You are on page 1of 15

Masalah Etika Kedokteran Mengenai Informed Consent dan Tindakan

Medis
Grandy Vabbio Talanila
102012432
Mahasiswa Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510
Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

Pendahuluan
Di dalam dunia ini, kita sering menemukan masalah dalam menentukan apakah
perbuatan yang kita lakukan itu baik atau buruk, benar atau salah. Apabila kita melakukan
sesuatu yang dianggap salah oleh masyarakat, seringkali tindakan kita tersebut dikatakan
tidak etis atau tidak sesuai dengan etika. Di dalam dunia profesi, tentunya sangat dibutuhkan
etika itu. Di dalam dunia kedokteran kita mengenal istilah etika kedokteran
Dengan perkembangan zaman, cara berpikir masyarakat berubah. Masyarakat mulai
kritis terhadap hak-haknya. Mereka tidak begitu saja menerima pendapat dokter tentang
penyakitnya tetapi ingin mengetahui lebih jelas tentang rencana pengobatan, resiko yang
mungkin terjadi, alternatif pengobatan lain, prognosis dan sebagainya. Prinsip autonomy
berkembang di mana seseorang bebas untuk menentukan apa yang dikehendakinya terhadap
dirinya sendiri tanpa campur tangan orang lain.
Kasus:
Dr. P adalah seorang doketer spesialis obgin yang berpengalaman. Beliau baru saja akan
menyelesaikan tugas jaga malamnya di sebuah rumah sakit, ketika seorang wanita datang
dengan ditemani soerang ibunya untuk berobat. Namun ibunmya tersebut langsung pergi lagi
setelah berbicara dengan suster jaga alasan harus menjaga anak-anaknya yang lain. Lalu
pasien menceritakan keluhannya itu yaitu mengalami perdarahan pervaginam dan sangat
kesakitan. Dr.P kemudian melakukan pemeriksaan dan menduga bahwa kemungkinan pasien
mengalami keguguran atau mencoba melakukan aborsi. Dr. P segera melakukan dilatasi dan
curettage dan mengatakan kepada suster untuk menanyakan kepada pasien apakah dia

bersedia diopname di RS sampai keadaannya benar-benar baik. Tidak lama kemudian Dr.Q
datang untuk menggantikan dr.P, yang langsung pulang tanpa berbicara kepada pasien.
Pengertian Terminasi
Definisi terminasi kehamilan secara umum atau nama latinnya Abortus provocatus yang
dikenal di Indonesia dengan istilah aborsi berasal dari bahasa latin yang berarti pengguguran
kandungan karena kesengajaan. Dalam kamus Latin-Indonesia sendiri, abortus diartikan
sebagai wiladah sebelum waktunya atau keguguran dalam pengertian medis, terminasi
kehamilan adalah suatu tindakan yangdilakukan untuk menghentikan kehamilan dengan
kematian dan pengeluaran janin baik menggunakan alat-alatan atau obat-obatan pada usia
kurang dari 20 minggu dengan berat janin kurang dari 500 gram, yaitu sebelum janin dapat
hidup di luarkandungan secara mandiri.
Dengan demikian keguguran yang berupa keluarnya embrio atau fetus semata-mata bukan
karenaterjadi secara alami (spontan) tapi juga karena disengaja atau terjadi karena
adanyacampur tangan (provokasi) manusia.1
Etika Kedokteran
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia terdapat kewajiban umum, kewajiban dokter
terhadap sesame, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter terhadap diri sendiri.
Pada Pasal 10 KODEKI :Setiap harus dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup insane. Dalam arti bahwa segala perbuatan atau tindakan dokter bertujuan
untuk memlihara kesehatan pasien, karena itu kehidupan manusia harus dipertahankan
dengan segala daya. Namun kadangkala dokter harus mengorbankan salah satu kehidupan
untuk menyelamatkan kehidupan lain, yang lebih penting. Misalnya terpaksa melakukan
abortus provocatus medisinalis (abortus terapetik), pada beberapa keadaan dimana
keselamatan dan keadaan ibu mendapat prioritas, karena besarnya peranan ibu dalam
keluarga. 1
Dalam melakukan tindakan medik diperlukan adanya komunikasi anata dokter-pasien.
Bagian yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan dimulai dari informed consent :1

