You are on page 1of 15

KELOID

1.

DEFINISI
Keloid adalah pembentukan jaringan parut berlebihan (pertumbuhan
proliferatif) yang muncul di atas kulit yang mengalami trauma atau di atas
luka operasi dan tidak sesuai dengan beratnya trauma, tidak dapat sembuh
secara spontan serta dapat berulang setelah dilakukan eksisi (Thompson,
2001). Keloid juga dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan jinak dari
jaringan fibrosa padat, yang berkembang dari respon abnormal terhadap
penyembuhan cedera kulit, yang meluas keluar dari perbatasan asli luka atau
respon inflamasi.
Secara klinis, keloid berbentuk nodul, berwarna ato hypopigmentasi,
atau bersifat eritematosa sekunder untuk telangiectasias. Keloid terjadi
paling umum pada bagian dada, bahu, punggung atas, belakang leher dan
telinga (Roblez, 2007).

Gambar. Keloid
Harus dibedakan antara istilah keloid dan parut hipertropik. Pada parut
hipertropik, besar parut masih sesuai dengan lukanya, tidak pernah melewati
batas tepi luka dan pada suatu saat akan mengalami fase maturasi. Parut
hipertropik juga dapat sembuh secara spontan dalam 12-18 bulan meskipun
tidak komplit. Sedangkan pada keloid, parut melampaui batas tepi luka
tetapi jarang meluas sampai ke jaringan subkutan, aktif dan menunjukkan
tanda-tanda radang seperti kemerahan, gatal dan nyeri ringan. Jika keloid
bersifat multipel atau berulang maka disebut keloidosis (Gauglitz, 2011).

2.

EPIDEMIOLOGI
Kebanyakan orang tidak pernah memiliki keloid. Untuk alasan yang
tidak diketahui, keloid terjadi lebih sering di antara kulit hitam, Hispanik
dan Asia dan jarang di Kaukasia [4, 5]. Dilaporkan sekitar 16% orang afrika
hitam menderita keloid, sedangkan orang kulit putih dan albino sangat
sedikit yang menderita keloid (Cohly, 2002). Keloid juga dilaporkan lebih
banyak pada wanita muda dibandingkan pria muda. Namun, tanpa
menggolongkan umur, prevalensi keloid antara pria dan wanita adalah sama.
Menurut umur, keloid sering terjadi pada kelompok umur 10-30 ahun
(dewasa muda) dan jarang terjadi pada usia tua (Cohly, 2002). Keloid juga
sering timbul pada penderita yang mengalami luka bakar parah dan di lokasi
vaksinasi.

3.

ETIOLOGI
Penyebab pasti tidak diketahui, tidak ada gen khusus yang
diidentifikasi sebagai penyebab berkembangnya suatu keloid, meskipun
peningkatan prevalensi keloid berhubungan dengan peningkatan pigmentasi
kulit yang menunjukkan adanya pengaruh genetik. Keloid dihubungkan
secara genetik dengan HLA-B14, HLA-B21, HLA-Bw16, HLA-Bw35,
HLA-DR5, HLA-DQw3, dan golongan darah A. Transmisi dilaporkan
secara autosom dominan dan autosom resesif. Keloid dapat disebabkan oleh
insisi bedah, luka, penyuntikan vaksinasi (BCG), luka bakar, bekas jerawat,
setelah cacar, gigitan serangga, pemakaian anting (Wolfram, 2009).

4.

ANATOMI DAN FISIOLOGI


Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya
dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan
berat kira-kira 15% berat bada. Kulit merupakan organ yang paling esensial
dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga
sangan kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur,

seks, ras dan juga bergantung pada lokasi tubuh (Gauglitz, 2011).

