You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Dan Tujuan
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan
suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan
tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat.
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi
klinis yang sangat luas. Kortikosteroid sering disebut sebagai life saving drug.
Manfaat dan preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak
diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannva dibatasi termasuk dalam
bidang dermatologi kortikosteroid merupakan pengobatan yang paling sering
diberikan kepada pasien. Kortikosteroid adalah derivat dari hormon kortikosteroid
yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini dapat mempengaruhi volume
dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi tubuh.1
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan
besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Berbagai jenis kortikosteroid
sintetis telah dibuat dengan tujuan utama untuk mengurangi aktivitas
mineralokortikoidnya dan meningkatkan aktivitas antiinflamasinya, misalnya
deksametason yang mempunyai efek antiinflamasi 30 kali lebih kuat dan efek
retensi natrium lebih kecil dibandingkan dengan kortisol. Berdasarkan cara
penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid sistemik dan
kortikosteroid topikal.1
Sebagian besar khasiat yang diharapkan dati pemakaian kortikosteroid
adalah sebagai antiinflamasi, antialergi atau imunosupresif. Karena khasiat inilah
kortikosteroid

banyak

digunakan

dalam

bidang

dermatologi.

Dibidang

dermatologi pada umumnya lebth ditekankan sebagai obat antialergi.Terapi

dengan obat ini bukan merupakan terapi kausal melainkan terapi pengendalian
atau paliatif saja, kecuali pada insufisiensi korteks adrenal.Sejak kortikosteroid
digunakan dalam bidang dermatologi, obat tersebut sangat menolong penderita.
Berbagai penyakit yang dahulu lama penyembuhannya dapat dipersingkat,
misalnya dermatitis, penyakit berat yang dahulu dapat menyebabkan kematian,
misalnya pemfigus, angka kematiannya dapat ditekan berkat pengobatan dengan
kortikosteroid, demikian pula sindrom Stevens-Johnson yang berat dan nekrolisis
epidermal toksik.2
Pengobatan berbagai penyakit kulit dengan menggiinakan kortikosteroid
sudah menjadi kegiatan sehari-hari di setiap poliklinik penyakit kulit. Sejak salap
hidrokortison asetat pertama kali dilaporkan penggunaannya oleh Sulzberger pada
tahun 1952, perkembangan pengobatan dengan kortikosteroid berjalan dengan
pesat. Semakin maju ilmu pengetahuan semakin banyak pula ditemukan berbagai
jenis kortikosteroid yang dapat digunakan dengan berbagai keunggulan dan efek
samping yang semakin sedikit. Hal ini berkat kemajuan dalam pengetahuan
mengenai mekanisme kerja serta pemahaman patogenesis berbagai penyakit,
khususnya mengenai peradangan kulit. Dengan berbagai kemajuan in pemakaian
kortikosteroid menjadi semakin rasional dan efektif. 2,3

BAB II
KORTIKOSTEROID SISTEMIK DALAM DERMATOLOGI
2.1. KORTIKOSTEROID
2.1.1. Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di
bagian

korteks

kelenjar

adrenal

sebagai

tanggapan

atas

hormon

adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini


berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap
stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme
karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.
Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks dan medulla,
sedangkan bagian korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu fasikulata dan
glomerulosa. Zona fasikulata mempunyai peran yang lebih besar dibandingkan
zona glomerulosa. Zona fasikulata menghasilkan 2 jenis hormon yaitu
glukokortikoid

dan

mineralokortikoid.

Golongan

glukokortikoid

adalah

kortikosteroid yang efek utamanya terhadap penyimpanan glikogen hepar dan


khasiat anti-inflamasinya nyata, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air
dan elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol
dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alam. Terdapat juga glukokortikoid
sintetik, inisalnya prednisolon, triamsinolon, dan betametason.4
Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya
terhadap keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan
deplesi K, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat
kecil. Oleh karena itu mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Prototip
dan golongan ini adalah desoksikortikosteron.Umumnya golongan ini tidak

mempunyai khasiat anti-inflamasi yang berarti, kecuali 9 a-fluorokortisol,


meskipun demikian sediaan ini tidak pernah digunakan sebagai obat antiinflamasi karena efeknya pada keseimbangan air dan elektrolit terlalu besar.
Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu
kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal.3,4
2.1.2. Farmakologi
Semua

hormon

steroid

sama-sama

mempunyai

rumus

bangun

sikiopenranoperhidrofenantren 17-karbon dengan 4 buah cincin yang diberi label


A D. Modifikasi dan struktur cincin dan struktur luar akan mengakibatkan
perubahan pada efektivitas dan steroid tersebut. Atom karbon tambahan dapat
ditambahkan pada posisi 10 dan 13 atau sebagai rantai samping yang terikat pada
C l7. Semua steroid termasuk glukokortikosteroid mempunyai struktur dasar 4
cincin kolestrol dengan 3 cincin heksana dan 1 cincin pentana.3
Hormon steroid adrenal disintesis dari kolestrol yang terutama berasal dan
plasma. Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolesterol, yang kemudian
dengan bantuan enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom
karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. Sebagian besar kolesterol
yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dan luar (eksogen), baik pada
keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH. 3,4
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus
disintesis terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk
beberapa menit saja, jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan normal.Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya
disesuaikan dengan kecepatan sekresinya. Berikut adalah tabel yang menunjukkan
kecepatan sekresi dan kadar plasma kortikosteroid terpenting pada manusia
didapat pada tabel 2.1.