Informasi merupakan bagian yang terpenting dalam pembicaraan mengenai informed


consent untuk memberikan informasi atau penjelasan yang perlu disampaikan kepada
pasien ataupun keluarganya. Informasi yang disampaikan menyangkut informasi apa
yang perlu disampaikan (what), kapan disampaikan (when), siapa yang harus
disampaikan (who), dan informasi mana yang peru disampaikan (which)

Mengenai apa yang (what) yang harus disampaikan, tentu yang harus
berkaitan dengan penyakit pasien termasuk tindakan apa yang dilakukan, prosedur
yang dijalani pasien baik diagnostikmaupun terapi sehingga pasien dan keluarganya
dapat memahami tujuan, resiko, manfaat dan terapi tindakan yang akan dilakukan.
Mengenai kapan (when) disampaikan tergantung waktu yang tersedia dengan
masud pasien dan keluarganya dapat menentukan keputusannya.
Yang menyampaikan (who) informasi, tergantung dari jenis tindakan yang
akan dilakukan. Dalam Permenkes dijelaskan dalam tindakan bedah dan tindakan
invasive lainnya harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan
Mengenai informasi yang mana (which) yang akan disampaikan dalam
permenkes dijelaskan haruslah selengkap-lengkapnya, kecuali dokter menilai
informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien
menolak diberikan informasi

Persetujuan haruslah didapat setelah pasien mendapat informasi yang adekuat.Yang


harus diperhatikan adalah bahwa yang berhak memberikan persetujuan adalah pasien
yang sudah dewasa ( diatas 21 tahun atau sudah menikah ) dan dalam keadaan sehat
mental. Pada kasus ini pasien bias mengambil keputusan atas persetujuan dari suami
dan keluarganya.

Penolakan . Tidak selamanya pasien dan kelurga setuju dengan tindakan medic yang
akan dilakukan dokter . Dalam situasi demikian, kalangan dokter maupun kalangan
kesehatan lainnya harus memahami bahwa pasien atau keluarga mempunyai hak
untuk menolak usul tindakan yang akan dilakukan.Tidak ada hak dokter untuk
memaksa pasien mengikuti anjurannya, walaupun dokter menggangap bahwa
penolakan ini bias berakibat gawat atau kematian pasien. Bila tindakan dokter gagal
dalam meyakinkan pasien, untuk keamanan dikemudian hari maka dokter atau rumah
sakit meminta pasien atau keluarganya untuk menandatangani surat penolakan
terhadap anjuran tindakan medic yang diperlukan.1

Disiplin Kedokteran
Disiplin kedokteran adalah aturan-aturan atau ketentuan penerapan keilmuan dalam
pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter. Dalam disiplin kedokteran terdapat
beberapa pelanggaran seperti:

Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information) kepada
pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran
Penjelasan:
a. Pasien mempunyai hak atas informasi tentang kesehatannya (the right to information), dan
oleh karenanya, dokter wajib memberikan informasi dengan bahasa yang dipahami oleh
pasien atau penterjemahnya, kecuali bila informasi tersebut dapat membahayakan kesehatan
pasien.
b. Informasi yang berkaitan dengan tindakan medik yang akan dilakukan meliputi: diagnosis
medik, tata cara tindakan medik, tujuan tindakan medik, alternatif tindakan medik lain, risiko
tindakan medik, komplikasi yang mungkin terjadi serta prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan.
c. Pasien juga berhak memperoleh informasi tentang biaya pelayanan kesehatan yang akan
dijalaninya.
d. Keluarga pasien berhak memperoleh informasi tentang sebab-sebab terjadinya kematian
pasien, kecuali atas kehendak pasien
Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat
atau wali atau pengampunya. Penjelasan:
a. Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter dan memahami maknanya (well
informed) sehingga pasien dapat mengambil keputusan bagi dirinya sendiri (the right to self
determination) untuk menyetujui (consent) atau menolak (refuse) tindakan medik yang akan
dilakukan dokter kepadanya.
b. Setiap tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien, mensyaratkan persetujuan
(otorisasi) dari pasien yang bersangkutan. Dalam kondisi dimana pasien tidak dapat
memberikan persetujuan secara pribadi (dibawah umur atau keadaan fisik/mental tidak
memungkinkan), maka persetujuan dapat diberikan oleh keluarga terdekat (suami/istri,
bapak/ibu, anak atau saudara kandung) atau wali atau pengampunya (proxy).
c. Persetujuan tindakan medik (informed consent) dapat dinyatakan secara tertulis atau lisan,
termasuk dengan menggunakan bahasa tubuh. Setiap tindakan medik yang mempunyai risiko
tinggi mensyaratkan persetujuan tertulis.
d. Dalam kondisi dimana pasien tidak memberikan persetujuan dan tidak memiliki
pendamping, maka dengan tujuan untuk penyelamatan atau mencegah kecacatan pasien yang
berada dalam keadaan darurat, tindakan medik dapat dilakukan tanpa persetujuan pasien.

e. Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kesehatan reproduksi persetujuan harus dari
pihak suami/istrif.
Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan atau etika profesi. Penjelasan:
a. Dalam melaksanakan praktik kedokteran, tenaga medik wajib membuat rekam medik
secara benar dan lengkap serta menyimpan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b.

Dalam hal dokter berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, maka penyimpanan rekam

medik merupakan tanggung jawab sarana pelayanan kesehatan yang bersangkutan


Menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan dan etika profesi. Dengan penjelasannya
a. Penghentian (terminasi) kehamilan hanya dapat dilakukan atas indikasi medik yang
mengharuskan tindakan tersebut.
b. Penentuan tindakan penghentian kehamilan pada pasien tertentu yang mengorbankan
nyawa janinnya dilakukan oleh setidaknya dua dokter.1,6
Hukum Kedokteran
Dalam hukum kedokteran di Indonesia dan Undang-Undang Negara menyatakan
bahwa seorang dokter atau tenaga medis lainnya tidak diperbolehkan melakukan tindakan
pengguguran kandungan. Bahkan sejak awal seseorang yang akan menjalani profesi sebagai
seorang dokter atau tenaga kesehatan secara resmi telah bersumpah dengan sumpah yang
didasarkan atas Deklarasi Jenewa yang telah menyempurnakan Sumpah Hippokrates, dimana
ia akan menyatakan diri untuk menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.2
Oleh karena itu, setiap dokter ataupun tenaga medis harus mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani. Jika dokter atau tenaga medis melakukan pelanggaran
maka akan dikenakan sanksi bahwa telah melanggar aturan tersebut.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 pasal 15 ayat 1) Tindakan medis
dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan
dengan norma hukum,norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun dalam
keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya

dapat diambil medis tertentu. 2) Butir a. Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benarbenar mengharuskan diambil tindakan tertentu, sebab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu
hamil dan atau janinya terancam bahaya maut. Butir b. Tenaga Kesehatan yang dapat
melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga yang memiliki keahlian dan kewenangan
utnuk melakukannya yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Sebelum
melakukan tindakan medis tertentu tenaga kesehatan harus terlebih dahulu meminta
pertimbangan tim ahli yang dapat terdiri dari berbagai bidang seperti medis, agama, hukum
dan psikologi. Butir c. Hak utama untuk memberikan persetujuan ada pada ibu hamil yang
bersangkutan kecuali dalam keadaan tidak sadar stau tidak dapat memberikan
persetujuannya, dapat diminta dari suami atau keluarganya. Butir d. Sarana kesehatan tertentu
adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang memadai untuk tindakan
tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah. 3) Dalam Peraturan Pemerintah sebagai
pelaksanaan dari Pasal ini dijabarkan antara lain mengenai keadaan darurat dalam
menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan, bentuk persetujuan dan sarana kesehatan yang ditunjuk.3,4
Beberapa pasal yang mengatur abortus provocatus dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP):
PASAL 299

1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh

supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu
hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau
denda paling banyak empat pulu ribu rupiah.
2) Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan atau jika dia seorang
tabib, bidan,perawat atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pencaharian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencaharian.4
PASAL 346 Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
PASAL 347

1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan

seorang wanita tanpa persetujuan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.