Gambar 2. Anatomi Kulit


Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama,
yaitu:
a. Lapisan epidermis atau kutikel, terdiri ata: stratum korneum, stratum
lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum basale
(terdiri atas dua jenis sel : sel-sel kolumner dan sel pembentuk melanin).
b. Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin). Secara garis besar dibagi
menjadi dua bagian, yakni : pars papillare dan pars retikulare.
c. Lapisan subkutis (hipodermis) adalah kelanjuta dermis, terdiri atas
jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya.
Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak
di bagian atas dermis (pleksus superfisial) dan yang terletak di subkutis
(pleksus profunda). Pleksus yang di dermis bagian atas mengadakan
anastomosis di papil dermis, pleksus yang di subkutis dan di pars papillare
juga mengadakan anastomosis, di bagian ini pembuluh darah berukuran
lebih besar. Bergandengan dengan pembuluh darah terdapat saluran getah
bening.
Fungsi utama kulit adalah fungsi proteksi (pelindung terhadap cedera
fisik, kekeringan, zat kimia, kuman penyakit dan radiasi), absorpsi, ekskresi,
persepsi (faal perasa dan peraba yang dijalankan oleh ujung saraf sensoris
Vater paccini, Meisner, Krause, dan Ruffini yang terdapat di dermis),
pengaturan suhu tubuh (termoregulasi akibat adanya jaringan kapiler yang
luas di dermis, adanya lemak subkutan, dan kelenjar keringat), pembentukan
pigmen, pembentukan vitamin D, dan keratinisasi.

5. GAMBARAN HISTOLOGI KELOID


Pada pemeriksaan histologis keloid, ditemukan kolagen dengan
jumlah yang meningkat dan deposisi glikosaminoglikan, kedua komponen
utama matriks ekstraselular. Kolagen pada keloid terdiri dari penebalan
whorls dari bundel kolagen hyalinized dalam array yang serampangan, yang
dikenal sebagai kolagen keloidal (Roblez, 2007). Hal ini berbeda untuk bekas
luka normal di mana berkas-berkas kolagen sejajar berorientasi pada
permukaan kulit.
6.

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Patogenesis keloid secara jelas masih belum diketahui, tetapi
merupakan peristiwa yang kompleks dan melibatkan faktor genetik dan
lingkungan. Kondisi inflamasi kulit seperti akne vulgaris, folikulitis, infeksi
varicella, atau vaksinasi (terutama vaksinasi BCG) dapat menyebabkan
pembentukan keloid. Keloid paling sering terjadi dalam pengaturan
penyembuhan luka bedah atau non-bedah (misalnya, laserasi dan penusukan
daun telinga). Keloid berkembang dalam beberapa bulan setelah luka atau
proses inflamasi, dan dapat berkembang lebih pesat, keluar dari batas luka
setahun kemudian. Ekspresi menyimpang dari berbagai faktor pertumbuhan
dan reseptor diperlihatkan melalui fibroblas. Misalnya, fibroblas keloidal
ditunjukkan untuk lebih mengekspresikan faktor pertumbuhan: VEGF, TGF1, TGF-2, CTGF, serta PDGF- reseptor. Pada sebuah penelitian
didapatkan bahwa TGF-1 berperan sebagai patogenesis jaringan parut
abnormal dan banyak penelitian difokuskan pada jalur ini. Sebuah studi
terbaru oleh Capaner dkk. melaporkan bahwa ekspresi lebih dari TGF-1
merupakan komponen penting dalam pembentukan keloid. Tetapi bukan
merupakan faktor utama atau independen, karena keloid juga merupakan
adalah proses multifaktorial. Dalam sebuah penelitian, fibroblas keloidal
ditemukan memiliki tingkat yang lebih rendah dari apoptosis, diduga terkait
dengan peraturan turun-apoptosis gen terkait. Dibandingkan dengan fibroblas
dermal yang normal, fibroblas pada keloid menunjukkan peningkatan
produksi kolagen dan matriks metalloproteinase (Roblez, 2007).