Kecepatan sekresi dalam


keadaan optimal (mg/hari)

Kadar Plasma (g/l00ml)


Jam 8.00

Jam 16.00

Kortisol
20
16
4
Aldosteron 0,125
0,01
Tabel 1. Kecepatan Sekresi Dan Kadar Plasma Kortikosteroid Utama Pada
Manusia
Pada pemeriksaan sampel dengan tes saliva sebanyak 4 kali dalam satu
hari yaitu sebelum sarapan pagi han, siang, sore hari dan pada malam hari
sebelum tidur. Pada pagi hari kadar kortisol yang paling tinggi dibandingkan
waktu lainnya yang membuat orang menjadi lebih semangat dalam menjalani
aktivitasnya. Orang yang sehat pengeluaran kortisol mengikuti kurva dimana
dapat dibuat grafik mulai menurunnya kadar kortisol hingga kadar terendali yaitu
pada pukul 11 malam dibuktikan dengan seseorang yang dapat beristirahat dengan
cukup.4
2.1.3. Bentuk Dan Senyawa
Kortikosteroid merupakan satu dari dua bentuk steroid yang disintesis oleh
cortex glandula adrenal. Kortikosteroid memiliki 21 atom carbon. Steroid
farmasetikal umumnya disintesis dari asam kolik (didapatkan dari produk ternak)
atau steroid sapogenik, dalam partikel diosgenik dan hekopenik, dari tanaman
keluarga Liliaceae dan Dioscoreaceae. Kortikosteroid contohnya prednisolon
memiliki gugus fungsi sebagai berikut:

A dan D - gugus keton, netral.


B dan C - Gugus alkohol primer dan sekunder, netral.
E - Gugus alkohol tersier, cenderung mengalami eliminasi akibat dehidrasi
pada suhu tinggi.
Di tempat gugus hidroksil pada E diubah menjadi suatu ester seperti
valerat, misalnya pada betametason valerat, eliminasi termal pada ester cukup
mudah terjadi. Reaksi dekomposisi lain pada ester valerat adalah transfer
intramolekkular gugus ester dari E ke C. Senyawa sejenis antara lain:
deksametason, betametason, triamsinolon, hidrokortison, betametason valerat,
betametason dipropionat.4,5

2.1.4. Farmakokinetik
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki janingan melalui membran plasma secara difusi pasif
di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini
mengalami perubahan bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan
kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik.
lnduksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologis steroid. Pada
beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan
sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan flbroblas

hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau


toksik terhadap sel-sel limfoid, hat ini menimbulkan efek katabolik.
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami.
Kortisol (juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk
regulasi metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan
imunitas. Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat
yang sangat sensitif terhadap umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol
dalam sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal,
disekresi 10-20 mg kortisol setiap han tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol
terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan
dengan globulin-[]2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya
sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya
pada sel target. Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh
dan konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid sintetis
seperti dexametason terikat dengan albumin dalam jumlah besar dibandingkan
CBG.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit,
waktu paruh dapat meningkat apabila hydrocortisone (preparat farmasi kortisol)
diberikan dalam jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau
penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa perubahan di urin sebagai
kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan
lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai hati. Perubahan
struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama
kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison
adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya
dalam tubuh.
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya
gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara

mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit
fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis.
Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu
proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan
sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan
fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap
cytokyne dan chemokyne inflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid
lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan
ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang mengalami inflamasi.
Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi yang komplek dengan
molekul adhesi sel, khususnya yang berada pada sel endotel dan dihambat oleh
glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal glukokortikoid dengan masa
kerja pendek, konsentrasi neutrofil meningkat, sedangkan limfosit, monosit dan
eosinofil dan basofil dalam sirkulasi tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan
tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam dan menghilang setelah 24 jam.
Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan aliran masuk ke
dalam darah dan sum-sum tulang dan penurunan migrasi dan pembuluh darah,
sehingga menyebabkan penurunanjumlah sel pada tempat inflamasi.8,9
Glukokortikoid juga menghainbat fungsi makrofag jaringan dan sel
penyebab antigen lairinya.Kemanipuan sd tersebut untuk bereaksi terhadap
antigen dan mitogen diturunkan. Efek terhadap makrofag tersebut terutama
menandai dan membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh
mikroorgamsme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a, interleukin-1,
metalloproteinase dan activator plasminogen. Selain efeknya terhadap fungsi
leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara menurunkan
sintesis prostaglandin, leukotrien dan platelet-activating factor.8,9,10
Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat pada kulit sebagai gambaran
dasar dan sepanjang penyembuhan luka. Konsepnya berguna untuk memisahkan

