You are on page 1of 7
— “HUBUNGAN UNSUR SELENIUM, TIMBAL DAN RUBIDIUM DALAM KASUS GONDOK ENDEMIK PADA PENDUDUK Di KECAMATAN SAWANG- AN, KABUPATEN MAGELANG The Correlation of Selenium, Lead and Rubidium Elements in the Goitre Endemic Cases from the Population in Sawangan District, Magelang Residence L, Edy Junaedi Trisnowo! Program Studi IlmuKimia Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada ABSTRACT The concentration of selenium (Se), lead (Pb) and rubidium (Rb) elements in the sera of goitre patients from the population in Sawangan District has been determined. The control was the population in Mungkid district in the residence of Magelang, Central Java. The prevalence of goitre patients in Sawangan and Mungkid district are 22,13% and 3,21%. In this research the woman patients arechosen as samples with the following criteria: healthy, age between 17-46 years, not pregnant and not in lactating condition and of low social economic status. The patients fast for 12 hours before their blood being taken in the morning from the venous vessel, residing for 30 minutes and then centrifugated with 2500 rotary perminutes for 15 minutes. The sera is separated and kept in polyethylene bottle at the tem temperature of -20°C. Flame atomic absorption spectrometry method is used to analyze Se and Pb by carbon rod atomizer and Rb by micro sample techniques. Results of trace elements analysis, show that endemic goitre cases in Sa- wangan district is closely related to the Low content of Se serum and the high content of goitrogenic elements of Pb and Rb. The element interaction between Se to Pb and Rb shows that Se/Pb ratio based on the goitre class is increasing and the age addition of goitre patients in Sawangan relatively constant, and the value is lower than the control, while Pb/Se ratio increases with the development of goitre class and age, the value is higher than the control. Key words: selenium -- lead -- rubidium -- goitre endemic cases PENGANTAR Gondok adalah suatu pembesaran kompensasi kelenjar tiroid yang terletak di leher bagian bawah, hal ini disebabkan oleh kesulitan sekresi dan atau penggunaan hormon tiroid (Matovinovic, 1988). I: Pusat Penelitian Nuklir Yogyakarta, BATAN Selama ini anggapan terjadinya gondok yaitu disebabkan oleh defisiensi iodin, pengaruh zat goitrogenik alamiah dalam makanan dan jeleknya kualitas air minum (Djokomoeljanto, 1985). Namun dengan melihat prevalensi gon- dok di Indonesia yang rata-rata tinggi terdapat pada penduduk di sekitar gunung berapi dan daerah pegunungan, maka diduga terdapat faktor lain, yaitu pengaruh unsur-unsur esensial dan runutan dari lava atau gas-gas yang dikeluarkan oleh gunung berapi yang menyebar pada daerah pemukiman. Menurut Underwood (1971), kondisi tanah suatu daerah berhubungan erat dengan tingkat kesehatan penduduk yang bermukim di daerah tersebut, Karena tanah akan memberikan mineral-mineral nutrisi melalui air, tanaman dan hewan yang dikonsumsi oleh penduduk tersebut. Bila kondisi tanah ini dikaitkan dengan prevalensi gondok yang tinggi di sekitar lereng gunung Merapi, Jawa Tengah (Djokomoeljanto, 1985), maka diduga terdapat kaitan erat dengan faktor unsur-unsur goitrogenik seperti timbal (Pb) dan rubidium (Rb) yang dikeluarkan oleh gunung Merapi dalam bentuk lava maupun gas-gas (Symonds, 1985), yang dapat menghambat metabolisme iodin bila intake berlebihan (Anonim, 1977; DeGroot dkk., 1984). Keadaan ini akan lebih parah lagi bila terjadi defisiensi unsur esensial selenium (Se), karena defisiensi selenium akan mengakibatkan tubuh menjadi lebih rentan terhadap bahan kimia dan agen infeksi serta akan meningkatkan resiko terjadinya kanker (Jarres, 1987). Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara faktor ketiga unsur tersebut di atas dengan kasus gondok endemik dilereng gunung Merapi, dipilih kecamatan Sawangan sebagai daerah penderita gondok (prevalensi gondok penduduk 22,13%) dan kecamatan Mungkid sebagai daerah kontrol (prevalensi gondok penduduk 3,21%), kedua daerah penelitian ini terletak di lereng barat daya gunung Merapi, termasuk kabupaten Magelang (Suwono dkk., 1987). Lokasi daerah penderita gondok dan kontrol, masing-masing pada ketinggian 600 - 800 dan 300 - 400 m di atas permukaan air laut, dan jarak kedua daerah tersebut kurang lebih 10 km. Kedua daerah ini mempunyai kadar iodin dalam air yang tidak berbeda, yaitu 6 - 20 ng/ml (Iswanidkk., 1989), tetapi sekresi iodin dalam urin penduduk penderita gondok di kecamatan Sawangan lebih rendah dibandingkan penduduk kontrol di kecamatan Mungkid (Iswani dkk., 1990). Dalam proses pembentukan dan sekresi hormon tiroid, darah merupakan bagian yang penting, karena darah berfungsi sebagai transpor nutrisi zat-zat makanan yang diserap usus, sekresi sisa-sisa metabolisme ke ginjal, transpor metabolit apa saja yang berada dalam tubuh, dan lain-lain (Martin, 1984). Dalam kaitannya dengan kasus gondok, maka bahan yangakan dianalisis adalah serum, serum merupakan fasa cair dari darah yang tidak mengandung faktor pembekuan, sehingga memudahkan untuk dianalisis, dan serum mengandung beberapa produk degradasi seperti unsur-unsur, protein dan lain-lain (Versieck dan Cornelis, 1989). Metode analisis yang digunakan untuk analisis unsur-unsur Se, Pb dan Rb dalam serum penderita gondok dan kontrol adalah spektrometri serapan atom, unsur Se dan Pb dengan metoda Carbon Rod Atomizer (CRA) dan Rb dengan teknik micro sample. Metoda CRA dipilih karena mempunyai keunggulan yaitu, volume sampel yang dipakai sedikit (5 - 25 uL), sensivitas tinggi, mudah dioperasikan, sedangkan kerugiannya adalah efek matriks lebih tinggi dibandingkan metoda nyala dan waktu analisis lebih lama (Kirkbright, 1980). Teknik micro sample mirip dengan metoda nyala, hanya jumlah volume sampel yang masuk dalam ruang pembakar dibatasi, yaitu dengan cara meng- injeksikan sejumlah volume tertentu (Price, 1983). Untuk menguji keandalan metoda analisis, digunakan beberapa bahan standar pembanding, seperti Bovine Liver untuk unsur Se, standar serum untuk unsur Pb dan Milk Powder untuk unsur Rb. Uji statistik t dengan kebolehjadian 95% dipakai untuk menguji apakah terdapat perbedaan kadar suatu unsur dalam serum penderita gondok terhadap kontrol, uji t ini seder- hana dan mudah dilakukan (Miller dan Miller, 1984). CARA PENELITIAN Pengambilan darah penderita gondok dan kontrol dipilih wanita, karena wanita mempunyai kecenderungan terkena gondok lebih tinggi diban- dingkan pria (Mukawi, 1985). Klasifikasi pembesaran kelenjar tiroid yang digunakan untuk pemilihan sampel sesuai dengan klasifikasi PAHO Scientific Group 1963, yaitu: Kelas OA : tidak ditemukan pembesaran kelenjar titoid (sebagai kontrol). Kelas OB : tiroid membesar 2 - 4 kali dari ukuran normal, dapat ditentukan hanya dengan palpasi dan. tidak terlihat meskipun leher dite- ngadahkan sepenuhnya. Kelas I: tiroid membesar, tetapi hanya terlihat dengan leher ditengadah- kan sepenuhnya. Kelas II : tiroid terlihat pada sikap kepala normal. Kelas III : tiroid begitu besar sehingga dari jauh sudah terlihat. Untuk penelitian ini dipilih penderita gondok wanita mulai dengan kelas OB sampai III dari sebagian penduduk di kecamatan Sawangan dan kontrol kelas OA sebagian penduduk di kecamatan Mungkid. Selain itu, untuk