Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya menyerang
kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot, tulang dan
testis.
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah
tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa
menyerang di mana saja. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang
berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini
sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang
memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat.
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang
sangat kompleks yang bukan hanya pada segi medis, juga meluas hingga masalah sosial,
ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae, terutama mengenai kulit, sistem saraf perifer, namun dapat juga terjadi sistem
pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah bening dan testis dan sendi-sendi.
II. Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat intrasel,
aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro , berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 8
m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol2. Kuman ini memunyai afinitas terhadap makrofag
dn sel Schwann, replikasi yang lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune
response, yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di
perineurium, dapat ditemukan iskemia, fibrosis, dan kematian akson.3 Mycobacterium leprae
dapat bereproduksi maksimal pada suhu 27C 30C, tidak dapat dikultur secara in vitro,
menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan Tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin
(kulit, sistem saraf perifer,hidung, cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas,
kaki, dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah
punggung.
III. Epidemiologi
Prevalensi kusta di dunia dilaporkan hanya <1 per 10.000 populasi (sesuai dengan target
resolusi WHO mengenai eliminasi kusta). Paling banyak terjadi pada daerah tropis dan subtropis.
86% dilaporkan terjadi di 11 negara, Bangladesh, Brazil, China, Congo, Etiopia, India,
Indonesia, Nepal, Nogeria, Filipina, Tanzania. Namun prevalensi lepra berkurang sejak dimulai
adanya MDT pada tahun 1982. Pada pertengahan tahun 2000, jumlah penderita kusta terdaftar di
Indonesia sebanyak 20.7042 orang, banyak ditemukan di Jawa Timur, Jaa Barat, Sulawesi
Selaran, dan Irian Jaya.
Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan perbandingan 2:1,
dengan insidensi usia puncak 10-20 tahun dan 30-50 tahun, jarang terjadi pada bayi. Faktor
predisposisinya adalah penduduk pada area yang endemik, memiliki kerentanan lepra dalam
darah, kemiskinan (malnutrisi), dan kontak dengan affected armadillos.
IV. Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit lepra yang
terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB: mid borderline
bentuk yang labil
BL: borderline lepromatous
Li: lepromatosa indefinite
LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin
berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan
tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid
dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti
lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe
campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL2.
Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar (PB).
Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks biposi (IB), ditemukan bakteri
lebih dari +2, yaitu tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar
mengandung sedikit basil dengan IB kurang dari +2, yaitu tipe TT, BT, dan I klasifikasi RidleyJoping.
V. Patogenesis
Prinsip transmisi dari kusta adalah lewat udara yang tersebar dari sekresi nasal yang
terinfeksi ke mukosa nasal dan mulut. Kusta secara umum tidak disebabkan oleh kontak
langsung dari kulit yang intak. Periode inkubasi dari kusta adalah 6 bulan hingga 40 tahun atau
lebih, dengan rata-rata 4 tahun untuk tipe tuberkuloid dan 10 tahun untuk tipe lepromatous
(Lewis, 2010).
Area yang sering terkena kusta adalah saraf perifer superfisial, kulit, membran mukosa
dari saluran napas atas, ruang anterior mata, dan testes. Area-area tersebut merupakan bagian
yang dingin dari tubuh (Lewis, 2010). Kerusakan jaringan tergantung pada sitem simunitas
selular, tipe penyebaran bakeri, adanya komplikasi reaksi lepra, dan kerusakan saraf. Afinitas
pada sel Schwann, mycobacteria berikatan dengan Domain G rantai alpha laminin 2 yang
ditemukan di saraf perifer di lamina basal. Replikasi di dalam sel ini menyebabkan respon sistem
imunitas selular yang menyebabkan reaksi inflamasi, yang menyebabkan pembengkakan
perineureum, iskemia, fibrosis, dan kematian akson.
Kekuatan dari sistem imun hospes mempengaruhi manifestasi klinis dari kusta. Cellmediated immunity (interferon-gamma, interleukin (IL)-2) yang kuat dengan respon humoral
yang lemah akan menyebabkan bentuk yang ringan dari penyakit ini, sedangkan respon humoral
3
yang kuat (IL-4, IL-10) dengan cell-mediated immunity yang lemah/tidak ada, akan
menyebabkan bentuk lepromatous dengan lesi yang luas, mengenai kulit dan saraf secara
ekstensif, dan kadar bakteri yang banyak 3. Sistem imunitas selular (SIS) yang baik akan tampak
gambaran ke arah tuberkuloid, sedangkan SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa 2.