Saat proses penyembuhan luka harus ada keseimbangan antara


produksi kolagen yang meningkat dan kerusakan jaringan yang difasilitasi
oleh metaloproteinase matriks. Bekas luka yang normal memiliki mekanisme
umpan balik negatif, dimana fibroblas berfungsi untuk memperbaiki cacat
kulit tetapi aktivitas mereka juga dihambat untuk mencegah perbaikan yang
berlebihan. Dalam hal ini, fibroblas berasal dari bekas luka matang mampu
menekan proliferasi in-vitro yang dapat menyebabkan jaringan parut
patologis. Hal ini menunjukkan mekanisme umpan balik negatif fibroblas
keloidal yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan parut yang
mempunyai kecenderungan untuk kambuh.
Sampai saat ini, tidak ada gen tertentu telah dikaitkan dengan
perkembangan keloid. Sebagian besar kasus terjadi secara sporadis, meskipun
temuan dari sejarah keluarga yang positif adalah hal yang biasa. Marneros
dan rekannya mempelajari empat belas keluarga dengan anggota yang terkena
dampak ganda dan berasal sebuah autosomal dominan dengan pola warisan
penetrasi tidak lengkap berdasarkan analisis mereka. Berbagai polimorfisme
gen encoding TGF-1, 2 3 serta reseptor TGF telah dievaluasi, tetapi tidak
ada asosiasi signifikan secara statistik dengan keloid telah diidentifikasi.
Kemungkinan bahwa beberapa gen memberikan kerentanan terhadap
perkembangan keloid, dengan gen yang berbeda memberikan kontribusi bagi
pembentukan keloid dalam keluarga yang berbeda. Hal ini akan membuat
identifikasi gen tertentu bermasalah. Satish dkk. melaporkan data yang
membandingkan profil ekspresi gen dari sejumlah kecil sampel jaringan
keloid dan kulit normal. Didapatkan hasil bahwa terdapat peningkatan
ekspresi kedua fibronektin dan rantai -1 tipe 1 protein kolagen yang
umumnya terkait dengan penyembuhan luka yang abnormal. Selain itu,
isoform aktin beberapa orang atas disajikan dalam fibroblast keloid.
Menariknya, ada beberapa gen terkait apoptosis yang menunjukkan ekspresi
yang meningkat pada fibroblast keloid. Hal ini mendukung gagasan bahwa
disregulasi apoptosis dapat menyebabkan pembentukan keloid. Dari data
yang ada juga diketahui bahwa beberapa tumor yang berhubungan dengan

gen yang ditemukan dalam fibroblast keloid, terdapat peningkatan jumlah


pada Protein Ribosomal 18 (RPS18) yang merupakan protein penting untuk
pertumbuhan sel Stat-3, lain onkogen yang terlibat dalam proliferasi sel, juga
telah dihubungkan dengan patogenesis keloid.
Keloid dapat dijelaskan sebagai suatu variasi dari penyembuhan luka.
Pada suatu luka, proses anabolik dan katabolik mencapai keseimbangan
selama kurang lebih 6-8 minggu setelah suatu trauma. Pada stadium ini,
kekuatan luka kurang lebih 30-40% dibandingkan kulit sehat. Seiring dengan
maturnya jaringan parut (skar), kekuatan meregang dari skar juga bertambah
sebagai akibat pertautan yang progresif dari serat kolagen. Pada saat itu, skar
akan nampak hiperemis dan mungkin menebal, tepi penebalan ini akan
berkurang secara bertahap selama beberapa bulan sampai menjadi datar,
putih, lemas, dapat diregangkan sebagai suatu skar yang matur. Jika terjadi
ketidakseimbangan antara fase anabolik dan katabolik dari proses
penyembuhan, lebih banyak kolagen yang diproduksi dari yang dikeluarkan,
dan skar bertumbuh dari segala arah. Skar sampai diatas permukaan kulit dan
menjadi hiperemis. Skar yang meluas ini akan timbul sebagai keloid dengan
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: semua rangsang fibroplasia
yang berkelanjutan (infeksi kronik, benda asing dalam luka, tidak ada
regangan setempat waktu penyembuhan, regangan berlebihan pada pertautan
luka), usia pertumbuhan, bakat, ras dan lokasi (Gauglitz, 2011).
7.

DIAGNOSIS
Diagnosis keloid dibuat berdasarkan gambaran klinis (penampakan
kulit atau jaringan parut):
a. Konsistensi keloid yang bervariasi dari lunak, seperti karet sampai keras.
b. Lesi awal biasanya kemerahan.
c. Lesi menjadi merah kecoklatan atau seperti warna daging.
d. Lesi biasanya tidak mengandung folikel rambut ataupun kelenjar adneksa
lainnya)