menyamakan matriks penelitian, masih dilengkapi dengan syarat-syarat sebagai berikut, berbadan sehat, usia antara 17 - 45 tahun, tidak dalam keadaan hamil dan menyusui serta status sosial ekonomi rendah. Pengambilan cuplikan darah dan penyimpanan serum, darah diambil pagi hari dari pembuluh vena pasien yang sebelumnya puasa selama 12 jam, sebanyak 10 ml. Darah didiamkan selama 30 menit, kemudian disentrifus pada kecepatan 2500 putaran per menit selama 15 menit. Serum dipisahkan dari darah merahnya, ditempatkan dalam wadah polietilen yang telah diper- Jakukan sesuai dengan prosedur analisis unsur-unsur runutan sesuai dengan metoda yang telah dikembangkan oleh Zief dan Mitchel (1976), dan disimpan di dalam lemari pendingin pada suhu -20°C untuk menghindari melekatnya unsur-unsur dalam serum pada dinding wadah polietilen (Sansoni dan Iyen- gar, 1980). Untuk analisis unsur-unsur Se, Po dan Rb, serum yang telah membeku ini ditempatkan dalam ruang Air Filter, dihembus dengan udata sehingga mencair. Bahan-bahan kimia yang dibutuhkan untuk analisis selenium, timbal dan rubidium adalah spectrosol kadar 1000 ug/ml untuk unsur Se dan Pb, keduanya produksi BDH, kristal RbCl produksi Spex Industries Amerika, dipakai untuk membuat larutan Rb 1000 ug/ml. Asam nitrat supra pure HNO3 GR, CHI04 GR, Ni (NO3)2.6 H2O produksi Merck. Akuatrides produksi PPNY, dibuat dengan cara menyuling akuades menggunakan alat destilasi dari kuarsa. Bahan standar pembanding Bovine Liver, serum standar no 909 produksi NBS, dan Milk Powder produksi IAEA. Gas asetilin digunakan sebagai bahan bakar untuk analisis dengan metoda nyala dan gas nitrogen dipakai sebagai bahan pendingin dan pengusir sisa-sisa atomisasi dalam analisis menggunakan metoda CRA. Sentrifus produksi Heraeus, dipakai untuk memisahkan serum. Acid pressure bomb, tabung yang terbuat dari kuarsa dan bagian luarnya dari teflon, digunakan untuk wadah destruksi standar pembanding. Oven suhu sampai 250°C dipakai untuk memanaskan acid pressure bomb, dan suhu sampai 75°C dipakai untuk mengeringkan semua peralatan yang dipakai. Serum dan larutan standar pembanding hasil destruksi serta larutan standar yang kon- sentrasinya lebih kecil dari 100 ug/ml ditempatkan dalam lemari pendingin suhu - 20°C. Dua unit alat destilasi kuarsa, masing-masing untuk membuat akuattides dan memurnikan asam-asam. Preparasi standar dan sampel dilakukan dalam ruang Air Filter buatan Helmut Seir GmBH Jerman Barat, yang ditempatkan dalam ruang isolasi debu untuk mencegah kontaminasi selama proses preparasi. Peralatan untuk analisis ialah Spektrometer Serapan Atom model AA-875, dilengkapi dengan Automatic Sample Dispenser (ASD) model 53, dan Carbon Rod Atomizer (CRA) model 90, seluruhnya produksi Varian Techtron, Australia. Seluruh wadah sampel, Standar pembanding dan standar larutan baku digunakan polietilin yang telah diperlakukan khusus untuk analisis unsur runutan (Zief dan Mitchell, 1976). Pelarutan bahan standar pemanding. Bahan standar pembanding Bovine Liver dan Milk Powder dilarutkan dengan cara destruksi memakai campuran asam nitrat dan perklorat supra pure menggunakan acid pressure bomb pada suhu 150°C selama 3 jam. Perbandingan bahan dan asam: 1 gram bahan ditambah 5 ml HNO3 dan 200 uL HCi0s kemudian dijadikan 10 ml dengan akuatrides dan disimpan dalam wadah polietilin pada suhu -20°C. Pembuatan larutan standar. Larutan standar Rb 1000 ug/ml, ditimbang kristal RbC1 0,07074 gram kemudian dilarutkan dalam media asam nitrat 0,1 N sampai volume 50 ml. Larutan Ni 10.000 ug/ml, ditimbang 4,95468 gram kristal Ni (NO3)2. 