Professional Documents
Culture Documents
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan karunia-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dalam rangka
melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Bedah di RSUD Raden
Mataher Provinsi Jambi dengan judul "Peritonitis et causa Apendisitis Perforasi ".
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
dr.Riswan Joni,Sp.B atas bimbingan dan arahannya selama mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu Bedah di RSUD Raden Mataher Provinsi Jambi serta
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulis laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, maka
penulis sangat mengaharapkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga laporan kasus
ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan kita semua.
Jambi,
September 2012
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................
KATA PENGANTAR ...........................................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................
BAB II STATUS PASIEN ....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga
perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan
ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya
pada perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan
cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut
oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.1.3
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi
akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,
salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post
operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.1.2
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara
inokulasi kecil-kecilan); kontaminasi yang terus meneras, bakteri yang virulen,
resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif,
merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.2
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena
setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung
dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.2.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
1. Nama: Fitriningsih
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Umur : 11 tahun
4. Alamat: Muara jambi
5. Agama: Islam
6. Pekerjaan o/t: Buruh
7. Masuk RS : 10 september 2012
8. No. RM: 698248
B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama :
Nyeri di seluruh lapang perut.
2. Riwayat perjalanan penyakit:
Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh lapang perut sejak 3
hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri yang dirasakan terus menerus dan
paling hebat terasa di bagian perut kanan bawah.. Keluhan diawali dengan
demam sejak 7 hari yang lalu, demam dirasakan naik turun. Setelah itu
pasien mengeluhkan nyeri ulu hati yang semakin lama semakin bertambah
dan nyeri menjalar ke perut kanan bawah yang nyerinya dirasakan semakin
bertambah berat dan terus-menerus sehingga menyebabkan pasien tidak bisa
beraktifitas dan sulit untuk tidur. Keluhan ini juga disertai dengan mual,
muntah (Ix) dan nafsu makan menurun. BAB (+) sedikit, BAK (+) lancar.
Pasien ada riwayat diurut-urut (+).
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat asma disangkal
Riwayat alergi disangkal
Nadi
Suhu aksila
: 94x/ menit
: 37,7 C.
WBC
RBC
HGB
HCT
PLT
PCT
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
PDW
35,2 103/mm3
(3,5-10,0 103/mm3)
: 4,40 106/mm3 (3,80-5,80 106/mm3)
: 12,2 g/dl
(11,0-16,5 g/dl)
: 37,9 %
(35,0-50%)
: 247103/mm3
(150-390 103/mm3)
: .421%
(0,100-0,500 %)
3
: 86 m
(80-97 m3)
: 27.6 pg
(26,5-33,5 pg)
: 32,1 g/dl
(31,5-35,0 g/dl)
: 13,9%
(10,0-15,0 %)
3
: 6,6 m
(6,5-11,0 m3)
: 12,9%
(10,0-18,0 %)
Diff:
% LYM : 13,4 %
% MON : 7,1%
% GRA :79,5%
# LYM : 2,7 103/mm3
# MON : 2,4 103/mm3
# GRA : 5,6 103/mm3
(17,0-48,0 %)
(4,0-10,0 %)
(43,0-76,0 %)
(1,2-3,2 103/mm3)
(0,3-0,8 103/mm3)
(1,2-6,8 103/mm3)
F. Diagnosa
Peritonitis et causa Appendicitis Perforasi
G. Penatalaksanaan
- IVFD RL 30 gtt/mnt
- pasang NGT -> residu (+), kehijauan
- pasang kateter
- inj. Cefotaxim 2 x 500 mg
- inj. Ranitidine 2 x 25 mg
- inj. Metronidazol 3x2 mg
Elektrolit tgl 11 september 201 Natrium: 134,3 Kalium : 4,2 Clorida: 103,2
paracetamol syrup 3 x 1 C
rencana Appendiktomy.
Follow Up
Tgl 11 Juni 2011
S
demam (+), muntah (+), nyeri seluruh lapang perut perut (+).
Buka fasia + peritoneum, didapatkan : pus 200 cc dan apendik perforasi 10x1
cm.
Pasang drainase.