Pada kusta tipe LL, terjadin kelumpuhan sistem imunitas selulae, dengan demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman bermultiplikasi dengan bebas
dan merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT terjadi sebaliknya, kemampuan imunitas selular tinggi, sehingga
makrofag mampu menghancurkan kuman. Namun setelah kuman difagositosis, makrofag
berubah menjadi sel epiteloid dan kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Massa
epiteloid dapat menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.
Munculnya gejala kusta terjadi karena perkembangan granuloma, dan pasien mungkin
mengalami reactional state, yang dapat terjadi pada sekitar >50% pasien tertentu. Spektrum
granuloma lepra terdiri dari 1) a high-resistance tuberculoid response (TT), 2) a low- or absentresistance lepromatous pole (LL), 3) a dimorphic or borderline region (BB), 4) borderline
lepromatous (BL), dan 5) borderline tuberculoid (BT). Berdasarkan dari yang paling tinggi
resistensinya hingga ke yang paling rendah resistensinya, yaitu TT, BT, BB, BL, LL.
Respon imun terhadap M. leprae dapat menghasilkan beberapa tipe reaksi yang berhubungan
dengan status klinis. Reaksi lepra tipe 1 (downgrading and reversal reactions) terjadi pada
individu dengan BT dan BL, inflamasi terjadi diantara lesi kulit yang sudah ada. Downgrading
reaction terjadi sebelum terapi, reversal reaction terjadi karena respon terhadap terapi. Reaksi
tipe 1 berhubungan dengan demam derajat rendah, lesi satelit makulopapular baru yang kecil dan
banyak, dan/ atau neuritis. Reaksi tipe 2 (Erythema Nodosum Leprosum, ENL) terjadi pada
sebagian individu dengan LL, biasanya timbul setelah awal pemberian terapi antilepra, umumnya
dalam 2 tahun pertama terapi. Terdapat inflamasi yang hebat mirip seperti lesi eritema nodosum.
Reaksi lucio merupakan rekasi yang terjadi pada individu dengan LL yang meluas. Pada individu
tersebut terjadi ulserasi yang dangkal, large polygonal sloughing pada kaki. Reaksi ini timbul
baik sebagai varian dari ENL atau sekunder terhadap oklusi arteriol. Ulserasi ini sulit membaik,
sering rekuren, dan distribusinya dapat general akibat infeksi bakteri sekunder dan sepsis.
VI. Gejala klinis
Perbandingan gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar dan Multibasilar disajikan dalam
tabel berikut:
PB (Pausibasilar)
Lesi kulit (macula yang 1-5 lesi
datar,
papul
yang
meninggi, infiltrate, plak Hipopigmentasi/eritema
eritem, nocus)
Distribusi tidak simetris
MB (Multibasilar)
>5 lesi
Distribusi lebih simetris
Kerusakan
saraf Hilangnya sensasi yang jelas
(menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan otot Hanya satu cabang saraf
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena
BTA
Negatif
Positif
Tipe
Tuberkuloid
Borderline
Tuberkuloid
Indeterminate
Lesi
Tipe
dibatasi Macula
Jumlah
Distribusi
Terlokasi
asimetris
Permukaan
Kering,skuama
Kering,skuama
Sensibilitas
Hilang
Hilang
Agak terganggu
Negative
Negatif, atau 1+
Biasanya negatif
Tes Lepromin*
Positif (2+)
Meragukan
Satu
dengan
satelit
dan Asimetris
BTA
*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah
3minggu.
Gejala klinik Morbus-Hansen Multibasilar
Karakteristi
k
Lepromatosa
Borderline
Lepromatosa
Mid-borderline
Lesi
Tipe
Jumlah
Banyak distribusi luas, Banyak tapi kulit Beberapa, kulit sehat (+)
praktis tidak ada kulit sehat masih ada
sehat
Distribusi
Simetris
Cenderung simetris
Asimetris
Permukaan
Sensibilitas
Tidak terganggu
Sedikit berkurang
Berkurang
Banyak
Agak banyak
BTA
Pada
kulit
lesi Banyak
Pada
Banyak
Tidak ada
Negatif
Negatif
Biasanya negatif
hem
busa
n
hidu
ng
Tes
Lepromin*
*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah
3minggu.
Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial
2. N. medianus
Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
3. N. radialis
4. N. poplitea lateralis
5. N. tibialis posterior
Claw toes
6. N. fasialis
9
7. N. trigeminus
Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata
lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis yang dapat membuat paralisis
N.Orbicularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang
selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau
bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. 1
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar
palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa
dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi
granuloma pada tubulus semineferus testis. 1
Kusta histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang ditandai dengan adanya
nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya
timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relapse resistent. 1
10
Relapse sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai
dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi karena kuman yang dorman aktif kembali atau
pengobatan yang diselesaikan tidak adekuat, baik dosis maupun pemberiannya,disebut juga
resisten sekunder. 1
Relaps resistents terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan
waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati dengan obat yang sama karena kuman telah
resisten terhadap obat MDT, disebut juga resisten primer.
PEMERIKSAAN PASIEN
1. Anamnesis
- Keluhan pasien
- Riwayat kontak dengan pasien
- Latar belakang keluarga, misalnya keadaan social ekonomi
2. Inspeksi
Dengan penerangan yang baik lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan kulit.
12
3. Palpasi
- Kelainan kulit : nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan
kaki.
- Kelainan saraf :
Pemeriksaan saraf termasuk meraba dengan teliti : N. Aurikularis magnus, N. ulnaris,
N.peroneus. petugas harus mencatat adanya nyeri tekan dan penebalan saraf. Harus
diperhatikan raut wajah pasien, apakah kesakitan atau tidak pada saat saraf diraba.
Pemeriksaan saraf harus sistematis, meraba atau palpasi sedemikian rupa jangan
sampai menyakiti atau pasien mendapat kesan yang kurang baik.
Pemeriksaan saraf tepi :
Bandingkan saraf bagian kanan dan kiri
Membesar atau tidak
Berbentuk bulat atau oval
Pemebesaran reguler atau ireguler
Perabaan keras atau kenyal
Nyeri atau tidak
Cara pemeriksaan saraf tepi :
a) N. Aurikularis magnus
-Pasien disuruh menoleh kesamping semaksimal mungkin, maka saraf yang
terlibat akan terdorong oleh otot dibawahnya sehingga acapkali sudah bisa terlihat
bila saraf membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya
saraf tersebut kearah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara
seksama akan menemukan jaringan seperti kabel atau kawat.
b) N. Ulnaris
-Tangan yang diperiksa harus sanatai, sedikit flekssi dan sebaiknya diletakkan
diatas satu tangan pemeriksa.
-Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan dibawah siku (sulcus nervi ulnaris)
dan merasakan apakah ada penebalan atau tidak.
-Perlu dibandingkan N.ulnaris kanan dan kiri untuk melihat adanya perbedaan
atau tidak.
Bila saraf yang disentuh oleh jari pemeriksa, sering pasien merasakan seperti
terkena setrumpada daerah yang disarafi oleh saraf tersebut. Pada keadaan neuritis
akut, sedikit sentuhan sudah memberikan rasa nyeri yang hebat.
4. Tes fungsi saraf
Gunakan kapas, jarum, serta tes tabung hangat dingin.
Tes Sensoris
a) Rasa suhu
13
Dilakukan dengan menggunakan dua tabung reaksi, yang satu berisi air
panas( sebaiknya 40oC) yang lainnya air dingin (sebaiknya 20oC)
- Mata penderita ditutup atau menoleh ketempat lain, lalu bergantian kedua tabung
tersebut ditempelkan pada bagian kulit yang dicurigai.
- Sebelumnya dilakukan tes kontrol pada daerah kulit yang normal, untuk memastrikan
bahwa orang yang diperiksa dapat membedakan panas dan dingin.
- Bila didaerah yang dicurigai tersebut beberapa kali penderita salah menyebutkan rasa
pada tabung yang ditempelkan, maka dapat disimpulkan bahwa sensasi suhu didaerah
tersebut terganggu.
b) Rasa raba
- Dengan kapas atau sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa
perasaan dengan menyinggung kulit. Yang diperiksa harus duduk pada waktu
pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menjelaskan bahwa bilamana disinggung
bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang tersinggung dengan
jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bila mana hal ini telah jelas,
maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong
kain/karton. Tanda-tanda dikulit dan bagian-bagian kulit lain yang dicurigai, diperiksa
sensitabilitasnya. Harus diperiksa sensibilitas kulit yang sehat dan kulit yang
tersangka diserang kusta. Bercak-bercak dikulit harus diperiksa ditengahnya dan
jangan dipinggirnya.
c) Rasa nyeri
- Diperiksa dengan memakain jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang
tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien dalam keadaan sedang
menutup mata harus menyatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.
