sensorik

motorik

anestesi

kelemahan

Kornea mata
anestesi, reflek
kedip

luka

infeksi

mutilasi

kebutaa

Tangan/kaki
lemah atau
lumpuh

Jari
bengkok/ka
ku

mutila
luka

otonom

Gangguan kel. Keringat,


minak, aliran darah

Mata
lagoftalmus

Kulit
kering/pecah

infeksi

luka

kebuta
an

infeksi

29

XI. PROGNOSIS
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan
lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus
kronik, prognosis kurang baik.

30

BAB III
KESIMPULAN

Kusta merupakan penyakit yang di sebablan oleh kuman Mycobacterium leprae. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Klasifikasi bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah
klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5
kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan imunologis, yaitu
tipe tuberculoid (TT), tipe borderline tuberculoid(BT), tipe mid borderline (BB), tipe
borderline lepromatosa (BL) , dan tipe lepromatosa (LL).
Program MDT dimulai pada tahun 1981,yaitu ketika kelompok studi kemoterapi WHO
secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang
selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi obatobat DDS, Rifampisin, dan Klofazimin. Kusta diperburuk selama kehamilan, sehingga sangat
penting bahwa terapi multidrug standar dilanjutkan selama kehamilan. Program Aksi untuk
Penghapusan Kusta, WHO, Jenewa telah menyatakan bahwa rejimen MDT standar dianggap
aman, baik untuk ibu dan anak, dan karena itu, harus dilanjutkan berubah selama kehamilan.
Sebuah jumlah kecil obat anti-lepra diekskresikan melalui ASI, tetapi tidak ada laporan efek
samping sebagai akibat dari ini kecuali untuk perubahan warna kulit ringan dari bayi karena
klofazimin. Pemakaian Thalidomide pada pengobatan E.N.L harus dihindari karena
mempunyai efek teratogenik. Perlakuan dosis tunggal untuk pasien kusta lesi tunggal
paucibacillary harus ditunda sampai setelah melahirkan.

31

DAFTAR PUSTAKA

1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam :
Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima Cetakan Kelima.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2010;73-88
2. Siregar, Saripati Penyakit Kulit, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003 : 124126
3. Lewis. S.Leprosy. Update Feb 4, 2010. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall
4. Bonarz. 2011. Kusta dalam http://id.scribd.com/doc/52132089/referat-MH-indah
diunduh tanggal 4 Februari 2011
5. Willacy Hayley.Update Apr 20, 2010. Available at :
http://www.patient.co.uk/doctor/Leprosy.htm
6. WHO.1998 Model Prescribing Information: Drugs Used in Leprosy. Available at:
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html

32

You might also like