20 gtt/mnt
Cefotaxim 2 x 500 mg
Metronidazol 3 x 250 mg
Ranitidine 2 x 25 mg
Tramadol 2 x 50 mg
Tgl 12 september 2012
S nyeri perut (+) ; demam (+) ; kentut (+) ;
0 KU : baik ; Kes : compos mentis
N: 88 x/mnt ; RR: 26 x/mnt ; S: 36,7 C
Abdomen: soepel, BU (+) N, nyeri tekan (+).
Produksi drain : 10 cc ; NGT : 5 cc, warna kehijauan.
A post operasi appendiktomi hari I
P Terapi dilanjutkan
P Lepas drain
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Pendahuluan
serta
pemeriksaan
tambahan
berupa
pemeriksaan
laboratorium
serta
pemeriksaan penunjang.
3.2 PERITONITIS
3.2.1 DEFINISI
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel-sel,
dan pus, biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, konstipasi, dan demam. Peradangan biasanya disebabkan oleh infeksi pada
peritoneum.
3.2.2 ANATOMI
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial.
Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom.
Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron
didaerah abdomen menjadi usus. Sedangkan kedua rongga mesoderm, bagian dorsal
dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian akan
menjadi peritoneum.
Gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon
sigmoid, sekum, dan appendix (intraperitoneum)
3.2.3 PATOFISOLOGI
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi
akibat penyebaran infeksi dari organ organ abdomen (misalnya: apendisitis,
salpingitis), rupture saluran cerna atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang
sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon pada kasus ruptur
apendiks, sedangkan stafilokok dan streptokok sering masuk dari luar.
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Abses terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi
satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita pita fibrosa,
yang kelak dapat mengakibatkan obstruksi usus.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktifitas peristaltik berkurang, usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Peritonitis mekonium adalah peritonitis non bakterial yang berasal dari
mekonium yang keluar melalui defek pada dinding usus ke dalam rongga peritoneum.
Defek dinding usus dapat tertutup sendiri sebagai reaksi peritoneal. Bercak
perkapuran dapat terjadi dalam waktu 24 jam.
3.2.4 MANIFESTASI KLINIS
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda
tanda rangsangan peritonium. Biasanya diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis
dengan adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak
terlalu jelas lokasinya (peritoneum viseral) kemudian lama kelamaan menjadi jelas
lokasinya (peritoneum parietal).
Tanda-tanda peritonitis relatif sama dengan infeksi berat lainnya, yakni:
Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas,
batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti
palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin berkurang, dan dengan
adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan syok sepsis.
Penderita dengan perdarahan, perforasi atau obstruksi lambung atau duodenum sering
datang dalam keadaan gawat.
Inspeksi, pemeriksa
mengamati
adakah
jaringan parut
bekas
operasi
Auskultasi. Minta pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang
paling terasa sakit di abdomen, auskultasi dimulai dari arah yang berlawanan dari
yang ditunjuik pasien. Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah terjadi
penurunan suara bising usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan
melemah atau menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang
lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik).
Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal.
Palpasi. Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang
sangat sensitif. Bagian anterior dari peritoneum parietale adalah yang paling
sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak
dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara bagian yang tidak
nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity)
menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai peritoneum parietale
(nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot akan dirasakan
pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan
tekanan. Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan
setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk
melindungi bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau tekanan
setempat.
Perkusi. Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara
bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui
pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis,
pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya
udara bebas tadi.
Hitung trombosit dan dan faktor koagulasi, selain diperlukan untuk persiapan
bedah, juga dapat membantu menegakkan demam berdarah yang memberikan
gejala mirip gawat perut.
Gambaran radiologi
Foto roentgen di ambil dalam posisi berbaring dan berdiri. Gas bebas yang
terdapat dalam perut dapat terlihat pada foto roentgen dan merupakan
petunjuk adanya perforasi.
banding
dari
peritonitis
adalah
apendisitis,
pankreatitis,
dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah
jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme
mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga
merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat
pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
Penatalaksanaan peritonitis secara kausal ialah eradikasi kuman yang
menyebabkan radang di peritoneum. Secara non-invasif dapat dilakukan dengan
drainase abses dan endoskopi perkutan, namun yang lebih umum dilakukan ialah
laparotomi eksplorasi rongga peritoneum.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Operasi ini untuk mengontrol sumber primer kontaminasi bakteri. Insisi
yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke
seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi
ditujukan diatas tempat inflamasi. Teknik operasi yang digunakan untuk
mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran
gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat
dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
.
