You are on page 1of 297

Pengantar Redaksi

IKIP PGRI Bali merupakan salah satu institusi yang berkonsentrasi pada ilmu
pendidikan. Dinamika ilmu pendidikan amatlah pesat. Oleh karena itu diperlukan
wadah untuk menghimpun dan mempublikasikan perkembangan ilmu pendidikan itu.
Berdasarkan kesadaran dan komitmen civitas akademika, IKIP PGRI Bali berhasil
mewujudkan idealisme ilmiahnya melalui jurnal pendidikan Widyadari yang terbit
dua kali dalam setahun, yakni bulan April dan Oktober. Apa yang ada ditangan
pembaca yang budiman saat ini merupakan jurnal pendidikan Widyadari Nomor 17
Tahun XI April 2015.
Jurnal pendidikan Widyadari ini memiliki makna tersendiri. Penerbitan edisi
ini disebarkan baik secara internal di kampus IKIP PGRI Bali, dan juga disebarkan
pada alumni beserta komunitas akademik yang lebih luas. Jurnal pendidikan
widyadari kali ini memuat tiga belas artikel ilmiah dari dosen di lingkungan IKIp
PGRI Bali dan alumi IKIP PGRI Bali. Adanya sumbangan dari alumni kampus IKIP
PGRI Bali diharapkan memperluas cakrawala ilmiah komunitas akademik.
Semoga penerbitan jurnal pendididkan Widyadari ini menjadi wahana yang
baik untuk membangun atmosfer akademik. Akhirnya, sumbangan pemikiran, kritik,
dan saran dari pembaca diharapkan dapat memperbaiki terbitan edisi selanjutnya.

Redaksi

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi ...........................................................................

Daftar Isi .......................................................................................

ii

Peran Kepala Seko lah Terhadap Guru Bimbingan dan Konsling


(Konselor)
Dr. A.A. Ngurah Adhiputra, M.Pd ....................................................

Konseptualisasi Desain dan Pendekatan Kurikulum


Pendidikan Vokasi pada Abad 21
Dr. I Made Darmada, M.Pd...............................................................

18

Penerapan Pendekatan Kontekstual denganMetode Observasi untuk


Meningkatkan Kemampuan Menulis Wacana Deskripsi di Kalangan Siswa
Kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014
Dra. Dewa Ayu Widiasri, M.Pd ........................................................

36

Pengaruh Risiko Perusahaan dengan Konservatisma Akuntansi


Putu Diah Asrida, SE., Ak., M.Si .....................................................

51

Efektivitas Bimbingan Kelompok melalui Teknik Permainan untuk


Meningkatkan Perilaku Sosial Siswa (Studi Kuasi Eksperimen
terhadap Siswa Kelas X SMA Laboratorium (Percontohan)
UPI Bandung)
Putu Agus Semara Giri, S.Pd., M.Pd..................................................

62

Beberapa Problematika Dan Kontroversi Seputar Penggunaan


Mixed Method (Metode Campuran) dalam Penelitian
Dr. I Wayan Gunartha, M.Pd. ...........................................................

91

Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Keterampilan


Menulis Puisi Siswa Kelas Viic SMP Negeri 2 Bebandem Semester 2
Tahun Pelajaran 2014/2015
Drs.I Wayan Kerti, M.Pd .................................................................. 109
Efektivitas Psychological First Aid dalam Mengurangi Gejala
Kecemasan pada Penyintas Kecelakaan Kendaraan Bermotor
I Made Mahaardika, SH., M.Psi ........................................................ 122
Re-Brandingdan Model Aisas dalam Membangun
Kesetiaan Pelanggan Es Krim Merek Magnum
Dra. Ni Nyoman Murniasih, M.Erg, dan Ni Wayan Karlini .................. 142

iii

Penerapanpembelajaran Bioteknologi melalui Fermentasi


Jerami Padi (Oryza Satival.)Menggunakan Larutan Bio Cas
untuk Pakan Ternak Ruminansia
Drs. I Wayan Suanda, SP., M.Si dan Ni Wayan Ratnadi, S.Pd., M.Pd ... 158
Program Intervensi untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa
Kadek Suhardita .............................................................................. 175
Implementasi Model Collaborative Teamwork Learning (MCTL)
untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Fisika
Siswa Kelas Xi Mipa 4 Sma Negeri 1 Tampaksiring
Tahun Pelajaran 2014/2015
Ngakan Ketut Tresna Budi ............................................................... 197
Peningkatan Kompetensi dan Profesional Guru melalui
Penelitian Tindakan Kelas.
Drs. Pande Wayan Bawa, M.Si ........................................................ 209
Seni Pertunjukan Tari Joged Bungbung Yang Exis
Dalam
Bentuk ,Fungsi Dan Makna
Luh Putu Pancawati .........................................................

221

Penerapan Metode Inkuiri Sebagai Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar


IPS Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 9 Denpasar
Tahun pelajaran 2013/2014
Ni Wayan Widi Astuti ...................................................................... 229
Model Evaluasi CIPP Dalam Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan
(PPL) Mahasiswa Prodi Pendidikan Ekonomi/Koperasi
FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun 2014.
Ni Wayan Ary Rusitayanti ................................................................ 240
Pengaruh Komunikasi dari Bawahan Terhadap Atasan
(upward communication) untuk motivasi karyawan
Putu Dessy Fridayanthi .................................................................... 248
Pelatihan Jump Shoot dengan awalan Passing dan awalan Drible 10 repetisi 5
set terhadap ketepatan Jumpt Shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring
Ida Ayu Kade Arisanthi Dewi ........................................................... 273

iv

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

PERAN KEPALA SEKOLAH TERHADAP


GURU BIMBINGAN DAN KONSLING ATAU KONSELOR

Oleh:
Dr. A.A. Ngurah Adhiputra, MPd.
Dosen FIP. IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
Guidance teacher and counseling or counselor as a professional educator is a
bachelor (S-1) in education of guidance and counseling department and has
completed the teacher professional education program guidance and counseling or
counselor (PPG LB/K), which provides expert guidance and counseling services,
while individuals who receive guidance and counseling services are called counselee.
The existence of guidance teacher and counseling or counselor in the national
education system is expressed as one of educational qualifications, in line with the
qualifications of teachers, lecturers, learning-educators, tutors, lecturers, facilitators
and instructors (Law no. 2 20/2003, Article 1, paragraph 6). It is believed that the
principals support in the implementation and management guidance and counseling
program in schools is essential. The relationship between the principle and counselor
is very important especially in determining the effectiveness of the program.
Principals who understand well the guidance and counseling profession will: (1)
giving credence to counselors and maintaining regular communication in various
forms, (2) understanding and formalizing the role of the counselor, and (3) placing
the staffs of the school as a team or partners.
Key words: make the principles understand; freeing the counselor from irrelevant
task; counselor responsibility; building standard supervision
PENDAHULUAN
Guru profesional adalah guru yang dalam melaksanakan tugas profesi
kependidikan mampu menampilkan kinerja atas penguasan kompetensi akademik
kependidikan dan kompetensi penguasaan substansi dan/atau bidang studi sesuai
bidang ilmunya. Keberadaan Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor dalam
sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar
dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan
instruktur (UU No. 20/2003, pasal 1 ayat 6). Namun pengakuan secara eksplisit dan
kesejajaran posisi antara kualifikasi tenaga pendidik satu dengan yang lainnya tidak
1

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

menghilangkan arti bahwa setiap tenaga pendidik, termasuk konselor, memiliki


konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan seting pelayanan spesifik yang satu dan yang
lainnya mengandung keunikan dan perbedaan. Oleh sebab itu, di dalam naskah ini
konteks dan ekspektasi kinerja guru bimbingan dan konseling atau konselor
mendapatkan penegasan kembali dengan maksud untuk meluruskan konsep dan
praktik bimbingan dan konseling ke arah yang tepat. Merujuk pada Peraturan
Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru, untuk selanjutnya tenaga
pendidik di bidang bimbingan dan konseling disebut dengan Guru Bimbingan dan
Konseling atau Konselor
1.1.

Penegasan Konteks Tugas Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor


Pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal telah
dipetakan secara tepat dalam kurikulum SMP dan SMA 1975, bahkan juga pada
Kurikulum SD 1976, meskipun ketika itu masih dinamakan layanan bimbingan
dan penyuluhan, dan layanan di bidang pembelajaran yang dibingkai dalam
kurikulum, sebagaimana tampak pada gambar 1.

Wilayah
Manajemen
& Kepemimpinan

Manajemen
& Suvervisi

Wilayah
Pembelajaran
yg Mendidik

Pembelajaran
Bidang
Studi

Wilayah
Bimbingan &
Konseling yg
Memandirikan

Bimbingan &
Konseling

Gambar 01
Wilayah Pelayanan Bimbingan dan Konseling
Dalam Jalur Pendidikan Formal

Tujuan:
Perkembangan
Optimal
Tiap
Peserta
Didik

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Pada konteks kurikulum, sesungguhnya penanganan pengembangan diri


lebih banyak terkait dengan wilayah layanan guru, khususnya melalui
pengacaraan berbagai dampak pengiring (nurturant effects) yang relevan, yang
dapat dan oleh karena itu perlu dirajutkan ke dalam pembelajaran yang
mendidik yang menggunakan mata pelajaran sebagai konteks layanan.
Meskipun demikian, guru bimbingan dan konseling atau konselor memang juga
diharapkan untuk berperan-serta dalam bingkai layanan yang komplementer
dengan layanan guru, bahu membahu dengan guru termasuk dalam pengelolaan
kegiatan pengembangan diri dan ekstra kurikuler. Persamaan, keunikan, dan
keterkaitan antara wilayah layanan, konteks tugas dan ekspektasi kinerja guru
bimbingan dan konseling atau konselor dapat digambarkan seperti tampak pada
gambar 02, di mana materi pengembangan diri berada dan merupakan wilayah
komplementer antara guru mata pelajaran dan guru bimbingan dan konseling
atau konselor.

PERKEMBANGAN OPTIMAL PESERTA DIDIK


Pemenuhan standar Kemandirian
Peseta Didik; Perwujudan Diri Secara
Akademik, Vokasional, Pribadi dan
Sosial melalui Bimbingan dan Konseling
yang Memandirikan
Wilayah Layanan
Bimbingan dan Konseling
yang Memandirikan

Pemenuhan Standar Kompetensi


Lulusan; Penumbuhan Karakter yang
Kuat serta Penguasaan hard skills dan
soft skills melalui pembelajaran yang
mendidik

Penghormatan kepada
Keunikan dan
Komplementaritas
Layanan

Gambar 02

Wilayah Pembelajaran
yang Mendidik

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Keunikan Komplementalitas Wilayah Pelayanan


Guru Mata Pelajaran dan Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor
1.2. Ekspektasi Kinerja Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor
dikaitkan dengan
Jenjang Pendidikan
Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor sebagai pendidik
profesional adalah Sarjana Pendidikan (S-1) bidang Bimbingan dan Konseling
dan telah menyelesaikan program Pendidikan Profesi Guru Bimbingan dan
Konseling atau Konselor (PPG BK/K) yang memberikan layanan ahli bimbingan
dan konseling, sedangkan individu yang menerima pelayanan bimbingan dan
konseling disebut Konseli. Meskipun sama-sama berada dalam jalur pendidikan
formal, perbedaan rentang usia peserta didik pada tiap jenjang memicu tampilnya
kebutuhan pelayanan bimbingan dan konseling yang berbeda-beda pada tiap
jenjang pendidikan. Batas ragam kebutuhan antara jenjang yang satu dengan
jenjang yang lainnya tidak terbedakan sangat tajam. Dengan kata lain, batas
perbedaan antar jenjang tersebut lebih merupakan suatu wilayah. Di pihak lain,
perbedaan yang lebih signifikan, juga tampak pada sisi pengaturan birokratik,
seperti misalnya di Taman Kanak-kanak sebagian besar tugas guru bimbingan
dan konseling atau konselor ditangani langsung oleh guru kelas taman kanakkanak. Sedangkan di jenjang Sekolah Dasar, meskipun memang ada
permasalahan yang memerlukan penanganan oleh guru bimbingan dan konseling
atau konselor, namun cakupan pelayanannya belum menjustifikasi untuk
ditempatkannya guru bimbingan dan konseling atau konselor di setiap Sekolah
Dasar, sebagaimana yang diperlukan di jenjang sekolah menengah (SMP/MTs,
SMA/MA, SMK).
1.3. Keunikan dan Keterkaitan Tugas Guru Mata Pelajaran dan Guru
Bimbingan dan
Konseling atau Konselor

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Tugas-tugas pendidik untuk mengembangkan peserta didik secara utuh dan


optimal sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus dilaksanakan oleh
guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling atau konselor, dan tenaga
pendidik dan kependidikan lainnya sebagai mitra kerja. Sementara itu masingmasing pihak tetap memiliki wilayah pelayanan khusus dalam mendukung
realisasi diri dan pencapaian kompetensi peserta didik. Dalam hubungan
fungsional kemitraan antara guru bimbingan dan konseling atau konselor dengan
guru mata pelajaran, antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan rujukan
(referral). Masalah-masalah perkembangan peserta didik yang dihadapi guru
pada saat pembelajaran dirujuk kepada guru bimbingan dan konseling atau
konselor untuk penanganannya, demikian pula masalah yang ditangani guru
bimbingan

dan

konseling

atau

konselor

dirujuk

kepada

guru

untuk

menindaklanjutinya apabila itu terkait dengan proses pembelajaran mata


pelajaran atau bidang studi. Masalah kesulitan belajar peserta didik
sesungguhnya akan lebih banyak bersumber dari proses pembelajaran itu sendiri.
Ini berarti di dalam pengembangan dan proses pembelajaran bermutu, fungsifungsi bimbingan dan konseling perlu mendapat perhatian guru, dan sebaliknya,
fungsi-fungsi pembelajaran bidang studi perlu mendapat perhatian guru
bimbingan dan konseling atau konselor.
Secara rinci keterkaitan dan kekhususan pelayanan pembelajaran oleh guru
mata pelajaran dan pelayanan bimbingan dan konseling oleh guru bimbingan dan
konseling atau konselor dilukiskan dalam Tabel 01.
Tabel 01
Keunikan dan Keterkaitan Pelayanan Guru Mata Pelajaran dengan
Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor

Dimensi
1.

Wilayah Gerak

Guru Mata Pelajaran


Khususnya Sistem Pendidikan

Guru Bimbingan dan Konseling atau


Konselor
Khususnya Sistem Pendidikan Formal

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Dimensi

Guru Mata Pelajaran

Guru Bimbingan dan Konseling atau


Konselor

Formal
2.

Tujuan Umum

Pencapaian tujuan pendidikan


nasional

Pencapaian tujuan pendidikan nasional

3.

Konteks Tugas

Pembelajaran yang mendididk


melalui mata pelajaran dengan
Skenario Guru

Pelayanan yang memandirikan dengan


skenario konseli-guru bimbingan dan
konseling atau konselor.

Fokus kegiatan

Pengembangan kemampuan
penguasaan bidang studi dan
penyelesaian masalahmasalahnya.

Pengembangan potensi diri bidang pribadi,


sosial, belajar, karier, dan penyelesaian
masalah-masalahnya.

Hubungan
kerja
Target Intervensi:

Alih tangan (referral)

Alih tangan (referral)

Individual

Minim

Utama

Kelompok

Pilihan strategis

Pilihan strategis

Klasikal
Ekspektasi Kinerja:

Utama

Minim

4.

5.

Ukuran
keberhasilan

- Pencapaian Standar
Kompetensi Lulusan
- Lebih bersifat kuantitatif

Pendekatan
umum

Pemanfaatan Instructional
Effects & Nurturant Effects
melalui pembelajaran yang
mendidik.

Pengenalan diri dan lingkungan oleh Konseli


dalam rangka pengatasan masalah pribadi,
sosial, belajar, dan karier. Skenario tindakan
merupakan hasil transaksi yang merupakan
keputusan konseli.

Perencanaan
tindak
intervensi

Kebutuhan belajar ditetapkan


terlebih dahulu untuk
ditawarkan kepada peserta
didik.

Kebutuhan pengembangan diri ditetapkan


dalam proses transaksional oleh konseli,
difasilitasi oleh guru bimbingan dan konseling
atau konselor

Pelaksanaan
tindak
intervensi

Penyesuaian proses
berdasarkan respons
ideosinkratik peserta didik
yang lebih terstruktur.

Penyesuaian proses berdasarkan respons


ideosinkratik konseli dalam transaksi makna
yang lebih lentur dan terbuka.

- Kemandirian dalam kehidupan


- Lebih bersifat kualitatif yang unsurunsurnya saling terkait (ipsatif)

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Pembahasan
2.1. Peran Kepala Sekolah dalam memahami Langkah-langkah
Penegasan Indentitas Profesi
Sejarah menunjukkan terjadinya ragam pemaknaan dan pemahaman
terhadap bimbingan dan ko nseling, dan memperhadapkan konselor kepada
konflik,

ket idak-konsistenan,

dan

ket idak-kongruenan

peran.

Untuk

mempersemp it kesenjangan semacam ini perlu ada langkah penguatan dan


penegasan peran dan ident itas pro fesi. Adapun langkah-langkah tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Memahamkan Para Kepala Sekolah.
Diyakini bahwa dukungan kepala sekolah dalam implementasi dan penanganan
program bimbingan dan konseling di sekolah sangat esensial. Hubungan dengan
kepala sekolah dengan konselor sangat penting terutama di dalam menentukan
keefektifan program. Kepala sekolah yang memahami dengan baik profesi bimbingan
dan konseling akan: (1) memberikan kepercayaan kepada konselor dan memelihara
komunikasi yang teratur dalam berbagai bentuk, (2) memahami dan merumuskan
peran konselor, dan (c) menempatkan staf sekolah sebagai tim atau mitra kerja.

b. Membebaskan Konselor dari Tugas yang Tidak Relevan.


Masih ada konselor sekolah yang diberi tugas mengajar bidang studi, bahkan
mengurus hal-hal yang tidak relevan dengan bimbingan dan konseling, seperti jadi
petugas piket, perpustakaan, koperasi, dan sebagainya. Tugas-tugas ini tidak relevan
dengan latar belakang pendidikan, dan tidak akan menjadikan bimbingan dan
konseling dapat dilaksanakan secara profesional.
c. Mempertegas Tanggungjawab konselor.

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Sudah

saatnya

menegaskan

bahwa

bimbingan dan konseling

menjadi

tanggungjawab dan kewenangan konselor. Sebutan guru pembimbing sudah harus


diganti dengan sebutan Konselor. (sebagaimana sudah ditegaskan dalam UU No.
20/2003). Perlu ditegaskan bahwa konselor adalah orang yang memiliki latar
belakang pendidikan bimbingan dan konseling dan memperoleh latihan khusus
sebagai konselor, dan memiliki lisensi untuk melaksanakan layanan bimbingan dan
konseling. Pemberian kewenangan untuk melaksanakan layanan bimbingan dan
konseling didasarkan kepada lisensi dan kredensialisasi oleh ABKIN, sesuai
dengan perundang dan peraturan yang berlaku.
d. Membangun Standar Supervisi.
Tidak terpenuhinya standar yang diharapkan untuk melakukan supervisi
bimbingan dan konseling membuat layanan tersebut terhambat dan tidak efektif.
Supervisi yang dilakukan oleh orang yang tidak memahami atau tidak berlatar
belakang bimbingan dan konseling bisa membuat perlakuan supervisi bimbingan dan
konseling disamakan dengan perlakuan supervisi terhadap guru bidang studi.
Akibatnya balikan yang diperoleh konselor dari pengawas bukanlah hal-hal yang
substantif tentang kemampuan bimbingan dan konseling, melainkan hal-hal teknis
administratif. Supervisi bimbingan dan konseling mesti diarahkan kepada upaya
membina keterampilan profesional konselor seperti: (1) memahirkan keterampilan
konseling, (2) belajar bagaimana menangani isu kesulitan siswa, (3) mempraktekkan
kode etik profesi, (4) mengembangkan program komprehensif, (5) mengembangkan
ragam intervensi psikologis, dan (6) melakukan fungsi-fungsi relevan lainnya.
2.2. Apa yang dilakukan Konselor Profesional
Dengan melihat kecendrungan kehidupan dalam masyarakat dan arah
paradigma konseling, seorang konselor profesional akan melakukan/dipersyaratkan
untuk (Sunaryo, 2003: 12):
a. Menguasai pengetahuan tentang perkembangan manusia dan ragam teknik
assesment perilaku dan lingkungan.
8

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

b. Memiliki kemampuan mengantisipasi sosok perkembangan yang diharapkan


dan menguasai keterampilan psikologi untuk mengembangkan lingkungan
belajar.
c. Memiliki kompetensi tinggi dalam memahami kompleksitas interaksi individu
dan lingkungan dalam ragam konteks sosio-kultural.
d. Menguasai ragam bentuk intervensi psikologis yang tidak terbatas kepada
intervensi intrapersonal tetapi juga interpersonal dan lintas budaya.
e. Menguasai

strategi

assesment

lingkungan

dalam

kaitannya

dengan

keberfungsian psikologis individu.


f. Menguasai kompetensi teknologi informasi.
g. Memberikan layanan dalam tim yang akan mengurangi perdebatan wilayah
garapan dan duplikasi upaya,
h. Memberikan layanan konsultatif yang bersifat privat dan indipenden dalam
ragam seting.
i.

Merancang dan mengembangkan strategi intervensi dan lingkungan


perkembangan berbasis internet.

2.3. Isu Isu Profesional


Kekuatan eksisitensi suatu profesi bergantung kepada public trust (Biggs &
Blocher, 1986). Masyarakat percaya bahwa layanan yang diperlukannya itu hanya
dapat diperoleh dari konselor. Public trust akan menentukan definisi profesi dan
memungkinkan anggota profesi berfungsi dalam cara-cara profesional. Public trust
akan melanggengkan profesi karena dalam public trust terkandung keyakinan bahwa
profesi dan para anggotanya itu: (a) memiliki kompetensi dan keahlian yang
disiapkan melalui pendidikan dan latihan khusus, (b) ada perangkat aturan untuk
mengatur perilaku profesional dan melindungi kesejahtraan public, dan (c) para
anggota profesi akan bekerja dan memberikan layanan dengan berpegang kepada
standar profesi.

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Diakui bahwa di Indonesia public trust terhadap profesi konseling ini masih
sangat lemah, sehingga identitas profesi konseling-pun masih sangat lemah. Upaya
upaya yang perlu dipertimbangkan untuk memperkuat identitas profesi konseling di
Indonesia antara lain :
a. Menata organisasi asosiasi profesi konseling (ABKIN) menjadi betul-betul
sebagai organisasi profesi yang dapat menumbuhkan public trust.
b. Menetapkan tingkat pendidikan minimum untuk persyaratan konselor
profesional, misalnya tingkat pendidikan program Magister dan atau melalui
pendidikan profesi konselor.
c. Kredensial (penganugrahan surat kepercayaan) dilakukan oleh organisasi
profesi dengan standar assesment secara lokal dan nasional.
d. Pemberian kesempatan kepada para konselor yang memenuhi standar profesi
untuk melaksanakan praktek privat dan indipendent di masyarakat.
e. Menata ulang dan memasyarakatkan kode etik profesi termasuk kode etik
untuk konseling jarak jauh atau cyber counselling.
f. Memperkokoh kesejawatan antar profesi yang terkait dengan helping
relationship seperti: psikologi, dokter, pekerja sosial, dsbnya.
2.4. Tantangan dan Arah Profesional Bimbingan dan Konseling
Esensi tantangan dalam profesional bimbingan dan konseling terletak dalam
pemantapan identitas profesi bimbingan dan konseling itu sendiri. Krisis identitas
akan menimbulkan kesulitan pemantapan unjuk kerja profesional di kalangan orangorang yang mengeluti dunia bimbingan dan konseling. Pemantapan identitas profesi
bimbingan dan konseling memerlukan pemantapan dalam segi-segi sebagai berikut:
a. Wawasan profesional yang akan menjadi dasar dalam melakukan timbangan
profesional (professional judgment) dalam menentukan suatu tindakan
layanan. Apakah suatu tindakan itu profesional atau tidak profesional antara
lain terletak timbangan profesional (professional judgment) yang mendasari
tindakan itu.
10

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

b. Standarisasi tingkat pendidikan. Jika eksistensi bimbingan dan konseling yang


tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No.
20 tahun 2003 dan perangkat peraturannya serta tuntutan yang terkandung
dalam SK Menpan No. 26/89 tahun 2003 ingin dilaksanakan secara optimal
dan profesional, maka para guru pembimbing haruslah mereka yang
berkelayakan untuk melaksanakan tugas itu. Ini berarti perlu adanya standar
minimal tingkat pendidikan yang relevan yang harus dipenuhi oleh para guru
pembimbing.
c. Pemantapan bidang atau fokus garapan. Wilayah garapan bimbingan dan
konseling masih dirasakan sebagai wilayah marginal yang ditarik oleh dua
kutub, yakni kutub pekerjaan guru dan kutub pekerjaan ahli psikologi klinis.
Kondisi ini menimbulkan krisis identitas bimbingan dan konseling.
Pemantapan unjuk kerja hanya mungkin jika pemantapan bidang/fokus
garapan ini telah tercapai, kendatipun pemantapan bidang garapan ini tidak
merupakan titik akhir tetapi lebih merupakan sesuatu yang berkembang secara
berkelanjutan. Pemantapan bidang garapan ini memerlukan kajian konseptual
maupun emperik atas dasar penelitian. Konsep pendekatan atau orientasi
perkembangan dalam bimbingan dan konseling adalah suatu konsep yang
dipandang dapat membantu memantapkan fokus garapan bimbingan dan
konseling.
d. Pemantapan pendekatan dan metodologi intervensi. Keragaman tatanan dan
populasi layanan sebagai peluang pemantapan identitas profesional,
menghendaki pendekatan dan metode intervensi yang dinamik dan sejalan
dengan isu-isu yang terjadi dalam perkembangan manusia. Metode intervensi
bisa dalam bentuk konsultasi dan latihan, dan menggunakan media tertentu di
samping memberikan layanan langsung kepada individu. Pendekatan dan
intervensi kelompok tampaknya perlu lebih dimantapkan sebagai upaya
mewujudkan fungsi preventif-pengembangan yang menjadi fungsi utama

11

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

bimbingan dan konseling. Keterampilan mengajar dalam arti membantu


individu terampil dalam berpikir, memahami diri dan lingkungan, serta
memilih dan mengambil keputusan merupakan dimensi keterampilan
profesional yang perlu dimantapkan.
e. Pemantapan aturan main profesi berupa kode etik. Salah satu faktor yang
menyebabkan banyaknya intervensi pihak luar terhadap pelaksanaan
layanan bimbingan dan konseling karena ketidak jelasan kode etik profesi ini.
Kode etik merupakan perlindungan profesi dan sekaligus juga merupakan
perlindungan konsumen profesi itu. Yang lebih penting lagi ialah
implementasi kode etik oleh para anggota profesi, yang ditunjukkan dalam
kemampuan mengatur diri (self-regulation) baik sebagai seorang pribadi
maupun sebagai seorang profesional dan anggota kelompok profesi. Perilaku
mengatur diri sendiri atas dasar kode etik profesi inilah yang akan
menumbuhkan kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap profesi
bimbingan dan konseling.
Sedangkan arah peningkatan unjuk kerja profesional bimbingan dan konseling
menggambarkan adanya kecendrungan pergeseran-pergeseran konseptual maupun
praktek dalam pelaksanaan layanan profesional bimbingan dan konseling.
Kecendrungan pergeseran tersebut dapat diidentifikasikan dalam hal sebagai berikut:
a. Pergeseran dari bimbingan dan konseling sebagai pekerjaan ke arah sebagai
suatu profesi dengan ditandai adanya pengakuan secara formal tentang
eksistensi bimbingan dan konseling dalam sistem pendidikan nasional.
b. Pergeseran dari orientasi terapeutis-klinis ke arah orientasi perkembangan
dengan menjaga martabat individu dalam konteks sosial budaya.
c. Pergeseran dari populasi layanan yang terbatas kepada populasi layanan yang
lebih luas dalam berbagai tatanan dan situasi.

12

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

d. Pergeseran dari teknik dan pendekatan mekanistik ke arah pendekatan yang


dinamik, fluid, teknologis, sesuai dengan isu-isu yang muncul dalam
perkembangan manusia.
Kecendrungan pergeseran itu menghendaki peningkatan unjuk kerja
profesional bagi guru pembimbing (konselor) dalam beberapa arah sebagai berikut:
a. Pemerolehan kesadaran identitas profesional yang kuat dengan ditandai
pemerolehan tingkat pendidikan minimal dan sertifikasi.
b. Predikat konselor didasarkan atas sertifikasi yang dimiliki seseorang.
Sertifikasi diberikan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
dalam program yang disiapkan secara khusus untuk itu.

Program studi

Bimbingan dan Konseling yang ada di LPTK adalah program yang


terakreditasi dan berwenang menyiapkan tenaga konselor profesional.
c. Kelayakan sebuah lembaga penyelenggara pendidikan konselor didasarkan
pada hasil akreditasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN)
bersama-sama ABKIN. Keterlibatan ABKIN dalam melakukan akreditasi
dipandang penting karena ABKIN adalah institusi yang menetapkan
kompetensi profesional yang harus dicapai melalui program pendidikan
konselor di LPTK. Dengan sertifikasi dan akreditasi ini pekerjaan bimbingan
dan konseling akan menjadi profesional karena hanya dilakukan oleh konselor
profesional yang bersetifikat.
d. Kredensial adalah penganugrahan kepercayaan kepada konselor professional
yang menyatakan bahwa yang bersangkutan memiliki kewenangan dan
memperoleh lisensi untuk menyelenggarakan layanan professional secara
indipenden kepada masyarakat maupun di dalam lembaga tertentu. Lisensi
diberikan oleh ABKIN atas dasar permohonan yang bersangkutan, berlaku
untuk masa waktu tertentu dan dilakukan evaluasi secara periodik untuk
menentukan apakah lisensi masih bisa diberikan. Pemberian lisensi diberikan
atas hasil asesmen nasional yang dilakukan ABKIN melalui Badan

13

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Akreditasi dan Kredensialisasi Konselor Nasional. Seorang Konselor tidak


secara otomatis memperoleh kredensial, kecuali atas dasar permohonan dan
melakukan secara nyata layanan profesi bagi masyarakat atau sekolah.

Simpulan
Mengkaji kualifikasi profesional petugas bimbingan (konselor) di Indonesia
tidak dapat lepas dari eksistensi profesi bimbingan dan konseling di dalam sistem
pendidikan Indonesia. Berdasarkan GBHN tahun 1988, pendidikan di Indonesia
bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu: manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang maha Esa, berbudi pekerti luhur,
berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggungjawab, mandiri,
cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani (Sunaryo, 1989: 1).
Kata meningkatkan dalam rumusan tujuan tersebut mengandung arti bahwa
pendidikan merupakan upaya membawa manusia Indonesia mencapai kualitas hidup
yang lebih baik. Ini berarti pula bahwa pendidikan nasional Indonesia adalah upaya
membawa manusia Indonesia mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi atas
dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam konteks dan tatanan kehidupan masyarakat manapun memang
pendidikan akan selalu berhadapan dengan manusia yang sedang berada dalam proses
berkembang. Secara psikologis proses perkembangan tersebut adalah proses yang
bersifat individual. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pendidikan merupakan alat
untuk membantu manusia menjadi apa yang dapat dia lakukan dan bagaimana
seharusnya dia menjadi sesuai dengan hakekat keberadaannya. Ini mengandung arti
bahwa proses pendidikan itu adalah proses yang dialami secara individual.
Semua ciri-ciri kualitas manusia Indonesia yang tersurat dalam GBHN tahun
1988 tersebut di atas, adalah ciri-ciri yang diharapkan dimiliki oleh semua manusia
Indonesia sebagai identitas diri dan budayanya. Mengingat proses pendidikan itu
pada hakekatnya merupakan proses individual, maka pencapaian atau pemilikan

14

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

semua ciri kualitas manusia Indonesia-pun merupakan proses yang bersifat


individual. Implikasi dari pemikiran tersebut bahwa proses pendidikan umum harus
sampai kepada upaya yang dapat menyentuh dunia kehidupan individual manusia
Indonesia. Upaya ini dimaksudkan untuk membantu mereka (peserta didik)
memperhalus, menginternalisasikan dan mengintegrasikan sistem nilai dan pola
perilaku yang dipelajari melalui proses pendidikan umum.
Strategi upaya khusus yang dapat menyentuh kehidupan individual itu adalah
melalui layanan profesi bimbingan dan konseling. Sejalan dengan perkembangan
bimbingan dan konseling, pengakuan legal atas eksistensi konselor di Indonesia
terjadi dengan ditetapkannya UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Dalam pasal 1 ayat (6) dinyatakan bahwa konselor sebagai salah satu
kualifikasi pendidik. Pengakuan legal atas eksistensi konselor dalam Sistem
Pendidikan Nasional merupakan prestasi pucak dalam sejarah bimbingan dan
konseling di Indonesia. Sebagai asosiasi profesi, ABKIN (Asosiasi Bimbingan
Konseling Indonesia) ingin menegaskan dan mendeklarasikan bahwa Konselor
adalah Pendidik , dan layanan profesional yang dilakukan oleh konselor adalah
Bimbingan dan Konseling.
Pada Konvensi Nasional Bimbingan dan Konseling ke XIII tahun 2003, dan
Konvensi Divisi-Divisi ABKIN tahun 2004 merekomendasi langkah lanjut
profesional bimbingan dan konseling melalui Standarisasi Profesi. Standarisasi
tidak hanya secara Nasional tetapi juga kearah standar Internasional, yang mencakup
etik, akreditasi/sertifikasi, dan kredensialisasi. Secara konkret upaya standarisasi ini
di awali pada tahun 2002, dengan pengembangan Dasar-Standarisasi Profesi
Konseling Indonesia, sebagai kerjasama antara ABKIN dengan Dirjen Dikti.
Standar ini masih terus dikaji dan dikembangkan untuk penyempurnaan. Konvensi
Divisi-Divisi ABKIN tahun 2009 dikaji dan dikembangkan terus standarisasi
profesional konseling untuk mencapi tujuan pendidikan nasional.

15

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi Standar
Kompetensi Mata Pelajaran Sains Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Undang-undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional, 2005, RENSTRA Departemen Pendidikan
Nasional 2005-2009, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional, 2006, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru,
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Directorate General of Higher Education, Ministry of Education, 2003, Higher
Education Long Term Strategy 2003-2010. Jakarta: Directorate General of
Higher Education Ministry of Education Republic of Indonesia
Direktorat Pembinaan Akademik dan Kamahasiswaan, 2003, Pedoman Penjaminan
Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi. Jakarta: Direktorat Pembinaan
Akademik dan Kamahasiswaan. Ditjen Dikti. Depdiknas
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan
Tinggi. 2003. Naskah Akademik Standar Kompetensi Guru SD-MI. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan
Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). 2005. The Professional Counselor
Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA:
AACD.
Faiver, C., S. Eisengart, dan R. Colonna. 2004. The counselor interns handbook.
(3rd Edition). Belmont, CA: Brooks/Cole
Gardner, H. 1993. Frame of Mind: The theory of multiple intelligences . N.Y.: Basic
Books.

16

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Gysbers, N. C. dan P. Henderson. 2006. Developing and Managing your School


th
Guidance and Counseling Program (4 Ed). Alexandria, VA: ACA.
Hogan-Garcia, M. 2003. The Four Skills of Cultural Diversity Competence: a
Process for Understanding and Practice. Pacific Grove, CA.: Brooks/Cole.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4496)
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor
Schone, DA. 1983. The Reflective Practitioner: how professionals think in action.
New York: Basic Book, Inc., Publishers.
Slavin, Robert E, 2006, Educational Psychology: Theory and Practice. 8th. Boston:
Allyn and Bacon
Sternberg, RJ. 2003. Wisdom, Intelligence, and Creativity Synthesized. New York:
Cambridge University Press.
T.Raka Joni 2007. Prospek Pendidikan Profesional Guru di Bawah Naungan UU No.
14 Tahun 2005, Universitas Negeri Malang

17

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

KONSEPTUALISASI DESAIN DAN PENDEKATAN KURIKULUM


PENDIDIKAN VOKASI PADA ABAD 21
Oleh
Dr. I Made Darmada, M.Pd.
m.darmada@yahoo.com
ABSTRACT
Vocational education is one type of higher education system. Vocational education
has a special characteristic that is focusing on preparing the student to work in a
specific field. Therefore, a vocational education cannot be separated from the
world of work because world of work is considered as link that should not be
broken from the series of vocational education system. A world of work and a
vocational education are likened as a moving object with its shadows which
cannot be divided or moving separately. A vocational education is built and
developed by carefully paying attention to the needs and situations in the world of
work to satisfy the developing market demand. A vocational education cannot
stand apart from the development of world of work includes the development and
utilization of technology and its impact to paradigm demands, attitudes, and
continuous
skills.
Key Words: Vocational, Curriculum, Higher Education
1. PENDAHULUAN
Dellors dalam laporan Komisi Pendidikan di abad 21 untuk
UNESCO

(1998:22) menjelaskan bahwa untuk melaksanakan empat

perubahan besar di dunia pendidikan tersebut, dipakai dua basis landasan,


berupa : Empat pilar pendidikan: (i) learning to know, (ii) learning to do
yang bermakna pada penguasaan kompetensi dari pada penguasaan
keterampilan

menurut

Classification

of

klasifikasi

Education)

dan

ISCE

(International

Standard

ISCO

(International

Standard

Classification of Occupation), dematerialisasi pekerjaan dan kemampuan


berperan untuk menanggapi bangkitnya sektor layanan jasa, dan bekerja di
kegiatan ekonomi informal, (iii) learning to live together (withothers), dan
(iv)

learning

to

be,

serta;

belajar

sepanjang

hayat

(learning

throughoutlife).
Perubahan-perubahan mendasar pendidikan yang berlangsung di
abad 21 ini, akan meletakkan kedudukan pendidikan sebagai: (i) lembaga
18

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

pembelajaran dan sumber pengetahuan, (ii) pelaku, sarana dan wahana


interaksi antara pendidikan tinggi dengan perubahan pasaran kerja, (iii)
lembaga

pendidikan

sebagai tempat

pengembangan

budaya

dan

pembelajaran terbuka untuk masyarakat, dan (iv) pelaku, sarana dan


wahana kerjasama internasional.
ukuran survive atau tidaknya suatu negara. Kemampuan bersaing
berkaitan dengan kemampuan manajemen, penggunaan dan penguasaan
teknologi

informasi

(IT),

dan

sumber

daya

manusia

(SDM).

Diberlakukannya perjanjian General Agreement on Tariff and Trade


(GATT) yang berkembang menjadi World Trade Organization (WTO),
dibentuknya blok-blok perdagangan regional seperti European Common
Market (ECM) lalu menjadi European Economics Community (EEC),
North American Free Trade Area (NAFTA), Asean Free Trade Area
(AFTA), dan Asia Pacific Economics Cooperation (APEC) merupakan
wujud nyata era perdagangan bebas, liberal, dan terbuka.
Hal lain yang membutuhkan kewaspadaan adalah tuntutan
percepatan penciptaan Masyarakat ASEAN dalam Asean Economic
Community menjadi tahun 2015 dari rencana tahun 2020, untuk Indonesia
Malaysia, Filipina, dan Thailand. Konsekuensinya, akan terjadi aliran
perdagangan dan jasa serta pekerja lintas batas. Para pencari kerja di
ASEAN akan bersaing tidak lagi dengan sesama warga negara, tetapi
dengan negara lain di ASEAN.
Oleh karena itu, abad 21 merupakan peluang dan ancaman yang
patut dicermati serta sangat menarik untuk didiskusikan dalam berbagai
hal seputaran desain dan pendekatan kurikulum pada pendidikan vokasi.
Adapun permasalahannya dapat dirumuskan seperti berikut ini.
2. Permasalahan
Bagaimana desain

dan pendekatan kurikulum dalam pendidikan

vokasi pada abad 21?


19

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

3. Dukungan Teori
Prosser (1925) menjelaskan bahwa pendidikan vokasi memiliki
prinsip-prinsip sebagai berikut : 1) Pendidikan vokasi akan efisien jika
lingkungan di mana peserta didik dilatih merupakan replika
lingkungan dimana nanti dia akan bekerja, 2) Pendidikan vokasi yang
efektif hanya dapat diberikan di mana tugas-tugas latihan dilakukan
dengan cara, alat, dan mesin yang sama seperti yang ditetapkan di
tempat kerja. 3) Pendidikan vokasi akan efektif jika dia melatih
seseorang dalam kebiasaan berpikir dan bekerja seperti yang
diperlukan dalam pekerjaan itu sendiri.
Sayling Wen (2003) menyatakan bahwa terjadinya perubahan
dalam kualitas pendidikan masa depan. Perubahan tersebut antara lain:
(1) perubahan dari pendidikan yang berorientasi pada pengetahuan
menjadi

pengembangan ke segala arah yang seimbang, (2) dari

pembelajaran bersama yang disentralisasikan menjadi pembelajaran


yang

diindividualisasikan

yang

didesentralisasikan,

(3)

dari

pembelajaran yang terbatas pada tahapan pendidikan menjadi


pembelajaran seumur hidup dan (4) dari pengakuan diploma menjadi
pengakuan kekuatan-kekuatan nyata.
Pendidikan vokasi merupakan jenis pendidikan yang memiliki
karakteristik khusus, yakni berorientasi kepada penyiapan peserta didik
untuk bekerja dalam bidang tertentu. Untuk itu, pendidikan vokasi
tidak dapat terlepas dari keterikatannya dengan dunia kerja, karena
dunia kerja dianggap sebagai mata rantai yang tidak boleh putus dari
suatu rangkaian sistem pendidikan vokasi. Dunia kerja dan pendidikan
kejuruan ibarat benda yang bergerak dan bayangannya, keduanya tidak
dapat terpisah atau berdiri sendiri-sendiri. Pendidikan vokasi dibangun
dan dikembangkan dengan memperhatikan kebutuhan dan situasi
dunia kerja untuk dapat memenuhi tuntutan pasar yang berkembang.
Pendidikan vokasi tidak dapat menutup diri terhadap perkembangan
20

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

yang terjadi di dunia kerja, termasuk perkembangan dan pemanfaatan


teknologi dan dampaknya terhadap tuntutan keterampilan lulusannya.
(Ivan, 2008)
Dengan demikian, permintaan terhadap keterampilan kerja
yang berubah dengan sangat dinamis itu harus selalu dicermati,
dipantau, dan dijadikan sandaran atau rujukan untuk mengembangkan
pendidikan kejuruan, terutama dalam menyusun strategi pembelajaran
yang sesuai dengan perkembangan dunia kerja. Hal itu juga merupakan
upaya untuk menjaga sustainabilitas pendidikan kejuruan di tengah
arus perubahan dan perkembangan pengetahuan dan teknologi yang
berdampak

langsung

kepada

tuntutan

pengetahuan,

sikap,dan

keterampilan lulusannya. Sejak Tahun 1993 Pemerintah dalam hal ini


melalui

Departemen

Pendidikan

dan

Kebudayaan

telah

memperkenalkan kebijakan link and match, dimana kebijakan ini


dioperasionalkan dalam bentuk Pendidikan Sistem Ganda (PSG),
(Wardiman, 1998).
Pendidikan kejuruan (vokasi) tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan dunia kerja yang ada. Pengembangan tenaga kerja yang
marketable

dilakukan

oleh

pendidikan

kejuruan

berdasarkan

kebutuhan pasar (demand driven) melalui peningkatan kompetensi


lulusan. Selain itu Pendidikan kejuruan lebih dekat dengan kebutuhan
sektor industri dan mengarah kepada pemberian solusi terhadap
permasalahan ketenagakerjaan dalam memasuki era perdagangan
bebas yang menuntut kemampuan bersaing di tingkat nasional dan
internasional. Oleh karena itu kompetensi menjadi hal yang sangat
penting agar para lulusan dapat diserap di dunia kerja/industri.
Berdasarkan

Kepmendiknas

No.045/U/2002

kurikulum

pada

perguruan tinggi adalah kurikulum yang berbasis kompetensi. Karena


itu kompetensi adalah sentral yang harus dibangun dalam pendidikan
kejuruan termasuk bagaimana penetapan dan bagaimana pengukuran
kompetensinya.
21

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Pendidikan vokasi adalah pendidikan tinggi yang diarahkan


pada penguasaan keahlian terapan tertentu, yang mencakup program
pendidikan diploma 1, diploma 2, diploma 3, dan diploma 4, maksimal
setara dengan program pendidikan sarjana. Lulusan pendidikan vokasi
akan mendapatkan gelar vokasi.
(id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_vokasi).
Pendidikan vokasi tertuang dan dijelaskan dalam Peraturan
Pemerintah (PP) 2004 yang merupakan :
Merupakan pendidikan tinggi maksimal setara dengan program

sarjana yang berfungsi mengembangkan peserta didik agar memiliki


pekerjaan keahlian terapan tertentu melalui program diploma dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan nasional (Pasal 21).
Merupakan

pendidikan yang mengarahkan mahasiswa untuk

mengembangkan

keahlian

terapan,

beradaptasi pada

bidang

pekerjaann tertentu dan dapat menciptakan peluang kerja (Pasal 22


Ayat [1]).
Menganut sistem terbuka (multi-entry-exit system) dan multimakna

(berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan


watak, dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup life skill
(Pasal 22 Ayat [2]).
Pendidikan vokasi berorientasi pada kecakapan kerja sesuai dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan serta sesuai


dengan tuntutan kebutuhan lapangan kerja (Pasal 22 Ayat [3]).
Pendidikan vokasi merupakan pendidikan keahlian terapan yang

diselenggarakan di perguruan tinggi berbentuk akademi, politeknik,


sekolah tinggi, institut dan universitas (Pasal 23 Ayat [1]).
Kurikulum pendidikan vokasi merupakan rencana dan pengaturan

pendidikan yang terdiri atas standar kompetensi, standar materi,


indikator pencapaian, strategi pengajaran, cara penilaian dan
pedoman lainnya yang relevan untuk mencapai kompetensi
pendidikan vokasi (Pasal 27 Ayat [3]).
22

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Pendanaan pendidikan vokasi menjadi tanggung jawab bersama

antara

pemerintah,

pemerintah

daerah,

dunia

kerja

(dunia

usaha/industri), dan masyarakat (Pasal 38 Ayat [1]).


Peran serta masyarakat dalam pendidikan vokasi meliputi peranserta

perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan


organisasi kemasyarakatan (Pasal 39 Ayat [1]).
Dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan vokasi dapat menjamin

kerja sama dengan lembaga-lembaga lain baik di dalam maupun di


luar negeri (Pasal 40 Ayat [1]). (http://www.polteklampung.ac.id)

Menurut pendapat Gill (2000:12) vocational education is


distinguished from general general education by its higher cost of
delivery, especially at the secondary level, and by the options it opens or
closesat the secondary and postsecondary levels. pendidikan kejuruan
dibedakan dari pendidikan umumkarena biaya pendidikan yang lebih
tinggi, terutama pada tingkat menengah, dan oleh karena itu pilihan ini
membuka atau menutup pada tingkat sekunder dan pasca menengah
Menurut Ornstein (2004:10) bahwa A curriculum can be defined
as a plan for action or a written document that includes strategies for
achieving desired goals or ends. Kurikulum dapat didefinisikan sebagai
suatu rencana untuk melakukan tindakan dari suatu dokumen tertulis yang
mencakup strategi untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau
berakhirnya suatu program pembelajaran.
Selain itu menurut Saylor dalam bukunya Ornstein ( 2004 : 10)
yang berjudul

Curriculum, Foundation, Principles, and Issues

mendefinisikan kurikulum sebagai as a plan for providing sets of


learning opportunities for person to be educated .
Definisi kurikulum menurut Finch & Crunkilton (1999 : 11) adalah
the sum of learning activities and experiences that a student has under
the auspices or direction of the school
23

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Finch & Crunkilton (1997 : 23), memberikan penjelasan

dalam

proses pengembangan kurilulum pada pendidikan teknik dan vokasi


seperti pada Gambar 1 di bawah ini.

Planning The
Curriculum
- Establish a Decision
making Proses
- Collect and Assess
School-related Data
- Collect and Asses
Community-related
Data

Establishing
Curriculum Content
- Utilize Strategies to
Determine Content
- Make Curriculum
Content Decisions
-Develop Curriculum
Goals and Objectives

Implementing The
Curriculum
- Identify and Select
Materials
- Develop Materials
- Select Delivery
Strategies
- Assess the
Curriculum

Gambar 1. Pengembangan Kurikulum pada Pendidikan Vokasi


Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum
diantaranya, yaitu:
a) Kurikulum untuk Pendidikan Vokasi
(1). Kurikulum Pendidikan Tinggi Berdasarkan Sk Mendiknas 232
Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Vomor
232/U/2000 Mail menetapkan Pedoman Penyusunan Kurikulum
Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Dalam
Surat Keputusan tersebut dikemukakan struktur kurikulum.
berdasarkan tujuan belajar (1) Learning to know, (2) learning to do,
(3) learning to live together, dan (4) learning to be. Berdasarkan
pemikiran tentang tujuan belajar tersebut maka mata kuliah dalam
kurikulum perguruan tinggi dibagi atas 5 kelompok yaitu: (1) Mata.
kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) (2) Mata Kuliah
Keilmuan Dan Ketrampilan (MKK) (3) Mata Kuliah Keahlian
Berkarya (MKB) (4) Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB), dan
(5) Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB).

24

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Dalam Ketentuan Umum (7.8,9.10,11) dikemukakan deskripsi


setiap kelompok mata kuliah dalam kurikulum inti dan pada pasal 9
berkenaan dengan kurikulum institusional. Dengan mengambil
rumusan pada Ketentuan Umum, deskripsi tersebut adalah sebagai
berikut:
Keputusan Mendiknas yang dituangkan dalam SK nomor 232
tahun 2000 di atas jelas menunjukkan arah kurikulum berbasis
kompetensi walau. pun secara. eksplisit tidak dinyatakan demikian.
(Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18 Oktober 2004)
(2). Kurikulum Pendidikan Tinggi Berdasarkan SK Mendiknas

No.045/U/2002
Surat Keputusan Mendiknas nomor 045/U/2002. tentang
Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan "Kompetensi
adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang
dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh
masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan
tertentu".
Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang
pada tahap perencanaan, terutama dalam tahap pengembangan
ide

akan

dipengaruhi

oleh

kemungkinan-kemungkinan

pendekatan, kompetensi dapat menjawab tantangan yang


muncul. Artinya, pada waktu mengembangkan atau mengadopsi
pemikiran kurikulum berbasis kompetensi maka pengembang
kurikulum harus mengenal benar landasan filosofi, kekuatan dan
kelemahan pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan,
serta jangkauan validitas pendekatan tersebut ke masa depan,
karena kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan
tuntutan dunia kerja atau dunia profesi maupun dunia ilmu.
SK Mendilmas nomor 045 tahun 2002 ini memperkuat
perlunya pendekatan KBK dalam pengembangan kurikulum
pendidikan tinggi. Bahkan dalam SK Mendiknas 045 pasal 2
25

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

ayat (2) dikatakan bahwa kelima kelompok mata kuliah yang


dikemukakan dalam SK nomor 232 adalah merupakan elemenelemen kompetensi.
Selanjutnya, keputusan tersebut menetapkan pula arah
pengembangan program yang dinamakan dengan kurikulum inti
dan kurikulum institusional. Jika diartikan melalui keputusan
nornor 045 maka kurikulum inti berisikan kompetensi utama
sedangkan

kurikulum

institusional

berisikan

kompetensi

pendukung dan kompetensi lainnya. Berdasarkan SK Mendiknas


nomor 045:
Kurikulum inti yang merupakan penciri kompetensi utama,
bersifat:
a. dasar untuk mencapai kompetensi lulusan
b. acuan baku minimal mutu penyelenggaraan program studi
c. berlaku secara. nasional dan internasional
d. lentur dan akomodatif terhadap perubahan yang sangat cepat di
masa mendatang.
e. kesepakatan

bersama

antara

kalangan perguruan tinggi,

masyarakat profesi, dan pengguna lulusan


Sedangkan Kurikulurn institusional berisikan kompetensi
pendukung serta kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut
dengan kompetensi utama. (Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18
Oktober 2004).

Ada banyak model pengembangan kurikulum yang telah dipikirkan


dan dikemukakan banyak orang. Menurut Ahmad dkk (1997: 51-56) ada
beberapa model yang banyak digunakan dalam pengembangan kurikulum,
diantaranya model yang dikemukakan oleh Rogers Zais.
a) Model Pengembangan Kurikulum Rogers
26

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Ada beberapa model yang dikemukakan Rogers, yaitu jumlah dari


model yang paling sederhana sampai dengan yang komplit. Modelmodel tersebut disusun sedemikian rupa sehingga model yang
berikutnya

sebenarnya

merupakan

penyempurnaan

dari

yang

sebelumnya.

b) Model Pengembangan Kurikulum Robert Zais S.


Zais (1976 : 91) mengemukakan delapan macam model pengambangan
kurikulum. Model tersebut sebgian merupakan model yang sering
ditempuh dalam kegiatan pengembangan kurikulum sekolah. Adapun
beberapa model tersebut antara lain :

1) Model Administratif.
Model ini merupakan model pengembangan kurikulum yang
paling lama dan paling banyak digunakan. Gagasan pengembangan
kurikulum

datang

dari

para

administrator

pendidikan

dan

menggunakan prosedur administrasi. Model administrative / disebut


juga model garis staf atau model dari atas ke bawah. Kegiatan
pengembangan kurikulum dimulai dari pejabat pendidikan yang
berwenang yang membentuk panitia pengarah. Biasanya terdiri dari
pengawas pendidikan, kepala sekolah, dan staf pengajar inti. Panitia
pengarah tersebut diarahkan tugas untuk merencanakan, menyiapkan
rumusan falsafah dan tujuan umum pendidikan.
Setelah kegiatan tersebut selesai, Panitia pengarah membentuk
kelompok kerja sesuai keperluan. Para anggotanya biasanya adalah
staf pengajaran dan spesialis kurikulum. Kelompok ini bertugas
untuk menyusun tujuan-tujuan khusus pendidikan, garis besar bahan
pengajaran, dan kegiatan belajar. Hasil kerja kelompok tersebut
direvisi Panitia Pengarah, menguji coba kemudian memutuskan
pelaksanaannya. Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan
dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan
27

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

berlakunya kurikulum tersebut. Karena datangnya dari atas, maka


model ini disebut juga model Top-Down. Dalam pelaksanaannya,
diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah berjalan
beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.
2) Model Grass Root
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model
pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan
datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah.
Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam
sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi,
sedangkan model grass root akan berkembang dalam sistem
pendidikan yang bersifat desentralisasi.
Pengembangan kurikulum model dari bawah ini menuntut
adanya kerja antarguru, antar sekolah secara baik, disamping harus
juga ada kerjasama antar pihak diluar sekolah khususnya orangtua
murid dan masyarakat.
3) Model Beauchamp
Sesuai dengan namanya, model ini diformulasikan oleh GA.
Beauchamp, yaitu mengemukakan lima langkah penting dalam
pengambilan keputusan pengambangan kurikulum, yaitu :
1) Menentukan arena pengambangan kurikulum yang dilakukan,
yaitu berupa kelas, sekolah, system persekolahan regional atau
nasional.
2) Memilih dan mengikutsertakan pengembang kurikulum yang
terdiri atas spesialis kurikulum, kelompok professional, penyuluh
pendidikan dan orang awam.
3) Mengorganisasikan dan menentukan perencanaan kurikulum yang
meliputi penentuan tujuan, materi dan kegiatan belajar.
4) Melaksanakan kurikulum secara sistematis di sekolah.
5) Melakukan penilaian.
28

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

4) Model Terbalik Hilda Taba


Model yang dikemukakan Hilda (1962 : 234) ini berbeda
dengan cara lazim yang bersifat deduktif karena caranya bersifat
induktif. Itulah sebabnya ini dinamakan model terbalik. Model ini
diawali justru dengan percobaan, kemudian baru penyusunan dan
kemudian penerapan. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan antara
teori dan praktek.
Pengembangan model ini dilakukan dengan lima tahap, yaitu :
1) Menyusun unit-unit kurikulum yang ada dan diujicobakan oleh
staf pengajar.
2) Mengujicobakan untuk mengetahui kesahihan dan kelayakan
kegiatan belajar mengajar.
3) Menganalisis

dan

merevisi

hasil

ujicoba,

serta

mengkonsolidasikannya.
4) Menyusun kerangka teroritis.
5) Menyusun kurikulum yang dikembangkan secara menyeluruh dan
mengumumkannya.
5) The Systemic Action-Research Model
Model kurikulum ini didasarkan pada

asumsi bahwa

perkembangan kurikulum merupakan perubahan sosial. Hal ini


mencakup suatu proses yang melibatkan kepribadian orang tua,
siswa, guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan
kelompok dari sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi
tersebut, model ini menekankan pada tiga hal, yaitu : hubungan
insani, sekolah dan organisasi masyarakat serta wibawa dari
pengetahuan

profesional.

Penyusunan

kurikulum

dengan

memasukkan pandangan dan harapan masyarakat, dan salah satu


cara untuk mencapai hal itu adalah dengan prosedur action-research.
29

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

6) Emerging Technical Models


Perkembangan bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta
nilai-nilai efisiensi dan efektivitas dalam bisnis, juga mempengaruhi
perkembangan model kurikulum. Tumbuh kecenderungan baru yang
didasarkan atas hal itu, diantaranya :
(1) The Behavioral Analysis Model.
Menekankan penguasaan perilaku atau kemampuan. Suatu
perilaku / kemampuan yang kompleks diuraikan menjadi
perilaku yang sederhana yang tersusun secara hirarkis.
(2) The System Analysis Model.
Berasal dari gerakan efisiensi bisnis. Langkah pertama model ini
adalah menentukan spesifikasi perangkat hasil belajar yang
harus dikuasi siswa. Langkah kedua menyusun instrumen untuk
menilai ketercapaian hasil belajar tersebut. Langkah ketiga
mengidentifikasi tahap-tahap hasil yang dicapai serta perkiraan
biaya yang diperlukan. Langkah keempat membandingkan biaya
dan keuntungan dari beberapa program pendidikan.
(3) The Computer-Based Model.
Suatu

pengembangan

kurikulum

dengan

memanfaatkan

komputer. Pengembangannya dimulai dengan mengidentifikasi


seluruh unit kurikulum, tiap unit kurikulum telah memiliki
rumusan tentang hasil yang diharapkan. Kepada para siswa dan
guru diminta untuk melengkapi pertanyaan tentang unit
kurikulum tersebut. Stelah diadakan pengolahan disesuaikan
dengan kemampuan dan hasil belajar siswa disimpan dalam
komputer.
(b) Pendekatan dalam Pengembangan Kurikulum
Menurut Finch & Crunkilton (1999 : 136-141), terdapat 5
strategi/pendekatan

dalam

menentukan

dan

mengembangkan

isi

kurikulum, yaitu (1) Pendekatan Filosofis, (2) Pendekatan Instropeksi, (3)


30

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Pendekatan DACUM, (4) Pendekatan Fungsional, dan (5) Pendekatan


Analisis Tugas. Selain itu Hussaini Umar (2002) menyatakan bahwa untuk
merencanakan pendidikan termasuk didalamnya pengembangan kurikulum
dapat dilakukan dengan Teknik Delphi.
Dari beberapa pendekatan tersebut di atas dalam pengembangan
kurikulum ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan DACUM
(Development a Curriculum). Alasan dilakukan pendekatan ini karena
DACUM banyak digunakan dibeberapa negara untuk berbagai bidang
seperti pendidikan, perusahaan, serta pemerintahan dan terbukti berhasil
dengan baik Selain itu juga DACUM memiliki metode yang sangat efektif,
cepat dan biaya rendah (2008:5).

Context

Input
Curriculum Planing &
Development

Curriculum Operation &


Refinement

Product

Process

Gambar 2. Evaluasi CIPP


(c) Standar Kelulusan
Selama ini standar kelulusan yang diberlakukan oleh lembaga
pendidikan adalah standar yang dibuat oleh BSNP (BSNP di bawah
Kementerian Pendidikan Nasional) sedangkan dunia usaha/industri (Dudi)
memiliki standar kompetensi kerja SKKNI (Standar Kompetensi Kerja
31

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Nasional Indonesia) yang dikembangkan oleh Kementrakers, sehingga


kedua standar tersebut harus dipertemukan untuk menghidari mishmach
antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Gambar di bawah 3 ini
menggambarkan kemitraan antara dunia industri dengan pendidikan
berdasarkan kompetensi.

Untuk mengatasi permasalahan di atas, salah satu upaya yang dapat


dilakukan adalah melakukan penyelarasan pendidikan dengan dunia kerja.
Penyelarasan merupakan upaya penyesuaian pendidikan sebagai pemasok
SDM dengan dunia kerja sebagai penyerap SDM yang berubah sangat
dinamis. (www. Penyelarasan.kemdiknas.go.id).
Dalam upaya untuk mencapai kompetensi yang diharapkan dari dunia
industri maka pemetaan yang komprehensif menjadi sangat penting untuk
dilakuan. Pemetaan ini dapat menghasilkan matching kompetensi antara
dunia industri dengan dunia pendidikan dalam hal ini lembaga terkait. Setelah
diperoleh matching competency langkah awal yang perlu dilakukan
selanjutnya adalah pengembangan kurikulum, hal ini bertujuan agar
kompetensi yang dimiliki oleh siswa atau mahasiswa sesuai dengan
ekspektasi dunia kerja. Hal ini sejalan dengan arah kebijakan kemendikbud
32

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

dalam penyelerasan dunia kerja dengan dunia pendidikan seperti pada


Gambar 4 di bawah ini.

Gambar 4. Model Supply-Demand Tenaga Kerja


Dengan demikian pengembangan model kurikulum untuk menyiapkan
kompetensi mahasiswa program vokasi perlu untuk dikembangkan dengan
harapan: Memenuhi standar yang ditetapkan oleh dunia kerja (workforce)
untuk menghindari miss match dan under qualified, memuat tentang skill
yang dibutuhkan di masa mendatang (the future skill), serta terdapat standar
kompetensi yang harus dimiliki oleh lulusan vokasi.

4. Simpulan
1. Desain kurikulum dengan model Grass Root. Alasan dipilihnya model
tersebut adalah, (1) karena sistem pendidikan yang berlaku saat ini adalah
sistem desentralisasi, sehingga pengembangan kurikulum berlaku bottomup, (2) model ini melibatkan lembaga, instansi, dan para praktisi industri
33

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

yang aplikatif secara langsung di dunia industri sehingga mengetahui akan


kompetensi yang menjadi tuntutan industri.
2. Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan DACUM karena telah
teruji dibeberapa negara, baik digunkan di dunia pendidikan, perusahaan,
dan pemerintah.
3. Evaluasi pelaksanaan kurikulum menggunakan CIPP dan Standar
kelulusan dengan mengembangkan model kemitraan.
4. Luaran pendidikan vokasi dapat bekerja sesuai dengan Model SupplyDemand Tenaga Kerja

SUMBER :
Buku Teks :
1. Indermit S. Gill, Fred Fluitman, & Amit Dar. (2000).
Vocational Education & Training Reform. Matching Skills
to Market and Budget. Oxford University Press.
2. Finch, C. R., & Crunkilton, J. R. (1979). Curriculum
Development in Vocational and Technical Education :
Planning, Content and Implementation. Boston,
Massachusetts : Allyn & Bacon, Inc.
3. Rahn, M. L., ODriscoll, P., & Hudecki, P. (1999). Taking
off!: Sharing state-level accountability strategies. Berkeley,
CA: National Center for Research in Vocational Education.
4. DACUM Handbook . (2008)
5. Robert S. Zais. Curriculum Principles and Foundations.
(1976). Harper & Row, Publishers.
6. Hilda Taba. Curriculum Development. Theory and
Practice. (1962). Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
7. Naskah lengkap dalam Learning: the Treasure Within,
1996. Report to UNESCO of the International Comission
on Education for the Twenty-first Century. UNESCO
Publishing/The Australian National Commission for
UNESCO. 266 hal.
Jurnal Internasional :
1. Steven R. Aragon, Hui-Jeong Woo, Matthew R. The Role
of National Industry-Based Skill Standards in The
34

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Development, Implementation, and Assessment of


Community College Curriculum. Marvel University of
Illinois at Urbana-Champaign2005 Journal of Career and
Technical Education, 21(2), Spring, 2005 Page 37
Jurnal Nasional Terakreditasi :
1. Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18 Oktober 2004
Sumber Internet :
1. http://bksp-jateng.or.id, Diakses pada tanggal 17 Juni
2010, 15:38)
2. http://www.ittelkom.ac.id. Diakses pada tanggal 26
Oktober 2010
3. (id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_vokasi). Diakses pada
tanggal 10 Agustus 2010.
4. (http://www.polteklampung.ac.id). Diakses pada tanggal
10 Agustus 2010
Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan :
1. Peraturan Pemerintah (RPP) Maret 2004
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan.
3. PP UU No. 20/2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia nomor : kep.318/men /ix/2007 tentang
Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
sektor penyedia makanan dan minuman sub sektor
restoran, bar dan jasa boga bidang industri jasa boga
5. Kepmendiknas No. 232/U/2000. Tentang Kurikulum
Berbasis Kompetensi.

35

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN


METODE OBSERVASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
MENULIS WACANA DESKRIPSI DI KALANGAN SISWA
KELAS X.3 SMA NEGERI 8 DENPASAR
TAHUN PELAJARAN 2013/2014
Oleh
Dra. Dewa Ayu Widiasri, M.Pd
ABSTRACT
Writing is an active and productive language skill. Nevertheless, writing a
descriptive composition is not an easy thing for the students. Referring to the
problem elaborated in the background of the study, one of the solutions is by
appying Observation Method of Contextual Approach during the teachinglearning process. The problem of the study, then, was whether the use of The
observation method of contextual approach really could improve the X.3 students
of SMA NEGERI 8 DENPASAR in the academic year of 2013/2014s ability in
writing descriptive composition? It had been expected that the use of observation
method of contextual approach could improve the students achievement and
ability in writing descriptive composition.
The theoretical background of the study was (1) the theory of contextual
learning and (2) the theory of descriptive writing. The methods applied in this
study were: (1) the research setting, (2) the subject of the study, (3) the action
procedure, (4) data collection method and (5) data processing method.
The raw data which was the test result of Cycle I and II was processed into
standard scores using descriptive statistics served in the form of tables. Using the
data procession method , the average score in cycle I was calculated to be 54.02%
which belonged to the Less Good category, while the data in cycle II showed an
improvement in the average score of 82.27% and, thus, belonged to the Good
Category. The students mastery learning in cycle I was only 27.27 and improved
significantly into 84.09% in the cycle II.
Based on the data procession result, this study can be considered a success
since the implementation of observation method of contextual approach was able
to improve the students ability in writing descriptive composition. Therefore, the
conclusion to be drawn from the study is that the implementation of obeservation
method of contextual approach improved students ability in writing descriptive
composition of the x.3 students of sma negeri 8 denpasar in the academic year of
2013/2014.
Key Words: Observation method of contextual approach, descriptive
composition

36

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Pendahuluan
Pembelajaran bahasa merupakan alat untuk belajar berkomunikasi,
mengingat bahasa merupakan sarana komunikasi dalam masyarakat. Untuk dapat
berkomunikasi dengan baik, maka seseorang perlu belajar cara berbahasa yang
baik dan benar. Pembelajaran tersebut akan lebih baik apabila dipelajari sejak usia
dini dan secara berkesinambungan. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa
disertakan dalam kurikulum. Hal ini berarti bahwa, setiap peserta didik dituntut
agar mampu menguasai bahasa yang mereka pelajari terutama dalam penggunaan
bahasa resmi yang dipakai oleh warga negara khususnya bagi peserta didik.
Bahasa Indonesia menjadi materi pembelajaran yang wajib diberikan di setiap
jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga di perguruan tinggi. Hal ini
dilakukan agar peserta didik mampu menguasai Bahasa Indonesia dengan baik
dan benar serta mampu menerapkannya dalam kehidupan masyarakat.
Menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa yang
mendasar (berbicara, mendengar, menulis, dan membaca). Dewasa ini,
keterampilan berpikir kritis (critical thinking) dan literasi (literacy skill) sudah
menjadi

keterampilan

berbahasa

lanjutan

(advanced

linguistic

skill)

(Zainurrahman 2011: 2)
Selama ini pembelajaran menulis wacana deskripsi dilakukan secara
umum. Dalam hal ini siswa diberi sebuah teori tentang menulis deskripsi,
kemudian siswa melihat contoh, dan akhirnya siswa ditugaskan untuk menulis
wacana deskripsi secara langsung.
Fenomena yang terjadi saat ini dalam pembelajaran menulis di sekolah,
khususnya di SMA Negeri 8 Denpasar, berdasarkan hasil survei yang telah
dilaksanakan menunjukkan bahwa rendahnya hasil pembelajaran menulis siswa
kelas X.3. Hal ini dapat dilihat dari hasil evaluasi (free test) dari menulis wacana
pada kelas tersebut, di mana dari 49 orang siswa hanya 10 orang siswa yang
berhasil mencapai ketuntasan belajar yaitu dengan nilai 75 ke atas, padahal
SKBM dari menulis wacana adalah 75. Ini berarti ketuntasan klasikal baru
tercapai sebesar 20% atau dengan kata lain secara klasikal belum tercapai. Selain

37

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

itu, peneliti beranggapan bahwa metode pengajaran dan pembelajaran yang


digunakan oleh guru cenderung menggunakan metode ceramah dan kegiatan
tanya jawab yang tidak berpengaruh pada perubahan hasil pembelajaran siswa
dalam menulis. Masalah lain yang muncul, adalah siswa akan beranggapan negatif
terhadap materi menulis, karena metode yang digunakan terkesan membosankan
serta membingungkan.
Melihat kondisi demikian, maka permasalahan tersebut haruslah dapat
diminimalisasikan. Akhirnya peneliti bersama guru bidang studi Bahasa Indonesia
di SMA Negeri 8 Denpasar berusaha memberikan solusi alternatif dalam
pembelajaran menulis agar segala permasalahan serta kendala yang terdapat pada
siswa maupun guru dapat diatasi melalui pendekatan kontekstual dengan metode
observasi dalam pembelajaran.
Pendekatan

kontekstual

dengan

metode

observasi

merupakan

pembelajaran konseptual untuk membantu guru dalam penulisan wacana deskripsi


karena adanya masalah yang dialami siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar
tahun pelajaran 2013/2014.
Bertitik tolak pada permasalahan- permasalahan di atas, maka peneliti
memandang perlu untuk mengangkat topik ini menjadi sebuah penelitian dengan
judul: Pendekatan Kontekstual dengan Metode Observasi untuk Meningkatkan
Kemampuan Menulis Wacana Deskripsi oleh Siswa Kelas X.3 SMA Negeri 8
Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014. Penerapan strategi pembelajaran ini
diharapkan mampu memberikan tanggapan atas permasalahan yang diberikan oleh
pendidik. Apabila siswa mampu menjadi pelajar yang mandiri diharapkan pula
mampu menjadi pelajar yang mandiri serta mampu menciptakan suasana
pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan.
Tujuan Penelitian
Setiap suatu kegiatan tentulah mempunyai tujuan tertentu yang ingin
dicapai. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tindakan kelas ini dapat
dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus seperti berikut.