Tes otonom
Adanya gangguan berkeringat di macula anastesi pada penyakit kusta. Pemeriksaan lesi
kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.
a) Tes dengan pensil tinta (tes gunawan)
Pinsil tinta digaris mulai dari daerah kulit yang normal, melewati daerah kulit yang
dicurigai terus sampai kedaerah kulit yang normal kembali. Pada kulit normal tinta akan
luntur. Sedangkan pada kulit abnormal tinta tidak luntur.
14
b) Tes histamin
Daerah kulit pada macula dan perbatasannya disuntik dengan histamine subkutan. Setelah
beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat, sedangkan daerah anhidrosis
tetap kering.
Tes motoris
Voluntary muscle test (VMT)
Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis, dan n.
peroneus.
5. Komplikasi ,mencari komplikasi
- Pada mata, hidung, laring dan testis
- Reaksi : nyeri saraf, eritrema nodosum leprosum, iridosiklitis.
- Kerusakan saraf sensoris
- Kerusakan saraf motoris
- Kerusakan saraf otonom
6. Pemeriksaan bakterioskopis
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit (bakterioskopis)
Tujuan:
1. Membantu menegakan diagnosis penyakit kusta
2. Menentukan klasifikasi tipe kusta
3. Membantu menilai hasil pengobatan
4. Menentukan end point pengobatan
5. Menentukan prognosis
6. Memperkirakan kepentingan epidemiologis dari pasien-pasien dan menentukan
prioritas pengobatan, pemeriksaan kontak dsb.
a) Pemeriksaaan bakterioskopik,
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat. Sediaan
dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan
berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Leprae. Pertama tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk
rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4
lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan
15
cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada
cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila
tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan
non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak
perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai
10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.
b) Pemeriksaan histopatologi,
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggu,
makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya
berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk
menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah
menjadi sel datia Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita
dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.Leprae yang
sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel
Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa
16
terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung
di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan
banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur unsur tersebut.
c) Pemeriksaan serologik:
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae.
Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.Leprae, yaitu antibodi anti
phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan
antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga
dihasilkan oleh kuman M.tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan serologik
adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked
Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).
4.Tes lepromin
adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis.
Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml
lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian
dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu (reaksi Mitsuda).
Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau
penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux
test (PPD) pada tuberkolosis.
Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. 1. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular
response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum
pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis
terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang
memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang
memegang peranan adalah imunitas humoral.
a. Reaksi tipe 1
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity reaction
yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal upgrading) seperti halnya
reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari kuman yang telah mati
(breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan
17
sistem imun selular yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe I terjadi akibat perubahan
keseimbangan antara imunitas dan basil. Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut
dapat terjadi upgrading/reversal. Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan
reaksi reversal oleh karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang
mendapatkan pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh
karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak
mendapat pengobatan.
Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta
yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain
sehingga disebut reaksi borderline.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah
ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya
lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa, lesi makula
menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah lesi luas.
Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.
b. Reaksi tipe II
Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral , yaitu reaksi
hipersnsitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang melibatkan
komplemen. Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak pada BL. Reaksi
tipe II sering disebut sebagai Erithema Nodosum Leprosum (ENL) dengan gambaran lesi
lebih eritematus, mengkilap, tampak nodul atau plakat, ukuran bernacam-macam, pada
umunnya kecil, terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah,
wajah, lengan, dan paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali
daerah kepala yang berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu
didapatkan nyeri, pustulasi dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan
malaise. Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal,
sendi, testis, dan limfe.
Tabel perbedaan reaksi kusta tipe 1 dan tipe 2
No Gejala/tanda
Tipe I (reversal)
.