Keloid memberikan gambaran klinik yang bervariasi. Kebanyakan lesi


tumbuh selama beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi ada pula yang
tumbuh dalam beberapa tahun. Pertumbuhan biasanya lambat, tetapi kadangkadang melebar secara cepat, menjadi 3 kali lebih lebar dalam beberapa
bulan. Ada pula keloid yang berhenti tumbuh, keloid tidak selalu memberikan
gejala dan menjadi stabil. Keloid tumbuh berlebihan melampaui batas luka,
sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan
intervensi bedah.
Keloid pada telinga, leher, dan abdomen biasanya bertangkai. Keloid
pada daerah tengah dada dan ekstremitas biasanya datar, dimana dasarnya
lebih luas dari puncaknya.
Kebanyakan keloid berbentuk bulat, oval, atau persegi panjang dengan
tepi reguler, tetapi ada pula yang berbentuk seperti bekas cakaran dengan tepi
yang irreguler. Kebanyakan pasien datang dengan 1-2 keloid, tetapi ada juga
dengan banyak keloid seperti pada pasien yang keloid muncul akibat jerawat
atau bekas cacar.
Keloid pada sendi dapat mengganggu pergerakan akibat kontraktur.
Keloid tidak pernah berubah menjadi keganasan dan hanya menimbulkan
masalah kosmetik saja. Frekuensi lokasi keloid pada orang Asia biasanya
pada cuping telinga, ekstremitas atas, leher, payudara, bahu, sternum,
pinggang, dan wajah.
Perbedaan antara keloid dan parut hipertrofik:
Keloid
Mungkin timbul setelah

Parut hipertrofik
Timbul dalam waktu beberapa

beberapa bulan, atau

minggu

Invasi

satu-dua tahun
Meluas ke daerah

Terbatas pada kerusakan

Penyembuhan
Predileksi

kerusakan epitel
Tak ada regresi
Strenum, bahu, pipi,

Hilang sendiri
Dapat timbul dimana pun

Ras/bangsa

telinga, pinggang
Terutama ras kulit gelap

Lebih banyak dari bangsa kulit

Permulaan

Luka bakar
Gatal

8.

atau hitam
Mungkin
Jarang hebat

putih
Sering
Biasanya mengganggu

PENATALAKSANAAN
Berbagai macam terapi yang ada untuk keloid, dengan modalitas yang
paling umum digunakan ini, injeksi steroid intralesi, eksisi bedah,
cryotherapy, terapi laser, terapi radiasi dan penerapan lembaran gel silikon.
Pengobatan lain yang telah digunakan dengan tingkat keberhasilan variabel
meliputi, Imiquimod, 5-FU, bleomycin, retinoid, calcium channel blockers,
mitomycin C dan interferon- 2b (Roblez, 2007).
a. Konservatif
-

Injeksi steroid
Keloid ditangani secara konservatif dengan penyuntikan sediaan

kortikosteroid intrakeloid yang diulang 2-3 minggu sekali sampai efek


yang diinginkan tercapai (Espana, 2011). Secara keseluruhan, modalitas
ini memiliki tingkat tinggi toleransi serta efektivitas dalam mengurangi
gejala. Triamcinolone acetonide (Kenalog, Bristol-Myers Squibb,
Princeton, NJ) biasanya digunakan pada konsentrasi 10 sampai 40mg/ml,
tergantung pada ukuran dan lokasi lesi. Untuk lesi pada batang atau
ekstremitas terapi biasanya dimulai di 40mg/ml dan kemudian dititrasi
sesuai pada kunjungan berikutnya. Beberapa suntikan pada interval
bulanan umumnya dibutuhkan untuk keloid yang lebih besar. Suntikan
steroid intralesi membantu melembutkan dan mengurangi gejala pruritus
dan nyeri tekan.
Komplikasi dari penggunaan steroid intralesi meliputi, atrofi kulit,
hipo-atau hiperpigmentasi, dan pengembangan telangiectasias. Karena
pasien biasanya membutuhkan beberapa jarum suntik, terutama untuk
lesi yang lebih besar, beberapa penulis menganjurkan pra-perawatan
dengan lidokain topikal atau penambahan lidokain di suntik untuk
membantu mengurangi rasa sakit pada daerah yang akan disuntik.