38

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan siswa dalam menulis wacana.
2 Tujuan Khusus
Selain memiliki tujuan umum, penelitian ini juga memiliki tujuan khusus.
Adapun tujuan khusus penelitian tindakan kelas ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui kemampuan siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar
tahun pelajaran 2013/2014 dalam menulis wacana deskripsi melalui
pendekatan kontekstual dengan metode observasi.
2. Untuk dapat mengetahui respon terhadap pendekatan kontekstual dengan
metode observasi dalam menulis wacana deskripsi siswa kelas X.3 SMA
Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2014/2014.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian tindakan kelas ini
dapat dibagi menjadi empat, yaitu bagi siswa, guru, sekolah, dan pengembangan
kurikulum.
1. Manfaat bagi siswa
Dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis pada umumnya,
menulis wacana deskripsi pada khususnya, serta meningkatkan kreativitas
dan keberanian siswa dalam berpikir.
2. Manfaat bagi guru
Untuk memperkaya khasanah/ wawasan metode dan strategi dalam
pembelajaran menulis, dapat memperbaiki metode yang tepat dalam
mengajar, dan dapat mengembangkan keterampilan guru Bahasa Indonesia
khususnya dalam menerapkan pembelajaran menulis wacana deskripsi
melalui pendekatan kontekstual dengan metode observasi.
3. Manfaat bagi sekolah
Dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam rangka memajukan dan
meningkatkan prestasi sekolah yang dapat disampaikan dalam pembinaan
guru

bahwa

alam

pembelajaran

menulis

wacana

deskripsi

menggunakan pendekatan kontekstual dengan metode observasi.

39

dapat

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

4. Manfaat

bagi

pengembangan

kurikulum.

Dapat

dijadikan

bahan

pertimbangan dalam rangka memajukan dan meningkatkan prestasi belajar


siswa dan kemajuan bidang pendidikan serta dapat disampaikan dalam
pembinaan guru Bahasa Indonesia, dan dapat dijadikan pertimbangan dalam
penyusunan kurikulum berikutnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian tindakan kelas ini akan dilaksanakan di SMA Negeri 8
Denpasar, khususnya di kelas X.3 karena permasalahan yang muncul di dalam
kaitannya dengan pembelajaran menulis wacana deskripsi. Dalam hal ini, peneliti
berkolaborasi dengan guru bidang studi Bahasa Indonesia, di mana peneliti
berperan sebagai perencana, pengamat, pelaksana pengumpulan data, penganalisis
data, pelapor hasil penelitian, dan selalu berada di lapangan selama proses
penelitian berlangsung.
Dalam penelitian ini akan direncanakan beberapa siklus yang dilaksanakan
selama satu kali pertemuan (2X45 Menit). Apabila dalam siklus pertama belum
mencapai hasil yang maksimal maka akan dilanjutkan dengan siklus II yang
dilaksanakan pada minggu berikutnya, dan telah mendapat persetujuan dari kepala
sekolah dan guru bidang studi Bahasa Indonesia di SMA Negeri 8 Denpasar.
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar pada
semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 44 orang siswa.
Sedangkan yang menjadi objek penelitian tindakan kelas ini adalah pembelajaran
menulis wacana deskripsi melalui pendekatan kontekstual dengan metode
observasi.
Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada tahap ini adalah:
1. Melakukan observasi awal tentang pembelajaran tentang menulis wacana
deskripsi di kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar.
2. Mengidentifikasi masalah mengenai pembelajaran menulis wacana deskripsi
di kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar.
3. Menganalisis masalah secara mendalam dengan mengacu pada teori- teori
yang relevan.

40

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

4. Menyusun bentuk tindakan yang sesuai untuk mengatasi permasalahan yang


ditemukan dengan memanfaatkan pendekatan kontekstual dengan metode
observasi pada siklus pertama.
5. Menyusun jadwal penelitian dan rancangan pelaksanaan tindakan.
6. Menyusun lembar observasi dan lembar evaluasi kerja siswa yang berupa
rubrik penilaian kerja siswa berupa tulisan deskripsi.
Pada tahap ini, peneliti dan guru menyusun:
1. Perangkat pembelajaran berupa penentuan kompetensi dasar yang akan
dicapai.
2. Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang isinya sebagai berikut.
a. Guru membuka pelajaran.
b. Guru memberikan materi tentang menulis wacana deskripsi.
c. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang
materi yang disampaikan.
d. Guru bersama dengan siswa melakukan observasi pada tempat yang
telah ditentukan.
e. Guru membagikan lembar kerja dan menugaskan siswa untuk menulis
wacana deskripsi berdasarkan pendekatan kontekstual dengan metode
observasi.

Indikator yang ingin dicapai dalam penelitian tindakan kelas ini adalah
meningkatnya kemampuan menulis wacana deskripsi pada siswa kelas X.3 SMA
Negeri 8 Denpasar melalui pengoptimalan pemanfaatan pendekatan kontekstual
dengan metode observasi. Setiap tindakan menunjukkan peningkatan indikator
tersebut dirancang dalam satu siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahap, yaitu
1) perencanaan tindakan, 2) pelaksanaan tindakan, 3) observasi dan evaluasi, dan
4) analisis dan refleksi untuk perencanaan siklus berikutnya. Tahap ini dilakukan
dengan melaksanakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah
direncanakan. Pada siklus I, direncanakan satu kali pertemuan dengan alokasi
waktu 2 X 45 menit.

41

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
N Siklus

Siklus I

Siklus II

Observasi

Perencanaan

Observasi

Perencanaan

Refleksi

Tindakan

Refleksi

Tindakan

Gambar 01 Desain Penelitian Tindakan


Adapun langkah- langkah yang ditempuh dalam pengumpulan data dengan metode tes
adalah: 1) menyusun tes, 2) menyusun format penyekoran tes, dan 3) melaksanakan tes. Untuk
lebih jelasnya, pembahasan terhadap ketiga langkah tersebut dapat dilihat pada bagian berikut
ini.
1. Menyusun Tes
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data penelitian ini adalah tes, instrumen
penelitian harus disusun dengan teliti agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu
bentuk tes yang digunakan dalam penelitiannya ini adalah tes tulis, yaitu dengan cara menyuruh
siswa membuat wacana deskripsi berdasarkan hasil observasi.
2. Menetapkan Skor
Setelah lembar jawaban siswa dikumpul, langkah selanjutnya adalah menetapkan skor.
Aspek yang dinilai dalam penetapan skor yaitu: 1) struktur wacana deskripsi, 2) hubungan antar
kalimat, 3) pemakaian kalimat efektif, 4) pilihan kata, dan 5) pemakaian ejaan
Tes dilaksanakan setiap akhir siklus di mana siswa diberikan tugas untuk menulis sebuah
wacana deskripsi. Tes dikerjakan ketika jam pelajaran Bahasa Indonesia, serta pelaksanaan tes
dilakukan dan diawasi oleh guru bidang studi Bahasa Indonesia dan peneliti.
42

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kritis. Teknik
tersebut mencakup kegiatan yang mengungkapkan kelebihan dan kekurangan kerja siswa dan
guru dalam proses belajar mengajar yang terjadi di kelas selama penelitian berlangsung. Hasil
analisis digunakan untuk menyusun rencana tindakan kelas berikutnya sesuai dengan siklus yang
ada. Analisis dilakukan oleh guru dan peneliti secara bersama- sama.

Data yang diperoleh dari penelitian ini masih merupakan skor mentah atas jawaban siswa
terhadap tes yang dikerjakan oleh siswa sebagai subjek penelitian sehingga data tersebut perlu
diolah dengan langkah- langkah sebagai berikut: (1) mengubah skor mentah menjadi skor
standar, (2) menentukan kreteria predikat, (3) kreteria ketuntasan minimal, (4) mencari skor ratarata, (5) skor maksimal ideal, dan (6) menarik kesimpulan.
Data respon siswa terhadap penerapan pendekatan kontekstual dikumpulkan melalui
angket dengan cara menyebarkan angket kepada siswa pada akhir siklus. Jumlah item dalam
angket sebanyak 10 item yang penyekorannya menggunakan skala likert 5. Angket yang
digunakan terdiri atas 5 alternatif jawaban yaitu: SS untuk pilihan sangat setuju, S untuk pilihan
setuju, KS untuk pilihan kurang setuju, TS untuk pilihan tidak setuju, dan STS untuk pilihan
sangat tidak setuju.
Data hasil wawancara dan penyebaran angket yang digunakan untuk mengetahui respon
siswa dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Data mengenai respon siswa dianalisis untuk
memperoleh gambaran tentang respon siswa terhadap proses pembelajaran yang dilaksanakan.
Skor Maksimal Ideal (SMI) respon siswa adalah 50 dan skor minimum idealnya adalah 10. Nilai
tersebut diperoleh dari penjumlahan nilai indikator respon siswa dengan 5 alternatif jawaban
respon siswa.
Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Hasil pembelajaran menulis siswa, ditandai dengan keaktifan siswa dalam mengikuti
pembelajaran menulis, serta meningkatnya kemampuan siswa dalam menghasilkan kosa
kata yang bervariasi dalam tulisan, mampu menggorganisasikan gagasan dengan baik,
munculnya kreatifitas dan imajinasi siswa dalam menyusun kalimat- kalimat menjadi
sebuah tulisan yang baik, dan ada kesesuaian antara isi tulisan dengan objek yang diamati.
2. Ketuntasan hasil belajar ditandai dengan hasil pekerjaan siswa yang telah mencapai angka
75% ke atas dari jumlah KKM yang telah ditentukan.
43

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil observasi awal menunjukkan rendahnya minat siswa ketika mengikuti kegiatan
pembelajaran di kelas. Di samping itu siswa cenderung pasif selama proses pembelajaran. Tidak
semua siswa yang aktif mengeluarkan pendapat dengan sukarela selama proses pembelajaran.
Walaupun sudah ditunjuk pun terkadang siswa masih ragu dalam mengeluarkan pendapat. Siswa
tidak memiliki kemauan untuk bekerjasama, berkreativitas untuk membahas materi pembelajaran
dan hanya menunggu penjelasan dari guru sehingga pembelajaran terlihat monoton dan tidak
efektif. Namun, dalam menyimak penjelasan guru siswa cukup serius. Begitu pula dengan
semangat siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran masih sangat cukup. Hal inilah yang
menjadi usaha awal bagi peneliti untuk menyampaikan materi pembelajaran dan sekaligus
menjadi data awal bagi peneliti dalam melakukan penelitian selanjutnya.
Dalam penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan sesuai dengan rancangan prosedur
penelitian yang sudah ditentukan. Prosedur penelitian tindakan ini terbagi dalam dua siklus
seperti yang akan diuraikan di bawah ini.
Siklus I
Adapun langkah- langkah yang dilaksanakan pada siklus I ini akan diuraikan sebagai
berikut.
Perencanaan Tindakan
Kegiatan pada tahap perencanaan yaitu membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) sesuai dengan Standar Kompetensi Dasar (lampiran 01).
Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan tindakan siklus I dilaksanakan di ruang kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar
pada tanggal 17-18 Oktober 2012 selama 2 jam pelajaran (2X45 Menit).
Berdasarkan data dari hasil siklus I, dapat disimpulkan sebagai berikut. Dari 44 orang
siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar yang mengikuti pembelajaran melalui pendekatan
kontekstual dengan metode observasi 12 orang yang mendapat nilai baik (B), dengan persentase
27,27% dan 32 orang yang mendapat nilai kurang (D), dengan persentase 72,73%. Rata- rata
nilai siswa baru mencapai 54,02. Dengan demikian dapat dikatakan tingkat ketuntasan belajar
baru dicapai sebanyak 12 orang dengan persentase 27,27%, sedangkan sebanyak 32 orang siswa
atau 72,73% belum tuntas

44

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
Selama pelaksanaan pembelajaran siklus I diadakan pengamatan yang dilaksanakan guru
pendamping untuk mengetahui respon siswa terhadap tindakan yang diberikan. Sesuai metode
pembelajaran yang digunakan oleh guru dan berdasarkan pengamatan peneliti, tampaknya siswa
mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik. Hal ini dilihat dari suasana pembelajaran yang
aktif dan menyenangkan. Namun, respon siswa terhadap metode yang yang digunakan oleh guru
masih rendah. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan peneliti melalui lembar observasi yang
menunjukkan skor 23,11 yang dikategorikan Rendah.
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh maka, terlihatlah kemampuan siswa dalam
menulis wacana deskripsi yang dapat dikategorikan kurang dan masih berada di bawah KKM
(Kriteria Ketuntasan Minimal). Sedangkan proses pembelajaran menulis wacana melalui
pendekatan kontekstual dengan metode observasi pada siklus I masih dikategorikan rendah
karena siswa masih belum mampu melaksanakan tahap- tahap pelaksanaan pembelajaran
kontekstual dengan baik.
Adapun kelemahan- kelemahan yang masih ditemukan pada pelaksanaan siklus I adalah
sebagi berikut.
a. Dalam evaluasi, siswa masih belum terampil dalam menulis wacana deskripsi.
b. Sebagian siswa masih belum memahami pendekatan kontekstual dengan metode observasi
yang diterapkan oleh peneliti.
c. Siswa masih kurang percaya diri dalam menuangkan gagasan dan menyampaikan pendapat.
d. Suasana pembelajaran yang mengarah pada pendekatan kontekstual dengan metode
observasi masih belum tercipta dengan baik karena siswa masih terbiasa belajar melalui
metode ceramah.
Selama pelaksanaan pembelajaran siklus I juga diperoleh beberapa keberhasilan,
diantaranya sebagai berikut.
a. Kreativitas siswa selama mengikuti pembelajaran meningkat walaupun tidak signifikan.
b. Semangat belajar siswa bertambah karena belajar dengan metode pembelajaran baru.
Pendekatan kontekstual dengan metode observasi ini mengajak siswa untuk selalu belajar
dari hasil pengamatan sehari-hari mereka.
Untuk memperbaiki kelemahan- kelemahan yang masih ditemui selama siklus I dan
mempertahankan serta meningkatkan keberhasilan yang sudah diperoleh, maka peneliti

45

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
merumuskan perbaikan tindakan yang akan dilaksanakan pada siklus selanjutnya, diantaranya
sebagai berikut.
a. Selama pembelajaran berlangsung, peneliti memberikan motivasi serta penguatan positif
sehingga akan mampu menambah rasa percaya diri siswa.
b. Bimbingan dengan memberi contoh yang relevan ditingkatkan sehingga siswa lebih
memahami materi pembelajaran yang diberikan.
c. Guru dan peneliti membantu serta mengarahkan siswa dalam memahami materi, serta
melaksanakan langkah- langkah pembelajaran yang diberikan.
Perencanaan tindakan siklus II dilakukan terlebih dahulu dengan melihat kelemahankelemahan yang ditemui pada siklus I. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tindakan pada
siklus II merupakan upaya perbaikan dari siklus I. Dilihat dari pelaksanaan siklus I, maka upaya
perbaikan yang dilaksanakan pada siklus II adalah sebagai berikut.
a. Guru dan peneliti memberikan lebih banyak motivasi serta penguatan positif sehingga
mampu menambah rasa percaya diri siswa.
b. Lebih intensif untuk membimbing siswa dalam melaksanakan pembelajaran melalui
pendekatan kontekstual dengan metode observasi.
c. Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sesuai dengan Standar Kompetensi
yang dikembangkan dengan melihat hasil refleksi dari siklus I.
Pelaksanaan tindakan pada siklus II ini dilaksanakan di ruang kelas X.3 SMA Negeri 8
Denpasar pada tanggal 24-25 Oktober 2014, selama 2 jam pelajaran (2 X 45 Menit) setelah
memperoleh hasil dari penelitian pada siklus I.
Selama pembelajaran pada siklus II juga dilakukan pengamatan yang dilakukan oleh guru
pendamping. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui respon siswa terhadap penerapan
pendekatan kontekstual dengan metode observasi. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui
keberhasilan pelaksanaan perbaikan terhadap hambatan- hambatan yang ditemui pada siklus
sebelumnya. Berikut akan disajikan hasil observasi melalui angket yang sudah disebarkan
kepada siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2013/2014.
Adapun keberhasilan- keberhasilan yang diperoleh pada siklus II ini antara lain sebagai
berikut.

46

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
a. Setelah penerapan pendekatan kontekstual dengan metode observasi dilaksanakan secara
efektif, kemampuan siswa dalam menulis wacana deskripsi meningkat dari siklus
sebelumnya.
b. Dengan pemberian motivasi pada penerapan pendekatan kontekstual, mampu meningkatkan
rasa percaya diri siswa dalam menuangkan gagasan mereka ke dalam sebuah wacana
deskripsi.
Selain memperoleh keberhasilan, masih ditemui juga beberapa kelemahan dimana masih
ada 7 orang siswa yang belum tuntas belajar. Namun hal ini tidak begitu berpengaruh karena
persentasenya hanya

15,90%. Dengan semakin terbiasanya siswa belajar menulis wacana

deskripsi dengan pendekatan kontekstual, maka ketuntasan belajar siswa dapat mencapai hasil
yang maksimal.
Berdasarkan analisis data menunjukan bahwa penerapan pendekatan kontekstual dengan
metode observasi mampu meningkatkan kemampuan menulis wacana deskripsi siswa. Hal ini
terlihat dari rata- rata kelas sebesar 54,02 pada siklus I yang kemudian meningkat menjadi 82,45
pada siklus II.
Peningkatan ini tidak hanya pada rata- rata kelas saja tetapi, secara individual juga
mengalami peningkatan dimana pada siklus I terdapat 12 orang siswa memperoleh nilai baik (B),
dengan persentase 27,27% dan 32 orang siswa yang mendapat nilai kurang (D), dengan
persentase 73, 73%. Sedangkan pada siklus II terdapat 6 orang siswa yang memperoleh nilai
amat baik (A), dengan persentase 13,64%, 31 orang siswa yang memperoleh nilai baik (B),
dengan persentase 70,45%, 4 orang memperoleh nilai cukup (C), dengan persentase

9, 09%,

dan 3 orang siswa yang memperoleh nilai kurang (D), dengan persentase 6,82%. Berikut akan
disajikan tabel perbandingan nilai siswa dalam menulis wacana deskripsi melalui penerapan
pendekatan kontekstual dengan metode observasi.
Berdasarkan hasil analisis data yang sudah disajikan, maka hipotesis penelitian yang
diajukan terbukti, bahwa penerapan pendekatan kontekstual dengan metode observasi secara
efektif mampu meningkatkan kemmpuan menulis wacana deskripsi siswa kelas X.3 SMA Negeri
8 Denpasar tahun Pelajaran 2013/2014. Selain meningkatkan kemampuan siswa, pendekatan
kontekstual dengan metode observasi juga mendapatkan respon yang positif, sehingga dalam
proses pembelajaran ini dapat meningkatkan keaktifan, kreativitas, dan rasa percaya diri siswa
dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
47

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar tahun
pelajaran 2013/2014 tentang penerapan pendekatan kontekstual dengan metode observasi untuk
meningkatkan kemampuan menulis wacana deskripsi, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut.
1.

Penerapan pendekatan kontekstual dengan metode observasi dapat meningkatkan hasil


belajar siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2013/2014 dalam menulis
wacana deskripsi. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata- rata pada perbandingan siklus I
dengan siklus II yang mengalami peningkatan nilai dari 54,02 menjadi 82,45.

2.

Respon siswa terhadap pendekatan kontekstual dengan metode observasi yang diterapkan
oleh guru bidang studi dalam menulis wacana deskripsi pada siswa kelas X.3 SMA Negeri
8 Denpasar mengalami peningkatan skor rata- rata dari 23,11 yang berkategori Rendah
menjadi 44,34 yang berkategori Sangat Tinggi.
Meningkatkan mutu pengajaran Bahasa Indonesia, khususnya pengajaran keterampilan

menulis wacana di Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak terlepas dari kerjasama antara guru
bidang studi dan siswa di sekolah tersebut. Berikut adalah saran- saran yang perlu penulis
sampaikan.
1. Siswa yang telah dinyatakan berhasil memperoleh nilai di atas KKM disarankan agar
mempertahankan, bahkan meningkatkan lagi penerapan pendekatan kontekstual dengan
metode observasi dalam menulis wacana deskripsi.
2. Guru bidang studi hendaknya selalu bersikaf kreatif dan inovatif dalam menciptakan
suasana pembelajaran yang menyenangkan dan mampu untuk mengajak siswa untuk terus
belajar.
3. Supaya pembelajaran lebih menarik bagi siswa, maka guru hendaknya selalu memilih dan
menerapkan metode, serta media pembelajaran yang sesuai dengan situasi ketika kegiatan
pembelajaran berlangsung.
4. Kepada seluruh pihak pemerintah yang menangani masalah pendidikan, hendaknya lebih
banyak menyiapkan program- program untuk memotivasi para guru untuk meningkatkan
kreatifitas dalam upaya mencapai keberhasilan dalam pembelajaran. Pemerintah juga
diharapkan memberikan buku- buku penujang dan sarana belajar yang memadai untuk

48

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
sekolah, sehingga tujuan pembinaan, pelestarian, dan pengembangan keterampilan
berbahasa dapat terwujud.
5. Setelah diperolehnya hasil penelitian bahwa penerapan pendekatan kontekstual dengan
metode observasi dapat memberikan hasil yang lebih baik dalam menulis wacana deskripsi,
maka sebagai tinjak lanjut disarankan agar keberhasilan itu hendaknya diteruskan sehingga
pengulangan dalam proses pembelajaran dapat diatasi. Apabila penerapan pendekatan
kontekstual dengan metode observasi mengalami perubahan hasil terhadap evaluasi belajar
siswa, maka guru dapat mengganti dengan metode lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini dkk. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Eriyanto. 2003. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS.
Johnson, Elaine B. 2011. CTL (Contextual Teaching & Learning). Bandung: Kaifa Learning.
Keraf, Gorys. 2004. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Berbahasa. Ende: Nusa Indah.
Moeliono, Anton M. (penyunting). 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Nababan, Diana. 2008. Intisari Bahasa Indonesia untuk SMA. Jakarta: Kawan Pustaka.
Nurkencana dan Sunartana. 1990. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya: Usaha Nasional.
Riyanto, Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Refrensi bagi Guru/Pendidik
dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas. Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup.
Rosidi, Imron. 2009. Menulis Siapa Takut? Panduan bagi Penulis Pemula. Yogyakarta:
Kanisius.
Saminanto. 2010. Ayo Praktik PTK (Penelitian Tindakan Kelas). Semarang: RaSAIL Media
Group.
Sapta Wigunadika, I Wayan. 2011. Kemampuan Memahami Isi Wacana yang Menggunakan
Aksara Bali Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Gianyar Tahun Pelajaran 2010/2011 Skripsi.
Denpasar: FPBS IKIP PGRI Bali.

49

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
Sastrawan, Gede Agus. 2011. Kemampuan Menulis Hasil Observasi dalam Bentuk Karangan
Deskripsi Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Abiansemal Kabupaten Badung Tahun Pelajaran
2010/2011 Skripsi. Denpasar. FPBS IKIP PGRI Bali.
Sukardi. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

50

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

PENGARUH RISIKO PERUSAHAAN DENGAN


KONSERVATISMA AKUNTANSI
Oleh:
Putu Diah Asrida
Dosen Ekonomi FPIPS IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
This research is conducted to test companys risk and conservatism
accounting. Researches for relationship between companys risks and
conservatism accounting has been widely studied, and has got some different
results or conflicting. Furthermore, this matter encourages to be done re-testing.
The companys risk was proxy with debt to equity ratio and accounting
conservatism measured by the accrual value. Sample in this research are
companies listed to stock exchanges of Indonesia which publishes annual report
and who applied conservative accounting. The result of hypothesis test indicated
that companys risk affects positive relationship with conservatism accounting.
Key Words: Companys Risk and Accounting Konservatism
A. Latar Belakang Masalah
Pasar modal adalah tempat dimana terdapat kegiatan yang erat kaitannya
dengan penawaran umum dan perdagangan efek. Di dalam pasar modal terdapat
perusahaan perusahaan yang go public yang memiliki kaitan erat terhadap efek
yang diterbitkan, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Pasar
modal sebagai penghubung antara para investor dengan perusahaan ataupun
institusi pemerintah melalui perdagangan instrumen jangka panjang seperti
obligasi, saham dan lainnya. Pemodal yang akan membeli atau menanamkan
modalnya di perusahaan akan melakukan penelitian dan analisa, mengingat segala
kondisi yang tidak pasti pada nilai perusahaan di masa mendatang, informasi
keuangan adalah salah satu cara yang dapat digunakan baik oleh pihak internal
maupun eksternal dalam pengambilan keputusan.
Berdasarkan PSAK No. 1 tujuan dari laporan keuangan adalah memberikan
informasi tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas perusahaan yang
bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka
membuat keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggung jawaban

51

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

(stewardship) manajemen atas penggunaan sumber-sumber daya yang dipercaya


kepada mereka. Standar Akuntansi Keuangan menyatakan bahwa terdapat 7
(tujuh) pengguna informasi keuangan dengan kebutuhan informasi yang berbedabeda yaitu investor, karyawan, pemberi pinjaman, pemasok dan kreditor usaha
lainnya, pelanggan, pemerintah dan masyarakat. Laporan keuangan disusun untuk
tujuan memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar pengguna. Namun
demikian, laporan keuangan tidak menyediakan semua informasi yang mungkin
dibutuhkan pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi karena secara
umum menggambarkan pengaruh keuangan dari kejadian di masa lalu, dan tidak
mewajibkan untuk menyediakan informasi non keuangan. Berhubung para
investor merupakan penanam modal berisiko ke perusahaan, maka ketentuan
laporan keuangan yang memenuhi kebutuhan investor juga akan memenuhi
sebagaian besar kebutuhan pengguna lain.
Investor membutuhkan informasi keuangan untuk pengambilan keputusan
investasi baik berupa properti, mata uang, komoditi, derivatif, saham perusahaan
atau pun asset lainnya dengan suatu tujuan untuk memperoleh keuntungan baik
jangka panjang maupun jangka pendek. Kreditor membutuhkan informasi
keuangan untuk pengambilan keputusan kebijakan kredit atas dana yang telah
dipinjamkan pada perusahaan. Baik investor maupun kreditor akan sangat
memperhatikan kinerja perusahaan di dalam aktivitas bisnisnya. Banyaknya
informasi aktivitas bisnis perusahaan yang dimiliki oleh manajemen, dapat
memicu tindakan-tindakan yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan
manajemen untuk memaksimumkan utilitasnya. Pemilik modal dalam hal ini
investor akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh
manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada.
Pemegang saham akan mengatasi permasalahan tersebut dengan melalukan
pengawasan kepada manajemen. Menurut Jensen (1986) salah satu cara untuk
memperkecil biaya pengawasan yang ditanggung oleh pemegang saham adalah
dengan melibatkan pihak ketiga dalam pengawasan tersebut. Untuk mengurangi
monitoring cost dan memperoleh pendanaan, perusahaan akan menggunakan
utang sebagai alternatif pilihan. Melalui hipotesis financial leverage dalam Chen

52

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

dan Steiner (1999) dapat dijelaskan bahwa kebijakan utang berpengaruh secara
positif dan signifikan terhadap risiko. Perusahaan menggunakan utang dalam
membiayai sebagian besar aktivanya. Peningkatan penggunaan utang akan
meningkatkan risiko dan kebangkrutan oleh karena itu kebijakan utang
berhubungan positif terhadap risiko.
Menurut Scott (1997), faktor-faktor yang mendorong manajer melakukan
aktivitas manajemen laba salah satunya adalah kontrak utang. Teori akuntansi
positif yaitu debt covenant hypothesis, memprediksikan bahwa manajer ingin
meningkatkan laba dan aktiva untuk mengurangi biaya renegosiasi kontrak utang
ketika perusahaan memutuskan perjanjian utang. Debt/Equity hypothesis yang
merupakan turunan atau pembatasan dari debt covenant menunjukkan bahwa
semakin besar rasio leverage, semakin besar pula kemungkinan perusahaan akan
menggunakan prosedur yang meningkatan laba yang dilaporkan (optimis).
Manajemen laba dapat diminimalisir dengan menerapkan kebijakan akuntansi
yang konservatif. Semakin konservatif metoda yang digunakan oleh suatu
perusahaan maka semakin kecil kecenderungan pihak manajemen melakukan
manajemen laba (Sekarmayangsari dan Wilopo: 2002).
Mengatasi permasalahan tersebut maka di dalam kontrak utang, menurut
Ahmed et al., (2002), akan memasukkan konservatisma dalam dua cara, yaitu:
Pertama, bondholders dapat secara eksplisit mensyaratkan penggunaan akuntansi
konservatif. Kedua, manajer secara implisit memberikan komitmen untuk
menggunakan akuntansi yang konservatif secara konsisten untuk membangun
reputasi sebagai perusahaan yang menyajikan laporan keuangan yang konservatif.
Pertimbangan reputasi merupakan pendorong manajer untuk tidak melanggar
konservatisma (Milgrom and Roberts: 1992, dalam Sari (2004)).
Mayangsari dan Wilopo (2002) hasil penelitiannya mendukung hipotesis
bahwa semakin tinggi tingkat konservatisma yang diterapkan perusahaan maka
semakin tinggi nilai pasar perusahaan. Indriani dan Khoiriyah (2010) menemukan
bahwa

Atribut-atribut

kualitas

pelaporan

keuangan

(relevansi

nilai,

ketepatwaktuan, dan konservatisma) merupakan representasi kualitas pelaporan


keuangan dan tidak terjadi tumpang tindih (overlap) antar ketiga atribut kualitas

53

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

pelaporan keuangan. FASB Statement of Concepts No. 2 mendefinisikan


konservatisma sebagai reaksi kehati-hatian terhadap ketidakpastian dan berusaha
untuk menjamin bahwa ketidakpastian dan risiko yang melekat dalam situasi
usaha dipertimbangkan secara memadai. Konsekuensi dari konservatisma adalah
bahwa kerugian diakui lebih cepat daripada keuntungan dan pengakuan beban
mendahului pengakuan pendapatan (dalam Lee, 2010).
Ahmed et al., (2002), menyatakan bahwa semakin besar utang perusahaan,
maka semakin besar klaim pemegang obligasi terhadap aktiva perusahaan.
Pemegang obligasi cenderung mensyaratkan lebih banyak akuntansi konservatif.
Keadaan ini akan mendesak manajemen untuk mengadopsi lebih banyak
akuntansi konservatif. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi sikap
optimisme yang terlalu berlebihan dalam melaporkan kinerjanya. Widodo (2005),
membuktikan bahwa tingkat leverage dapat berpengaruh terhadap tingkat
konservatisma akuntansi. Pada perusahaan yang mempunyai utang relatif tinggi,
kreditor mempunyai hak lebih besar untuk mengetahui dan mengawasi
penyelenggaraan operasi dan akuntansi perusahaan. Sehingga dapat dikatakan
bahwa semakin tinggi risiko perusahaan yang tercermin dalam kontrak utangnya,
harusnya

manajemen

perusahaan

akan

meningkatkan

kualitas

laporan

keuangannya dengan sangat berhati-hati (konservatif) di dalam pengambilan


keputusan. Widanaputra (2007) memperoleh hasil bahwa leverage berpengaruh
positif terhadap konservatisma akuntansi dan signifikan secara statistis pada
tingkat keyakinan 95%.
Disisi lain, Zmijewski dan Hagerman (1981) mendukung debt/equity
hypothesis, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besar debt/equity
ratio, semakin besar pula kemungkinan perusahaan akan menggunakan prosedur
(atau portofolio prosedur) yang meningkatkan laba yang dilaporkan perioda
sekarang atau laporan keuangan yang disajikan cenderung tidak konservatif.
Almilia (2004), menemukan bahwa semakin tinggi debt to total assets ratio maka
semakin besar probabilitas perusahaan akan menyajikan laporan keuangan yang
cenderung tidak konservatif atau optimis.

54

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Sari (2004), menemukan bahwa variabel LEV yang merupakan rasio utang
jangka panjang terhadap total aktiva menunjukkan hubungan yang signifikan
dengan konservatisma namun menunjukkan tanda yang berlawanan arah dengan
hipotesis, yaitu menunjukkan arah negatif. Artinya, semakin tinggi proporsi utang
jangka panjang terhadap aktiva maka semakin rendah tingkat konservatisma
perusahaan. Sari dan Adhariani (2009), mendukung debt/Equity hypothesis
dimana variabel independen leverage (DEBT) berpengaruh negatif dan tidak
signifikan terhadap konservatisma.
Penelitian tentang hubungan risiko perusahaan dengan konservatisma
akuntansi mendorong peneliti untuk melakukan pengujian kembali. Berdasarkan
latar belakang tersebut, penelitian ini ingin menguji mengenai pengaruh risiko
perusahaan pada konservatisma akuntansi.
B. Tinjauan Teoritis
Jensen dan Meckling (1976), mengembangkan agency theory, yang
menyatakan bahwa manajemen (sebagai agent) dan pemilik modal (sebagai
principal) masing-masing ingin memaksimumkan utilitynya. Mursalim (2005),
menyatakan bahwa teori keagenan dapat dipandang sebagai suatu versi dari game
theory, yang membuat suatu model kontraktual antara dua atau lebih orang
(pihak), dimana salah satu pihak disebut agent dan pihak yang lain disebut
principal. Principal mendelegasikan pertanggungjawaban atas decision making
kepada agent, hal ini dapat pula dikatakan bahwa principal memberikan suatu
amanah kepada agent untuk melaksanakan tugas tertentu sesuai dengan kontrak
kerja yang telah disepakati. Wewenang dan tanggungjawab agent maupun
principal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama. Scott (1997)
menyatakan bahwa perusahaan mempunyai banyak kontrak, misalnya kontrak
kerja antara perusahaan dengan para manajernya dan kontrak pinjaman antara
perusahaan dengan kreditornya. Kedua jenis kontrak tersebut seringkali dibuat
berdasarkan angka laba bersih, sehingga dapat dikatakan bahwa teori agensi
mempunyai implikasi terhadap akuntansi.
Agen dan prinsipal, akan berusaha untuk memaksimalkan utilitasnya masingmasing melalui informasi yang dimiliki. Tetapi agent memiliki informasi yang

55

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

lebih banyak dibanding dengan principal, sehingga menimbulkan asimetri


information. Informasi yang lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu
tindakan-tindakan yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk
memaksimumkan utilitasnya. Pemilik modal dalam hal ini investor akan sulit
untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajemen karena
hanya memiliki sedikit informasi yang ada. Pemegang saham akan mengatasi
permasalahan tersebut dengan melalukan pengawasan kepada manajemen.
Menurut Jensen (1986) salah satu cara untuk memperkecil biaya pengawasan
yang ditanggung oleh pemegang saham adalah dengan melibatkan pihak ketiga
dalam pengawasan tersebut. Untuk mengurangi monitoring cost dan memperoleh
pendanaan, perusahaan akan menggunakan utang sebagai alternatif pilihan.
Menurut Scott (1997), faktor-faktor yang mendorong manajer melakukan aktivitas
manajemen laba salah satunya adalah kontrak utang. Sweeney (1994) menemukan
bahwa perusahaan secara signifikan menaikkan laba sehingga rasio debt to equity
dan interest coverage pada frekuensi yang ditentukan. Mengatasai permasalahan
tersebut maka di dalam kontrak utang, menurut Ahmed et.al (2002), akan
memasukkan konservatisma dalam dua cara, yaitu: Pertama, bondholders dapat
secara eksplisit mensyaratkan penggunaan akuntansi konservatif. Kedua, manajer
secara implisit memberikan komitmen untuk menggunakan akuntansi yang
konservatif secara konsisten untuk membangun reputasi sebagai perusahaan yang
menyajikan

laporan keuangan

yang

konservatif.

Pertimbangan reputasi

merupakan pendorong manajer untuk tidak melanggar konservatisma (Milgrom


and Roberts: 1992, dalam Sari (2004)).
Watts (2003) menyatakan bahwa konservatisma akan membatasi manajer
untuk memasukkan bias and noise ke dalam laporan keuangan. Sehingga ketika
manajer melakukan penerapan akuntansi yang konservatif, maka akan
menghasilkan laba dan aktiva yang dapat membatasi pembayaran dividen untuk
shareholder. Dengan demikian, penggunaan akuntansi yang semakin konservatif
akan membuat semakin kecil kemungkinan adanya pembayaran dividen yang
terlalu tinggi kepada shareholders. Dalam Widanaputra (2007), langkah
manajemen di atas dapat dijelaskan melalui konsep teori prospek yang

56

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

menyatakan bahwa seorang cenderung bersifat risk averse pada kondisi yang
menguntungkan dan bersifat risk seeking pada kondisi yang merugikan. Dalam
kaitannya dengan pembagian dividen, karena manajer berada pada posisi yang
kurang menguntungkan, maka manajemen cenderung lebih berani menerima
risiko dengan cara lebih banyak mengadopsi konservatisma akuntansi.

C. Metoda Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh risiko perusahaan pada
konservatisma akuntansi. Ada dua variabel yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu: (1) Variabel independen dalam penelitian ini adalah risiko perusahaan yang
diproksikan dengan debt to equity rati.(2) Variabel dependen dalam penelitian ini
adalah konservatisma akuntansi. Pengukuran konservatisma dilakukan dengan
melihat perbedaan antara laba bersih sebelum extraordinary item ditambah
depresiasi/amortisasi dan arus kas kegiatan operasi. Semakin besar akrual negatif
yang diperoleh maka semakin konservatif akuntansi yang diterapkan. Secara
spesifik penelitian ini menggunakan net income sebelum extraordinary ditambah
dengan biaya depresiasi dikurangi operating cash flows di deflasi dengan total
aset dengan memberikan simbul CONACC. Populasi dalam penelitian ini adalah
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 20052009. Sampel dipilih dengan menggunakan metoda purposive sampling.
Selanjutnya pengumpulan data dilakukan dengan observasi non partisipan yaitu
dengan cara membaca, mengamati, mencatat serta mempelajari uraian buku-buku,
jurnal-jurnal akuntansi, Indonesian Capital market Directory (ICMD) serta
mengakses situs-situs internet yang relevan. Hipotesis dalam penelitian ini akan
dianalisis dengan menggunakan regresi berganda (uji interaksi) untuk menguji
pengaruh keberadaan komite audit pada hubungan risiko perusahaan dan
konservatisma akuntansi. Hasil analisis kemudian dinterpretasikan dan dilanjutkan
dengan menyimpulkan dan memberikan saran. Rancangan penelitian dalam
penelitian ini digambarkan pada gambar berikut:

57

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

D. Hasil Penelitian
Hipotesis penelitian ini menguji pengaruh risiko perusahaan dengan
konservatisma akuntansi. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji
analisis regresi linear sederhana. Hasil pengujian hipotesis disajikan dalam Tabel
berikut ini.

Tabel Hasil pengujian hipotesis


Unstandardized
Coefficients

Signifikansi

0,014

0,693

0,489

0,003

1,989

0,048

B
Konstan
Risk
Ajusted R

= 0,127

F-test

= 11,865

Signifikansi F

= 0,000a

Berdasarkan Tabel diatas terlihat bahwa nilai adjusted R2 adalah 0,127 atau
12,7%. Ini berarti bahwa varian variabel bebas yaitu risiko perusahaan
memengaruhi varian variabel terikat yaitu konservatisma akuntansi sebesar 12,7
persen, sedangkan sisanya 87,3 persen (100 12,7) dijelaskan oleh variabel lain
yang tidak dimasukkan dalam model. Nilai F-test digunakan untuk melihat
hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat sebesar 11,865 dengan
signifikansi 0,000a (lebih kecil dari 0,05). Hal ini berarti bahwa model yang
digunakan dalam penelitian ini adalah layak.
Dalam tabel juga menunjukkan nilai koefisien risiko perusahaan bertanda
positif sebesar 0,003 dengan signifikansi 0,048. Hal ini menunjukkan pada tingkat
keyakinan 95 persen risiko perusahaan berpengaruh positif dan signifikan secara
statistis pada konservatisma akuntansi. Ini berarti semakin tinggi risiko
perusahaan yang diproksikan dengan debt to equity maka semakin tinggi tingkat
konservatisma akuntansi. Dapat disimpulkan bahwa hasil analisis menerima
hipotesis penelitian.
58

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Persamaan statistik yang digunakan adalah sebagai berikut:


KONSVit = -0,011 + 0,003 RISKit + it................(5)
Keterangan:
KONSVi = Pengukuran konservatisma.
DEBTi = debt to equity ratio

E. Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan pengujian statistik serta pembahasan yang telah diuraikan pada
bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini menunjukkan risiko
perusahaan berpengaruh positif pada konservatisma akuntansi sebesar 0,003
dengan tingkat signifikansi 0,048. Hal yang perlu disarankan kepada perusahaan
bahwa dalam mengurangi masalah keagenan, monitoring cost dan memperoleh
pendanaan, perusahaan dapat

menggunakan utang sebagai alternatif pilihan.

Sehingga diharapkan dapat menciptakan pengelolaan perusahaan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, A.S., Duellman, S., 2007. Accounting conservatism and board of director
characteristics: An empirical analysis, Journal of Accounting and Economics
Basu, Sudipta, 1997. The Conservatism Principle and The Asymmetric
Timeliness of Earnings. Journal of Accounting and Economic. Vol. 24,
No.1: 3-37.
Belkaoui, A.R. 2000. Teori Akuntansi. Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Empat
Carter, David A., Betty J. Simkins, and W. Gary Simpsons. 2002. Corporate
Governance, Board Diversity, and Firm Value. Available at: www.ssrn.com.
(Accessed January 2010)
DeFond, M. L. dan Jiambalvo, J. 1994. Debt Convenant Violation and
Manipulation of Accruals, Journal of Accounting dan Ecconomics 17. 145176.
Dewi, A.R. 2003. Pengaruh Konservatisma Laporan Keuangan Terhadap Earnings
Response Coefficient. Simposium Nasional Akuntansi VI. 507-525.

59

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Feltham, J. dan J. Ohlson. 1995. Valuation and Clean Surplus Accounting for
Operating and Financial Analysis. Contemporary Accounting Research 11
(1995), pp.687-731.
Ghozali, Imam. 2006. Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Gideon SB Boediono. 2005. Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate
Governace dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis
Jalur. Simposium Nasional Akuntansi VIII. 172-194.
Givoly and Carla Hyan, 2000. The Changing Time Series Properties of Earnings,
Cash Flows and Accruals: Has Financial Accounting Become More
Conservative?. Journal of Accounting and Economic Vol.29: 287-320.
Hastuti, T.D. 2005.Hubungan antara Good Corporate Governance dan Struktur
Kepemilikan dengan Kinerja Keuangan (Studi Kasus padaPerusahaan yang
listing di Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi VIII. 238-247
Jensen, M. C., and Meckling, W. H. (1976). Theory of the Firm: Managerial
Behavior, Agency Costs and Ownership Structure, Journal of Financial
Economics, 3 No. 4
KNKG. 2006. Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. Komite
Nasional Kebijakan Governance. Jakarta
Lo, Eko. W. 2005. Pengaruh Tingkat Kesulitan Keuangan Perusahaan Terhadap
Konservatisma Akuntansi. Simposium Nasional Akuntansi VIII, 396-440.
Mahadwartha, Anom. 2002. Interdependensi Antara Kebijakan Leverage Dengan
Kebijakan Dividen : Perspektif Teori Keagenan. Jurnal Riset Akuntansi,
Manajemen dan Ekonomi 2. STIE Yogyakarta
Penman, S.H, dan Zhang, X.J. 2002. Accounting Conservatism, the Quality of
Earnings, and Stock Returns. The Accounting Review, 77: 237-264.
Prasetyantoko, A. 2008. Corporate Governance: Pendekatan Institusional. Jakarta:
Gramedia Pusaka Utama.
Richardson, Vernon J. (1998). Information Asymmetry an Earnings Management:
Some Evidence. Working Paper
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Bisnis. Cetakan ke 3. Bandung : Alfabeta.
Suwardjono. 2005. Teori Akuntansi : Perekayasaan Akuntansi Keuangan. Edisi
Ketiga. BPFE. Yogyakarta.

60

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Wardhani, Ratna. 2008. Tingkat Konservatisme Akuntansi Di Indonesia dan


Hubungannya Dengan Karakteristik Dewan Sebagai Salah Satu Mekanisme
Corporate Governance. Simposium Nasional Akuntansi XI.
Watts, R. L., J. L., Zimmerman. 1986. Positif Accounting Theory. New Jersey:
Prentice-Hall International Inc.
Watts, R.L. 2003. Conservatism in accounting part I: explanations and
implications. Accounting Horizons 17, 207221.
Widanaputra, A.A Gede Putu. 2007. Pengaruh Konflik Antara Pemegang Saham
dan Manajemen Mengenai Kebijakan Dividen Terhadap Koservatisma
Akuntansi. Desertasi Program Doktor Akuntansi Fakultas Ekonomi UGM
Williams. S. Mitchell. 2003. Diversity in Corporate Governance and Its Impact on
Intellectual Capital Performance in a Emerging Economy. Available at:
www.vaic-on.net. Accessed June 2009.
Zarkasyi, Wahyudin. 2008. Good Corporate Governance: Pada Badan Usaha
Manufaktur, Perbankan, dan Jasa Keuangan Lainnya. Bandung: Alfabeta
Bandung.

Biodata Penulis
Nama: Putu Diah Asrida, SE, Ak., M.Si. Pendidikan S-1, Profesi Akuntansi, dan
Magister Ekonomi Akuntansi di Universditas Udayana, Pekerjaan Dosen.
Kaprodi Pendidikan Ekonomi FPIPS IKIP PGRI Bali

61

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

EFEKTIVITAS BIMBINGAN KELOMPOK MELALUI TEKNIK


PERMAINAN UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU SOSIAL SISWA
(Studi Kuasi Eksperimen Terhadap Siswa Kelas XSMA Laboratorium
(Percontohan) UPI Bandung)
Putu Agus Semara Putra Giri
Dosen FIP IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
This research is made from consideration about the important effort in
establishment social behavior of student. To develop the social behavior to positive
course, the research did by groupguident through game as equipment in establishment
social behavior.
This research did from March 2011 until April 2011 at SMA Laboratorium
(Percontohan) UPI Bandung. In this research used quantitative approach with quasi
experimental designs, by given beginning task and final task with take sample
according to random sampling at X grade. Experiment group is XD grade students
and Control group is XB grade students.
Common representation retrieved is there increase of social behavior from
students after joined the leadership group through game technique. Through this
experiment the result retrieved is uji-t = 5,288 with 60 freedom level, with p-value =
0.000 smaller than = 0.05 so this research showing the average score of experiment
group that joined leadership group through game method is better than average score
of control gropu that didnt joined leadership group with game technique. With the
result both of the group retrieved t = 6.058 with 46.560 freedom level and p-value (2tailed) = 0.000 smaller than = 0.05, so the conclusion is service by leadership group
with game technique is more effective for increase social behavior of the students.
Keywords : Leadership Group, Game, Social behavior

PENDAHULUAN
Pentingnya perilaku prososial dalam kehidupan mayarakat membawa dampak
positif bagi pengembangan diri, masyarakat serta seluruh aspek kehidupan
didalamnya. Dampak positif tersebut terlihat pada tumbuhnya rasa kedamaian dan
keharmonisan, menyayangi antar sesama, menghargai antar sesama, sikap
nasionalisme

yang tinggi,

idialisme

yang

sehat,

yang

membawa kearah

perkembangan mayarakat sehat dan bermadani. Namun, di era globalisasi dewasa ini
bangsa Indonesia dihadapkan pada rendahnya aspek sosial pada tatanan kehidupan.
62

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Krisis pada aspek sosial sudah sampai pada bentuk yang cukup memperihatinkan.
Berbagai bentuk kemiskinan sosial banyak diperlihatkan, seperti miskin pengabdian,
kurang

disiplin,

kurang

empati

terhadap

masalah

sosial,

kurang

efektif

berkomunikasi, kurang disiplin, banyaknya pengguna narkoba seperti halnya Badan


Narkotika Nasional (BNN) mencatat pengguna narkoba di Indonesia sekitar 3,2 juta
orang, atau sekitar 1,5 persen dari jumlah penduduk negeri ini. Dari jumlah tersebut,
sebanyak 8.000 orang menggunakan narkotika dengan alat bantu berupa jarum suntik,
dan 60 persennya terjangkit HIV/AIDS, serta sekitar 15.000 orang meninggal setiap
tahun karena menggunakan napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif) lain.
(http://dunia-narkoba.blogspot.com), percobaan bunuh diri, Seperti halnya yang
terjadi pada SMK Negeri 1 Bau-Bau Nusa Tenggara Timur, salah satu siswanya
melakukan percobaan bunuh diri (Redaksi Pagi Trans 7, 13 Januari 20011),
perkelahian antar pelajar/ mahasiswa, konflik antar suku yang berujung pada adanya
korban jiwa, seperti halnya pernah terjadi di kampung daerah Ciwaringin Bogor
Tengah yang memakan satu korban nyawa, dan yang akhir-akhir ini masih teringat
oleh kita konflik di Kabupaten Pandegelang Banten yang memakan hingga tiga
korban jiwa. (http://megapolitan. kompas.com).
Untuk menangkal dan mengatasi kondisi tersebut, perlu dipersiapkan insan
dan sumber daya manusia Indonesia yang bermutu. Manusia yang bermutu, yaitu
manusia yang harmonis lahir dan batin, sehat jasmani dan rohani, bermoral, serta
dinamis. Hal ini sesuai dengan visi dan misi pendidikan nasional.
Pendukung utama bagi terciptanya sasaran pembangunan manusia Indonesia
yang berkualitas dan bermutu adalah pendidikan. Menurut Musaheri (2007 : 48),
pendidikan dalam arti luas merupakan bantuan atau pertolongan yang diberikan oleh
seseorang kepada orang lain untuk mengembangkan dan memfungsionalkan rohani
(pikiran, rasa, karsa, cipta dan budi nurani) manusia dan jasmani (pancaindera dan
keterampilan-keterampilan) manusia agar meningkat wawasan pengetahuannya.
Jadi, pendidikan tidak cukup terfokus pada aspek kognitif semata tetapi juga aspek

63

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

non kognitif. Kedua aspek ini memberi pengaruh yang cukup besar terhadap
perkembangan. Pendidikan kognitif mengembangkan aspek intelektual, sedangkan
aspek non kognitif membantu mengembangkan sikap dan keterampilan.
Kenyataan di lapangan mengindikasikan bahwa sekolah lebih mengutamakan
nilai hasil belajar/akademik dari pada pengembangan kepribadian. Persyaratan untuk
memasuki sekolah pada jenjang pendidikan tertentu menggunakan nilai UAN (Ujian
Akhir Nasional), seleksi TPA (Tes Potensi Akademik), dan persyaratan akademis
lainnya. Jarang kita mendengar ada sekolah yang menggunakan kepribadian sebagai
persyaratan diterima sebagai siswa baru pada sekolah tertentu. Akibatnya banyak
sekolah yang hanya menekankan pada bagaimana caranya agar nilai akademis anak
dapat ditingkatkan. Dampak lanjutannya adalah anak banyak diberikan les-les atau
bimbingan belajar, baik yang dilaksanakan di sekolah maupun di luar sekolah,
diselenggarakannya lomba-lomba peningkatan prestasi akademik seperti olimpiade
matematika, fisika, bologi, dan berbagai jenis lomba akademik lainnya.
Akibat dari adanya ketidakseimbangan kedua aspek pendidikan tersebut, anak
terkesan menjadi anak pintar tetapi angkuh dan meninggalkan aspek emosional.
Daniel Goleman (2003 : 48) menyatakan bahwa keberhasilan seseorang dalam
hidup, dalam hal ini keberhasilan berperilaku prososial yang positif bukan hanya
ditentukan oleh kecerdasan intelektual semata akan tetapi banyak dipengaruhi oleh
kecerdasan emosional. Banyak bukti yang memperlihatkan bahwa orang yang secara
emosional cakap mengelola perasaan dengan baik, dan yang mampu membaca serta
menghadapi perasaan orang lain dengan efektif memiliki keuntungan dalam bidang
hidup. Sebagaimana dikatakan oleh Sunaryo Kartadinata, dkk (2000 : 06) bahwa,
kebermutuan sumber daya manusia tidak hanya terletak pada kecerdasan intelektual,
tetapi juga kecerdasan sosial dan emosional. Keberhasilan atau prestasi yang dicapai
manusia masyarakat global tidak semata-mata ditentukan oleh kecerdasan intelektual
tapi juga oleh ketekunan, komitmen,

64

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Perpaduan bimbingan kelompok melalui dinamika kelompok didalamnya


terdapat permainan kelompok dimungkinkan dapat membentuk perilaku sosial anak,
karena dalam kelompok yang efektif diharapkan adanya kerjasama motivasi,
kesungguhan, disiplin dan etos kerja, kemampuan berempati, berinterelasi dan
berinterelasi.
Berdasarkan pemikiran tentang perilaku sosial tersebut maka peneliti tertarik
untuk mengangkat tema perilaku sosial ini sebagai bidang kajian. Untuk itu peneliti
bermaksud menerapkan bimbingan kelompok melalui teknik permainan untuk
meningkatkan perilaku prososial siswa.
Bimbingan kelompok merupakan upaya membantu individu dalam suasana
kelompok agar individu dapat memahami, mencegah serta memperbaiki dirinya
dengan memanfaatkan dinamika kelompok agar individu yang bersangkutan dapat
menjalani perkembangannya secara optimal. Bimbingan kelompok pada umumnya
memanfaatkan dinamika kelompok, kelompok yang dinamis adalah yang memiliki
ciri-ciri memiliki tujuan bersama, saling membina hubungan yang dinamis, bersikap
baik terhadap orang lain, memiliki kemampuan mandiri dan lain sebagainya.
Bermain untuk saat ini dilaksanakan hanya untuk menyalurkan minat, melatih
keterampilan fisik dan bersenang-senang. Program ini menurut peneliti, tanpa
disadari oleh pelakunya dapat digunakan sebagai sarana belajar, dalam hal ini belajar
untuk menyadari bahwa ia hidup dalam lingkungan sosial dengan banyak individuindividu lain disekitarnya yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut sangat
kompleks sehingga kalau individu tidak mempunyai pemahaman tentang perbedaan
tersebut akan membawa dampak yang merugikan bagi dirinya dan lingkungannya.
Aplikasi dari pemahaman tersebut dapat diketahui melalui interaksi sosialnya di
masyarakat (perilaku sosialnya). Dengan mengalami langsung bermain, peserta dapat
memetik berbagai pengalaman, seperti sikap empati, toleransi, kerjasama, dan aspekaspek sosial lainnya yang nantinya semua pengalaman tersebut dapat diterapkan
dalam interaksi sosial.

65

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

, etiket dan sikap yang baik pada orang lain, serrta kemandirian dari dari setiap
anggotanya. Permainan adalah perpaduan yang harmoni antara bimbingan kelompok
dan permainan karena keduanya memiliki kesamaan prinsip yaitu nilai kebersamaan.
Maka dengan nilai kebersamaan inilah akan terbentuknya suatu kelompok yang
dinamis dan diharapkan dalam kelompok dapat terbentuknya pola perilaku sosial
yang positif.
Menyadari begitu banyak manfaat yang diperolah setelah melaksanakan
permainan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian menggunakan
bimbingan kelompok melalui teknik permainan untuk meningkatkan perilaku
prososial siswa pada kelas X SMA Laboratorium UPI Bandung.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Perilaku Prososial
Perilaku sosial merupakan aktivitas dalam berhubungan dengan orang lain,
baik dengan teman sebaya, guru, orang tua maupun saudara-sudara anak (Syaodih &
Mubiar, 2008 ; 2.23).
Menurut Bar-Tal (1976 : 4) perilaku sosial diartikan sebagai perilaku yang
dilakukan

secara

sukarela

(valuantary)

yang

dapat

menguntungkan

atau

menyenangkan (benefit) orang lain tanpa antisipasi reward eksternal. Perilaku sosial
ini dilakukan dengan tujuan yang baik. Yang disebut dengan perilaku prososial
seperti : menolong (helping), membantu (aiding), berbagi (sharing) dan menyumbang
(donating).
Perilaku sosial yang di harapkan tentu saja prilaku yang prososial. Pengertian
perilaku prososial sebagaimana yang dikutip oleh Dayakisni & Hudaniah (2003 :
177) dari beberapa ahli sebagai berikut. Staub, Baron & Byren menyatakan bahwa
prilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima,
tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya. William (1981)
membatasi perilaku prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki
intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang

66

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis. Dalam hal ini
dapat dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan untuk membantu meningkatkan
well being orang lain.
Wispe (dalam John Wily & Sons, 1976 : 04) mengatakan behavioral consist
of a variety of acts such as helping, aiding, sharing, donating, or assisting. All
these acts can be seen as having positive social consequences and, therefore,
social psyicologists decide to call such acts prosocial behavior.
Lebih jauh lagi Eiseberg & Mussen, 1989 (dalam Dayaksini & Hudaniah,
2003 ; 177) pengertian perilaku prososial mencakup tindakan-tindakan : Sahring
(membagi), cooperative (kerjasama), donating (menyumbang), helping (menolong),
bonesty (kejujuran), generosity (kedermawanan), serta mempertimbangkan hak dan
kesejahteraan orang lain.
Rydell dan Bohlin (1997 : 829) menyatakan bahwa apek prososial menyangkut
: kedermawanan (generocity), empati (empty), memahami orang lain (understanding
of other), penanganan konflik (conflict hendling) dan suka menolong (help fullness),
serta aspek sosial (social initiative) yang terdiri dari aktif untuk melakukan inisiatif
dalam situasi sosial.
Bedasarkan batasan-batasan tersebut di atas, dapat tarik kesimpulan bahwa
perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang memberiakan konsekwensi
positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik ataupun psikologis tetapi
tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pemiliknya.
Membina hubungan dalam kelompok, anak akan belajar untuk berperan serta,
bekerja sama dan mengenal aturan yang berlaku. Sebagai pribadi, anak belajar untuk
mengenal perbedaan dan menghargai perbedaan dengan orang lain serta memberikan
bantuan yang dibutuhkan.
2. Pengertian Permainan
Istilah bermain merupakan konsep yang tidak mudah untuk dijabarkan. Di
dalam Oxford English Dictionary, tercantum sebanyak 116 definisi tentang bermain.

67

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Salah satu contoh, ada ahli yang mengatakan bermain sebagai kegiatan yang
dilakukan berulang-ulang demi kesenangan. Piaget, 1951 (Andang Ismail, 2006 : 13).
Tetapi, ahli lain membantah pendapat tersebut karena adakalanya bermain bukan
dilakukan semata-mata demi kesenangan, melainkan ada sasaran lain yang ingin
dicapai, yaitu prestasi tertentu. Banyak keterangan yang simpang siur dan saling
bertentangan. Karena itu, untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif
mengenai bermain, perlu memandang bermain sebagai tali yang merupakan untaian
serat dan benang-benang yang terjalin menjadi satu. Mayke, 2001 (Andang Ismail,
2006 : 13).
Bermain dapat dikatagorikan sebagai media pembelajaran dan pengembangan
perilaku sosial anak karena permainan menurut Russ (Nandang Rusmana, 2009 : 1314) bahwa bermain akan memperoleh berbagai pengetahuan yang sangat penting
untuk keberlangsungan hidup tanpa harus merasa jenuh ketika dalam prosesnya
mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang baru tersebut.
Pada dasarnya bermain memiliki dua pengertian yang harus dibedakan.
Bermain menurut pengertian pertama dapat berakna sebagaisebuah aktivitas yang
murni mencari kesenangan tanpa mencari menang-kalah (play). Sedangkan yang
kedua disebut sebagai aktivitas bermain yang dilakukan dalam rangka mencari
kesenangan dan kepuasan, namun ditandai dengan adanya pencarian menang-kalah
(games). Dengan demikian, pada dasarnya setiap aktivitas bermain selalu didasarkan
pada perolehan kesenangan dan kepuasan sebab fungsi utama bermain adalah untuk
relaksasi dan menyegarkan kembali (refreshing) kondisi fisik dan mental yang berada
di ambang ketegangan.
Sehubungan dengan bermain dapat bermakna sebagai play dan games, maka
perlu menjadi bahan pertimbangan dalam menarik definisi adalah proses yang
menyebabkan berlangsungnya aktivitas tersebut. Pada pengertian pertama, bermain
sebagai play bisa jadi merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang tanpa
melibatkan kehadiran orang lain sehingga total kesenangan dan kepuasan itu datang

68

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

dari diri sendiri. Sedangkan pihak lain yang terlibat dapat merupakan unsur penghibur
saja. Contoh dari aktivitas bermain sebagai play adalah bermain konstruktif atau
destruktif dan melamun.
Pada pengertian kedua, bermain sebagai games, kesenangan, dan kepuasan
yang diperoleh seseorang harus melibatkan kehadiran orang lain. Tanpa hadirnya
pihak kedua (sebagai lawan), maka games tidak akan terjadi sebab games hanya akan
berlaku jika ada unsur sportifitas, aturan, dan menang-kalah. Artinya, seseorang akan
memperoleh kesenangan dan kepuasan setelahnya mampu mengungguli atau
menaklukan pihak lawan. Dengan demikian bermain sebagai games merupakan
aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka memperoleh kesenangan dan
kepuasan setelahnya mengungguli kemampuan lawan mainnya.
3. Permainan Sebagai Teknik Terapi
Proses bermain telah digunakan oleh para terapis untuk menimbulkan
perubahan, sekalipun caranya tidak sistematik. Proses-proses kognitif, afektif dan
interpersonal dari bermain dapat mempermudah kemampuan-kemampuan adaptif,
seperti berfikir kreatif, pemecahan masalah, penanganan dan perilaku sosial anak.
Kemampuan-kemampuan adaptif ini penting bagi penyesuaian diri anak dan bermain
menjadi hal yang paling efektif dengan menargetkan proses-proses yang spesifik.
Andang Ismail (2006 : 23) mengatakan bahwa bermain dapat merupakan
suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa menggunakan alat yang dapat
menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberikan kesenangan,
maupun mengembangkan imajinasi anak. Sehingga, melalui bermain anak dapat
mengungkapkan sikapnya yang negatif atau positif terhadap orang lain.
Bermain merupakan cara yang paling baik untuk mengembangkan
kemampuan para peserta didik. Dengan bermain secara alamiah anak akan bisa
menemukan dan mengenali lingkungannya, orang lain, dan dirinya sendiri. Lebih dari
itu, bermain juga dapat meningkatkan kecerdasan anak untuk berfikir, memiliki
keterampilan motorik, berjiwa seni, sosial, serta berparadigma religius.

69

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Menurut Russ, 2004 (dalam Nandang Rusmana, 2009 : 17) bahwa intervensi
terapi bermain dapat memiliki dua tipe umum, yaitu 1) intervensi sebagai medium
untuk berubah artinya proses bemain dalam terapi digunakan untuk menimbulkan
perubahan, misalnya, ekspresi emosi dalam bermain, 2) intervensi yang memperkuat
proses bermain, misalnya,

anak-anak yang mengekspresikan emosi yang tidak

terkontrol, maka melalui pengembangan kemampuan bercerita dan kemampuan


naratif dapat membantu anak mengatur emosinya.
Bermain itu penting bagi perkembangan anak maupun dalam psikoterapi
anak. Bermain melibatkan kepura-puraan, penggunaan fantasi dan khayalan, dan
penggunaan simbolisme. Russ, 2000 (dalam Nandang Rusmana, 2009 : 17)
menyatakan bahwa bermain pura-puraan adalah suatu perilaku simbolik yang
dilakukan dengan perasaan dan intensitas emosional, sehingga afeksi itu terjalin
dengan bermain pura-pura.
Menurut Elizabeth B. Hurlock, 1999 (dalam Andang Ismail, 2006 : 29)
menyatakan bahawa, bermain merupakan proses terapi hal tersebut dikarena adanya
bebrapa pengaruh yang ditimbulkan dari bermain, seperti halnya :
a. Perkembangan

fisik.

Bermain

aktif

penting

bagi

anak

untuk

mengembangkan otot dan melatih seluruh bagian tubuhnya. Bermain juga


berfungsi sebagai penyalur tenaga yang berlebihan, yang bila terpendam
terus akan membuat anak tegang, gelisah, dan mudah tersinggung.
b. Dorongan berkomunikasi. Agar dapat bermain dengan baik bersama anak
lain, anak harus belajar berkomunikasi.
c. Penyaluran bagi energi emosional yang terpendam. Bermain merupakan
sarana bagi anak untuk menyalurkan ketegangan yang disebabkan oleh
pembatasan lingkungan terhadap perilaku mereka.
d. Penyaluran bagi kebutuhan dan keinginan.

70

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

e. Sumber belajar. Bermain memberi kesempatan untuk mempelajari


berbagai hal yang tidak diperoleh anak dari belajar di rumah ataupun di
sekolah.
f. Rangsangan bagi kreativitas.
g. Perkembangan wawasan diri. Dengan bermain anak mengetahui tingkat
kemampuan dibandingkan teman bermainnya. Ini memungkinkan mereka
untuk mengembangkan konsep dirinya dengan lebih pasti dan nyata.
h. Belajar bersosialisasi, sehingga mampu belajar bagaimana membentuk
hubungan sosial dan memecahkan permasalahan yang dihadapi.
i.

Standar moral, dimana anak memahami sebuah nilai-nilai baik dan buruk.

j.

Belajar bermain sesuai dengan peran jenis kelamin.

k. Perkembangan ciri kepribadian yang diinginkan. Dari hubungan dengan


anggota kelompok teman sebaya dalam bermain, anak belajar bekerja
sama, murah hati, jujur, sportif dan disukai orang.
4. Pengertian Bimbingan Kelompok
Bimbingan (guidance) merupakan salah satu bidang dan program dari
pendidikan, dan program ini ditujukan untuk membantu mengoptimalkan
perkembangan siswa. Program tesebut terutama dalam upaya membantu peserta didik
menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi dan perencanaan masa depan seperti
yang dikemukakan Tolbert dan Jones (dalam Nana Syaodih S, 2007 : 08). Menurut
Tolbert :
Bimbingan adalah seluruh program atau semua kegiatan dan layanan dalam
lembaga pendidikan yang diarahkan pada membantu individu agar mereka
dapat menyusun dan melaksanakan rencana serta melakukan penyesuaian diri
dalam semua aspek kehidupan sehari-hari.
Menurut Shertzer dan Stone (dalam yusuf, 2009 : 6) mengertikan bimbingan
sebagai ...process of helping an individual to understand himself and his

71

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

world (proses pemberian bantuan kepada individu agar mampu memahami


diri dan lingkungannya).
Pengertian diatas menyiratkan bahwa bimbingan itu mencakup : a) suatu
proses bantuan yang diberikan kepada individu, b) suatu proses yang berkelanjutan,
c) upaya yang diberikan kepada individu kepada individu agar dapat memahami,
menerima, mengarahkan dirinya serta merealisasikan dirinya dengan lingkungannya,
d) bimbingan diberikan agar individu mencapai kebahagiaan dalam kehidupannya.
Menurut Rochman Natawijaya (2009 : 36-37) bahwa, bimbingan kelompok
dimaksudkan untuk mencegah berkembangnya masalah atau kesulitan pada diri klien,
isi kegiatan bimbingan kelompok terdiri atas penyampaian informasi yang berkenaan
dengan masalah pendidikan,

pekerjaan, pribadi dan masalah sosial yang tidak

disajikan dalam bentuk pelajaran.


Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa konsep bimbingan
kelompok sebagai suatu sistem didalamnya tersirat makna tujuan, sasaran dan sifat
hubungan yang perlu dibangun oleh konselor dan klien. Dengan kata lain bahwa
bimbingan kelompok ditujukan bagi individu; memiliki sifat suasana kelompok
(dinamika kelompok); diarahkan untuk pencegahan; kemudahan perkembangan dan
pertumbuhan serta penyembuhan.
5. Prosedur dan Langkah-langkah
Sebagaimana yang dikatakan oleh Nandang Rusmana (2009:37) tidak ada
langkah-langkah baku yang dapat diterapkan dalam bimbingan kelompok. Langkahlangkah dalam bimbingan kelompok ditentukan oleh orientasi teoritis yang menjadi
dasar penerapan model. Dalam hal ini yang menjadi dasar penerapan bimbingan
kelompok

yaitu model konseling kelompok yang dikemukakan oleh Gladding

(1995). Menurut Gladding (dalam Nandang Rusmana, 2009 : 37) ada empat langkah
utama yang harus ditempuh dalam melaksanakan konseling kelompok, yaitu : a)
langkah awal (Beginning a Group); b) langkah Transisi (The Transition Stage in a
Group); c) langkah kerja (The working Stage in a Group); dan d) langkah terminasi

72

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

(Termination of a Group). Menurut Gladding (1999) empat langkah konseling yang


dikemukakannya selaras dengan langkah-langkah dinamika kelompok dari Tuckman,
yakni forming, storming, norming, performing, dan enjourning.
a. Tahap Awal (Beginning a Group)
Menurut Gladding (1999) langkah awal konseling (beginning) parallel
dengan langkah pembentukan kelompok (forming) dari Tuckman. Dalam
pelaksanaan pembentukan kelompok konselor perlu mempertimbangkan :
1) tahapan-tahapan pembentukan kelompok (step in the forming stage); 2)
tugas-tugas pembentukan kelompok (task of beginning group); 3) potensi
masalah pembetukan kelompok(resolving potenstial group in forming); 4)
prosedur pembentukan kelompok (useful procedures for beginning stages
of agroup).
1) Tahapan-tahapan pembentukan kelompok
Pembentukan kelompok merupakan tahap yang peling penting
dalam proses konseling kelompok. Menurut Gladding (1999)
keberhasilan dalam melakukan pembentukan kelompok akan
asangat menentukan efektivitas konseling. Oleh karena itu
konselor perlu melaksanakan pembentukan kelompok dengan
langkah-langkah dan tahapan yang akurat, sistematis dan
berkesinambungan.
Menurut Gladding (1999) ada beberapa hal yang perlu dilakukan
dalam melaksanakan proses pembentukan kelompok yakni : a)
mengembangkan

alas

an-alasan

pembentukan

kelompok

(developing a rationale for the group); b) menentukan format


teoritis (deciding on a theoretical format); c) menentukan
kerangka kerja (practical cobsideration); d) melakukan publikasi
kelompok (publizing the goup); dan e) melakukan persiapan

73

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

latihan (pretraining) dan f) melakukan seleksi anggota dan


pendamping kelompok (selection of members and leaders).
2) Tugas-tugas pembentukan kelompok
Menurt Gladding (1999) tugas pertama dlam memulai kelompok
adalah para anggota kelompok melakukan kesepakatan tentang
permasalahan apa yang akan dibahas. Pada intinya, permasalahan
yang diangkat sebagai fokus konseling bersumber dari kecemasan
yang ditampilkan oleh anggota kelompok. Meskipun permasalahan
yang diangkat adalah masalah individual, namun karena akan
dipecahkan secara bersama-sama maka masalah itu perlu mebnjadi
masalah bersama. Target kedua yang akan dicapai dalam sesi awal
konseling adalah menetapkan tujuan dan melakukan kontrak.
Selanjutnya para anggota kelompok perlu menetapkan aturan
sebelum dan selam proses kelompok berlangsung. Aturan ini
merupakan

pedoman

bertindak

anggota

kelompok

dalam

melakukan proses konseling.


3) Potensi masalah pembentukan kelompok
Masalah anggota kelompok yang mungkin dijumpai adalah adanya
tipologi dan strereotype individual anggota kelompok yang
beragam. Menurut Kline dalam Gladding (1999), topologi orang
yang dijumpai dalam kelompok adalah :a) manipulators; b)
resisters; c) monopolizers; d) silences members; e) user of
sarcasems; dan f) focuser on other.
4) Prosedur pembentukan kelompok
Untuk mengatasi masalah-masalah yang mungkin timbul dalam
proses pembentukan kelompok, konselor hendaknya melakukan
upaya merumuskan prosedur yang tepat dalam melakukan proses
awal konseling. Menurut Gladding (1999) sesungghnya tidak ada

74

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

satu cara atau metode yang tepat yang dapat digunakan untuk
mengatasi permasalahan yang berkenaan dengan awal konseling.
Secara umum, ada beberapa hal yang dapat dijadikan pegangan
dalam memuali suatu kelompok, yaitu : a) kerjasama (joining), b)
kesepadanan (linking); c)

menghentikan atau memutuskan

pembicaraan (Cutting Off); d) lebih menjelaskan (drawing Out); e)


memperjelas maksud (Clarifying the Purpose).
b. Tahap Transisi (Transition Stage)
Tahap transisi adalah periode kedua pasca pembentukan kelompok
dan merupkan tahap awal sebelummemasuki tahap kerja. Di dalam
konseling kelompok biasanya berlangsung 12-15 sesi, tahap
transisi ini kira-kira memakan waktu 5-20 % dari keseluruhan
proses konseling. Masa transisi ditandai dengan adanya tahapan
forming dan norming.
Tahap storming atau disebut juga periode pancaroba/ kacau balau
adalah masa terjadinya konflik dalam kelompok. Konflik dalam
kelompok tejadi karena adanya kekhawatiran anggota kelompok
dalam memasuki proses konseling. Biasanya kekhawatiran muncul
karena kelompok enggan untuk bergerak dari ketegangan primer
(kekakuan ssat berada dalam sitausi yang asing) menuju
ketegangan sekuder (konflik dalam kelompok).
Kegagalan dalam dalam mengatasi tahap kacau balau ini akan
berakibat pada terhentinya proses konseling. Oleh karena itu
menurut Gladding (1999) konselor perlu mengatasinya dengan
upaya sebagai berikut :
1) Peningkatan hubungan anggota Kelompok

75

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Dalam rangka meningkatkan hubungan anggota kelompok


konselor

perlu

mengembangkan

kepemimpinan

dan

menunjukan kekuasaan yang terbuka dan asertif.


2) Resistensi
Resistensi didefinisikan sebagai perilaku kelompok untuk
menghindari daerah yang tidak nyaman dan situasi konflik.
Resistensi biasanya meningkat pada awal periode kekacauan.
Bentuk resistensi ada dua jenis yaitu resistensi langsung dan
resistensi tidak langsung.
3) Task Processing
Menurut Gladding (1995) cara atau metode yang dapat
digunakan untuk membantu anggota kelompok mengatasi
kekacauan adalah : a) mengatai perasaan mereka dengan
memotivasi untuk berinterkasi secara terbuka dan bebas; b)
menyadarkan anggota bahwa kekacauan dalam kelompok
merupakan hal yang wajar; c) meminta umpan balik dari
anggota mengenai kondisi mereka sat ini dan apa yang
mereka pikir perlu dilakukan.
Tahap berikutnya pada masa transisi adalah norms and norming.
Menurut Gladding (1995) tahap norms dan norming dibagi ke
dalam liha tahap yakni; 1) Peer Relationship; 2) Task Processing;
3) Examining Aspects of Norming; d) Promoting Norming; e)
Results of Norming.
Selama periode norming beberpa perubahan penting terjadi dalam
hubungan

antar

teman.

Interaksi

antar

teman

ini

dapat

digambarkan melalui : 1) idenifikasi; 2) variabel eksistensial; 3)


harapan; 4) kooperasi; 5) kolaborasi; dan 6) kohesi.

76

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

c. Tahap Kerja (Performing Stage)


Perhatian utama dalam tahap kerja adalah produktifitas kinerja.
Masing-masing anggota kelompok terfokus pada peningkatan
kualitas kerja untuk mencapai tujuan individu dan kelompok. Ada
tiga cara untuk mencapai produktivitas yang yang tinggi di
antarannya adalah : 1) saling memuji keunggulan masing-masing
anggota kelompok; 2) role playing; 3) home work (pekerjaan
rumah).
Beberapa strategi yang dapat digunakan untuk dalam fase kerja ini
di antaranya adalah :
1) Modeling;
2) Exercise;
3) Group observing group;
4) Brainstorming;
5) Nominal-group technique;
6) Synectics;
7) Written projection;
8) Group processing.
d. Tahap Terminasi (Termination Stage)
Menurut Glading (1995) tahap terminasi adalah tahap yang tidak
kalah pentingnya dengan tahap pembentukan kelompok. Dalam
pembentukan kelompok, setiap anggota kelompok berusaha untuk
saling mengenal dan memahami karakkteristik masing-masing
anggota kelompok; dalam tahap terminasi anggota kelompok
mencoba untuk mengenal dan memahami lebih dalam lagi. Tahap
terminasi dalam konseling kelompok dibagi menjadi tujuah bagian,
yaitu :

77

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

1) Preparing for Termination


2) Effect ofTerminaton on Individual
3) Premature Termination
4) Terminationof Group Sessions
5) Terminationof a Group
6) Problem inTreminations
7) Folow-up Session

METODE
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode dengan desain
penelitian eksperimen (experimental reaserch). Penelitian yang dilakukan dengan
memberikan perlakuan (treatment) tertentu terhadap subjek penelitian yang
bersangkutan. (Agung, 2001 : 17) Perlakuan yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah Efektifitas Bimbingan Kelompok melalui Teknik Permainan. Pengkondisian
prilaku siswa hanya sebesar yang dapat dikontrol secara kuasi dan menghindari
kontrol yang murni (pure exsperiment) sehingga kontrol terhadap perilaku siswa tidak
terlalu ketat. Eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen
semu (kuasi exsperiment).
Penelitian ini dirancang menggunakan model Pre-Postest-kontrol group
design. (Fraenkel & wallen dalam Suarni, 2004). Desain penelitiannya dapat
digambarkan sebagai berikut:

Tabel. 01 Rancangan Penelitian

Kelompok

Tes Awal

Perlakuan

(Pretest)

Tes Akhir
(Posttest)

Eksperimen

Y0

X1

Y1

Kontrol

Y0

Y1

78

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Keterangan :
Y0

: Pemberian tes awal (pre-test) pada kelompok eksperimen dan


kelompok kontrol sebelum dimulai eksperimen.

Y1

: Pemberian tes akhir (post-test) pada kelompok eksperimen dan


kelompok kontrol setelah pertemuan terakhir eksperimen.

X1

: Perlakuan/efektifitas Bimbingan Kelompok


Permainan kepada kelompok eksperimen.

melalui

Teknik

: Tidak diberi perlakuan/eksperimen.

1. Populasi dan Sampel Penelitian


Adapun populasi target dalam penelitian ini adalah siswa SMA Laboratorium
(Percontohan) UPI Bandung, sedangkan populasi terjangkaunya adalah siswa kelas X
SMA Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung tahun ajaran 2010/2011. Adapun
jumlah kelas sebagaimana berikut :
Kelas

Jumlah

XC

31 Siswa

XF

31 Siswa

XA

31 Siswa

XB

31 Siswa

XD

31 Siswa

Untuk mencapai tujuan penelitian ini maka sampel penelitian ini diperoleh
dengan menggunakan teknik random sampling. Menurut Kartono Kartini (1996 :
137) teknik ini menggunakan cara pengambilan/pemilihan sampel secara pilihan
random, sembarangan tanpa pilih bulu. Rancangan penentuan sampel ini
menggunakan tehnik undian, yang mana SMA Laboratorium (Percontohan) UPI

79

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Bandung memiliki 7 kelas, lalu kedelapan kelas tersebut diundi untuk menentukan
satu kelompok eksperimen dan satu kelompok kontrol. Adapun langkah-langkah
pengundian sebagai berikut :
1. Pada semua kelompok/ kelas yang menjadi anggota/ bagian dari populasi
diberikan kode-kode bilangan.
2. Kode-kode tersebut dituliskan pada kertas-kertas lembaran kecil-kecil,
masing-masing digulung dengan baik, lalu dimasukan kedalam satu
kotak/tempat yang tertutup.
3. Kertas gulungan tersebut dikocok dengan baik sehingga kertas gulungan
tersebut jatuh. Kertas yang jatuh/ muncul itulah dipakai sebagai sampel
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan sebanyak sampel
yang diperlukan.
Kelompok eksperimen akan diberikan perlakuan bimbingan kelompok
melalui teknik permainan dan sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan
bimbingan kelompok melalui teknik permainan.
2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah bimbingan kelompok melalui
teknik permainan sebagai variabel bebas (independent variable) dan perilaku sosial
sebagai variabel terikat (dependent variable). Bimbingan kelompok melalui teknik
permainan sebagai variabel bebas disebut juga variabel eksperimen atau perlakuan
(treatment), yaitu sejumlah gejala yang sengaja ditimbulkan atau dirubah atau
dikenakan atau diberikan kepada kelompok eksperimen. Perlakuan ini merupakan
sebab yang hendak diobservasi atau diamati pengaruhnya pada subjek penelitian.
Perilaku sosial sebagai variabel terikat merupakan sebagai akaibat dari perlakuan
yang dikenakan pada kelompok eksperimen dan akan diteliti perubahannya. Devinisi
operasional variabel seperti berikut.
Pertama, perilaku sosial adalah tingkah laku atau respon yang dilakukan
dalam interaksi antar individu dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Perilaku sosial

80

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

terjadi sekarang. Perilaku sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perilaku
prososial sebagaimana diungkap Rydell dan Bohlin (1997 : 829) menyatakan,
perilaku sosial yang diharapkan adalah perilaku prososial yang menyangkut apek :
kedermawanan (generocity), empati (emphaty), penanganan konflik (conflict
hendling) dan kejujuran (honesty), serta aspek sosial (social initiative) yang terdiri
dari aktif untuk melakukan inisiatif dalam situasi sosial. Pengukuran perilaku sosial
siswa sebelum dan sesudah perlakuan menggunakan kuesioner skala Likert.
Kedua, bimbingan kelompok melalui teknik permainan adalah proses
pemberian bantuan kepada klien dengan seting kelompok, yang pelaksanaannya
menggunakan teknik permainan.
HASIL PENELITIAN
Dalam Menentukan efektif tidaknya pekasanaan bimbingan kelompok melalui
teknik permainan dibandingkan dengan bimbingan kelompok yang menggunakan
metode bimbingan konvensional, data yang digunakan adalah perbandingan hasil
skor rata-rata pretes dan postes dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Selain skor rata-rata perbandingan juga digunakan data skor gain (selisih antara hasil
pretes dan postes) dari kedua kelompok.
1. Pengujian Asumsi Statistik
Pelaksanaan pengujian asumsi statistik yang disyaratkan dalam analisis data
menggunakan prosedur-prosedur yang sesuai dengan pengujian. Data dalam
penelitian harus normal artinya data yang dihubungkan berdistribusi normal, maka
perlu uji normalitas. Uji normalitas data pada penelitian ini menggunakan program
SPSS 17.0 metode Kolmogorov Smirnov dengan taraf signifikansi yang digunakan
sebagai aturan untuk menerima atau menolak pengujian normalitas atau ada tidaknya
suatu distribusi data adalah = 0,05, dan hasil pengujian dapat dilihat pada tabel
berikut.Tabel 02

81

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Hasil Uji Normalitas Pretes dan Postes pada


Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Kelompok

KolmogorovSmirnova
Statistic df

Skor Pretes

Skor Postes

Shapiro-Wilk

Sig. Statistic df

Kesimpulan

Sig.

Eksperimen

.125

31

.200*

.963

31

.352

Normal

Kontrol

.115

31

.200*

.968

31

.471

Normal

Eksperimen

.081

31

.200*

.993

31

.999

Normal

Kontrol

.081

31

.200*

.977

31

.713

Normal

Dilihat dari hasil output SPSS tests normality menunjukan nilai KolmogorovSmirnov (K-S) pretest kelompok eksperimen sebesar 0,200* dan pretest kontrol
sebesar 0,200*, serta posttest kelompok eksperimen sebesar 0,200* dan posttest
kontrol sebesar 0,200*. Sedangkan signifikansi uji () sebesar 0,05. Karena
siginifikansi hasil lebih besar dari signifikansi uji (K-S > ), maka dapat
disimpulkan bahwa sebaran data kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
pada skor pretest dan posttest berdistribusi secara normal.
2. Pengujian Hipotesis Penelitian
Untuk melakukan uji hipotesis ini langkah yang digunakan adalah dengan
membandingkan nilai skor rata-rata postes kedua kelompok antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil perhitungannya adalah sebagai berikut :
Tabel 03
Hasil Uji Statistik Sampel
Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Posttest Eksperime Kontrol


Skor

Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

Posttest Eksperimen

31

197.1935

6.33203

1.13727

Posttest Kontrol

31

188.3226

6.86725

1.23339

82

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Hasil skor rata-rata postes bimbingan kelompok melalui teknik permainan


adalah (197,193) dengan standar deviasi (6,332), sedangkan hasil skor rata-rata tes
bimbingan kelompok yang tidak menggunakan teknik permainan adalah (188,322)
dengan standar deviasi (6,867). Hasil ini memperlihatkan bahwa skor rata-rata
kelompok eksperimen yang diberikan teknik permainan lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan bimbingan kelompok melalui teknik
permainan .
Untuk menguji hipotesis terdapat perubahan positif signifikansi dalam tingkat
keberhasilan peningkatan perilaku prososialsiswa setelah diberikan bimbingan
kelompok melalui teknik permainan, hal ini tampak pada hasil uji-t dua sampel
independen hasil postes kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 04
Hasil Uji Independen Sampel Tes
Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Levene's
Test for
Equality of
Variances

t-test for Equality of Means

t
F

Skor Equal variances


assumed
Equal variances
not assumed

.124

Std.
Mean
Sig. (2Error
Differenc
tailed)
Differen
e
ce

Df

Sig.

.726 5.288

95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower

Upper

60

.000

8.87097 1.67769 5.5150 12.2268

5.288 59.609

.000

8.87097 1.67769 5.5146 12.2273

83

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Karena hasil Levenes Test pada Tabel 04 menyatakan bahwa asumsi kedua
varians sama besar (equal variances assumed) terpenuhi, maka selanjutnya dengan
menggunakan uji-t dua sampel independen dengan asumsi kedua varians sama besar
untuk hipotesis H : = terhadap H : > yang memberikan hasil t = 5,288
dengan derajat kebebasan 60 dan p-value (2-tailed) = 0,000. Karena hasil p-value =
= 0.05 maka H : =

0,000 lebih kecil dari

ditolak. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa hasil skor rata-rata kelompok eksperimen yang mengikuti


layanan bimbingan kelompok melalui teknik permainan lebih baik dibandingkan
dengan skor rata-rata kelompok kontrol yang tidak mengikuti bimbingan kelompok
melalui teknik permainan. Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis nya berbunyi
Bimbingan Kelompok Melalui Teknik Permainan Efektif Digunakan Untuk
Meningkatkan Perilaku Prososial Siswa.
Langkah berikutnya untuk menguji hipotesis adalah dengan membandingkan
skor gain terhadap kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil perhitungan
yang diperoleh adalah sebagai berikut :
Tabel 05
Hasil Group Statistik Gain
Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Jenis
Eksperimen

Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

31

19.90

9.123

1.638

31

8.58

5.005

.899

Gain
Kontrol

Hasil skor rata-rata gain bimbingan kelompok melalui teknik permainan


adalah (19,90) dengan standar deviasi (9,123), sedangkan hasil skor rata-rata tes gain
bimbingan kelompok yang tidak menggunakan teknik permainan adalah (8,58)
dengan standar deviasi (5,005). Hasil ini memperlihatkan bahwa skor rata-rata
kelompok eksperimen yang diberikan teknik permainan lebih tinggi dibandingkan

84

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan bimbingan kelompok melalui teknik
permainan.
Tabel 06
Hasil Uji Independen Sampel Tes Skor Gain
Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Levene's Test
for Equality
of Variances

t-test for Equality of Means

t
F

Std.
Mean
Sig. (2Error
Differenc
tailed)
Differen
e
ce

df

Sig.

95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower

Skor Equal variances 6.782


assumed
Equal variances
not assumed

.012 6.058

Upper

60

.000

11.323

1.869

7.584 15.061

6.058 46.560

.000

11.323

1.869

7.562 15.083

Karena hasil Levenes Test pada Tabel 06 menyatakan bahwa asumsi kedua
varians sama besar (equal variance assumed) terpenuhi, maka selanjutnya dengan
menggunakan uji-t dua sampel independen dengan asumsi kedua varians tidak sama
besar (equal variances not assumed) untuk H : = terhadap H : > yang
memberikan hasil t = 6,058 dengan derajat kebebasan 46,56 dan p-value (2-tailed) =
0.000. karena hasil p-value = 0.000 labih kecil dari

= 0.05, maka H : =

ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa gain skor dari kelompok eksperimen
yang mengikuti bimbingan kelompok melalui teknik permainan lebih baik
dibandingkan dengan gain skor kelompok kontrol yang tidak menggunakan
bimbingan kelompok melalui teknik permainan. Hasil skor gain ini memperlihatkan
bahwa Bimbingan Kelompok Melalui Teknik Permainan Efektif Digunakan Untuk
Meningkatkan Perilaku Prososial Siswa.
85

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

A. KESIMPULAN
Ada bagian ini diuraikan sejumlah kesimpulan penelitian sebagai hasil akhir
dari rangkaian proses penelitian yang telah dilakukan sekaligus merupakan
finalisasi hasil-hasil temuan penelitian :
1. Secara umum profil siswa sebelum mengikuti layanan bimbingan kelompok
pada kelompok kontrol memperoleh hasil skor rata-rata lebih tinggi
dibandingkan hasil skor rata-rata pada kelompok eksperimen.
2. Berdasarkan data yang diperoleh gambaran umum hampir seluruh siswa
sesudah mengikuti bimbingan kelompok pada kelompok eksperimen
memperoleh hasil skor yang lebih tinggi dibandingkan hasil skor rata-rata
pada kelompok. Hal ini memperlihatkan peningkatan perilaku prososial siswa
sesudah mengikuti bimbingan kelompok khususnya terhadap kelompok
eksperimen yang mengikuti bimbingan kelompok dengan teknik permainan
memperoleh skor rata-rata dan skor gain yang lebih tinggi dibandingkan hasil
skor rata-rata dan skor gain pada kelompok kontrol yang tidak mengikuti
bimbingan kelompok dengan teknik permainan.
3. Berdasarkan hasil analisis data untuk menguji hipotesisi yang diajukan diperoleh
hasil bahwa bimbingan kelompok dengan teknik permainan efektif digunakan
untuk

meningkatkan

perilaku

prososial

siswa

khususnya

siswa

SMA

Laboratorium (Percontohan) UPI dengan hasil uji-t = 5,288 dengan derajat


kebebasan 60, dengan p-value = 0.000 lebih kecil dari

= 0.05 maka penelitian

ini memperlihatkan hasil skor rata-rata kelompok eksperimen yang mengikuti


bimbingan kelompok dengan teknik permainan lebih baik dibandingkan dengan
skor rata-rata kelompok kontrol yang tidak mengikuti bimbingan kelompok
dengan teknik permainan. Dengan hasil uji-t dua sampel independen berdasarkan
skor gain kedua kelompok diperoleh hasil yaitu t = 6,058 dengan derajat
kebebasan 46,560 dan p-value (2-tailed) = 0.000 lebih kecil dari

86

=0.05, maka

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

kesimpulan yang diperoleh adalah layanan bimbingan kelompok dengan teknik


permainan lebih efektif digunakan untuk meningkatkan perilaku prososial siswa.

B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, diberikan rekomendasi
kepada pihak sebagai berikut :
1. Bagi Guru BK
Bagi Guru BK di SMA Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung,
seyogyanya mengimplementasikan hasil penelitian di sekolah yaitu dengan
melaksanakan bimbingan kelompok melalui teknik permainan untuk meningkatkan
perilaku prososial.
2. Bagi Siswa
Bagi siswa SMA Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung, melalui
layanan bimbingan kelompok dengan teknik permainan siswa dapat melatih diri
dalam berinteraksi, mengembangkan perilaku-perilaku positif yang bermanfaat
untuk meningkatkan prilaku sosial sehingga lebih baik dalam berpenampilan diri
dan mampu berinteraksi sosial baik dalam lingkungan sekolah, masyarakat dan
keluarga.
3. Bagi Pihak Sekolah
Bagi Sekolah SMA Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung, hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagi masukan untuk menyusun program
kebijakan sekolah dalam pembinaan siswa mengembangkan perilaku prososial
melalui berbagai jenis permainan sehingga kemajuan sekolah dalam penanaman
budi pekerti menjadi lebih baik.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Keterbatasan proses dan hasil penelitian ini tidak dapat dipisahkan dari
keterbatasan penyusun tesis dalam mengelola kegiatan penelitian baik dalam
87

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

bentuk materi maupun non materi. Oleh karena itu, kepada peneliti selanjutnya
direkomendasikan untuk :
a. Membandingkan gambaran umum perilaku prososial siswa SMA pada
setiap jenjang kelas, gender, demografis sehingga gambaran yang
dihasilkan cenderung dinamis dan menyeluruh.
b. Menggunakan pendekatan dan metode penelitian yang lebih beragam
untuk meneliti perilaku prososial siswa pada setiap jenjang pendidikan.

B. DAFTAR PUSTAKA
Asfandiyar, Andi Y. (2009). Kenapa Guru Harus Kreatif. Bandung : Mizan.
Agung. (2001). Statistika Analisis Hubungan Kausal Berdasarkan Data Kategorik.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP) Regional II
Jaya Giri Bandung. (2004). Panduan Pengembangan APE PAUD Bersumber
Lingkungan Sekitar. Bandung : Depdiknas.
Carr, W & Kemmis, S. (1989). Being Critical : Education, Knowledge, and Action
Research. London : Cambridge University.
Danel, Bar-tal. (1976). Personal Behavioral Theory and Reaserch. Hamisphere
Publishing Corporation : Washington DC.
Dantes, Nyoman. (2007). Metodelogi Penelitian untuk Ilmu-ilmu Sosial dan
Humaniora. Singaraja : Universitas Pendidikan Ganesha.
Dayaksini dan Hudaniah. (2003). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.
Gunawan, Agung. (2008). Bimbingan Komunikasi Melalui Picture Exchange
Communication System Dalam Upaya Meningkatkan Komunikasi Anak Autis.
Tesis. UPI.
Goleman, Daniel. (2003). Kecerdasan Emosional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

88

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Gregory, Robert. J. (2000). Psykological Testing History, Principles and Application.


Boston: Allyn and Bacon.
Hurlock, Elizabeth. (1978). Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga.
Kartadinata, Sunaryo. (2000). Pendidikan Untuk Pengembangan Sumber Daya
Manusia Bermutu Memasuki Abad XXI, Implikasi Bimbingannya. Bandung :
FIP UPI.
Machfoedz, dkk. (2005). Metodelogi Penelitian (Bidang Kesehatan, Keperawatan
Dan Kepribadian). Yogyakarta : F Trmaya.
Martini, O. (2004). Pengembangan Program Bimbingan Perkembangan Perilaku
Sosial Anak Usia Dini di Kelompok Bermain. Tesis Magister pada Program
Studi PLS Pascasarjana UPI Bandung : Tidak Diterbitkan.
Muro & Kottman. (1995). Guidance Counseling In The Elementrary and Middle
Schools. Iowa : Brown & Benchmark Publisher.
Natawijaya Rochman. (2009). Konseling Kelompok Konsep Dasar dan Pendekatan.
Bandung : Rizqi.
Nurhisan, J. (2004). Manajement Bimbingan dan Konseling di SMA. Jakarta :
Grasindo.
Prayitno dan Erman Amti. (1999). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta :
Rineka Cipta.
Rusmana, Nandang. (2009). Permainan (Game & Playing). Bandung : Rizki
. (2009). Konseling Kelompok Bagi Anak Berpengalaman
Traumatis. Bandung: Rizki
Rydell, A.,M., Hagekul, B & Bohlin, G. (1997). Measurment of Two Social
Competence Aspect In Middle Childroon. Journal of Development Psychology,
vol 33, No 05, 824-833. America Psycology Association.
Sarlito Wirawan, S. (2002). Psikologi Sosial (Individu dan Teori-teori Psikologi
Sosial). Jakarta : Balai Pustaka.
Sears David. O, et-al. (1991). Psikologi Sosial (Alih Bahasa Michael Adriyanto).
Jakarta : Erlangga.
89

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Seniati, dkk. (2005). Psikologi Eksperimen. Jakarta : PT. Indeks.


Sukmadinata, S N. (2007). Bimbingan dan Konseling dalam
Mengambangkan Potensi dan Kepribadian Siswa. Bandung : Maestro

Praktek

Sutrisno, Hadi. (2005). Metodologi Research. Yogyakarta : Andi.


Syaodih, E & Agustin, M. (2008). Bimbingan Konseling Untuk Anak Usia Dini.
Jakarta : Universitas Terbuka.
Tarsidi, Didi. (2002). Kompetensi Sosial Anak Tunanetra. Tesis. Bandung : Tidak
diterbitkan.
Thantawy. (1993). Kamus Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Economics Students
Group.
UU RI NO. 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Bandung : Citra Umbara.
Walgito, Bimo. (2001). Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta : Andi.
Wiley John & Sons. (1976). Prosocial Behavior. Printed in The United of America.
Wilson Kate, dkk. (1992). Play Therapy A Non-directive Approach For Children and
Adolescents. Tokyo : Baillere Tindal.
Wingkel, W. S & Hastuti Sri, M. M. (2006). Bimbingan dan Konseling di Instuti
Pendidikan.Yogyakarta : Media Abadi.
Yusuf Syamsu dan Nurhisan Juntika. (2009). Landasan Bimbingan dan Konseling.
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offest.
Yustiana, Yusi R. (1999). Pengalaman Belajar Awal Yang Bermakna Bagi Anak
Melalui Aktivitas Bermain. Tesis. Bandung : tidak diterbitkan.
C. BIODATA SINGKAT
Nama lengkap penulis adalah Putu Agus Semara Putra Giri, dilahirkan di SingarajaBali pada tanggal 12 Juni 1984. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari
pasangan I Ketut Mustika Giri dan Nyoman Runiati. Pendidikan formal penulis
dimulai dari SD 347 Banjar Jawa (1990-1996), SMP N 2 Singaraja (1996-1999),
SMK N 2 Singaraja (1999-2002), D1 PANSOPHIA Singaraja (20022003), Sarjana
Pendidikan Bimbingan dan Konseling Undiksha Singaraja (2004-2009). Mulai tahun
akademik (2009-2011), penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia, Program Studi Bimbingan dan Konseling. Dengan
menjadi Guru Honorer Bimbingan dan Konseling pada SMP Negeri 2 Singaraja
(2008-2009), Asisten Dosen Universitas Pendidikan Indonesia (2009-2010). Alamat
Penulis di Gang Pulau Buru III No : 3 Desa Pemaron, Singaraja- Bali.

90

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

BEBERAPA PROBLEMATIKA DAN KONTROVERSI SEPUTAR


PENGGUNAAN MIXED METHOD (METODE CAMPURAN)
DALAM PENELITIAN
Oleh
Dr. I Wayan Gunartha, M. Pd.
W.gunartha@yahoo.com
ABSTRACT
The mixed methods is a relatively new one. So that, many problems have not been
evident to researchers who wish to implement it. This paper aims to provide a
clearer description about a few things related to the mixed methods, i.e. the
interpretation, matter how analysis, and use of computer programs in the mixed
methods. In qualitative research, the interpretation heavily influenced by the
validity of the data. Interpretation of the results of the study would be appropriate
if the data retrieved is completely valid, reliable and objective. Therefore, to
ensure that the proper interpretation of the results of research, the validity of the
data needs to be tested. The test can be done by triangulation techniques,
discussions with my colleagues (peer debriefing), memberchack, cultural bias, and
clarify the audit. The transferability problem in qualitative research there is no
agreement yet among the experts. Therefore, the problem of transferability is not
the responsibility of researchers, but it is left to the reader. Analysis and data
interpretation in mixed methods are in line with mixed method design itself.
Today, computer programs for qualitative research has been widely circulated,
which can help the efficiency of work in research, such as ATLAS/ti, The
Ethnograph, HyperRESEARCH, and NVivo, which can be obtained at the Web
site: http://caqdas.soc.surrey.ac.uk/, and has features that are very complete.
Keywords: mixed
confirmability.

methods,

credibility,

transferability,

dependability,

A. PENDAHULUAN
Metode penelitian campuran (mixed methods) merupakan paradigma yang
relatif masih baru karena lahirnya baru setelah berakhirnya perang paradigma
kuantitatif dengan kualitatif dan merupakan perkembangan dari dua pendekatan
sebelumnya (Creswell, 2010: 304). Menurut Guba dan Lincoln, paradigma
diartikan sebagai cara pandang atau sistem keyakinan yang menjadi pedoman
peneliti (Tashakkori dan Teddlie, 2010: 3). Perang paradigma ini telah
berlangsung di berbagai medan pertempuran dengan perhatian utama pada isuisu konseptual, seperti dasar realitas atau kemungkinan hubungan kausalitas.

91

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Dalam bidang psikologi, dekade 1970-an dan 1980-an menjadi saksi


penting perdebatan metodelogi antara ilmuwan seperti Cronbach (1982) dan Cook
& Campbell (1979). Perdebatan ini terfokus pada isu konseptual tentang
pentingnya validitas internal (situasi yang dikontrol, yang dianggap keramat bagi
kaum positivis) dan validitas eksternal (menekankan situasi alami, yang dipilih
oleh para konstruktivis). Demikian pula yang terjadi dalam bidang antropologi,
terjadi saling kritik antara kaum positivis dan konstruktivis atau naturalis
(Tashakkori dan Teddlie, 2010: 5).
Hammersley (1992) telah mencatat bahwa perdebatan tentang paradigma
kuantitatif dan kualitatif sebenarnya berakar pada pertengahan abad XIX dan
dalam ilmu sosiologi terjadi pada 1920-an dan 1930-an. Akhir-akhir ini, perhatian
terhadap perdebatan itu diawali dengan kebangkitan kembali metode penelitian
kualitatif pada tahun 1960-an dalam ilmu sosiologi dan psikologi, yang
sebelumnya didominasi oleh metode kuantitatif (survai atau eksperimen)
(Tashakkori dan Teddlie, 2010: 9).
Untuk mendamaikan antara dua posisi paradigma tersebut, banyak usaha
dilakukan dalam ilmu prilaku sosial. Penganut kedamaian telah menunjukkan
bahwa metode kualitatif dan kuantitatif sesungguhnya dapat saling melengkapi.
Dalam penelitian pendidikan dan evaluasi, banyak disajikan tesis berdasarkan
perpaduan dua paradigma yang berbeda yang disebut pragmatisme. Para
penganutnya disebut kaum pragmatis.
Saat ini, perdebatan paradigma memiliki relevansi penting dengan sejarah
filsafat ilmu sosial. Banyak peneliti dan teoritisi mengadopsi ajaran relativisme
paradigma. Bahkan, beberapa pejuang yang paling sering dicatat (seperti Guba &
Lincoln, 1994) telah mengisyaratkan untuk mengakhiri peperangan dengan
mengatakan bahwa metafora tentang perang paradigma yang digambarkan oleh
Gage (1989) tampak berlebihan. Resolusi dari perbedaan paradigma hanya dapat
terjadi ketika muncul paradigma baru yang lebih memberikan informasi dan lebih
canggih dari yang sudah ada.
Teoritisi dan peneliti yang berorientasi pragmatis sekarang telah mengacu
ke metode campuran (atau metodelogi campuran atau pencampuran
92

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

metodelogis), yang berisi dua elemen pendekatan kuantitatif dan kualitatif.


Dengan kata lain, sejalan dengan berakhirnya perang paradigma kuantitatif dan
kualitatif, lahirlah metode campuran (mixed method). Sebagai paradigma baru,
tentu ia memiliki karakteristik disain tersendiri yang berbeda dari paradigma
sebelumnya. Tashakkori dan Teddlie ed. (2010: 3) mengatakan penelitian
metode campuran masih berada pada tahap remajanya dalam pengertian bahwa
para pakar belum bersepakat mengenai banyak persoalan dasar menyangkut
bidang ini. Dengan demikian, peneliti pemula yang tertarik untuk menggunakan
pendekatan ini masih bertanya-tanya, misalnya bagaimana disainnya; bagaimana
pengumpulan datanya; yang mana lebih dulu dilakukan kualitatifnya atau
kuantitatifnya; bagaimana

analisis datanya, mana lebih dulu; bagaimana

penafsiran hasil analisisnya; dan lain-lain. Hal ini diseabkan belum banyaknya
literatur yang khusus membahas metode campuran ini.
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam
tulisan ini adalah (1) Apakah yang dimaksud dengan metode campuran kapakah
metode campuran itu digunakan? (2) Bagaimanakah teknik validasi data untuk
meningkatkan ketepatan interpretasi? dan (3) Bagaimanakah proses analisis data
dalam metode campuran? Tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca yang
tertarik dengan metode kualitatif dan campuran.

B. PEMBAHASAN
1.

Metode Campuran dan Penggunaannya


Sebelum melangkah ke uraian selanjutnya, kiranya penting sekali untuk

memberikan sebuah definisi mengenai penelitian metode campuran. Tashakkori


dan Teddlie, ed. (2010: 317) mendefinisikan bahwa penelitian metode campuran
adalah penelitian yang menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif ke
dalam metodologi sebuah studi tunggal atau studi bertahap. Dengan mengutip
pendapat Johnson dan Turner, dijelaskan bahwa metode-metode sebaiknya
dicampur dalam suatu cara yang memiliki kekuatan komplementer dan tidak
memiliki kelemahan yang tumpang tindih. Sedangkan, Creswell (2010: 304)
93

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

secara sederhana mendefinisikan penelitian metode campuran sebagai penelitian


yang menerapkan kombinasi dua pendekatan sekaligus (kualitatif dan kuantitatif).
Dari pendapat dua di atas, dapat dikatakan bahwa metode campuran
memadukan dua komponen, yaitu: kuantitatif dan kualitatif. Dengan komponen
kualitatif di sini tidak dimaksudkan semata-mata menggunakan data kualitatif dari
hasil wawancara mendalam. Demikian juga dengan komponen kuantitatif, tidak
semata-mata dimaksudkan hanya menggunakan data yang berupa angka. Katakata dan angka-angka hanyalah sekedar lambang, sedangkan data yang
sebenarnya ada di balik kata-kata dan angka-angka tersebut. Artinya, apakah suatu
penelitian dikategorikan sebagai kualitatif atau kuantitatif sangat bergantung
kepada bagaimana data tersebut diperoleh. Dalam memadukan metode tidak asal
dicampur, tetapi metode campuran digunakan dengan dipertimbangkan apakah
pemaduan itu memang diperlukan atau tidak. Pemaduan dua metode itu dilakukan
kalau yang satu akan melengkapi dan memperkuat yang lain, atau saling
melengkapi, dan jangan sampai saling melemahkan.
Prinsip fundamental analisis data metode campuran adalah bahwa analisis
data metode campuran didefinisikan sebagai
kuantitatif

dan

berurutan/sekuensial,

kualitatif

entah

pada tahap

secara

tertentu

penggunaan teknik analisis


bersamaan/konkuren

yang

atau

dimulai dengan proses

pengumpulan data, yang interpretasinya dilakukan secara paralel, terpadu,


ataupun berulang.
Ada dua alasan utama dalam menggunakan analisis data metode campuran,
yaitu alasan representasi dan legitimasi. Alasan pepresentasi adalah bahwa
analisis metode campuran menawarkan teknik analisis yang lebih komprehensif
daripada analisis dengan satu teknik saja. Lebih khusus lagi, penggunaan metode
campuran memungkinkan peneliti untuk memanfaatkan kekuatan kedua teknik
sehingga bisa memahami fenomena dengan lebih baik. Hal ini memberikan
peluang untuk menciptakan lebih banyak makna sehingga meningkatkan kualitas
interpretasi data.
Sebagian besar peneliti kuantitatif dan kualitatif sepakat bahwa keketatan
dalam penelitian. Keketatan mensyaratkan agar peneliti berupaya untuk
94

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

bertanggung jawab penuh atas pengumpulan data, analisis, metode interpretatif


mereka. Seperti dinyatakan oleh Onwuegbuzie (2000), pertanggungjawaban
semacam itu menyiratkan agar peneliti terus menerus berupaya menilai dan
mendokumentasikan legitimasi (yaitu validitas, kredibilitas, ketepercayaan, bisa
diandalkan/dependabitilas,

konfirmabilitas,

transferabilitas)

temuan-temuan

mereka.
Dalam penelitian kualitatif, legitimasi telah diberlakukan dalam beraneka
ragam cara, namun konseptualisasi validitas yang bermanfaat adalah konsepnya
Maxwell (1992). Secara khusus ia mengidentifikasi lima jenis validitas dalam
penelitian kualitatif, yaitu: validitas deskriptif, validitas interpretif, validitas
teoretis, validitas evaluatif, dan generalizabilitas. Berkenaan dengan validitas
kelima, yaitu generalizabilitas, Maxwell (1992) membedakan generalizabilitas
internal dan eksternal. Menurutnya, dalam penelitian kualitatif yang lebih penting
adalah generalizabilitas internal. Sedangkan dalam penelitian kuantitatif keduanya
sangat penting.
2.

Persoalan Interpretasi dalam Analisis Data Kualitatif


Dalam penelitian kualitatif dan juga penelitian menggunakan metode

campuran, ketepatan interpretasi hasil penelitian sering menjadi persoalan. Hal ini
terkait dengan keabsahan data yang diperoleh. Ketepatan interpretasi hasil
penelitian sangat dipengaruhi oleh keabsahan data. Oleh karena itu, untuk
menjamin bahwa interpretasi hasil penelitian tepat, keabsahan data perlu diuji.
Menurut Sugiyono (2010: 267), dalam penelitian kualitatif, kriteria utama
terhadap hasil penelitian adalah valid, reliabel dan obyektif. Validitas merupakan
derajat ketepatan antara data yang terjadi pada obyek penelitian dengan data yang
dapat dilaporkan oleh peneliti.
didefinisikan sebagai

Sax (1989: 289) mengatakan validitas

sejauh mana pengukuran

bermanfaat dalam membuat

keputusan yang relevan dengan tujuan. Creswell (2010: 286) mengatakan bahwa
validitas didasarkan pada kepastian apakah hasil penelitian sudah akurat dari
sudut pandang peneliti, partisipan, atau pembaca secara umum. Istilah lain untuk

95

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

validitas ini adalah credibility, trustworthiness,authenticity. Validitas bukan


dibuat dengan pernyataan, tetapi dengan bukti (Sax, 1989: 289).
Terdapat dua macam validitas, yaitu validitas internal dan eksternal
(Maxwell 1992). Validitas internal berkenaan dengan derajat akurasi desain
penelitian dengan hasil yang dicapai. Kalau dalam desain penelitian dirancang
untuk meneliti etos kerja pegawai, maka data yang diperoleh seharusnya data
yang akurat tentang etos kerja pegawai. Validitas eksternal berkenaan dengan
derajat akurasi apakah hasil penelitian dapat digeneralisasikan atau diterapkan
pada populasi di mana sampel tersebut diambil. Reliabilitas, menurut Susan
Stainback (dalam Sugiyono 2010: 268), berkenaan dengan derajat konsistensi dan
stabilitas data atau temuan. Dalam pandangan positivistik (kuantitatif) suatu data
dinyatakan reliabel apabila dua atau lebih peneliti dalam obyek yang sama
menghasilkan data yang sama.

Obyektivitas berkenaan dengan derajat

kesepakatan atau interpersonal agreement antarbanyak orang terhadap suatu


data.
Dalam penelitian kuantitatif, untuk mendapatkan data yang valid, reliabel,
dan obyektif, maka penelitian dilakukan dengan menggunakan instrumen yang
valid dan reliabel, dilakukan pada sampel yang mendekati jumlah populasi dan
pengumpulan data serta analisis data dilakukan secara benar. Dalam penelitian
kuantitatif, untuk mendapatkan data yang valid, reliabel, yang diuji validitas dan
reliabilitasnya adalah instrumen penelitiannya, sedangkan dalam penelitian
kualitatif yang diuji adalah datanya.
Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dikatakan valid apabila
tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang
sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti. Tetapi, perlu diketahui bahwa
kebenaran realitas data menurut penelitian kualitatif tidak bersifat tunggal
(Sugiyono, 2010: 269). Pengertian reliabilitas dalam penelitian kualitatif sangat
berbeda dengan reliabilitas dalam penelitian kuantitatif. Hal ini terjadi karena
perbedaan paradigma dalam melihat realitas. Menurut penelitian kualitatif, suatu
realitas bersifat majemuk/ganda, dinamis/selalu berubah, sehingga tidak ada yang
96

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

konsisten, berulang seperti semula. Selain itu, cara melaporkan penelitian bersifat
ideosincratic dan individualistik, selalu berbeda dari orang perorang.
Dalam pengujian keabsahan data, metode penelitian kualitatif menggunakan
istilah yang berbeda dengan penelitian kuantitatif. Perbedaan tersebut ditunjukka
pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 Perbedaan Istilah dalam Pengujian Keabsahan Data antara Metode
Kuantitatif dan Kualitatif
Aspek

Metode Kuantitatif

Metode Kualitatif

Nilai kebenaran

Validitas internal

Kridibilitas (credibility)

Penerapan

Vaiditas eksternal (generalisasi) Transferability

Konsistensi

Reliabilitas

Dependability,
auditability

Naturalitas

Obyektivitas

Confirmability

Dalam pelaksanaannya, pengujian keabsahan data, dapat digunakan teknik


tertentu. Pengujian kridibilitas dapat dilakukan dengan teknik triangulasi, diskusi
teman sejawat, memberchack, dan lain-lain. Pengujian dependability (reliabilitas)
dan confirmability dapat menggunakan teknik audit. Masing-masing teknik ini
akan dibahas satu per satu.
Triangulasi Data.
Triangulasi di sini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber
dengan berbagai cara, dan berbagai waktu (Wiliem Wiersma dalam Sugiyono,
2010: 273). Jadi, ada triangulasi sumber data, triangulasi teknik pengumpulan
data, dan triangulasi waktu. Triangulasi sumber adalah menguji kredibilitas data
yang dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa
sumber. Triangulasi teknik adalah menguji kredibilitas data yang dilakukan
97

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang
berbeda. Sedangkan, triangulasi waktu adalah menguji kedibilitas data yang
dilakukan pada waktu yang berbeda (pagi, siang, sore, atau malam) karena waktu
juga sering berpengaruh terhadap kredibilitas data. Demikian juga Mertens (2010:
429) mengatakan bahwa triangulasi melibatkan penggunaan banyak metode dan
banyak sumber data, untuk menunjang keakuratan penafsiran dan kesimpulan
dalam penelitian kualitatif. Seperti Guba dan Lincoln (1989) mencatat, triangulasi
seharusnya tidak digunakan untuk

menutupi

perbedaan-perbedaan over

legitimasi dalam penafsiran data; ini adalah penafsiran yang salah mengenai arti
triangulasi.

Melakukan Member Checks


Membercheck adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti
kepada pemberi data atau partisipan (Sugiyono, 2010: 276). Tujuan membercheck
ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa
yang diberikan partisipan. Apabila data yang ditemukan disepakati oleh para
partisipan, berarti datanya valid. Menurut Creswell (2010: 287), membercheck ini
dapat dilakukan dengan membawa kembali laporan akhir atau tema-tema spesifik
ke hadapan partisipan untuk mengecek apakah mereka merasa tema tersebut
sudah akurat. Membercheck dapat dipergunakan selama proses pengumpulan
data. Ia dapat dilakukan pada tingkat analisis data dan juga pada penulisan
laporan. Darbyshire et al. (2005) mencatat bahwa penggunaan berulang
membercheck pada tahap-tahap penelitian yang berbeda dapat meningkatkan
validitas (Mertens, 2010: 431). Dalam uji kredibilitas ini, selain menggunakan
triangulasi dan memberchack, dapat pula dilakukan dengan cara lain seperti
memperpanjang pengamatan, diskusi teman sejawat, analisis kasus negatif, dan
lain-lain (Sugiyono, 2010: 271-276).
Audit
Selain memiliki validitas internal (credibility), data penelitian kualitatif
harus memiliki reliabilitas (dependability). Audit adalah suatu teknik pemeriksaan
98

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

dependability.

Yang dimaksud depenability

adalah bahwa pendekatan yang

digunakan oleh peneliti konsisten jika diterapkan oleh peneliti-peneliti lain (dan)
untuk proyek-proyek yang berbeda. Bagaimana peneliti kualitatif mengetahui
bahwa pendekatan mereka konsisten? Yin (2003) menegaskan bahwa peneliti
kualitatif harus mendokumentasikan prosedur-prosedur studi kasus mereka dan
mendokumentasikan sebanyak mungkin langkah-langkah dalam prosedur tersebut
(Creswell, 2010: 285). Pengujian confirmability dalam penelitian kualitatif disebut
uji obyektivitas penelitian. Penelitian dikatakan obyektif bila hasil penelitian
telah disepakati banyak orang. Pengujian confirmability mirip dengan pengujian
dependability, sehingga proses pengujiannya bisa dilakukan bersamaan. Menguji
confirmability berarti menguji hasil penelitian berkaitan dengan proses yang
dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang
dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar confirmability
(Sugiyono, 2010: 277). Jadi, pengujian keduanya ini dilakukan dengan audit,
sehingga dikenal dengan adanya dua macam audit, yaitu dependenability dan
confirmability audit (Mertens, 2010: 429).
3.

Generalizability/Transferability
Seperti disinggung di atas, generalizability ini merupakan validitas

eksternal dalam penelitian kuantitatif.

Generalizability adalah sebuah konsep

yang berakar pada paradigma postpositivistik dan secara teknis mengacu kepada
kemampuan untuk menggeneralisasikan hasil-hasil riset yang dilakukan pada
sebuah sampel ke populasi. Dalam riset kualitatif, Guba dan Lincoln (1989)
mengusulkan bahwa konsep transferability lebih tepat (Mertens, 2010: 430;
Sugiyono, 2010: 276; Maxwell (1992).
Ada perbedaan pendapat dalam masyarakat riset kualitatif

mengenai

klaim tentang generalizabilitas temuan. Creswell (2010: 289) berpendapat bahwa


tujuan

dari

generalisasi

dalam

penelitian

kualitatif

bukan

untuk

menggeneralisasikan hasil penemuan pada individu-individu, lokasi-lokasi, atau


tempat-tempat di luar objek penelitian, sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.
Pada dasarnya, nilai dari penelitian kualitatif terletak pada deskripsi dan tema99

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

tema tertentu yang berkembang/ dikembangkan dalam konteks tertentu pula.


Karakteristik penelitian kualitatif adalah menekankan partikularitas ketimbang
generalisabilitas. Hal senada juga diungkapkan oleh Tashakkori dan Teddlie
(2010: 104), bahwa untuk mereka yang condong pada kualitatif, generalisasi
bukanlah sesuatu yang menarik. Untuk peneliti kualitatif, hipotesis kerja selalu
terikat waktu dan konteks tertentu. Akan tetapi, ada sejumlah literatur kualitatif
yang membahas mengenai generalisabilitas ini, khususnya yang berlaku untuk
penelitian studi kasus. Yin (2003) misalnya, merasa bahwa hasil studi kasus
kualitatif dapat digeneralisasikan pada sejumlah teori yang lebih luas.
Jadi, berdasarkan beberapa pendapat ahli, masalah transferability dalam
penelitian kualitatif

belum ada kesepakatan. Oleh karena itu, masalah

transferability bukan menjadi tanggung jawab peneliti, tetapi diserahkan kepada


pembaca. Dengan kata lain, keharusan membuktikan transferability ada pada
pembaca, dan peneliti hanya bertanggung jawab memberikan deskripsi mendalam
yang memungkinkan pembaca untuk membuat penilaian tentang penerapan riset
di tempat yang lain.
4. Isu-Isu Analitis dan Interpretatif dalam Metode Campuran
Analitis dan interpretasi data dalam metode penelitian mixed dipengaruhi
oleh desain studi peneliti. Jika desain sekuensial dipergunakan, lebih mungkin
bahwa analisis data satu tipe data akan mendahului tipe yang lain (Mertens, 2010:
431). Berdasarkan pernyataan ini, maka dapat dikatakan bahwa cara analisis dan
iterpretasi data dalam penelitian campuran akan sejalan dengan disain metode
campuran itu sendiri. Dalam metode campuran, dikenal adanya enam desain
(Tashakkori dan Teddlie, 2010; Ceswell, 2010). Selanjutnya, pengumpulan,
analisis data, serta interpretasi hasil adalah mengikuti bagan berikut. Ini adalah
contoh desain yang digunakan.

100

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Contoh Disain Eksplanatoris Sekuensial (3a).

KUAN

Pengumpulan
data KUAN

kual

Analisis
data
KUAN

Pengumpul
an data kual

Analisis
data kual

Interpretasi
seluruh
analisis

Gambar di atas dapat dijelaskan bahwa jika peneliti menggunakan desain


sekuensial eksplanatoris, maka langkah yang dilakukan adalah (1) pengumpulan
data kuantitatif, (2) analisis data kuantitatif, (3) pengumpulan data kualitatif (4)
analisis data kualitatif, dan (5) interpretasi seluruh analisis. Selanjutnya, desain
yang lain mengikuti tabel berikut ini.
Tabel 2 Jenis-Jenis Desain Metode Campuran
Jenis Desain

Implementasi

Prioritas

Eksplanatoris
Sekuensial (1)

Kuantitatif
kualitatif

Eksploratoris
Sekuensial (2)

Kualitatif diikuti
kuantitatif

Transformatif
Sekuensial (3)

Bisa kuantatitatif
diikuti kualitatif atau
sebaliknya
Dilakukan
bersamaan (kuan +
Kual)
Dilakukan
bersamaan (kuan +
Kual), salah satu
diutamakan
Dilakukan
bersamaan (kuan +
Kual)

Triangulasi
bersamaan/konk
uren (4)
Menginduk
bersamaan/konk
uren (5)
Transformatif
bersamaan/konk
uren (6)

diikuti Biasanya
kuantitatif,

Tahap
Integrasi

Perspektif
Teori

Pada tahap
interpretasi

Mungkin
ada

Lazimnya
kualitatif

Pada tahap
interpretasi

Mungkin
ada

Kuantitatif,
kualitatif, atau
keduanya
Disukai
keduanya, tapi
bisa salah satu
Salah satu
(kuantitatif atau
kualitatif)

Pada tahap
interpretasi

Pasti ada
kerangka
konseptual
Mungkin
ada

Kuantitatif,
kualitatif, atau
keduanya

Lazimnya tahap
analisis;bisa
tahap
interpretasi

Pada tahap
interpretasi atau
analisis
Tahap analisis

Mungkin
ada

Pasti ada
kerangka
konseptual

Sumber: Tashakkori dan Taddlie, ed., 2010;


201)
101

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Mertens (2010: 431) memberi contoh strategi sekuensial eksplanatoris,


yang digunakan dalam penelitian orang tua dan anak-anak tuli mereka (MeadowOrlans et al., 2003).
Dalam uraian yang lain, Tashakkori dan Teddlie (2010:

211-241)

menjelaskan model-model analisis data metode campuran sebagai berikut.


A. Analisis Data Campuran secara Bersamaan
Model ini dibedakan menjadi 3 macam, yaitu: analisis paralel campuran,
analisis bersama data kualitatif yang sama dengan dua metode, dan analisis
bersama data kuntlitatif yang sama dengan dua metode.
(1) Analisis paralel Campuran. Model ini disebut sebagai trianguasi sumber data
dan paling luas digunakan dalam ilmu soasial dan prilaku. Banyak peneliti
menggunakan kombinasi data kualitatif dan kuantitatif dalam penelitiannya.
Dalam penelitian laboratorium, partisipan diwawancarai pada sesi akhir guna
menentukan jenis interpretasi dan persepsi

mereka

yang mungkin

mempengaruhi model respon mereka. Data kuantitatif yang diperoleh


dianalisis dengan prosedur statistik, sementara hasil wawancara dianalisis
dengan analisis isi (kontent).
Dalam penelitian survei, selalu ada kombinasi pilihan tanggapan
terbuka dan tertutup. Tanggapan tertutup dianalisis dengan statistik, dan
tanggapan terbuka dianalisis berdasar isinya.dlm survai kualitatif walaupun
tumpukan data kualitatif dianalisis secara bersaman, ada variabel yang bisa
dianalisis secara kuantitatif. Bentuk paling sederhana dari analisis kuantitatif
adalah dengan menghitng statistik deskriptif pada variabel yang tepat.
(2) Analisis Bersamaan atas data kualitatif yang sama dengan dua metode.
Analisis ini mengharuskan transformasi data kuantitatif dalam bentuk angka.
Pada awalnya, kita mengarahkan transformasi ini melalui pengkuantifikasian
data kualitatif. Pengkuantifikasian mungkin memasukkan penghitungan

102

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

frekuensi sederhana atas tema-tema tertentu, tanggapan, prilaku, atau


peristiwa. Selanjutnya, data hasil transformasi dianalisis secara kuantitatif.
(3) Analisis Bersamaan atas data kuantitatif yang sama dengan dua metode.
Analisis ini menuntut transformasi data kuantitatif pada data kategori
kualitatif atau naratif. Transformasi ini disebut pengkualitatifan data
kuantitatif. Jadi model ini kebalikan dari model (2) di atas. Selanjutnya, data
hasil transformasi dianalisis secara kualitatif.
B. Urutan Analisis Kualitatif-Kuantitatif
Pada strategi analisis data jenis ini, analisis data kualitatif awal menuntun
identifikasi atas anggota kelompok yang memiliki kesamaan dengan lainnya
dalam satu hal. Kelompok yang telah diidentifikasi kemudian dibandingkan
dengan data kuantitatif yang tersedia atau dengan data yang dikumpulkan melalui
analisis kualitatif. Jenis ini masih memiliki variasi urutan, yaitu: pertama,
membentuk kelompok individu berdasarkan data/pengamatan kualitatif dan
diperbandingkan dengan kelompok data kuantitatif. Kedua, adalah membentuk
kelompok atribut atau tema melalui analisis isi diikuti dengan penguatan analisis
statistic data kuantitatif yang dikumpulkan. Contoh jenis strategi ini adalah kajian
Iwanicki dan Tashakkori (1994) dimana kecakapan dan efektivitas kepala sekolah
yang diperoleh melalui analisis isi data kualitatif diukur kembali melalui
instrumen survei yang dikirim ke kepala sekolah.
C. Urutan Analisis Kuantitatif-Kualitatif
Analisis jenis ini diawali dengan pembentukan kelompok indivivdu atau
pembentukan

situasi

berdasarkan

data

kuantitatif awal

dan

kemudian

diperbandingkan dengan kelompok data kualitatif, yang dikumpulkan secara


berurutan, sama dengan jenis analisis di atas. Contoh yang paling luas digunakan
dari analisis ini adalah tindak lanjut dari skor sisa analisis regresi ganda atau nilai
covarian yang disesuaikan dengan analisis kovarian. Berdasarkan hasil analisis
kuantitatif, misalnya diperoleh suatu variabel tidak berpengaruh, padahal secara

103

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

teori berpengaruh, kemudian dikumpulkan data kualitatif untuk mengetahui


kemungkinan penyebabnya.
5.

Analisis Data Kualitatif dengan Menggunaan Komputer


Dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat, program analisis data

dengan komputer untuk penelitian kualitatif juga telah tersedia. Penggunaan


komputer dalam analisis kualitatif dapat membantu efisiensi kerja karena studi
kualitatif cenderung menghasilkan data yang banyak, yang akan memakan tenaga
dan waktu yang cukup banyak jika hal itu dikerjakan dengan tangan. Oleh karena
itu, banyak peneliti telah beralih ke sistem komputerisasi.
Menurut Mertens (12010: 429), sekarang banyak program komputer
tersedia (misalnya, ATLAS / ti, The Ethnograph, HyperRESEARCH, dan NVivo).
Karena itu, ia tidak merekomendasikan software tertentu, tetapi merujuk ke
sebuah Web site yang ditemukan untuk dimanfaatkan, yang disebut Computer
Assisted Qualitative Data Analysis di mana pembaca akan menemukan analisisanalisis

berbagai

program,

sebagaimana

berita

utama

di

tempat

ini

(http://caqdas.soc.surrey.ac.uk/). Dalam artikel yang berjudul Computer Assisted


Qualitative Data Analysis, hasil penjelajahan penulis di internet, memang dalam
artikel itu dijelaskan bahwa penggunaan komputer dalam analisis kualitatif dapat
untuk menghemat waktu dan usaha dalam pengelolaan data dengan memperluas
kemampuan peneliti untuk mengatur, melacak dan mengelola data (Baugh, at al.
2010).
Lebih jauh Creswell (2010: 281-282) menjelaskan bahwa ada beberapa
software komputer yang dapat membantu dalam meng-coding, mengolah,
memilah-milah informasi yang mungkin berguna dalam penelitian kualitatif.
Software komputer itu memiliki fitur-fitur yang sangat berguna seperti tersedianya
tutorial dan CD peragaan, kemampuan menggabungkan data teks dan gambar,
kehandalan dalam penyimpan

dan pengolahan data, kapasitas pencarian dan

penempatan semua teks yang berhubungan dengan kode-kode tertentu, pencarian


kode-kode yang saling berhubungan dalam membuat pertanyaan-pertanyaan
hubungan antarkode, import serta export data kualitatif ke program kuantitatif.
104

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Jadi, penggunaan komputer merupakan cara yang efisien untuk


menyimpan dan menempatkan data kualitatif, meskipun dalam program ini
peneliti masih perlu membaca teks (seperti transkripsi-transkripsi) dan
memindahkan kode-kode. Proses ini akan lebih cepat dan efisien dibandingkan
meng-coding menggunakan tangan. Selain itu, jika data base sangat banyak,
peneliti bisa dengan cepat mencari kutipan-kutipan yang memiliki kode yang
sama dan mendeteksi apakah partisipan merespons gagasan dalam kode tersebut
dengan cara yang sama atau berbeda. Di luar kemudahan ini, program komputer
dapat memfasilitasi peneliti untuk membandingkan kode-kode yang berbeda.
Fitur-fitur inilah yang membuat proses coding dengan software komputer menjadi
pilihan yang lebih logis daripada menggunakan tangan.
Sebagaimana program-program software lain, program software kualitatif
seperti ini juga membutuhkan waktu dan keterampilan peneliti untuk mempelajari
dan menerapkannya secara efektif, meskipun buku-buku yang membahas teknikteknik penggunaan program ini sudah tersedia (seperti Computer Program for
Qualitative Data Analysis yang ditulis Waitzman dan Miles 1995). Ada banyak
progar software yang mendukung untuk PC pribadi seperti yang digunakan oleh
Creswell, seperti:
MAXqda (www.maxqda.com). Program ini merupakan program berbasis
PC dari Jerman yang dapat membantu peneliti secara sistematis
mengevaluasi dan menginterpretasi teks-teks kualitatif. Program ini
memiliki semua fitur yang telah disebutkan di atas.
Atlas.ti (www.atlasti.com). Ini juga berasal dari Jerman juga dapat
membantu peneliti mengolah file-file data teks, gambar, audio, dan visual,
serta hal-hal lain yang dapat di-coding, seperti memo ke dalam proyek
penelitian.
QSRNVivo (www.qsrinternational.com). Program ini berasal dari Australia,
yang

menawarkan software

terkenal a

N6

dikombinasikan dengan concept mapping NVivo.


105

(atau

Nud.ist)

yang

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

HyperRESEARCH (www.researchware.com). Program ini mendukung baik


untuk PC maupun MAC dan mudah digunakan, yang memungkinkan
peneliti untuk meng-coding, memperoleh kembali, dan membangun teoriteori, serta melakukan analisis data.
Sebelum memutuskan program software mana yang digunakan," peneliti
seharusnya mereview sumber-sumber yang yang relevan. Peneliti perlu
mengambil sistem yang cocok dengan perangkat keras yang ada juga dengan
tujuan penelitian. Satu peringatan: Bukan masalah betapa menarik software
tersebut, seharusnya tidak memisahkan peneliti dari keterlibatan aktif dengan
data. Sebuah komputer dapat menjadi satu bantuan penting dalam proses ini,
tetapi peneliti seharusnya tidak membiarkannya menjadi alat yang memisahkan
peneliti dari proses untuk mengetahui apa yang harus dijelaskan oleh data
(Mertens, 2010: 429).
Program-program perangkat lunak untuk analisis statistik dan analisis data
kualitatif

(QDA) bisa digunakan secara berdampingan untuk analisis paralel

ataupun sekuensial data bentuk campuran. Ketika melakukan tugas tersebut,


program perangkat lunak semata-mata memberikan kemudahan dan efisiensi yang
lebih besar dalam menangani data (Tashakkori dan Teddlie, 2010: 345).
Selanjutnya, dijelaskan bahwa penggunaan teknik-teknik di atas untuk rekayasa
dan analisis data memunculkan persoalan teknik sekaligus epistemologi. Pada sisi
teknis, muncul persoalan penyampelan

dan pemilihan alat-alat statistik yang

tepat. Makna kode, tema, dan variabel pun memunculkan persoalan epistemologis
dan teknis sewaktu data diubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Masingmasing persoalan ini perlu dikaji di dalam kerangka konseptual yang ditetapkan
berdasarkan tujuan analisis, di samping juga dengan bekal pemahaman tentang
keterbatasan yang dimunculkan oleh teknologi. Terakhir perlu diperhatikan bahwa
metode-metode tradisional penyajian studi penelitian pada umumnya tidak tepat
bagi jenis-jenis analisis metode campuran berbasis komputer ini.

106

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

6.

KESIMPULAN
Dalam penelitian kualitatif, ketepatan interpretasi hasil penelitian sangat

dipengaruhi oleh keabsahan data. Interpretasi hasil penelitian akan tepat jika data
yang diperoleh benar-benar valid (credibility), reliabel (dependability) dan
objektif (confirmability). Oleh karena itu, untuk menjamin bahwa interpretasi
hasil penelitian tepat, keabsahan data perlu diuji. Pengujiannya dapat dilakukan
dengan teknik triangulasi (sumber data, teknik, dan waktu), diskusi dengan teman
sejawat (peer debriefing), memberchack, mengklarifikasi bias budaya, dan audit.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli, validitas eksternal (transferability) dalam
penelitian kualitatif belum ada kesepakatan, ada yang setuju dan ada yang tidak
setuju dengan transferability ini.
Proses analitis dan interpretasi data dalam metode penelitian mixed
dipengaruhi oleh desain studi peneliti. Jika misalnya desain sekuensial
dipergunakan, maka analisis data satu tipe data akan mendahului tipe yang lain.
Jadi, analisis dan iterpretasi data dalam penelitian campuran akan sejalan dengan
disain metode campuran itu sendiri, yaitu: sekuensial aksplanatoris (KUAN
diikuti kual), sekuensial eksploratoris (KUAL diikuti kuan), sekuensial
transformatif, triangulasi konkuren, embedded konkuren, dan transformatif
konkuren.
Dewasa ini, program analisis data dengan komputer untuk penelitian
kualitatif telah banyak berdar, yang dapat membantu efisiensi kerja karena studi
kualitatif cenderung menghasilkan data yang banyak. Oleh karena itu, banyak
peneliti telah beralih ke sistem

komputerisasi. Program komputer yang ada

misalnya, ATLAS / ti, The Ethnograph, HyperRESEARCH, dan NVivo, yang


dapat diperoleh pada Web site: (http://caqdas.soc.surrey.ac.uk/). Software
komputer tersebut memiliki fitur-fitur yang sangat lengkap. Program ini juga
membutuhkan waktu dan keterampilan peneliti untuk mempelajari dan
menerapkannya secara efektif.

107

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Daftar Pustaka
Creswell, J. W. (2010). Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan
mixed.Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Baugh , J. B. at al, (2010). Computer assisted qualitative data analysis software:
a practical perspective for applied Research.
Revista del Instituto Internacional de Costos, ISSN 1646-6896, n 6,
Januari / Juni 2010
Maxwell, J.A. (1992). Understanding and validity in qualitative research. Harvard
Educational Review, vol. 62 No.3 Fall 1992, 279-299.
Mertens, D. M. (2010). Research and evaluation in education and psychology.
USA: Sage Publication, Inc.
Sax, G. (1989). Priciples of education and psychological measurement and
evaluation. Blemont California: Wadsworth Publishing Company.
Sugiyono. (2010). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R dan D. Bandung:
Alfabeta.
Tashakkori, A. dan Teddlie, C. (2010). Mixed methodology Mengkombinasikan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tashakkori, A. dan CTeddlie, C. (Ed). (2010). Handbook of mixed methods in
social & behavioral research.(Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Biodata Penulis:
-

Penulis adalah Lektor Kepala dalam bidang Evaluasi Pendidikan dan bekerja
sebagai dosen Kopertis Wilayah VIII, dpk pada Program Studi Pendidikan
Bahasa Indonesia dan Daerah, FPBS IKIP PGRI Bali Denpasar sejak tahun
1993

- Riwayat Pendidikan:
S-1: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 1987- 1992 (
FKIP Universitas Udayana).
S-2:

Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 1999-2002


(Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta/UNY).