efek ke dalam sel atau struktur-struktur yang bertanggungjawab pada gambaran


klinis ; keratinosik (atropi epidermal, re-epitalisasi lambat), produksi fibrolas
mengurangi kolagen dan bahan dasar (atropi dermal, striae), efek vaskuler
kebanyakan berhubungan dengan jaringan konektif vasculer (telangiekiasis,
purpura), dan kerusakan angiogenesis (pembentukan jaringan granulasi yang
lambat). Khasiat glukokortikoid adalah sebagal anti radang setempat, anti
proliferatif, dan imunosupresif. Melalui proses penetrasi, glukokortikoid masuk
ke dalam inti selsel lesi, berikatan dengan kromatin gen tertentu, sehingga
aktivitas sel-sel tersebut mengalami perubahan. Sel-sel ini dapat menghasilkan
protein baru yang dapat membentuk atau menggantikan sel-sel yang tidak
berfungsi, menghambat mitosis (anti-proliferatif), bergantung pada jenis dan
stadium proses radang. Glukokotikoid juga dapat mengadakan stabilisasi
membran lisosom, sehingga enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak
dikeluarkan.
Glukokortikoid topikal adalah obat yang paling banyak dan tersering
dipakai. Efektifitas kortikosteroid topikal bergantung pada jenis kortikosteroid
dan penetrasi. Potensi kortikosteroid ditentukan berdasarkan kemampuan
menyebabkan vasokontriksi pada kulit hewan percobaan dan pada manusia. Jelas
ada hubungan dengan struktur kimiawi. Kortison, misalnya, tidak berkhasiat
secara topikal, karena kortison di dalam tubuh mengalami transformasi menjadi
dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak menjadi proses itu. Hidrokortison efektif
secara topikal mulai konsentrasi 1%. Sejak tahun 1958, molekul hidrokortison
banyak mengalami perubahan. Pada umumnya molekul hidrokortison yang
mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten. Penetrasi perkutan lebih
baik apabila yang dipakai adalah vehikulum yang bersifat tertutup. Di antara jenis
kemasan yang tersedia yaitu krem, gel, lotion, salep, fatty ointment (paling balk
penetrasinya). Kortikosteroid hanya sedikit diabsorpsi setelah pemberian pada
kulit normal, misalnya, kira-kira 1% dan dosis larutan hidrokortison yang

diberikan pada lengan bawah ventral diabsorpsi. Dibandingkan absorpsi di daerah


lengan bawah, hidrokortison diabsorpsi 0,14 kali yang melalui daerahtelapak kaki,
0,83 kali yang melalui daerah telapak tangan, 3,5 kali yang melalui tengkorak
kepala, 6 kali yang melalui dahi, 9 kali melalui vulva, dan 42 kali melalui kulit
scrotum. Penetrasi ditingkatkan beberapa kali pada daerah kulit yang terinfeksi
dermatitis atopik ; dan pada penyakit eksfoliatif berat, seperti psoriasis
eritodermik, tampaknya sedikit sawar untuk penetrasi.
Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya.
Mekanisme yang terlibat dalam efek ini kurang diketahui. Beberapa studi
menunjukkan bahwa kortikosteroid bisa menyebabkan pengurangan sel mast pada
kulit. Hal ini bisa menjelaskan penggunaan kortikosteroid topikal pada terapi
urtikaria pigmentosa. Mekanisme sebenarnya dari efek antiinflamasi sangat
kompleks dan kurang dimengerti. Dipercayai bahwa kortikosteroid menggunakan
efek anti-inflamasinya dengan menginhibisi pembentukan prostaglandin dan
derivat lain pada jalur asam arakidonik. Mekanisme lain yang turut memberikan
efek antiinflamasi kortikosteroid adalah menghibisi proses fagositosis dan
menstabilisasi membran lisosom dan sel-sel fagosit. 4,5,6
a. Absorpsi
Kortikosteroid sintetik seperti deksametason sebagian besar akan
berikatan dengan albumin dibandingkan corticosteroid binding globulin (CBG)
yang umumnya mengikat kortisol endogen. Hidrokortison dan senyawa serupa
lainnya efektif diabsorpsi secara oral. Senyawa hidrokortison yang tertentu larut
air dan dapat diberikan secara intravena untuk mencapai konsentrasi tinggi dalam
tubuh secara cepat. Sedangkan untuk efek yang lebih panjang, pemberian secara
intramuskular dapat diberikan dalam bentuk sediaan suspensi. Perubahan minor
pada senyawa kimia golongan ini akan merubah angka absorpsi, onset terjadinya
efek, dan durasi dari aksi. Glukokortikoid yang diberikan secara lokal dapat