3.2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
a. Komplikasi dini
Syok hipovolemik
b. Komplikasi lanjut
Adhesi
Lamanya peritonitis
< 24 jam = 90% penderita selamat
24-48 jam = 60% penderita selamat
> 48 jam = 20% penderita selamat.
Usia
Makin tua usia penderita, makin buruk prognosisnya.
BAB IV
PEMBAHASAN
Peritonitis adalah suatu respon inflamasi atau supuratif dari peritoneum yang
disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri.2 Peradangan peritoneum
merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari
organ-organ
abdomen
(misalnya
apendisitis,
salpingitis,
perforasi
ulkus
gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau
dari luka tembus abdomen.1.2
Dari hasil anamnesa didapatkan bahwa pasien mengalami nyeri di seluruh
lapang perut, nyeri dirasakan terus menerus dan paling hebat terasa di bagian perut
kanan bawah. Keluhan diawali dengan demam sejak 7 hari yang lalu, demam
dirasakan turun naik. Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati yang semakin lama
semakin bertambah dan nyeri menjalar ke perut kanan bawah yang nyerinya
dirasakan semakin bertambah berat dan terus menerus sehingga menyebabkan pasien
tidak bisa beraktifitas dan sulit untuk tidur. Keluhan ini juga disertai dengan mual,
muntah (Ix) dan nafsu makan menurun. BAB (+) sedikit, BAK (+) lancar. Pasien ada
riwayat diurut-urut (+).
Dari pemeriksaan fisik abdomen didapatkan : Inspeksi: Distensi (+), Daram
Contour (-), jejas (-) Auskultasi: BU (+) menurun.
Palpasi : defans muskular (+), Rovsing sign (+), Nyeri tekan titik Me Burney (+),
nyeri lepas (+), hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi: hipertimpani pada semua kuadran.
Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik tersebut, pasien ini telah
mengalami peradangan di peritonium akibat dari suatu peradangan di appendiks yang
biasa disebut dengan peritonitis. Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang
merupakan pembungkus visera dalam rongga perut.
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus. 1
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa
ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi
ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.2
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan
lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding
abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia
bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan
tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan
menimbulkan penurunan perfusi. 2
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen
usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan
septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan
nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri. 1
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah pehting. Pengembalian
volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi,
dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah
harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.2
Penderita anak perlu cairan intravena untuk mengoreksi dehidrasi ringan. Pipa
nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung dan untuk mengurangi bahaya
muntah pada waktu induksi anestesi. Pada apendisitis akut dengan komplikasi berupa
peritonitis karena perforasi menuntut tindakan yang lebih intensif, karena biasanya
keadaan anak sudah sakit berat. Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah,
sekuestrasi cairan dalam rongga abdomen dan febris. Anak memerlukan perawatan
intensif sekurang-kurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan pembedahan. Pipa
nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi
abdomen dan mencegah muntah. Kalau anak dalam keadaan syok hipovolemik maka
diberikan cairan ringer laktat 20 ml/kgBB, kemudian diikuti dengan pemberian
plasma atau darah sesuai indikasi. Setelah pemberian cairan intravena sebaiknya
dievaluasi kembali kebutuhan dan kekurangan cairan. Sebelum pembedahan, anak
harus memiliki urin output sebanyak 1 ml/kgBB/jam. Untuk menurunkan demam
diberikan acetaminophen suppositoria (60mg/tahun umur). Jika suhu di atas 380C
pada saat masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan untuk
mengontrol demam.4
Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua anak dengan
apendisitis, antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi
apendisitis. Pemberian antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai pembedahan.
Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya sebelum ada biakan kuman.
Pemberian antibiotika untuk infeksi anaerob sangat berguna untuk kasus-kasus
perforasi apendisitis . Antibiotika diberikan selama 5 hari setelah pembedahan atau
melihat kondisi klinis penderita. Kombinasi antibiotika yang efektif melawan bakteri
aerob dan anaerob spektrum luas diberikan sebelum dan sesudah pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu
Bedah; 221-239, EGC, Jakarta. '
4.