PASAL 348 1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seseorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun enam bulan.
2) Jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya wanita tersebut,
dikarenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
PASAL 349 Jika seorang dokter, bidan,perawat atau juru obat membantu melakukan
kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu
kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam
pasal itu dapat ditambah dengn sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.4

Informed Consent
Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti
telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent
yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi informed consent
mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat

informasi.

Dengan

demikian

informed

consent

dapat

didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau


keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.1
Dalam memberikan pelayanan kesehatan, petugas medis harus terlebih dahulu
memberikan informed consent kepada pasien. Informed consent berasal dari hak legal dan
etis individu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban
etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan
untuk membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri.1
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam
melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk
menghormati hak pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan

yang akan dilakukan, dan kewajiban untuk meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan
dilakukan.1

Ruang Lingkup Informed Consent


Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan
medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab
orang lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien.2
Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit
tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan inkonklusif. Hak-hak pasien
dalam pemberian inform consent adalah: 2

Hak atas informasi


Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik
apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut
dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan
biaya pengobatan.
Hak atas persetujuan (Consent)
Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan
oleh seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia
berikan ,dimana orang tersebut secara hukum mampu memberikan consent.
Kriteria consent yang syah yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang
betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi
beberapa elemen penting, penjelasan tentang kondisi, prosedur dan konsekuensinya.
Dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2009 tentang Persetujuan Tindakan Medik

dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien atau
keluarga

diminta

atau

tidak

diminta,

jadi

informasi

harus

disampaikan.

Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus menjelaskan
beberapa hal, yaitu :2
a. Diagnosis
b. Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate

of medical procedure)

c. Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical

procedure)
d. Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko-risikonya (alternative
medical procedure and risk)
f. Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan
Sebaiknya, diberikan juga penjelasan yang berkaitan dengan pembiayaan. Penjelasan
seharusnya diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan medis itu sendiri, bukan
oleh orang lain, misalnya perawat. Penjelasan diberikan dengan bahasa dan kata-kata yang
dapat dipahami oleh pasien sesuai dengan tingkat pendidikan dan kematangannya, serta
situasi emosionalnya. Dokter harus berusaha mengecek apakah penjelasannya memang
dipahami dan diterima pasien. Jika belum, dokter harus mengulangi lagi uraiannya sampai
pasien memahami benar. Dokter tidak boleh berusaha mempengaruhi atau mengarahkan
pasien untuk menerima dan menyetujui tindakan medis yang sebenarnya diinginkan dokter.3
Pada hakikatnya Informed Consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan
pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada
kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah
cukup. Penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya merupakan
pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya.Tujuan penjelasan yang lengkap
adalah agar pasien menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri
(informed decision). Karena itu, pasien juga berhak untuk menolak tindakan medis yang
dianjurkan. Pasien juga berhak untuk meminta pendapat dokter lain (second opinion), dan
dokter yang merawatnya. 3
Yang berhak memberikan persetujuan atau menyatakan menolak tindakan medis pada
dasarnya, pasien sendiri jika ia dewasa dan sadar sepenuhnya. Namun, menurut Penjelasan
Pasal 45 UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut di atas, apabila pasien sendiri berada di bawah
pengampuan, persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga
terdekat, antara lain suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara
kandung. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan
persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan,
segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan. 3

Pasal 4 PerMenKes No.290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan :4


1. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah

kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.


2. Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.
3. Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien
setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.
Informed consent dapat diberikan secara tertulis, secara lisan, atau secara isyarat.
Dalam bahasa aslinya, yang terakhir ini dinamakan implied consent. Untuk tindakan medis
dengan risiko tinggi (misalnya pembedahan atau tindakan invasive lainnya), persetujuan
harus secara tertulis, ditandatangani oleh pasien sendiri atau orang lain yang berhak dan
sebaiknya juga saksi dari pihak keluarga. 3
Tujuan informed Consent5
a. Perlindungan pasien untuk segala tindakan medik. Perlakuan medik tidak diketahui
atau disadari pasien atau keluarga, yang seharusnya tidak dilakukan ataupun yang
merugikan/membahayakan diri pasien.
b. Perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga serta
dianggap meragukan pihak lain. Tak selamanya tindakan dokter berhasil, tak terduga
malah merugikan pasien meskipun dengan sangat hati-hati, sesuai dengan SOP.
Peristiwa tersebut bisa risk of treatment ataupun error judgement.
Bentuk Informed Consent6
1. Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat
umum, sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulis. Misalnya pengambilan darah untuk
laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka. 6
2. Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat)
Bila pasien dalam kondiri gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan tindakan
segera untuk menyelematkan nyawa pasien sementara pasien dan keluarganya tidak
bisa membuat persetujuan segera. Seperti kasus sesak nafas, henti nafas, henti
jantung.6
3. Expressed Consent (Bisa Lisan/Tertulis Bersifat Khusus)

Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan dilakukan
melebihi prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa. Misalnya pemeriksaan vaginal,
pencabutan kuku, tindakan pembedahan/operasi, ataupun pengobatan/tindakan
invasive. 6
Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang paling
penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama adalah
tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun Informed consent tidak
boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan emergency care sebab dalam
keadaan kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk
menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta
memberikan keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu
kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak
menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus
melakukan

tindakan

medik.

Hal

ini

dijabarkan

dalam

PerMenKes

Nomor

585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan


emergency tidak diperlukan Informed consent.1
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter,
khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang umum
diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara dengan
kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent tersebut
setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan
tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan
adalah sebagai berikut : 1
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi dokter

tetap melakukan tindakan tersebut.


2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan akibat
dari tindakan medis yang diambilnya.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan medis
yang diambilnya.
4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara substansial
dengan yang dilakukan oleh dokter.
Informed Consent segi Hukum dan Etika
Dalam sejarahnya, informed consent berakar pada banyak disiplin ilmu pengetahuan,
termasuk dalam ilmu kesehatan atau kedokteran, ilmu hukum, ilmu perilaku sosial, dan ilmu

filsafat moral/etika. Belakangan ini, bidang ilmu yang sangat berpengaruh dalam hal
informed consent adalah ilmu hukum dan ilmu filsafat moral atau filsafat etika. Kedua
disiplin ilmu ini, keduanya dengan metoda dan objektifnya tersendiri, mempunyai fungsi
sosial dan intelektual yang berbeda.7
Hukum memfokuskan diri terutama pada konteks klinis, tidak pada riset. Dalam
kacamata hukum, dokter mempunyai kewajiban untuk pertama memberi informasi kepada
pasiennya dan kedua untuk mendapatkan izinnya. Apabila seorang pasien cedera akibat
dokter lalai dengan tidak memberikan informasi yang lengkap mengenai suatu pengobatan
atau tindakan, maka pasien dapat menerima kompensasi finansial dari si dokter karena telah
menyebabkan cedera tersebut. Dalam masalah informed consent dokter sebagai
pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik
Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri
dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum
administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan. 7
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum
perdata, tolok ukur yang digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis),
sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang
merugikan

pasien,

maka

sudah

dapat

dimintakan

pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum


perdata secara umum berlaku adagium barang siapa merugikan orang
lain

harus

memberikan

ganti

rugi.

Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan


adalah kesalahan berat (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan
kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai
sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana. 7
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh
pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari
pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam
keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter
sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah
melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).

Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan
harus menghormatinya. 7
Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi
dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan,
tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan
medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan
medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu
telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP. 7
Dari segi filsafat etika, informed consent terutama menyangkut pilihan secara
otonomi dari pasien dan subyek penelitian. Secara sederhana kita bisa menyingkat kedua
pendekatan ini sebagai berikut: Pendekatan hukum datang dari teori pragmatis. Pasien
mempunyai hak untuk memberi izin atau menolak, akan tetapi fokusnya adalah pada dokter,
yang mempunyai kewajiban dan mempunyai risiko membayar ganti rugi apabila tidak
melaksanakan kewajibannya. Pendekatan filsafat moral atau etika datang dari prinsip
menghargai otonomi, dan fokusnya adalah pada pasien atau subyek, yang mempunyai hak
untuk membuat pilihan secara otonomi. Dengan demikian, kedua kerangka berfikir ini
sangatlah sederhana, akan tetapi ternyata sulit untuk diinterpretasikan dan diperbandingkan.
Terdapat banyak sekali beda pendapat mengenai hal ini. 7
Pemikiran etika mendasari diri pada prinsip, aturan, dan hak. Ada empat prinsip etika di
dalam informed concent : 7
1. Autonomy

Dalam semua proses pengambilan keputusan, dianggap bahwa keputusan yang dibuat
setelah mendapatkan penjelasan itu dibuat secara sukarela dan berdasarkan pemikiran
rasional. Di dalam dunia kedokteran, dokter menghargai otonomi pasien berarti
bahwa si pasien atau klien mempunyai kemampuan untuk berlaku atau bertindak
secara sadar dan intensional, dengan pengertian penuh, dan tanpa pengaruh-pengaruh
yang bisa menghilangkan kebebasannya. 7
2. Non-maleficence
Di dalam prinsip ini, dokter tidak boleh secara sengaja menyebabkan perburukan atau
cedera pada pasien, baik akibat tindakan (commission) atau tidak dilakukannya
tindakan (omission). Dalam bahasa sehari-hari: Akan dianggap lalai apabila seseorang
memaparkan risiko atau cedera yang tidak layak (unreasonable) kepada orang lain.

Standar perawatan yang meminimalkan risiko cedera atau perburukan merupakan hal
yang diinginkan masyarakat secara common sense. 7
3. Beneficence
Kewajiban petugas kesehatan untuk memberikan kemaslahatan, kebaikan, kegunaan,
benefit bagi pasien, dan juga untuk mengambil langkah positip mencegah dan
menghilangkan kecederaan dari pasien. 7
4. Justice
Keadilan di dalam pelayanan dan riset kesehatan digambarkan sebagai kesamaan hak
bagi pasien-pasien dengan kondisi yang sama. Di dalam informed consent, penjelasan
bagi pasien harus diberikan sampai dengan pengobatan yang mungkin saja tidak
terjangkau atau tidak dilindungi pihak asuransinya. 7
Kesimpulan
Setiap tenaga kesehatan mempunyai kode etik dalam pelaksanaan
tugasnya. Setiap pelanggaran etik yang dilakukan dapat dikenakan sanksi
berupa tuntutan. Dan dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan baik perawat, bidan maupun dokter harus mencari tahu
terlebih dahulu permasalahan yang terjadi sehingga kita sebagai tenaga
kesehatan tidak gegabah dalam melakukan tindakan yang akan di lakukan
sehingga tidak membuat kesalahan.
Pada kasus ini, diperlukan keahlian dan pengetahuan kita dalam memberitahukan
hasil dari pemeriksaan. Karna hak pasien yang pertama adalah hak atas informasi. Dalam UU
No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak pasien
adalah hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar
informasi (informed consent). Jadi, informed consent merupakan implementasi dari kedua
hak pasien tersebut. Hak pasien tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang
dilindungi Undang-Undang.
Daftar Pustaka
1. Chang, William. Bioetika sebuah pengantar. Yogyakarta : Kanisius, 2009.h. 13-16.
2. J. Guwandi. Informed consent. Jakarta : FKUI, 2004.h. 135-7
3. Samil RS. Etika kedokteran Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka; 2001.h. 45-6.
4. Peraturan mentrikesehatan Republik Indonesia 290/MENKES/PER/III/2008.
5. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi 4. Jakarta: EGC;

2008 .h.160-1.

6. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi 3. Jakarta: EGC;

1999 .h. 67-72. k


7. Jacobalis,Samsi. Perkembangan ilmu kedokteran, etika medis, dan Bioetika. Jakarta :
Sagung Seto, 2005. Hal 228, 238-40.

You might also like