6H20 Merck PA, kemudian dilarutkan menjadi volume 100 ml dengan akuatrides. Optimasi peralatan. Optimasi peralatan untuk metoda atomisasi batan, 1g karbon sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Culver (1975), dan untuk | analisis dengan teknik microsample oleh Price (1983). Hasil optimasi ini kemudian diuji dengan bahan standar pembanding, apakah hasil analisis sudah sesuai atau mendekati harga yang tercantum pada sertifikat standar tersebut. ‘ : Analisis selenium, timbal dan rubidium dalam serum. Analisis selenium dilakukan dengan metoda yang dikembangkan oleh Saeed dkk. (1979), dan Pb menurut metoda Brodie dkk. (1977) dengan menggunakan atomisasi batang karbon. Untuk analisis Se, serum diencerkan 2,5 kali dan adisi Se 25, 50 dan 75 ng/ml, semua larutan hasil pengenceran dalam media asam nitrat 0,1 N dan ditambahkan larutan Ni sampai konsentrasi akhir 1000 ug/ml. Analisis Pb dilakukan dengan metoda membandingkan terhadap kurva standar, larutan standar Pb dibuat 2 - 10 ng/ml dengan kisaran konsentrasi 2 ng/ml dalam media asam nitrat 0,2 N. Serum diencerkan 5 kali dalam media asam nitrat 0,2 N. Analisis rubidium (Price, 1983), dikerjakan dengan teknik micro sample, volume larutan yang diinjeksikan ke dalam pembakar 100 uL, metoda yang digunakan dengan membandingkan terhadap kurva standar, larutan standar Rb SO - 250 ng/ml dengan kisaran konsentrasi 50 ng/ml, sedangkan serum diencerkan 5 kali, semuanya dalam media asam nitrat 0,1 N. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil analisis untuk menguji metoda yang digunakan dalam penelitian suatu unsur dengan bahan standar pembanding disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Data analisis unsur selenium, timbal dan rubidium dalam bahan standar pembanding. Sertifikat Hasil R analisis . 0,64 = 0,75 ug/g 0,65 - 0,75 ug/g 95 200 ng/ml 19 = 21 ng/ml 95 24,5 = 37,1 ug/g 25,6 ~ 35,1 ug/g 95 Reterangan R: Recovery Hasil analisis unsur Se, Pb dan Rb dalam serum kontrol penduduk di kecamatan Mungkid (KM) yaitu kelas OA dan penderita gondok penduduk di kecamatan Sawangan (PGS) yang telah diurutkan sesuai dengan kenaikan Kelas gondok mulai kelas OB, I, II dan III masing-masing dalam bentuk reratanya, ditampilkan pada gambar 1. Jumlah KM yaitu 32 pasien dan jumlah PGS untuk kelas OB, I, II dan III masing-masing 21, 14, 12 dan 7 pasien. Rerata kadar unsur Se serum dalam PGS kelas OB, I, IT dan Ill masing- masing 28 + 10, 24 + 5,26 +7 dan 24 +7 ng/ml, lebih rendah dibandingkan terhadap KM (kelas OA), yaitu 33 + 11 ng/ml. Uji statistik t dengan keboleh- 440 BPPS-UGM, 4 (1B), 1991 jadian 95% antara kelas-kelas PGS terhadap KM, menunjukkan perbedaan bermakna, kecuali untuk kelas OB. Hasil ini sesuai dengan penelitian Aihara dkk. (Versieck dan Cornelis, 1989) yang menyatakan bahwa kadar Se serum pada penderita gangguan tiroid akan lebih rendah dibandingkan terhadap wanita sehat, walaupun secara Statistik tidak menunjukkan perbedaan ber- makna. Sebagai perbandingan, kadar Se serum wanita sehat berkisar antara 86 + 19 sampai 99 + 13 ng/ml dan akan turun bila terjadi infeksi dalam tubuh menjadi 60 - 80 ng/ml (Versieck, dan Cornelis, 1989). Bila dibandingkan dengan data tersebut, ternyata kadar Se serum PGS maupun KM lebih rendah, atau dapat dikatakan bahwa penduduk di kedua daerah tersebut mengalami defisiensi Se. Defisiensi Se akan menyebabkan tubuh rentan terhadap masuknya beberapa unsur karsinogenik dan goitrogenik seperti Pb (Anonim, 1977; Suzuki, 1988) dan Rb (DeGroot dkk., 1984). Gambar 1 menunjukkan rerata kadar Pb serum yang paling tinggi pada PGS kelas I untuk kadar Se serum yang paling rendah, kadar Pb serum KM (kelas OA) adalah 12,25 + 6,96 ng/ml