Triamcinolone acetonide telah ditunjukkan untuk menghambat sintesis


kolagen dan pertumbuhan fibroblast in vitro [40]. Telah dilaporkan
bahwa perlakuan fibroblas dengan hasil asetonid triamsinolon dalam
pengurangan TGF- ekspresi dan peningkatan produksi bFGF. Injeksi
steroid intralesi mungkin tidak praktis untuk keloid yang sangat besar
atau beberapa, karena rasa sakit injeksi mungkin cukup besar dan ada
kekhawatiran tambahan karena dosis besar kortikosteroid.
-

Pengobatan Imiquimod
Imiquimod adalah imunomodulator topikal yang disetujui FDA untuk
pengobatan kutil genital dan perianal eksternal dan yang terbaru, untuk
pengobatan actinic keratosis. Obat ini bekerja melalui reseptor sitokin
pro-inflamasi, termasuk TNF- yang diketahui mengurangi produksi
kolagen dalam fibroblast. [66, 67] . Setelah eksisi bedah, topikal krim
Imiquimod 5 persen diterapkan setiap malam ke garis jahitan dan
sekitarnya dengan total 8 minggu [67]. Gatal, terbakar, sakit dan lecet
adalah efek samping yang dilaporkan. Meskipun tidak ada rekurensi yang
dicatat, tindak lanjut dibatasi sampai 24 minggu. Dalam studi lain kecil
dan tidak terkontrol, terapi imiquimod setelah eksisi keloid delapan daun
telinga mengakibatkan kekambuhan 25 persen [68]. Mengingat jumlah
kecil diobati dan kurangnya tindak lanjut jangka panjang, manfaat klinis
Imiquimod masih belum jelas.
- 5-Fluorourasil
5-Fluorourasil (5-FU) adalah analog pirimidin yang diubah secara
intraseluler pada substrat yang menyebabkan penghambatan sintesis
DNA dengan bersaing dengan penggabungan urasil [72]. Tingkat
peningkatan proliferasi fibroblas terlihat pada keloidal menunjukkan
bahwa 5-FU mungkin efektif dalam membatasi pertumbuhan keloid [73].
Namun, beberapa penelitian dalam literatur menunjukkan bahwa
keberhasilan secara keseluruhan tidak lebih baik dari modalitas lain dan
efek samping yang signifikan seperti ulserasi dan hiperpigmentasi
membuat topikal 5-FU kurang menarik [74, 75, 76]. Penghambat utama

sistemik 5-FU adalah hubungannya dengan anemia, leukopenia dan


trombositopenia. Jadi, bahkan intralesi 5-FU harus dihindari pada wanita
hamil dan menyusui dan pasien dengan infeksi bersamaan atau
penekanan sumsum tulang [72].
- Bleomycin
Bleomycin, sebuah agen kemoterapi digunakan pada kanker banyak, juga
telah menggunakan beberapa dermatologi. Bleomycin memiliki efek luas
pada tingkat sel, termasuk menghalangi siklus sel, DNA dan RNA
merendahkan, dan menghasilkan spesies oksigen reaktif. Hipopigmentasi
dan telangiectasia adalah komplikasi yang paling umum dari cryotherapy
kombinasi dan triamcinolone. Dalam tiga bulan masa tindak lanjut
dilaporkan, tidak ada rekurensi [78]. Namun, seperti yang dinyatakan
sebelumnya, tindak lanjut ini pendek mengingat bahwa keloid bisa
kambuh tahun setelah pengobatan. Studi-studi kecil menunjukkan
bleomycin mungkin memiliki potensi terapi dalam mengobati keloid,
namun ada kebutuhan untuk percobaan yang lebih besar yang
mempekerjakan lebih metodologi ketat.
b.

Pembedahan
-

Eksisi bedah

Eksisi bedah dari keloid harus dilakukan dengan perhatian khusus karena
tingkat kekambuhan tinggi [41]. Eksisi bedah mungkin memuaskan,
memberikan koreksi kosmetik segera. Namun, eksisi yang sering
menyebabkan bekas luka lama dan potensi untuk keloid lebih besar pada
saat terjadi kekambuhan [42]. Terapi adjuvant seperti pasca-Excisional
injeksi

steroid

harus

dipertimbangkan.