S-3: Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 2010-2013


(Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta/UNY).

108

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL


UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI SISWA
KELAS VIIC SMP NEGERI 2 BEBANDEM SEMESTER 2
TAHUN PELAJARAN 2014/2015
Oleh I Wayan Kerti
Guru SMP Negeri 2 Bebandem
Email: wayankerti47@yahoo.com

ABSTRACT
This study aims to improve the skills of writing poetry with the application
of contextual approach Class VIIC students of SMP Negeri 2 Bebandem the
Second Semester of the academic year 2014/2015
Subjects in this study were class VIIC students of SMP Negeri 2 Bebandem
totaling 27 people, in the second semester of the academic year 2014/2015. This
study uses a class action research design through two cycles. Data on poetry
writing skills that are collected by the test method were analyzed by quantitative
descriptive method. Before implementation of the second cycle, first implemented
pretest activities. Pretest activity is used to determine the initial value of poetry
writing skills class VIIC students of SMP Negeri 2 Bebandem in the Second
Semester of the academic year 2014/2015.
The results showed that the application of the contextual approach to
teaching poetry in class VIIC SMP Negeri 2 Bebandem in the Second Semester of
the academic year 2014/2015 can improve students' skills of writing poetry,
which is an average and the level of mastery of poetry writing skills of students
increased significantly from the average 61 and completeness 45% on pre-action,
an average value of poetry writing skills of students to 70 and 68% mastery level
in the first cycle, and increased significantly in the second cycle with an average
value of 82.26 and a 82% level of completeness. Increase in the average grade of
19.26 from the initial condition and completeness in classical also increased 37%
from the initial conditions.
Key Words: Contextual Approach, The Skills of Writing Poetry
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran sastra sering dirasa sulit oleh siswa, sehingga hasil yang
diproleh siswa pada saat penilaian cendrung kurang memuaskan. Padahal dengan
mempelajari sastra akan mendatangkan keuntungan. Menurut Budianta,
Mengarang mendatangkan rezeki. Mungkin uang, mungkin ketenaran, pacar
gelap, musuh baru, dan tukang peras. Kalau kita beruntung mungkin dalam

109

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

tempo singkat bisa jadi jutaan karena buku yang ditulis tiba-tiba laris manis,
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, difilmkan, dan dijadikan pegangan oleh
orang-orang terkemuka di dunia. Hal semacam ini tidaklah mustahil. Banyak
orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan non sastra yang justru
memilih hidup bergelut di dunia sastra, seperti Putu Wijaya atau Cok Sawitri.
Tentu Beliau-Beliau itu punya alasan tersendiri mengapa memilih menjadi
seorang sastrawan.
Namun, bukti-bukti di atas rupanya tidak mudah untuk dijadikan pemicu
minat dalam menggeluti dunia satra, apalagi puisi yang sebagian orang merasa
kesulitan untuk memahami dan menikmatinya.
Kesulitan yang dialami siswa sebagian juga diakibatkan kurangnya
kepedulian guru dalam mengajarkan sastra, seperti alokasi waktu untuk
pelaksanaan pembelajaran sastra cendrung lebih kecil porsinya. Disamping itu
dalam pengajaran guru umumnya cendrung menggunakan metode ceramah dan
penugasan turut memicu rendahnya keterampilan menulis siswa.
Padahal pembelajaran sastra sejak kurikulum 1994 sampai kurikulum KTSP
menekankan pada penikmatan sastra atau apresiasi sastra. Pembelajaran sastra
diharapkan turut andil dalam pembentukan sikap moral anak.
Agar pembelajaran sastra ini disukai oleh siswa, maka pelaksanaan
pembelajaran haruslah menarik, menyenangkan dan menantang. Siswa diharapkan
mengalami sendiri dunia sastra itu. Untuk itu peran guru sangatlah dominan dalam
melaksanakan skenario pembelajaran. Guru harus mampu membangkitkan
semangat siswa dan menjadikan anak merasa mengalami sendiri apa yang
disampaikan, sehingga siswa merasa tertantang untuk menggali pengalaman yang
dirasakan dalam proses pembelajaran ini. Dengan demikian setelah siswa senang
dengan pembelajaran sastra diharapkan siswa mampu memproleh hasil yang lebih
baik lagi.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa rendahnya perolehan nilai pada
aspek sastra, khususnya menulis puisi di kelas VIIC SMP N 2 Bebandem
dipengaruhi oleh sikap siswa yang merasa kurang tertarik pada pelajaran tersebut,
serta kurang tepatnya pendekatan pembelajaran yang dipergunakan guru.

110

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Permasalahannya sekarang, pendekatan yang bagaimanakah yang dapat


meningkatkan kemampuan menulis puisi siswa kelas VIIC SMP N 2 Bebandem?
Apakah pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan menulis puisi
siswa kelas VIIC SMP N 2 Bebandem?
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diajukan rumusan masalah
sebagai berikut:
Apakah penerapan pendekatan kontekstual dapat ,meningkatkan keterampilan
menulis puisi siswa kelas VIIC SMP Negeri 2 Bebandem, semester 2 tahun
pelajaran 2014/2015?
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan menulis puisi
siswa kelas VIIIC SMP Negeri 2 Bebandem, semester 2 tahun pelajaran
2014/2015 melalui penerapan pendekatan kontekstual.
4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu upaya perbaikan pembelajaran di sekolah
menengah pertama (SMP) atau yang setingkat, untuk mencapai kualitas
pembelajaran yang optimal. Untuk itu, hasil-hasil penelitian yang akan diproleh
diharapkan dapat berkontribusi optimal terhadap:
1. Siswa, melalui penelitian ini keterampilan menulis puisi dalam mata pelajaran
bahasa Indonesia dapat ditingkatkan.
2. Guru peneliti, melalui penelitian ini guru memiliki wawasan dan kemampuan
melaksanakan pembelajaran menulis puisi secara lebih efektif melalui
penerapan pendekatan kontekstual.
3. Institusi pendidikan, melalui hasil penelitian ini akan menjadi suatu informasi
empiris yang berguna untuk menambah wawasan para pendidik, menambah
khazanah ilmu pengetahuan, utamanya ilmu pendidikan dan pengajaran.
KAJIAN PUSTAKA
1. Landasan Teori
Landasan teori dalam penelitian ini meliputi: Keterampilan menulis puisi
dan pendekatan kontekstual untuk meningkatkan keterampilan menulis puisi.

111

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

a. Keterampilan Menulis Puisi


1) Hakikat Menulis
Banyak ahli yang mengungkapkan pendapatnya tentang hakikat menulis,
baik berupa definisi, tujuan dan motivasi, manfaat maupun jenisnya. Hal tersebut
dapat dilihat pada uraian berikut ini.
Menulis adalah suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dari
seorang penulis kepada pembaca dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat
atau medianya. Menulis merupakan keterampilan berbahasa untuk berkomunikasi
secara tidak langsung. Menulis merupakan kegiatan yang bersifat produktif dan
ekspresif (Tarigan 2008: 3). Produktif artinya bahwa kegiatan menulis merupakan
kegiatan menghasilkan sebuah tulisan sebagai media untuk menyampaikan pesan.
Sedangkan

ekspresif

artinya

dengan

menulis

seorang

penulis

dapat

menyampaikan perasaan (emosi) melalui tulisan yang dibuat.


Dalam kegiatan menulis diperlukan sebuah keterampilan yang harus
dimiliki untuk dapat menyampaikan pesan melalui tulisan. Bukan hanya berkaitan
dengan kemampuan menyusun dan menuliskan simbol-simbol tertulis, tetapi juga
mengungkapkan pikiran, pendapat, sikap, dan perasaan secara jelas dan sistematis
sehingga dapat dipahami oleh pembaca (Solchan dkk 2008: 1.33). Menulis sangat
identik dengan sebutan mengarang yang artinya sama yaitu menghasilkan sebuah
tulisan. Lebih khusus, pada istilah mengarang erat kaitannya dengan menulis
karangan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2011: 1497) menyatakan
menulis adalah melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat
surat) dengan tulisan.
Kegiatan menulis adalah kegiatan yang tidak dapat secara langsung diterima
dan direaksi oleh pihak yang dituju. Aktivitas menulis merupakan salah satu
manisfestasi kemampuan dan keterampilan berbahasa paling akhir yang dikuasai
pembelajar bahasa setelah mendengarkan, membaca, dan berbicara (Nurgiyantoro,
2001:296). Dalam buku yang sama juga dijelaskan apabila dibandingkan dengan
keterampilan berbahasa yang lain, kemampuan menulis lebih sulit dikuasai oleh
pembelajar bahasa karena kemampuan menulis menghendaki penguasaan
berbagai aspek lain di luar bahasa, untuk menghasilkan paragraf atau wacana yang
112

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

runtut dan padu. Lebih lanjut, Nurgiyantoro (2001:273) mengungkapkan,


Menulis adalah aktivitas mengungkapkan gagasan melalui media bahasa.
Batasan yang dibuat Nurgiyantoro sangat sederhana, menurutnya menulis hanya
sekadar mengungkapkan ide, gagasan, atau pendapat dalam bahasa tulis, lepas
dari mudah atau tidaknya tulisan tersebut dipahami oleh pembaca.
Budianta

(1992:10)

mengatakan

bahwa

mengarang

itu

memberi.

Maksudnya bukan kita harus membagi-bagikan buku cetakan pertama gratis


kepada siapa saja (lantaran susah laku) tetapi menyumbangkan sesuatu kepada
dunia. Dengan karangannya seorang sastrawan sejati memperkaya peradaban
manusia. Yang bisa dia berikan (ilmu, wawasan, humor bila ada).
2) Hakikat Puisi
Raminah Baribin dalam Teori dan Apresiasi Sastra mengartikan kata puisi
secara etimologi, berasal dari bahasa Yunani poieo atau poio atau poetes
yang berarti (1) membangun, (2) menyebabkan, (3) membuat puisi. Berdasarkan
pengertian kata-katanya, Raminah menyimpulkan puisi berarti ucapan yang
dibuat/dibangun, maksudnya ucapan yang tidak langsung.
Kamus Istilah Sastra menyatakan bahwa puisi adalah ragam sastra yang
bahasanya terikat oleh rima, irama, dan tata puitika. Puisi juga merupakan
gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga
mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan
khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna. Hal ini terlihat pada puisi-puisi
sebelum tahun tiga puluhan.
Namun, menurut S. Suharyanto, definisi tersebut sudah tidak sesuai lagi
untuk mendefinisikan puisi saat ini. Sehingga Suharyanto dalam Pengantar
Apresiasi Sastra, tidak lagi memunculkan pengertian puisi tetapi beliau lebih
menekankan puisi berdasarkan cirri-cirinya yaitu adanya pemusatan kata
(konsentrif), arti kata yang bersayap (konotatif), serta bentuk yang khusus
(tifografi).
Dengan demikian puisi dapat diartikan bentuk tulisan yang kata-katanya
memiliki pemusatan (kekuatan) makna, arti yang bersayap serta adanya bentuk
khusus.
3) Hakikat Menulis Puisi
113

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Dari hakikat menulis dan hakikat puisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
hakikat menulis puisi adalah kegiatan melahirkan atau menuangkan gagasan,
pikiran ke dalam bentuk tulisan yang padat, bermakna dan bentuk tertentu.
b. Pendekatan Kontekstual
1) Hakikat Pendekatan
Pendekatan dalam penelitian ini diartikan sebagai proses, perbuatan, cara
mendekati. Karena pendekatan ini dikaitkan dengan pembelajaran, maka yang
didekati dalam penelitian ini adalah peserta didik dan materi pembelajaran itu
sendiri. Pembelajaran adalah proses penyampaian dari belajar yang merupakan
petunjuk supaya diketahui (dituruti).
2) Hakikat Kontekstual
Kontekstual berasal dari kata konteks yang berarti situasi yang ada
hubungannya dengan suatu kejadian.
3) Hakikat Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual (contextual Teaching and Learning) merupakan
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran
berlangsung alamiah dan bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Srtategi
pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Pembelajaran kontekstual
melibatkan

tujuh

komponen

utama

pembelajaran

yang

efektif,

yakni

konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri),


masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling) dan penilaian
sebenarnya (authentic assessment), (Depdiknas 2002:1).

2. Penelitian Yang Relevan


Hasil penelitian yang sejalan dengan penelitian ini adalah: (1) Penelitian
Widowati (2007), yang berjudul Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi dengan
Teknik Pengamatan Objek Secara langsung pada Siswa Kelas X MA Al Asror
Patemon Gunung Pati Semarang Tahun Ajaran 2005/2006, disimpukan bahwa
114

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

pada tahap prasiklus nilai rata-rata siswa hanya 60, pada tindakan siklus I
meningkat menjadi 72,1 dan pada siklus II nilai rata-ratanya meningkat menjadi
80,4. (2) Penelitian Sucipto (2012) dengan judul Meningkatkan Keterampilan
Menulis Puisi dengan Teknik Pendekatan Imajinasi Pengalaman Pribadi terhadap
Suatu Objek pada Siswa Kelas XA MAN Amlapura Tahun Pelajaran 2012/2013,
yang mana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada saat prasiklus nilai ratarata siswa hanya 63,0, pada tindakan siklus I meningkat menjadi nilai rataratanya 74,6 dan pada akhir siklus II nilai rata-ratanya meningkat lagi menjadi
82,5.
3. Kerangka Berpikir
Keterampilan menulis memberi makna yang penting untuk berkomunikasi
secara tidak langsung dalam kehidupan sehari-hari. Tidak semua orang
mempunyai keberanian menyampaikan ide, gagasan, ataupun pendapat serta sikap
secara langsung kepada orang lain.
Langkah yang akan dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebgai berikut.

KONDISI AWAL

TINDAKAN

KONDISI AKHIR

GURU:
Belum
menggunakan
pentan
kontekstual dalam pembelajaran
menulis puisi

GURU:
Menggunakan
pendekatan
kontekstual dalam pembelajaran
menulis puisi

Diduga
melalui
pendekatan
kontekstual keterampilan menulis
puisi siswa meningkat

SISWA:
Keterampilan menulis
puisinya rendah

SIKLUS I
Dalam pembelajaran menulis
puisi,
guru
menggunakan
pendekatan kontekstual tanpa ke
lapangan
SIKLUS II
Dalam pembelajaran menulis puisi
guru menggunakan pendekatan
kontekstual yang konseptual serta
diajarkan ke lapangan

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

115

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

4. Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah penerapan pendekatan
kontekstual dapat meningkatkan keterampilan menulis puisi siswa kelas VIIC
SMP Negeri 2 Bebandem semester 2 tahun pelajaran 2014/2015.

METODE PENELITIAN
a. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di kelas VIIC SMP Negeri 2
Bebandem pada semester 2 tahun pelajaran 2014/2015. Waktu penelitian selama 3
bulan, yaitu dari bulan Januari sampai Maret 2015, dari penyusunan proposal,
penelitian, sampai pelaporan.
b. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIIC yang berjumlah 27 orang,
terdiri dari 14 siswa laki dan 13 orang siswa prempuan. Objek penelitian ini
adalah keterampilan menulis puisi siswa kelas VIIC SMP Negeri 2 Bebandem
semester 2 tahun pelajaran 2014/2015.
c. Desain Penelitian
Pada hakikatnya, penelitian perbaikan pembelajaran ini adalah penelitian
tindakan kelas (Classroom Action Research). PTK adalah suatu bentuk kajian
reflektif oleh pelaku tindakan (guru) yang dilakukan untuk meningkatkan
kemantapan rasional dari tindakan-tindakan mereka dalam melaksanakan tugas,
memperdalam pemahaman terhadap tindakan yang dilakukan, serta memperbaiki
kondisi dimana praktik pembelajaran tersebut dilaksanakan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, PTK dilakukan dalam proses pengkajian
berdaur (siklus), yang setiap siklusnya terdiri atas empat fase, yaitu perencanaan
(planning), melaksanakan tindakan (action), memantau (observation), dan
merefleksi (reflection).

116

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

d. Prosedur Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari dua siklus, masing-masing siklus
terdiri dari; perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan
evaluasi, serta refleksi.
Perbedaan tindakan yang peneliti lakukan antara siklus satu dan siklus kedua
adalah; bila pada siklus satu pembelajaran masing dilakukan di ruang kelas
dengan memberikan gambaran yang lebih mendekatkan pada pengalaman yang
dimiliki siswa sesuai KD yang dibicarakan yaitu menulis puisi dengan tema
tentang keindahan alam, maka pada siklus kedua pelaksanaan proses
pembelajaran di luar kelas (di persawahan). Kebetulan lokasi SMP Negeri 2
Bebandem berada di daerah dengan hamparan persawahan.
Pelaksanaan pembelajaran di luar kelas, dapat berlangsung lebih
komunikatif. Informasi yang terjadi menjadi lebih multi arah yaitu dari guru ke
siswa, siswa ke siswa, dan siswa ke guru.
e. Data dan Analisis Data
Sumber data penelitian ini berasal dari data pretes sebagai data awal, serta
data tes siklus I dan data siklus II. Data keterampilan menulis puisi dikumpukan
dengan tes menulis puisi dalam bentuk tes unjuk kerja.
Agar instrumen yang digunakan Valid, maka sebelum membuat tes terlebih
dahulu membuat kisi-kisi sebagai perakit soal. Setelah tes selesai dibuat,
berikutnya membuat pedoman pensekoran penilaian dengan gambaran sebagai
berikut.
Tabel 1. Kriteria Penilain Menulis Puisi
NO
1

ASPEK YANG DINILAI


Kesesuaian judul dengan isi

RENTANG SKOR
Sesuai = 85-100
Cukup sesuai = 75-84
Kurang sesuai = 60-74
Tidak sesuai = 0-5

Pilihan kata atau diksi

Pilihan kata konkret

Tepat = 85-100
Cukup tepat = 75-84
Kurang tepat = 60-74
Tidak tepat = 0-59
Sangat transparan = 85-100
Transparan = 75-84
Kurang transparan = 60-74
Tidak transparan = 0-59

117

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Penggunaan majas

Pemanfaatan versifikasi (rima


dan ritma)

Tipografi

Tepat = 85-100
Cukup tepat = 75-84
Kurang tepat = 60-74
Tidak tepat = 0-59
Indah, dan lengkap = 85-100
Indah, tetapi kurang lengkap = 75-84
Tidak indah tetapi lengkap = 60-74
Tidak indah dan tidak lengkap = 0-59
Variatif = 85-100
Cukup variatif = 75-84
Kurang variatif = 60-74
Tidak variatif = 0-59

Data keterampilan menulis puisi siswa dianalisis secara deskriptif


kuantitatif.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengolahan data ini adalah sebagai
berikut: (1) mengubah skor mentah menjadi skor standar (nilai jadi), (2)
menentukan kriteria predikat, (3) menggelompokkan kemampuan siswa, dan (4)
mencari skor rata-rata serta ketuntasan secara individu dan klasikal.
f. Indikator Keberhasilan
Keberhasilan siswa dalam menulis puisi apabila siswa memperoleh skor 74
ke atas. Selanjutnya, apabila siswa memperoleh skor di bawah 74 perlu dilakukan
perbaikan, dan apabila 75% dari jumlah siswa di kelas memperoleh nilai 74 ke
atas berarti tindakan dikatakan berhasil sehingga tindakan dapat dihentikan
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, diidentifikasi temuan

yang bermakna. Temuan

tersebut adalah bahwa penerapan pendekatan kontekstual pada pembelajaran


menulis puisi dapat meningkatkan keterampilan menulis puisi siswa kelas VIIC
SMP Negeri 2 Bebandem semester 2 tahun pelajaran 2014/2015.
Peningkatan tersebut karena pendekatan kontekstual pada pembelajaran
menulis puisi memiliki keunggulan, yang mana dengan penerapan pendekatan
kontekstual (contextual Teaching and Learning) siswa diajak belajar dengan
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa, dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

118

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Dengan konsep itu, hasil pembelajaran berlangsung alamiah dan bukan transfer
pengetahuan dari guru ke siswa. Srtategi pembelajaran lebih dipentingkan
daripada hasil. Pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen utama
pembelajaran yang efektif, yakni konstruktivisme (constructivism), bertanya
(questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community),
pemodelan (modeling) dan penilaian sebenarnya (authentic assessment),
(Depdiknas 2002:1).
Hal ini sejalan juga dengan penelitian yang dilakukan oleh: (1) penelitian
Widowati (2007), yang berjudul Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi dengan
Teknik Pengamatan Objek Secara langsung pada Siswa Kelas X MA Al Asror
Patemon Gunung Pati Semarang Tahun Ajaran 2005/2006, disimpukan bahwa
pada tahap prasiklus nilai rata-rata siswa hanya 60, pada tindakan siklus I
meningkat menjadi 72,1 dan pada siklus II nilai rata-ratanya meningkat menjadi
80,4. (2) penelitian Sucipto (2012) dengan judul Meningkatkan Keterampilan
Menulis Puisi dengan Teknik Pendekatan Imajinasi Pengalaman Pribadi terhadap
Suatu Objek pada Siswa Kelas XA MAN Amlapura Tahun Pelajaran 2012/2013,
yang mana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada saat prasiklus nilai ratarata siswa hanya 63,0, pada tindakan siklus I meningkat menjadi nilai rataratanya 74,6 dan pada akhir siklus II nilai rata-ratanya meningkat lagi menjadi
82,5.
Hasil penelitian tindakan kelas penerapan pendekatan kontekstual untuk
meningkatkan keterampilan menulis puisi siswa SMP Negeri 2 Bebandem
semester 2 tahun pelajaran 2014/2015 dengan pelaksanaan dua siklus diproleh
paparan sebagai berikut.
Tabel 2. Perbandingan Nilai Rata-Rata Menulis Puisi dan Ketuntasan Klasikal
Pelaksanaan

Ketuntasan

Pratindakan

Skor Rata-Rata
Kelas
61

Siklus I

70

68%

Siklus II

80,26

82%

119

45%

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Hasil yang diperoleh siswa dari pemberian tindakan sebanyak dua kali
mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan. Pada saat sebelum
mendapat tindakan, nilai rata-rata kelas yang diperoleh masih dibawah target
ketuntasan yaitu sebesar 61 (ketuntasan 74). Setelah mendapat tindakan berupa
penerapan pendekatan kontekstual dengan pelaksanaan di dalam kelas pada siklus
I meningkat meningkat sebesar 9 poin, yaitu rata-rata 70. Selanjutnya pada siklus
II dengan pelaksanaan pembelajaran di luar kelas, yaitu di sekitar persawahan di
dekat sekolah, diperoleh hasil rata-rata kelas sebesar 80,26 atau meningkat 10,26
dari dari siklus I. Dibandingkan dengan kondisi awal maka terjadi peningkatan
sebesar 19,26 poin. Ketuntasan secara kekasikal juga mengalami peningkatan,
dari hanya 45% pada pratindakan meningkat menjadi 68% pada siklus I atau
meningkat 23%. Pada siklus II meningkat lagi dengan ketuntasan kelasikal
sebesar 82% atau meningkat 14% dari siklus I. secara keseluruhan dibandingkan
kondisi awal, secara kelasikal terjadi peningkatan ketuntasan sebesar 37% setelah
penerapan pendekatan kontekstual pada pembelajaran menulis puisi siswa kelas
VIIC SMP Negeri 2 Bebandem tahun pelajaran 2014/2015. Itu artinya penelitian
dapat dihentikan pada siklus II.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penerapan
pendekatan kontekstual pada pembelajaran menulis puisi dapat meningkatkan
keterampilan menulis puisi siswa kelas VIIC SMP Negeri 2 Bebandem semester 2
tahun pelajaran 2014/2015. Peningkatan rata-rata kelas sebesar 19,26 dari kondisi
awal dan ketuntasan secara klasikal juga meningkat 37% dari kondisi awal.

DAFTAR PUSTAKA
Baribin, Raminah. 1990. Teori dan Apresiasi Sastra. Semarang: IKIP Semarang
Press
Budianta, Eka. 1992. Menggebrak Dunia Mengarang. Jakarta: Pustaka
Pembangunan Swadaya Nusantara.
Cipto. 2012. Meningkatkan Keterampilan Menulis Puisi dengan Teknik
Pendekatan Imajinasi Pengalaman Pribadi Terhadap Suatu Objek pada
120

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Siswa Kelas XA MAN Amlapura Tahun Pelajaran 2012/2013. Laporan


Penelitian Tindakan Kelas. MAN Amlapura.
Depdiknas. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Lerning
(CTL). Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 3. Jakarta: Balai
Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2001.Penilaian dalam Pembelajaran Bahasa dan
Sastra.Yogyakarta: BPFE.
Solchan, dkk. 2008. Pendidikan Bahasa Indonesia di SD. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Suharianto,S.. 1981. Pengantar Apresiasi Puisi. Surakarta: Widya Pustaka.
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis Sebagai Suatu keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa
Widowati. 2007. Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi dengan
MenggunakanTeknik Pengamatan Objek Secara Langsung pada Siswa
Kelas X MA Al Asror Patemon Gunung Pati Semarang. Skripsi. Universitas
Negeri Semarang.
Zaidan, Abdul Rozak, dkk. 1996. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka
Semarang.

Biodata Penulis:
Nama
Tempat/tgl.lahir
Tempat Tugas

: Drs. I Wayan Kerti


: Sibetan, 29 juni 1967
: 1995-2002 di SMP Negeri 1 Kubu,
2002- sekarang di SMP Negeri 2 Bebandem

Pendidikan:
-

S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,


FKIP UNUD Singaraja, 1992
S-2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
UNDIKSHA, 2014.

121

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

EFEKTIVITAS PSYCHOLOGICAL FIRST AID DALAM MENGURANGI


GEJALA KECEMASAN PADA PENYINTAS KECELAKAAN
KENDARAAN BERMOTOR
Oleh
I Made Mahaardhika, SH., M.Psi
Dosen BK FIP IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
The aim of this research is to see the effect of PFA intervention in decreasing
anxiety symptoms that are experienced by motor vehicle accident (MVA)
survivors. This research use the qualitative method with three teenager
participants. Anxiety level is measured with the Beck Anxiety Inventory (BAI)
and deep interview. PFA intervention is applied during four meetings for four
consecutively days. Anxiety symptoms are experienced in the few days after
accidents are : fear, tension, and worries related to the impact of physical injury
the experience of the accident. PFA helps survivors to change negative emotions
in to more positive emotions, positive coping strengths and awarenes of the
importance of psychosocial support. The result shows that intervention is able to
decrease the BAI score and anxiety symptoms are lower between after the given
intervention.
Key Words: Anxiety, Psychological First Aid (PFA), Motor Vehicle Accidents
(MVAs)
Pendahuluan
Di negara-negara barat seperti di Amerika Serikat, kecelakaan kendaraan
bermotor merupakan salah satu penyebab trauma yang cukup besar. Data
Departemen Transportasi Amerika menunjukkan, terjadi enam juta kecelakaan per
tahun, dengan lebih dari 42 ribu yang fatal dan 2,7 juta mengalami luka personal
(Hickling & Blanchard dalam Carll 2007). Selanjunya Hickling dan Blanchard
mengatakan, luka fisik akibat kecelakaan tidak selalu akan disertai dengan luka
psikologis, namun luka fisik yang parah atau serius dapat dijadikan pertimbangan
akan adanya luka psikologis di kemudian hari. Sebuah penelitian awal yang
dilakukan oleh Oxley dan Fildes (dalam Harrison, 1999) yang meneliti efek
jangka panjang dari luka fisik dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh
individu akibat kecelakaan menemukan bahwa, luka fisik yang tidak terlalu parah
juga menimbulkan dampak psikologis sampai dua tahun setelah peristiwa
122

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

kecelakaan terjadi. Luka fisik yang tidak begitu parah juga berpengaruh terhadap
emosi dan perilaku yang disebabkan adanya kecemasan dan avoidance reactions
yang dialami penyintas.
Motor Accidents Authority of NSW (2003) menyebutkan, dalam rentang
waktu dua minggu (immediate) pasca kecelakaan, besar kemungkinan penyintas
akan mengalami kecemasan. Orang-orang yang mengalami kecemasan dan
sampai berkembang mengalami gangguan kecemasan atau PTSD adalah orangorang yang mempunyai pengalaman kecemasan yang ekstrim, pikiran-pikiran
yang mengganggu dan ketakutan yang luar biasa setelah mengalami kecelakaan.
Biasanya orang-orang seperti itu juga terganggu dalam melakukan aktivitas
sehari-hari, dalam bekerja dan berhubungan dengan orang lain, serta merasa tidak
berdaya akibat pengalaman kecelakaan yang dialaminya
Pada banyak kasus, ketika ditemukan adanya gejala-gejala permasalahan
psikologis yang akut, maka early treatment sangat dibutuhkan untuk mencegah
berkembangnya permasalahan psikologis yang lebih serius atau sampai menjadi
PTSD (Bryant et.al, dalam Bryant, Moulds & Guthrie, 2000). Early treatment
yang dilakukan beberapa hari setelah peristiwa traumatis, berfungsi untuk
memfasilitasi pemulihan psikologis (Yehuda, 2002). Selanjutnya Yehuda (2002)
mengatakan, proses pemulihan dapat terbantu dengan berkomunikasi dan berbagi
cerita dengan orang lain, yang dapat meningkatkan kemampuan untuk menahan
ketidaknyaman dan mengekspresikan emosi-emosi yang tidak menyenangkan.
Intervensi awal atau sesegera mungkin (Early Intervention) merupakan
pendekatan yang menekankan pada penguatan persepsi mengenai self-efficacy
dalam menghadapi pengalaman traumatis atau stresor yang menyertainya.
Intervensi yang dilakukan sesegera mungkin akan menjadi efektif dalam
mencegah dampak yang lebih serius akibat pengalaman traumatis, apabila
intervensi tersebut mampu membantu penyintas menghadirkan gambaran baru
dalam mempersepsi coping yang sesuai dengan kebutuhan (Benight, Cielsak,
Molton & Johnson, 2008).

123

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Motor

Accidents

Authority

of

NSW

(2003)

merekomendasikan

Psychological First Aid (PFA) untuk diberikan dalam rentan waktu dua minggu
sejak peristiwa kecelakaan terjadi. PFA yang diberikan sesegera mungkin kepada
penyintas kecelakaan meliputi penyediaan rasa aman dan kenyamanan,
memfasilitasi kebutuhan fisiknya, menghubungkannya dengan keluarga atau
orang dekatnya, serta meningkatkan fungsi sosial support. PFA juga mencakup
pemberian informasi yang sederhana namun akurat mengenai respon normal
berupa kecemasan maupun bentuk distres lainnya yang muncul pasca mengalami
kecelakaan, serta informasi tentang layanan profesional kesehatan mental bagi
yang membutuhkannya. Apabila penyintas merasa butuh, dengan berbicara
tentang perasaan dan pikiran yang timbul setelah mengalami kecelakaan kepada
orang lain, juga merupakan bentuk PFA yang direkomendasikan Motor Accidents
Authority of NSW.
Penyintas kecelakaan kendaraan bermotor yang merasa bahwa dia harus
bertanggung jawab serta mengakui dalam dirinya bahwa kecelakaan tersebut
adalah bagian dari kesalahannya, mempunyai resiko lebih kecil untuk mengalami
PTSD dan mengalami pemulihan psikologis lebih cepat. Penyintas kecelakaan
yang memaknai bahwa dirinya bersalah dalam kecelakaan yang terjadi,
mempunyai kekuatan mengontrol persepsinya dalam menilai peristiwa yang
terjadi. Penyintas mempunyai lebih banyak sense of control mengenai apa yang
telah dia alami dan bagaiamana menyikapi apa yang akan terjadi ke depan
(Delahanty et al., 1997).
Remaja usia 16-19 tahun beresiko lebih besar mengalami kecelakaan jika
dibandingkan dengan kelompok usia lainnya, terutama pada remaja yang mulai
mengemudikan kendaraan bermotor (McCartt ; National Center for Injury
Prevention and Control-NCIPC, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Data
dari Kepolisian Daerah Bali Direktorat Lalu Lintas, pada semester I Tahun 2010
mengenai korban kecelakaan lalu lintas terdapat pada tabel 1 :
Tabel 1 : Angka jumlah korban kecelakaan kendaraan bermotor periode JanuariJuni 2010 (Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Bali).

124

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

usia

Jumlah (orang)

0 s/d 9 th

120

10 s/d 15 th

396

16 s/d 30 th

613

31 s/d 40 th

331

41 s/d 50 th

226

51 th ke atas

174
1860

Dari data tersebut, 54,25 % korban kecelakaan lalu lintas pada wilayah
Polda Bali adalah usia 10 sampai 30 tahun. Dari hasil pengamatan peneliti, Di
Bali sendiri terutama di wilayah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, hampir
sebagian besar usia remaja, sejak mereka bersekolah di SMP, sudah mengendarai
motor sendiri untuk pergi ke sekolah. Hal ini tentu menjadi perhatian penting bagi
peneliti dalam mempertimbangkan usia remaja sebagai partisipan penelitian.
Ketika remaja mengalami luka atau bekas luka pada wajah dan daerah tubuh
lainnya, mungkin muncul kekhawatiran mengenai akan ditolak teman lawan
jenisnya. Luka fisik juga akan mengganggu aktivitas pendidikan remaja dan
interaksi sosial lainnya, yang mungkin menimbulkan ketidaknyamanan pada diri
remaja. Perasaan malu, harga diri yang menurun karena dianggap tidak mahir
dalam mengendarai motor oleh teman sebaya, mungkin menjadi pikiran-pikiran
yang hadir pada diri remaja yang baru mengalami kecelakaan. Rasa sakit dibagian
tubuh yang luka dan penilaian tentang bagaimana nanti keberfungsian organ tubuh
yang luka mungkin menjadi sumber stres atau kecemasan pada diri remaja.
Merujuk pada hasil pemaparan di atas, maka penelitian ini dilakukan
dengan tujuan untuk melihat apakah Psychological First Aid (PFA) dapat
mengurangi gejala kecemasan pada penyintas kecelakaan kendaraan bermotor.

125

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Tinjauan Teoritis
Freud (dalam Feist & Feist 2008) mendefinisikan kecemasan sebagai
kondisi yang tidak menyenangkan, bersifat emosional dan sangat terasa
kekuatannya, disertai sebuah sensasi fisik yang memperingatkan seseorang
terhadap bahaya yang sedang mendekat. Ketidaknyamanan dari kondisi ini
seringkali samar-samar dan sulit untuk ditentukan penyebabnya, namun
kecemasan itu sendiri selalu dapat dirasakan. Sedangkan Rogers mendefinisikan
kecemasan sebagai kondisi tidak nyaman atau tegangan yang penyebabnya tidak
diketahui.
Peurifoy (2005) mengatakan, kecemasan biasanya didorong oleh ancaman
yang hadirnya samar-samar, tidak nyata atau tidak langsung, sedangkan ketakutan
didorong oleh ancaman yang jelas atau nyata. Baik kecemasan dan ketakutan
mengakibatkan gejala-gejala mental seperti rasa putus asa, bingung, takut,
khawatir dan adanya pengulangan pikiran-pikiran negatif. Kecemasan dan
ketakutan juga mengakibatkan munculnya gejala fisik ringan seperti ketegangan
otot-otot tubuh.
Pada orang yang sedang sakit atau mengalami luka, kondisi yang
dialaminya menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dan terasa mengganggu
dirinya. Terkadang perasaan seperti ini menjadi sesuatu yang disadari, namun
ketika ketidaknyaman tersebut muncul tanpa disadari dan terasa sangat
mengganggu tanpa diketahui penyebab pastinya serta terjadi terus menerus, hal
inilah yang menjadi sebuah bentuk kecemasan (Meares, 1963).
Motor Accidents Authority of NSW (2003) menyebutkan bahwa penyebab
kecemasan bisa karena ketakutan akibat memikirkan sesuatu yang tidak jelas atau
tidak pasti, kekhawatiran karena penilaian tentang sesuatu yang akan datang atau
di kemudian hari, atau persepsi tentang sesuatu yang sudah lalu, seperti tentang
pengalaman kecelakaan yang pernah dialaminya, bertanya-tanya dalam diri
sendiri, mengapa dan kenapa hal itu bisa terjadi, siapa yang salah dan penyebab
utama dari kecelakaan tersebut. Motor Accidents Authority of NSW (2003)

126

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

menyebutkan, dalam rentang waktu dua minggu (immediate) pasca kecelakaan,


besar kemungkinan penyintas akan mengalami kecemasan.
Jacobson (dalam Soewondo, 2009) mengatakan bahwa, relaksasi otot
berjalan bersama dengan relaksasi mental. Perasaan cemas subjektif dapat
dikurangi atau dihilangkan dengan sugesti tidak langsung atau menghapus atau
menghilangkan

komponen

otonomik

perasaan-perasaan

itu.

Jacobson

mengembangkan relaksasi progresif untuk mengurangi rasa cemas, stres atau


tegang. Relaksasi progresif ini juga menjadi salah satu bagian dari intervensi yang
akan peneliti berikan kepada partisipan, sebagai salah satu upaya mengurangi
kecemasan atau ketegangan yang dialami penyintas kecelakaan kendaraan
bermotor.
Seseorang dapat melakukan berbagai cara atau teknik untuk mengurangi
gejala kecemasan yang dia alami. Peurifoy (2005) mengatakan ada empat
keterampilan dasar yang bisa dilakukan untuk mengurangi gejala kecemasan,
yaitu :
1. Relaksasi.
2. Mengatur aliran nafas.
3. Coping Self-Statements. Ketika seseorang menginterpretasi suatu situasi,
pikiran dan perasaannya sangat berpengaruh dalam penilaian yang
dihasilkannya. Dengan melatih untuk memaknai secara positif sebuah
peristiwa

yang

tidak

menyenangkan,

seseorang

dapat

merubah

penilaiannya terhadap situasi atau pengalaman tertentu, sehingga pikiran


dan perasaan yang dihasilkan juga menjadi lebih baik atau positif. Salah
satu bagian dalam sesi intervensi yang peneliti lakukan adalah mengajak
penyintas untuk memaknai secara positif dan menemukan hikmah dari
kecelakaan yang dialaminya.
4. Distraction, yaitu melakukan sesuatu aktivitas yang mengasikkan atau
menyenangkan untuk mengalihkan fokus atau perhatian kita dari stresor
atau sesuatu yang membuat kita cemas. Bekerja, bermain, olahraga,

127

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

berdoa serta berbicara dengan orang lain merupakan bentuk distraction


yang umum dikakukan.
Psychological First Aid (PFA) adalah suatu pendekatan untuk mengurangi
distres yang dialami individu atau komunitas yang terkena bencana, serta
membantu mengembangkan fungsi adaptif jangka pendek maupun jangka panjang
dalam menghadapi dampak bencana (Vernberg, et.al, 2008). Sedangkan menurut
Everly, Phillips, Kane & Feldman (2006) Psychological First Aid (PFA)
merupakan serangkaian keterampilan yang digunakan untuk mengurangi distres
dan mencegah timbulnya perilaku negatif, memberikan pemahaman mengenai
respon normal terhadap situasi yang penuh tekanan atau ketika mengalami
peristiwa traumatis, termasuk kemampuan untuk memahami kapan harus mencari
bantuan dari profesional kesehatan mental.
PFA digunakan dalam respon bencana dan ditujukan bagi siapa saja yang
terkena dampak dalam hitungan jam atau hari, baik dalam situasi darurat, bencana
atau serangan teroris. Tujuan dasar PFA adalah memberikan bantuan atau
dukungan bagi individu dan resiliensi komunitas untuk mengurangi stres akut
yang muncul akibat bencana serta mendorong fungsi adaptif jangka pendek
maupun jangka panjang (Uhernik & Husson, 2009). Konsep PFA adalah
meningkatkan cara dalam menyediakan dukungan dan ketenangan bagi orang
yang mengalami luka atau ketakutan ketika kondisi untuk mendapatkan intervensi
dari orang yang ahli dalam hal itu tidak memungkinkan. Teman atau siapa pun
dapat menyediakan pertolongan non medis sementara kepada orang yang terluka,
sampai pertolongan dari orang yang berkompeten datang untuk menolong. Jadi
siapa saja dapat menggunakan teknik psikologis sederhana untuk mengurangi
kesedihan atau kepanikan yang dialami seseorang yang terluka, sehingga apa yang
dilakukan tersebut dapat mencegah kebutuhan untuk mendapatkan intervensi dari
psikiater (Blain, Hoch & Ryan, dalam Reyes & Jacobs, 2006).
Pemulihan dari trauma adalah dengan memfasilitasi pengungkapan emosi
serta menghubungkannya dengan dukungan sosial yang ada (Pennebaker, dalam
Boege & Gehrke, 2005). Orner (dalam Boege & Gehrke, 2005) menemukan,

128

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

setelah mengalami peristiwa traumatis atau kecelakaan, 71,4 % orang melaporkan


bahwa mereka melakukan kontak atau hubungan dengan koleganya dan hanya 9,2
% melakukan kontak dengan profesional.
Metode Peneltian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif
bertujuan untuk memahami dan mendalami situasi nyata sehari-hari agar dapat
mendeskripsikan dan memahami tingkah laku yang tampak maupun kondisikondisi internal manusia, baik itu pandangan hidupnya, nilai-nilai yang dipegang,
pemahaman tentang diri dan lingkungan, serta bagaimana ia mengembangkan
pemahaman tersebut (Patton, dalam Poerwandari 2009). Pendekatan kualitatif
digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan pemahaman mengenai reaksi
atau dampak yang timbul dalam beberapa hari (reaksi akut) pada penyintas
kecelakaan kendaraan bermotor. Kecemasan merupakan reaksi utama yang ingin
dilihat dalam penelitian ini. Perilaku, pikiran dan perasaan apa saja yang sering
muncul dalam beberapa hari yang dialami penyintas. Pendekatan kualitatif juga
dimaksudkan untuk memahami mekanisme coping penyintas, serta dukungan
psikososial seperti apa saja yang telah ia dapatkan dan harapkan untuk membantu
pemulihannya.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah psychological first aid
(PFA) sebagai sebuah bentuk treatment awal dalam mengurangi dampak peristiwa
traumatis, dapat secara efektif mengurangi gejala kecemasan yang dialami
penyintas kecelakaan kendaraan bermotor. Untuk menguji efektivitas sebuah
intervensi atau program, maka penelitian ini menggunakan desain pre test post
test (Kumar, 1996).
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan

melalui pengisian

kuesioner Beck Anxiety Inventory (BAI) oleh penyintas kecelakaan kendaraan


bermotor untuk melihat tingkat kecemasannya, serta wawancara dan observasi
kepada partisipan penelitian.
Partisipan Penelitian

129

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Partisipan dalam penelitian ini adalah penyintas kecelakaan kendaraan


bermotor yang bertempat tinggal di wilayah Provinsi Bali. Partisipan yang akan
menjadi sampel dalam penelitian ini terdiri dari tiga orang yang memiliki
karakteristik tertentu sesuai dengan fenomena atau tujuan yang ingin diteliti
(purposive sampling), yaitu :
1. Penyintas kecelakaan kendaraan bermotor yang mendapatkan penangan
segera setelah kecelakaan di instalasi rawat darurat (IRD) di rumah sakit,
yang mengalami luka pada wajah dan/atau bagian tubuh lainnya.
2. Berusia remaja (10-19 tahun).
3. Tingkat kecemasan tinggi (di atas skor 36) hasil interpretasi BAI yang
telah diisi oleh partisipan.
4. Bersedia menjadi partisipan penelitian dan mengisi inform consent.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Alat ukur the Beck Anxiety Inventory (BAI).
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Beck Anxiety Inventory (BAI)
sebagai alat untuk mengukur tingkat kecemasan penyintas kecelakaan
kendaraan bermotor. BAI merupakan Pengembangan dari 21 item self
report inventory untuk mengukur tingkat kecemasan. BAI sendiri telah
mempunyai panduan interpretasi mengenai tingkat kecemasan itu sendiri,
yaitu angka 0-21 mengindikasikan kecemasan yang sangat rendah, 22-35
mengindikasikan

tingkat

kecemasannya

sedang

dan

36-63

mengindikasikan tingkat kecemasan yang tinggi dan perlu mendapatkan


perhatian yang serius (dalam Beck, Epstein, Brown, Steer, 1988). Dalam
penelitian ini BAI yang digunakan sudah diadaptasi ke dalam bahasa
Indonesia (Kartikasari, 2009).
b. Panduan wawancara bagi peneliti.
c. Modul PFA bagi penyintas kecelakaan kendaraan bermotor.
d. Alat bantu lain seperti kamera digital dan tape recorder untuk merekam
wawancara yang dilakukan.

130

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Prosedur Intervensi
Intervensi dilakukan dengan mengunjungi penyintas di rumahnya. Setelah
peneliti memperkenalkan diri serta menyampaikan maksud dan tujuan
kedatangannya dan menjelaskan bahwa peneliti mengetahui data penyintas dari
rumah sakit, peneliti meminta penyintas untuk mengisi Beck Anxiety Inventory
(BAI) sebagai alat untuk mengukur level gejala kecemasan. Apabila skor
kecemasan penyintas di atas skor 22-35 (sedang) atau 36-66 (tinggi), maka
peneliti akan melakukan intervensi kepada penyintas dengan terlebih dahulu
menanyakan kesediaannya untuk menjadi partisipan penelitian. Bila skor
kecemasan penyintas hanya 21 atau di bawahnya (rendah), peneliti tidak akan
memberikan intervensi, namun hanya memberikan psikoedukasi. Penyintas
dengan level kecemasan tinggi atau sedang yang bersedia untuk menjadi
partisipan penelitian, akan menjalani empat sesi pertemuan selama empat hari
berturut-turut, dimana setiap sesinya akan berlangsung selama 90 menit.
Di sesi pertemuan pertama intervensi, peneliti lebih banyak melakukan
komunikasi yang sifatnya membangun raport dengan partisipan. Peneliti
memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud dan tujuan kedatangaan peneliti
menemui penyintas. Peneliti menggali informasi dengan menanyakan hal-hal
yang berkaitan dengan rasa aman dan kenyamanan partisipan selama beristirahat
di rumah atau selama menjalani rawat jalan. Peneliti juga mengkomunikasikan
apakah partisipan mengalami kesulitan atau hambatan dalam proses pemulihan.
Di sesi pertemuan kedua dengan partisipan, peneliti memberikan
intervensi dengan membantu penyintas untuk mengungkapkan perasaan, pikiran
serta reaksi fisik dan perilaku yang partisipan alami pasca mengalami kecelakaan.
Dalam sesi ini diharapkan apa yang diungkapkan partisipan kepada peneliti bisa
menjadi ventilasi untuk mengekspresikan emosi-emosi negatif yang dirasakan
partisipan. Peneliti juga membantu penyintas untuk lebih mengenal coping positif
dan dukungan psikososial yang dapat membantu penyintas dalam mempercepat
proses pemulihan psikologisnya.

131

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Pada sesi pertemuan ketiga intervensi, peneliti mengajak partisipan untuk


memaknai secara positif dan menemukan hikmah dari kecelakaan yang baru
dialaminya. Peneliti memberikan teknik relaksasi progresif kepada penyintas
sebagai salah satu cara mengurangi gejala kecemasan, ketegangan-ketegangan
otot tubuh ataupun mengurangi bentuk distres lainnya. Peneliti juga meminta
partisipan untuk mengajarkan sebuah teknik relaksasi atupun teknik olah
pernapasan atau teknik manajemen stres lainnya yang mungkin telah dimiliki
penyintas dan efektif bagi dirinya untuk mengurangi distres yang pernah dia
alami. Dengan partisipan mengajarkan sebuah teknik relaksasi kepada peneliti,
diharapkan penyintas merasa bahwa dirinya berdaya dan lebih mengenal kapasitas
yang ada dalam dirinya juga dapat membantu mempercepat proses pemulihan
psikologisnya.
Pada sesi pertemuan terakhir (pertemuan ke empat), partisipan diminta
untuk mengungkapkan kembali gejala atau apa yang dia rasakan pasca mengalami
kecelakaan, serta bagaimana perubahan yang terjadi terhadap gejala-gejala
tersebut setelah menjalani proses intervensi selama empat hari bersama peneliti.
Peneliti meminta penyintas menghayati kembali coping yang telah dilakukannya
serta apa yang dia rasakan dari dukungan psikososial yang didapatkannya.
Partisipan juga diminta mengisi kembali kuesioner BAI, untuk melihat apakah ada
penurunan skor gejala kecemasan setelah dilakukan intervensi.
Metode Analisa Data
Data dianalisa sesuai dengan tema-tema yang ingin dicari dalam penelitian
ini. tema-tema yang ingin dilihat adalah gambaran umum kehidupan sehari-hari
partisipan (penyintas kecelakaan kendaraan bermotor), gambaran stres dan gejala
kecemasan partisipan pasca mengalami kecelakaan, strategi coping, dukungan
psikososial, penilaian partisipan terhadap intervensi, serta perubahan skor dan
penghayatan stres dan gejala kecemasan partisipan pasca menjalani proses
intervensi.

132

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Hasil Penelitian
Secara ringkas hasil penelitian dapat peneliti paparkan dalam tabel di
bawah ini :
Y
Laki-laki berumur 15
tahun, keluarga sangat
sejahtera, setiap hari
pergi ke sekolah dan
melakukan aktivitas lain
di luar rumah dengan
mengendarai motor
sendiri.

DP
Perempuan berumur 16
tahun, keluarga sangat
sederhana, setiap hari
pergi ke sekolah dan
melakukan aktivitas lain
di luar rumah dengan
mengendarai motor
sendiri.

Pikiran

Bertanya-tanya pada
diri sendiri tentang
bagaimana komentar
teman-teman dengan
gigi saya yang patah 2.

Bertanya-tanya pada diri


sendiri bagaimana
keadaan ibu dan
bayi/kehamilannya nanti,
sulit berkonsentrasi.

Perasaan

Malu, kecewa, kurang


semangat, waspada,
takut, bosan, malas,
cemas, tidak sabar,
orang lain yang
menyebabkan dirinya
mengalami kecelakaan.
Otot tubuh tegang, gigi
sakit, sulit tidur, baru
bangun tidur leher
sakit.

Takut, merasa bukan


dirinya yang bersalah
dalam peristiwa yang
terjadi.

Gambaran
Umum
Kehidupan
Partisipan

Fisik

Perilaku

Takut mengendarai
motor sendiri di jalan
raya.

D
Perempuan berumur 20
tahun, keluarga
menengah ke atas,
setiap hari pergi ke
kampus dan melakukan
aktivitas lain di luar
rumah dengan
mengendarai motor
sendiri.
Bertanya-tanya pada diri
sendiri kenapa saya bisa
jatuh lagi, teringat
tentang kecelakaan yang
dialami, sulit
berkonsentrasi.
Takut, cemas, was-was,
merasa tidak enak
karena merepotkan
orang lain, kecelakaan
merupakan kesalahan
sendiri.
Otot-otot tubuh tegang
dan kaku, sulit tidur,
tubuh lemas, kurang
bersemangat.
Jadi sering menyendiri di
kamar.

Strategi Coping

Baca komik, main


game, menggambar,
ngobrol dengan
keluarga, memakai gigi
palsu, sembahyang.

Bercerita/ngobrol dengan
anggota keluarga atau
teman, mendengarkan
musik, nonton tv, menulis
diary

Cerita atau ngobrol


dengan teman, jalanjalan, makan, sms-an,
internetan, nonton tv,
sembahyang atau
berdoa.

Dukungan
Psikososial

Orang tua, keluarga,


teman sekolah.

Anggota keluarga di
rumah, saudara, teman
sekolah.

Teman kampus.

Hambatan
dalam
pemulihan
psikologis

Kurangnya perhatian dan


dukungan dari anggota
keluarga di rumah.

133

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Hikmah Positif
dari Kecelakaan
yang Dialami.

Harus lebih hati-hati


dan waspada jika
mengendarai motor,
jadi lebih rajin berdoa.

Harus lebih berhati-hati,


tidak boleh bengong jika
mengendarai motor,
harus lebih terbuka
dengan keluarga jika
punya masalah.

Ketika mengendarai
motor tidak boleh buruburu dan dalam keadaan
marah atau kesal, jadi
lebih dekat dengan
teman, tidak selalu
menyalahkan lingkungan,
diri sendiri yang sangat
berperan dalam
menyebabkan
kecelakaan yang dialami.

Penilaian
Terhadap
Intervensi

Bermanfaat, membantu
pemulihan psikologis,
ada teman
berkomunikasi,
mendapat manfaat dari
relaksasi dan rileks.
progresif yaitu menjadi
lebih tenang

Bermanfaat, membantu
pemulihan psikologis,
membuat lebih tenang,
nyaman dan dikuatkan
(coping DP didukung
atau dinilai baik oleh
peneliti)

Membantu pemulihan
psikologis, membantu
dalam menemukan
hikmah positif.

Perubahan
penghayatan
gejala
kecemasan.

Lebih rileks, tenang,


nyaman.

Tidur lebih nyaman, lebih


bisa berkonsentrasi,
tenang, nyaman.

Merasa senang, nyaman,


merasa banyak yang
perhatian, otot-otot jadi
lebih rileks.

Perubahan/Pen
urunan Skor
Gejala
Kecemasan
Sebelum dan
Sesudah
Intervensi

Dari 36 menjadi 18
(turun 18 poin)

Dari 23 menjadi 8 (turun


15 poin)

Dari 34 menjadi 8 (turun


26 poin)

Analisa Antar Partisipan


Skor gejala kecemasan Y yang tinggi (36) ketika peneliti memulai
intervensi, kemungkinan dikarenakan Y masih merasakan sakit dan persepsi yang
tidak menyenangkan karena giginya yang patah dua. Sebelum mengalami
kecelakaan, bisa dikatakan Y tidak pernah mengalami permasalahan atau stres
yang sampai mengganggu fungsi keseharian dalam hidupnya, sehingga
kecelakaan ini menjadi pengalaman traumatis pertama dia alami. Oleh karena itu,
peneliti memperkirakan kecelakaan yang Y alami menjadi sesuatu yang
dihayatinya

dengan

sangat

dalam,

sehingga

menimbulkan

gejala-gejala

kecemasan yang tinggi ketika dilakukan pengukuran melalui beck anxiety


inventory (BAI).

134

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

DP merupakan partisipan yang menunjukkan skor gejala kecemasan yang


paling rendah (23) diantara ketiga partisipan dalam penelitian ini. Meskipun skor
gejala kecemasan DP berada dalam tingkat sedang, namun dari apa yang
diungkapkan DP selama proses intervensi berjalan menunjukkan bahwa,
penghayatannya terhadap kecelakaan yang baru saja dia alami sangat
mengganggu dan membuatnya tidak nyaman. Keyakinannya yang merasa tidak
bersalah dalam kecelakaan yang terjadi, namun tetap harus memberikan perhatian
kepada ibu yang bertabrakan dengan dirinya, menjadi sesuatu yang bertentangan
di dalam dirinya. DP juga merasa bersalah pada dirinya dan kedua orang tuanya,
karena tidak mengikuti nasihat kedua orang tuanya agar tidak menyeberang
melewati candi (gapura gang yang terbuat dari batu) ketika akan memasuki gang
untuk menuju ke rumahnya sebelum kecelakaan tersebut terjadi.
Terbatasnya keadaan ekonomi keluarga dan di sisi lain DP harus berurusan
dengan hukum karena motornya ditahan dan dinyatakan bersalah oleh polisi,
menjadikan stresor yang sangat kuat dalam penghayatan DP. Kondisi ibu yang
sedang hamil delapan bulan anak pertamanya dan harus diopname, menjadi stres
yang sangat besar bagi DP karena dengan terbatasnya ekonomi keluarga,
bagaimana harus bertanggung jawab dalam membantu biaya pengobatan ibu yang
bertabrakan dengan dirinya tersebut. DP lebih menerima manfaat intervensi yang
berupa penguatan-penguatan emosi dan support dari peneliti yang menilai baik
strategi coping yang telah dilakukannya.
Temuan yang sangat menarik adalah baik Y dan DP sama-sama
mendapatkan dukungan psikososial dari teman dan keluarga, sedangkan D hanya
mendapatkan dukungan psikososial dari temannya, bahkan menurut D keluarga
merupakan faktor penghambat dalam proses pemulihan psikologisnya. Sebelum
mengalami kecelakaan, D telah mempunyai permasalahan dengan anggota
keluarganya di rumah. Hal ini juga menjadi stresor tambahan bagi D, karena dia
menghayati bahwa kurangnya perhatian dan komunikasi dengan keluarga,
membuat dirinya merasakan tidak mempunyai sumber daya yang bisa dimintai
bantuan ketika mengalami permasalahan dalam hidupnya. Pengalaman mengalami

135

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

kecelakaan sebanyak dua kali dalam sebulan menjadikan stres yang dialami D
seolah terakumulasi, sehingga faktor inilah yang menyebabkan skor gejala
kecemasannya hampir berada pada tingkat yang tinggi (34). Namun diantara
ketiga partisipan dalam penelitian ini, D mempunyai penurunan skor gejala
kecemasan yang paling besar. Walaupun D tidak mendapatkan dukungan
psikososial dari keluarga, namun peneliti berkeyakinan bahwa faktor yang
membuat skor gejala kecemasannya menurun paling besar adalah karena D lebih
banyak memaknai secara positif dan mendapatkan hikmah dari kecelakaan yang
dialaminya. D sangat merasakan manfaat intervensi dari hal-hal yang berusaha
menggali lebih dalam pemaknaan partisipan tentang peristiwa yang dialaminya,
serta mengajak partisipan menemukan hikmah positif dari kecelakaan yang baru
dialaminya.
Diskusi
PFA menjadi intervensi yang efektif dalam mengurangi gejala kecemasan
yang dialami penyintas dalam beberapa hari pasca mengalami kecelakaan
dikarenakan PFA membantu penyintas untuk mengungkapkan perasaan dan
pikiran yang tidak menyenangkan, sehingga beban atau tekanan yang dialami
penyintas juga menjadi berkurang. Menguatkan dan meningkatkan coping positif
serta dukungan psikososial yang dimiliki penyintas juga menjadi bagian utama
intervensi. Penyintas juga diajak untuk menemukan hikmah dan memaknai secara
positif kecelakaan yang dialaminya, sehingga dapat mengimbangi atau
mengurangi emosi-emosi negatif yang hadir akibat persepsi penyintas tentang
peristiwa yang dialaminya.
Peneliti menemukan bahwa tidak tersedianya data lengkap tentang
penyintas kecelakaan kendaraan bermotor yang ditangani di instalasi gawat
darurat (IGD) di kedua rumah sakit tempat peneliti mencari data penelitian.
Penyintas yang diperbolehkan langsung pulang setelah mendapatkan penanganan
di IGD, menyebabkan data lengkap mengenai identitas serta alamat penyintas
menjadi tidak begitu penting untuk menjadi bagian catatan atau dokumen
pelayanan di rumah sakit. Fenomena seperti ini juga didukung oleh faktor bahwa,

136

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

sebagian besar penyintas kecelakaan yang mendapatkan penanganan di IGD


merupakan, hasil rujukan masyarakat atau sesama pengguna jalan, sehingga
ketika tiba di IGD tidak ada orang yang bertanggung jawab untuk
mendaftarkannya sesuai dengan identitas lengkap penyintas.
Kesimpulan
Peneliti menyimpulkan bahwa gejala kecemasan yang dialami penyintas
kecelakaan kendaraan bermotor dikarenakan persepsi mengenai apa atau
bagaiamana yang akan terjadi nanti akibat dari kecelakaan yang terjadi. Persepsi
mengenai dampak negatif yang mungkin akan dialami penyintas ataupun orang
lain, menimbulkan perasaan-perasaan tidak nyaman dalam diri penyintas.
Perasaan takut, was-was dan khawatir untuk mengendarai motor menjadi gejala
yang paling sering muncul pada penyintas. Penyintas juga menjadi tegang dan
tidak tenang pasca mengalami kecelakaan. Penyintas cenderung menggunakan
coping yang berfokus emosi untuk menghadapi atau mengurangi stres yang
dialaminya pasca mengalami kecelakaan.
Hasil penelitian ini juga mendukung teori bahwa, orang yang mengalami
peristiwa traumatis dan mendapatkan dukungan psikososial dari anggota keluarga,
teman ataupun orang-orang terdekatnya, akan mengalami pemulihan psikologis
yang lebih cepat. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa individu yang lebih
banyak mendapatkan hikmah positif dari kecelakaan yang dialaminya, serta
memaknai bahwa apa yang dialaminya merupakan bagian dari kesalahan dirinya,
mengalami pemulihan psikologis yang lebih baik.
Penelitian ini juga membuktikan bahwa, bantuan psikologis sesegera
mungkin dalam hal ini melalui intervensi psychological first aid (PFA) yang
diberikan kepada penyintas kecelakaan kendaraan bermotor sangat efektif dalam
mengurangi gejala kecemasan yang timbul dalam beberapa jam atau beberapa hari
pasca kecelakaan. Efektivitas PFA sebagai sebuah intervensi dalam mengurangi
gejala kecemasan yang dialami penyintas kecelakaan kendaraan bermotor dapat
dilihat dengan penurunan gejala kecemasan yang antara sebelum dengan sesudah
intervensi, serta perubahan penghayatan gejala kecemasan yang menjadi lebih

137

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

baik (rileks, tenang, nyaman, lebih dapat berkonsentrasi dan tidur lebih mudah),
selama menjalani proses intervensi.
Saran
Intervensi yang peneliti lakukan kepada partisipan dalam penelitian ini
terbatas hanya dalam empat sesi pertemuan dalam empat hari berturut-turut. Oleh
karena itu, pelaku PFA sebaiknya melakukan monitoring terhadap penyintas,
untuk melihat apakah skor dan penghayatan gejala kecemasan penyintas semakin
menurun, meningkat atau tetap, selama satu sampai dua minggu pasca melakukan
intervensi. Ketika ditemukan adanya gejala-gejala kecemasan ataupun perubahan
perilaku yang berlanjut pada partisipan, sebaiknya dilakukan tindak lanjut, baik
dengan melakukan pendampingan psikologis maupun merujuk ke profesional
kesehatan mental.
Dukungan psikologis awal seharusnya dapat dilakukan ketika peyintas
kecelakaan berada di instalasi gawat darurat (IGD). Sebelum penyintas pulang
setelah mendapatkan penanganan di IGD, perawat atau petugas dapat melakukan
komunikasi atau memberikan informasi yang dapat membantu mengurangi
kecemasan yang dirasakan penyintas, sekaligus mencari infomasi lengkap
identitas penyintas. Petugas pencatat identitas dapat memberikan informasi
tentang reaksi-reaksi apa yang biasanya muncul pada orang yang mengalami
kecelakaan kendaraan bermotor dan reaksi tersebut merupakan reaksi yang
normal.
Untuk di Bali sendiri, dengan sistem organisasi kemasyarakatannya yang
sangat kuat dan mengikat, pelatihan PFA dapat dilakukan kepada ibu-ibu PKK
atau pengurus banjar setempat, sehingga promosi dan penerapan PFA dapat
menjangkau sampai ke lapisan masyarakat paling bawah, termasuk ketika ada
salah satu anggota banjar yang mengalami kecelakaan. Pelatihan PFA juga harus
melibatkan anggota STT (seka teruna teruni/karang taruna), yang sekaligus
disisipkan dengan materi bagaimana perilaku berkendara yang baik di jalan,
disamping meningkatkan pengetahuan mereka tentang pentingnya dukungan
psikososial dan menjaga kesejahteraan psikologis itu sendiri.

138

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Khusus untuk di PMI sendiri, PFA seharusnya menjadi kompetensi wajib


bagi setiap relawan yang bertugas dalam respon bencana. Selain berguna dalam
membantu penyintas bencana, PFA juga bisa diberikan bagi sesama anggota
relawan yang sedang bertugas. Dengan menerapkan prinsip-prinsip komunikasi
yang teraupetik dan penyediaan dukungan emosi, PFA dapat menjadi salah satu
alternatif bantuan psikologis bagi sesama anggota relawan yang menghadapi
permasalahan atau distres ketika bertugas dalam seting respon bencana.
Keterbatasan waktu dan kecilnya jumlah partisipan dalam penelitian ini,
tentunya akan menjadi bahan diskusi dan perdebatan ketika peneliti menarik
kesimpulan tentang efektivitas PFA. Hal ini menjadi alasan kuat mengapa
penelitian-penelitian serupa harus segera dilakukan. Tingginya angka kecelakaan
di Indonesia serta kurangnya literatur mengenai dampak psikologis jangka
panjang yang dialami penyintas kecelakaan juga menjadi pertimbangan penting,
mengapa penelitian seperti ini harus menjadi perhatian serius para penyedia
layanan kesehatan mental. Diharapkan penelitian serupa bisa dilakukan kepada
penyintas kecelakaan kendaraan bermotor usia dewasa atau anak-anak.
Kepustakaan
Beck, A.T., Epstein, N., Brown, G., & Steer, R.A. (1988). An Inventory for
Measuring Clinical Anxiety: Psychometric Properties, APA.

Benight, C.C., Cielsak, R., Molton, I.R., & Johnson, L.E. (2008). Self-Evaluative
Appraisals of Coping Capability and Posttraumatic Distress Following
Motor Vehicle Accidents. Journal of Consulting and Clinical Psychology.
Vol. 76. No. 4, 677-685.
Boege, K., & Gehrke, A. (2005). Preventing Posttraumatic Stress-Psychological
First Aid at the Workplace, Safety Science Monitor. Vol 9, Issue 1, Short
Communication 1, Dresden.
Bryant, R.A., Moulds, M.L., & Guthrie, R.M. (2000). Accute Stress Disorder
Scale: A Self-Report Measure of Acute Stress Disorder, Psychological
Assesment, Vol. 12, No. 1, 61-68.
Carll, E.K. (2000). Trauma Psychology, Issues in Violence, Disaster, Health, and
Illness, Volume 2 : Health and Illness. USA : Praeger.

139

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Delahanty, D.L. (1997). Acute and Chronic Distress and Posttraumatic Stress
Disorder as a Function of Responsibility for Serious Motor Vehicle
Accidents. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 165. No.
4, 560-567.
Everly, G.S., Phillips, S.B., Kane, D., & Feldman, D. (2006). Introduction to and
overview of Group Psychological First Aid. Oxford University Press.
Feist, J & Feist, G.J. Theories and Personality (Yudi Santosa, Penerjemah).
Jakarta: Pustaka Pelajar.
Harrison, W.A. (1999). Psychological Disorders as Consequences of Involvement
in Motor Vehicle Accidents : A Discussion and Recommendations for A
Research Program. Monash University Accident Research Centre. Report
No. 153.
Kumar, R. (1996). Research Methodology A Step-By-Step Guide For Beginners.
London : Sage Publications.
Meares, A. (1963). The Management of The Anxious Patient. London: W. B.
Saunders Company.
Motor Accidents Authority of NSW. (2003). Guidelines for the Management of
Anxiety Following Motor Vehicle Accidents. Sydney NSW.
Papalia, D.E., Old, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human Development
Perkembangan Manusia, Jakarta: Salemba Humanika.
Peurifoy, R.Z. (2005). Anxiety, Phobias, & Panic. New York: Warner Books.
Poerwandari, E.,K. (2009). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Cetakan Ketiga. Depok: LPSP3 UI.
Reyes, G., & Jacobs, G.A. (2006). Handbook of International Disaster
Psychology. Volume II Practices and Programs. USA: Praeger Publisher.
Kartikasari, A. D. (2009). Pelatihan Teknik Relaksasi Untuk Menurunkan
Kecemasan pada Primary Caregiver Penderita Kanker Payudara.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Tesis.
Soewondo, S. (2009). Panduan dan Instruksi Latihan Relaksasi Progresif. (CD)
Depok: LPSP3 UI.

140

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Uhernik, J.A., & Husson, M.A. (2009). Psychological First Aid : An Evidence
Informed Approach for acute Disaster Behavioral Health Response.
American Counseling Association. North Carolina: Charlotte.
Vernberg, E.M., et al. (2008). Innovation in Disaster Mental Health :
Psychological First Aid, APA, Vol.39, No. 4, 381 388.
Yehuda, R. (2002). Treating Trauma Survivors With PTSD. Washington:
American Psychiatric Publishing.