10

diabsorpsi sistemik yaitu contohnya pada ruang sinovial. Jika pemberian lokal
tersebut dalam jangka panjang, ditutup oleh penutup yang kuat dan rapat, atau
pemberiannya meliputi area kulit yang luas, absorpsi secara sistemik akan terjadi
dan cukup untuk menimbulkan efek sistemik, termasuk mengganggu aksis
hormonal.5,6
b. Transportasi, Metabolisme, dan Ekskresi
Setelah diabsorpsi, lebih dari 90% kortisol di plasma akan terikat pada
protein secara reversibel dengan kondisi normal. Hanya fraksi kortikosteroid yang
tidak terikat yang akan masuk ke dalam sel untuk menimbulkan efek. Dua protein
plasma yang mengikat yaitu corticosteroid binding-globulin (CBG) atau
transcortin dan albumin. CBG merupakan globulin- yang diproduksi hepar yang
memiliki afinitas tinggi (umumnya konstan 7,6 x 107 M-1) untuk steroid, tetapi
dengan kapasitas ikatan yang rendah. Albumin sebaliknya, afinitas ikatan rendah
(1), tetapi memiliki kapasitas ikatan yang besar. CBG relatif akan mengikat
kortisol (hidrokortison dan yang serupa), sedangkan albumin mengikat
glukokortikoid lainnya, sehingga konsentrasi hidrokortison relatif akan lebih
besar ditemukan dengan bentuk bebasnya.
Metabolisme hormone steroid meliputi penambahan atom hydrogen
maupun oksigen untuk merubah menjadi bentuk turunan yang larut air. Reduksi
ikatan 4,5 terjadi di hepar dan di ekstrahepatik, menimbulkan senyawa inaktif.
Kemudian, reduksi gugus 3-keton menjadi turunan 3-hidroksil, membentuk
tetrahidrokortisol hanya terjadi di hepar. Sebagian besar steroid ring-A yang
terduksi 3- hidroksil dikonjugasi oleh glukuronida atau sulfat dengan reaksi
enzimatik di hepar, juga sebagian kecil di ginjal. Hasil ester sulfat dan
glukuronida larut dalam air dan diekskresi sebagian besar di ginjal. Ekskresi juga
didapatkan melalui biliar dan feses. Metabolisme inaktivasi kortisol menjadi
bentuk turunan 11-keto, kortison. Metabolit kortison dapat dikembalikan menjadi
kortisol terjadi sebagian besar di hepar, juga terjadi di kulit, jaringan adiposa,
tulang, dan mata terkait enzim tipe 1 isozyme (11HSD1).6

11

2.1.5. Farmakodinamik
Sebagian besar efek-efek yang diketahui dari glukokortikoid diperantarai
reseptor glukokortikoid yang terdistribusi secara luas. Protein-protein ini
merupakan anggota dari superfamili reseptor inti yang meliputi steroid, sterol
(vitamin D), thyroid, asam retinoid, dan reseptor lainnya yang belum atau tidak
diketahui perikatannya. Semua reseptor ini berinteraksi dengan promotor dan
regulator transkripsi dari gen target. Jika tidak ada ikatan hormonal, reseptor
glukokortikoid (RG) terdapat di siplasma, dengan kompleks heat shock protein
(Hsp). Hormon bebas dalam plasma dan cairan interstitial memasuki sel dan
berikatan dengan reseptor, menginduksi perubahan yang mendisosiasikan Hsp.
Kompleks ikatan reseptor kemudian mentransportasikan ke dalam inti sehingga
berinteraksi dengan DNA dan protein inti. 5

12

Gambar 1. Alur Ikatan Kortikosteroid dalam Sel.


Ikatan kompleks reseptor ini akan mempengaruhi beberapa regulator
faktor transkripsi yang berfungsi luas dalam regulasi growth factors, sitokinsitokin proinflamasi, dan mediasi dengan antigrowth factors, antiinflamasi, dan
efek imunosupresif.
a. Efek Fisiologis
Sekresi hormon maupun pemberian glukokortikois memiliki kerja
langsung pada sel. Kerja glukokortikoid bergantung pada dosis dan semakin besar
dengan pertambahan dosis.
b. Efek Metabolik
Glukokortikoid bergantung pada dosis memiliki efek pada metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak. Glukokortikoid menstimulasi dan dibutuhkan

13

dalam proses glukoneogenesis dan sintesis glikogen dalam keadaan puasa.


Stimulasi glukosa-6-fosfat, sintesis glikogen, dan melepas asam amino pada
katabolisme otot. Glukokortikoid meningkatkan glukosa darah dan menstimulasi
pelepasan insulin dan menghambat pengambilan glukosa sel otot, serta
menstimulasi hormon sensitif lipase dan lipolisis. Peningkatan insulin
menstimulasi lipogenesis dan sedikit menghambat lipolisis, meningkatkan
jaringan deposit lemak dikombinasikan dengan peningkatan pelepasan asama
lemak dan gliserol ke sirkulasi.
c. Efek Katabolik dan Antianabolik
Meskipun glukokortikoid memicu sintesis protein dan RNA di hepar, juga
memiliki efek katabolik dan antianabolik pada jaringan limfoid dan ikat, otot,
lemak, dan kulit. Sejumlah suprafisiologi glukokortikoid akan menurunkan massa
otot dan kelemahan dan menipiskan kulit. Efek katabolik dan antianabolik pada
tulang merupakan penyebab osteoporosis pada sindrom Cushing dan menjadi
keterbatasan yang besar dalam penggunaan glukokortikoid jangka panjang. Pada
anak, glukokortikoid mereduksi pertumbuhan. Efek tersebut dapat dicegah
sebagian dengan pemberian growth hormone dengan dosis tinggi.1,5
d. Efek Antiinflamasi dan Imunosupresif
Glukokortikoid mereduksi inflamasi. Hal ini dapat terjadi akibat
pengendalian terhadap konsentrasi, distribusi, dan fungsi leukosit preifer dan efek
menyupresi sitokin inflamasi dan kemokin pada lipid dan mediator inflamasi
glukolipid. Glukokortikoid menghambat interaksi molekul sel darah putih dengan
sel endotel sehingga terjadi hambatan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit ke
jaringan terkait. Pemberian glukokortikoid kerja pendek akan meningkatkan
jumlah neutrofil dan menurunkan jumlah limfosit (sel T dan B), monosit,
eosinofil, dan basofil di sirkulasi. Perubahan maksimal pada 6 jam dan hilang
pada 24 jam. Peningkatan neutrofil dikarenakan peningkatan influx ke darah dari
sum-sum tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh darah. Sel-sel imun yang
tereduksi diakibatkan pergerakan sel dari kapiler ke jaringan limfoid.