lebih rendah dibandingkan terhadap PGS kelas OB, I, II dan III, masing-masing 15,38 + 6,06, 27,30 + 30,87, 13,14 + 4,78 dan 12,62 + 4,28 ng/ml, namun uji statistik antara kelas PGS terhadap KM, tidak menunjukkan perbedaan bermakna. Cavalerri dkk. (Versieck dan Cornelis, 1989) menemukan kadar Pb serum wanita sehat 5,4 + 1,6 ng/ml. Dengan demikian, kadar Pb serum di kedua daerah ini jauh lebih tinggi dibandingkan data tersebut. e ~N a s c 3 a s > . © D 0 x oA OB 2 Ay sty ketas gondok Gambar 1. Distribusi rerata kadar unsur Pb, Se dan Rb dalam serum KM dan PGS berdasarkan kenaikan kelas gondok "1, Edy Junaedi Trisnowo, Selenium, Timba] dan Rubidium 177 Seperti halnya Pb, defisiensi Se akan menyebabkan kadar Rb serum cenderung naik pada penderita gondok. Kadar Rb serum pada kelas OA 472 +155ng/ml, sedangkan pada PGS untuk kelas OB, I, II dan IT] masing-masing 477 + 143, 549 + 139, 528 + 112 dan 623 + 237 ng/ml, naniun demikian uji statistik antara kelas PGS terhadap KM tidak menunjukkan perbedaan ber- makna. Kadar Rb serum wanita sehat bervariasi dari mulai 100 + 45, 167 + 39 sampai 210 + 80 ng/ml (Versieck dan Cornelis, 1989). Menurut Glending (Underwood, 1971), kadar Rb serum yang tinggi akan menyebabkan turunnya ertumbuhan, kesuburan dan waktu hidup, keadaan ini sesuai dengan dampak yang ditimbulkan oleh penyakit gondok (Djokomoeljanto, 1985). Kadar Pb dan Rb serum yang lebih tinggi pada KM maupun PGS, diduga berkaitan erat dengan pencemaran lava dan gas-gas yang dikeluarkan oleh gunung Merapi (Symonds, 1985) yang menyebar pada daerah pemukiman penduduk, sedangkan kadar Pb dan Rb serum yang lebih tinggi pada PGS, berkaitan erat dengan lokasi PGS yang jauh lebih tinggi dibandingkan KM, yaitu 600 - 800 dan 300 - 400 meter di atas permukaan air laut. Dengan demikian, kenaikan kelas gondok pada sebagian penduduk di kecamatan Sawangan yang menderita penyakit gondok berhubungan dengan terjadinya penurunan kadar Se serum yang diikuti dengan kenaikan kadar. Pb dan Rb serum. Kadar unsur-unsur dalam serum akan dipengaruhi oleh usia (Versieck dan Cornelis, 1989), dalam penelitian ini usia PGS berkisar antara 17 - 45 tahun dan KM antara 17 - 40 tahun. Untuk mengetahui apakah terdapat kenaikan atau penurunan kadar Se, Pb dan Rb dalam serum PGS maupun KM, data hasil analisis dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu penduduk yang berusia < 25 tahun dan > 25 tahun. Jumlah penduduk usia < 25 tahun dan > 25 tahun pada sampel PGS adalah 16 dan 38, sedangkan pada KM 25 dan 7 pasien. Distribusi rerata kadar unsur Se, Pb dan Rb dalam serum KM dan PGS berdasarkan kenaikan usia ditampilkan pada gambar 2. * Rerata kadar Se serum untuk usia < 25 tahun pada PGS 25 + 6 ng/ml jauh lebih rendah dibandingkan terhadap KM, 35 + 12 ng/ml, dan uji statistik menunjukkan perbedaan rerata kadar Se serum semakin kecil, rerata kadar Se serum PGS relatif tetap, yaitu 26 + 8 ng/ml sedangkan pada KM turun menjadi 27 + 9 ng/ml. Namun demikian penurunan kadar Se serum KM tidak menunjukkan perbedaan bermakna statistik. Rerata kadar Se serum yang relatif rendah dan tetap dengan bertambah- nya usia pada PGS diikuti dengan kenaikan kadar Pb dan Rb serum. Rerata kadar Pb serum pada PGS untuk usia < 25 tahun yaitu 13,33 + 5,70 naik menjadi 19,42 + 19,74 ng/ml untuk usia >25 tahun, namun uji statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna, sedangkan pada KM sedikit turun yaitu dari 12,38 + 7,73 menjadi 11,82 + 4,38 ng/ml. Kadar Pb serum yang tinggi pada PGS berkaitan erat dengan lokasi daerah PGS dan sifat Pb yang akan terakumulasi di dalam tubuh (Anonim, 1977). won a orn, 2 AD, ABD £4 & N a « e 3 a c 3 . 