141

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

RE-BRANDINGDAN MODEL AISAS DALAM MEMBANGUN


KESETIAAN PELANGGAN ES KRIM MEREK MAGNUM
Ni Nyoman Murniasih. Ni Wayan Karlini
Program Studi : Pendidikan Ekonomi

ABSTRACT
There are re-branding policy from Magnum Ice Cream to give Brand
Equity Value to customer, so that the consumer will have the will to buy.
With AISAS model, it found out that the customers decision to buy the
product increase, the proves are the following: 1. According to score
interpretation criteria, the 88% score on attention point are categorized as
very high, the 85% score on interest point are categorized as very
high, the 71% score on search point as high, the 89% score on action
score are categorized very high, the 71% score on share point are
categorized as moderate high.
Key Words: Re-Branding Policy, AISAS Model, Brand Equity Value

PENDAHULUAN
Komunikasi merupakan dasar bagi keberhasilan strategi promosi
secara umum yang dapat dilakukan oleh perusahaaan.Banyak hal yang dapat
dikomunikasikan kepada pelanggan, tapi ada hal utama yang harus di
komunikasikan pada pelanggan adalah keberadaan tentang merek.Utami
(2010) menyatakan bahwa merek suatu nama atau simbol pembeda, seperti
misalnya logo yang mengidentifikasi produk atau jasa itu dari atau dengan
penawaran pesaing.
Merek dapat memberikan nilai kepada pelanggan, dan sekaligus dapat
menyampaikan informasi kepada konsumen tentang sifat dan pengalaman

142

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

berbelanja.Merek juga mempengaruhi keyakinan pelanggan atas keputusan


yang dibuat untuk membeli barang.
Industri makanan dan minuman memiliki prospek pasar yang masih
cerah seiring pertumbuhan ekonomi, karena dukungan sumber bahan baku
dan populasi masyarakat Indonesia yang semakin bertambah, namun
industri tersebut juga harus berhati-hati menghadapi tantangan seperti
harga

produksi

yang

semakin tinggi.

Kementerian

Perindustrian

memproyeksikan pertumbuhan industri makanan dan minuman pada tahun


2013 tumbuh berkisar 9%. Industri makanan dan minuman menawarkan
berbagai macam jenis produk yang dapat dipilih oleh konsumen, salah
satunya adalah es krim. Perkembangan industri es krim di Indonesia cukup
pesat. Meningkatnya taraf hidup masyarakat Indonesia dan perubahan gaya
hidup, merubah persepsi

masyarakat terhadap es krim bukan hanya

sebagai makanan yang mahal, tetapi sudah seperti makanan selingan.


Pangsa pasar es krim yang luas, menjadikan es krim kini disukai di
berbagai macam kalangan usia, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Salah
satu marketing plan dari es krim Magnum adalah dengan mengkondisikan
dengan sangat langka produk es krim di pasaran, sehingga masyarakat
akan mencari dan berusaha mendapatkannya. Iklan dari es krim Magnum
di buat semenarik mungkin, sehingga masyarakat akan semakin mencari
es krim Magnum. Begitu cepat pengaruh iklan pada penjualan suatu
produk. Es krim Magnum adalah salah satu contoh produk es krim dari
produsen es krim Walls yang bernaung di bawah perusahaan multinasional
Unilever. Proses yang

dilakukan

oleh

pihak

Unilever

mengenai re-

branding es krim Walls Magnum telah menjadikan Walls Magnum


berbeda jika dibandingkan dengan Walls Magnum sebelum dilakukan rebranding. Unilever sebagai pemilik es krim Walls Magnum, tahu bahwa
para penikmat es krim di Indonesia menginginkan sensasi pengalaman

143

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

baru yang berbeda dalam

menikmati sebuah es krim. Untuk itulah

Unilever mencoba mendesain ulang dengan memberikan kesan yang unik


dalam menikmati sebuah es krim. Unilever mencoba mendesain ulang
branddari sebuah es krim bermerek Magnum menjadi sebuah merek
(brand), yang memiliki identitas yang unik dan otentik.
Berkaitan dengan itu, penulis tertarik untuk melakukan riset pemasaran
tentang ; Re-Branding Dan Model AISAS dalam Membangun Kesetiaan
Pelanggan Es Krim Merek Magnum
TINJAUAN PUSTAKA
Salah satu proses buying consumer yaitu AISAS model. Model ini
dikembangkan oleh agen periklanan Dentsu pada tahun 2005. Pada model ini
konsumen mengikuti proses. Pertama mereka menjadi sadar akan produk atau
jasa (Attention), mendapatkan tertarik (Interest), mencari informasi yang
relevan melalui internet(Search), selanjutnya membeli produk (Aksi), dan
mengirimkan ulasan melalui internet setelah menggunakan produk (Share).
Jadi AISAS adalah model siklus dimulai dengan attention, memutuskan untuk
membeli, selanjutnya langkah terakhir adalah share yang membawa proses
kembali ke awal dengan menyebarkan

kesadaran produk bagus atau

burukdiantara teman-teman melalui media sosial atau situs-situs review


produk.
Jadi target pemasaran dengan model AISAS ini adalah; Perhatian :
meningkatkan kesadaran konsumen terhadap produk. Interest : Tumbuh
evaluasi konsumen tentang suatu produk. Search : Mendapatkan umpan balik
yang baik tentang produk dan konsumen. Aksi : Memberikan kesempatan
konsumen untuk membeli produk. Share : Mendorong konsumen untuk
mengirimkan informasi berkualitas tinggi tentang suatu produk (Imam Ashari
: 2012 )

144

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Re-branding merupakan upaya yang dilakukan oleh perusahaan atau lembaga


untuk mengubah total atau memperbaharui sebuah brand yang telah ada agar
menjadi lebih baik, dengan tidak mengabaikan tujuan awal perusahaan, yaitu
berorientasi profit.Rebranding sebagai sebuah perubahan merek, seringkali
identik dengan perubahan logo ataupun lambang sebuah merek. Dengan kata
lain, ketika melakukan rebranding maka yang berubah ialah nilai-nilai dalam
merek itu sendiri. Anholt (2007) mengatakan bahwa intisari dari re-branding
adalah proses merancang, merencanakan,, dan mengkomunikasikan ulang
nama atau identitas produkatau jasa yang bertujuan untuk mengelolaan
reputasi di masyarakat. Kegiatan memposisikan ulangsuatu merek ini sendiri
memerlukan perubahan bentuk dan citra yang ingin dicapai.Tujuan utamanya
adalah mempengaruhi persepsi konsumen tentang sebuah produk atau jasa.
Ada beberapa alasan mengapa perusahaan mengadakan re branding.
Menurut Handito Hadi Juwono (2014) ada : The 5 ReBranding Reasons,
terdiri dari;
1. Brand Crisis; yaitu adanya kemerosotan brand image . Kejadian
kerancuan produk atau bahkan pemberitaan pelanggaran hukum
biasanyamengakibatkan brand crisis.
2. Competitor Change; Perubahan brand yang terjadi pada pesaing biasanya
berupa hadirnya competitor baru dengan brand perkasa, perubahan
strategi brand competitor, perubahan brand identity atau brand
communication.
3. Customer Change ; Perubahan terbesar konsumen terbentuk oleh adanya
godaan para produk atau perusahaan yang memberikan iming-iming yang
luar

biasa

menarik.

Seperti

terjadinya

perang

harga

sehingga

menyebabkan terjadinya perubahan sikap konsumen terhadap produk


tertentu.

145

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

4. Regulation Change; Perubahan tentang pemberlakuan peraturan tentang


prinsip persaingan sehat, minimalisasi kartel dagang, revisi undangundang tentang perseroan terbatas maupun berbagai kesepakatan antara
biro iklan tentang cara beriklan, ini semuanya mendorong terjadinya rebranding.
5. Strategic Change; Perubahan strategi perusahaan jangka panjang,
terutama menyangkut penataan produk komunikasi, perumusan ulang
strategi bisnis dan model bisnis akan mengarah kepada re-branding.
Untuk menciptakan brand sebuah perusahaan tidaklah mudah.Ada dua komponen
penting yang perlu dipertimbangkan, yakni tampilan dan bahasa.
1. Tampilan berhubungan dengan logo bisnis atau produk. Sebuah logo yang
efektif seharusnya :
a. Unik dan menarik bagi target market.
b. Mampu menggambarkan sifat alami bisnis, produk, atau servis. Hal ini
dapat ditafsirkan dengan dua cara yaitu literal dan abstrak.
c. Tidak mudah usang/ketinggalan jaman karena pergantian waktu (tahan
lama).
d. Dapat diterapkan dalam semua konteks potensi komunikasi.
2. Aspek yang sama pentingnya dalam membuat brand ialah bahasanya atau
cara mengungkapkannya. Hal ini sering dijelaskan sebagai tagline atau cara
memposisikan pernyataan. Hal ini digunakan untuk meyakinkan konsistensi
dan kelanjutan dari kedua hal yaitu penampilan dan bahasa menggambarkan
perusahaan yang sekarang kepada pelanggan.
Re-branding juga diharapkan memberikan brand equity, sehingga loyalitas
pelanggan akan suatu merek akan muncul dari proses kesadaran atas merek
itu dan ikatan emosional terhadapnya. CristinaWhidya Utami (2010)
membangun ekuitas merek dapat dilakukan melalui; menciptakan suatu

146

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

kesadaran merek yang tinggi, mengembangkan asosiasi yang menyenangkan


dengan nama merek., dan memperkuat citra merek secara konsisten.
Dalm Journal of Product &Brand Management Vol 15 No 2 dinyatakan
bahwa kesadaran merek dan image berdampak positif terhadap kepuasan dan
kepercayaan terhadap merek tersebut sehingga mampu meningkatkan
penjualan dimasa depan. Hal ini tampak pada (1) kesadaran akan merek
berdampak positif terhadap kepuasan, (2) kesadaran akan merek berdampak
positif terhapak kepercayaan akan merek, (3) image terhadap merek
berdampak positif terhadap kepuasan akan merek dan (4) image terhadap
merek bedampak positif terhadap kepercayaan akan merek (Franz Rudolf
Esch and Tobian Lagner et, al., 2006 :98105).
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini dipergunakan metode penentuan subyek penelitian
secara purposive, yaitu sesuai dengan tujuan penelitian yaitu pelanggan es krim
Magnum yang dalam kehidupan sehari-harinya mempergunakan internet pada
hanphone atau fasilitas sosial lain, sehingga cocok dengan karakter model
AISAS.Jumlah sampel yang diambil adalah 30 orang, yang bertempat tinggal di
Ubud.Sumber datanya terdiri dari data primer yaitu langsung dari pelanggan dan
data skunder yang berasal dari media baik cetak maupun elektonik.Teknik
pengumpulan data mempergunakan kuesioner berupa daftar pertanyaan yang
langsung disampaikan kepada pelanggan. Analisis data secara deskriptif dengan
cara memaparkan hasil penelitian secara sistimatis sehingga dapat ditarik suatu
simpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sejarah Singkat Es Krim Magnum
Magnum adalah es krim yang dimiliki oleh perusahaan Unilever Inggris /
Belanda, dan dijual sebagai bagian dari produk Heartbrand di sebagian besar
negara.Es krim yang saat ini dikenal sebagai magnum, diluncurkan di Swedia

147

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

pada tahun 1989 dan pertama kali diproduksi oleh Frisko di Denmark.Magnum
yang asli (yang kemudian diganti namanya menjadi Magnum Classic) berbentuk
seperti sebuah bar tebal es krim vanilla, ditutupi dengan coklat putih atau gelap,
dengan berat 86 gram (120 ml). Perusahaan mulai menjual Magnum es krim pada
tahun 1994 dan Sandwich es krim pada tahun 2002.
Mulai tahun 1992 Perusahaan menambah Magnum Mint, Double Chocolate, dan
rasa lainnya. Pada tahun 2002 Magnum bercabang menjadi yogurt beku dengan
buah raspberry swirl mereka tercakup dalam coklat susu. Di Australia dan
Selandia Baru, produk yang dijual di bawah nama merek Streets Ice Cream. Pada
tahun 2003. mengeluarkan seri edisi terbatas es krim dikenal sebagai Sembilan
nama Sixties terkait enam puluhan menampilkan: John Lemon, Kayu Choc, Jami
Hendrix, ChocWork Orange, Perdamaian Mangga, Cinnaman di Bulan, Cherry
Guevara, Candy Warhol dan Jambu Lampu. Konsumen yang mengumpulkan
sembilan dari stik es krim ini bisa mengirim mereka mendapatkan Magnum
gratis T-Shirt.Popularitas ekstrim dari Orange ChocWork mengakibatkan Streets
menjualnya sebagai Chocolate Orange Magnum untuk beberapa waktu setelah
sisa rentang dihentikan.Demikian pula, Envy Peppermint rentang Tujuh Dosa
Mematikan menjadi Peppermint dan masih tersedia di Australia hari ini. Di
Yunani dan Rumania, nama merek Magnum dimiliki oleh Delta / Nestl,
sehingga es krim Unilever menggunakan nama Magic. Pada tahun 2008 Magnum
telah membawa keluar varian baru di Inggris Mystica Maya yang merupakan es
krim Magnum coklat dicampur dengan kayu manis, pala dan rasa madu, dan
Magnum Minis tersedia dalam berbagai rasa. Eva Longoria adalah wajah dari
Magnum pada 2008.Juga di tahun 2008, Josh Holloway, dari televisi Lost, terpilih
sebagai juru bicara laki-laki pertama Magnum di Turki. Benicio del Toro dan
Caroline Correa membintangi iklan televisi untuk Magnum Emas, disutradarai
oleh Bryan Singer. Pada tahun 2009 mereka memperkenalkan Magnum Mini
Moments. Mereka datang dalam 3 jenis coklat: susu, putih dan gelap semua

148

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

dengan 5 rasa yang berbeda, termasuk almond, truffle dll Di Cina nama Magnum
masih dipertahankan, namun ada varietas yang lebih sedikit; sebagai tahun 2009
hanya ada vanila, cappuccino, dan renyah. Mint dan coklat ganda diperkenalkan
pada tahun 2006 / 2007 namun ditarik dari pasar pada tahun 2008 (atau mungkin
sebelumnya).
2. Perbedaan Es Krim Magnum Sebelum Dan Sesudah Re-Branding
Berikut perbedaan-perbedaan es krim Magnum sebelum di re-branding dan
sesudah di-rebranding:
1. Kemasan
Secara umum perbedaan mendasar yang membedakan es krim Magnum
sebelum dan sesudahre-branding adalah bentuk kemasan yang mencolok
dalam

hal desain pemilihan font dan pemilihan warna. Pada desain

kemasan es krim Magnum sebelum re-branding (lama) khususnya pada


bentuk font, terlihat atau terkesan kuat dan kaku. Sedangkan es krim
Magnum yang sekarang didesain dengan bentuk font yang memiliki kesan
mewah. Sedangkan untuk model yang sekarang dengan bentuk font yang lebih
besar dan huruf M yang seperti dibuat dengan cetakan membuat kesan
mewah dan berwarna coklat dan keemasan menambah kesan ekslusif pada
desain kemasan es krim Magnum.

Gambar 1.1
Sebelum re-brandingdan sesudah re-branding es krim Magnum

149

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

2. Varian Rasa
Setelah lebih dari satu dekade es krim Magnum hadir di Indonesia dengan
hanya satu varian rasa saja yaitu rasa vanila berlapis coklat, tapi
sekarang

setelah melakukan

perkenalan

ulang (re-branding) es

krim

Magnum memperkenalkan beberapa varian rasa baru ketika pertama kali


diperkenalkan ulang ke masyarakat. Berikut varian rasa magnum untuk
kawasan Indonesia :
a. Magnum Almond
Es krim vanilla yang lembut dan rasa vanillanya yang manis dilapisi
Belgian Chocolate yang merupakan food for royalty, ditambah potongan
almond yang memberikan sensasi petualangan tersendiri di tiap gigitannya
b. Magnum Black Espresso& Pink Pomegranate
Mengusung slogan Different Ice Cream for Different Moment, Magnum
Pink dan Magnum Black memang diciptakan dengan rasa yang berbeda
untuk momen yang berbeda.Magnum Pink didesain untuk menemani harihari penuh kecerian dan dinamis. Sedangkan Magnum Black untuk
momen yang lebih elegan dan sophisticated. Dua perbedaan ini juga
dibalut dengan cita rasa yang berbeda.Magnum Pink yang dikira
mengusung rasa stroberi, ternyata dibalut dengan rasa pomegranate(buah
delima).

Sedangkan

Magnum

Black

dibalut

dengan

rasa

kopi

espreso.Kedua varian ini memiliki unique selling point.Magnum Pink


keluar dari stigma stroberi. Sedangkan Magnum Black mengambil gaya
hidup minum kopi masyarakat perkotaan. Keduanya dibaluri cokelat
Belgia, merepresentasikan kesan mewah dan premium.
c. Magnum Choco Cappuccino
Es krim lembut dengan rasa Cappuccino yang khas. Dilapisi Belgian
Chocolate yang merupakan 'food for royalty'.Manjakan dirimu dalam

150

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

kenikmatan Pleasure yang begitu mewah dari Magnum Choco


Cappuccino.
d. Magnum Chocolate Truffle
Perpaduan es krim coklat dengan saus chocolate truffle yang lembut
dilapisi Belgian Chocolate yang merupakan 'food for royalty' Manjakan
dirimu dalam kenikmatan yang begitu mewah dari Magnum Chocolate
Truffle.
e. Magnum Classic
Es krim vanillanya yang lembut dan rasa vanillanya yang manis. Dilapisi
Belgian Chocolate yang merupakan food for royalty. Manjakan dirimu
dalam kenikmatan Timeless Pleasure yang begitu mewah dari Magnum
Classic.
f. Magnum Chocolate Brownie
Es krim brownies yang lembut dilapisi dengan Belgian chocolate yang
tebal serta potongan besar cashew nut. Nikmati perpaduan mewah ini
dalam Magnum Chocolate Brownies
g. Magnum Chocolate & Strawberry
Es krim vanilla yang berisi saus strawberry lezat, dibalut dalam tebalnya
Belgian chocolate. Manisnya cokelat dan segarnya strawberry berpadu pas
dalam Magnum Chocolate Strawberry
h. Magnum Golden Hazelnut
Es krim hazelnut yang lembut dalam balutan Belgian milk chocolate yang
tebal dan potongan hazelnut yang renyah.Manjakan lidahmudengan
kenikmatan mewah ala Magnum Golden Hazelnut.
i.

Magnum Gold
Es krim vanila lembut dengan saus sea salt caramel yang dilapisi cokelat
Belgia berlapis emas yang tebal dan renyah.

151

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

h. Magnum Infinity
Es krim cokelat lembut dengan saus caramel, dan balutan cokelat istimewa
Tanzania yang tebal dan renyah serta taburan biji cokelat asli.
i.

Magnum Mini
Magnum Mini merupakan produk terbaru Magnum yang tersedia dalam tiga
varian yang sama dengan pendahulunya, yakni Magnum Classic, Almond, dan
Gold

3. Komunikasi Pemasaran
Pencitraan es krim Magnum sebelum di re-branding di mata konsumen
dinilai biasa saja, bahkan tak jarang masyarakat yang belum atau tidak begitu
mengenal es krim Magnum. Namun setelah dilakukan re-branding, dengan
melakukan aktifitas marketing dan promosi melalui media iklan, media
sosial,

hubungan dengan masyarakat, fokus terhadap positioning produk

mereka. Es krim Magnum tidak hanya semakin lebih dikenal dan dicari oleh
para pecinta es krim, tapi juga selalu dinanti mengenai kabar-kabar terbaru
yang menyangkut es krim premium ini.
3. Hasil Penelitian
1. Data Responden
Data responden berdasarkan jenis kelamin dan usia dari 30 responden.
a. Pembagian Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin bagian terbesar (57%) dari 30
responden adalah perempuan
b. Jika dilihat berdasarkan usia, maka pembagian jumlah responden
berdasarkan usianya sebagian besar (18%) dari 30 responden adalah
berumur 20 dan 22 tahun. Untuk range usia responden, bervariasi dari
usia 19 tahun 45 tahun.
c. Kuesioner Penelitian
1) Pernah Melihat Iklan Televisi Magnum Gold

152

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Peneliti menyebarkan kuesioner penelitian kepada 30 responden.Dari


hasil yang didapat bagian terbesar (100%) dari 30 responden
menjawab Ya pernah melihat iklan televisi Magnum Gold.
2) Sudah Memakan Ice Cream Magnum Gold
Peneliti menyebarkan kuesioner penelitian kepada 30 responden.Dari
hasil yang didapat sebagian besar (97%) dari 30 responden menjawab
Ya sudah memakan ice cream Magnum Gold.
3) Tabel Frekuensi dari masing-masing indikator nampak pada tabel
dibawah ini:
Tabel. 1.
Frekuensi Indikator AISAS

No

Dimensi

Yes

Kuesioner

Jumlah

No
%

Jumlah

1
2

Tema setiap iklan magnum menarik perhatian


Model iklan dalam iklan televisi Magnum menarik perhatian

24
27

80%
90%

6
3

20%
10%

Busana yang dikenakan model iklan televisi dalam iklan Magnum


menarik perhatian

26

87%

13%

Pengaturan cahaya (lighting) dalam iklan televisi Magnum


menarik perhatian

17

57%

13

43%

Warna yang ditampilkan dalam iklan televisi Magnum menarik


perhatian

25

83%

17%

Musik pengiring iklan televisi Magnum menarik perhatian

22

73%

27%

Efek blitz iklan


menarikperhatian

18

60%

12

40%

Tema setiap iklan magnum membangkitkan rasa tertarik


terhadap iklan maupun Magnum
24

80%

20%

Demonstrasi ice cream yang ditampilkan dalam iklan televisi


Magnum membangkitkan rasa tertarik terhadap iklan maupun
Magnum .

25

83%

17%

10

Kenikmatan memakan ice cream Magnum membangkitkan rasa


tertarik terhadap iklan maupun Magnum

21

70%

30%

11

Pengaturan cahaya (lighting) dalam iklan televisi Magnum


membangkitkan rasa tertarik terhadap iklan maupun Magnum

12

40%

18

60%

12

Warna yang ditampilkan dalam iklan televisi Magnum


membangkitkan rasa tertarik terhadap iklan maupun Magnum

13

Mencari informasi mengenai harga ice cream Magnum

22
16

73%
53%

8
14

27%
47%

Mencari informasi mengenai rasa ice cream Magnum kepada


orang-orang yang sudah mencoba ice cream tersebut

15

50%

15

50%

Attention

Interest

14

Search

televisi

Magnum

yang

153

ditampilkan

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

15

Mencari informasi mengenai tempat atau toko yang menjual ice


cream Magnum

20%

24

80%

16

Mengunjungi tempat atau toko terdekat yang menjual ice cream


Magnum

23

77%

23%

83%
77%

5
7

17%
23%

17

Action

Melakukan pembelian ice cream Magnum

18

Mengkonsumsi ice cream Magnum

25
23

19

Melakukan share kepada orang lain seperti keluarga, teman, dan


orang lain mengenai kenikmatan memakan ice cream Magum

19

63%

11

37%

20

Melakukan share mengenai kenikmatan memakan ice cream


Magnum melalui facebook, twitter, dll.

10%

27

90%

Memberikan rekomendasi kepada keluraga, teman, atau orang


lain untuk mencoba kenikmatan ice cream Magum

16

53%

14

47%

21

Share

d. Interpretasi Skor Tiap Dimensi


Berikut ini akan dipaparkan mengenai skor-skor dari tiap dimensi yang
diuji dan skor tersebut akan diinterpretasikan berdasarkan kriteria
interpretasi skor yang dikemukakan oleh Riduwan (2009, 88) sebagai
berikut:
1) Angka 0%-20% = Sangat Lemah = Sangat Rendah
2) Angka 21-40% = Lemah = Rendah
3) Angka 41-60% = Cukup Tinggi
4) Angka 61-80% = Kuat = Tinggi
5) Angka 81-100% = Sangat Kuat = Sangat Tinggi
Tabel Interpretasi tiap dimensi
1) Skor Attention
Pada dimensi Attention, terdapat tujuh indikator. Oleh karena itu, skor
tertinggi yang dapat dicapai pada tahap ini menjadi:
Jumlah responden x Jumlah indikator x Nilai tertinggi pada skala
Likert:
30 x 7 x 10 = 2100
Total skor Attention: 1845
% Attention: 1845/2100 x 100% = 88%

154

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Berdasarkan kriteria interpretasi skor, angka 88% pada unsur attention


digolongkan sebagai kategori sangat tinggi
2) Skor Interest
Pada dimensi Interest, terdapat lima indikator. Oleh karena itu, skor
tertinggi yang dapat dicapai pada tahap ini menjadi:
Jumlah responden x Jumlah indikator x Nilai tertinggi pada skala
Likert:
30 x5 x10 = 1500
Total skor Interest: 1270
% Interest: 1270/1500 x 100% = 85%
Berdasarkan kriteria interpretasi skor, angka 85% pada unsur interest
digolongkan sebagai kategori sangat tinggi
3) Skor Search
Pada dimensi Search, terdapat tiga indikator. Oleh karena itu, skor
tertinggi yang dapat dicapai pada tahap ini menjadi:
Jumlah responden x Jumlah indikator x Nilai tertinggi pada skala
Likert:
30 x 3 x 10 = 900
Total skor Search: 635
% Search: 635/900 x 100%=71%
Berdasarkan kriteria interpretasi skor, angka 71% pada unsur search
digolongkan sebagai kategori tinggi.
4) Skor Action
Pada dimensi Action, terdapat tiga indikator. Oleh karena itu, skor
tertinggi yang dapat dicapai pada tahap ini menjadi:
Jumlah responden x Jumlah indikator x Nilai tertinggi pada skala
Likert:
30 x 3 x 10 = 900

155

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Total skor Action: 805


% Action: 805/900 x 100% =89%
Berdasarkan kriteria interpretasiskor, angka 89% pada unsur
actiondigolongkan sebagai kategori sangat tinggi.
5) Skor Share
Pada dimensi Shareterdapat tiga indikator. Oleh karena itu, skor
tertinggi yang dapat dicapai pada tahap ini menjadi:
Jumlah responden x Jumlah indikator x Nilai tertinggi pada skala
Likert:
30 x 3 x 10 = 900
Total skor Share: 640
% Share: 640/900 x 100% = 71%
Berdasarkan kriteria interpretasi skor, angka 71% pada unsur share
digolongkan sebagai kategori cukup tinggi

SIMPULAN
1. Adanya kebijakan re-branding dari es krim Magnum dapat memberikan nilai
equitas merek terhadap pelanggan, sehingga konsumen kembali memiliki
keinginan untuk melakukan pembelian.
2. Melalui model AISAS dapat diketahui bahwa keputusan untuk membeli dari
pelanggan mengalami kenaikan ini terbukti; Berdasarkan kriteria interpretasi
skor, angka 88% pada unsur attention digolongkan sebagai kategori sangat tinggi,
angka 85% pada unsur interest digolongkan sebagai kategori sangat tinggi, angka
71% pada unsur search digolongkan sebagai kategori tinggi, angka 89% pada
unsur actiondigolongkan sebagai kategori sangat tinggi, angka 71% pada unsur
share digolongkan sebagai kategori cukup tinggi

156

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

DAFTAR PUSTAKA
Adnyana. I Wayan, 2012.Marginalization in Small Retailer As a Consequence of the
Growth of
Minimarket in Denpasar City, E- Journal of Cultural Studies ISSN 2338-2449
Volume 6.

Cargil Margaret, Patrick OCornnor. 2013.Writing Scientific Research Article.South


Australia:Wiley-Blackwell.

Handito Juono. 2014. The 5 ReBranding Reasons. www. Arrybery.com.26 April


2014
Imam Mashari. 2012. AISAS Model.www. com. 26 April 2015
Philip, Kotler 2002. Manajemen Pemasaran (Hendra Teguh dkk. Penerjemah).
Jakarta : PT Prenhallindo
Rudolf Esch,Franz and Tobias Lagner,Berd H. Schmitt, Patrick Geus,2006. Are
brands forever? How brand knowledge and relationships affect current and
future purchases. Journal of Product & Brand Management. Vol.15. No.2
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman.2002. Ketika Kapitalisme Berjingkrak
Telaah Kritis terhadap GelombangMcDonaldisasi (Solichin, Didik P. Yuwono,
Penerjemah) .Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
----------------.2006. Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi ( Lucinda, Heru
Nugroho, Alih Bahasa). Yogyakarta : Universitas Atmajaya.
Roger, Mary. F. 2009. Barbie Culture Ikon Budaya Konsumerisme. Jogjakarta :
Relief.
Utami.Christina Whidya. 2010. Manajemen Ritel, Strategi dan Implikasi Operasional
BisnisRitel Modern Di Indonesia. Jakarta : Salemba Empat.

157

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

PENERAPANPEMBELAJARAN BIOTEKNOLOGI MELALUI


FERMENTASI JERAMI PADI (Oryza sativaL.)MENGGUNAKAN
LARUTAN BIO CAS
UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA
I Wayan Suanda, (1)Ni Wayan Ratnadi(2)
, (1)PS. Pend. Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali
(2)
Guru SMP Negeri 11 Denpasar
Email: suanda_wayan65@yahoo.co.id
ABSTRACT
Learning biotechnology conducted by the transformation of matterandits
applications, one of which in the form of straw fermentation of rice (Oryza
sativa L.) using Bio CAS solution can expand the horizons of knowledge of
studentsin the learning materials biotechnology. Learning biotechnology
coupled with applicability through direct experiments in the form of research
could improve understanding, inspiration and development of science.
This study aims to determine the increase in the protein content in rice
straw (Oryza sativa L.) by biotechnological fermentation with Bio CAS
solution for ruminant feed. The data collected in the form of protein and
physical observations rice straw in the form of observations texture, color and
smell after fermentation, which were analyzed using analysis of variance at a
significance level of 5% and 1%. To get the real difference among the
treatments on BNT continued with Duncant test.
Results of the analysis of protein content of fermented rice straw (Oryza
sativa L.) using Bio CAS gained 20.61 and the 5% significance level was of
3.11 and 1% significance level of 5.06. The highest protein content is in
treatment P3 which has a concentration of 2%.
Key Words: Bio CAS Liquid, Protein, Fermentation, Animal Feed
PENDAHULUAN
Pelajaran Bioteknologi merupakan salah satu materi yang diajarkan di
sekolah, baik itu di SMP dan SMA maupun Perguruan Tinggi yang memiliki
disiplin

ilmu

biologi

atau

yang

berdekatan

dengan

bidang

ilmu

tersebut.Pembelajaran bioteknologi di jenjang yang berbeda tentunya materi


yang

diberikan

memiliki

tingkat

kedalaman

yang

berbeda.

Terlebih

pembelajaran bioteknologi disekolah diberikan dengan penerapan langsung


158

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

dengan melakukan percobaan sederhana berupafermentasi Jerami padi (oryza


sativa L.) menggunakan Bio CAS untuk pakan ternak ruminansia. Bioteknologi
merupakan suatu bidang penerapan biosains dan teknologi yang menyangkut
aplikasi praktis organisme hidup atau komponen subselulernya pada industri
jasa dan manufaktur serta pengelolaan lingkungan untuk kesejahteraan
manusia. Biteknologi mencangkup proses fermentasi,pengelolaan air dan
sampah,

sebagian

teknologi

pangan

dan

berbagai

penerapan

baru

lainnya.Bioteknologi memanfaatkan bakteri, kapang, ragi, alga, sel tumbuhan


atau sel jaringan hewan yang ditumbuhkan sebagai konstituen berbagai proses
industri. Bioteknologi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu bioteknologi
tradisionaldan bioteknologi modern. Bioteknologi tradisional yaitu proses
bioteknologi yang terjadi pada suatu makanan atau bahan pakan dengan cara
menambahkan suatu enzim atau mikroorganisme tertentu sehingga terjadi
perubahan fisik, penampilan, dan rasa akibat prosesbiologis dalam bahan dan
bioteknologi modern dapat berupa rekayasa genetika, pembuatan antibiotika,
insulin dan sebagainya.
Fermentasi adalah proses metabolik dengan bantuan enzim dari mikroba
(jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa, dan reaksi kimia
lainnya sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan
menghasilkan produk tertentu dan menyebabkan terjadinya perubahan sifat
bahan tersebut (Winamo dan Fardiaz, 1980). Fermentasi dilakukan dengan cara
menambahkan bahan mengandung mikroba proteolitik, lignolitik, selulolitik,
lipolitik, dan bersifat fiksasi nitrogen non simbiotik (contohnya: starbio,
starbioplus, EM-4, dan lain-lain) pada suatu bahan yang dalam penelitian ini
berupa jerami padi, sebagai hasil pertanian yang tersedia sangat melimpah.
Ketersediaan bahan baku berupa pakan lokal berbasis pertanian dan
agroindustri

sangat

melimpah

di

Indonesia,

namun

sebagai

pakan

ternakruminansia belum termanfaatkan secara baik dan optimal.Kondisi ini

159

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

disebabkan belum adanya produksi bahan baku pakan yang menghasilkan


komposisi nutrisi dan prosedur pengolahannya yang berbasis bioteknologi,
sehingga memiliki mutu yang standar, baik fisik maupun kimia (Sukria dan
Rantan, 2009). Penggunaan jerami padi secara langsung atau sebagai pakan
tunggal tidak dapat memenuhi pasokan nutrisi yang dibutuhkan ternak
ruminansia. Adanya faktor pembatas pada jerami padi dengan nilai gizi yang
rendah yaitu rendahnya kandungan protein kasar, tingginya serat kasar, lignin,
silika (Ranjhan, 1977) serta rendahnya kecernaan (Djajanegara, 1983). Untuk
itu, jerami padi perlu ditingkatkan nilai nutrisinya dengan melakukan
pengolahan, baik fisik, kimia, maupun biologis.
Jerami padi menjadi sumber pakan alternatif yang efektif bila digunakan
saat

kekurangan

pakan

yang

biasanya

terjadi

pada

musim

kemarau.Pemanfaatan jerami padi untuk pakan ternak di Indonesia berkisar


antara 31%-39% dan sebagian besar dibakar atau dikembalikan ke tanah
sebagai pupuk (36%-62%) serta sisanya antara 7-16% digunakan untuk
keperluan industri (Komar, 1984). Jerami padi mengandung 80% bahan
organik yang secara potensial dapat dicerna. Oleh karena itu, jerami padi
merupakan sumber energi yang besar untuk ternak ruminansia, tetapi
kenyataan yang dapat dicerna oleh ternak ruminansia hanya 45-50% (Hidayat,
2002).
Untuk meningkatkan kandungan protein jerami padi sebagai pakan
ternak

ruminansia,

diperlukan

bioteknologi

fermentasi,

yang

dapat

mempercempat kondisi anaerob di tempat penyimpanan jerami padi (Anonim,


2011). Suasana asam dapat dilakukan dengan memberiBio CAS. Bio CAS
merupakan bahan probiotik yang mengandung beberapa jenis mikroba yang
mampu menguraikan serat kasar jerami padi. Probiotik Bio CAS disamping bisa
dimanfaatkan

untuk

pertumbuhan ternak.

mengolah

jerami

padi,

juga

dapat

mempercepat

Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik mengadakan

160

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

penelitian yang berjudul Penerapan Pembelajaran Bioteknologi melalui


Fermentasi Jerami Padi (Oryza sativaL.)menggunakanLarutan Bio CAS sebagai
Pakan Ternak Ruminansia.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah
yaitu apakahterjadi peningkatan kandungan protein pada jerami padi (Oryza
sativaL.) melaluibioteknologi fermentasi jerami padi (Oryza sativa L.)
menggunakan larutan Bio CASuntukpakan ternak ruminansia ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui peningkatan kandungan protein pada jerami padi (Oryza sativaL.)
melaluibioteknologi fermentasi dengan

larutan Bio CASuntukpakan ternak

ruminansia.
1.4 Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang telah dikemukakan di
atas, maka dapat dirumuskan hipotesis bahwa terjadi peningkatan kandungan
protein pada jerami padi (Oryza sativaL.) pada proses fermentasi dengan
larutan Bio CASuntuk pakan ternak ruminansia.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun
secara praktis, yaitu:
1.5.1 Manfaat teoritis
a. Secara teoritis,

penelitian

ini dapat

mengungkapkan pengaruh

penggunaan larutan Bio CAS terhadap kandungan protein pada


fermentasi jerami padi sebagai pakan ternak.
b. Memberikan sumbangan berupa teori dan aplikasi dalam pembelajaran
bioteknolog yang berkaitan dengan proses fermentasi.

161

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

1.5.2 Manfaat praktis


a. Bagi

peserta

didik,

pembahasan

materi

bioteknologi

dengan

pembelajaran secara aplikatif berupa fermentasijerami padi (Oryza


sativaL.)menggunakan

Bio

CASdapat

mengembangkan

dapat

meningkatkan pemahaman pada materi bioteknologi, rasa ingin tahu


dan merangsang berpikir kreaktif serta bersikap ilmiah peserta didik.
b. Bagi guru, khususnya guru bidang studi biologi atau IPA, penelitian
ini dapat dijadikan pengembangan materi pembelajaran bioteknologi
dan sebagai inspirasi awal untuk melakukan penelitian

dengan

melibatkan mikroorganisme.
c. Bagi masyarakat khususnya petani dan peternak ruminansia dapat
menjadikan alternatif cara pengolahan limbah hasil pertanian yang
dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia.
d. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan rasa ingin tahu dengan
berpikir kreatif untuk mengembangkan sikap ilmiah, yang nantinya
dapat digunakan oleh peneliti lain sebagai bahan perbandingan dalam
bidang penelitian yang sejenis.
METODE PENELITIAN
Penelitian

ini

termasuk

penelitian

eksperimen

terapan

(murni).

Penelitian terapan dilakukan dengan tujuan menerapkan, menguji dan


mengevaluasi kemampuan suatu teori yang diterapkan dalam memecahkan
masalah-masalah praktis di masyarakat (Gray, dalamSudijono, 2009). Jadi
hasil penelitian ini akan diterapkan di masyarakat untuk membantu masalahmasalah praktis terutama yang ada hubungannya dengan jerami padi.
2.1 Prosedur Penelitian
Sebelum percobaan dilakukan, terlebih dahulu dipersiapkan alat dan
bahan yang diperlukan.

162

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Alat yang diperlukan dalam eksperimen, yaitu: kantong plastik besar


(polybag), timbangan (neraca), ember kecil (diameter 12 cm), alat pengaduk
(spatula), sendok makan, dan sprayer (alat

semprot) kecil.Bahanyang

diperlukan, seperti: air (aquades), urea, jerami padi, probiotik Bio CAS, dan
molasis (tetes gula tebu)/gula merah.
2.2 Pembuatan Larutan Bio CAS
Pembuatan larutan Bio CAS tergantung pada banyaknya bahan (jerami
padi) yang akan diolah. Penelitian ini terdiri dari 5 perlakuan Bio CAS
ditambah perlakuan kontrol (tanpa Bio CAS) yang diulang masing-masing
sebanyak 3 kali. Setiap perlakuan berisi 1 kg jerami padi, sehingga dibutuhkan
18 kg jerami padi, sedangkan larutan Bio CAS diperoleh dari BPTP Bali.
1. Pembuatan konsentrasi larutan probiotik Bio CAS 1% dengan volume
100 ml yaitu: 1 ml Bio CAS + 5 g gula merah + 0,5 g urea + air sehingga
volumenya mencapai 100

ml, kemudian diaduk secara merata dan

biarkan selama 30 menit.


2. Pembuatan konsentrasi larutan probiotik Bio CAS 1,5% dengan volume
100 ml yaitu: 1,5 ml Bio CAS + 5 g gula merah + 0,5 gram urea + air
sehingga volumenya mencapai 100 ml, kemudian diaduk secara merata
dan biarkan selama 30 menit.
3. Pembuatan konsentrasi larutan probiotik Bio CAS 2% dengan volume
100 ml yaitu: 2 ml Bio CAS + 5 g gula merah + 0,5 g urea + air sehingga
volumenya mencapai 100 ml, kemudian diaduk secara merata dan
biarkan selama 30 menit.
4. Pembuatan konsentrasi larutan probiotik Bio CAS 2,5% dengan volume
100 ml yaitu: 2,5 ml Bio CAS + 5 g gula merah + 0,5 g urea + air
sehingga volumenya mencapai 100 ml, kemudian diaduk secara merata
dan biarkan selama 30 menit.

163

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

5. Pembuatan konsentrasi larutan probiotik Bio CAS 3% dengan volume


100 ml yaitu: 3 ml Bio CAS + 5 g gula merah + 0,5 g urea + air sehingga
volumenya mencapai 100 ml, kemudian diaduk secara merata dan
biarkan selama 30 menit.
6. Untuk perlakuan kontrol hanya disemprotkan dengan 100 ml air
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi FPMIPA IKIP
PGRI Bali, JL Akasia Denpasar selama 14 hari, dengan tahap pelaksanaan
sebagai berikut:
1. Jerami yang dikering anginkan selama 1 minggu ditimbang sebanyak 1
kg setiap perlakuan, kemudian diperlakukan dengan menyemprotkan
larutan Bio CAS sebanyak 100 ml untuk setiap perlakuan.
2. Jerami yang sudah di semprotkan larutan Bio CAS dimasukan kedalam
kantong plastik.
3. Jerami yang sudah disemprotkan larutan Bio CAS dalam kantong plastik
diikat dan pastikan tidak ada celah udara yang dapat menghambat proses
fermentasi.
4. Dari percobaan pendahuluan ternyata setiap 1 kg jerami pada perlakuan
memerlukan larutan dengan volume 100 ml.
2.3 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dapat
berupa kotak-kotak antara unit

percobaan ini dibatasi dengan ruang

pengamatan sehingga tidak akan terjadi interaksi antara sesama unit. Dengan
demikian letak dan posisi masing-masing unit tidak akan mempengaruhi hasilhasil percobaan. Atas dasar kondisi lingkungan yang homogen ini maka setiap
unit percobaan secara keseluruhannya merupakan suatu randomisasi yang
berarti setiap perlakuan pada setiap ulangan mempunyai peluang yang sama
besar menempati kotak-kotak percobaan sehingga randomisasi menurut RAL
dilakukan secara lengkap (Gomez dan Gomez, 1996).

164

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Adapun denah percobaan adalah sebagai berikut:


Ulangan

Kelompok Perlakuan

P0a

P3c

P4a

P2b

P1c

P5a

II

P5c

P0b

P2c

P1b

P4c

P3a

III

P3b

P1a

P4b

P2a

P0c

P5b

Gambar 01 Denah Percobaan


Keterangan:
P0
= Kontrol/konsentrasi 0%
P1
= Bio CAS dengan konsentrasi 1%
P2
= Bio CAS dengan konsentrasi 1,5%
P3
= Bio CAS dengan konsentrasi 2%
P4
= Bio CAS dengan konsentrasi 2,5%
P5
= Bio CAS dengan konsentrasi 3%
(Sumber: Gomez dan Gomez, 1996).

2.4 Metode Analisis Data


Data yang diperoleh dari hasil penelitian tentang kandungan protein
melalui proses fermentasi pada jerami padi pada masing-masing perlakuan
diolah dengan menggunakan analisa varian (ANAVA) dengan uji F, jika uji
Anava menunjukan adanya perbedaan atau signifikan maka dilanjutkan dengan
uji beda rata-rata dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5% dan 1%. Untuk
mengetahui hubungan antar perlakuan dan untuk mengetahui konsentrasi
larutan Bio CAS yang paling optimal terhadap kandungan protein hasil
fermentasi, maka dilanjutkan dengan uji Duncant yang dibantu dengan
menggunakan program SPSS Forwindows Realese 10.0 2003.

165

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN


3.1 Hasil Penelitian
Untuk mengukur kandungan protein menggunakan alat destruksi, alat
destilasi, dan alat titrasi serta untuk pengamatan fisik pada jerami hasil
fermentasi melalui responden atau audien. Data yang diperoleh dari hasil
fermentasi jerami padi tentang tekstur, warna, dan bau adalah sebagai berikut.
a. Tekstur
Data yang diperoleh tentang tekstur jerami padi yang difermentasi
dengan larutan Bio CAS dapat dikatagorikan: a. Lemas (tidak kaku), b. Lemas
sedikit berjamur, c. Lemas sangat berjamur. Hasil yang diperoleh menunjukan
responden yang berpendapat paling banyak terhadap tekstur a. Lemas (tidak
kaku) adalah 10 orang. Hal ini menunjukan 100% pada P 3 termasuk juga pada
kandungan proteinnya lebih tinggi yaitu: 6,0571%, sehingga responden
menyatakan bahwa hasil fermentasi menunjukan tekstur lemas (tidak kaku)
yang paling baik pada hasil fermentasi adalah perlakuan P 3 .
b. Warna
Data yang diperoleh tentang warna jerami padi yang difermentasi
dengan larutan Bio CAS dapat dikatagorikan: a. Kuning agak kecoklatan, b.
Kuning kecoklatan, c. Kuning agak kehitaman. Hasil yang diperoleh
menunjukan responden yang berpendapat paling banyak terhadap warna a.
Kuning agak kecoklatan adalah 10 orang. Hal ini menunjukan 100% pada P 3 ,
termasuk juga pada kandungan proteinnya lebih tinggi yaitu: 6,0571%,
sehingga responden menyatakan bahwa hasil fermentasi menunjukan warna
kuning agak kecoklatan yang paling baik pada hasil fermentasi adalah
perlakuan P 3 .
c. Bau
Data yang diperoleh tentang bau jerami padi yang difermentasi dengan
larutan Bio CAS dapat dikatagorikan: a. Agak harum, b. Sedikit pengir, c.
Sangat pengir. Hasil yang diperoleh menunjukkan responden yang berpendapat

166

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

paling banyak terhadap bau a. Agak harum adalah 10 orang. Hal ini
menunjukkan 100% pada P 3 , termasuk juga kandungan proteinnya lebih tinggi
yaitu: 6,0571%, sehingga responden menyatakan bahwa hasil fermentasi
menunjukan warna kuning agak kecoklatan yang paling baik pada hasil
fermentasi adalah perlakuan P 3 .Hasil perhitungan kandungan protein pada
fermentasi jerami padi dimasukan ke dalam tabel sidik ragam yang disajikan
pada Tabel 01.
Berdasarkan taraf signifikan 5% dan 1% dengan db perlakuan = 5, db
acak = 12 diperoleh harga batas penolakan hipotesis nol (H 0 ) dalam Tabel 10
untuk taraf signifikan 5% = 3,11 dan taraf segnifikan 1% = 5,06. ini berarti F
hitung

= 20,61 F tabel. Oleh karena itu H 0 ditolak dan H 1 diterima. Ini

menunjukan bahwa ada pengaruh penggunaan larutan Bio CAS terhadap


kandungan protein pada fermentasi jerami padi sebagai pakan ternak.Untuk
mengetahui perbedaan antara perlakuan digunakan uji Beda Nyata Terkecil
(BNT). Uji ini dilakuakan baik pada taraf signifikan 5% dan 1% seperti pada
Tabel 01.
Tabel 01.
Sidik Ragam kandungan Protein pada Fermentasi Jerami Padi
SK

DB

JK

KT

F hitung

Perlakuan

7,2271

1,4550

20,61

Acak

12

0,8479

0,0706

Total

17

8,075

1,5256

F Tabel
5%
1%
3,11
5,06

Berdasarkan analisis data pada Tabel 01 ternyata diperoleh nilai F hitung


kandungan protein pada fermentrasi jerami padi sebagai pakan ternak adalah
20,61, sedangkan nilai batas penolakan hopotesis nol (H 0 ) pada taraf
segnifikan 5% sebesar 3,11 dan 1% sebesar 5,06 dengan db perlakuan = 5 db
acak = 12 dan ternyata Fhitung dari penelitian di atas lebih besar dari nilai batas
167

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

penolakan. Ini berarti hipotesis nol (H 0 ) yang menyatakan: bahwa tidak ada
pengaruh penggunaan larutan Bio CAS terhadap kandungan protei pada
fermentasi jerami padi (Oryza sativa L.) sebagai pakan ternak ditolak, dan
hipotesis alternatif (H 1 ) yang menyatakan: bahwa ada pengaruh penggunaan
larutan Bio CAS terhadap kandungan protei pada fermentasi jerami padi (Oryza
sativaL.) sebagai pakan ternak diterima.
Untuk menentukan hubungan antar perlakuan dilanjutkan dengan Uji
Lanjut (Uji Duncant) pada taraf signifikan 5%. Hasil penghitungan dengan Uji
Duncant diperoleh hasil bahwa perlakuan P0 tidak berbeda nyata berarti
senyawa aktif belum efektif dalam perombakan senyawa dalam jerami padi (P
> 0,05). Perlakuan P0, dengan P1, P2, P3, P4, dan P5 berbeda nyata (P<0,05)
namun antar perlakuan P1, P2, P4, dan P5 tidak berbeda nyata dan antar P1,
P2, P4, dan P5 dengan perlakuan P3 berbeda nyata, dapat dilihat pada Tabel
02.
Tabel 02
Rata-Rata Kandungan Protein pada Fermentasi Jerami Padi
Kelompok

Rata-rata dan standar deviasi kandungan protein pada fermentasi jerami


padi

4,00 + 0,17
A
5,46 + 0,24
P1
B
5,61 + 0,30
P2
B
6,06 + 0,35
P3
C
5,46 + 0,27
P4
B
5,36 + 0,22
P5
B
Keterangan: Huruf yang sama di bawah nilai rata-rata dan menunjukkan
perbedaan tidak nyata
pada taraf signifikan 5% dengan uji Duncant.
P0

168

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

7
6,0571
6

5,4601

5,6141

5,4648

5,3619

5
4,0020
4
3

protein %

2
1
0
0%

1%

1,5%

2%

2,5%

3%

Konsentrasi %

Gambar 02. Grafik Kandungan Protein pada Fermentasi Jerami Padi


keterangan:
P 0 = tanpa perlakuan 0% (0 ml)
P 1 = perlakuan dengan konsentrasi 1% (1 ml)
P 2 = perlakuan dengan konsentrasi 1,5% (1,5 ml)
P 3 = perlakuan dengan konsentrasi 2% (2 ml)
P 4 = perlakuan dengan konsentrasi 2,5% (2,5 ml)
P 5 = perlakuan dengan konsentrasi 3% (3 ml)
3.2. Pembahasan
Berdasarkan Gambar 04 di atas bahwa penggunaan larutan Bio CAS
sangat nyata terhadap peningkatan kandungan protein pada fermentasi jerami
padi (Oryza. sativa. L)sebagai pakan ternak. Penggunaan larutan Bio CAS
terhadap peningkatan kandungan protein pada fermentasi jerami padi sebagai
pakan ternak diperoleh nilai tertinggi pada perlakuan konsentrasi 2 % (P 3 )
dengan nilai 6,0571 bila dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi 0 % (P 0 )
= 4,0020; 1 % (P 1 ) = 5,4601; 1,5 % (P 2 ) = 5,6141; 2,5 % (P 4 ) = 5,4648 dan 3 %

169

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

(P5 ) = 5,3619. Hasil tersebut menandakan kandungan Bio CAS pada perlakuan
(P3 ) yang optimal untuk memecah senyawa yang terkandung dalam jerami padi
dengan fermentasi selama 14 hari dapat dilihat pada Tabel 01.
Pemanfaatan Bio CAS yang merupakan campuran berbagai spesies
mikroorganisme, terutama mikroorganisme yang mampu memecah komponen
serat

(cellulolytic

microorganism)

melalui

pakan

dapat

meningkatkan

produktivitas ternak. Hasil penelitian Syamsu (2006) menyatakan bahwa


komposisi nutrisi jerami padi yang telah difermentasi dengan menggunakan
starter mikroba (starbio) sebanyak 0,06% dari berat jerami padi, secara umum
memperlihatkan peningkatan kualitas dibanding jerami padi yang tidak
difermentasi.

Ada

beberapa

pengolahan

yang

dapat

dilakukan

untuk

meningkatkan kecernaan potensial serat kasar (Preston dan Leng, 1987).


Peningkatan kuantitas bagian yang dapat dicerna pada pakan yang berkualitas
rendah dapat dilakukan melalui proses kimia, fisik, dan biologis (Hungate,
1966).
Perlakuan

fisik

berupa

pemotongan,

penggilingan,

peleting,

penghancuran, dan lain-lain. Perlakuan biologis dengan menggunakna jamur


(fungi).

Proses

kimiawi

pencernaan

limbah-limbah

pertanian

dapat

ditingkatkan dengan penambahan alkali dan asam (Pigden dan Bender, 1978).
Walker dan Kohler (1978) menyatakan bahwa perlakuan kimia yang telah
dicoba diteliti antara lain terdiri atas perlakuan Naoh, KOH, Ca (OH), dan
urea. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya kecepatan cerna serat pada awal
proses pencernaan sehingga mempengaruhi ketersediaan energi Adenosine
Triphospate (ATP) yang diperlukan dalam proliferasi mikroba rumen
(Haryanto dkk., 1998). Manipulasi rumen dapat diarahkan untuk meningkatkan
efisiensi pemanfaatan pakan melalui maksimalisasi kecernaan nutrien maupun
sintesis protein mikroba rumen. Manipulasi ini dapat digunakan melalui
penggunaan antibiotik maupun penggunaan probiotik. Penelitian pemafaatan

170

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

probiotik dalam pakan telah dilakukan di Bali Ternak dengan hasil yang
menunjukkan adanya pengaruh positif terhadap peningkatan kecernaan
komponen serat pakan maupun terhadap produktivitas ternak (Haryanto dkk.,
1998).
Hal ini memberikan indikasi bahwa starter mikroba yang mengandung
mikroba proteolitik yang menghasilkan enzim protease dapat merombak
protein

menjadi

polipeptida

yang

selanjutnya

menjadi

peptida

sederhana.Penggunaan starter mikroba dapat menurunkan kadar dinding sel


(NDF) jerami padi dari 73,41% menjadi 66,14%. Menurunnya kadar NDF
menunjukkan telah terjadi pemecahan selulosa dinding sel sehingga pakan
jerami padi akan menjadi lebih mudah dicerna oleh ternak.Mikroba lignolitik
dalam starter mikroba membantu perombakan ikatan lignoselulosa sehingga
selulosa dan lignin dapat terlepas dari ikatan tersebut oleh enzim lignase.
Fenomena ini terlihat dengan menurunnya kandungan selulosa dan lignin
jerami padi yang difermentasi. Menurunnya kadar lignin menunjukkan selama
fermentasi terjadi penguraian

ikatan

lignin dan

hemiselulosa.

Lignin

merupakan benteng pelindung fisik yang menghambat daya cerna enzim


terhadap

jaringan

tanaman

dan

lignin

berikatan

erat

dengan

hemiselulosa.Dengan demikian dapat diduga bahwa selama fermentasi terjadi


pemutusan ikatan lignoselulosa dan hemiselulosa jerami padi.
PENUTUP
4.1 Simpulan
Berdasarkan analisis data dengan uji F dan BNT maka dapat dibuat
suatu simpulan bahwa terjadi peningkatan kandungan protein pada jerami padi
(Oryza sativaL.) pada proses fermentasi dengan

larutan Bio CAS sebagai

pakan ternak ruminansia. Penggunaan Bio CAS paling optimal terjadi pada
konsentrasi 2% (P3) yaitu sebanyak 6,0571%.

171

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

4.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan yang sudah dipaparkan di
atas maka dapat dikemukakan beberapa saran yaitu:
1. Bagi para pendidik khususnya guru biologi atau IPA diharapkan dapat
menggali informasi lewat penelitian ini sehingga dapat menambah
pemahaman tentang bioteknologi fermentasi dan peranan mikroorganisme
serta kandungan protein pada jerami padi, sehingga dapat menularkan
kepadapeserta didik untuk mengembangkan sikap ilmiah melalui kegiatan
penelitian.
2. Bagi peserta didik yang mendapat materi pelajaran bioteknologi khususnya
topik

fermentasi

dapat

memberikan

inspirasi

dan

mengembangkan

penguasaan materi ini lebih luas.


3. Bagi para peternak sapi dan karbau dalam usaha meningkatkan kualitas
pakan ternak pada musim kemarau dimana hijauan segar sulit diperoleh
hendaknya memanfaatkan jerami padi yang diberi Bio CAS.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
2011.
Tanaman
Padi.
Avaible
http//www.google.wikipedia.org/wiki/padi.
Opened:
14
2011.18.00

at;
Januari

Djajanegara, A. 1983. Tinjauan Ulang Mengenai Evaluasi Suplemen pada


Jerami Padi. Prosiding Seminar Pemanfaatan Limbah Pangan dan
Limbah Pertanian untuk Makanan Ternak. Bandung: Lembaga Kimia
Nasional LIPI.
Gomez, A. Kwanchai dan Gomez, A. Arturo. 1996. Prosedur Statistik untuk
Penelitian Pertanian. Edisi kedua. Jakarta: Universitas Indonesia.
Haryanto, B; A. Thalib dan Isbandi. 1998. Pemanfaatan Probiotik Dalam
Upaya Peningkatan Efisiensi Fermentasi Pakan di Dalam Rumen. Pros.
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan.

172

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Hastutik, S. 1983. Limbah Pertania sebagai Pakan Ternak Ruminansia dan


Cara Memperbaiki Nutrisi. NUFFIC. Malang: Universitas Brawijaya.
Hungate, R.E. 1966. The Rumen and Its Microbes. New York: Academic Press.
Komar, A. 1984. Teknologi Penggolahan Jerami Sebagai Bahan Makanan
Ternak. Bandung: Dian Grahita
Lily, A. 1989. Uji dan Standar Mutu Bahan Makanan Ternak. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Pigden, W.J. and F. Bender. 1978. Utilization of Lignocellulosic by ruminant.
World. Anim. Rev. 12 : 30-33.
Preston, T.R. and R.A.Leng. 1987. Matching Ruminant Production Systems
with Available Resources in the Tropic and Sub-Tropic. International
Colour Production. Stanthorpe, Queensland, Australia.
Ranjhan, S.K. 1977. Animal Nutrition and Feeding Practice in India. New
Delhi: Vikan Pub.House PVT Ltd.
Sudijono, A. 2009. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT Raja grafindo
Persada.
Sukria, H. Heri dan Rantan Krisna. 2009. Sumber dan Ketersediaan Bahan
Baku Pakan diIndonesia. Bogor: IPB Press Kampus IPB Darmaga.
Walker. H.G. and G.O.Kohler, 1978. Treatedand Untreated Cellulosic Wastes
and Animal Feeds. Recents Work interaksi the United States of
America.
Winarno, F.G. dan S. Fardiaz. 1980. Biofermentasi clan Biosintesa Protein.
Bandung: Angkasa.
CURRICULUM VITAE
Nama
NIP
NIDN
No. Sertifikat Pendidik
Pangkat / Golongan
Jabatan
Tempat / Tgl lahir
Agama
Alamat Rumah

: Drs. I Wayan Suanda, SP., M.Si


: 196512311991031015
: 00311265047
: 11108200205241
: Pembina Utama Muda / IVc
: Lektor Kepala
: Denpasar, 31 Desember 1965
: Hindu
: Jln. Pulau Bungin Gg. Safari No. 6 Denpasar

173

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Perguruan Tinggi / Fak.


Alamat Kantor

HP. 081236766665 085100066608


: IKIP PGRI Bali / FPMIPA
: Jln. Seroja Tonja - Denpasar Utara
Tlp/Fax (0361) 431434

Pendidikan

: S1 Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali,


tahun 1990
S1 Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas
Pertanian Universitas
Mahasaraswati Denpasar,tahun 1993
S2 Bioteknologi Perlindungan tanaman
Program Pascasarjana Fak. Pertanian Univ.
Udayana. tahun 2002

Pengalaman Jabatan
1. Dosen PNS Kopertis Wilayah VIII dpk pada Jurusan Pend. Biologi FPMIPA IKIP
PGRI Bali, tahun 1991 sekarang.
2. Ketua Jurusan Pend. Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali, tahun 1994 1999
3. PD III FPMIPA IKIP PGRI Bali, tahun 1999 2004.
4. Ketua Jurusan Pend. Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali, tahun 2004 2011
5. Dekan FPMIPA IKIP PGRI Bali, 1 April 2011 1 April 2015
6. Ketua Badan Penjamin Mutu (BPM) IKIP PGRI Bali, 1 April 2015 sekarang
CURRICULUM VITAE
Nama
NIP
NUPTK
Pangkat / Golongan
Jabatan
Tempat / Tgl lahir
Agama
Alamat Rumah
HP. 08123974024
Tempat Kerja
Guru
Alamat Kantor
Selatan
Tlp/Fax (0361) 8951021
Pendidikan
tahun 1996

: Ni Wayan Ratnadi, S.Pd., M.Pd.


: 196705101993032007
:3337745650300013
: Guru Muda / III d
: Penata Tk. I
: Denpasar, 10 Mei 1967
: Hindu
: Jln. Pulau Bungin Gg. Safari No. 6 Denpasar
: SMP Negeri 11 Denpasar
: IPA
: Jln. Tukad Punggawa No. 14 Serangan Denpasar

S1 Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali,

S2 Administrasi Pendidikan Univ. Pendidikan


Ganesha (Undiksa) Singaraja, tahun 2010.

174

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

PROGRAM INTERVENSI
UNTUK MENINGKATKAN PERCAYA DIRI SISWA
Kadek Suhardita (IKIP PGRI Bali)
Email: suhardita_kadek@yahoo.com
ABSTRACT
Basic consideration, on the application of guidance and counseling programs
in schools not only lies in the presence or absence of a legal basis (law) or the
provisions of the above, but more important is the awareness or commitment to
facilitate the students to be able to develop her potential or achieve development tasks
(involving the physical, emotional, intellectual, social, and moral-spiritual). High
School is an educational institution that is responsible for facilitating learners to
develop in accordance with its potential, and optilamisasi developmental tasks.
Problems and risky occur at the high school students including problems in the field
of academic, social, personal, and in their career field. Intervention program designed
research is a personal matter at high school students concerning the confidence of
students approach taken using a combination of group counseling with the game.
Through the technique of the game to increase the confidence of students is designed
as a form guide, especially at the High School contents of the program to be
discussed is about; rational, vision, mission, a description of the needs, objectives,
program components, systems support, intervention targets, operational plans, the
development of the theme, the development of the service unit, the evaluation.
Key words: Intervention Program, Confidence
PENDAHULUAN
Dasar pertimbangan atau pemikiran tentang penerapan program bimbingan
dan konseling di sekolah bukan hanya terletak pada ada atau tidak adanya landasan
hokum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting
adalah adanya kesadaran atau komitmen untuk memfasilitasi siswa agar mampu
mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya
(menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual). Sekolah
Menengah Atas (SMA) merupakan institusi pendidikan yang bertanggung jawab
dalam memfasilitasi peserta didik untuk berkembang sesuai dengan potensinya, dan

175

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

optilamisasi tugas-tugas perkembangan. Sesuai dengan peraturan pemerintah


Republik Indonesia nomor 17 tahun 2010 kedudukan Sekolah Menengah Atas, yang
selanjutnya disingkat SMA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang
menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan menengah sebagai
lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil
belajar yang diakui sama/setara SMP. Pendidikan jenjang SMA memiliki peran
strategis dalam menyalurkan peserta didik untuk melanjutkan kejenjang yang lebih
tinggi atau untuk hidup mandiri dimasyarakat.
Permasalahan yang dihadapi dan riskan terjadi pada pada siswa SMA
diantaranya masalah dalam bidang akademik, sosial, pribadi, maupun dalam bidang
karir mereka. Program intervensi yang dirancang peneliti adalah masalah pribadi
pada siswa SMA yang menyangkut tentang percaya diri siswa pendekatan yang
dilakukan menggunakan perpaduan antara bimbingan kelompok dengan permainan.
Angelis (2003:58-77), dalam mengembangkan percaya diri terdapat tiga aspek
yaitu: 1) Tingkah laku, yang memiliki tiga indikator; melakukan sesuatu secara
maksimal, mendapat bantuan dari orang lain, dan mampu menghadapi segala
kendala, 2)Emosi, terdiri dari empat indikator; memahami perasaan sendiri,
mengungkapkan perasaan sendiri, memperoleh kasih sayang, dan perhatian disaat
mengalami kesulitan, memahami manfaat apa yang dapat disumbangkan kepada
orang lain, dan 3) Spiritual, terdiri dari tiga indikator; memahami bahwa alam
semesta adalah sebuah misteri, meyakini takdir Tuhan, dan mengagungkan Tuhan.
Wisberg (1995) dan Faud Hasan (1988) dalam Suherman (2008 : 192)
menyatakan dalam proses pembelajaran pengembangan perilaku kognitif dan
akademis harus dipromosikan dalam seting pengarahan tidak langsung atau bermain
agar anak tidak hanya mengikuti tetapi memahami makna. Selanjutnya bermain game
menurut Serok dan Blom dalam (Nandang Rusmana, 2009 : 04) menyebutkan bahwa
bermain game pada intinya bersifat sosial dan melibatkan belajar dan mematuhi
peraturan, pemecahan masalah, disiplin diri, dan control emosional serta adopsi

176

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

peran-peran pemimpin dan pengikut yang semuanya merupakan komponenkomponen penting dalam bersosialisasi.
Berdasarkan hasil kuesioner yang disebar sebagai bentuk pre tes pada siswa
kelas XI yang berjumlah 138 siswa, diantaranyanya kelas XI IPA2, XI IPA3, XI
IPS2, dan XI IPS3. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara umum siswa
kurang percaya diri. Berikut merupakan profil percaya diri siswa dilihat dari aspek
dan masing-masing indikatornya; 1) Pada aspek Percaya diri dalam bertingkahlaku
dengan sub aspek; keyakinan diri, sikap penerimaan, dan sikap optimis pada setiap
indikatornya; (a) melakukan sesuatu secara maksimal, (b) mendapat bantuan dari
orang lain, dan (c) mampu menghadapi segala kendala berada pada prosentase yang
rendah 2) Pada aspek Percaya diri dalam emosi dengan sub aspek; penilaian diri,
ekspresi emosi, penghargaan positif serta sikap positif, dan masing-masing
indikatornya; (a) memahami perasaan sendiri, (b) mengungkapkan perasaan sendiri,
(c) memperoleh kasih sayang, dan perhatian disaat mengalami kesulitan, (d)
memahami manfaat apa yang dapat disumbangkan kepada orang lain berada pada
prosentase yang rendah; 3) Pada aspek Percaya diri dalam spiritual dengan sub
aspek; meyakini takdir Tuhan, dintaranya indikator; (a) memahami bahwa alam
semesta adalah sebuah misteri, (b) meyakini takdir Tuhan, (c) dan mengagungkan
Tuhan juga berada pada kategori rendah. Berdasarkan data yang di dapat berupa
permasalahan siswa di kelas secara umum siswa yang bersangkutan mengalami
masalah dalam prestasi belajar, baik kebiasaan belajar, motivasi, serta cara belajar
yang kurang diketahui siswa oleh siswa. Perilaku siswa dalam belajar juga
menunjukkan adanya suatu hambatan dalam keseharian di kelas. hal ini dapat
diketahui setelah mengadakan pendekatan dengan guru bimbingan dan konseling
yang memegang di kelas yang bersangkutan mengatakan bahwa. Memang sulit untuk
menumbuhkan kemandirian siswa dalam belajar kalau memang siswa tersebut sudah
sangat ketergantungan dengan teman temannya terutama cara belajar yang kurang
baik. Salah satunya kebanyak siswa mengerjakan PR di sekolah, siswa kurang aktif di

177

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

kelas. Sehingga pada saat pelajaran berlangsung siswa tersebut sulit sekali menerima
materi yang di sampaikan oleh guru di kelas yang akan berdampak pada motivasi
belajar kurang.
Berdasarkan data yang diperoleh dari masing-masing indikataor tersebut
menunjukkan bahwa secara umum siswa kelas XI berada dalam rentang percaya diri
yang rendah. Dalam pelaksanaan pretes ini sudah tentunya mendapatkan persetujuan
dari pihak sekolah, baik dari kepala sekolah selaku orang yang memegang peranan
penting di sekolah SMA, guru BK bahkan dari pihak wali kelas. Program penggunaan
teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa
SMA ini dikembangkan berdasarkan hasil kajian konsep teori percaya diri dan
permainan dalam bentuk kelompok, hasil studi pendahuluan yang relevan, dan
analisis kebutuhan terhadap pentingnya bimbingan kelompok dalam upaya
meningkatkan percaya diri siswa SMA. Oleh karena itu besar harapan dari peneliti
program yang telah dirancang ini dapat dijadikan sebagai acuan serta treatmen pada
siswa terutama yang ada di SMA baik pada masa sekarang serta tahun yang akan
datang terkait dengan percaya diri maupun bentuk yang lain untuk lebih memberikan
motivasi pada siswa dalam belajar mereka.
KAJIAN TEORITIK
A. Visi dan Misi
1. Visi dan Misi Program Bimbingan dan Konseling SMA N 1 Pupuan
Visi program : Mengunggulkan siswa melalui optimalisasi potensi siswa.
Misi program :
a) Memfasilitasi potensi siswa melalui suasana bimbingan yang edukatif, kreatif, dan
menyenangkan
b) Mengembangkan jiwa enterpreuner/ daya saing siswa sejak dini
c) Memfasilitasi siswa untuk menghargai apa (potensi) yang dimiliki siswa melalui
pembiasaan diri
d) Memberikan pelayanan bantuan yang diberikan kepada siswa agar dapat
menjalani kehidupan sehari-hari secara efektif dan mandiri,

178

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

e) Mengembangkan potensi yang dimiliki siswa secara optimal


f)

Merencanakan masa depan, berbudi pekerti luhur, serta beriman dan bertakwa
kepada Tuhan.

2. Visi dan Misi Bimbingan Konseling


a. Visi bimbingan dan konseling
Pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa, pencegahan terhadap
timbulnya

masalah

yang

akan

menghambat

perkembangannya,

dan

memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya baik sekarang maupun di


masa yang akan datang.
b.