Beberapa

laporan

awal

menunjukkan Imiquimod topikal sebagai berikut eksisi tambahan, tetapi


jangka panjang data tindak lanjut masih kurang. Ada juga data yang
menunjukkan manfaat dari C Mitomycin topikal sebagai tambahan untuk
eksisi bedah, namun ini juga penelitian kecil dengan jangka pendek tindak
lanjut [43]. Serangkaian kasus kecil dari empat pasien melaporkan hasil

yang lebih unggul ketika kolagen glikosaminoglikan kopolimer


neodermis (Integra) ditempatkan pada saat eksisi dan cangkok kulit
ditunda selama beberapa minggu [44]
Hasil bedah terbaik dilihat dengan penutupan tepi luka yang sangat baik,
menggabungkan ketegangan minimal dengan eversi maksimal dan
memastikan sayatan dibuat sepanjang garis ketegangan kulit santai [45].
Pasien dengan riwayat pembentukan parut keloid atau hipertropik
sebaiknya menghindari prosedur elektif operasi atau kosmetik untuk
menghindari risiko keloid masa depan [46].
-

Cryotherapy

Cryotherapy telah digunakan untuk lesi yang lebih kecil, namun


penggunaannya dibatasi oleh rasa sakit dan kadang-kadang lama
pengobatan penyembuhan berikut [6]. Karena banyak perawatan sering
diperlukan, risiko untuk hipopigmentasi dalam berkulit gelap pasien
adalah kelemahan signifikan. Cryotherapy telah dilaporkan untuk
mengubah sintesis kolagen dan menginduksi diferensiasi fibroblas
keloidal menuju fenotip yang lebih normal [47]. Beberapa penulis
menganjurkan penggunaan cryotherapy hanya sebelum injeksi steroid
untuk menginduksi edema dan dengan demikian memfasilitasi injeksi
streroid

[48].

Digunakan

nitroge

liquid

yang

mempengaruhi

mikrovaskularisasi dan menyebabkan kerusakan sel melalui kristal


intrasel yang mengakibatkan anoksia sel. Penggunaan krioterapi tanpa
modalitas tanpa modalitas terapi yang lain menghasilkan resolusi tanpa
rekurensi pada 51-74% pasien setelah 30 bulan observasi (Kelly, 2004).
c. Radioterapi
Beberapa studi menggunakan terapi radiasi sebagai tambahan untuk eksisi
bedah telah dilaporkan, tetapi kurangnya rejimen standar membuat
perbandingan antara studi sulit [49, 50, 51, 52]. Berbagai teknik dapat
ditemukan dalam literatur, termasuk dangkal x-ray, berkas elektron, dan
tingkat rendah atau dosis tinggi brachytherapy [52]. Pasca Excisional
radioterapi biasanya digunakan segera setelah eksisi bedah. Ketika

dikombinasikan dengan eksisi, tingkat keberhasilan lebih tinggi, antara 65


sampai 99 persen [53]. Efek samping dari terapi radiasi termasuk eritema
sementara dan hiperpigmentasi. Risiko karsinogenesis dari terapi radiasi
keloid kemungkinan menjadi sangat rendah, terutama dengan teknik
modern.
d. Laser
Penggunaan laser untuk ablasi keloid dianggap kurang bermanfaat.
Penggunaan karbon dioksida dan argon laser mempunyai tingkat
kekambuhan 90 persen. Flashlamp pulsed-dye laser dikaitkan dengan
penurunan TGF-1 dan up-regulasi dari metaloproteinase MMP-13,
penekanan proliferasi fibroblast keloidal serta induksi apoptosis [59, 60 ].
Penggunaan Nd: YAG laser sebagai monoterapi atau dalam hubungannya
dengan injeksi triamcinolone intralesi telah menunjukkan beberapa hasil
menjanjikan dengan persentase yang besar dari pasien keloid.
e. Silicone Gel Dressing
Silicone gel dressing adalah modalitas pengobatan non-invasif dan relatif
murah tambahan untuk keloid. Baru-baru ini, sebuah panel ahli
internasional direkomendasikan silikon terapi gel sheet sebagai profilaksis
baris pertama setelah eksisi bedah [41]. Ketika digunakan setelah eksisi
bedah, 70-80 persen dari keloid dan bekas luka hipertrofik tidak muncul
kembali. Lembaran gel memberikan penghalang oklusif dan tampaknya
melunakkan bekas luka dengan meningkatkan hidrasi dan memiliki
pengaruh yang signifikan dalam mengurangi eritema, nyeri dan gatal-gatal
[63]. Setelah eksisi bedah lembaran silikon gel diterapkan segera setelah
kembali epitelisasi dicapai dan dipakai paling sedikit 12 jam per hari [4].
Lembar digunakan sekitar 10-12 hari dan dapat dicuci dan digunakan
kembali [64].
9.