8 > o = $25 >25 kematkan usta (th) Gambar 2. Distribusi rerata kadar unsur Pb, Se dan Rb dalam serum PGS dan KM berdasarkan kenaikan usia : : Rerata kadar Rb serum PGS untuk usia < 25 tahun 491 + 104 ng/ml naik menjadi $40 + 170 ng/ml untuk usia >25 tahun, hal yang sama terjadi pula pada KM, kadar Rb serum dari 460 + 165 naik menjadi 514 + 132 ng/ml namun uji statistik untuk kenaikan kadar Rb serum dengan bertambahnya usia pada PGS maupun KM tidak menunjukkan perbedaan bermakna. Rerata kadar Se serum yang rendah dan relatif tetap dengan berta \- nya usia pada PGS sedangkan rerata kadar unsur, goitropenik PD dan Rb alam serum naik, diduga sebagai penyebab meningkatnya prevalensi gondok diatas usia 25 tahun. Hasil uji selaras dengan pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh Widodo dan Samidjo (1987) terhadap penderita gondok di kecamatan Sa- Wangan, ternyata prevalensi gondok paling tinggi untuk kelas OB, I, dan II ditemukan pada usia 25 - 29 tahun dan kelas IIT pada usia 50 - 54 tahun. __ Shamberger (1987) menyatakan bahwa terdapat interaksi unsur- unsur dalam tubuh yang dapat digunakan sebagai petunjuk pelengkap infor- masi suatu penyakit. Dalam penelitian ini akan dibahas rasio unsur Se/Pb dan Rb/Se berdasarkan kenaikan kelas gondok dan bertambahnya usia. Korelasi distribusi rerata unsur Pb, Se dan rasio unsur Se/Pb dalam serum KM dan PGS berdasarkan kenaikan kelas gondok dan usia, ditampilkan pada gambar 3. Rasio untuk Se/Pb pada PGS untuk kelas OB, I, II dan II] masing-masing 2,21 + 1,46, 1,67 + 0,98, 2,14 + 0,77 dan 2,06 + 0,58 lebih rendah dibandingkan KM (kelas OA), 3,93 + 3,81, dan uji statistik antara kelas PGS terhadap KM, menunjukkan perbedaan bermakna. Rerata rasio unsur Se/Pb pada PGS sedikit turun dengan bertambahnya usia dari 2,23 + 1,16 menjadi 1,95 + 1,13, sedangkan pada KM penurunan yang terjadi cukup tajam, yaitu dari 4,26 + 4,09 menjadi 2,73 + 2,10, namun demikian penurunan rasio unsur Se/Pb pada KM maupun PGS menunjukkan perbedaan tidak bermakna. Perbedaan bermakna statistik hanya terjadi untuk rerata rasio unsur Se/Pb pada usia < 25 tahun antara PGS terhadap KM. Rerata kadar Se serum pada KM yang rendah pada usia di atas 25 tahun akan menyebabkan enduduk di kecamatan Mungkid rentan terhadap beberapa unsur kar- sinogenik maupun goitrogenik. Seperti halnya interaksi unsur Se dan Pb dalam serum, maka diduga pula terdapat interaksi antara unsur Se dan Rb, hal ini disebabkan karena Rb merupakan unsur goitrogenik yang dapt menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid, dan akibat lebih lanjut terjadinya kanker (Schrauzer, 1987), padahal Se merupakan salah satu unsur pelindung terhadap terjadinya kanker (Jarres, 1987). Korelasi distribusi rerata kadar unsur Se dan Rb serta rasio unsur Rb/Se dalam serum KM dan PGS berdasarkan kenaikan kelas gondok dan usia ditampilkan pada gambar 4. Terjadinya penurunan rerata kadar Se dan kenaikan kadar Rb serum dan naiknya kelas gondok, akan menyebabkan kenaikan rasio unsur Rb/Se. Rasio unsur Rb/Se untuk masing-masing kelas PGS OB, I, II dan III adalah 19 + 9, 24 + 8, 22 + 6, dan 27 + 11 jauh lebih besar dibandingkan terhadap KM (kelas OA), 16 + 8, dan uji statistik antara kelas PGS terhadap KM menunjukkan perbedaan bermakna, kecuali untuk kelas OB. Hal ini dapat difahami, karena kelas OB merupakan tahap awal terjadinya pembesaran kelanjar tiroid. Bertambahnya usia menyebabkan rasio unsur Rb/Se pada PGS sedikit naik yaitu dari 21 + 8 pada usia < 25 tahun menjadi 22 + 9, sedangkan pada KM terjadi kenaikan cukup mencolok yaitu dari 15 + 8 pada usia < 25 tahun menjadi 21 + 6 pada usia > 