Misi bimbingan dan konseling


Membantu

memudahkan

siswa

mengembangkan

seluruh

aspek

kepribadiannya seoptimal mungkin sehingga terwujud siswa yang tangguh


menghadapi masa kini dan masa mendatang, yaitu siswa yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang tinggi, sehat jasmani dan rohani,
mempunyai kepribadian yang mantap, mandiri, serta mempunyai tanggung
jawab terhadap diri, masyarakat, dan bangsanya.
Merujuk dari visi dan misi SMA di atas, maka dapat dijabarkan visi dan
misi program intervensi yang peneliti akan praktikan. Adapun visi dan misi
tersebut dijabarkan sebagai berikut.
Visi :
Visi program intervensi ini adalah Menunjang pengembangan diri
siswa

secara

optimal

dan

memandirikan

siswa

untuk

dapat

menyelenggarakan kehidupan sehari-hari secara efektif melalui peningkatan


percaya diri.
Misi :
Sesuai dengan visi di atas misi dalam penelitian ini merujuk pada misi
pertama yaitu memfasilitasi potensi siswa melalui suasana bimbingan yang

179

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

edukatif, kreatif, dan menyenangkan dalam upaya meningkatkan percaya diri.


Adapun upaya untuk mewujudkan misi dalam penelitian ini yaitu:
a. Meningkatkan percaya diri dalam bertingkahlaku pada siswa baik
keyakinan terhadap diri, sikap penerimaan terhadap orang lain, maupun
sikap optimis dengan berbagai bentuk permainan yang dilakukan dalam
kelompok.
b. Meningkatkan percaya diri dalam emosi pada siswa, terutama dalam hal
penerimaan diri, mengekspresikan emosi, penghargaan positif, serta sikap
positif, sehingga mampu memberikan kepercayaan pada diri sendiri dan
orang lain.
c. Meningkatkan percaya diri dalam spiritual pada siswa, terutama dalam hal
meyakini takdir Tuhan, sehingga dapat meyakinkan siswa terhadap
kenyataan serta mampu mensyukuri kehidupan.
B. Deskripsi Kebutuhan
Untuk memperlancar pemberian treatmen pada siswa yang hendak diteliti,
maka peneliti akan berpatokan pada deskripsi kebutuhan yang dibuat berdasarkan
hasil need assessment (pretest) tentang percaya diri. Program intervensi penggunaan
teknik permainan dalam bimbingan kelompok pada penelitian ini diberikan pada
siswa yang dikategorikan kurang percaya diri, dari 138 siswa kelas XI yang diberikan
pretest terdapat 24 siswa yang kurang percaya diri aspek yang paling rendah dari ke
tiga aspek yang ada pada percaya diri yaitu percaya diri dalam bertingkahlaku.
Berdasarkan data tersebut peneliti merancang program intervensi berupa penggunaan
teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri
siswa.
Berikut dijelaskan mengenai gambaran siswa yang tidak percaya diri dimulai
dari layanan dasar, responsif dan perencanaan individual. Adapun deskripsi
kebutuhan layanan dasar bimbingan berupa pemberian informasi dari ke tiga aspek
yang diteliti adalah sebagai berikut:

180

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

1. Percaya diri dalam Bertingkahlaku pada penelitian ini adalah bagaimana ekspresi
seseorang terhadap lingkungan. Terdapat tiga indikator pada tingkahlaku ini
diantaranya; a) melakukan sesuatu secara maksimal dalam belajar serta
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, b) mampu bersikap positif terhadap
orang lain yang diekspresikan melalui keyakinan atau sikap percaya kepada orang
lain, c) mampu menghadapi segala kendala. Maksudnya yaitu seberapa kuat
seseorang tersebut dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya, pada
penelitian ini dapat dijabarkan berupa suatu usaha yang dilakukan baik terutama
untuk diri sendiri untuk menjadi lebih mandiri dalam menghadapi persoalan yang
ada di lingkungan sekitar terkait dengan pematangan diri dalam belajar.
2. Percaya diri dalam emosi maksudnya yaitu bagaimana sikap seseorang tersebut
dalam menuangkan perasaan, diantaranya; a) mengetahui perasaan sendiri baik itu
kelebihan serta kekurangan yang ada pada dirnya, b) mengungkapkan perasaan
sendiri. Pada indikator yang dijabarkan berupa perasaan saat ini baik sedih serta
bahagai dalam melakukan interaksi dengan teman ketika seseorang mampu
bergaul dengan teman sekitar atau sebaliknya ketika ditolak oleh lingkungan
sosialnya, c) memperoleh kasih sayang, pengertian dan perhatian disaat
mengalami kesulitan yang. Pada indikator yang diekspresikan melalui bagaimana
seseorang diperlakukan oleh orang lain, begitu juga sebaliknya bagaimana
seseorang tersebut memperlakukan orang lain sehingga memunculkan untuk
saling membantu, d) mengetahui manfaat apa yang dapat disumbangkan kepada
orang lain. Pada indikator yang dijabarkan artinya hal apa yang bisa dilakukan
untuk menunjukkan diri sebagai pribadi yang mandiri.
3. Percaya diri dalam spiritual maksudnya yaitu bagaimana seseorang tersebut
mensyukuri apa yang dimiliki serta kekurangan yang ada pada dirinya. Pada
indikator ini dapat dijabarkan berupa; a) memahami bahwa alam semesta adalah
misteri artinya suatu bentuk kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap
kehidupan di dunia ini, b) meyakini takdir tuhan dapat diekspresikan melalui

181

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

bahwa semua manusia pada akhirnya akan mati, dan perubahan pada dunia
beserta isinya itu nyata dan pasti ada, sehingga ia mampu menerima apa yang dia
miliki baik berupa kelebihan serta kekurangan yang ada pada dirnya, c)
mengagungkan Tuhan, pada indikator ini maksudnya yaitu bentuk syukur yang
dipanjatkan kepada Tuhan atas kebesaran beliau.
C. Tujuan
Tujuan umum yang hendak dicapai melalui program efektivitas penggunaan
teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa
kelas XI SMA ini adalah membantu siswa untuk mampu lebih percaya diri. Adapun
tujuan khususnya agar siswa dapat:
a. Memiliki

keyakinan terhadap dirinya sendiri, sikap penerimaan terhadap

orang lain, serta memiliki sikap optimis untuk mencapai sukses terutama
dalam bidang sosial pribadinya.
b. Penerimaan diri, mengekspresikan emosi, penghargaan positif, serta sikap
positif, sehingga mampu melakukan interaksi sosial dengan baik.
c. Meyakini takdir dari Tuhan dengan melihat kekurangan serta kelebihan yang
ada pada diri siswa itu sendiri agar mampu tampil lebih baik lagi.
D. Komponen Program
Program intervendi penggunaan teknik permainan dalam bimbingan
kelompok akan berangkat dari program bimbingan dan konseling perkembangan
yang komprehensif memiliki empat komponen program yaitu;
1. Layanan Dasar Bimbingan
a. Pengertian
Pelayanan dasar diartikan sebagai proses pemberian bantuan kepada seluruh
siswa melalui kegiatan penyiapan pengalaman terstruktur secara klasikal atau
kelompok yang disajikan secara sistematis dalam rangka mengembangkan
perilaku jangka panjang sesuai dengan tahap dan tugas-tugas perkembangan
(yang dituangkan sebagai standar kompetensi kemandirian) yang diperlukan

182

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

dalam pengembangan kemampuan memilih dan mengambil keputusan dalam


menjalani kehidupannya.
a. Tujuan
Pelayanan ini bertujuan untuk membantu semua siswa agar memperoleh
perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat, dan memperoleh
keterampilan dasar hidupnya. Tujuan pelayanan ini dapat dirumuskan sebagai
upaya untuk membantu siswa untuk lebih percaya diri dalam bertingkahlaku,
percaya diri dalam emosi pada siswa, dan percaya diri dalam spiritual.
b.

Fokus Pengembangan
Pelaksanaan kegiatan layanan dasar bimbingan ini strategi yang dipilih adalah

bimbingan klasikal yang dilakukan di dalam kelas yang disajikan dalam bentuk
layanan informasi. Adapun tema yang akan dikembangkan dalam layanan dasar
akan berpatokan pada bagian b tentang tujuan dari layanan dasar yaitu tentang:
1) percaya diri dalam bertingkahlaku. Pada aspek yang ini dijabarkan tentang
pentingnya memiliki keyakinan diri, sikap penerimaan, serta sikap optimis dalam
melakukan sesuatu, 2) percaya diri dalam emosi pada siswa. Tema yang akan
dikembangkan pada aspek ke dua ini berupa kematngan emosi yang di dalamnya
terdapat;

penialain

terhadap

diri

sendiri,

kemampuan

siswa

dalam

mengekspresikan emosi, penghargaan positif serta mampu bersikap secara


positif, dan 3) percaya diri dalam spiritual.
2. Layanan Responsif
a. Pengertian
Pelayanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada siswa yang
menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan dengan
segera. Konseling individual, konseling krisis, konsultasi dengan orang tua, guru
dan alih tangan kepada ahli lain adalah bentuk dari pelayanan responsif.
b. Tujuan

183

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Tujuan

pelayanan

responsif

adalah

membantu

siswa

memenuhi

kebutuhannya dan memecahkan masalah yang dialaminya, hambatan, kegagalan


dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya dalam hal ini tentang percaya
diri. Tujuan pelayanan ini sebagai upaya untuk mengintervensi masalah-masalah
atau kepedulian pribadi, sosial-pribadi, karier, dan atau masalah pengembangan
pendidikan.
c. Fokus Pengembangan
Berdasarkan hasil need assesmen yang telah dilakukan berupa penyebaran
kuesioner tentang percaya diri siswa seperti yang telah digambarkan pada
deskripsi kebutuhan yang telah dideskripsikan secara utuh tentang aspek serta
indikator dari percaya diri yang diteliti, diantaranya;. 1) Pada aspek percaya diri
dalam bertingkahlaku, dengan sub aspek keyakinan diri, sikap penerimaan dan
optimis, 2) aspek percaya diri dalam emosional, dengan sub aspek penilaian
terhadap diri, mengekspresikan emosi, penghargaan dan sikap positif, dan 3)
aspek percaya diri dalam spiritual, dengan sub aspek keyakinan diri terhadap
Tuhan.Tindak lanjut berupa konseling individual juga diberikan kepada siswa
apabila dilihat dari hasil prosentase pada deskripsi kebutuhan menjelaskan
bahwa siswa tersebut sangat perlu diberikan konseling individual. Tujuan
dilaksanakannya konseling individual tersebut agar siswa dapat:
a) Meningkatkan keyakinan diri siswa.
Dengan diberikan konseling secara langsung antara konselor dengan klien
dapat dijadikan sebagai bentuk pemecahan alternative guna membantu
perkembangan siswa dalam bidang sosial-akademik, karir, bagi siswa yang
mebutuhkan layanan segera secara individual, maka akan diberikan konseling
individual agar mampu lebih percaya diri.
b) Meningkatkan penghargaan positif.
Setiap siswa memiliki karakteristik pribadi secara sendiri, memang tidak
mudah untuk memberikan sebuah penghargaan kepada diri sendiri karena

184

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

belum tahu apa yang harus dilakukan untuk menunjukkan penghargaan


tersebut. Konseling secara langsaung antara konselor dengan klien yang
diberikan dapat dijadikan sebagai bentuk pemecahan alternative guna
membantu perkembangan siswa dalam bidang sosial-pribadi, akademik, karir,
bagi siswa yang mebutuhkan layanan segera secara individual, maka akan
diberikan konseling individual agar mampu lebih percaya diri. Melalui
konseling individual ini siswa akan mendapatkan perlakukan yang lebih,
untyuk mengungkap serta memecahkan masalah yang dialami siswa. Bahkan
beberapa kasus tertentu dapat ditangani dengan konseling krisis dan
mendatangkan nara sumber.
3. Layanan perencanaan individual
Perencanaan individual diartikan sebagai bantuan kepada siswa agar mampu
merumuskan dan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan percaya diri,
sehingga dapat bertingkahlaku dengan baik terutama dalam melakukan kegiatan
sehari-hari, mengekspresikan emosi secara rasional, serta meyakini takdir tuhan.
Layanan perencanaan individual pada program ini difokuskan pada intervensi
terutama bagi siswa yang yang kurang percaya diri dalam bentuk pemberian
saran secara berkelompok. Adapun tema layanan ini adalah sebagai berikut;
a. Review hasil pretest dan posttest kuesioner percaya diri. Layanan ini
bertujuan supaya siswa dapat mengetahui kondisi percaya diri awal siswa
yang disampaikan berdasarkan hasil pretest dan kondisi percaya diri siswa
setelah diberikan intervensi penggunaan teknik permainan dalam bimbingan
kelompok yang disampaikan berdasarkan hasil analisis posttest. Siswa akan
mengetahui bagaimana tingkat percaya diri dan pada aspek mana siswa yang
bersangkutan kategorinya rendah. Dengan demikian, maka siswa akan
memiliki perencanaan diri untuk mengkondisikan percaya diri sesuai dengan
hasil intervensi dan usaha yang dilakukan oleh siswa agar lebih percaya diri.
b. Pelatihan teknik permainan secara mandiri. Layanan ini bertujuan supaya

185

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

siswa bisa merasakan efek intervensi dari penggunaan teknik permainan


dalam bimbingan kelompok yang diberikan peneliti. Peneliti memberikan
saran kepada siswa untuk melatih diri sendiri dengan bentuk permainan sesuai
dengan apa yang diinginkan sebagi bentuk tindak lanjut dari intervensi yang
diberikan peneliti di sekolah, bahkan juga dapat melatih diri di depan cermin
yang dengan materi yang disesuaikan kepada apa yang telah diberikan
sebelumnya. Dengan demikian, siswa akan bisa menjadikan penggunaan
teknik permainan dalam bimbingan kelompok sebagai wahana untuk
menciptakan kondisi tenang dan nyaman secara mandiri dalam upaya untuk
meningkatkan percaya diri dengan bentuk latihan disesuaikan dengan proses
intervensi yang telah diberikan peneliti.
4. Dukungan Sistem
Dukungan sistem merupakan komponen pelayanan dan kegiatan manajemen,
tata kerja, infra struktur (misalnya Teknologi informasi dan Komunikasi), dan
pengembangan kemampuan profesional konselor secara berkelanjutan, yang
secara tidak langsung memberikan bantuan kepada siswa atau memfasilitasi
kelancaran perkembangan siswa. Dukungan sistem ini meliputi aspek-aspek: (a)
pengembangan jejaring (Networking), (b) kegiatan manajemen, (c) riset dan
pengembangan. Berikut dijabarkan peranan dari kepala sekolah, wakil kepala
sekolah, koordinator dan guru bimbingan dan konseling, wali kelas, serta guru
mata pelajaran.
a.

Kepala Sekolah.
Adapun bentuk keterlibatan kepala sekolah dalam mendukung kegiatan
perealisasian intervensi ini, yaitu :
1) Sebagai penanggungjawab umum dalam pelaksanaan intervensi yang
dilakukan oleh peneliti.

186

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

2) Menyediakan sarana dan prasarana sekolah (ruang kelas) serta perijinan


untuk menggunakan fasilitas lain yang dibutuhkan dalam kegiatan
intervensi sebagai daya dukung pelaksanaan penelitian.
3) Peneliti melakukan koordinasi dengan Kepala Sekolah dalam meminta
perijinan waktu pelaksanaan intervensi, serta kegiatan lain yang terkait
dengan intervensi yang akan dilakukan ke siswa.
b. Koordinator Bimbingan dan Konseling
Bentuk

keterlibatan

koordinator

BK dalam

mendukung

kegiatan

perealisasian intervensi ini, yaitu :


1) Memberikan perijinan untuk melakukan perealisasian program intervensi
serta pertanggungjawabannya kepada Kepala Sekolah.
2) Mengkoordinasikan guru bimbingan dan konseling yang mengampu kelas
yang akan diberikan treatmen untuk mengamati pelaksanaan intervensi
yang dilakukan peneliti.
3) Peneliti selalu berkoordinasi dengan koordinator BK dalam setiap
pelaksanaan kegiatan layanan yang akan dilakukan sebagai bentuk
tanggungjawab kegiatan yang dilakukan.
c. Guru Bimbingan dan Konseling.
Bentuk keterlibatan Guru BK dalam mendukung kegiatan perealisasian
intervensi ini, yaitu :
1) Memberikan ijin pada peneliti untuk melakukan intervensi pada siswa yang
diampunya
2) Mengamati dan mengawasi pelaksanaan intervensi yang dilakukan oleh
peneliti.
3) Memberikan masukan pada peneliti dalam pengkondisian siswa apabila
diperlukan.
4) Peneliti selalu melakukan koordinasi bentuk intervensi yang akan
dilakukan dalam setiap sesi serta waktu pelaksanaannya.

187

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

d. Wali Kelas.
Bentuk keterlibatan Wali Kelas dalam mendukung kegiatan perealisasian
intervensi ini, yaitu :
1) Memberikan ijin kepada peneliti untuk merealisasikan program intervensi
pada siswa yang diampunya.
2) Mengidentifikasi perkembangan siswa dengan melakukan diskusi di kelas
(terintegrasi dalam proses pembelajaran), yang mendiskusikan pengalaman
siswa setelah mengikuti intervensi untuk meningkatkan percaya diri siswa.
3) Peneliti melakukan koordinasi dengan wali kelas untuk mengetahui
gambaran umum kondisi siswa di kelas setelah diberikan intervensi pada
masing-masing sesi.
e. Guru mata pelajaran
Bentuk keterlibatan guru mata pelajaran dalam mendukung kegiatan
perealisasian intervensi ini, yaitu : Peneliti berkoordinasi dengan guru mata
pelajaran

dalam

upaya

mengetahui

kondisi

siswa

dalam

interaksi

pembelajarannya di kelas, khususnya mata pelajaran yang membuat siswa


tidak percaya diri, serta menyarankan kepada guru mata pelajaran untuk lebih
melibatkan siswa dalam belajar baik secara akademik maupun emosi. Melalui
kegiatan yang dilakukan ini akan memberikan gambaran tentang siswa yang
percaya diri dan yang tidak percaya diri dalam mengikuti pembelajarn di
kelas.
E. Sasaran Intervensi
Program efektivitas penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok
ini diperuntukkan pada siswa kelas XI SMA yang teridentifikasi percaya diri siswa
rendah. Jumlah siswa yang akan diberikan intervensi penggunaan teknik permainan
dalam bimbingan kelompok dalah siswa kelas XI sebanyak 24 orang. Untuk
mempermudah serta melancarkan peneliti ketika memberikan intervensi kepada siswa
dilakukan secara klasikal kelompok terutama bagi siswa yang diidentifikasi percaya

188

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

dirinya rendah atau dengan kata lain membutuhkan layanan segera, serta pemberian
secara individual kalau memang penanganan siswa tersebut lebih serius yaitu dengan
memberikan konseling individual. Pada penelitian terhadap penggunaan teknik
permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa
adalah: 1) meningkatkan percaya diri dengan penggunaan teknik permainan, dan 2)
meningkatkan percaya diri siswa pada setiap aspek yang perlu untuk ditingkaykan.
F. Rencana Operasional (Action Plan)
Rencana kegiatan (action plan) diperlukan untuk menjamin pelaksanaan program
bimbingan dan konseling dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Rencana
kegiatan adalah uraian detail dari program yang menggambarkan isi komponen
program, baik kegiatan disekolah maupun diluar sekolah, untuk memfasilitasi siswa
mencapai tugas perkembangan tertentu.
Berangkat dari deskripsi kebutuhan di atas, langkah yang dilakukan peneliti
untuk melaksanakan penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok
untuk meningkatkan percaya diri siswa yaitu berupa jadwal pelaksanaan kegiatan.
Ssetelah melakukan pendekatan dengan guru bimbingan dan konseling di sekolah
SMA jadwal untuk intervensi yang diberikan kepada peneliti yaitu setiap hari senin,
rabu, dan kamis sebagai pengganti jam bimbingan dan konseling. Peneliti merancang
program penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk
meningkatkan percaya diri siswa sebanyak 11 kali pertemuan dan pemberian
intervensi disesuaikan dengan aspek yang ada.
G. Strategi Layanan
Strategi layanan yang dilakukan untuk mengetahui gambaran tingkat percaya diri
siswa dimuali dari penyebaran angket berupa kuesioner tentang percaya diri,
dilanjutkan dengan pemberian treatmen tentang penggunaan teknik permainan dalam
bimbingan kelompok dengan tujuan meningkatkan percaya diri siswa, dan diakhiri
dengan memberikan angket kembali berupa posttes tentang percaya diri. Adapun
bentuk strategi yang digunakan untuk meningkatkan percaya diri siswa yaitu

189

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

bimbingan kelompok melalui teknik permainan dengan tahapan-tahapan sebagai


berikut; 1) Tahap awal, 2) Tahap transisi, 3) Tahap kerja, dan 4) Tahap terminasi.
1. Tahap awal (beginning a group) yang terdiri atas :
a) Pernyataan tujuan
Konselor menyampaikan tujuan bimbingan, kompetensi yang ingin dicapai,
materi dan skenario kegiatan.
b) Pembentukan kelompok
Konselor membentuk kelompok sesuai keperluan.
c) Konsolidasi
Konselor memberi kesempatan pada anggota kelompok untuk melakukan
konsolidasi atas tugas-tugas dalam melaksanakan bimbingan.
2. Tahap transisi (transition stage) yang terdiri atas :
a)

Storming
Konselor melakukan penanganan-penanganan konflik-konflik internal.

b) Norming
Konselor melakukan re-konsolidasi dan re-strukturisasi kelompok dengan
melakuan pembagian tugas dan kontrak.
3. Tahap kerja (performing stage) yang meliputi :
a) Eksperientasi (experience)
Konselor melaksanakan bimbingan berdasarkan skenario yang telah dibuat
sesuai dengan teknik yang dipergunakan.
b) Identifikasi (identify)
Konselor melaksanakan refleksi tahap satu dengan cara mengidentifikasi polapola respon konseli dalam menerima stimulasi dari konselor.
c) Analisis (analyze).
Konselor melaksanakan tahap refleksi dengan cara mengajak konseli untuk
menganalisis dan memikirkan makna bagi penyelesaian masalahnya.
d) Generalisasi (generalization)

190

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Konselor melaksanakan refleksi tahap akhir dengan cara mengajak konseli


membuat rencana perbaikan atas kelemahan-kelemahannya.
4. Tahap terminasi (termination stage), meliputi :
a)

Refleksi umum
Konselor mengajak konseli untuk melakukan review atas proses konseling yang telah

dilakukan.
b)

Tindak lanjut
Konselor

memberi penguatan pada konseli untuk merealisasikan rencana-rencana

perbaikannya.

H. Pengembangan Satuan Pelayanan


Untuk

melakukan

permainan

dalam

bimbingan

kelompok,

peneliti

mengembangkan 3 (tiga) satuan layanan sebagai bentuk layanan dasar, 6 (enam)


bentuk satuan layanan yang kana dijadikan panduan dalam kegiatan permainan
sebagai bentuk layanan responsif, dan 2 (dua) sebagai bentuk layanan perencanaan
individual, diantaranya;
1.

Pemberian informasi tentang percaya diri dalam bertingkahlaku.

2.

Percaya diri dalam mengekspresikan emosi.

3.

Percaya diri dalam spiritual

4.

Permainan komunikasi dua arah tujuannya yaitu membantu para siswa


berkomunikasi dengan baik dan lebih percaya diri.

5.

Permainan cacabucaca tujuannya yaitu a) siswa mampu membuat dan


mengambil keputusan-keputusan untuk menentukan tujuan yang ingin dicapai,
b) melatih kefokusan siswa dalam melakukan sesuatu kegiatan tertentu

6.

Kelereng bergelinding tujuannya yaitu mempertunjukkan bahwa bekerja sama


dengan orang lain di tempat kerja bermanfaat bagi pencapaian kesuksesan.

7.

Evakuasi tujuannya yaitu a) membangun kekompakan dengan teman


sekelompok, b) menciptakan stategi yang tepat untuk meraih tujuan dan citacita bersama.

191

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

8.

Memahami kekuatan dan kelemahan diri tujuannya yaitu untuk menumbuhkan


pemahaman terhadap kekuatan/kelebihan diri melalui analisa teman sehingga
dapat digunakan untuk pemahaman diri

9.

Fantasi dengan tema permainan jika aku menjadi tujuannya yaitu, a) membantu
para siswa untuk mensyukuri kehidupan yang dialaminya saat ini, b)
menciptakan pola pikir untuk lebih menumbuhkan sikap semangat dalam
menghadapi hidup

10. Reviu hasil pretest


11. Belajar secara mandiri.
I.

Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan tujuan mengukur pelaksanaan dan keberhasilan

program efektivitas penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk


meningkakan

percaya

diri

siswa.

Evaluasi

menjadi

umpan

balik

secara

berkesinambungan bagi semua tahap pelaksanaan program baik untuk perbaikan


maupun pengembangan di masa yang akan datang.
Evaluasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil observasi setiap
pelaksanaan treatment teknik permainan dan membandingkan hasil pre-test dengan
pos-test melalui tingkat prosentase keberhasilan antara sebelum dan sesudah
treatment. Prosedur evaluasinya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Membandingkan hasil prosentase N-Gain pre-test dengan posttest
Adapun pengambilan keputusan bahwa percaya diri dapat dikatakan
meningkat atau berhasil adalah sebagai berikut:
1)

Prosentase masing-masing indikator pada hasil post-test menjadi lebih tinggi


setelah diberikan treatment berupa permainan dalam bimbingan kelompok.

2) Prosentase hasil post-test menjadi lebih tinggi daripada hasil pre-test yang
menunjukkan percaya diri siswa berhasil ditingkatkan melalui peningkatan
prosentase percaya diri siswa. Jurnal Harian Pelaksanaan Intervensi Penilaian
kelompok tergantung pada jurnal yang diisi oleh siswa itu sendiri, mengenai

192

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

perubahan yang telah dirasakan oleh siswa selama mengikuti permainan melalui
kelompok. penggunaan jurnal harian digunakan sebagai hasil observasi selama
siswa mengikuti kegiatan permainan dalam bimbingan kelompok. Tujuannya
adalah untuk mengetahui bagaimana tingkat perubahan tentang percaya diri yang
dialami siswa setelah diberikan teknik permainan dalam bimbingan kelompok
pada masing-masing indikator percaya diri.
Tabel 1.1 Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Mei

Sub Aspek

Aspek

1 2

1. Percaya
diri
dalam tingkah
laku.

2. Percaya
diri
dalam
emosional

1.1 Keyakinan
Diri
1.2 Sikap
Penerimaan
1.3 Sikap
Optimis
2.1 Penilaian
Diri
2.2 Ekspresi
Emosi
2.3Penghargaan
Positif
2.4 Sikap Positif

3. Percaya
spiritual.

diri

3.1...Keyakinan
Terhadap
Hal yang
Tak
terbatas
3.2 Kebenaran

Juni

Indikator
3 4 1

a. Melakukan sesuatu secara


maksimal.
b. Mendapat bantuan dari orang
lain.
c. Mampu menghadapi segala
kendala
a. Memahami perasaan sendiri.
b. Mengungkapkan perasaan
sendiri.
c. Memperoleh kasih sayang, dan
perhatian disaat mengalami
kesulitan.
d. Memahami manfaat apa yang
dapat disumbangkan kepada
orang lain.
a. Memahami bahwa semesta
adalah misteri yang dapat terus
berubah.
b. Menghayati kodrat alami.

Demikian program bimbingan kelompok dengan teknik permainan untuk


meningkatkan percaya diri siswa untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan akan
layanan bimbingan dan konseling khususnya pada jenis bimbingan yaitu bimbingan
sosial pribadi. Upaya layanan bimbinga tersebut tidak akan berhasil dengan baik, jika
tidak didukung oleh berbagai perangkat bimbingan yang memadai, baik personel
guru, sarana maupun dukungan manajemen. Dengan dukungan semua pihak,

193

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

diharapkan perkembangan siswa dapat mencapai sasaran yang optimal, sehingga


siswa mampu mencapai kematangan karier yang baik, karena konteks perkembangan
sosial pribadi terkait dengan percaya diri siswa akan terlihat pada perkembangan serta
perubahan yang mampu ditunjukkan oleh siswa itu sendiri dalam interaksinya di
lingkungan sosial mereka atau di lingkungan sekolah.
Tabel 1.2 Jenis dan Teknik Permainan
Variabel

Aspek
1. Percaya
diri dalam
tingkah
laku.

Percaya
Diri

2. Percaya
diri dalam
emosional

3. Percaya
diri
spiritual.

Jenis Permainan

Teknik Permainan

Tempat

- Komunikasi satu
arah dan dua arah

- Dyad and triad

Dalam
kelas

- Cacabucaca

- Gerak (movement)

Luar kelas

- Kelereng
bergelinding

- Gerak (movement)

Luar kelas

- Evakuasi

- Gerak (movement),
dan sentuhan
(a) menulis (written),
(b) gerak (movement),
(c) rounds(melingkar),
(d) Umpan balik
- Fantasi

Luar kelas

- Memahami
kekuatan dan
kelemahan diri
- Jika aku menjadi
siswa yang tidak
punya

Luar kelas

Luar kelas

REFERENSI
Ahman, (1998). Bermain Peran Sebagai Model Bimbingan Dalam Mengembangkan
Keterampilan Sosial Anak Berkemampuan Unggul. (hasil penelitian), Bandung:
IKIP
Angelis, B. D. (2005). Confidence : percaya diri sumber sukses dan kemandirian.
Bandura, Albert, 1997. Self-Efficacy The Exercise of Control. New York: W.H.
Freeman and Company

194

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Badudu. J.S dan Sutan Muhamad Zain, 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Creswell John W, 2005. Eucational Research. University of Nebraska: Person
Education.
Hidayat Rahman (2008). Efektivitas Terapi Bermain Kelompok dalam Meningkatkan
Kepercayaan Diri Pada Remaja Awal Panti Asuhan Muhammadiyah
Malang_Skripsi: Fakultas Psikolgi Muhammadiyah Malang
Hudi Rahmad . (2009). Permeblajaran Melalui Diskusi Kelompok dalam Upaya
Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika. Skipsi. Surakarta: FKIP
Muhammadiah Surakarta
http://myshandy.multiply.com/journal. (06 Agustus 2010)
Juntika Achmad, 2006. Bimbingan dan Konseling. Bandung: Refika Aditama.
Lositosari Dwi. (2007). Keefektivan Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan
Kepercayaan diri Siswa Yang Tidak Naik Kelas. Skipsi. Malang: FIP UNM
Natawidjaja Rochman, 1987. Pendekatan-pendekatan dalam Penyluhan Kelompok I.
Bandung: Diponegoro
Natawidjaja Rochman. (1997). Penelitian Tindakan. Himpunan tulisan. Bandung:
IKIP
Nurhidayat. (2009). Permeblajaran Melalui Diskusi Kelompok dalam Upaya
Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika. Skipsi. Surakarta: FKIP
Muhammadiah Surakarta
Permana Ediya (2009)..Program Bimbingan Kelompok Dengan Pendekatan Halaqah
(Mentoring) Untuk Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Diri
Prayitno.2003. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok. Padang: Ghalia
Indonesia
Ridwan Rustianti, 2008. Program Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan
Kemampuan Interpersonal Siswa. Tesis: SPS BK UPI Bandung.
Rusmana, Nandang. (2009). Permainan (Game & Play). Bandung : Rizki.

195

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Suarni, Ketut (2006). Perkembangan Peserta Didik_Modul : Jurusan Bimbingan dan


Konseling IKIP Negeri Singaraja.
Sudrajat Dadang, 2008. Program Pengembangan Self-Efficacy Bagi Konselor di SMA
Negeri se-Kota Bandung_Tesis : SPS BK UPI Bandung.
Suherman. 2008. Konsep dan Aplikasi Bimbingan dan Konseling. Jurusan PPB UPI
Sukardi. Dewa Ketut, 2008. Bimbingan dan Konseling Di Sekolah. Jakarta:
PT.Rineka Cipta
Surniwi. Nengah (2002). Kesulitan Belajar Dalam Bidang Matematika ditinjau dari
Kepercayaan Diri_Skripsi. BK FIP IKIP Negeri Singaraja
Silvana Clark (2002). .Langkah-langkah Terapi Mengmbangkan Kepercayaan Diri
Anak. Jakarta :PT Alex Media Komputindo
Solehuddin.M, (1997). Pengimplementasian Aktivitas Bermain di Taman Kanakkanak. (hasil penelitian), Bandung: IKIP
Wilson, Kate, dkk. (1992). Play Therapy A Non-directive Approach For Children
and Adolescents. Tokyo : Baillere Tindal
Widiastuti Fika. (2009). Kontribusi Konsep Diri dan Rasa Percaya Diri
TerhadapKemampuan Bersosialisasi pada Masa Pueral Dikalangan Remaja;
Singaraja_Bali: FIP Undiksha
W.S. Winkel dan M.M. Sri Hastuti. (2004). Bimbingan dan
Konseling di Instritusi Pendidikan. Media Abadi : Yogyakarta.
Yustiana, Yusi.R (1999). Pengelaman Belajar Awal Yang Bermakna Bagi Anak
Melalui Aktivitas Bermain. Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan
BIODATA PENULIS
Nama
TTL
Jenis Kelamin
Agama
Alamat
Instansi
Alamat Kantor
HP

: Kadek Suhardita, S.Pd.,M.Pd


: Titab 08 Desember 1985.
: Laki-laki
: Hindu
: Banjar Dinas Baledana Desa Titab, Kecamatan
Busungbiu, Kabupaten Buleleng Provinsi Bali
: IKIP PGRI Bali Denpasar
: Jalan Seroja Tonja, Denpasar Timur, Tlp 0361431434
: 08193638
196

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

IMPLEMENTASI MODEL COLLABORATIVE TEAMWORK LEARNING (MCTL)


UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR
FISIKA SISWA KELAS XI MIPA 4SMA NEGERI 1 TAMPAKSIRING
TAHUN PELAJARAN 2014/2015

Ngakan Ketut Tresnabudi


SMA Negeri 1 Tampaksiring Gianyar
ABSTRACT
This research is motivated by the lack of achievement of learning and
motivation student. the purpose this study were 1) Improving the learning
achievement of students of class XI MIPA 4 SMAN 1 Tampaksiring academic year
2014/2015 through the implementation MCTL, 2) Increase motivation to learn
physics class XI MIPA 4 SMAN 1 Tampaksiring academic year 2014/2015 through
the implementation MCTL, 3) Describe a class XI MIPA 4 student responses SMAN
1 Tampaksiring academic year 2014/2015 of the implementation MCTL in physics
learning.
This study uses a class action research design. Samples were students of class
XI MIPA 4 second semester in SMAN 1 Tampaksiring academic year 2014/2015.
This study was conducted in two cycles. Each cycle consists of four stages: planning
action, action, observsi / evaluation, and reflection. Data were collected with learning
achievement tests and questionnaires for learning motivation. Data were analyzed
descriptively. The results showed that 1) Implementation of Collaborative Teamwork
Learning models in physics learning can improve learning achievement physics class
XI MIPA 4 SMAN 1 Tampaksiring academic year 2014/2015, 2) Implementation of
Collaborative Teamwork Learning models in physics learning can increase the
motivation to learn physics class XI MIPA 4 SMAN 1 Tampaksiring academic year
2014/2015, 3) student responses to the implementation model of Teamwork
Collaborative Learning in physics learning in class XI MIPA 4 SMAN 1
Tampaksiring academic years 2014/2015 in the category learning physics is positive
with an average score of 57.
Key Words: Model CTL, Academic Achievement, Motivation To Learn
PENDAHULUAN
Pendidikan

itu

sendiri

merupakan

media

pembekalan

pengetahuan,

pengalaman, keterampilan, dan penguasaan teknologi bagi siswa untuk berkarya


secara inovatif, kreatif dan tepat guna. Dengan kemajuan IPTEKS yang begitu cepat,
melek sains menjadi kebutuhan setiap orang. Melek sains juga merupakan kebutuhan
penting di dunia kerja. Pemahaman tentang sains dan proses sains memberi kontribusi
197

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

besar terhadap keterampilan-keterampilan tersebut (NRC dalam Suma, 2010). Fisika


sebagai salah satu cabang sains, memiliki peranan yang strategis dalam
perkembangan IPTEKS dewasa ini, berbagai kebijakan telah dibuat oleh pemerintah
terutama tentang standarisasi dalam bidang pendidikan. Berbagai studi yang
mengarah pada peningkatan efisiensi dan efektivitas layanan pendidikan sudah
dilakukan dalam implementasi kurikulum (Mulyasa, 2006). Sebagai salah satu bentuk
efisiensi dan efektivitas implementasi kurikulum dikembangkan berbagai strategi
implementasi kurikulum. Salah satu kurikulum yang pernah dikembangkan adalah
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan tahun ajaran ini kurikulum
mengalami suatu pemberharuan menjadi kurikulum 2013. Hal tersebut diharapkan
dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Namun rata-rata prestasi belajar siswa
masih rendah. Karena baru penyesuaian proses pembelajaran terhadap kurikulum
2013, belum terlihat adanya peningkatan prestasi belajar siswa. Permasalahan
mengenai rendahnya rata-rata prestasi belajar fisika seperti yang terjadi di SMA
Negeri 1 Tampaksiring. Fakta ini diperoleh dari nilai UTS Fisika siswa kelas XI
MIPA 4 SMA Negeri 1 Tampaksiring yang menunjukkan bahwa prestasi belajar
fisika siswa masih rendah. Selain prestasi belajar, pada proses pembelajaran motivasi
belajar siswa masih rendah.
Ketercapaian aspek kognitif yang ditunjukkan dari rekapitulasi prestasi belajar
Fisika pada ulangan tengah semester siswa bidang studi Fisika, rata-rata nilai kelas
XI MIPA 4 adalah 76. Rata-rata prestasi belajarnya paling rendah diantara kelas XI
MIPA yang lain. Nilai rata-rata prestasi belajar Fisika siswa kelas XI MIPA 4 masih
berada di bawah KKM yang ditetapkan yaitu 78. Belum tercapainya ketuntasan
prestasi belajar Fisika di kelas XI MIPA 4 mengindikasikan masih terdapat
kesenjangan antara tuntutan kurikulum dengan apa yang telah dicapai sekarang ini.
Kesenjangan-kesenjangan tersebut terjadi karena terdapat banyak faktor yang
mempengaruhinya. Dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang menyebabkan
rendahnya motivasi belajar dan prestasi belajar Fisika siswa yaitu sebagai berikut.

198

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Pertama, rendahnya motivasi siswa tentunya diakibatkan oleh berbagai faktor.


Salah satunya tampak ketika siswa mengikuti proses pembelajaran tidak semua aktif
dalam diskusi seperti menanggapi pertanyaan guru maupun menjawab pertanyaan
teman. Hanya beberapa orang siswa saja yang tampak aktif menjawab dan
menanggapi pertanyaan guru. Ketika siswa diberikan permasalahan dan mereka tidak
mampu memperoleh solusi secara otomatis, maka siswa cenderung menyerah dan
mengeluh bahwa soal-soal fisika itu sangat sulit untuk dikerjakan. Kedua,
kemampuan pemecahan masalah siswa belum maksimal.
Salah satu hal yang menyebabkan yaitu soal-soal yang dikerjakan siswa
umumnya hanya mengacu pada konsep matematis yang sudah sering dijumpai,
sehingga kurang menantang. Jika siswa diberikan persoalan Fisika kontekstual yang
menyangkut tentang konsep tertentu, maka sebagian besar siswa mengalami
kesulitan. Ketiga, pada proses pembelajaran, khususnya belajar dalam bentuk
kelompok, beberapa siswa yang cerdas mendominasi karena mereka bekerja secara
individu sementara siswa yang kurang kemampuannya cenderung bertanya kepada
teman lain yang lebih mampu. Siswa tidak bisa memecahkan masalah yang kompleks
secara individu. Mereka harus bekerja sama dan berkolaborasi di dalam kelompok
sehingga terjadi interaksi antara siswa yang memiliki kemampuan lebih dengan siswa
yang kurang pengetahuannya.
Bertolak dari identifikasi penyebab permasalahan yang dikemukakan di atas,
nampak bahwa faktor pembelajaran yang paling dominan sebagai faktor penyebab
rendahnya prestasi belajar Fisika siswa. Oleh karena itu, peneliti ingin meningkatkan
motivasi belajar dan prestasi belajar Fisika siswa melalui penerapan model
pembelajaran inovatif. Semua aktivitas dalam tim tersebut dapat dirundingkan dan
diorganisasikan sendiri oleh siswa, selain itu siswa dalam timnya juga dapat
berkolaborasi sehingga dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar. Menurut
Hackbert & College (2004), tim merupakan kelompok jenis khusus yang
didefinisikan sebagai dua individu atau lebih yang bekerja secara kooperatif

199

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

(bersama-sama) dengan tujuan kerja yang spesifik. Salah satu model pembelajaran
yang dapat dijadikan alternatif dalam pengoptimalan motivasi dan prestasi belajar
adalah dengan menggunakan model Collaborative Teamwork Learning (MCTL)
dalam pembelajarannya. MCTL merupakan suatu model pembelajaran yang
memungkinkan siswa untuk mengembangkan kemampuan bekerja secara kolaboratif
dalam tim.
MCTL mengacu pada model pengajaran di mana siswa bekerja bersama
dalam satu team yang saling membantu dalam belajar. Konsep teamwork yang
dimaksud adalah siswa yang bekerja dalam satu kelompok bersama-sama belajar dan
memecahkan suatu permasalahan di mana semua siswa saling menyumbangkan
pemikiran dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara kelompok
maupun individu serta memberi suatu ikatan kekompakan (Anderson, 2008). MCTL
memiliki beberapa tahapan menurut (Colvin, 2007; Frances, 2008), yaitu 1) Forming,
kegiatan pembentukan team, menetapkan tujuan dan tanggung jawab masing-masing
anggota dalam tim serta mendiskusikan dan merumuskan permasalahan yang
diberikan oleh guru. 2) Stroming, mencakup kegiatan pengungkapan hipotesis dari
siswa terkait dengan permasalahan yang diberikan. Siswa dalam hal ini mengajukan
suatu hipotesis terkait permasalahan yang diberikan. 3) Norming, menentukan
sumber-sumber yang berkaitan untuk memecahkan permasalahan yang dibahas dalam
LKS. Selain sumber dari buku-buku yang terkait, siswa juga dapat melakukan suatu
penyelidikan sebagai sumber lain dalam pemecahan masalah. 4) Perfoming,
mengkomunikasikan hasil pemecahan masalah melalui kegiatan presentasi tim.
Kegiatan ini, memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan hasil
penyelidikannya. 5) Adjourning, mencakup kegiatan pengkolaborasian pemahaman
berdasarkan persentasi yang telah dilakukan.
Sesuai dengan penelitian Kapp (2009) menyatakan bahwa MCTL dapat
meningkatkan motivasi, menambahkan ketekunan pada siswa ketika menghadapi
kesulitan dan siswa dapat lebih mudah mentransfer pengetahuan dan keterampilan

200

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

yang diperoleh melalui pengalaman belajar bersama. Penerapan MCTL diharapkan


dapat meningkatkan prestasi belajar Fisika dan motivasi belajar siswa.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka dapat
dirumuskan beberapa masalah yaitu sebagai berikut. 1) Apakah implementasi MCTL
dapat meningkatkan prestasi belajar Fisika siswa kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1
Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015 ? 2) Apakah implementasi MCTL dapat
meningkatkan motivasi belajar Fisika siswa kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1
Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015? 3) Bagaimanakah tanggapan siswa kelas
XI MIPA 4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015 terhadap
implementasi MCTL dalam pembelajaran Fisika?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian tindakan kelas (classroom
action research) yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan motivasi, dan
prestasi belajar fisika siswa kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun
pelajaran 2014/2015. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus
terdiri dari empat tahapan yaitu perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan,
observsi/evaluasi, dan refleksi. Siklus I terdiri dari tiga kali pertemuan untuk
membahas materi gerak harmonik sederhana, satu kali pertemuan untuk tes akhir
siklus. Siklus II terdiri dari 3 kali pertemuan untuk membahas materi impuls dan
momentum,1 kali pertemuan untuk tes akhir siklus.
Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah semua siswa kelas XI MIPA 4
SMA Negeri 1 Tampaksiring semester 1 tahun pelajaran 2014/2015, yang berjumlah
37 orang yang terdiri dari 18 orang siswa laki-laki dan 19 orang siswa perempuan.
Data prestasi belajar siswa dikumpulkan melalui pemberian tugas terstruktur (PR),
lembar kerja siswa (LKS), kuis, dan tes di akhir siklus. Data motivasi belajar siswa
dikumpulkan dengan menggunakan angket motivasi belajar Fisika. Pada akhir
pelaksanaan tindakan, siswa diberikan kuisioner yang berfungsi untuk menggali
tanggapan siswa terhadap penerapan MCTL selama proses pembelajaran di kelas.

201

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Data prestasi belajar siswa dianalisis secara deskriptif, yaitu dengan


menentukan nilai prestasi belajar siswa yang diperoleh melalui LKS, kuis, tugastugas, dan tes akhir siklus. Skor-skor yang telah diperoleh pada masing-masing
penilaian dikonversi dalam skala 100. Siswa dikatakan tuntas jika KK 85%. Hal ini
sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh SMA Negeri 1 Tampaksiring yaitu
kriteria ketuntasan minimal (KKM) untuk mata pelajaran fisika adalah 78.

Data

motivasi belajar siswa dianalisis secara deskriptif berdasarkan skor rata-rata motivasi
belajar, mean ideal (MI), dan standar deviasi ideal (SDI). Tanggapan siswa terhadap
penerapan MCTL dikumpulkan dengan kuisioner atau angket tanggapan siswa.
Angket yang digunakan yaitu model skala Likert dengan pilihan sangat setuju (SS),
setuju (S), ragu-ragu (R), kurang setuju (KS) dan tidak setuju (TS).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Siklus I
Tabel 4.1 Deskripsi Nilai Prestasi Belajar Fisika Siswa pada Akhir Siklus I
Deskripsi

Kognitif Siswa Siklus I

Rata-Rata

77

Standar Deviasi

3,22

Nilai Terendah

68

Nilai Tertinggi

83

Berdasarkan Tabel 4.1, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata prestasi belajar
fisika siswa untuk aspek kognitif pada siklus I adalah sebesar 77.
Secara klasikal nilai rata-rata prestasi belajar fisika siswa berkategori baik.
Karena memakai rentangan nilai pada kurikulum 2013, nilai B bervariasi ada yang
mendapat B+, B-, dan B, namun masih tetap dikatakan berkategori baik. Jika nilai
rata-rata ini dibandingkan dengan nilai rata-rata prestasi belajar fisika siswa sebelum
tindakan siklus I, di mana untuk nilai rata-rata sebelum tindakan siklus 1 adalah

202

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

sebesar 76 maka di ketahui adanya peningkatan nilai rata-rata prestasi belajar fisika
siswa.
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh skor rata-rata motivasi siswa
sebesar 70 yang tergolong kategori tinggi.

Hasil Siklus I
Tabel 4.2 Deskripsi Nilai Prestasi Belajar Fisika Siswa pada Siklus I dan
Siklus II
Deskripsi

Kognitif Siswa
Siklus I

Siklus II

Rata-Rata

77

79

Standar Deviasi

3,22

3,71

Nilai Terendah

68

71

Nilai Tertinggi

83

86

Berdasarkan Tabel 4.2, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata prestasi belajar
fisika siswa untuk aspek kognitif pada siklus II adalah sebesar 79. Secara klasikal
nilai rata-rata prestasi belajar fisika siswa berkategori baik, meskipun ada yang
mendapat B, maupun B+. Jika nilai rata-rata ini dibandingkan dengan nilai rata-rata
prestasi belajar fisika siswa pada siklus I, maka diketahui adanya peningkatan nilai
rata-rata prestasi belajar fisika siswa.
Skor motivasi siswa yang paling banyak adalah berkategori tinggi yang
berjumlah 32 orang. Skor rata-rata motivasi siswa pada siklus II lebih besar daripada
siklus I.
Hasil analisis data skor tanggapan siswa, maka diperoleh skor rata-rata
tanggapan sebesar 57 yang berada pada kategori positif. Sebagian besar siswa merasa
senang selama mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan model Collaborative
Teamwork Learning.

203

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Pembahasan
Berdasarkan analisis terhadap proses pelaksanaan implementasi model
Collaborative Teamwork Learning (MCTL) pada siklus I dan siklus II, terungkap
bahwa pembelajaran pada siklus I terlihat belum optimal. Hal ini ditunjukkan dari
adanya beberapa kemampuan dan perilaku siswa yang belum sesuai dengan harapan.
Terdapat siswa yang belum berani mengemukakan pendapatnya dan tampak
canggung ketika menanggapi pertanyaan ataupun pada saat bertanya. Kegiatan
diskusi dalam setiap kelompok juga tampak belum optimal. Hal ini dapat dimaklumi
karena siswa belum terbiasa dengan model MCTL ini.
Hasil penelitian siklus I menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan prestasi
belajar. Nilai rata-rata prestasi belajar pada siklus I juga sudah mencapai kategori
baik. Peningkatan prestasi belajar fisika siswa sebelum siklus sampai akhir siklus I,
yaitu dari 76

menjadi 77. Pada siklus I prestasi belajar siswa belum mencapai

ketuntasan klaksikal.
Hal ini disebabkan siswa belum terbiasa dengan model yang diterapkan.
Untuk Skor motivasi pada siklus I sebesar 70 yang berkategori tinggi. Berarti siswa
sudah memiliki motivasi yang tinggi dalam mengikuti pelajaran Fisika. Sebelum
diterapkan MCTL, siswa sedikit minatnya untuk belajar Fisika, motivasi siswa rendah
dalam mengikuti pelajaaran Fisika. Secara umum terjadi peningkatan secara klasikal
baik dari motivasi maupun pestasi belajar fisika siswa. Namun peningkatan tersebut
belum optimal, ketidakoptimalan yang terjadi pada siklus I ini kemudian dijadikan
bahan refleksi siklus I. Hasil refleksi siklus I tersebut kemudian dijadikan pijakan
untuk proses pembelajaran pada siklus II.
Pada pelaksanaan siklus II, kegiatan pembelajaran telah lebih dioptimalkan
sesuai dengan hasil refleksi siklus I. Secara ringkas, keseluruhan hasil refleksi pada
siklus I tersebut, yaitu 1) mengoptimalkan kerjasama kelompok yang heterogen, 2)
meminimalkan dominasi beberapa individu atau kelompok, 3) meningkatkan
motivasi belajar, 4) meminimalkan kadar pemberian tuntunan, 5) meningkatkan

204

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

kepercayaan diri siswa dalam melakukan presentasi, 6) merancang RPP agar sesuai
dengan alokasi waktu yang tersedia. Semua hasil refleksi tersebut nantinya akan
bermuara pada pelaksanaan pembelajaran pada siklus II yang diharapkan lebih baik
dari siklus I.
Upaya perbaikan yang dilakukan pada siklus II menunjukkan hasil yang
positif. Berdasarkan hasil penelitian pada siklus II, terungkap bahwa terjadi
peningkatan prestasi belajar fisika siswa dari siklus I. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa skor rata-rata prestasi belajar siswa dari siklus I sampai siklus II, yaitu dari 77
menjadi 79 yang berkategori baik. Pada siklus II ada beberapa siswa yang belum
tuntas, namun kelas sudah dapat dikatakan tuntas karena sudah mencapai ketuntasan
klaksikal sebesar 86% berarti lebih besar dari 85%. Untuk skor motivasi juga
mengalami peningkatan, yaitu dari skor 70 menjadi 72 yang berkategorikan tinggi.
Secara umum, peningkatan prestasi belajar fisika dan motivasi belajar siswa
di kelas XI IPA 4 telah tercapai. Namun, masih terdapat beberapa kemampuan siswa
dalam menganalisis khususnya permasalahan yang ada di LKS. Hal ini menyebabkan
tingginya tingkat tuntunan guru dalam menuntun siswa, dalam

memberikan

penjelasan. Namun, permasalahan tersebut sudah mulai diatasi pada siklus II,
pengurangan tuntunan dalam upaya meningkatkan kemandirian siswa dalam proses
pembelajaran bertujuan untuk menciptakan pembelajaran yang lebih efektif yang
berpusat pada siswa. Selain itu, skor rata-rata motivasi belajar siswa berada pada
kategori tinggi. Namun, jika dilihat sebaran skor motivasi siswa, maka diketahui
jumlah siswa yang memiliki tingkat motivasi sangat tinggi mengalami penurunan.
Selain itu, juga terjadi peningkatan jumlah siswa yang memiliki motivasi tinggi dan
penurunan jumlah siswa dengan tingkat motivasi cukup tinggi. Hal ini disebabkan
oleh materi yang dibahas cukup mudah dimengerti dan sedikit persamaan-persamaan,
sehingga siswa kurang tertantang dalam belajar.
Sesuai dengan pandangan kontruktivis, dalam pelaksanaan MCTL ini, siswa
merupakan pusat kegiatan belajar yang mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.

205

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Pembelajaran MCTL yang bersifat student centered serta pemberdayaan pengetahuan


awal siswa dapat meningkatkan aktivitas siswa. Hal ini terjadi karena konsep yang
dibelajarkan telah terkait dengan fenomena yang sesuai dengan pengetahuan awal
siswa. Hal ini mampu menambah kebermaknaan belajar dan meningkatnya motivasi
belajar siswa. Selain itu, terkait dengan MCTL Gupta (2008) menyatakan rekan
kolaborasi dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, walaupun tergantung pada
faktor-faktor kompleks seperti usia, tingkat kemampuan, motivasi, kepercayaan diri,
gender dan tugas. Senada dengan penelitian Kapp (2009) menyatakan bahwa MCTL
dapat meningkatkan motivasi, Selain itu, juga dapat meningkatkan kinerja, prestasi
dan keakraban mereka dalam satu regu (kelompok).
Secara keseluruhan, hasil analisis baik secara teoritis maupun operasional dari
implementasi MCTL, ternyata mendukung keberhasilan penelitian tindakan kelas ini.
Penelitian ini tergolong berhasil meningkatkan prestasi dan motivasi belajar fisika
siswa di kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015
karena mampu mencapai indikator peningkatan dan memenuhi kriteria keberhasilan
prestasi belajar dengan kategori baik dan motivasi belajar dengan kategori tinggi.
Terkait dengan tanggapan siswa kelas XI MIPA 4 terhadap implementasi
model pembelajaran, dapat dideskripsikan bahwa sebanyak 5% siswa memberikan
tanggapan sangat positif, sebanyak 84% memberikan tanggapan positif, dan sisanya
sebanyak 11% cukup positif. Selain itu, sebagian besar siswa menyarankan agar
MCTL tetap diterapkan dalam pembelajaran fisika di kelas mereka.
Selain keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai dengan penerapan MCTL
di kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015, perlu
juga dibahas kendala yang ditemui. Kendala yang dihadapi dalam implementasi
MCTL, siswa sudah memiliki LKS dan buku dari sekolah, namun siswa malas untuk
membaca. Hanya beberapa siswa yang membaca, sehingga perlu adanya tuntunan
dari guru berupa penyampaian konsep-konsep penting. Namun, disadari bahwa
pemberian tuntunan yang berlebihan menyebabkan kemandirian siswa menjadi tidak

206

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

optimal dan juga pemberian tuntunan ini pada dasarnya tidak dapat menggantikan
fungsi buku sebagai bahan ajar yang lebih lengkap.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, implementasi model Collaborative Teamwork Learning dalam
pembelajaran fisika dapat meningkatkan prestasi belajar fisika siswa kelas XI MIPA
4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015. Hal ini dapat dilihat
berdasarkan nilai rata-rata prestasi belajar fisika siswa pada siklus I dan siklus II.
Kedua, implementasi model Collaborative Teamwork Learning dalam
pembelajaran fisika dapat meningkatkan motivasi belajar fisika siswa kelas XI MIPA
4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015. Hal ini dapat dilihat
berdasarkan skor rata-rata prestasi belajar fisika siswa pada siklus I dan siklus II.
Ketiga, tanggapan siswa terhadap implementasi model Collaborative
Teamwork Learning dalam pembelajaran fisika di kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1
Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015 dalam pembelajaran fisika berada pada
kategori positif dengan skor rata-rata sebesar 57.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian tindakan kelas
ini, maka dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut.
Pertama, model Collaborative Teamwork Learning dapat digunakan guru
fisika sebagai salah satu alternatif dalam upaya meningkatkan prestasi belajar fisika
siswa di kelas-kelas yang memiliki masalah yang sama dengan yang teridentifikasi
oleh peneliti di kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun pelajaran
2014/2015.
Kedua, bagi praktisi pendidikan yang ingin melaksanakan penelitian tindakan
kelas dengan model Collaborative Teamwork Learning diharapkan memperhatikan

207

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

hasil refleksi dalam penelitian tindakan kelas ini, yang meliputi 1) penyesuaian
kegiatan belajar dengan alokasi waktu yang tersedia, dan 2) perancangan pelaksanaan
kegiatan belajar dan perangkat pembelajaran yang baik sehingga pembelajaran
menjadi efektif.
Ketiga, model pembelajaran Collaborative Teamwork Learning cocok
diterapkan dalam pembelajaran fisika karena sesuai dengan tuntutan Kurikulum 13
yang menekankan proses pendidikan pada pendekatan saintifik.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson. 2008. High perfomance cooperative learning. Artikel. Tersedia pada
http://www.anderson.ucla.edu/smith/htm. Diakses pada tanggal 9 September
2014.
Colvin, A. C. 2007. Managing innovation: how collaborative design visualitation can
facilitate teamwork. International conference on engineering and product
design education. 1-6. Tersedia pada http://www. a.colvin@dundee.ac.uk.pdf.
Diakses pada tanggal 6 September 2014.
Frances, M. 2008. Stages of group development-A PCP approach. Personal construct
theory

and

practice.

8.

10-18.

Terdapat

pada

http://www.pcp-

net.org/journal/pctp08/frances08.pdf.Diaksespada tanggal 5 September 2014.


Kapp, E. 2009. Improving student teamwork in a collaborative project-based course.
Journal

of

college

teaching.

57

(3).

139-143.

Terdapat

pada

http://heldref.metapress.com/openurl.asp?genre=article&id=doi:10.3200/CTC
H.57.3.139-143. Diakses pada tanggal 16 September 2014.
Mulyasa. 2006. Kurikulum tingkat satuan pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.

Suma, I K. 2010. Efektivitas Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam Peningkatan


Pengusaan Konten dan Penalaran Ilmiah Calon Guru Fisika. Jurnal
Pendidikan dan Pengajaran. 43(6). 47-55.

208

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

PENINGKATAN KOMPETENSI DAN PROFESIONAL GURU


MELALUI PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Drs. Pande Wayan Bawa, M.Si
IKIP PGRI BALI
ABSTRAC
The tutorship is a professional position, because it has fulfilled the criteria like
the tutorship has involved intellectual activities, has a special torso, requires long
preparations for the lap, require continuous in-service training, a life and career about
membership permanent, raw determine behavior, and also adopt codes and service of
conduct are adhered to by its members.
To increase the effort to competence and profesionalism of teacher
performance should be sustainable. Recognition of competence and professionalism
is not enough market by the acquisition of teaching certificate, but is accompanied by
a continous self-development and coaching that will not cease from various
stakeholders.
One effort that can be done immediately and bring the double benefit is the
class action research. That is realistic pragmatic so as to resolve the various problems
that exist in both the learning prosess, in class or lab. Classromm action research
through the issues of education and learning can be assessed, omproves and
cimpleted. So the process of normative education and learning can be realised
optimally.
Key Words : Professional, Classroom Action Research
I.

Pendahuluan
Permasalahan yang masih perlu diatasi dalam penyelenggaraan pendidikan

nasional adalah rendahnya kualitas hasil pendidikan. Tudingan pun diarahkan pada
Guru sebagai penyebabnya, pertama mengingat peran strategis guru sebagai ujung
tombak pelaksanaan pembelajaran. Rendahnya pencapaian hasil pendidikan
dipengaruhi kinerja guru yang rendah, dan kinerja itu sendiri dipengaruhi oleh
pemilikan kompetensi guru rendah pula. Sebagai penjabaran tuntutan profesionalisme
kerja, pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 16 Tahun 2007 yang memuat tentang Standar Minimal kualifikasi dan
kompetensi guru.
209

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Peraturan yang tertuang dalam Permendiknas di atas perlu dipahami sebagai


hal yang terbuka dan dinamis. Artinya, kemampuan guru bukan merupakan hal yang
statis, sebaliknya mengandung tuntutan agar senantiasa mengembangkan diri,
meningkatkan kompetensi dan profesionalisme kerja. Menurut Iskandar Agung,
pengakuan telah memenuhi kompetensi melalui pemberian sertifikat pendidik pun
bukan merupakan alasan guru harus puas terhadap hasil yang dicapainya, melainkan
perlu menunjukkan tindakan pengembangan diri secara berkelanjutan. (2014:4).
Upaya peningkatan kompetensi dan professional kinerja guru harus dilakukan
secara berkelanjutan. Pengakuan kompetensi guru dan professional tidak cukup hanya
ditandai

dengan

perolehan

sertifikasi

pendidik,

melainkan

disertai upaya

pengembangan diri terus menerus dan pembinaan yang tidak henti-hentinya dari
berbagai pihak yang terkait. Untuk meningkatkan kompetensi dan professional guru
dalam menyelesaikan masalah pembelajaran yang dihadapi saat menjalankan
tugasnya, salah satunya dapat dilakukan melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK),
baik secara mandiri oleh guru yang bersangkutan maupun secara berkolaboratif
(sesama guru). Hal ini sejalan dengan pendapat, Sudarwan Danim (2011), yang
mengatakan untuk meningkatkan kompetensi dan professionalism guru bisa ditempuh
melalui

program

penelitian

untuk

menguji

dan

mengakses

kemampuan

profesionalnya.
Melalui PTK, masalah-masalah pendidikan dan pembelajaran dapat dikaji,
ditingkatkan dan dituntaskan sehingga proses pendidikan dan pembelajaran yang
inovatif dan hasil belajar yang optimal dapat diwujudkan secacra sistematis. PTK
menawarkan peluang sebagai strategi pengembangan kinerja melalui pemecahan
masalah pembelajaran. Sebab pendekatan penelitian ini menempatkan guru sebagai
peneliti sekaligus sebagai agen perubahan (Masnur Muslich, 2009:6).
Dengan cara demikian, para guru tidak lagi dianggap sekedar sebagai
penerima pembaharuan yang diturunkan dari atas, tetapi guru bertanggung jawab dan

210

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

berperan aktif untuk menghubungkan pengetahuan dan keterampilannya sendiri


melalui penelitian tindakan dalam proses pembelajaran yang dikelolanya.
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah:
1. Apakah jabatan guru merupakan jabatan professional?
2. Bagaimanakah konsep dasar Penelitian Tindakan Kelas itu?
3. Apakah melalui Penelitian Tindakan Kelas dapat meningkatkan kompetensi
dan professional guru?
II.

Pembahasan

2.1. Jabatan Guru merupakan jabatan profesional


Profesi guru menuntut keprofesionalan. Karena itu jabatan guru merupakan
jabatan professional yang pemegangnya harus memenuhi kualifikasi tertentu. Sebagai
professional, guru harus selalu meningkatkan pengetahuan, sikap dam keterampilan
terus menerus. Sebagai jabatan, harus dapat menjawab tantangan perkembangan
masyarakat, jabatan guru harus selalu dikembangkan dan dimutahirkan. Dalam
bersikap pun guru harus selalu mengandalkan pembaharuan sesuai tuntutan
kegiatannya.
Jabatan guru telah memenuhi kriteria jabatan professional anatara lain bahwa
jabatan itu melibatkan kegiatan intelektual, mempunyai batang tubuh ilmu yang
khusus, memerlukan persiapan yang cukup lama untuk memangkunya, memerlukan
latihan dalam jabatan yang berkesinambungan, merupakan karier hidup dan
keanggotaan yang permanen, menentukan baku perilakunya, mementingkan layanan,
mempunyai kode etik yang dilihat oleh anggotanya.
Hal ini sejalan dengan Nasional Education Association (NEA) (1948)
menyatakan, untuk jabatan guru kriterianya seperti berikut ini:
1. Jabatan yang melibatkan kegaitan intelektual
2. Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus
3. Jabatan yang memerl;ukan persiapan professional yang lama
4. Jabatan yang memerlukan lahitan dalam jabatan yang berkesinambungan
211

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

5. Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan ke anggotaan yang permanen


6. Jabatan yang memerluklan bahu (standarnya) sendiri
7. Jabatan yang lebih mementingkan layanan diatas kepentingan pribadi
8. Jabatan yang mempunyai organisasi professional yang kuat dan terjalin erat

2.2. Konsep Dasar Penelitian Tidnakan Kelas (PTK)


a) Pengertian PTK
Penelitian Tindakan Kelas merupakan suatu bentuk kajian yang bersifat
reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan semata-mata untuk meningkatkan
kemampuan rational dari tindakan-tindakan yang dilakukannya itu, serta untuk
memperbaiki kondisi dimana praktik kegaitan pembelajaran tersebut dilakukan (Raka
Joni, 1988). Sedangkan Suharsini Arikunto (2006) menjelaskan penelitian tindakan
kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kejadian belajar berupa sebuah
tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersamaan.
Berdasarkan pendapat diatas, dapat dinyatakan PTK merupakan penelitian
yang bersifat reflektif. Kegiatan penelitian berangkat dari permasalahan riil yang
dihadapi oleh guru dalam proses belajar mengajar, kemudian direfleksikan
pemecahan masalahnya dan ditindaklanjuti dengan tindakan-tindakan nyata yang
terencana dan terukur. Hal penting dalam PTK adalah tindakan nyata yang dilakukan
guru untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam proses belajar mengajar.
Tindakan itu harus direncanakan dengan baik dan dapat diukur tingkat
keberhasilannya dalam pemecahan masalah tersebut. Jika ternyata program itu belum
dapat memecahkan masalah yang ada, maka perlu dilakukan penelitian siklus
berikutnya untuk mencoba tindakan lain (alternatif pemecahan yang lain sampai
permasalahan dapat diatasi).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa dalam kegaiatn PTK, guru merupakan
faktor utama yang harus memainkan perannya secara baik. Guru dintuntut memiliki
212

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

kepekaan terhadap setiap permasalahan dalam proses bealjar mengajar. Tanpa


kepekaan guru sulit menemukan permasalahan yang layak untuk diteliti atau
diperbaiki.
b) Empat Langkah Utama PTK
PTK dapat dilaksankan melalui empat langkah utama yaitu: perencanaan,
tindakan, observasi dan refleksi (Susilo, 2009)

(1) Perencanaan (Planning)


Kegiatan perencanaan mencakup (a) Identifikasi masalah, (b) analisis
penyebab adanya masalah, dan (c) pengembangan bentuk tindakan (aksi) sebagai
pemecahan masalah.
Untuk keperluan identifikasi masalah dalam PTK, ada beberapa hal yang
harus disepakati antara lain, (1) masalah harus benar-benar terjadi dan dirasakan oleh
guru pada saat melaksanakan tugas, (2) problematika, artinya masalah perlu
dipecahkan berkaitan dengan tanggung jawab, kewenangan dan tugas seorang guru.
(3) memiliki manfaat yang jelas, artinya pemecahan masalah yang dilakukan akan
memberikan manfaat yang jelas bagi siswa dan guru karena ada kemungkinan kalau
masalah tidak segera diatasi akan mengganggu penguatan kompetensi berikutnya
dalam proses pembelajaran yang mempunyai sifat berkesinambungan dan (4) dapat
dipecahkan oleh guru selaku pelaksana penelitian tindakan kelas.
Setelah guru menemukan masalah, perlu segera melakukan langkah
identifikasi penyebab munculnya masalah. Kegiatan selanjutnya adalah melakukan
analisis terhadap penyebab adanya masalah yang akan dijadikan landasan berpikir
untuk mencari alternatif suatu tindakan yang dapat dikembangan sebagai bentuk
solusi atau pemecahan masalah.
(2) Tindakan

213

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Dalam

menentukan

bentuk

tindakan

yang

dipilih

perlu

mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan sebagai beriktu: (a) Apakah tindakan


yang dipilih telah mempunyai landasan berpikir yang mantap, baik secara kajian
teoritis maupun konsep?, (b) Apakah altenatif tindakan yang dipilih dipercaya dapat
menjawab permasalahan yang muncul?, (c) Bagaimana cara melaksanakan tindakan
dalam bentuk strategi langkah-langkah setiap siklus dalam proses pembelajaran di
kelas? Dan (d) Bagaimana cara menguji tindakan sehingga dapat dibuktikan telah
terjadi perbaikan kondisi dan peningkatan proses dalam kegiatan pembelajaran di
kelas yang diteliti.
Jawaban sementara atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas disebut
hipotesis tindakan, yakni alternatif tindakan yang dipandang paling tepat atau
dipercaya oleh peneliti akan mampu memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
Setelah ditetapkan bentuk tindakan yang dipilih sesuai dengan rencana
pelaksanaan tindakan, maka langkah selanjutnya adalah mengimplementasikan
tindakan dalam proses pembelajaran sesuai dengan skenario pembelajaran yang
sudah dibuat oleh guru.
(3) Observasi
Kegiatan observasi dalam PTK dilakuakan untuk mengetahui dan
memperoleh gambaran lengkap secara obyektif tentang perkembangan proses
pembelajaran, dan pengaruh dari tindakan yang praktis terhadap kondisi kelas dalam
bentuk data. Atau bisa dikatakan sebagai kegiatan merekam informasi dampak dari
pelaksanaan tindakan, baik dengan atau tanpa alat bantu. Data yang dihimpun melalui
pengamatan ini meliputi data kuantitatif dan kualitatif sesuai dengan indikatorindikator yang telah ditetapkan. Pengambilan data harus bersifat multiple data
collection, jangan hanya menggunakan satu instrument saja. Kegiatan pengambilan
data dapat dilakukan diantaranya dengan cara; obsevasi, wawancara, angket, jurnal,
dokumentasi maupun nilai ulangan tes.