1
Kondisi umum
Baik atau demam ringan
2
Peradangan
kulit
Waktu terjadi
Tipe II (ENL)
4
5
6
7
Tipe kusta
Saraf
PB atau MB
Sering terjadi
Umumnya berupa nyeri tekan
saraf dan atau gangguan
fungsi saraf
Keterkaitan organ Hampr tidak ada
Terjadi pada mata, KGB,
lain
sendi, ginjal, testis, dll
Faktor pencetus
Melahirkan
Emosi
Obat-obat
yang
Kelelahan dan stress
meningkatkan
fisik lainnya
kehamilan
kekebalan tubuh
Tabel Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2
N Gejala/tanda Tipe I
Tipe II
o
Ringan
Berat
Ringan
1. Kulit
Bercak : Bercak
: Nodul
:
merah,
merah,
merah,panas,nyer
tebal,
tebal,
i
panas,
panas,
nyeri
nyeri yang
bertambah
parah
sampai
pecah
2
Saraf tepi
Nyeri
Nyeri pada Nyeri
pada
pada
perabaan
perabaan (-)
perbaan
(+)
(-)
3
Keadaan
Demam
Demam (+) Demam (+)
umum
(-)
4
Keterlibatan
organ lain
Berat
Nodul : merah,
panas, nyeri yang
bertambah
parah
sampai pecah
Demam (+)
+
Terjadi peradangan
pada :
mata
:
iridocyclitis
testis
:
epididimoorchiti
s
ginjal : nefritis
19
kelenjar limpa :
limfadenitis
gangguan pada
tulang, hidung,
dan tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi
berat
Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta
tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus,
bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas,
kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai
purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi
lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah
lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak
ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak
deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah.
VIII. Diagnosis banding:
Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra:
Ada Makula hipopigmentasi
Ada daerah anestesi
Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam
Ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabang-cabangnya.
1. Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea, atau
dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik.
2. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis,
psoriasis,lupus eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea
3. Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas atau
psoriasis.
4. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis, atau erupsi
obat
20
IX. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai penularan
untuk menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita,
mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yang
dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin,
dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson
yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(Diaminodifenil sulfon) kemudoan klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO
menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative yaitu ofloksasin,
minosiklin, dan klaritomisin. Sejak tahun 1951 pengobatan tuberculosis dengan obat
21
22
Pada relaps resisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik yang khas dapat
dibuktikan dengan percobaan dan inokulasi pada mencit, bahwa M.Leprae resisten terhadap
DDS. Resisten hanya terjadi pada kusta multibasilar tetapi tidak pada pausibasilar, oleh karena
SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relative singkat.
Pengertian MDT pada saat ini adalah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan obat-obat
lain. Dosis DDS ialah 1-2 mg/kg BB setiap hari. Efek sampingnya antara lain nyeri kepala,
erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrosis
epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.
Rifampicin:
Kombinasi DDS dengan dosis 10mg/kg BB, diberikan setiap hari atau setiap bulan.
Rifampicin tidak bileg diberikan sebagai monoterapi karena dapat memperbesar kemungkinan
terjadinya resistensi.
Efek Samping yang harus di perhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit.
Klofazimin (lamprene) :
Dosis sebagai antikusta ialah 50mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari atau 3x100mg
setiap minggu. Juga bersifat sebagai antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan
E.N.L dengan dosis lebih tinggi yaitu 200-300 mg/hari namun awitan kerja baru timbul setelah
2-3 minggu.
Efek sampingnya adalah warna kecokelatan pada kulit dan warna kekuningan pada sclera
sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang merupakan zat warna dan
dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan
pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek
samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal yakni nyeri
abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat
badan.Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan obat diberikan.
Ofloksasin:
23
Minosiklin:
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada
klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampicin. Dosis standar harian 100 mg. Efek
sampingna adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simptom saluran cerna dan susunan saraf
pusat, termasuk dizzines dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak di anjurkan untuk anak-anak atau
selama kehamilan.
Klaritromisin:
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap
Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian
500 mg dapat membunuh 99 % kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari.
Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare yang terbukti sering di temukan bila obat ini
diberikan dengan dosis 2000 mg.
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT
dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dengan tindak lanjut tanpa
pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama minimal 5 tahun. Kalau
bakterioskopis tetap negative dan klinis tidak ada keaktivan baru, maka dinyatakan bebas dari
pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).
MDT untuk pausibasilar ( I, TT, BT ) adalah rifampicin 600 mg setiap bulan dan DDS
100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 bulan sampai 9 bulan. Selama pengobatam,
pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan.
Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis.
24
Kalau tidak ada keaktivan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakn
RFC.
WHO pada tahun 1998 telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus Multibasilar
menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus Pausibasilar dengan lesi
kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. 1
Penderita multibasilar yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula
dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dalam hal ini rejimen pengobatan
menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan,
dilanjutkan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari
selama 8 bulan.
Bagi penderita MB yang menolak klofazimin dapat di berikan ofloksasin 400 mg/hari
atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lain ialah diberikan rifampicin 600 mg
ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama 24
bulan.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
oleh
Rifampicin
Ofloxacin
Minocyclin
25
Dewasa
600 mg
400 mg
100 mg
300 mg
200 mg
50 mg
(50-70 kg)
Anak
(5-14 th)
PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9) bulan.
Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum obat.
Tabel 2 Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)
Dewasa
Rifampicin
Dapson
600 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
Anak-anak
450 mg/bulan
(10-14 th)
Diminum di depan
petugas kesehatan
50 mg/hari diminum di
rumah
MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan
selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From
Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif
untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
Tabel 3 Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)
Rifampicin
Dapson
Lamprene
26
Dewasa
600
mg/bulan100 mg/hari diminum300
mg/bulan
diminum di depandi rumah
diminum di depan
petugas kesehatan
petugas
kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah
Anak-anak
450
diminum
petugas
(10-14 th)
27
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/File:MDTRegimens.jpg
Ada lagi obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide, tetapi harus
berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan kepada orang hamil
atau masa subur. Jika hal ini tidak mungkin, adalah penting bahwa kehamilan dikeluarkan
sebelum perawatan ini dimulai. Kontrasepsi yang efektif harus digunakan selama 4 minggu
sebelum dan setelah pengobatan serta selama masa pengobatan. Haruskah kehamilan terjadi
meskipun tindakan pencegahan ini, ada risiko tinggi kelainan berat janin. 1
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi E.N.L,
tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Khasiatnya lebih lambat dari kortikosteroid. Keuntungan
lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. 1
pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya neuritis,
makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari, kemudian
diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat
untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. 1
Anggoata gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa
kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin dan thalidomid untuk reaksi reversal kurang
efektif, oleh karena itu jarang dipakai. 1
Pencegahan Cacat:
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya
kekuatan otot. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat adalah dengan melaksanakan
diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan
mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan
dengan kortikosteroid sesegera mungkin. 1
X. KOMPLIKASI
Gangguan saraf
tepi
Tangan/kaki
kurang rasa
sensorik
motorik
anestesi
kelemahan
Kornea mata
anestesi, reflek
kedip
luka
infeksi
mutilasi
kebutaa
Tangan/kaki
lemah atau
lumpuh
Jari
bengkok/ka
ku
mutila
luka
otonom
Mata
lagoftalmus
Kulit
kering/pecah
infeksi
luka
kebuta
an
infeksi
29
XI. PROGNOSIS
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan
lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus
kronik, prognosis kurang baik.
30
BAB III
KESIMPULAN
Kusta merupakan penyakit yang di sebablan oleh kuman Mycobacterium leprae. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Klasifikasi bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah
klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5
kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan imunologis, yaitu
tipe tuberculoid (TT), tipe borderline tuberculoid(BT), tipe mid borderline (BB), tipe
borderline lepromatosa (BL) , dan tipe lepromatosa (LL).
Program MDT dimulai pada tahun 1981,yaitu ketika kelompok studi kemoterapi WHO
secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang
selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi obatobat DDS, Rifampisin, dan Klofazimin. Kusta diperburuk selama kehamilan, sehingga sangat
penting bahwa terapi multidrug standar dilanjutkan selama kehamilan. Program Aksi untuk
Penghapusan Kusta, WHO, Jenewa telah menyatakan bahwa rejimen MDT standar dianggap
aman, baik untuk ibu dan anak, dan karena itu, harus dilanjutkan berubah selama kehamilan.
Sebuah jumlah kecil obat anti-lepra diekskresikan melalui ASI, tetapi tidak ada laporan efek
samping sebagai akibat dari ini kecuali untuk perubahan warna kulit ringan dari bayi karena
klofazimin. Pemakaian Thalidomide pada pengobatan E.N.L harus dihindari karena
mempunyai efek teratogenik. Perlakuan dosis tunggal untuk pasien kusta lesi tunggal
paucibacillary harus ditunda sampai setelah melahirkan.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam :
Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima Cetakan Kelima.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2010;73-88
2. Siregar, Saripati Penyakit Kulit, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003 : 124126
3. Lewis. S.Leprosy. Update Feb 4, 2010. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall
4. Bonarz. 2011. Kusta dalam http://id.scribd.com/doc/52132089/referat-MH-indah
diunduh tanggal 4 Februari 2011
5. Willacy Hayley.Update Apr 20, 2010. Available at :
http://www.patient.co.uk/doctor/Leprosy.htm
6. WHO.1998 Model Prescribing Information: Drugs Used in Leprosy. Available at:
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html
32