25 tahun. Uji statistik ternyata tidak menunjukkan -perbedaan bermakna untuk kenaikan tasio unsur Rb/Se pada PGS, tetapi bermakna pada KM. Rerata rasio unsur Rb/Se untuk kelompok usia < 25 tahun pada PGS lebih tinggi dibandingkan terhadap KM dan menunjukkan perbedaan bermakna, sedangkan untuk usia > 25 tahun tidak menunjukkan perbedaan bermakna. Uji statistik untuk Terata rasio unsur Rb/Se pada PGS usia < 25 tahun terhadap KM > 25 tahun, tidak menunjukkan perbedaan bermakna. Hal ini berarti rerata rasio unsur Rb/Se pada KM untuk usia > 25 tahun kurang lebih sama dengan PGS pada 4,0. 1,0. 35) kadar unsur , mg/ml rastd i Ni ser el SRE kenahkan usta (th) en a ray 2 ayy avo Gambar3. Distribusirerata kadar unsur Pb, Se dan rasio ‘Se/Pb dalam serum KM dan PGS berdasarkan kenaikan kelas gondok dan usia, suatu tinjauan korelasi rasto oA OST = D s c 5 a s s . 6 D & 2 — PGS TT R/S kr +h Gambar 4. Distribusi rerata kadar unsur Se, Rb dan rasio Rb/Se dalam serum KM dan PGS berdasarkan dan usia, suatu tinjauan korelasi. kenaikan kelas gondok i t pada usia <25 tahun dan > 25 tahun yang menderita penyakit gondok mulai kelas OB sampai II]. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kenaikan kadar Rb serum dan penurunan Se serum pada KM di atas usia 25 tahun, akan mengakibatkan tubuh mengalami gangguan metabolisme iodin, sehingga kamungkinan timbulnya penyakit gondok akan sémakin besar. Terjadinya gondok endemik di kecamatan Sawangan diduga berkaitan erat dengan defisiensi unsur selenium, hal ini akan mengakibatkan tubuh menjadi rentan terhadap masuknya unsur-unsur karsinogenik dan atau goitrogenik seperti timbal dan rubidium, sehingga terjadi pembesaran kelen- jar tiroid walaupun mekanismenya belum diketahui secara pasti. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil perbandingan rerata kadar unsur selenium, timbal dan rubidium dalam serum berdasarkan kelas gondok, faktor usia dan rasio unsur Se/Pb serta Rb/Se pada penderita gondok penduduk di kecamatan Sawangan terhadap kontrol penduduk di kecamatan Mungkid, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: terjadinya gondok endemik di kecamatan Sawangan diduga berkaitan erat dengan rendahnya kadar Se serum dan tingginya kadar Pb dan Rbserum. Interaksi unsur selenium terhadap timbal dan rubidium menunjuk- kan bahwa rasio unsur Se/Pb berdasarkan kenaikan kelas gondok dan bertam- bahnya usia pada penderita gondok di Sawangan relatif tetap dan harganya lebih rendah dibandingkan terhadap kontrol, sedangkan rasio unsur Rb/Se bertambah dengan kenaikan kelas gondok dan usia dan harganya lebih tinggi dibandingkan terhadap kontrol. Saran untuk penelitian lebih lanjut adalah analisis unsur Se, Pb dan Rb dalam serum wanita sehat di kecamatan Sawangan dan wanita penderita gondok di kecamatan Mungkin, sehingga diperoleh data perbandingan kadar unsur Se, Pb dan Rb dalam serum antara penduduk yang tidak terkena dan terkena gondok di kedua kecamatan tersebut. UACAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Eko Sugiharto dan Ir. Sayid Achmad selaku dosen pembimbing tesis, dan kepada Prof. P. Bratter dari Pemerintah Jerman yang telah memberikan bimbingan teknis penelitian. Juga kepada rekan F. Pamungkas dan Herry Wahyudi yang telah membantu kelancaran penelitian. Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Gon- dok Endemik yang merupakan hasil kerjasamaBatan, UGM, UNDIP dan Pemerintah Jerman. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1977, “Environmenta) Health Criteria 3: LEAD", WHO, Geneva. Brodie, K.G., Pradhan, N-K,, and Steven, B.J.,1977, "The Measurement of Whole Blood Lead and ‘Cadinium Using An Automatic Sample Dispenser and Furnace Atomic Absortion", Clin, Chem. and Chem, Tox. of Metals, 357 -360. Culver, BR., 1975, “Analytical Method for Carbon Rod Atomizers", Varian Tectron Py, Ltd., Australia. DeGroot, L.J., Larsen, P.R., Refetoff, S. and Standburry, J.B., 1984, "The Thycoid and ls Diseases", 5 ed., John Wiley & Sons, Inc., New York. Djckomoeljanto, R., 1974, "Penelitian Gondok dan Kretin Endemik di Jawa Tengah", Seminar Gondok dan Kretin Nasional }, Fakultas Kedokteran Univ. Diponegoro/R.S. dr. Kariadi, Semarang, 49 - 82. Iswani, Samin dan Djokowidodo, 1989, "Penentuan I’ Dalam Cuplikan Air Dengan Metoda Elektroda Spesifik lon", Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ibmiah. Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir. PPNY, BATAN, Yogyakarta, 32 - 48, Iswani, Diokowidodo dan Lahagu, F.,“Penentuan I Dalam Urine dengan Elektroda Spesifik Ion’, Prosiding Penernuan dan Preseruasi Ibmiah. Penclitian Dasar dan Teknologi Nuklir. PPNY. BATAN, Yogyakaria, 45 - 60. Jarres, J.D.K., i987, "Clinical Indication for Trace Element Analisis”, J, Trace Elem. Electrolytes in Health Dis., 1, 5-19. Kirkbright, G.F., 1980, "Atomic Absorption Spectroscopy", Elemental Analysis of Biological Materials, Technical Report Series no. 197. ABA, Vienna, 141 - 166. Matovinovic, J., 1988, "Yodium", Mineral (Aith Bahasa Andi Hakim Nasoetion dkk,), pp - 252 - 266, PT Gramedia, Jakarta. Miller, J.C. and Miller, J.M., 1984, "Statistic for Analytical Chemistry’, Ellis Horwood Ltd., New York. Mukawi, TJ., 1985, "Colloid Goiter pada Bagian Patologi", Temu Ahli dan Simposium Tiroid I, Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Univ. Diponegoro/R.S. dr. Kariadi, Semarang, 49 - 54. Price, W.J., 1983, Spectrochemical Analysis by Atomic Absorption, Sonn Wiley & Sons. Inc., New York. Saeed, K. Thomassen, Y, and Langmyhr, F-J., 1979, "Direct Eiectrothermal Atomic Absorption Spectrometric Determination of Selenium in Serum" Anal. Chim. Acta, 110, 285 - 289. Sansoni, B. and Iyengar, G.V., 1980, "Sampling and Storage of Biological Materials for Trace Element Analysis”, Elemental Analysis of Biological Material, Technical Report Series no. 197, AEA, Vienna, 37 - 72. Schrauzer, G.N., 1987, "Trace Element in Cancer Diagnosis and Therapy. A Review", Trace Element Analytical Chemistry in Medicine and Biology, 4, 403 - 417. Shamberger, RJ., 1987, "Interaction of Trace Element and Enzymes in Humans", Trace Element Analytical Chemisnry in Medicine and Biology, 4, 182 - 199. Suwono, Sutantri dan Marsudi, R-H.,1987, "Pendapatan Penderita GondokDi Daerah Kecamatan ‘Sawangan dan Mungkid Kabupaten Magelang", Kumpulan Makalah Seminar Gondok Endemik J, BATAN-FK UGM - FK UNDIP - DEPKES - Jennan Barat, Yogyakarta. ‘Suzuki, T., 1988, "Selenium: Its Roles in Metal-Metal Interaction", Proceedings Asia - Pasific ‘Symposium on Environmental and Occupational Toxicology, 8, 21 - 30. “Josay vunaeal.1risowa, selenium, Timbal dan Rubidium 183 7 i nis in High Temperature Gases at symone rl 1985, “Transpo oe Michigan Technotogieal iMiversiy, USA. underwood, E.J., 1971, "Trace Elements in Hyman and Animal Nutrition, 3ed., Academic Press, New York. : jeck, J, and Cornelis, R., 1989, “Trace Elements in Human Plasma or Serum", CRC Press, Verse. Boca Raton, Florida. Widodo dan Samidjo, F.X,, 1987, "Pemeriksaan Fisik Pada Penelitian Gondok Endemik di id Kabupaten Magelang”, Kumpulan Makalah Seminar Rea ae TAN TR ‘UCM FK UNDIP - DEPKES - Jerman Baral, ‘Yogyakarta. ; ; Ziet, M. and Mitchell, 3.W., 1976, Contamination Control in Trace Element Analysis, John Wiley * & Sons, Inc., New York,

You might also like