214

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan data berkaitan


dengan observasi ini adalah (1) jenis data yang di himpun memang diperlukan dalam
rangka implementasi tindakan perbaikan, (2) indikator-indikator yang ditetapkan
harus tergambar pada perlaku-perilaku siswa dan guru secara terukur, (3) kesesuaian
prosedur pengambilan data dan (4) pemanfaatan data dalam analisis dan refleksi.
(4) Refleksi
Refleksi dilakukan untuk mengadakan upaya evaluasi yang dilakukan guru
dan tim pengamat dalam PTK. Refleksi dilakukan dengan cara berdiskusi terhadap
berbagai masalah yang muncul di kelas penelitian yang diperoleh dari analisis data
sebagai bentuk dari pengaruh tindakan yang telah dirancang. Pada kegaiatn refleksi
ini juga ditelaah aspek-aspek mengapa, bagaimana dan sejauh mana tindakantindakan yang dilakukan mampu memperbaiki masalah secara bermakna.
Berdasarkan masalah yang muncul pada refleksi hasil perlakuan tindakan pada siklus
pertama, maka akan ditentukan oleh peneliti apakah tindakan yang dilaksanakan
sebagai pemecahan masalah sudah mencapai tujuan atau belum. Melalui refleksi
inilah maka peneliti akan menentukan keputusan untuk melakukan siklus lanjutan
ataukah berhenti karena masalahnya telah terpecahkan. Misalnya target yang
ditetapkan, anak harus mendapat nilai 70, ternyata hasil pada siklus pertama baru
mencapai nilai 68, maka perlu dilakukan tindakan perbaikan pada siklus ke dua.
c) Struktur Laporan Penelitian
Menurut Sarwiji Suwandi, Laporan penelitian terdiri dari tiga bagian, bagian
awal, bagian pokok dan bagian akhir. (2010:64). Berikut ini dikemukakan salah satu
contoh struktur atau format penelitian
Bagian Awal
LEMBAR JUSUL PENELITIAN
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
215

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL (JIAK ADA)
DAFTAR GAMBAR (JIKA ADA)
DAFTAR LAMPIRAN
Bagian Pokok
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.2. Temuan Hasil Penelitian Relevan
2.3. Kerangka Berpikir
2.4. Hipotesis Tindakan

BAB III: METODE PENELITIAN


3.1. Setting Penelitian
3.2. Subyek Penelitian
3.3. Data dan Sumber Data
3.4. Teknik Pengumpulan Data
3.5. Validasi Data
3.6. Teknik Analisis Data
3.7. Indikator Kinerja
3.8. Prosedur Penelitian
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
a) Perencanaan
216

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

b) Tindakan
c) Pengamatan
d) Refleksi
4.2 Hasil Penelitian Siklus II
a) Perencanaa
b) Tindakan
c) Pengamatan
d) Refleksi
4.3. Hasil Penelitian Siklus III
a) Perencanaa
b) Tindakan
c) Pengamatan
d) Refleksi
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian

BAB V : SIMPULAN
5.1 Simpulan
5.2 Saran
Bagian Akhir
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

2.3. Melalui PTK Dapat Meningkatkan Kompetensi Dan Profesional Guru


Menurut Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem
Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, dan undang-undang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang
Gguru dan dosen, peningkatan kompetensi guru menjadi isu strategis dalam rangka
217

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

meningkatkan mutu pendidikan. Bahkan menurut peraturan pemerintah RI jomor 19


tahun 2005 tersebut pada pasal 31 ditegaskan, bahwa selain kualifikasi, guru sebagai
tenaga pendidik juga dituntut untuk memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan
tingkat dan bidang keahlian yang diajarkan. Dalam hal ini kemampuan meningkatkan
kompetensi akademik di bidang penelitian serta juga menjadi satu keharusan yang
tidak bisa dilupakan oleh setiap tenaga pengajar dan tenaga kependidikan lainnya.
Penelitian tindakan kelas (PTK) merupakan salah satu indikator kongkrit dari
peningkatan kompetensi tersebut.
Secara ideal guru merupakan agen pembaharuan. Sebagai agen pembaharuan,
guru diharapkan selalu melakukan langkah-langkah inovatif berdasarkan hasil
evaluasi dan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilakukannya.
Langkah inovatif sebagai bentuk perubahan paradigma guru, dapat dilihat dari
pemahaman dan penerapan guru tentang penelitian tindakan kelas (PTK). PTK sangat
mendukung program peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah yang muaranya
adalah peningkatan kualitas pendidikan. Karena dalam proses pembelajaran, guru
adalah praktisi dan teorisi yang sangat menentukan. Peningkatan kualitas
pembelajaran, merupakan tuntutan logis dari perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni yang semakin pesat. Perkembangan ipteks mengisyaratkan
penyesuaian dan peningkatan proses pembelajaran secara berkesinambungan,
sehingga berdampak positif terhadap peningkatan kualitas lulusan dan keberadaan
sekolah tempat guru itu mengajar. Selain itu PTK juga merupakan alat atau prasarana
yang ampuh untuk meningkatkan keprofesionalan guru.
III. Simpulan
Berdasarkan uraian diatas dibawah ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
3.1. Guru meruapkan jabatan professional, mengingat jabatan guru telah memenuhhi
kriteria jabatan professional antara lain, jabatan itu melibatkan kegiatan
intelektual, mempunyai batang tubuh ilmu yang khusus, memerlukan persiapan
yang cukup lama untuk memangkunya, memerlukan latihan dalam jabatan yang
218

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

bereksinambungan, merupakan karier cukup dan keanggotaan yang permanen,


menentukan baku perilakunya, mementingkan layanan dan mempunyai kode
etik yang ditaati oleh anggotanya.
3.2. Penelitian TIndakan Kelas (PTK merupakan penelitian yang bersifat reflektif.
Kegiatan penelitian berangkat dari permasalahan riil yang dihadapi oleh guru
dalam proses belajar mengajar, kemudian direfleksikan alternatif pemecahan
masalahnya dan ditindaklanjuti dengan tindakan-tindakan nyata yang terencana
dan terukur.
3.3. Penelitian Tindakan Kelas perlu dikuasai oleh guru sebagai salah satu sarana
untuk

meningkatkan

kompetensi

dan

keprofesionalan

guru,

melalui

peningkatan kinerja, tertama peningkatan proses dan hasil pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Asef Uniar Fakhruddin. 2010. Menjadi Guru Favorit. Yogyakart: Penerbit Diva Press.
Iskandar Agung. 2014. Mengembangkan Profesionalitas Guru. Jakarta: Penerbit Bee
Media Pustaka.
Mahmud Khalifah. 2009. Menjadi Guru Yang Dirindu. Surakarta: Ziyad Visi Media.
Masnur Muslich. 2009. Melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Nasional Education Association.1948. Division of Field Service. Dalam Institute on
Professional and Publik Relation. Washington DC: The Association.
Raka Joni, T. 1988. Konsep Dasar Peneltian Tindakan Kelas (Classroom Action
Research). Jakarta: Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menengah
Depdikbud.
Sarwiji Suwandi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas dan Penelitian Karya Ilmiah.
Surakarta: Yuma Pustaka.
Soetjipta. 2009. Profesi Keguruan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

219

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Sudarwan Danim. 2011. Pengembangan Profesi Guru Dari Pra Jabatan, Induksi ke
Profesional Madani. Jakarta: Kencana.
Suharsini Arikunto. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Susilo. 2009. Panduan Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher.

220

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

SENI PERTUNJUKAN TARI JOGED BUNGBUNG YANG EXIS


DALAM BENTUK ,FUNGSI DAN MAKNA
NAMA : LUH PUTU PANCAWATI.
Abstract
Bali has a specific name in the association world called the island of the
Gods says Bali is an island paradise (The Paradise Island) which is described by
novelist Hickman Powel by Nehru, also dubbed Bali island whose inhabitants the
religious majority. Thousands of the Hindu beauty is the Bali island, Even many
of the foreigners who chase our art was recognized by outsiders this is where the
need of a fort that later can maintain its artistry, beauty natural and cultural
uniqueness which includes seven elements (1) religious system (2) systems and
organization community (3) knowledge systems (4) languages (5) art (6) Systems
livelihood (7) system technology and equipment. The cultural life arts almost
none religious ceremonies in Bali has without participating dance, movement is
one of the main elements that functioned as communication media with all its
forms and variations but still showed the style and identity Bali smelling religious
art. To get adequate results is need for discussion (1) understanding of dance
joged bungbung (2) The form of the performing arts Dance jogged bungbung (3)
Clothing dance joged bungbung (4) accompaniment the music (5) the function of
performing arts of dance jogged bungbung (6) The meaning of the art of dance
performance jogged bungbung. Based on the description above has been done to
support the development of the art of balinese dance can be summarized as
follows:(1) the objectives to be achieved (2) good dance education formal and
non-formal (3) facing internal problems and external factors (4) sacral art to be
shown and the ticket sales transaction (5) the emergence of art jogged bungbung
that exis (6) need of government attention to the arts (7) the need for clear rules
and firm.

Keywords: dance jogged bungbung the exis.

221

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Abstrak

Bali punya nama spesifik dalam pergaulan dunia yang disebut dengan
pulau Dewata orang bilang bali adalah pulau Surga( The Paradise Island ) yang
digambarkan oleh Novelis Hickman Powel oleh Nehru ,bali juga dijuluki pulau
seribu yang penduduknya mayoritasberagama Hindu dengan keindahan pulau bali
banyak orang asing yang memburunya bahkan sempat kesenian kita diakui oleh
orang luar disinilah perlu sebuah benteng yang nantinya bisa menjaga kesenian
tersebut ,dengan keindahan alam dan keunikan kebudayaan yang meliputi tujuh
unsure (1) sistem religi (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan (3)
sistempengetahuan (4) bahasa (5) kesenian (6) Sistem mata pencaharian (7) sistem
teknologi dan peralatan .Kehidupan seni budaya hampir tidak ada satupun upacara
keagamaan di Bali tanpa ikut serta pertunjukan tari ,gerak merupakan salah satu
unsure utama yang difungsikan sebagai media komonikasi dengan segala bentuk
dan variasi namun tetap menunjukan corak serta identitas kesenian bali yang
berbau religius . Untuk mendapat hasil yang memadai perlu adanya pembahasan
(1) pengertian tari joged bungbung (2) Bentuk seni pertunjukan Tari jogged
bungbung (3) Busana tari joged bungbung (4) iringan musiknya (5) fungsi seni
pertunjukan

tari jogged bungbung (6) Makna seni pertunjukan tari jogged

bungbung .Berdasarkan uraian diatas yang telah dilakukan untuk mendukung


perkembangan seni tari bali dapat disimpulkan sebagaiberikut :(1) adanya tujuan
yang harus dicapai (2) pendidikan tari baik bersifat formal maupun non formal (3)
menghadapi faktor masalah internal dan ekternal (4) seni sacral ditontonkan dan
adanya transaksi penjualan karcis (5) munculnya kesenian jogged bungbung yang
exis (6) perlu perhatian pemerintah terhadap kesenian (7) perlu adanya peraturan
yang jelas dan tegas.

Kata kunci : tari jogged bungbung yang exis .

222

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Bab I Pendahuluan

Bali punya nama spesifik dalam pergaulan dunia yang disebut dengan
pulau Dewata dimana mempunyai nilai universal apalagi orang bilang Bali adalah
pulau Surga ( The Paradise Island ) sebagaimana yang digambarkan Novelis
Hickman powel oleh Nehru.Bali Juga dijuluki Pulau Seribu Pura karena
penduduknya yang mayoritas beragama Hindu oleh sebab itulah orang asing
memburu kesenian kita dengan banyak keindahanya.Sebagai penerus harus
mempertahankan kebudayaan yang dimiliki terutama kesenianya yang memiliki
nilai kesakralan ,jangan sampai jatuh ketangan orang asing disinilah perlu adanya
sebuah benteng yang nantinya bisa menjaga kesenian tersebut. Pulau Bali dikenal
oleh hamper seluruh pelosok dunia karena keindahan alam dan keunikan
kebudayaanya yang meliputi beberapa unsure kebudayaan antara lain seni
rupa,seni sastra,seni suara dan seni tari.perkembangan seni dan budaya di Bali
meliputi berbagai unsure kebudayaan .Ada tujuh unsur-unsur kebudayaan (1) sisti
religi dan upacara (2) system dan organisasi kemasyarakatan (3) system
pengetahuan (4) bahasa (5) kesenian (6) Sistem mata pencaharian hindu (7)
system teknologi dan peralatan. Ketujuh unsure ini tidak dapat dipisahkan .Tari
merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa bersumber pada akar tradisi yang
dapat menumbuhkan sikap dasar terhadap penanaman nilai dan norma-norma
akan kecintaan seni budaya bangsa .Nilai keberadaan seni tari dari zaman dahulu
hingga sekarang merupakan imajinasi kreativitas manusia melalui pengembangan
akal budi dan pemikiran yang pada akhirnya menjadi bagian penting dari
kehidupan masyarakat Bali yang difungsikan sebagai media persembahan ,sarana
pelengkap upacara ,pengikat solidaritas dan komonitas maupun sekedar sebagai
hiburan semata.
Kehidupan seni budaya ini didukung oleh kenyataan yang ada yaitu
hampir tidak ada satupun upacara keagamaan di Bali tanpa ikut serta pertunjukan
tari ,gerak merupakan salah satu
unsur utama yang difungsikan sebagai media komonikasi dengan segala bentuk
banyak variasi sesuai dengan ungkapan dan selera masyarakat pendukungnya
namun tetap menunjukan corak serta identitas kesenian Bali yang berbau religius

223

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
.Untuk mendukung perkembangan seni tari Bali maka perlu adanya pendidikan
tari baik bersifat formal maupun non formal .Seni dan budaya tidak bisa lepas dari
dunia pendidikan .Dewasa ini dunia tari Bali juga dunia tari di tempat lain tengah
menghadapi banyak masalah yang disebabkan oleh berbagai faktor-faktor internal
dan ekternal .Secara internal para aktivis tari belum secara total mengabdikan diri
kepada dunia tari baik sebagai penyaji ,pengkaji creator pengajar atau pelatih
,penulis dan sebagainya .Kiprah para aktivitastari masih terfokus pada wilayah
kesenian dari pada masuk ke wilayah budaya .Secara ekternal masyarakat dan
pemerintah masih memperlakukan seni tari sebagai sumber hiburan secara pelepas
stress atau sebagai komoditi .Akibatnya hingga dewasa ini masih banyak kegiatan
pendidikan kreativitas dan pertunjukan tari yang tidak berjalan sesuai harapan
(Dibia I wayan dalam seminar tari 29 april 2015 ).Bahkan ada beberapa desa yang
menjual seni sakral kita misalnya sang hyang jaran ditontonkan oleh para
wisatawan kemudian desa memungut karcis sebagai timbal baliknya ,bagaimana
masyarakat menyikapinya dan bagaiman tindakan pemerintah terhadap kesenian
kita ? juga munculnya kesenian joged bungbung yang begitu perkembanganya
sangat exis sekali dengan meperlihatkan pangkal pahanya yang membuat
penonton bergairah ,satu bukti dari hasil didikan dan pelatihan tari yang sudah
mengabaikan nilai-nilai dan identitas budaya Bali .Tari kerakyatan Bali yang
selam ini dikenal sebagai seni pergaulan kini telah berkembang menjadi tontonan
cabul .Jika para penari
jogged bungbung diberikan pendidikan seni yang benar dengan memahami ajaran
agama Hindu
yaitu tiga kerangka dasar perpikir berkata dan berbuat yang benar dan
menjungjung etika ,susila dan moral yang tinggi setidaknya penari akan sadar
dengan dirinya daripada sekedar iming-iming upah uang ,besar kemungkinanya
penari penari tersebut akan merasa malu untuk memperlihatkan pangkal pahanya
bahkan melakukan adegan seksual di depan umum .

224

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Bab II Pembahasan

2.1.Pengertian tari jogged bungbung adalah :merupakan tari pergaulan


Bali yang terdapathampir di seluruh Bali .Joged sebagai tari rakyat sudah
berkembang sejak zaman lampau ,hanya mulai popular kembali sebagai seni
pertunjukan kurang lebih pada tahun 1940 an salah satu diantara nya adalah
jogged bungbung (diiringi dengan gambelan tabung bamboo).Memuncak
perkembanganya pada tahun 1945di daerah Bali Utara bagian Barat khususnya di
daerah Seririt ,Munduk dan suwung .Sebagai hiburan pada musim panen maka tari
ini juga tumbuh di Negara dan Tabanan bahkan sampai saat ini berkembang
kembali dengan exisnya .Bungbung berarti tabung bamboo sebuah istilah untuk
memberi nama seperangkat gambelan jogged.
2.2.Bentuk Seni Pertunjukan Tari Joged Bungbung biasanya dipertunjukan
oleh empat atau enam orang penari dan tampil di pentas satu persatu ,gerak
tarinya sejak semula merupakan gerak improvisasi yang erotis , dan membawa
kipas untuk menepak pasanganya ,merangsang para pengibing untuk segera
tampil dalam pentas ,dalam tarian ibing ini banyak kelihata gerak gerak yang
sensual ,goyang pinggul yang berlebihan sehingga membuat penonton kepingin
ngibing

,tidak memiliki tari pendahuluan ,tidak mempergunakan pengawak

legong atau lakon lain , di jaman sekarang ini bebas menggunakan panggung
bahkan sampai turun panggung .begitulah perkembangan jogged di jaman
sekarang ini.
2.2.1.Busana adapun busana yang dipergunakan dalam jogged bungbung
sangat sederhana ,meliputi kain batik baju kebaya dan selendang ,gelungan yang
dipakai oleh jogged bungbung juga sangat sederhana berupa petitis (dahi)yang
bagian belakangnya dihiasi dengan bunga-bunga cempaka yang sangat indah
,bagian muka gelungan jogged bungbung serupa dengan gelungan yang dipakai
oleh lakon sita dalam sendratari Ramayana .
2.2.2 Iringan ( musiknya ) diiringi dengan gambelan tabung bamboo
sebuah istilah untuk member nama seperangkat gambelan joged

225

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
2.3.Fungsi Seni Pertunjukan Tari Joged bungbung ,dalam klasifikasi tari
Bali berdasarkan fungsinya menurut Bandem ,1982:4 dapat dibedakan menjadi
tiga bagian yaitu (1) seni tari wali /sacral reliqius dance (2) seni tari bebali
(ceremonial dance) adalah seni tari yang berfungsi sebagai pengiring upacara
/upakara di pura-pura atau di luar pura (3) seni tari balih-balihan (seculer dance)
salah satu fungsi tari joged bungbung yaitu seni tari balih-balihan (secural dance
)yang sedang exisnya dimasyarakat sebuah tari pergaulan yang mempunyai seni
serius dan seni hiburan dimana mempunyai unsure dasar seni yang luhur namun
tidak tergolong tari wali .
2.4.Makna yang tergandung dalam seni pertunjukan tari jogged bungbung
adalah dari segi sosial dimana salah satu Tri Hita Karana hubungan manusia
dengan manusia tari jogged ini tari pergaulan yang memiliki unsure sosialnya
sangata tinggi dan mendapat tempat yang wajar dalam hati masyarakat bali
disamping dipersiapkan untuk hotel hotel juga sebagai pertemuan resmi
Pemerintahan Indonesia termasuk pada pertemuan puncak ASEAN tahun 1977 di
Kuta,disamping memiliki unsure ibing-ibingan yang tampak menjadi unsurutama
dalam tari sosial di Pulau Bali dengan adanya seni pertunjukan jogged bungbung
masyarakat berdatangan baik tua maupun muda yang melebur dan luluh menjadi
satu yang mampu memberikan hiburan baik penari maupun penontonnya ,pada
dasarnya hakekat seni adalah untuk di komonikasikan ,dinikmati ,ditonton
,didengar atau diresapi kehadiran sebuah seni.
2.4.1.Makna yang terkandung dalam seni pertunjukan tari jogged
bungbung adalah dari segi ekonomi dengan kemajuan IPTEK maka kehidupan
dituntut untuk melakukan kemajuan ,kesejahtraan mungkin penyebabnya adalah
perekonomian yang semua itu lapangan kerja semakin mengecil ,penduduk
semakin padat dan tidak mau bekerja keras sehingga tidak peduli dengan keadaan
kesenianya terutama seni tarinya khususnya di Bali ada belakangan ini seorang
penari jogged habis menari bisa diajak kencan keluar setelah itu dibayar,begitulah
perkembangan seni di jaman sekarang ini hanya sebagai topeng belaka, kesenian
dan kebudayaan telah bergeser dari apa yang menjadi warisan nenek moyang kita
dahulu.

226

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Bab III Penutup

1.Diharapkan kepada pemerintah ,kepada para aktivis dari daerah setempat


jika masih ingin menjadikan tari bali sebagai simbol kebanggaan budaya tameng
pertahanan tradisi supaya punya komitmen dan tanggung jawab terhadap
pelaksanaan pendidikan keaktivitas dan pementasan tari bali agar tetap lestari dan
mencari pembentukan jati diri .
2.Kurangnya indikasi kuat dari telah terjadinya kreativitas seni yang
menyimpang dari trilogi satyam,Shiwam dan sundaram yang melandasi tradisi
budaya Bali dan melampau nilai-nilai budaya termasuk batas-batas kewajaran
yang bisa diterima oleh masyarakat luas .
3.Bidang pengkajian /penelitian tari atau penulis tari adalah bagian-bagian
dunia tari yang selama ini kurang mendapat perhatian untuk itu pendidikan tari
kita ,khususnya di Bali perlu dirancang ulang sedemikian rupa agar mampu
melahirkan pemikiran pemikiran penulis dan kritikus tari selain penyaji penyaji
dan creator-kreator seni yang hebat.

227

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

DAFTAR PUSTAKA
Arini,AA Ayu Kusuma .2006.Tari Legong Kraton Peliatan.Tari Kekebyaran ciptaan I
Nyoman Kaler
Arini,NI Ketut.2012.Teknik Tari Bali.Denpasar.
Bandem,I Made.1992. Sakral Dan Sekurel Tari Bali Dalam Transisinya .Denpasar : STSI
Denpasar
Bandem,I Made dan Fredrik Eugene deBoer.Kaja dan Kelod Tarian Bali dalam Transisi.
Bandem.I Made . 1989 .Ensklopedi Tari Bali.
Dibia ,I wayan dalam Seminar tari 29 April 2015.
Dibia,I wayan .2009.Taksu Dalam Seni Dan Kehidupan Bali.
Djelantik ,A.A.M.1999.Estetika Sebuah Pengantar .Bandung : Masyarakata Seni
Pertunjukan Bandung .

228

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
PENERAPAN METODE INKUIRI SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN
PRESTASI BELAJAR IPS SISWA KELAS VIII DI SMP NEGERI 9
DENPASAR TAHUN PELAJARAN 2013/2014
Ni Wayan Widi Astuti, S.Pd
chan_widi@yahoo.com
ABSTRACTS
The process of education cannot be separated from the learning process in
monitoring the success of the process belajar-teaching, especially in formal
education. Achievement of learning is one of the important indicators in the
learning process. Learning achievement must be the hope of all the components
involved in the teaching and learning process. For students, academic
achievement is something that is highly coveted and became a target to be
achieved in the whole process of education that is being pursued. Thus, in
addition to follow the rules that apply in the teaching and learning process,
students will attempt to take a variety of ways, tips or strategies to achieve the
feat.
The purpose of this study was to determine: Application of inquiry method can
improve learning achievement in social studies class VIII SMP 9 Denpasar
Inkuiri method is a technique or method used by teachers to teach the
class. The implementation is as follows: the teacher divides the task of
researching something of a problem to the class. Students are divided into
groups, and each group received a specific task to be done. Then they studied,
researched or discussed its role in the group. After the results of their work in a
group
discussion,
then
made
a
report
in
good
order.
This type of research is the Classroom Action Research (CAR), which was
conducted in two cycles. Subjects of this study were 40 students of class VIII E
SMP 9 Denpasar 2012/2013 school year, while the object of this research is
student achievement in the application of learning methods inquiry conducted
in two cycles. Data collected by the task group and test methods. The data
obtained from the task group and the test method were analyzed by quantitative
descriptive technique. The results showed that an increase in student learning
outcomes in social studies learning with application of methods of inquiry
learning. While the results of the application of the first cycle obtained an
average score of student learning outcomes E Junior High School eighth grade
9 Denpasar in social studies are 72.63 and 72.63% absorption students. This
indicates an average increase of 5.2 student learning outcomes, ie from 67.43
at baseline to 72.63 reflection on cycle I. The number of students who complete
the first cycle is 22 students (55.00%) of the 18 students (45.00%) did not
complete. If these values are classified and presented it can be seen that the two
students (5%) were categorized in a very good level, 20 students (50.00%) were
categorized at a very good level, 15 students (37.50%) were categorized at
levels sufficient, 3 students (7.50%) were categorized at levels less, and no
student is considered a very poor level.
Key Word: Inkuri, achievement

229

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

A. Latar Belakang Masalah


Proses pendidikan tak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran dalam
mencermati keberhasilan dalam proses belajar-mengajar, khususnya pada
pendidikan formal. Prestasi belajar merupakan salah satu indikator penting dalam
proses pembelajaran. Prestasi belajar tentunya menjadi harapan dari segala
komponen yang terlibat dalam proses belajar-mengajar tersebut. Bagi para siswa,
prestasi belajar merupakan sesuatu yang sangat didambakan dan menjadi suatu
target yang harus dicapai dalam keseluruhan proses pendidikan yang sedang
ditempuh. Dengan demikian, disamping mengikuti aturan-aturan yang berlaku
dalam proses belajar-mengajar tersebut, para siswa akan berupaya menempuh
berbagai cara, kiat ataupun strategi untuk mencapai prestasi tersebut.
(Kunandar,2004:80)

B. Landasan Teori
Metode Inquiri merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan guru untuk
mengajar di depan kelas. Adapun pelaksanaanya sebagai berikut: guru membagi
tugas meneliti sesuatu masalah ke kelas. Siswa dibagi menjadi beberapa
kelompok, dan masing-masing kelompok mendapat tugas tertentu yang harus
dikerjakan.Kemudian mereka mempelajari, meneliti atau membahas tugasnya di
dalam kelompok. Setelah hasil kerja mereka dalam kelompok didiskusikan,
kemudian dibuat laporan yang tersusun dengan baik
Prestasi belajar adalah perubahan perilaku individuakan memperoleh perilaku
yang baru, menetap, fungsional, positif, disadari dan sebagainya. Perubahan
perilaku sebagai hasil pembelajaran atau prestasi belajar ialah prilaku secara

230

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
keseluruhan yang mencakup aspek kognitif, afektif, konatif, dan motorik, (Euis &
Priansa Donni : 155)

C. Metode Penelitian
Penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencernatan terhadap kegiatan
pembelajaran berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi
dalam sebuah kelas secara bersamaan (Arikunto,2006:2-3). Penelitian Tindakan
Kelas untuk membantu seseorang dalam mengatasi secara praktis persoalan yang
dihadapi dalam situasi darurat dan membantu pencapaian tujuan ilmu sosial dan
ilmu pendidikan dengan kerjasama dalam kerangka etika yang disepakati
bersama (Wiraatmadja,2007:11)

D. Hasil Penelitian
a. Rencana Penelitian
1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian tindakan ini dapat berupa kelas maupun sekelompok orang
yang bekerja di industri lembaga sosial lain yang berusaha menigkatkan
kinerja(Sukardi,2011:2Berdasarkan penelitian diatas maka dalam penelitian ini
yang menjadi subjek penelitian adalah seluruh siswa kelas VIII E SMPN 9
Denpasar tahun pelajara 2012/2013.

2. Objek Penelitian
Yang menjadi objek dalam penelitian adalah proses belajar mengajar yang
berlangsung selama dua siklus, di kelas VIII E SMPN 9 Denpasar Tahun
Pelajaran 2012/2013, metode pembelajaran inkuiri dengan aktivitas belajar
diskusi kelompok.
231

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
3. Waktu dan Lama Penelitian
4. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMPN 9 Denpasar yang beralamat di jalan Brigjen I
Gusti Ngurah Rai Sanur No.177, Denpasar.
b. Prosedur Penelitian
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) secara prosedural adalah lingkungan secara
partisifatif atau kolaborasi antara guru, bidang studi dan guru lainnya. Tim ini
harus bekerja sama mulai dari tahap orientasi sehingga tercapai kesempurnaan
setiap siklusnya, yang bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar IPS pada
siswa kelas VIII E SMPN 9 Denpasar tahun pelajaran 2012/2013. Pelaksanaan
penelitian ini dirancang mengikuti beberapa tahap sebagai berikut :
1. Refleksi Awal
Prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran IPS masih dibawah KKM. Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah adalah 75 dengan daya
serap 75% penelitian dalam siklus dapat dilaksanakan sebagai berikut :
a. Tahap Perencanaan Siklus I
Perencanaantindakan pada siklus I akan dilakukan tindakan seperti berikut :
1. Permohonan ijin penelitian yang diajukan kepada Kepala Sekolah SMPN 9
Denpasar dengan membawa surat pengantar dari Rektor IKIP PGRI BALI.
2. Penelitian berkoodinasi dan mengkolaborasikan metode inkuiri dalam pelajaran
IPS dengan guru mata pelajaran Ngakan Putu Widana, S.Pd.
3. Mengidentifikasi siswa kelas VIII E SMPN 9 Denpasar dengan melibatkan hasil
belajar IPS sebelumnya.
4. Menyusun program pembelajaran yang meliputi tempat, jadwal, waktu dan materi
pembelajaran (dalam bentuk RPP ).
232

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
5. Menyusun materi pembelajaran IPS dengan efektif dan efisien.
6. Mensosialisasikan metode pembelajaran inkuiri kepada siswa secara mantap,
terutama dalam pembelajaran IPS.
7. Menyusun Instrumen yang terdiri dari :
a). Tes hasil belajar
b) Panduan observasi
c) Dokumentasi
b. Tahap Pelaksanaan Tindakan Siklus I
Pada tahap ini dilaksanakan tindakan yang merupakan tindakan penerapan
rencana pembelajaran yang telah disusun. Pada siklus I dilaksanakan 2 kali
pertemuan dengan alokasi waktu 2 x 40 menit pelajaran setiap pertemuan. Dalam
tahap pelaksanaan ini, tindakan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
1) Guru mengawali dengan salam pembuka dilanjutkan denganmengadakan absensi
kehadiran siswa.
2) Membangkitkan motivasi siswa melalui apersepsi yang merupakan fase untuk
mengarah perhatian pada fase belajar berikutnya.
3) Menyampaikan standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator yang harus
dicapai siswa dalam kegiatan pembelajaran.
4) Siswa dibagi kedalam 8 kelompok yang terdiri dari 4-5 orang
5) Guru menjelaskan materi pembelajaran sesuai dengan kompetensi yang
diharapkan dengan menggunakan metode pembelajaran inkuiri
6) Guru membagi beberapa rumusan masalah kepada masing-masing kelompok yang
sudah dibagi.
7) Siswa mempresentasikan rumusan masalah tersebut dalam bentuk kelompok.

233

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
8) Guru memberikan peluang kepada kelompok lain untuk menanggapi presentasi
yang telah dilakukan.
9) Guru mengajak siswa bersama-sama membahas rumusan masalah tersebut dengan
memberikan penegasan pembahasan yang dilakukan guru menutup pelajaran
c. Tahap Observasi Siklus IPada tahap ini dilakukan kegiatan pengamatan pada
suatu proses pembelajaran sedang berlangsung. Dalam hal ini observasi yang
dilakukan berdasarkan instrument chek list yang telah dirancang sebelumnya,
berarti objek observasi adalah hal-hal yang tercantum dalam instrument chek
list.Dalam melakukan pengamatan, perlu dicatat sedikit demi sedikit apa yang
terjadi agar memperoleh data yang akurat untuk perbaikan siklus berikutnya.
d. Tahap Refleksi siklusI
Refleksi siklus I didasarkan pada hasil yang diperoleh dari pelaksanaan siklus I.
Tujuannya adalah untuk memperoleh umpan balik dan perbaikan serta penemuan
unsur-unsur yang menguatkan. Kegiatan refleksi ini juga dilakukan untuk
mengkaji pelaksanaan dengan melihat hambatan yang dialami dalam siklus
sebelumnya dan faktor penyebab hambatan tersebut, kemudian mencari solusi
pemecahan masalah untuk merencanakan perbaikan yang akan dilaksanakan pada
siklus selanjutnya
c. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini disesuaikan dengan data
yang dibutuhkan berlandaskan pada tujuan peelitian.
Berdasarkan uraian di atas data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. Metode Tes
Tespada

hakikatnya

merupakan

cara

pengumpulan

data

dengan

memberikanbeberapa pertanyaan atau tugas yang semuanya harus dikerjakan atau


234

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
dijawab oleh peserta tes (testee), dan hasil dari tes berupa skor atau bersifat
interval,tes digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dengan aturan yang
sudah ditetapkan.
2. Observasi
Observasipada prinsipnya merupakan cara memperoleh data yang lebih dominan
menggunakan indera penglihatan (mata) dalam proses pengukuran terhadap suatu
objek atau variabel tertentu sesuai dengan tujuan penelitian.
3. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi bertujuan untuk mencapai hasil evaluasi yang ada pada
siklus I sampai siklus berikutnya. Menurut Kunandar menyatakan bahwa
Dokumen yang menyangkut para partisipasi penelitian akan menyediakan
kerangka bagi data yang mendasar.
d. Analisis data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif
deskriptif.Analisis ini digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa. Sesuai
dengan metode yang digunakan mengolah data dalam penelitian ini maka
ditempuh langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menskor Tes
Penyekoran mengenai tugas siswa ditetapkan sesuai aspek yang dinilai dalam
pembelajaran IPS melalui media gambar. Dalam penskoran, dimana tes terdiri
dari soal pilihan ganda dan uraian pada masing-masing siklus dan setiap soal
diberi bobot skor yang berberda,
2. Mengubah Skor Mentah Menjadi Skor Standar
Skor yang diperoleh dari hasil tes merupakan skor mentah dan harus diubah
menjadi skor standar. Untuk mengubah skor mentah menjadi skor standar
235

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
didasarkan pada kriteria tertentu atau norma. Norma yang digunakan dalam
penelitian ini adalah norma absolut, yaitu suatu norma yang ditetapkan secara
absolut atau mutlak oleh guru atau pembuat tes, berdasarkan atas jumlah soal,
bobot masing-masing soal, serta persentase penugasan yang dipersyaratkan.
Dengan demikian, skor standar yang diperoleh seseorang akan di dasarkan atas
konversi norma absolut akan mencerminkan penguasaan siswa terhadap bahan
yang diberikan.
3. Menentukan Rata-rata Hasil Belajar Siswa
Langkah berikutnya dalam memperoleh data adalah mencari skor rata-rata.
Skor rata-rata dapat dilakukan dengan menggunakan nilai kemudian dibagi
subjek. Untuk mengetahui peningkatan yang terjadi dapat dilihat dengan cara
membandingkan antara siklus
4. Menghitung Daya Serap dan Ketuntasan Belajar Siswa. Setelah dilaksanakan
tindakan, nilai rata-rata presentasi belajar yang diperoleh siswa lebih besar atau
sama dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), Daya Serap Siswa (DSS) lebih
besar atau sama dengan Kriteria 75%. Hal ini sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan oleh SMPN 9 Denpasar, maka penelitian ini dikatakan berhasil.
5. Menentukan Peringkat Prestasi Belajar Siswa
Nilai yang diperoleh oleh siswa akan disesuaikan dengan predikat presentase
siswa sesuai dengan presentase belajar IPS.

e. Kriteria Keberhasilan
Untuk mengetahui berhasil tidaknya tindakan yang dilaksanakan dengan
berdasarkan pada rencana tindakan yang ditetapkan, maka kriteria yang digunakan
adalah sumber dari tujuan dilakukannya tindakan.
236

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
Adapun tujuan tindakan dalam penelitian ini adalah untuk memperbaiki dan
meningkatkan

kompetensi

dalam

mata

pelajaran

IPS

melalui

Metode

Pembelajaran Inkuiri pada siswa kelas VIII E SMPN 9 Denpasar. Kriteria yang
dijadikan tolak ukur keberhasilan adalah 75% dengan nilai rata-rata 75% sesuai
dengan kompetensi yang ditetapkan

E. Penutup
a. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka
dapat diambil simpulan sebagai berikut :
1.

Penerapan metode pembelajaran Inkuiri dapat meningkatkan prestasi belajar IPS


siswa kelas VIII E SMP Negeri 9 Denpasar. Pada siklus I sebanyak 22 orang
siswa 72,63 berhasil tuntas belajar atau mencapai KKM 75 dan daya serap
mencapai 72,63% .

2.

Pada siklus II siswa yang berhasil sebanyak 40 orang siswa 79,50 dan daya serap
siswa mencapai 79,50%. Dari siklus I hingga siklus II diperoleh data bahwa
ketuntasan belajar siswa mengalami peningkatan sebesar 6,87 yakni dari 72,63
pada siklus I menjadi 79,50 pada siklus II. Jadi penelitian dihentikan pada siklus
II karena sudah mampu memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) yang
ditetapkan sekolah.

b. Saran

237

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
1. Berdasarkan hasil penelitian diatas, meskipun prestasi belajar siswa sudah
tergolong baik, namun penerapan metode inkuiri ini masih perlu ditingkatkan agar
tercapai peningkatan prestasi yang lebih baik lagi.
2. Mengingat banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, maka sudah
menjadi tugas siswa dan guru untuk sama-sama berusaha meningkatkan prestasi
belajar.

F. DAFTAR PUSTAKA
Euis Karwati

&

Donni juni Priansa. 2014. Manajemen Kelas. Bandung

Alfabetta
H.

Martinis

Yamin,

2013.Strategi

&

Metode

dalam

Model

Pembelajaran.Jambi:Referensi (GP Press Group)


Humalik Oemar. 2007 Proses Belajar Mengajar.Bandung : PT Bumi Aksara
Sanjaya 2009 Metode dan Model Pembelajaran.Jakarta Referensi
Saifuddin, Azwar. 2002. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka pelajar
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
AFABETA, cv
Slameto, 2008.Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.Jakarta : PT
Rineka Cipta
Trianto 2009 Strategi
Holistika

dan Model Pembelajaran Pembelajaran, Yogyakarta

Victor & Kellough 2009 Metode dan model-model Pembelajaran, Bandung GP


Press Group
Koncara, 2009.Penerapan Metode Inkuiri dalam Pembelajaran IPA pada Materi
Konsep Cahaya untuk meningkatkan prestasi Belajar Siswa kelas VIII di smpn 2
cibogaring.Tersedia pada http://blog.uns.ac.id/2009/08/hakikat /smp.kumpulan
skripsi PTK.
Wiyono 2010 Peningkatan Prestasi Belajar IPA tentang sifat cahaya dengan
menggunakan model inkuiri dikelas VIII SMPN 2 Gading Kecamatan Winongan
Pasuruan.Tersedia pada http://blog.uns.ac.id/2009/08/hakikat /smp.kumpulan
skripsi PTK.
238

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Mistiani.2009 Penerapan Metode Inkuiri Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar


IPS Siswa kelas X SMA Negeri Siak Hulu tahun Ajaran 2008/2009. Tersedia
pada http://blog.uns.ac.id/2009/08/hakikat /smp.kumpulan

239

Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

240

Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Model Evaluasi CIPP Dalam Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL)


Mahasiswa Prodi Pendidikan Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun
2014.
Ni Wayan Ary Rusitayanti
Email: aryrusita22@gmail.com
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahuipelaksanaan praktik pengalaman
lapangan (PPL) Mahasiswa Prodi Pendidikan Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali
Tahun 2014 dilihat dari model evaluasi CIPP. Penelitian ini mengevaluasi program
dengan menganalisis masing-masing faktornya sesuai dengan model CIPP (konteks,
input, proses dan produk). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah semua pelaksana
dan peserta program praktik pengalaman lapangan (PPL) Prodi Pendidikan
Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun 2014. Subjek yang diambil dalam
penelitian ini adalah 79 orang yang terdiri dari 45 orang Mahasiswa, 10 orang Dosen
Pembimbing, 11 orang Kepala Sekolah, 11 Guru Pamong, dan 2 orang dari UPT PPL.
Untuk mendapatkan data, maka dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner
sebagai metode utama. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kuantitatif
menggunakan langkah sebagai berikut: menentukan katagori deskriptif, skor mentah
ditransformasikan ke dalam T-skor kemudian diverifikasi ke dalam Kuadran Glickman.
Setelah di evaluasi dengan model CIPP maka hasil analisis menemukan
bahwa pelaksanaan praktik pengalaman lapangan (PPL) Mahasiswa Prodi Pendidikan
Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun 2014 kategori efektif dilihat dari
variabel konteks, input, proses dan hasil dengan hasil (+ + + +). Walaupun dalam
kategori siap, namun secara umum terdapat kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
praktik pengalaman lapangan (PPL) Prodi Pendidikan Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP
PGRI Bali Tahun 2014 adalah pada variabel input dan proses.
Kesimpulan yang didapatkan berdasarkan temuan tersebut bahwa
pelaksanaan praktik pengalaman lapangan (PPL) Prodi Pendidikan
Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun 2014tergolong dalam kategori
efektif.
Kata kunci: Model Evaluasi CIPP, Praktik Pengalaman Lapangan (PPL)
ABSTRACT

CIPPEvaluationModelInPracticeImplementationExperience(PPL) Students
ProdiEconomic Education/Teachers' Training
CollegeCooperativeFPIPSPGRIBaliin 2014
The aim of the study is to examine the implementation of practical field
experience (PPL) Students Prodi Economic Education / Teachers' Training College
Cooperative FPIPS PGRI Bali 2014 seen from CIPP evaluation model. This study
evaluated the program by analyzing each factor in accordance with the model CIPP
(context, input, process and product). The population in this study were all implementers
and program participants practice field experience (PPL) Prodi Economic Education /
Teachers' Training College Cooperative FPIPS PGRI Bali Year 2014. Subject taken in
this study was 79 people consisting of 45 students, 10 Supervisor, 11 principals, 11
teachers Pamong, and 2 of UPT PPL.
To get the data, then collected using questionnaires as the primary method. The
data analysis used is quantitative descriptive analysis using the following steps:
determining descriptive categories, raw scores were transformed into T-scores were then
verified in Quadrant Glickman.
Having evaluated the model of CIPP then the results of the analysis found that
the implementation of the practice field experience (PPL) Students Prodi Economic

240

Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
Education / Cooperative FPIPS Teachers' Training College PGRI Bali 2014 effective
category seen from the variable context, input, process and results with the results (+ + +
+) , Although the category is ready, but in general there are obstacles encountered in the
implementation of practical field experience (PPL) Prodi Economic Education / Teachers'
Training College Cooperative FPIPS PGRI Bali in 2014 is on the input variables and
processes.
The conclusion obtained is based on the finding that the implementation of the
practice field experience (PPL) Prodi Economic Education / Teachers' Training College
Cooperative FPIPS PGRI Bali in 2014 classified in the category effectively.
Keywords: CIPP Evaluation Model, Practice Field Experience (PPL)

PENDAHULUAN
Dunia pendidikan merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
memajukan suatu negara terlihat dengan majunya pola pikir generasinya, maka
dari dunia pendidikan inilah dapat memotivasi generasi agar mampu
bertanggung jawab terhadap bangsanya, untuk mencapai tujuan tersebut dunia
pendidikan tidak terlepas dari campur tangan seorang pendidik yaitu Guru, Guru
adalah faktor penentu keberhasilan proses pembelajaran yang berkualitas
sehingga berhasil tidaknya pendidikan mencapai tujuan selalu dihubungkan
dengan kiprah para guru. Guru merupakan sosok motivator yang memberi
semangat dan dapat membangkitkan gaya hidup modern, dengan intelektualitas
yang berlandaskan norma, moral bangsa serta agama. Sosok guru sangat
mendapat perhatian, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat pada
umumnya dan oleh para ahli pendidikan pada khususnya.Guru yang berkualitas
diantaranya adalah mengetahui dan mengerti peran dan fungsinya dalam proses
pembelajaran.
Tujuan menghasilkan calon pendidik yang memiliki wawasan dan
professional serta pengalaman dalam menjalankan keahliannya di bidang
pendidikan, setiap lembaga LPTK seperti IKIP PGRI Bali mewajibkan
mahasiswanya untuk melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) yang
merupakan program mata kuliah yang wajib dilaksanakan oleh setiap
mahasiswa.
Pada kesempatan ini Program Praktek Pengalaman Lapangan (PPL)
akan memperkenalkan kepada mahasiswa atau calon guru untuk mengenal
lingkungan yang akan menjadi profesinya. Dalam pelaksanaan PPL ini, calon
guru dapat menerapkan segala teori pengetahuan keterampilan dan wawasan
yang telah diperoleh melalui berbagai mata kuliah kedalam kelas yang
sesungguhnya.
Berdasarkan cetusan Undang-undang profesi yang disahkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanggal 6 Desember tahun 2005 guru
ditetapkan sebagai profesi. Guru harus mempunyai kompetensi yang dapat
diandalkan. Standar kompetensi PPL dirumuskan dengan mengacu pada
tuntutan empat kompetensi guru baik dalam konteks pembelajaran maupun
dalam konteks kehidupan guru sebagai anggota dalam masyarakat. Empat
kompetensi guru yang dimaksud adalah kompetensi paedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi profesional, dankompetensi sosial.Kompetensi tersebut
dirumuskan sesuai dengan amanat Undang - Undang Guru dan Dosen Nomor 14
Tahun 2005 Bab IV Pasal 10. Di samping itu, rumusan standar kompetensi PPL
juga mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Pendidikan Nasional khususnya yang terkait dengan BAB V Pasal 26

241

Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
Ayat 4, yang pada intinya berisi standar kompetensi lulusan perguruan tinggi
bertujuan menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak
mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemandirian, serta sikap untuk
menerapkan ilmu, teknologi, dan seni untuk tujuan kemanusiaan.Praktik
Pengalaman Lapangan yang dilakukan mahasiswa merupakan salah satu wadah
agar mahasiswa mendapatkan pengalaman profesi yang dapat diandalkan.
Adapun sasaran yang ingin dicapai dan pelaksanaan Praktek
Pengalaman Lapangan adalah terbentuknya pribadi calon pendidik yang memiliki
seperangkat pengetahuan keterampilan nilai sikap serta pola tingkah laku yang
diperlukan bagi profesinya.Calon pendidik juga harus memiliki kemampuan
profesional dalam mengajar yang meliputi kemampuan merencanakan
pengajaran kegiatan belajar mengajar dan menyusun alat penilaian serta
kemampuan memberikan bimbingan dan arahan dalam belajar serta dapat
melaksanakan tugas administrasi sekolah.Tujuan yang ingin dicapai dalam PPL
adalah mahasiswa sebagai calon guru mendapat keterampilan, pengalaman dan
pengetahuan dalam merencanakann, mempersiapkan dan melaksanakann
kegiatan sebagai calon guru mampu menyampaikan ilmu yang didapat selama
kuliah kepada siswa sehingga mengerti dan mampu memahami pelajaran yang
disampaikan.
Untuk meningkatkan mutu lulusan IKIP PGRI Bali pelaksanaan Praktek
Pengalaman Lapangan di sekolah-sekolah merupakan hal yang penting dan
wajib dilaksanakan oleh mahasiswa sehingga penting untuk dievalusi secara
teratur dan terprogram melalui sebuah kajian mendasar yang berstandar pada
logikan dan patron akademik, untuk mengetahui evaluasi pelaksanaan PPL pada
sekolah-sekolah maka perlu diadakan penelitian untuk memperoleh gambaran
lengkap dan jelas tentang model evaluasi CIPP dalam pelaksanaan program PPL
ditinjau dari variabel Konteks, Input, Proses dan Produk serta kendala-kendala
yang mungkin dihadapi dalam pelaksanaan program misalnya: Pelaksanaan
praktik pengalaman lapangan mahasiswa yang dilaksanakan belum
tersosialisasikan di sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta, Pemahaman
mahasiswa tentang pentingnya pelaksanaan praktik pengalaman lapangan di
sekolah-sekolah masih kurang, Belum sama persepsi tentang silabus, maupun
bahan ajar yang digunakan dalam pelaksanaan praktik pengalaman lapangan ,
Sarana dan prasarana di setiap sekolah berbeda-beda kualitas maupun
kuantitasnya, Kurangnya bimbingan oleh guru pamong bimbingan dan dosen
pembimbing di setiap sekolah. Model evaluasi CIPP ( conteks, input, proses,
product) merupakan salah satu model yang dipakai oleh evaluator. Model ini
dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam (1985). Pada dasarnya evaluasi ini
merupakan usaha menyediakan informasi bagi pembuat keputusan. Komponen
evaluasi model ini terdiri dari 4 (empat) yaitu konteks, input, proses dan produk.

LANDASAN TEORI
Program dapat dipahami dalam dua pengertian yaitu secara umum dan
khusus. Secara umum, program dapat diartikan dengan rencana atau rancangan
kegiatan yang akan dilakukan oleh seseorang dikemudian hari. Sedangkan
pengertian khusus dari program biasanya jika dikaitkan dengan evaluasi yang
bermakna suatu unit atau kesatuan kegiatan, berlangsung dalam proses
berkesinambungan dan terjadi dalam satu organisasi yang melibatkan
sekelompok orang. Menilik pengertian secara khusus ini, maka sebuah program
adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan secara
waktu pelaksanaannya biasanya panjang. Selain itu, sebuah program juga tidak
hanya terdiri dari satu kegiatan melainkan rangkaian kegiatan yang membentuk

242

Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
satu sistem yang saling terkait satu dengan lainnya dengan melibatkan lebih dari
satu orang untuk melaksanakannya (Suharsimi Arikunto, 2004:2).
Evaluasi program dapat mencakup evaluasi kurikulum hingga evaluasi
program dalam suatu bidang studi yang objeknya dapat bervariasi seperti
kebijakkan program, implementasi program dan efektivitas program. Sedangkan
evaluasi sistem adalah evaluasi yang cakupannya paling luas di antaranya
evaluasi diri, evaluasi internal, evaluasi eksternal, dan evaluasi kelembagaan
untuk mencapai tujuan tertentu suatu lembaga (Sukardi,2010 dalam Agung
Marhaeni,2012:34).
Menurut Stufflebeam (1967) dalam Marhaeni (2012:135-142), evaluasi
merupakan sebuah proses menjelaskan, memperoleh, dan menyediakan
informasi yang berguna bagi pengambilan sebuah keputusan yang baik. CIPP
yang merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat buah kata, yaitu:
Context Evaluation (Evaluasi terhadap konteks), Input Evaluation (Evaluasi
terhadap masukan), Process Evaluation (Evaluasi terhadap proses) dan Product
Evaluation (Evaluasi terhadap hasil). Penjelasan masing-masing aspek dalam
model evaluasi CIPP adalah sebagai berikut.a.Evaluasi terhadap konteks
(Context Evaluation) adalah evaluasi yang bertujuan untuk membantu mengambil
keputusan dalam hal perencanaan. Dimana konteks disini diartikan yaitu situasi
atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi
pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan,
seperti: kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang
ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan
yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya. Evaluasi
konteks menilai kebutuhan, permasalah, asset, dan peluang untuk membantu
pembuat keputusan menetapkan tujuan dan prioritas serta membantu
stakeholder menilai tujuan, prioritas, dan hasil.b.Evaluasi terhadap masukan
(Input Evaluation) adalah evaluasi yang bertujuan untuk membantu dalam
pengambilan keputusan dalam hal strukturisasi. Input merupakan model yang
digunakan untuk menentukan bagaimana cara agar penggunaan sumber daya
yang ada bisa mencapai tujuan serta secara esensial memberikan informasi
tentang apakah perlu mencari bantuan dari pihak lain atau tidak. Evaluasi
terhadap input sekolah adalah evaluasi terhadap segala sesuatu yang perlu
dilakukan untuk berlangsungnya proses pendidikan, khususnya proses
pembelajaran, kurikulum, ketenagaan, dana, sarana dan prasarana, regulasi
sekolah, organisasi sekolah, administrasi sekolah, budaya sekolah.c.Evaluasi
terhadap proses (Process Evaluation) adalah evaluasi yang bertujuan untuk
membantu pelaksanaan program. Evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh
kegiatan yang dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana sesuai dengan
rencana. Evaluasi proses meliputi evaluasi terhadap manajemen, kepemimpinan,
dan terutama proses belajar mengajar. Dalam pendidikan proses adalah kejadian
berubahnya siswa yang belum terdidik menjadi siswa terdidik. d.Evaluasi
terhadap hasil (Product evaluation) adalah evaluasi yang bertujuan untuk
membantu daur ulang dalam pengambilan keputusan. Evaluasi ini lebih
memfokuskan pada hasil yang diperoleh. Dalam bidang pendidikan, evaluasi
output adalah evaluasi terhadap hasil belajar yang merefleksi seberapa efektif
proses belajar mengajar berlangsung. Ini berarti bahwa hasil belajar ditentukan
oleh tingkat efektifitas dan efisiensi proses belajar mengajar. Prestasi belajar
ditunjukkan oleh peningkatan kemampuan dasar dan kemampuan fungsional.
Kemampuan dasar meliputi daya pikir, daya kalbu, dan daya raga yang
diperlukan oleh siswa untuk terjun dimasyarakat dan untuk mengembangkan
dirinya.

243

Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
Praktik Pengalaman Lapangan disingkat PPL adalah serangkaian
kegiatan yang diprogramkan bagi siswa atau mahasiswa calon guru, yang
meliputi, baik latihan mengajar maupun latihan di luar mengajar. Kegiatan ini
merupakan ajang untuk membina kompetensi-kompetensi profesional yang
dipersyaratkan oleh pekerjaan guru atau tenaga kependidikan lain. Sasaran yang
ingin dicapai adalah pribadi calon pendidik yang memiliki seperangkat
pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap, serta pola tingkah laku yang
diperlukan bagi profesinya serta cakap dan tepat menggunakannya di dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, baik di sekolah maupun di luar
sekolah (Hamalik 2003:172).

METODELOGI PENELITIAN
Penelitian ini termasuk penelitian evaluatif kuantitatif, menganalisis
efektivitas dengan menganalisis peran masing-masing faktor sesuai dengan
model CIPP (konteks, input, proses dan produk). Subjek dalam penelitian ini
adalah 79 orang dengan tehnik cluster random samplingyang terdiri dari 45 orang
mahasiswa, 10 orang dosen pembimbing, 11 orang Kepala Sekolah, 11 Guru
Pamong, dan 2 orang dari UPT PPL . Data dikumpulkan dengan menggunakan
kuesioner sebagai metode utama. Data dianalisis dengan analisis deskriptif
kuantitatif menggunakan langkah sebagai berikut: menentukan katagori deskriptif
menggunakan Analisis Univariat, skor mentah ditransformasikan ke dalam T-skor
kemudian diverifikasi ke dalam Kuadran Glickman.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Data variabel konteks yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap
responden menunjukkan bahwa skor tertinggi yang dicapai responden adalah 85
dari skor tertinggi yang mugkin dicapai sebesar 90. Skor terendah yang dicapai
responden adalah 65 dari skor terendah yang mungkin dicapai sebesar 18
dengan rata-rata sebesar 78,119. pengelompokkan frekuensi terbanyak untuk
variabel konteks terletak pada interval keenam, yakni pada interval rata-rata
dengan frekuensi sebesar 21 atau sebesar 30,435%. Bila dilihat dari skor yang
telah dikonversikan ke dalam T-skor menunjukkan bahwa f (+) = 41 > daripada f() = 28. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada variabel konteks dapat
dinyatakan bahwa pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa
prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 tergolong
efektif.
Skor variabel input yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap
responden menunjukkan bahwa tertinggi yang dicapai responden adalah 140 dari
skor tertinggi yang mungkin dicapai sebesar 150, sedangkan skor terendah yang
dicapai responden adalah 107 dari skor terendah yang mungkin dicapai sebesar
30. Rata-rata skor yang diperoleh keseluruhan responden adalah 124,348. Skor
yang paling dominan adalah 121, skor yang terletak ditengah-tengah adalah 122,
simpangan baku dengan sebesar 6,135, dan variasi skor sebesar 37,642.
pengelompokkan frekuensi terbanyak untuk variabel input terletak pada interval
rata-rata dengan frekuensi sebesar 23 atau 33,333 %. Bila dilihat dari skor yang
telah dikonversikan ke dalam T-skor menunjukkan bahwa f (+) = 38 > daripada f() = 31. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada variabel input dapat
dinyatakan bahwa pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa
prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014tergolong
relatif efektif.

244

Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
Skor variabel proses yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap
responden menunjukkan bahwa skor tertinggi yang dicapai responden adalah
141 dari skor tertinggi yang mungkin dicapai sebesar 150, sedangkan skor
terendah yang dicapai responden adalah 90 dari skor terendah yang mungkin
dicapai sebesar 30. Rata-rata skor yang diperoleh keseluruhan responden
adalah 124,565. Skor yang paling dominan adalah 125, skor yang terletak
ditengah-tengah adalah 123, simpangan baku dengan sebesar 9,400, dan variasi
skor sebesar 88,367, pengelompokkan frekuensi terbanyak untuk variabel proses
terletak pada interval rata-rata dengan frekuensi sebesar 32 atau 46,377 %. Bila
dilihat dari skor yang telah dikonversikan ke dalam T-skor menunjukkan bahwa f
(+) = 39> daripada f (-) = 30. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada
variabel proses dapat dinyatakan bahwa pelaksanaan Praktik Pengalaman
Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP
PGRI Bali tahun 2014 tergolong relatif efektif.
Skor variabel hasil yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap
responden menunjukkan bahwa skor tertinggi yang dicapai responden adalah
167 dari skor tertinggi yang dapat dicapai sebesar 180, sedangkan skor terendah
yang dicapai responden adalah 124 dari skor terendah yang dapat dicapai
renponden sebesar 36. Rata-rata skor yang diperoleh keseluruhan responden
adalah 150,087. Skor yang paling banyak adalah 140, skor yang terletak
ditengah-tengah adalah 149, simpangan skor dengan rata-rata sebesar 9,407,
dan variasi skor sebesar 88,492, pengelompokkan frekuensi terbanyak untuk
variabel hasil kecenderungan terletak di atas rata-rata dengan frekuensi sebesar
20 atau sebesar 28,986 %. Bila dilihat dari skor yang telah dikonversikan ke
dalam T-skor menunjukkan bahwa f (+) = 36>f(-) = 33. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pada variabel hasil/produk pelaksanaan Praktik Pengalaman
Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP
PGRI Bali tahun 2014 tergolong relatif efektif.
Hasil analisis menemukan bahwa pelaksanaan Praktik Pengalaman
Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP
PGRI Bali tahun 2014tergolong efektif dilihat dari variabel konteks, input, proses
dan produk dengan hasil (+ + + +). Artinya; pada variabel konteks efektif, pada
variabel input efektif, pada variabel proses efektif, dan pada variabel hasil efektif.
Kendala-kendala yang dihadapai dalam implementasi program Praktik
Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi
FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 pada umumnya terdapat pada variabel input.

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan analisis data dan temuan penelitian, dapat disimpulkan
sebagai berikut: a)Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa
prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 dilihat dari
dimensi context tergolong dalam kategori efektif. Dari tiga dimensi yang
dilibatkan dalam variabel konteks ternyata semua dimensi yaitu: visi program,
misi program, dan tujuan program sudah mendukung efektifitas pelaksanaan
Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa
prodi pendidikan
ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014. b)Efektifitas pelaksanaan
Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa
prodi pendidikan
ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 dilihat dari dimensi input
tergolong dalam kategori efektif. Dari empat dimensi yang dilibatkan dalam
variabel input, silabus sekolah, bahan ajar, sarana prasarana, dan sumber daya
manusia, dimensi silabus sekolah, bahan ajar, dan sumber daya manusia sudah

245

Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232
mendukung efektifitas pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL)
mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun
2014 sedangkan dimensi sarana prasarana belum mendukung pelaksanaan
Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa
prodi pendidikan
ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014. c)Efektifitas pelaksanaan
Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa
prodi pendidikan
ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014dilihat dari dimensi process
tergolong dalam kategori efektif. Dari empat dimensi yang dilibatkan dalam
variabel process yaitu perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran,
dan respon peserta didik dimensi pelaksanaan pembelajaran, dan respon
peserta didik secara umum sudah mendukung efektifitas pelaksanaan Praktik
Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi
FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014. d)Efektifitas pelaksanaan Praktik Pengalaman
Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP
PGRI Bali tahun 2014dilihat dari variabel product tergolong dalam kategori
efektif. Dari empat dimensi yang dilibatkan dalam pengukuran variabel product,
yakni: kualitas dan kuantitas, manfaat serta hasil yang didapatkan dari program ,
kegunaan bagi profesi, dan kegunaan bagi massa depan ternyata semunya
efektif. Jadi tujuan pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa
prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014sudah
tercapai. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Praktik
Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi
FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 terdapat pada komponen, yakni pada
komponen input.
Bila dilihat secara bersama-sama berdasarkan temuan di atas, dapat
disimpulkan bahwa efektifitas pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL)
mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun
2014tergolong dalam kategori efektif dilihat dari dimensi context, input, process
dan product dengan hasil (+ + + +). Dengan demikian, seluruh variabel dilibatkan
sudah efektif.
Berdasarkan simpulan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
diajukan bebeberapa saran sebagai berikut: Pada variabel konteks, meskipun
efektif, beberapa aspek perlu ditingkatkan adalah: visi, misi, dan tujuan program.
Dengan demikian, Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) disesuaikan dengan
kebutuhan sekolah, Pada variabel input, beberapa aspek yang perlu ditingkatkan
adalah sumber daya manusia, dan sarana prasarana. Peningkatan sarana dan
prasarana dapat dilakukan dengan pengadaan barang yang dipokuskan sesuai
dengan kebutuhan pembelajaran, serta menyiapkan mental sumber daya
manusia dengan memperbanyak jam pelatyihan mengajar (microteaching), Pada
variabel proses, beberapa aspek yang perlu ditingkatkan, antara lain:
perencanaan pembelajaran dibuat secara matang, dan Pada variabel hasil yang
perlu ditingkatkan adalah: kualitas kuantitas dan manfaat serta hasil yang
didapatkan dari program dirancang sebaik-baiknya sehingga program berjalan
efektif.

DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi).
Jakarta: Bumi Aksara
--------. 2004. Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta. Penerbit Bumi Aksara

246

Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015


ISSN 1907-3232

Buku Panduan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (IKIP) PGRI Bali Tahun 2013.
Gede Agung, Prof.Dr. 2014. Metodologi Penlitian Pendidikan. Yogyakarta: Aditya
Media Publishing.
Hamalik, Oemar. 2005. Evaluasi Kurikulum. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Koyan, Wayan. 2009. Statistika Terapan (Teknis Analisis Data Kuantitatif).
Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Marhaeni, Agung. 2012. Evaluasi Program Pendidikan. Singaraja
Mendiknas. 2005. P.P. R.I No.19 Tahun 2005 tentang Standard Nasional
Pendidikan. Jakarta : C.M. Cemerlang.
Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Wadi, Andi. 2006. Evaluasi Implementasi Program MBS sebagai Upaya Kualitas
Peningkatan Lulusan pada SMK I Sukasada Undiksha Singaraja.(Tesis
tidak dipublikasikan).

247

PENGARUH KOMUNIKASI DARI BAWAHAN TERHADAP ATASAN


(UPWARD COMMUNICATION) UNTUK MOTIVASI KARYAWAN
Oleh
Putu Dessy Fridayanthi, S,T.,M.I.Kom
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali

ABSTRAK
Komunikasi adalah hal yang penting dalam kehidupan manusia dan pentingnya
komunikasi untuk manusia tidak bisa dipungkiri bagi organisasi. Dengan komunikasi yang
baik dalam organisasi, organisasi dapat berjalan dengan baik dan sukses. Dan keberhasilan
komunikasi dalam organisasi dapat berpengaruh pada motivasi karyawan. Penelitian ini akan
menganalisis Pengaruh Komunikasi dari Karyawan ke Supervisor (Komunikasi ke atas)
untuk Motivasi Karyawan. Dan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Provinsi Bali akan
menjadi tempat bagi peneliti untuk melakukan penelitian. Jenis penelitian ini adalah
kuantitatif penjelasan dengan menggunakan metode regresi linier sederhana untuk
menganalisis data. Hasil penelitian ini menunjukkan jika komunikasi dari karyawan kepada
atasan memiliki pengaruh positif terhadap motivasi karyawan di Biro Administrasi
Kesejahteraan
Rakyat
Provinsi
Bali.
Kata kunci:
Komunikasi organisasi , komunikasi dari Karyawan ke Atasan (komunikasi ke atas),
Motivasi Kerja

ABSTRACT
Communication is the important thing in human life and the important of
communication to human cant be denied for the organization. With the good communication
in organization the organization can walk with good and success. And the success of
communication in organization can be influent the employee motivation. The research will be
analyzed The Influence of Communication from Employee to Supervisor (Upward
Communication) to Employee Motivation. And the Biro Administration Welfare of Bali
province will be the place for researcher to do the research. This kind of research is
quantitatif explanation with using simple linier regresion method to analyze the data. The
result of this research show if the communication from employee to supervisor have the
positive influence to employee motivation in People Welfare Administration .
Key Word :
Communication Organization, Communication from Employee to Supervisor (Upward
Communication), Work Motivation

248

1.PENDAHULUAN

a.

Latar Belakang Masalah

Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi, manusia


dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga,
di tempat pekerjaan, di pasar, dalam masyarakat atau dimana saja manusia berada. Tidak ada
manusia yang tidak akan terlibat dalam komunikasi. Pentingnya komunikasi bagi manusia
tidaklah dapat dimungkiri begitu juga halnya bagi suatu organisasi.
Dengan adanya komunikasi yang baik suatu organisasi dapat berjalan lancar dan
berhasil dan begitu pula sebaliknya, kurangnya atau tidak adanya komunikasi, organisasi
dapat macet atau berantakan. Boleh dikatakan, organisasi tanpa komunikasi ibarat sebuah
mobil yang didalamnya terdapat rangkaian alat-alat otomotif, yang terpaksa tidak berfungsi
karena tidak adanya aliran fungsi antara satu bagian dengan bagian yang lain (Panuju, 2001,
p.1).
Tujuan komunikasi dalam proses organisasi tidak lain dalam rangka membentuk
saling pengertian (mutual understanding). Pendek kata agar terjadi penyetaraan dalam
kerangka referensi (frame of references) maupun bidang pengalaman ( field of experiences).
Meskipun nyaris mustahil menyamakan ranah kognitif individu-individu dalam organisasi,
tetapi melalui kegiatan komunikasi yang terencana dan substansi yang isinya terdesain,
minimal terjadi proses penyebarluasan dimensi-dimensi organisasi pada setiap orang (Panuju,
2001, p.2-3).
Di dalam suatu organisasi, arus informasi biasanya bergerak dari atasan kepada
bawahan (downward communication) dan bawahan ke atasan (upward communication).
Komunikasi ke atas sebagai saluran informasi dalam memberikan feedback atau balikkan
kepada atasan, memberikan saran dan mengajukkan pertanyaan (Muhammad, 2005).
Setiap pegawai, apapun latar belakangnya, memiliki kesamaan yang mendasar, ingin
diakui, dihargai, dan dihormati. Namun kebutuhan ini sering terlupakan begitu saja. Banyak
pimpinan yang masih beranggapan bahwa orang hanya termotivasi uang. Mereka tidak
menyadari, nilai uang hanya bertahan sampai uang itu habis dibelanjakan. Ini sesuai dengan
terori Herzberg yang mengatakan bahwa uang tak akan pernah mendatangkan kepuasan
dalam bekerja. Mereka butuh penghargaan dan pengakuan atas kontribusinya untuk
memotivasi diri mereka dalam bekerja (Arep, Tanjung, 2004, p.27)
Dalam menggerakkan aktivitas organisasi, masalah motivasi kerja menjadi perhatian
utama yang tidak dapat diabaikan begitu saja, karena menyangkut alasan-alasan mengapa
bawahan mencurahkan tenaga untuk melakukan suatu pekerjaan yang tentu saja hal ini juga
mempengaruhi lancar atau tidaknya suatu organisasi.
Begitu pula Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat. Sebagai salah satu Biro yang
bertugas untuk membantu Gubernur dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan
dinas daerah dan lembaga teknis daerah dan berfungsi untuk :
249

a.

Koordinasi perumusan kebijakan pemerintah daerah;

b.

Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah;

c.

Pembinaan administrasi dan aparatur pemerintahan di daerah;

d.

Koordinasi pelaksanaan tugas dan fungsi dinas daerah dan lembaga teknis daerah;

e.

Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai dengan tugas dan
fungsinya.