KOMPLIKASI
a. Trauma pada keloid dapat menyebabkan erosi lesi dan menjadi sarang
infeksi bakteri.

b. Rekurensi
c. Stress psikologik jika keloid sangat luas dan menimbulkan cacat.
10.

PENCEGAHAN
Pasien dengan keloid sebelumnya atau riwayat keluarga keloid mempunyai
peningkatan risiko untuk mengembangkan bekas luka yang abnormal.
Pasien-pasien ini harus diberi konseling terhadap tindakan menindik tubuh
dan harus menghindari prosedur kosmetik elektif dengan risiko untuk
jaringan parut. Sebagaimana dibahas di atas, luka harus ditutup dengan
ketegangan minimal dan penggunaan tindakan-tindakan adjunctive setelah
eksisi bedah termasuk penggunaan lembaran gel silikon dapat mengurangi
kekambuhan.

DAFTAR PUSTAKA
Alphonso,

Marline.

2010.

Hypertrophic

scarring.

Diakses

dari

www.buzzle.com/articles/hypertrophic-scarring.html
Arinudh. 2011. Hypertrophyc Scar-Causes, Treatment and Removal. Diakses dari
www.primehealthchannel.com

Berman,

Brian.

2010.

Keloid

and

Hypertrophic

Scar.

Diakses

dari

www.medscape-medline.com
Chiu,HY., Tsai TF., 2011. Keloidal Morphea.

The New England Journal of

Medicine 364;14 edisi 28


Espana. A,. et al. 2001. Bleomycin in the Treatment of Keloid an Hypertrophic
Scars by Multiple needle Punctures. Dermatol Surg. pp. 23 27
Gauglitz, Gerd, et al. 2011. Hypertrophic Scarring and Keloids: Pathomechanisms
and Current and Emerging Treatment Strategies. Mol Med. Pp. 113 126
Ishihara,H., Yoshimoto H., Fujiko M., Murakami, R., Hirano A., Fujii T., Ohtsuru
A. Namba H., Yamashita S. 2000. Keloid Fibroblasts Resist CeramideInduced Apoptosis by Overexpression of Insulin-Like Growth Factor I
Receptor. Department of Plastic and Reconstructive Surgery Medicine,
Japan. Pp: 1065-1070
Kokoska,

Mimi.

2010.

Keloid

and

Hypertrophic

Scar.

Diakses

dari

www.medscape-medline.com
Kelly. A,. 2004. Medical and surgical therapies for keloids. Dermatologic
Therapy. Pp. 212 218
Patel R., Papaspyros SC., Javangula kC., Nair U., 2010. Presentation and
management of keloid scarring following median sternotomy: a case study.
Journal of Cardiothoracic Surgery 2010, 5:122
Robles, DT., Moore, E., Draznin M., Berg D. 2007. Keloids : Pathopysiology and
Management. Dermatology Online Journal 13 (3):9

Studdiford J., Stonehouse A., Altshuler A., Rinzler E. 2008. The Management of
Keloids: Hands-On Versus Hands-Off. Journal American Board Family
Medicine 21:149 152
Thielitz A., Vetter RW., Schultze B., Wrenger S, Simeoni L, Ansorge L,Neubert K,
Faust J, Lindenlaub P, Gollnick HPM., Reinhold D. 2008. Inhibitors of
Dipeptidyl Peptidase IV-Like Activity Mediate Antifibrotic Effects in
Normal and Keloid-Derived Skin Fibroblasts. Journal of Investigative
Dermatology 128, 855866
Thompson. Lester,. 2001. Skin Keloid. ENT Journal.
Vincent AS., Phan TT.,,Mukhopadhyay A., Lim HY., Halliwell B., Wong KP.
2008. Human Skin Keloid Fibroblasts Display Bioenergetics of Cancer
Cells Jurnal of Investigative Dermatology.Volume 128
Wolfram. Dolores, 2009. Hypertrophic Scars and Keloids - A Review of Their
Pathophysiology, Risk Factors, and Therapeutic Management. American
Society for Dermatologic Surgery. pp. 171 181

You might also like