14

Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag dan antigen-presenting cell


yang lain. Kemampuan sel-sel ini mengenali antigen dan mitogen tereduksi. Efek
glukokortikoid pada makrofag yaitu membatasi kemampuan fagositosis dan
pembunuhan mikroorganisme dan kemampuan produksi tumor necrosis factoralfa, interleukin-1, metalloproteinase, dan aktivator plasminogen. Baik makrofag
dan limfosit memproduksi sedikit IL-12 dan interferon-alfa, yang penting dalam
induksi aktivasi sel TH1 dan imunitas seluler.8,9,10
Glukokortikoid juga mempengaruhi respon menurunkan produksi
prostaglandin, leukotrien, dan sintesis platelet activating factor yang disebabkan
aktivasi phospholipase A2. Glukokortikoid akhirnya akan mereduksi ekspresi
cyclooxygenase II, enzim yang terinduksi pada sel inflamatorik yang akan
menghasilkan prostaglandin.
Glukokortikoid juga menyebabkan vasokonstriksi karena menyupresi
degranulasi sel mast, menurunkan permeabilitas kapiler dengan menurunkan
pelepasan histamin oleh basofil dan sel mast.Efek antiinflamasi dan
imunosupresif sebagian besar disebabkan karena efek-efek yang telah disebutkan.
Aktivasi komplemen hanya terhambat.
Produksi antibodi dapat direduksi dengan steroid dosis tinggi, meskipun
tidak terpengaruh dengan dosis moderat (contoh 20 mg/hari prednison). Efikasi
glukokortikoid dalam mengendalikan rejeksi transplan teraugmentasi dengan
kemampuan mereduksi ekspresi antigen pada jaringan grafting, menghambat
revaskularisasi, dan menginterfer dengan sensitisasi sitotoksik limfosit T dan selsel pembentuk antibodi primer.8,9,10
Glukokortikoid yang berlebihan sering menyebabkan gangguan perilaku,
awalnya berupa insomnia dan euforia dan kemudian depresi. Dosis besar
glukokortikoid dapat meningkatkan tekanan intrakranial (pseudotumor cerebri).
Pemakaian kortikosteroid jangka panjang akan menekan pelepasan
hipofisis yaitu ACTH, GH, TSH, dan LH. Pemberian dosis tinggi berhubungan
dengan perkembangan ulkus peptikum, kemungkinan dengan menekan respon

15

imun lokal melawah Helicobacter pilori. Kortikosteroid juga akan menimbulkan


redistribusi lemak tubuh, dengan peningkatan viseral, fasial, nuchal, serta
supraclavicular. Golongan ini juga tampak sebagai antagonis efek vitamin D pada
absorpsi

kalsium.

Glukokortikoid

juga

memiliki

efek

terhadap

sistem

hematopoetik dengan meningkatkan jumlah trombosit dan sel darah merah.


Kekurangan hormon ini pun akan membuat vasokonstriksi mengganggu filtrasi
glomerulus sehingga terjadi retensi cairan.1,5,9,10
2.1.6. Klasifikasi
Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik,
umumnya potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya
efek retensi natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat
anti-inflamasinya.Kortikosteroid terdiri atas 2 sediaan yaitu kortikosterojd
sistemik dan sediaan kortikosteroid topikal. Sediaan kortikosteroid sistemik dapat
dibedakan

menjadi

tiga golongan

berdasarkan

masa

kerjanya,

potensi

glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi mineralokortikoid. 4

2.2. KORTIKOSTEROID SISTEMIK


2.2.1. Definisi
Kortikosteroid sistemik banyak digunakan dalam bidang dermatologi
karena obat tersebut mempunyai efek imunosupresan dan antiinflamasi. Sejak

16

kortikosteroid digunakan dalam bidang dermatologi, obat tersebut sangat


menolong penderita. Berbagai penyakit yang dahulu lama penyembuhannya dapat
dipersingkat, misalnya dermatitis. Penyakit berat yang dahulu dapat menyebabkan
kematian, misalnya pemfigus, angka kematiannya dapat ditekan berkat
pengobatan dengan kortikosteroid, demikian pula sindrom Stevens Johnson yang
berat dan nekrolisis epidermal toksik.7

2.2.2. Cara Pemberian


Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral,
intramuskular, intravena. Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dengan
keparahan penyakit. Pada suatu penyakit dimana kortikosteroid digunakan karena
efek samping seperti pada alopesia areata, kortikosteroid yang diberikan adalah
kortikosteroid dengan masa kerja yang panjang. Kortikosteroid biasanya
digunakan setiap hari atau selang sehari. Initial dose yang digunakan untu
mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg setiap hari.
Jika digunakan kurang dan 3 4 minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa
tapering off. Dosis yang paling kecil dengan masa keija yang pendek dapat
diberikan setiap pagi untuk meminimal efek samping karena kortisol mencapai
puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang maksimal dari
sekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid level yang rendah dan
dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5
sampai 5mg) pada malam han sebelum tidur dapat digunakan untuk
memaksimalkan supresi adrenal pada kasus akne maupun birsustisme.1
Pada pengobatan dengan kortikosteroid hendaknya jangan lupa mencari
penyebabnya. Kortikosteroid yang banyak dipakai ialah prednison karena telah
lama digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar digunakan

17

prednisolon karena prednison dimetabolisme dihepar menjadi prednisolon. Pada


penderita dengan hipertensi, gangguan kor, atau keadaan lain yang retensi garam
merupakan masalah, maka dipilih kortikosteroid yang efek kortikosteroidnya
sedikit/tidak ada, lebih-lebih bila diperlukan dosis kortikosteroid yang tinggi.
Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralokortikoid jangan
dipakai pada pemberian jangka panjang (lebih dan pada sebulan). Triamsinolon
lebih sering memberi efek samping berupa miopati dan anoreksia sehingga berat
badan menurun. Pada penyakit berat dan sukar menelan, misalnya toksik
epidermal nekrolisis dan sindroma steven johnson harus diberikan kortikosteroid
dengan dosis tinggi. Biasanya yang digunakan yaitu deksametason i.v karena
lebih praktis. Jika masa kritis telah diatasi dan penderita telah dapat menelan
diganti dengan tablet prednison.
Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah
mengalami perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar penyakitnya
tidak mengalami eksaserbasi, tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan
sindrom putus obat. Jika terjadi supresi korteks kelenjar adrenal, penderita tidak
dapat melawan stress. Supresi terjadi kalau dosis prednison meebihi 5 mg per han
dan kalau lebih dan sebulan. Pada sindrom putus obat terdapat keluhan lemah,
lelah, anoreksia dan demam ringan yang jarang melebihi 39C.
Pada pengobatan penyakit autoimun diperlukan kortikosteroid dalam
jangka waktu yang lama dan dicani dosis pemelihanaan. Dosis pemeliharaan
ditentukan dengan menurunkan dosisnya berangsur-angsur. Untuk mencegah
terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang
sehari sebagai dosis tunggal pada pagi han (jam8), karena kadar kortisol tertinggi
dalam darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada
hari bebas obat penyakit dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang
seharusnya bebas obat masih diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih
rendah danipada dosis pada han pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan

18

dosisnya diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada
hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya
ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik.
Seterusnya dapat diberikan selang sehari.1
Terjadinya efek samping tergantung pada dosis, lama pengobatan dan
macam kortikosterid. Pada pengobatan jangka pendek (beberapa hari / minggu)
umumnya tidak terjadi efek samping yang gawat. Sebaliknya pada pengobatan
jangka panjang (beberapa bulan / tahun) harus diadakan tindakan untuk mencegah
terjadinya efek tersebut, yaitu:
1. Diet tinggi protein dan rendah garam.
2. Pemberian KC1 3x500 mg sehari untuk orang dewasa, jika terjadi
defisiensi Kalium
3. Obat anabolik
4. ACTH diberikan 4 minggu sekali, yang biasanya diberikan ialah
ACTH sintetik, yaitu synacthen depot sebanyak 1 mg (100 IU), pada
pemberian kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan seminggu sekali.
5. Antibiotik perlu diberikan, jika dosis prednison melebihi 40 mg sehari
6. Antasida

2.2.3. Efek Samping


Tabel 2. Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum. 7
Tempat
1

Saluran cerna

Macam efek samping


Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster,
ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional,
kolitis ulseratif.

19

Otot

Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu

Susunan saraf pusat

Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah


tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis,
kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah.

Tulang

Osteoporosis, fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur


tulang panjang.

Kulit
Hirsutisme, hipotropi, striae atrofise, dermatosis
akneiformis, purpura,

6
7

Mata
Darah

Glaukoma dan katarak subkapsular posterior


Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit

Pembuluh darah

Kenaikan tekanan darah

Kelenjar adrenal

Atrofi, tidak bisa melawan stres

bagian kortek
10 Metabolisme protein,
KH dan lemak
11 Elektrolit

Kebilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia, gula


meninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati.
Retensi Na/air, kehilangan kalium.(astenia, paralisis,
tetani, aritmia kor)

12 Sistem immunitas

Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Th herpes


simplek,. dan keganasan dapat timbul

Efek samping pada tulang terjadi umumnya pada manula dan wanita saat
menopause. Efek samping lain adalah sindrom Cushing yang terdiri atas moon
face, buffalo hump, penebalan lemak suprakavikula, obesitas sentral, striae
atrofise, purpura, dermatosis akneformis dan hirsustisme. Selain itu juga
gangguan

menstruasi,

nyeri

kepala,

pseudotumor

serebri,

impotensi,

hiperhidrosis, flushing, vertigo, hepatomegali dan keadaan ateroskierosis


dipercepat. Pada anak memperlambat pertumbuhan.7

20

Macam
Kortikosteroid
1. Kerja singkat
a. Hidrokortison
b. Kortison
2. Kerjasedang
a. Meprednison
b.Metilprednisolon

Potensi
glukokortikoid

Dosis ekuivalen
(mg)

Potensi
mineralokortikoid

1
0,8

20,0
25,0

2+
2+

4-5
5
4
4
5

4,0
4,0
5,0
5,0
4,0

0
0
1+
1+
0

c. Prednisolon
d. Prednison
e. Triamsinolon
3. Kerjalama
a. Betametason
20-30
0,60
0
b. Deksametason
20-30
0,75
0
c. Parametason
10
2,0
0
Tabel 3. Mengenal lama kerja, potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen,
dan potensi mineralokortikoid
Keterangan:
Masa paruh biologik kortikostreroid
Kerja singkat : 8-12 jam
Kerja sedang : 12-36 jam
Kerja lama

: 36-72 jam

Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason,


dan deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua
golongan kortikosteroid mempunyai efek glukokortikoid. Pada tabel ini obat
disusun menurut kekuatan (potensi) dan yang paling lemah sampai yang paling

21

kuat. Parametason, betametason, dan deksametason mempunyai potensi paling


kuat dengan waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan kortison dan hidrokortison
mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang dari 12 jam. Harus diingat
semakin kuat potensinya semakin besar efek samping yang terjadi. 7
2.2.4 Monitor
Dasar evaluasi yang digunakan sebelum dilakukan pengobatan
kortikosteroid untuk mengurangi potensi terjadinya efek samping adalah riwayat
personal dan keluarga dengan perhatian khusus kepada penderita yang memiliki
predisposisi diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit yang
terpengaruh dengan pengobatan steroid. Tekanan darah dan berat badan harusrus
tetap di ukur. Jika dilakukan pengobatan jangka lama perlu dilakukan
pemeriksaan mata, test PPD, pengukuran densitas tulang spinal dengan
menggunakan computed tomography (CT), dual-photon absorptiometry, atau
dual-energy x ray absorptiometry (DEXA).
Sedangakan selama penggunaan kortikosteroid tetap perlu dilakukan
evaluasi diantaranya menanyakan kepada pasien terjadinya poliuri, polidipsi,
nyeri abdomen, demam, gangguan tidur dan efek psikologi. Penggunaan
glukokortikoid dosis besar mempunyai kemungkinan terjadi efek yang serius
terhadap afek bahkan psikosis. Berat badan dan tekanan darah tetap selalu di
monitor. Elektrolit serum, kadar gula darah puasa, kolesterol, dan trigliserida tetap
diukur dengan regular. Pemeriksaan tinja perlu dilakukan pada kasus darah yang
menggumpal. Selain itu, pemeriksaan lanjut pada mata karena ditakutkan
terjadinya katarak dan glaukoma. 4,5
Tabel 4. Berikut hal - ha1 yang perlu di monitor selama penggunaan
glukokortikoid jangka panjang

22

No
1
2
3
4

Efek samping
Hipertensi
Berat badan meningkat
Reaktivasi infeksi
Abnormalitas metabolik

Monitor
Tekanan darah
Berat badan
PPD, (12 han setelah pemakaian prednison)
Elektrolit, lipid, glukosa (t.u penderita
diabetes

5
6

7
8

Osteoporosis
Mata

dan hiperlipidemia)
Densitas tulang

Katarak

Pemeriksaan slit lamp (setiap 6 sampai 12

Glaukoma

bulan)
Tekanan intraokular (saat bulan pertama dan

Ulkus peptik

ke enam)
Pertimbangkan pengunaan antagonis H2 atau

Supresi kelenjar adrenal

proton pump inhibitor


Dosis tunggal di pagi hari, periksa serum
kortisol pada jam 8 pagi sebelum tapering off.

Pada pengobatan jangka panjang harus waspada terhadap efek samping,


hendaknya diperiksa tensi, berat badan (seminggu sekali), EKG (sebulan sekali)
terutama pada usia di atas 40 tahun, dan pemeriksaan laboratorium: Hb, jumlah
leukosit, hitung jenis, LED, urin lengkap, kadar Na dan K dalam darah, gula darah
(seminggu sekali), foto toraks, apakah ada tuberkulosis paru (3 bulan sekali).
Efek samping yang juga berat ialah osteoporosis yang dapat menyebabkan
fraktur. Pada pemberian kortikosteroid yang jangka panjang, misalnya pada
penyakit autoimun hendaknya sejak semula diusahakan pencegahannya. Penderita
dikonsultasikan ke sub bagian ortopedi. Pada wanita saat menopouse
dikonsultasikan ke bagian kebidanan untuk kemungkinan terapi hormonal, karena
pada masa tersebut rentan mendapat osteoporosis.4,5

23

2.2.5 Indikasi Dan Dosis


Indikasi kortikosteroid ialah dermatosis alergik atau yang dianggap
mempunyai dasar alergik, Pada tabel dibawah lni dicantumkan berbagai penyakit
yang dapat diobati dengan kortikosteroid serta dosisnya. Kortikosteroid sistemik
banyak digunakan dalam bidang dermatologi karena obat tersebut mempunyai
efek imunosupresan dan antiinflamasi. Sejak kortikosteroid digunakan dalam
bidang dermatologi, obat tersebut sangat menolong penderita. Berbagai penyakit
yang dahulu lama penyembuhannya dapat dipersingkat, misalnya dermatitis.
Penyakit berat yang dahulu dapat menyebabkan kematian, misalnya pemfigus,
angka kematiannya dapat ditekan berkat pengobatan dengan kortikosteroid,
demikian pula sindrom Stevens Johnson yang berat dan nekrolisis epidermal
toksik.1,7

Tabel 5. Dosis inisial kortikosteroid sistemik sehari untuk orang


dewasa pada berbagai dermatosis

24

Nama penyakit

Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari

Dermatitis

Prednison 4x5 mg atau 3xl0 mg

Erupsi alergi obat ringan

Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg

SSJ berat dan NET

Deksametason 6x5 mg

Eritroderma

Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg

Reaksi lepra

Prednison 3x10 mg

LED

Prednison 3x10 mg

Pemfigoid bulosa

Prednison 40-80 mg

Pemfigus vulgaris

Prednison 60-150 mg

Pemfigus foliaseus

Prednison 3x20 mg

Pemfigus eritematosa

Prednison 3x20 mg

Psoriasis pustulosa

Prednison 4x 10 mg

Reaksi Jarish-Herxheimer Prednison 20-40 mg

25

Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa menurut
pengalaman, tidak bersifat mutlak karena bergantung pada respons penderita.
Dosis untuk anak disesuaikan dengan berat badan / umur. Jika setelah beberapa
hari belum tampak perbaikan, dosis ditingkatkan sampai ada perbaikan.7
2.2.6. Kontraindikasi
Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan relatif.
Pada kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan
infeksi jamur yang sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya
kortikotropin

dan

preparat

intravena.

Sedangkan

kontraindikasi

relatif

kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan sebagai life saving drugs.


Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada keadaan
hipertensi, tuberculosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa,
positive purified derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptic,
katarak, osteoporosis, kehamilan.1
.

BAB III
KESIMPULAN

26

Kortikosteroid sistemik dalam dermatologi digunakan pada penyakit dermatologi


berat seperti dermatitis kontak tanaman (poison ivy) dan untuk dermatosis
vesikobulosa yang mengancam jiwa seperti pemfigus vulgaris dan pemfigoid
bulosa.
Penggunaan dalam jangka panjang akan menyebabkan gangguan hipofisis
adrenal- axis dengan berbagai derajat dan menyebabkan gangguan elektrolit,
hipertensi, hiperglikemia, mudah terinfeksi, osteoporosis, miopati, gangguan
perilaku, katarak, gangguan pertumbuhan, dan perubahan habitus berupa
redistribusi lemak, munculnya striae, dan ekimosis.
Penghentian terapi kortikosteroid sistemik dengan jangka waktu 2-4 minggu akan
menyebabkan gangguan aksis hipofisis-adrenal menyebabkan berbagai derajat
insufisiensi adrenal, sehingga terapi yang lebih dari satu minggu membutuhkan
terapi tapering.

DAFTAR PUSTAKA

27

1. Gan Gunawan Sulistia; S Rianto; Nafriadi. 2007. Farmakologi dan Terapi


Edisi 5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
2. Habif TP. 2004. Clinical Dermatology. 4th Edition. Edinburgh: Mosby
3. Moschella SL, Hurley HJ, editors. 1985. Dermatology. 2nd Edition.
Philadelphia: W.B. Saunders.
4. Watson, D G. 2009. Analisis Farmasi: Buku Ajar untuk Mahasiswa Farmasi
dan Praktisi Kimia Farmasi. Ed 2. Winny R Syarief. Editor: Amalia H
Hadinata. Jakarta: EGC.
5. Katzung, B G. 2005. Basic and Clinical Pharmacology. 10th
Ed:Adrenocorticosteroids and adrenocortical Antagonists. McGraw Hill
Company, Lange. San Fransisco.
6. Brunton, L; K Parker; D Blumenthal; I Buxton. 2006. Goodman and Gilman's
Manual of Pharmacology and THerapeutics. 11th Ed. Mc Grawa Hill
companies. North America
7. Djuanda Adhi; H Mochtar; Aisah Siti. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi 4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
8. Barnes, P J. 1998. Antiinflammatory Actions of Glucocorticoids: Molecular
Mechanisms. Clinical Science. Vol. 94 pg.557-572.
9. Longui, C A. 2007. Glucocorticoid Therapy: Minimizing Side Effects. Jornal
de Pediatria. Vol. 83. pg. 163-71.
10. Singh, N; M J Rieder; M J Tucker. 2004. Mechanisms of GlucocorticoidMediated Anti-Inflammatory and Immunosuppressive Action. Paediatric and
Perinatal Drug Therapy. Vol. 6. pg. 107-15.

28

You might also like