Seperti umumnya sebagai suatu organisasi, Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat


juga memiliki hierarki atasan dan bawahan dalam struktur organisasi untuk menjalankan
segala aktivitasnya. Adapun alasan peneliti menetapkan objek penelitian di Biro Administrasi
Kesejahteraan Rakyat tersebut dikarenakan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat sebagai
salah satu unsur pemerintah sangat berperan dalam meningkatkan upaya kesejahteraan
rakyat,
Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan penelitian lebih jauh mengenai pengaruh
upward communication dalam kaitannya dengan motivasi kerja karyawan di Biro
Administrasi Kesejahteraan Rakyat Propinsi Bali. Hal ini dikarenakan peneliti melihat
fenomena komunikasi yang terjadi di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat, dimana arus
komunikasi dari bawahan ke atasan (upward communication) kurang berjalan dengan lancar.
Menurut Panuju (2001) suatu perusahaan dapat berjalan dengan baik kalau komunikasi dalam
perusahaan atau organisasi berjalan dengan baik atau lancar, karena hal tersebut peneliti ingin
mengetahui apakah dengan kekurang-lancarnya komunikasi dari bawahan kepada atasan
dapat mempengaruhi motivasi kerja bawahan, yaitu dorongan, upaya, dan keinginan yang ada
di dalam diri manusia yang mengaktifkan , memberi daya, serta mengarahkan perilaku pada
pelaksanaan tugas-tugas dalam lingkup pekerjaannya.
b.

Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang permasalahan yang diungkapkan diatas, maka


rumusan masalah yang diajukan adalah :
Apakah komunikasi dari bawahan kepada atasan (upward communication) mempengaruhi
motivasi kerja bawahan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Provinsi Bali?
c.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari latar belakang permasalahan yang diungkapkan diatas, maka tujuan
penelitian yang diajukan adalah :
Untuk mengetahui apakah komunikasi dari bawahan kepada atasan (upward communication)
mempengaruhi motivasi kerja bawahan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Provinsi
Bali.
d.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, sebagai berikut :
i.

Manfaat Teoritis
250

Menjadi bahan kepustakaan bagi Jurusan Ilmu Komunikasi dan literatur bagi para mahasiswa
untuk melakukan penelitian yang sejenis, yaitu penelitian mengenai pengaruh komunikasi
dari bawahan kepada atasan terhadap motivasi kerja.
ii.

Manfaat Praktis

Peneliti berharap agar penelitian ini dapat memberikan masukan-masukan yang


berguna kepada Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Propinsi Bali terutama yang
berkaitan dengan masalah-masalah upward communication.

2. KERANGKA TEORI
2.1. Komunikasi Organisasi
Ada bermacam-macam persepsi mengenai komunikasi organisasi dari beberapa ahli, yaitu
(Muhammad, 2005, p.65-66) :
Meskipun terdapat persepsi dari para ahli mengenai komunikasi organisasi ini tapi
dari semuanya itu ada beberapa hal yang umum yang dapat disimpulkan yaitu (Muhammad,
2005, p.67) :
a. Komunikasi organisasi terjadi dalam suatu sistem terbuka yang kompleks yang
dipengarui oleh lingkungannya sendiri baik internal maupun eksternal.
b. Komunikasi organisasi meliputi pesan dan arusnya, tujuan, arah dan media.
c. Komunikasi organisasi meliputi orang dan sikapnya, perasaannya, hubungannya dan
keterampilan atau skillnya.
2.2. Komunikasi ke Atas (Upward Communication)
Yang dimaksud dengan komunikasi keatas adalah pesan yang mengalir dari bawahan kepada
atasan atau dari tingkat yang lebih rendah kepada tingkat yang lebih tinggi. Semua karyawan
dalam suatu organisasi kecuali yang berada pada tingkatan yang paling atas mugkin
berkomunikasi ke atas. Tujuan dari komunkasi ini adalah untuk memberikan balikan,
memberikan saran dan mengajukan pertanyaan. Komuniksai ini mempunyai efek pada
penyempurnaan moral dn sikap karyawan, tipe pesan adalah integrasi dan pembaruan
(Muhammad, 2004, p.116-117).
Komunikasi ke atas mempunyai beberapa fungsi atau nilai tertentu. Menurut Pace (1989)
fungsinya adalah sebagai berikut :
1. Dengan adanya komunikasi ke atas supervisor dapat mengetahui kapan bawahannya
siap untuk diberi informasi dari mereka dan bagimana baiknya mereka menerima apa
yang disampaikan karyawan.
2. Arus komunikasi ke atas memberikan informasi yang berharga bagi pembuatan
keputusan
3. Komunikasi ke atas memperkuat apresiasi dan loyalitas karyawan terhadap organisasi
dengan jalan memberikan kesempatan untuk menanyakan pertanyaan, mengajukan
ide-ide dan saran-saran tentang jalannya organisasi.

251

4. Komunikasi ke atas membolehkan, bahkan mendorong desas-desus muncul dan


membiarkan supervisor mengetahuinya.
5. Komunikasi ke atas menjadikan supervisor dapat menentukan apakah bawahan
menangkap arti seperti yang dia maksudkan dari arus informasi yang kebawah.
6. Komunikasi ke atas membantu karyawan mengatasi masalah-masalah pekerjaan
mereka dan memperkuat keterlibatan mereka dalam tugas-tugasnya (Muhammad,
2004, p.117).
Menurut Smith (Goldhaber, 1986) komunikasi ke atas berfungsi sebagai balikan bagi
pimpinan memberikan petunjuk tentang keberhasilan suatu pesan yang disampaikan kepada
bawahan dan dapat memberikan stimulus kepada karyawan untuk berpartisipasi dalam
merumuskan pelaksanaan kebijaksanaan bagi departemennya atau organisasinya
(Muhammad, 2005, p.117).
Kebanyakan dari hasil-hasil analisis penelitian mengenai komunikasi ke atas mengatakan
bahwa staf dan pimpinan haruslah mendapatkan informasi dari bawahannya mengenai halhal berikut :
a. Apa yang dilakukan bawahan, pekerjaannya, hasil yang dicapainya, kemajuan mereka
dan rencana masa yang akan datang
b. Menjelaskan masalah-masalah pekerjaan yang tidak terpecahkan yang mungkin
memerlukan bantuan tertentu
c. Menawarkan saran-saran atau ide-ide bagi penyempurnaan unitnya masing-masing
atau organisasi secara keseluruhan
d. Menyatakan bagaimana pikiran dan perasaan mereka mengenai pekerjaannya, teman
sekerjanya dan organisasi (Muhammad, 2004, p.118).
Kombinasi dari perasaan-perasaan dan kepercayaan karyawan tersebut menjadikan
penghalang yang kuat untuk menyatakan ide-ide, pendapat-pendapat atau informasi oleh
bawahan kepada atasan.
Komunikasi ke atas merupakan sumber informasi yang penting dalam membuat
keputusan, karena dengan adanya komunikasi ini, pimpinan dapat mengetahui bagaimana
pendapat bawahan mengenai atasan, mengenai pekerjaan mereka, mengenai teman-temannya
yang sama bekerja dan mengenai organisasi. Karena pentingnya komunikasi tersebut maka
organisasi perlu memprogramnya.
Seperti telah dikatakan di atas bahwa komunikasi ke atas ini penting untuk pembuatan
keputusan maka agar komunikasi ini berjalan lancar dan memberikan informasi seperti yang
diharapkan maka perlu diprogramkan secara khusus. Untuk menyusun program ini ada
prinsip-prinsip yang perlu dipedomani oleh pimpinan. Prinsip-prinsip tersebut menurut Planty
dan Machaver (Pace, 1989) adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Program komunikasi ke atas yang efektif harus direncanakan


Program komunikasi ke atas berlangsung terus menerus
Program komunikasi ke atas yang efektif menggunakan saluran yang rutin
Program komunikasi ke atas yang efektif, menekankan kesensitifan dan penerimaan
ide-ide yang menyenangkan saluran yang lebih rendah
252

5. Program komunikasi ke atas yang efektif memerlukan pendengar yang objektif.


Supervisor dan manajer hendaklah memberikan waktunya untuk mendengarkan
bawahan dengan objektif. Reaksi yang memperlihatkan kekurang seriusan dan sikap
mendengarkan yang menjengkelkan, memperlihatkan kepada bawahan bahwa
komunikasi ke atas sesungguhnya tidak diingini
6. Program komunikasi ke atas yang efektif memerlukan pengambilan tindakan
berespons terhadap masalah
7. Program komunikasi ke atas yang efektif menggunakan bermacam-macam media dan
metode untuk memajukan arus informasi. Metode yang paling efektif dari komunikasi
ke atas adalah kontak tatap muka sehari-hari dan percakapan di antara supervisor dan
bawahan (Muhammad, 2004, p.121).

2.3. Motivasi Kerja


Motivasi kerja adalah dorongan, upaya, dan keinginan yang ada di dalam diri manusia
yang mengaktifkan , memberi daya, serta mengarahkan perilaku pada pelaksanaan tugastugas dalam lingkup pekerjaannya. Hakikat dari motivasi adalah dorongan untuk melakukan
segala sesuatu yang lebih baik daripada lainnya di dalam melakukan kegiatan untuk mencapai
tujuan (Umar, 2002, p.239). Ada beberapa pendapat mengenai pengertian motivasi, tetapi
pada dasarnya masing-masing pengertian tersebut memiliki pemikiran yang sama. Dalam
penelitian ini, pengertian di ambil menurut pemikiran dari Fred Luthans, yang mengatakan
bahwa Motivasi adalah suatu proses di dalam diri seseorang karena memiliki kebutuhan
psikologis dan fisiologis sehingga menggerakkan perilaku atau dorongan untuk mencapai
suatu tujuan ( Nawawi, 2003, p.327).
2.4. Pengaruh Komunikasi Terhadap Motivasi
Frantz (1988) dalam Pace (2006) menyebutkan bahwa perusahaan selalu
meningkatkan produktivitas ,melalui apa yang disebut efisiensi alokatif, misalnya :
penggunaan mesin, penanganan bahan, metode pembayaran pegawai, dan lain-lain. Efisiensi
ini mengabaikan efisiensi nonalokatif. Frantz selanjutnya menegaskan, bila inefisiean alokatif
akan mengganggu komunikasi antarindividu dalam organisasi (Pace, 2006, p.114-116).
Selanjutnya dalam hubungan dengan teori Hierarki Kebutuhan Maslow analisis Frantz
menyimpulkan, bila komunikasi antarindividu dan organisasi akan sangat berpengaruh pada
motif rasa memiliki, penghargaan, dan aktualisasi diri. Sedangkan terhadap teori KesehatanMotivasi Herzberg, Frantz melihat bila komunikasi lebih berpengaruh terhadap faktor
Hygiene, antara lain : kebijakan organisasi, hubungan antar pribadi dengan rekan kerja,
atasan dan bawahan di tempat kerja.

3.

METODE PENELITIAN

3.1.

Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian deskriptif dengan
pendekatan kuantitatif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi secara
253

sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu
(Kriyantono, 2006, p. 57)
Pendekatan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif
adalah riset yang menggambarkan atau mejelaskan suatu masalah yang hasilnya dapat
digeneralisasikan. Dengan demikian tidak terlalu mementingkan kedalaman data atau analisa
( Kriyantono, 2006, p. 57).
Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah metode survei. Survei adalah
metode riset dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen sebagai pengumpulan
datanya. Tujuannya untuk memperoleh informasi tentang sejumlah responden yang dianggap
mewakili populasi tertentu ( Kriyantono, 2006, p.60).
3.2.

Definisi Operasional

Definisi operasional dan pengukuran variabel dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Variabel bebas (X) Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah upward
communication. Indikator pengukuran variabel ini dilihat melalui fungsi komunikasi keatas
menurut Pace (1989), yaitu :
a. Pimpinan dapat mengetahui kapan bawahan siap diberi informasi
b. Memberikan informasi yang berharga untuk pembuatan keputusan
c. Memperkuat apresiasi dan loyalitas karyawan dengan jalan memberi kesempatan
untuk mengajukan pertanyaan, mengajukan ide-ide, dan saran-saran tentang jalannya
organisasi
d. Membolehkan dan mendorong desas desus muncul
e. Pimpinan dapat megetahui apakah bawahan menangkap arti yang dia maksudkan dari
arus informasi kebawah
f. Membantu karyawan mengatasi masalah-masalah pekerjaan mereka dan memperkuat
keterlibatan mereka dalam tugas-tugasnya dan organisasi

2.
Variabel terikat (Y) yaitu variabel yang dipengaruhi atau disebabkan oleh variabel
bebas (Bungin, 2001, p.80). Dalam penelitian ini yang menjadi variable terikat adalah
motivasi kerja. Adapun variable ini berdasarkan kajian motivasi oleh Arep dan Tanjung
(2004, p.156) meliputi dimensi :
a.
b.
c.
d.
e.
3.3.

Disiplin
Inisiatif
Loyalitas
Kinerja
Pengawasan
Populasi dan Sampel

Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah Pegawai Negeri Sipil di
lingkungan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat. Karena diambil seluruh unsur populasi
maka tidak menggunakan teknik pengambilan sampel.
254

3.4. Jenis Sumber Data


a. Sumber data primer, dimana data dikumpulkan secara langsung dari sumber pertama
dilapangan (Bungin, 2001, p.128). Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan
data primer berupa kuesioner. Kuesioner akan disebarkan kepada sejumlah
responsden yang merupakan karyawan tetap Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat
yang telah bekerja minimal 1 tahun, dan ditujukan pada manajemen menengah, dan
karyawan bawahan atau para staf. Selain itu data primer juga diambil berdasarkan
hasil wawancara dari sejumlah narasumber yang kompeten untuk penggalian data
yang lebih dalam lagi.
b. Sumber data sekunder, merupakan data pendukung yang diperoleh dari sumber kedua
sesudah sumber data primer (Bungin, 2001, p.128). Pada penelitian ini, yang menjadi
data sekunder yaitu berupa buku-buku, dokumen-dokumen internal perusahaan seperti
struktur organisasi, kebijakan umum, dan lain-lainnya yang diharapkan dapat
membantu memberikan keterangan, atau sebagai data pelengkap.
3.5.

Teknik Pengumpulan Data

Demikian pula dalam pelaksanaan penelitian ini, peneliti memperoleh data dengan
mengadakan peninjauan secara langsung ke Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Propinsi
Bali dengan menggunakan metode dan prosedur sebagai berikut :
a. Kuisioner
b. Wawancara
c. Dokumentasi
1.

Uji Validitas

Uji validitas dilakukan untuk menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu
mengukur apa yang ingin diukur (Singarimbun dan Effendi, 1995, p.124). Karena dalam
penelitian ini menggunakan kuisioner sebagai alat pengukur utama.
2.

Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas menunjuk pada pengertian sejauh mana suatu alat pengukur dapat
dipercaya atau dapat diandalkan dan konsisten dari waktu ke waktu (Singarimbun dan
Effendi, 1995, p. 140). Cara untuk menguji reliabilitas adalah dengan memasukkannya
kedalam rumus koefisien reliabilitas Alpha Cronbach :
3.6.

Teknik Analisis Data

Menurut Singarimbun (1995, p.263), analisis data adalah proses penyederhanaan data
ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Dalam hal ini, teknik analisa
yang digunakan adalah teknik korelasi yang tujuannya adalah untuk mengetahui apakah di
antara dua variable atau lebih terdapat hubungan, dan jika ada hubungan, bagaimana arah
hubungan dan seberapa besar hubungan tersebut (Santoso, 2002, p.149).
3.6.1. Uji Regresi
Pada percobaan selalu ada dua atau lebih variabel sehingga diperlukan hubungan
fungsional diatas variabel dan analisis korelasi yang digunakan untuk menetapkan derajat
255

korelasi atau variabel. Analisis regresi digunakan untuk menetapkan hubungan fungsional
antara variabel bebas dan variabel tak bebas, namun tidak dapat digunakan untuk
menjelaskan mengapa terjadi perubahan. (Suharto, Girisuta, Miryanti, 2004, p.181)
Dalam analisa regresi dipikirkan bahwa hubungan antara variabel independen dan
variabel dependen adalah dalam bentuk linier. Analisis regresi linear digunakan sebagai
metode untuk menyusun hubungan fungsional antara dua variabel. Cara melakukan uji
regresi linear adalah dengan memasukkannya dalam rumus :
Y:a+bX
Keterangan :
Y

Variabel tak bebas dihitung jika nilai X diketahui

Variabel bebas

Nilai intercept

Koefisien arah regresi

4. PEMBAHASAN
4.1. Struktur organisasi Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat
Struktur organisasi tersebut dapat digambarkan tugas pokok dan fungsi masingmasing , antara lain :
a.
b.
c.
d.

Kepala Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat


Kepala Bagian Kesehatan Masyarakat
Kepala Bagian Ketenagakerjaan
Kepala Bagian Sosial

4.2. Uji Validitas dan Reliabilitas


4.2.1. Analisis Validitas
Uji validitas internal dilakukan atas item-item pernyataan pada kuisioner yaitu dengan
jalan menghitung corrected item to total correlation. Item yang dapat dikatakan konsisten
secara internal bila item memiliki korelasi dengan skor total jika lebih besar dari r tabel. Bila
lebih besar dari r tabel maka suatu pernyataan dianggap valid. Sebaliknya jika bernilai lebih
kecil, maka suatu pernyataan dianggap tidak valid dan tidak dapat dilanjutkan untuk proses
berikutnya. Berikut adalah uji validitas pada variable komunikasi bawahan terhadap atasan :
Dari hasil uji menunjukkan bahwa seluruh item mempunyai nilai corrected item to total
correlation lebih besar dari r tabel yaitu 0,180. Dengan demikian indikator dari variabel
komunikasi bawahan pada atasan dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya dan dapat
mengukur variable komunikasi bawahan pada atasan atau dapat dikatakan valid.
4.2.2. Uji Reliabilitas
256

Demikian dengan uji reliabilitas menunjukkan nilai alpha cronbach seluruh variabel
mempunyai nilai lebih besar dari 0,6 dengan demikian kuesioner untuk seluruh variabel
mempunyai konsistensi atau kestabilan yang baik.
4.3.

Pengolahan Data

4.3.1. Deskripsi Karakteristik Responden


Sebelum responden menjawab pernyataan atau pertanyaan dalam kuesioner pada
bagian awal responden diminta untuk mengisi data karakteristik yang berisi usia, jenis
kelamin, lama kerja, jabatan dan devisi pegawai di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat.
Dari hasil pengisian angket menunjukkan sebagian besar responden berusia antara 21
30 tahun sebanyak 1 orang atau 1,7 %, kemudian yang berusia 31 40 tahun ada 14 orang
atau 24,13 %, sedangkan yang berusia kurang dari 20 tahun ada 0 orang .Urutan berikutnya
adalah yang berusia 41 50 tahun yaitu sebanyak 32orang atau 55,17 %. Dan sisanya
sebanyak 51 60 tahun ada 11orang atau 18,93 %. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa
sebagian besar karyawan yang bekerja di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat adalah
antara usia 41 tahun sampai 50 tahun dengan jumlah persentasetase 55,17%. Usia antara 51
tahun sampai 60 tahun hanya 11 orang dengan persentasetase hanya 18,93%.
4.4.

Deskripsi Variable Penelitian

4.4.1. Deskripsi Variable Bebas yaitu Komunikasi Bawahan ke Atasan


Variable bebas komunikasi bawahan ke atasan terdiri dari 5 indikator atau item.
Untuk mengetahui jawaban responden pada tiap pertanyaan tersebut dapat dilihat
selengkapnya pada distribusi frekuensi berikut :
Didapat beberapa hasil yang menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan
menyatakan setuju dan sangat setuju apabila atasan memperhitungkan masalah ketepatan
waktu dalam menyebarkan informasi. Jumlah responden yang menyatakan setuju dan sangat
setuju ada 31(53,4 %) dan 17 (29,3 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju dan sangat
tidak setuju bahwa atasan memperhitungkan masalah ketepatan waktu dalam menyebarkan
informasi ada 7 (15,5 %) dan 1 (1,7 %). Menurut Arni Muhammad dalam bukunya yang
berjudul Komunikasi organisasi, mengatakan bahwa tujuan dari upward communication
adalah untuk memberikan balikan. Sesuai dengan teori tersebut, bawahan di Biro
Administrasi Kesejahteraan Rakyat Propinsi Bali sebanyak 48 orang setuju bahwa dengan
adanya upward communication , para atasan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat
mendapat balikan berupa informasi yang disampaikan bawahan tentang kapan saat yang tepat
bagi mereka untuk menyampaikan informasi.
Sebagian besar karyawan menyatakan setuju dan sangat setuju apabila atasan melihat
dan memperhitungkan apakah karyawan siap atau belum menerima tugas atau perintah yang
diberikan. Jumlah responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju ada 36 (62,1 %) dan
19 (37,9 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa atasan melihat dan
memperhitungkan apakah karyawan siap atau belum menerima tugas atau perintah yang
diberikan tidak ada dan tidak ada responden yang menyatakan sangat tidak setuju. Arni
Muhammad ( 2004) mengatakan salah satu fungsi dari upward communication adalah
komunikasi ke atas menjadikan supervisor dapat menentukan apakah bawahan menangkap
257

arti seperti yang dia maksudkan dari arus informasi ke bawah. Sehingga melalui upward
communication para atasan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat dapat mengetahui apa
yang dikerjakan oleh bawahannya dan bagiamana hasil pekerjaan mereka, apakah mereka
mengerjakan sesui yang atasan minta, dll. Dengan adanya upward communication ini para
bawahan banyak yang memilih setuju dan sangat setuju mengenai melalui upward
communication ini atasan dapat mengetahui yang dikerjakan mereka dan hasil pekerjaan
mereka.
Di lain pihak sebagian besar karyawan menyatakan setuju dan sangat setuju apabila
atasan memperhatikan apakah perintah atau tugas yang diberikan dimengerti dengan jelas.
Jumlah responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju ada 1(1,7 %) dan 33 (56,9 %).
Sedangkan yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju bahwa atasan
memperhatikan apakah perintah atau tugas yang diberikan dimengerti dengan jelas ada
19(32,8 %) dan yang menjawab sangat tidak setuju ada 5 orang. Dari data diatas, komunikasi
keatas berjalan sesuai dengan tujuannnya sebagai balikan bagi atasan mengenai tugas yang
diberikan oleh mereka kepada karyawan dapat dimengerti oleh karyawan. Karena tujuan
komunikasi keatasan sebagai umpan balik, dalam hal ini atasan dapat melihat apa
pekerjaan/informasi mereka dimengerti atau dapat dikerjakan dengan lebih baik oleh
karyawan melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan karyawan, atau bagaimana sikap
karyawan dalam menanggapi informasi dari atasan sesuai dengan pendapat Smith
(Goldhaber, 1986) komunikasi keatas berfungsi sebagai balikan bagi pimpinan, memberikan
petunjuk tentang keberhasilan suatu pesan yang disampaikan olehnya
Di samping itu sebagian besar karyawan menyatakan setuju dan sangat setuju apabila
atasan memberikan waktu atau kesempatan untuk memahami maksud yang diinginkan
atasan. Jumlah responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju ada 35 (60,3 %) dan 1
(1,7 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju bahwa atasan
memberikan waktu atau kesempatan untuk memahami maksud yang diinginkan atasan 17
(29,3 %) dan 5 (8,6 %). Berdasarkan jawaban diatas, dapat dilihat bahwa fungsi komunikasi
keatas berjalan dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari jawaban responden 35 orang dan 1 orang
menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa melalui komunikasi keatas mereka dapat
bertanya apabila ada dalam pekerjaan yang diberikan atasan yang tidak dimengerti oleh
mereka. Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi dari komunikasi keatas yaitu komunikasi
keatas membantu karyawan negoisasi masalah-masalah pekerjaan mereka dan memperkuat
keterlibatan mereka dalam tugas-tugasnya dan organisasi.
Hasil survey juga menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju bahwa
melalui komunikasi ke atasan mengetahui apakah bawahan menangkap arti seperti maksud
atasan. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 35 (60,3 %) dan yang menyatakan
sangat setuju ada 3 (5,2 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa melalui
komunikasi ke atasan mengetahui apakah bawahan menangkap arti seperti maksud atasan ada
20 34,2 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju tidak ada. Arni Muhammad (2001)
mengatakan bahwa melalui komunikasi ke atas atasan dapat megetahui apakah bawahan
menangkap arti atau pesan yang dimaksudkan atasan. Hal ini dapat diketahui dari apa yang
dilakukan karyawan, pekerjaannya, hasil yang didapatnya, dan kemajuan mereka. Melalui
kuesioner yang disebarkan kepada responden,dapat diketahui bahwa melalui komunikasi ke
atas, atasan dapat mengetahui apakah bawahan menangkap arti seperti yang dimaksudkan
258

atasan, hal ini didukung dengan jawaban responden sebanyak 35 dan 3 orang yang menjawab
setuju dan sangat setuju.

4.4.2. Deskripsi Variable Tergantung yaitu Motivasi Kerja


Variable tergantung yaitu motivasi karyawan terdiri dari 5 parameter yaitu disiplin,
inisiatif, loyalitas, kinerja dan pengawasan. Untuk parameter disiplin terdiri dari 6 indikator,
kemudian untuk parameter inisiatif terdiri dari 6 indikator dan parameter loyalitas terdiri dari
11 indikator, kinerja ada 12 indikator dan pengawasan ada 5 indikator.
4.4.2.1.

Disiplin

Indikator disiplin pertama menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju


pada pernyataan karyawan selalu datang tepat waktu. Jumlah responden yang menyatakan
setuju ada 37 (63,8 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 12 (20,7 %). Sedangkan yang
menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan karyawan selalu datang tepat waktu ada 9
(15,5 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju tidak ada. Menurut Arep & Tanjung
(2004) segala perbuatan yang selalu mentaati peraturan dan sesuai dengan kebijakan yang ada
merupakan salah satu perilaku orang yang termotivasi. Berdasarkan dari jawaban responden
yang menjawab 37 orang setuju dan 12 orang sangat setuju, bawahan Biro Administrasi
Kesejahteraan Rakyat dapat dinilai memiliki sikap disiplin yang tinggi karena mereka selalu
datang tepat waktu sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan pemerintah.
Indikator disiplin kedua menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan sangat
tidak setuju pada pernyataan karyawan seringkali pulang lebih awal dari waktu kerja yang
ditentukan. Jumlah responden yang menyatakan sangat tidak setuju ada 31 (53,5 %) dan yang
menyatakan sangat tidak setuju ada 26 (44,8 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa
pada pernyataan karyawan seringkali pulang lebih awal dari waktu kerja yang ditentukan, ada
1 (15 %) dan yang menyatakan sangat setuju tidak ada 4 . Berdasarkan hasil kuesioner yang
disebarkan kepada karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat, dapat dilihat bahwa
karyawan memiliki sikap disiplin yang cukup tinggi karena ketaatan terhadap jam kerja sudah
baik. Tetapi ada beberapa dari karyawan yang menjawab setuju bahwa mereka seringkali
pulang lebih awal. Dari hasil wawancara terhadap responden hal ini dikarenakan, misal ada
keperluan keluarga atau karena pekerjaan yang dikerjakan sudah selesai.
Indikator disiplin ketiga menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak
setuju pada pernyataan sering tidak masuk kantor tanpa alasan yang jelas. Jumlah responden
yang menyatakan tidak setuju ada 40 (68,9 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada
18 (31,1 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan sering tidak masuk
kantor tanpa alasan yang jelas, tidak ada demikian pula dengan yang menyatakan sangat
setuju. Hal tersebut mengungkapkan sikap disiplin karyawan yang cukup tinggi karena
berusaha menjalankan tanggung jawabnya terhadap peraturan pemerintah dengan baik,
sehingga 40orang dan 18 orang responden menjawab sangat tidak setuju dan tidak setuju
pada pertanyaan Apakah mereka sering tidak masuk kantor tanpa asalan yang jelas?.
Menurut Arep & Tanjung (2004) bawahan yang termotivasi cenderung memilih kinerja yang
baik. Hal ini dapat dilihat dari sering tidak masuk kantor atau selalu masuk kantor.
259

Indikator disiplin keempat menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak


setuju pada pernyataan suka memperpanjang waktu istirahat makan siang untuk mendapatkan
waktu bebas dari pekerjaan. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 30(52 %)
dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 27 (46,3 %). Sedangkan yang menyatakan
setuju bahwa pada pernyataan suka memperpanjang waktu istirahat makan siang untuk
mendapatkan waktu bebas dari pekerjaan,tidak ada dan yang menyatakan sangat setuju ada
1 (1,7 %). Karyawan yang termotivasi akan selalu mematuhi kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang ditetapkan pemerintah, seperti jam kerja, jam istirahat, dan lain-lain (Arep & Tanjung :
2004). Dari hasil yang dicapai kuesioner yang disebarkan kepada karyawan Biro
Administrasi Kesejahteraan Rakyat yang sebesar 30 orang karyawan menjawab tidak setuju
dan 27 orang karyawan memilih sangat tidak setuju, mengungkapkan bahwa sikap karyawan
Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Propinsi disiplin dan mempunyai rasa tanggung
jawab yang tinggi terhadap jam kerja mereka.
Indikator disiplin kelima menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju
pada pernyataan selalu mentaati peraturan yang ditetapkan pemerintah. Jumlah responden
yang menyatakan setuju ada 39 (67,2 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 18 (30,1 %).
Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan selalu mentaati peraturan
yang ditetapkan pemerintah, ada 1 (1,7 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju tidak
ada . Menurut Arep & Tanjung (2004) karyawan yang termotivasi dapat dilihat dari segala
perbuatannya yang selalu mentaati peraturan sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah. Dari
hasil data ini menunjukkan bahwa boleh dibilang hampir seluruh karyawan sudah memiliki
sikap disiplin yang tinggi karena peraturan yang telah ditetapkan dan disepakati dapat
dipatuhi.
4.4.2.2.

Inisiatif

Pada indikator inisiatif, pertanyaan pertama menunjukkan sebagian besar karyawan


menyatakan setuju pada pernyataan seringkali menyelesaikan hal hal yang dianggap perlu
untuk kepentingan pemerintah sebelum menerima instruksi kerja dari atasan. Jumlah
responden yang menyatakan setuju ada 40 (69,1 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada
7(13,1 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan seringkali
menyelesaikan hal hal yang dianggap perlu untuk kepentingan pemerintah sebelum
menerima instruksi kerja dari atasan, ada 10 (17,2 %) dan yang menyatakan sangat tidak
setuju ada 1 (1,7 %). Dari data diatas maka peneliti dapat menyimpulkan sebagian besar
responden melakukan inisiatif dengan mengerjakan suatu pekerjaan tanpa harus mendapat
perintah dari atasan. Hal ini sesuai dengan teori Arep & Tanjung (2004) yang menyatakan
bahwa bawahan yang mempunyai inisiatif sendiri sebelum menerima instruksi kerja dari
atasan merupakan salah satu bentuk sikap proaktif dari orang yang termotivasi.
Dan indikator inisiatif pertanyaan kedua menunjukkan sebagian besar karyawan
menyatakan tidak setuju pada pernyataan tidak berupaya memecahkan masalah yang saya
hadapi dalam pekerjaan. Jumlah responden semuanya menyatakan tidak setuju. Dari data
diatas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa sebagian besar responden sudah memiliki
inisiatif untuk selalu memecahkan masalah dalam hal ini pekerjaan yang dihadapi mereka.
Mereka menunjukkan sikap proaktif dari orang yang termotivasi, sehingga mereka akan
berupaya dengan aktif untuk menyelesaikan masalah dalam pekerjaan (Arep Tanjung, 2004).
260

Indikator inisiatif pertanyaan ketiga menunjukkan sebagian besar karyawan


menyatakan setuju pada pernyataan karyawan akan segera mengambil tindakan perbaikan
bila melakukan kesalahan dalam melakukan pekerjaan. Jumlah responden yang menyatakan
sangat setuju ada 19 (62,1 %) dan yang menyatakan setuju ada 19 (32,8 %). Sedangkan yang
menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan karyawan akan segera mengambil tindakan
perbaikan bila melakukan kesalahan dalam melakukan pekerjaan, ada 3 (5,2 %) dan tidak ada
yang menjawab sangat tidak setuju. Sebagian besar responden akan melakukan tindakan
perbaikan bila melakukan kesalahan dalam pekerjaan, hal ini dikarenakan responden
mempunyai inisiatif yang baik dalam bekerja. Responden akan melakukan perbaikan dan
menyadari kesalahannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden yang bernama
Putri mengatakan bahwa mengambil tindakan perbaikan bila melakukan kesalahan dalam
pekerjaan merupakan sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap pekerjaan.
Sedangkan pada indikator inisiatif pertanyaan keempat menunjukkan sebagian besar
karyawan menyatakan setuju pada pernyataan karyawan sering memberikan ide ide yang
dapat memajukan pemerintah. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 32 (55,2 %)
dan yang menyatakan sangat setuju ada 7 (12,1 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju
bahwa pada pernyataan karyawan sering memberikan ide ide yang dapat memajukan
pemerintah, ada 18 (31,0%) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %).
Memberikan ide-ide merupakan salah satu bentuk sikap proaktif orang yang termotivasi.
Bawahan selalu berupaya aktif untuk memecahkan masalah dan menyelesaikan pekerjaan,
dan memberikan saran atau ide guna untuk meningkatkan kemajuan pemerintah. (Arep &
Tanjung, 2004).
Indikator inisiatif pertanyaan kelima menunjukkan sebagian besar karyawan
menyatakan tidak setuju pada pernyataan jarang atau tidak pernah berpartisipasi dalam
melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan. Jumlah responden yang menyatakan
tidak setuju ada 14 (24,1 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %).
Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan jarang atau tidak pernah
berpartisipasi dalam melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan, ada 32 (55,2 %)
dan yang menyatakan sangat setuju ada 11(19 %). Bawahan yang termotivasi dapat dilihat
dari sikapnya yang proaktif melalui berpartisipasi dalam melakukan perencanaan dan dalam
sikapnya yang aktif dalam memberikan saran-saran guna peningkatan (Arep & Tanjung,
2004). Dan dalam hal ini dapat dilihat jawaban 71 responden yang mengatakan tidak setuju
dengan pertanyaan di atas, dan sebaliknya dapat dinilai bahwa karyawan Biro Administrasi
Kesejahteraan Rakyat sangat termotivasi karena mereka selalu berpartisipasi secara aktif
dalam melakukan perencanaan dan dalam setiap pengambilan keputusan.
4.4.2.3.

Loyalitas

Pada indikator loyalitas menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju


pada pernyataan senang atau betah tinggal di tempat kerja. Jumlah responden yang
menyatakan setuju ada 35 (60,3 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 12 (20,7 %).
Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan senang atau betah tinggal di
pemerintah tempat kerja, ada 9 (15,5 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 2 (3,4
%). Tingkat loyalitas ini berkaitan erat dengan komitmen dan kesetiaan para pegawai
terhadap organisasinya, menurut teori motivasi Maslow, beberapa hal yang dapat memotivasi
bawahan adalah kebutuhan akan rasa aman dan tentram (Arep & Tanjung, 2004). Apabila
261

kedua hal tersebut dipenuhi, maka karyawan akan secara awal betah tinggal di pemerintah.
Karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat dapat dibilang memiliki tingkat loyalitas
yang tinggi, dilihat dari jawaban mereka, 35 orang senang dan betah bekerja di Biro
Administrasi Kesejahteraan Rakyat.
Sedangkan indikator loyalitas kedua menunjukkan sebagian besar karyawan
menyatakan setuju pada pernyataan bangga bekerja di pemerintah. Jumlah responden yang
menyatakan setuju ada 31 (53,4%) dan yang menyatakan sangat setuju ada 3 (5,2 %).
Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan bangga bekerja di
pemerintah, ada 24 (41,4 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %). Dari
hasil wawancara dengan responden yang bernama Widyanti, mengatakan alasan mengapa dia
bangga bekerja di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat karena Biro Administrasi
Kesejahteraan Rakyat merupakan pemerintah dan juga memberikan rasa gengsi tersendiri.
Indikator loyalitas ketiga menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju
pada pernyataan merasa ikut memiliki pemerintah tempat bekerja. Jumlah responden yang
menyatakan setuju ada 37 (63,8 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 20(34,5%).
Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan merasa ikut memiliki
pemerintah tempat bekerja, ada 1 (1,7 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju tidak ada.
Menurut Arep & Tanjung (2004) bawahan yang termotivasi memiliki sifat loyalitas terhadap
pemerintah, karena sifat loyalitas tersebut maka mendorong bawahan mempunyai rasa ikut
memiliki pemerintah tempatnya bekerja.
Indikator loyalitas keempat menunjukkan jawaban hampir berimbang antara yang
menjawab sangat setuju, setuju dan sangat tidak setuju, tidak setuju. Karyawan yang
menyatakan setuju pada pernyataan tetap bekerja dalam jangka waktu minimal 20 tahun ke
depan ada 36 (62,1 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 19 (33,8 %). Sedangkan yang
menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan tetap bekerja dalam jangka waktu minimal
20 tahun ke depan, ada 1 (1,7 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 2 (3,4 %).
Berdasarkan dari hasil wawancara dengan Pak Made, mengatakan setuju untuk tetap bekerja
dalam jangka waktu 20 tahun ke depan karena memiliki anak dan istri untuk dibiayai.
Indikator loyalitas kelima menunjukkan jawaban hampir berimbang antara yang
menjawab sangat setuju, setuju dan sangat tidak setuju, tidak setuju. Karyawan yang
menyatakan tidak setuju pada pernyataan bersedia kerja lembur jika diperlukan tanpa gaji
tambahan, ada 34 (58,6 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 8 (13,8 %).
Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan bersedia kerja lembur jika
diperlukan tanpa gaji tambahan, ada 34 (58,6 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 5
(8,6 %). Dari perhitungan diatas dapat diketahui bahwa sebanyak 34 orang tidak setuju untuk
bekerja lembur tanpa gaji tambahan. Hal ini sesuai dengan teori kebutuhan Maslow yaitu
kebutuhan akan dihargai, dalam hal ini mereka akan dihargai dengan gaji tambahan untuk
setiap kali mereka bekerja lembur.
Indikator loyalitas keenam menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju
pada pernyataan mengabdikan diri sepenuhnya untuk pemerintah. Jumlah responden yang
menyatakan setuju ada 35 (60,3 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 15 (25,9 %).
Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan mengabdikan diri
sepenuhnya untuk pemerintah, ada 7 (12,1 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1
262

(1,7 %). Menurut Arep & Tanjung (2004) karyawan yang memiliki loyalitas tinggi berkaitan
erat dengan komitmen dan kesetiaan para pegawai terhadap organisasinya sehingga
mendorong mereka untuk mengabdikan diri sepenuhnya untuk pemerintah.
Indikator loyalitas ketujuh menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju
pada pernyataan merekomendasikan pemerintah pada teman - teman. Jumlah responden yang
menyatakan setuju ada 35 (60,3 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 3 (5,2 %).
Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan merekomendasikan
pemerintah pada teman - teman, ada 17 (29,3 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju
ada 3 (5,2 %). Hal ini menunjukkan bahwa bawahan sering merekomendasikan Biro
Administrasi Kesejahteraan Rakyat kepada teman-teman mereka yang belum mendapat
pekerjaan atau mencari pekerjaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Suci mengatakan
bahwa dirinya merekomendasikan pemerintah kepada temannya karena temannya sedang
mencari pekerjaan, dan juga karena merasa bangga terhadap Biro Administrasi Kesejahteraan
Rakyat.
Sedangkan indikator loyalitas terakhir menunjukkan sebagian besar karyawan
menyatakan setuju pada pernyataan jika pemerintah mengalami masa krisis, akan berusaha
keras membantu. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 28 (48,3 %) dan yang
menyatakan sangat setuju ada 30 (51,7 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa
pada pernyataan jika pemerintah mengalami masa krisis, akan berusaha keras membantu, dan
yang menyatakan sangat tidak setuju tidak ada. Menurut Arep & Tanjung (2004) loyalitas
berkaitan erat dengan komitmen dan kesetiaan pegawai terhadap organisasinya. Mereka
termotivasi untuk membantu pemerintah dalam melewati masa krisis. Dari perhitungan diatas
menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat
termotivasi cukup tinggi karena mereka mau membantu jika pemerintah mengalami krisis.
4.4.2.4.

Kinerja

Pada indikator kinerja pertama menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan


setuju pada pernyataan berusaha memberikan hasil yang terbaik atas tugas dan tanggung
jawab yang diberikan. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 41 (70,7 %) dan yang
menyatakan sangat setuju ada 16 (27,6 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa
pada pernyataan berusaha memberikan hasil yang terbaik atas tugas dan tanggung jawab yang
diberikan tidak ada dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %). Bawahan yang
termotivasi akan menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan standar yang benar dan dalam
skala waktu yang telah ditentukan (Arep & Tanjung: 2004). Bawahan Biro Administrasi
Kesejahteraan Rakyat terbukti memiliki kinerja yang bak, hal ini diketahui dari hasil jawaban
yang hampir semua karyawan menjawab setuju dan sangat setuju.
Indikator kinerja kedua menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak
setuju pada pernyataan tidak dapat bekerja dengan baik secara mandiri. Jumlah responden
yang menyatakan tidak setuju ada 22 (37,9 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju tidak
ada. Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan tidak dapat bekerja dengan
baik secara mandiri, ada 36 (62,1 %) demikian pula yang menyatakan sangat setuju juga
tidak ada. Hal ini disebabkan karena mereka tidak dapat bekerja secara sendiri atau secara
individu tetapi mereka membutuhkan kerjasama dalam suatu kelompok kerja (Arep &
Tanjung: 2004).
263

Sedangkan indikator kinerja ketiga menunjukkan sebagian besar karyawan


menyatakan setuju pada pernyataan selalu menyelesaikan pekerjaan tepat waktu bahkan
sebelumnya. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 36 (62,1 %) dan yang
menyatakan sangat setuju ada 21 (36,2 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa
pada pernyataan selalu menyelesaikan pekerjaan tepat waktu bahkan sebelumnya tidak ada
dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %). Berdasarkan kriteria pemerintah
menurut Robbins pemerintah mengevaluasi kinerja berdasarkan behavior (perilaku), dalam
hal ini adalah perilaku dimana karyawan dapat dengan tepat waktu menyelesaikan
pekerjaannya, maka karyawan tersebut mempunyai kinerja yang baik (Arep & Tanjung:
2004). Bawahan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat memiliki kinerja yang baik, hal ini
dilihat dari jawaban pada hampir setiap bawahan selalu mengerjakan dan menyelesaikan
pekerjaannya tepat waktu.
Indikator kinerja keempat menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju
pada pernyataan selalu mentaati peraturan atasan yang diberikan pada bawahan. Jumlah
responden yang menyatakan setuju ada 29 (50 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 29
(0 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan selalu mentaati
peraturan atasan yang diberikan pada bawahan tidak ada demikian pula yang menyatakan
sangat tidak setuju . Menurut Robbins kinerja karyawan dapat dievaluasi dari perilaku
mereka yang baik (Arep & Tanjung: 2004). Dalam hal ini dilihat dari perilaku mereka dalam
mentaati peraturan atasan yang diberikan kepada mereka.
Sedangkan indikator kinerja kelima menunjukkan sebagian besar karyawan
menyatakan tidak setuju pada pernyataan tidak bersedia membantu rekan kerja yang
menemui kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan. Jumlah responden yang
menyatakan tidak setuju ada 65 (54,2 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 45
(37,5 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan tidak bersedia
membantu rekan kerja yang menemui kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan,
ada 7 (5,8 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 3 (2,5 %). Menurut wawancara dengan
Indah mengatakan bukan karena tidak bersedia membantu rekan kerja yang menemui
kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan tetapi karena tidak mengerti dengan
pekerjaan tersebut.
Pada indikator kinerja keenam menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan
tidak setuju pada pernyataan seringkali lupa pada tugas dan tanggungjawab yang diberikan
atasan. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 68 (56,7 %) dan yang
menyatakan sangat tidak setuju ada 40 (33,3 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa
pada pernyataan seringkali lupa pada tugas dan tanggungjawab yang diberikan atasan, ada 11
(9,2 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 1 (0,8 %). Orang yang termotivasi tinggi
selalu bersikap proaktif terhadap sesuatu yang ditugaskan oleh atasan. Mereka akan berupaya
aktif untuk memecahkan masalah dalam pekerjaan (Arep & Tanjung : 2004). Bawahan Biro
Administrasi Kesejahteraan Rakyat menunjukkan memiliki tingkat motivasi yang tinggi
karena selalu mengerjakan tugas dan tanggung jawab dari atasan.
4.4.2.5.

Pengawasan

Pada indikator pengawasan menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju


terhadap pernyataan atasan merasa karyawan dapat mengelola waktu secara efektif. Jumlah
264

responden yang menyatakan setuju ada 34 (58,6 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada
9 (15,5%). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan atasan merasa
karyawan dapat mengelola waktu secara efektif, ada 14 (24,1 %) dan yang menyatakan
sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %). Menurut Arep & Tanjung (2004) orang yang termotivasi
dalam bekerja akan selalu menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan standar yang benar dan
dalam skala waktu yang telah ditentukan. Bawahan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat
menunjukkan motivasi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kinerjanya yang selalu dapat
mengelola waktu secara efektif dan menyelesaikan pekerjaannya sesuai waktunya.
Indikator pengawasan tersebut menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan
tidak setuju terhadap pernyataan karyawan tidak membutuhkan banyak pengawasan dalam
melaksanakan tugas yang diberikan. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 11
(19 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 3 (5,2 %). Sedangkan yang menyatakan
setuju bahwa pada pernyataan karyawan tidak membutuhkan banyak pengawasan dalam
melaksanakan tugas yang diberikan. Orang yang termotivasi dalam bekerja tidak akan
membutuhkan terlalu banyak pengawasan karena kinerjanya sudah baik (Arep & Tanjung:
2004). Kinerja karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat sudah baik maka mereka
tidak memerlukan pengawasan dari atasan mereka.
Indikator juga menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju
terhadap pernyataan tidak mendapatkan kebebasan untuk menggunakan fasilitas kantor dalam
menyelesaikan tugas/tanggungjawab yang diberikan. Jumlah responden yang menyatakan
tidak setuju ada 34 (58,6 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 8 (13,8 %).
Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan tidak mendapatkan kebebasan
untuk menggunakan fasilitas kantor dalam menyelesaikan tugas/tanggungjawab yang
diberikan, ada 11 (19%) dan yang menyatakan sangat setuju ada 5 (8,6 %). Menurut hasil
wawancara dengan Budi, dia tidak setuju dengan pernyataan diatas karena dia selalu
mendapatkan kebebasan untuk mendapatkan fasilitas kantor dalam menyelesaikan tugas atau
tanggung jawabnya.
Sedangkan pada indikator lain menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan
tidak setuju terhadap pernyataan tidak mendapatkan kebebasan untuk berinovasi dan
berkreasi dalam melakukan pekerjaan. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada
23 (39,7 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 3 (5,2 %). Sedangkan yang
menyatakan setuju bahwa pada pernyataan tidak mendapatkan kebebasan untuk berinovasi
dan berkreasi dalam melakukan pekerjaan, ada 32 (55,2 %). Hal ini menunjukkan bahwa
karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat selalu mendapatkan kebebasan untuk
berinovasi dan berkreasi dalam melakukan pekerjaan guna untuk mengaktualisasikan diri
mereka sesuai dengan kebutuhan mereka untuk mengapresiasikan kebutuhan mereka (Arep &
Tanjung: 2004).
Adapula indikator yang menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju
terhadap pernyataan mendapatkan kebebasan untuk bekerjasama atau saling membantu
dengan rekan kerja dalam menjalankan tugas. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada
34 (58,6 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 6 (10,3 %). Sedangkan yang menyatakan
tidak setuju bahwa pada pernyataan mendapatkan kebebasan untuk bekerjasama atau saling
membantu dengan rekan kerja dalam menjalankan tugas, ada 16 (27,6 %) dan yang
menyatakan sangat tidak setuju ada 2 (3,4 %). Berdasarkan hasil wawancara dengan Ita dan
265

Indah yang berada dalam satu departemen mengatakan bahwa atasan memberikan kebebasan
untuk bekerjasama karena pekerjaan yang harus diselesaikan membutuhkan kerjasama tim.
4.4.

Komunikasi Bawahan pada Atasan dan Motivasi Kerja dalam Kategori

Distribusi frekuensi pada bagian sebelumnya masih merupakan penjelasan pada


masing masing bagian, belum tergambar komunikasi bawahan pada atasan dan motivasi
kerja secara keseluruhan. Untuk dapat mengetahui komunikasi bawahan pada atasan dan
motivasi kerja secara keseluruhan dilakukan tahap perhitungan dengan aturan sebagai berikut
:
a. Menjumlahkan seluruh skor indikator dari masing masing aspek komunikasi
bawahan pada atasan dan motivasi kerja dan membagi berdasarkan jumlah
indikatornya
b. Menetapkan jumlah kategori skor menjadi tiga yaitu tinggi, sedang dan rendah
c. Mengkategorikan mean skor berdasarkan aturan
Hasil penelitian menunjukkan komunikasi bawahan pada atasan termasuk pada kategori
sedang dengan jumlah responden sebanyak 55 orang atau 94,9 %. Kemudian yang termasuk
kategori rendah ada 2 orang atau 3,4 % dan yang termasuk melakukan komunikasi pada
kategori tinggi ada 1 orang atau 1,7 %. Dari data diatas maka peneliti dapat menyimpulkan
bahwa sebagian besar responden memberikan feedback sedang dalam melakukan komunikasi
ke atasan. Hal ini disebabkan masih jarangnya komunikasi upward yang dilakukan bawahan.
Ditemukan pula motivasi kerja termasuk pada kategori sedang dengan jumlah responden
sebanyak 52 orang atau 89,6 %. Kemudian yang termasuk kategori rendah ada 3 orang atau
5,2 % dan yang mempunyai motivasi kerja kategori tinggi ada 3 orang atau 5,2 %. Karyawan
memiliki motivasi kerja yang sedang. Mengingat komunikasi upward yang dilakukan
bawahan termasuk dalam kategori sedang sehingga motivasi kerja karyawan termasuk dalam
kategori sedang juga.
4.5.

Hubungan Komunikasi Bawahan pada Atasan dengan Motivasi Kerja

Baik aspek komunikasi bawahan pada atasan dan motivasi kerja selanjutnya
dihubungkan dengan identitas responden baik usia, jenis kelamin dan lama kerja. Untuk
menghubungkan variable tersebut dilakukan tabulasi silang seperti dijabarkan di bawah ini:

4.5.1. Hubungan Karakteristik Responden dengan Komunikasi Bawahan Pada Atasan


Hasil penelitian menunjukkan pada kategori komunikasi rendah sering dilakukan oleh
responden yang berusia 21-30 tahun, sedangkan komunikasi pada kategori sedang dilakukan
pada kelompok 31 - 40 tahun. Sedangkan yang melakukan komunikasi kategori tinggi pada
kategori usia 41 - 50 tahun. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut seseorang telah memiliki
pengetahuan yang cukup baik dalam menerima informasi sehingga keinginan untuk
merealisasikan pesan yang ditangkap dalam tindakan nyata begitu besar (Hurlock, 1996,
p.261). Mengapa tingkat komunikasi yang dilakukan menujukkan ke tingkat sedang, hal ini
dikarenakan memang komunikasi ke atas di pemerintah tidak berjalan dengan lancar
(Berdasarkan wawancara dengan pimpinan, Bp Bambang).
266

Hasil penelitian juga menunjukkan ada tidak ada perbedaan yang spesifik antara
responden laki laki dan perempuan dalam berkomunikasi dengan atasan. Namun responden
laki laki cenderung melakukan komunikasi pada kategori rendah dan tinggi, sedangkan
perempuan cenderung berkomunikasi pada kategori sedang. Sebagian besar responden
dengan jenis kelamin laki-laki melakukan komunikasi upward dalam kategori sedang. Dilihat
dari identitas responden hal ini karena jumlah pegawai pria lebih banyak dibandingkan
wanita, dan juga karena ketidak lancarnya arus komunikasi dari bawahan kepada atasan
sehingga arus komunikasi di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat berada pada tingkat
sedang (Berdasarkan hasil wawancara dengan pimpinan). Dari wawancara yang dilakukan
kepada seorang pegawai (tidak mau namanya disebutkan) diketahui bahwa atasannya selalu
cenderung cuek atau tidak memperhatikan apa yang dikomunikasikan-nya, sehingga dia
memilih untuk diam atau malas melakukan komunikasi dengan atasannya. Sehingga wajar
kalau komunikasi yang dilakukan dari bawahan kepada atasan berada pada tingkat sedang
Berdasarkan kategori lama kerja, responden yang bekerja selama 6 10 tahun
merupakan kelompok lama kerja yang mempunyai komunikasi kategori rendah (6,1 %),
sedangkan yang termasuk pada kelompok komunikasi kategori sedang dilakukan oleh semua
kelompok lama kerja. Dan yang memiliki kemampuan komunikasi kategori tinggi adalah
responden yang bekerja selama 6 10 tahun. Berdasarkan dari perhitungan di atas, hal ini
dikarenakan karyawan dengan lama kerja 1-5 tahun, mereka sudah mengetahui kebiasaan
atau bagaimana alur komunikasi di pemerintah. Dan mengapa berada pada tingkatan sedang
karena arus upward communication di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat tidak berjalan
lancar dan apa yang dikatakan pimpinan melalui wawancara itu benar, sehingga wajar jika
hasil olahan data diperoleh jawaban sedang.
Sedangkan hasil penelitian pada kategori motivasi kerja rendah dilakukan oleh
responden yang berusia lebih dari 21 30 tahun, sedangkan motivasi kerja pada kategori
sedang dimiliki pada kelompok usia > 31 tahun. Sedangkan yang mempunyai motivasi pada
kategori tinggi dilakukan pada kategori usia 21 30 tahun. Menurut Hurlock (1996)
seseorang pada usia 18 tahun keatas telah memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam
menerima informasi sehingga keinginan untuk merealisasikan pesan yang ditangkap dalam
tindakan nyata begitu besar. Melalui dari hasil jawaban pada kuesioner yang sudah diolah
diketahui bahwa ada pengaruh antara komunikasi ke atas terhadap motivasi kerja, sehingga
wajar saja jika tingkat motivasi kerja para karyawan diBiro Administrasi Kesejahteraan
Rakyat termasuk dalam ketegori sedang, karena tingkat upward communication juga sedang
Ditemukan pula tidak ada perbedaan yang spesifik antara responden laki laki dan
perempuan dalam motivasi kerja. Responden laki laki cenderung mempunyai motivasi pada
kategori rendah (14,7 % dibandingkan wanita yang sebesar 0 %) namun laki laki juga
mempunyai motivasi kerja yang tinggi dengan persentase 17,5 % dibandingkan wanita yang
senilai 0 %. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa tingkat motivasi kerja pegawai pria adalah
sedang, hal ini wajar saja karena tingkat komunikasi keatas juga berada ditingkat sedang,
karena komunikasi keatas mempengaruhi motivasi kerja. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Frantz yang mengaitkan pengaruh komunikasi terhadap teori hierarki kebutuhan Maslow,
yaitu bahwa komunikasi antar individu dalam suatu organisasi (bisa upward atau downward)
sangat berpengaruh pada motivasi akan kebutuhan rasa memiliki, penghargaan, dan aktivasi
diri. Bila dilihat lebih lanjut, semua hal diatas seperti aktivasi diri, penghargaan, kebijakan
267

organisasi, dan lain-lain, tentu saja dilakukan dengan komunikasi sehingga dalam hal ini bisa
dilihat pengaruh komunikasi dalam organisasi terhadap motivasi kerja karyawan (Pace, 2006,
p.114-116).
Berdasarkan kategori lama kerja, responden yang bekerja kurang dari 1 tahun
merupakan persentase yang paling banyak untuk motivasi kerja kategori rendah. Sedangkan
yang sudah bekerja selama 1 5 tahun, 11 15 tahun dan 16 20 tahun memiliki motivasi
kategori sedang (masing masing 100 % ) dan yang memiliki motivasi kategori tinggi adalah
responden yang bekerja selama 6 10 tahun. Karena kumunikasi keatas mempengaruhi
motivasi kerja maka hasil data yang diperoleh dapat dilihat bahwa tingkat motivasi kerja
karyawan berada pada tingkat sedang karena komunikasi ke atas juga berada pada tingkat
sedang.

4.6.

Pengaruh Komunikasi Bawahan pada Atasan Terhadap Motivasi Kerja

Pengujian pengaruh komunikasi bawahan pada atasan terhadap motivasi karaywan


dilakukan dengan uji regresi linier sederhana. Analisis regresi linier sederhana ini dipilih
karena jumlah variable bebas hanya satu yaitu komunikasi bawahan pada atasan dan 1
variabel tergantung yaitu motivasi kerja dan data berskala interval.
4.6.1. Koefisien Regresi
Persamaan regresi adalah sebagai berikut :
Y = 1,290 + 0,574 X
Dari fungsi regresi tersebut diatas, maka diketahui bahwa :
1.
Koefisien regresi bertanda positif menunjukkan perubahan yang searah yaitu jika
variabel komunikasi bawahan pada atasan (X) meningkat maka motivasi kerja akan
meningkat, dan sebaliknya apabila komunikasi bawahan pada atasan menurun maka motivasi
kerja juga akan menurun dengan koefisien regresi sebesar 0,574 dengan asumsi variabel lain
konstan
2.

Jika seluruh variabel konstan maka motivasi kerja akan bernilai sebesar 1,290

4.6.2. Koefisien Determinasi dan Korelasi


Berikut adalah hasil perhitungan dari koefisien determinasi dan korelasi:
Koefisien korelasi berganda (R) hasil perhitungan diperoleh nilai 0,540 yang
menunjukkan adanya hubungan yang cukup kuat antara variabel komunikasi bawahan pada
atasan dengan motivasi kerja. Korelasi cukup kuat ini menurut pendapat Sugiono (1998)
yang menyatakan nilai korelasi antara 0,4 sampai dengan 0,6 termasuk dalam kategori cukup
kuat.
Koefisen determinasi berganda (R2) atau R squared = 0,291, berarti secara bersamasama 29,1 % perubahan variabel motivasi kerja konsumen disebabkan oleh variable
268

komunikasi bawahan pada atasan. Sedangkan sisanya yaitu 70,9 % disebabkan oleh variabel
lain yang tidak diteliti.

5. PENUTUP
5.1.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :


a.
Dari hasil analisis korelasi diketahui bahwa ada hubungan yang positif antara
komunikasi dari bawahan ke atasan (upward communication) terhadap motivasi kerja
bawahan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Propinsi Bali
b.
Dari penelitian ini bisa dilihat bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel
komunikasi antara atasan dan bawahan terhadap variabel motivasi kerja bawahan di Biro
Administrasi Kesejahteraan Rakyat, hal ini dapat dilihat dari karena tingkat komunikasi ke
atasan cenderung sedang maka tingkat motivasi kerja karyawan di Biro Administrasi
Kesejahteraan Rakyat juga masuk dalam kategori sedang.Seperti karena atasan yang tidak
pernah menghargai ide-ide yang diberikan karyawan maka karyawan merasa malas
mengeluarkan pendapat atau idenya (Berdasartkan dari hasil wawancara dengan salah satu
pegawai )
5.2.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis deskriptif data, peneliti perlu memberikan
beberapa masukan sebagai bahan perbaikan dalam meningkatkan komunikasi dari bawahan
kepada atasan (upward communication) untuk lebih meningkatkan motivasi kerja bawahan.
Adapun beberapa masukan atau saran dari peneliti yaitu:
1.
Atasan harus memberikan informasi yang jelas dan mendetail kepada bawahan untuk
melaksanakan suatu pekerjaan dengan baik, seperti: aktivitas perusahaan; kebijakan, tujuan,
sasaran, perencanaan, dan arah perusahaan; serta isu negatif, sensitif dan kontroversial.
Contohnya seperti : saat atasan memberikan tugas kepada bawahan atasan harus memberikan
informassi yang jelas tentang apa tugas tersebut, bagaimana menjalankannya, kapan
dijalankannya, kapan tugas tersebut diserahkan kembali, dll.
2.
Menciptakan komunikasi tatap muka secara intensif melalui pertemuan tatap muka
secara berkala baik interpersonal maupun kelompok terhadap apa yang bawahan kerjakan,
karena bawahan terkadang tidak paham instruksi dan tidak berani untuk bertanya. Pelihara
hubungan interpersonal yang baik dengan para bawahan.
3.
Menciptakan jalur komunikasi dua arah secara lisan seperti memberikan kesempatan
kepada karyawan untuk mengeluarkan ide-idenya dengan cara mendorong kaeryawan atau
meminta pendapat karyawan secara langsung, mengajukan pertanyaan, mengeluarkan
pendapatnya, dll. Sehingga komunikasi yang terjadi tidak hanya berasal dari satu arah saja
(dari atasan saja) tetapi bawahan mempunyai kesempatan juga untuk melakukan komunikasi
sehingga tercipta komunikasi dua arah.

269

4.
Atasan harus melibatkan seluruh bawahan dalam mengambil keputusan ataupun suatu
kebijakan baru.
Dari masukan-masukan yang telah peneliti ajukan diatas, diharapkan dapat membantu
perusahaan dalam meningkatkan motivasi kerja bawahan yang meliputi disiplin, inisiatif,
loyalitas, kinerja dan pengawasan.

DAFTAR REFERENSI

Arep, Ishak & Hendri Tanjung. (2003). Manajemen motivasi. Jakarta: Grasindo.
Bungin, Burhan. (2001). Metodologi penelitian sosial. Surabaya: Airlangga University Press.
Deddy Mulyana. (2001). Komunikasi Organisasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Terjemahan.
Effendy, Onong Uchjana. (2001). Ilmu komunikasi, teori dan praktek. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Goldhaber, Geral M. (1986). Organizational Communication. Iowa Wm. Brown Publisher.
Katz, Daniel., dan Kahn, Robert L. (1978). The Social Psychology of Organization. New
York : John Willey & Sons.
Kriyantono, Rachmat. (2006). Teknik Praktis; Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada
Group
Lewis, Philip V. (1987). Organizational Communication : The Essence of Effective
Management. New York : John Willey & Sons.
Liliweri, Alo. (2004). Wacana komunikasi organisasi. Bandung: PT. Mandar Maju.
Muhammad, Arni. (2004). Komunikasi organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Mukhlis. (24 Agustus 2007), Personal Interview
Nawawi, H. Hadari. (2003). Kepemimpinan mengefektifkan organisasi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Onong Uchjana Effendy. (2001). Ilmu Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Pace, R. Wayne & Faules, Don. F. (2006). Komunikasi organisasi: strategi meningkatkan
kinerja perusahaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Panuju, Redi. (2001). Komunikasi organisasi dari konseptual teoritis ke empirik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Reeding, W. Charles. (1972). Communication Within the Organization. New York: Industrial
Communication Council, Inc.
Santoso, Singgih. (2002). Buku latihan SPSS statistik parametrik. Jakarta:
Media Komputindo (Kelompok Gramedia).
270

PT. Elex

Simamora, Bilson. (2002). Panduan riset perilaku konsumen. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

PT.

Singarimbun, Masri & Sofian Effendi. (1995). Metode penelitian survei: edisi revisi. Jakarta:
Erlangga.
Umar, Husein. (2002). Metode riset komunikasi organisasi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

271

PT.

272

PELATIHAN JUMP SHOOT DENGAN AWALAN PASSING


DAN AWALAN DRIBLE 10 REPETISI 5 SET TERHADAP
KETEPATAN JUMP SHOOT DARI JARAK 4,6 METER
DI DEPAN RING

IDA AYU KADE ARISANTHI DEWI

ABSTRAK: Bola basket merupakan cabang olahraga permainan yang digemari


masyarakat. Shooting merupakan teknik yang sangat penting dalam permainan
bola basket. Di SMA Tunas Daud khususnya, pengajaran shooting sudah sering
dilakukan guna meningkatkan ketepatan jump shoot namun selama ini prestasi tim
basket putra SMA Tunas Daud belum maksimal. Hal ini disebabkan karena
kurangnya kemampuan siswa dalam melakukan jump shoot, sehingga perlu
dilakukan pelatihan khusus guna meningkatkan ketepatan jump shoot siswa agar
lebih baik. Dari sekian banyak pola latihan tidak semua memberikan pengaruh
yang positif terhadap peningkatan kemampuan jump shoot dari pemain tersebut
karena masing-masing pemain memiliki karakter dan kemampuan fisik yang
berbeda. Maka dari itu dilakukan penelitian dengan judul Pelatihan Jump Shoot
Dengan Awalan Passing Dan Awalan Drible 10 Repetisi 5 Set Terhadap
Ketepatan Jump Shoot Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring Siswa Putra Peserta
Ekstrakurikuler Bola Basket Sma Tunas Daud Tahun Pelajaran 2012/2013.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah Ada Pengaruh Dan
Perbedaan Pengaruh Pelatihan Jump Shoot Dengan Awalan Passing Dan Awalan
Drible 10 Repetisi 5 Set Terhadap Ketepatan Jump Shoot Dari Jarak 4,6 Meter Di
Depan Ring Siswa Putra Peserta Ekstrakurikuler Bola Basket SMA Tunas Daud
Tahun Pelajaran 2012/2013?. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh dan perbedaan pengaruh pelatihan jump shoot dengan awalan passing
dan awalan drible 10 repetisi 5 set terhadap ketepatan jump shoot dari jarak 4,6
meter di depan ring siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas
Daud tahun pelajaran 2012/2013. Hasil penelitian ini nantinya agar dapat
dijadikan pedoman untuk meningkatkan ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter
di depan ring.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa putra peserta kegiatan
ekstrakurikuler bola basket di SMA Tunas Daud tahun ajaran 2012/2013 yang
berjumlah 40 orang. Seluruh populasi dijadikan sample dengan teknik populasi
studi. Penelitian ini dilaksanakan di lapangan basket SMA Tunas Daud selama 6
minggu. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode tes, pengukuran dan pencatatan. Untuk mengukur ketepatan jump shoot
siswa diberikan tes perbuatan melakukan jump shoot dari jarak 4,6 meter didepan
273

ring tanpa awalan, dengan satuan ukur adalah nilai banyaknya bola yang masuk
ke ring. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode analisis statistik dengan
teknik t-tes yang formulasinya adalah sebagai berikut:
t=

X1 - X 2
SD 2
N (N - 1)

Berdasarkan analisa data, diperoleh hasil pada ekperimen pertama, ttesnya = 3,008, sedangkan t-tabelnya = 2,093, dengan tarf signifikansi 5% dan db
= 19. Ekperimen kedua, t-tesnya = 2,405, sedangkan t-tabelnya = 2,093, dengan
tarf signifikansi 5% dan db = 19. Perbedaan eksperimen pertama dan kedua, ttesnya = 0,987, sedangkan t-tabelnya = 2,021, dengan taraf signifikansi 5% db =
38.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada eksperimen pertama
dan eksperimen kedua ada pengaruh yang signifikan, sehingga hipotesis nolnya
ditolak dan hipotesis alternatifnya diterima. Sedangkan perbedaan pengaruh
eksperimen pertama dan eksperimen kedua, hipotesis nolnya diterima dan
hipotesis alternatifnya ditolak. Hal ini berarti tidak ada perbedaan pengaruh antara
eksperimen pertama dan eksperimen kedua terhadap ketepatan jump shoot dari
jarak 4,6 meter di depan ring siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA
Tunas Daud tahun pelajaran 2012/2013. Karena tidak ada pengaruh dari hasil
yang diperoleh maka dalam peningkatan ketepatan jump shoot agar
memberi pelatihan pelatihan jump shoot dengan awalan passing atau awalan
drible 10 repetisi 5 set dari jarak 4,6 meter di depan ring.
Kata kunci: Jump Shoot Dengan Awalan Passing Atau Awalan Drible 10
Repetisi 5 Set Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring, Ketepatan Jump
Shoot.

Bola basket berasal dari Amerika Serikat. Permainan ini diciptakan oleh
James A Naismith pada tahun 1891. Ternyata, permainan bola basket berkembang
pesat ke seluruh dunia. Pada tahun 1924, bola basket pertama kali
didemontrasikan pada Olimpiade di Paris. Pada tanggal 21 Juni 1932 atas prakarsa
Dr. Elmer Beny, direktur sekolah olahraga di Jenewa, diadakan konferensi bola
basket. Dalam konferensi tersebut terbentuklah federasi bola basket internasional

274

yang diberi nama Federation Internationale De Basket Ball Amateur (FIBA).


Pada tahun 1936 untuk pertama kalinya bola basket dipertandingkan di Olimpiade
di Jerman, yang dikuti oleh 21 negara. Bola basket masuk ke Indonesia setelah
perang dunia ke-2, yang dibawa oleh para prantau Cina. Pada PON I di Solo, bola
basket termasuk cabang yang dipertandingkan. Pada tahun 1953, PERBASI
diterima menjadi anggota FIBA. Pada tahun 1955 kepanjangan PERBASI dirubah
menjadi Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia.
Bola basket sebagai olahraga prestasi memerlukan aspek-aspek
penunjang. Aspek-aspek tersebut menurut (Harsono, 1988: 100) yaitu
Aspek fisik, teknik, taktik, dan mental. Aspek kondisi fisik memegang
peranan penting dalam pencapaian prestasi maksimal. Unsur-unsur kondisi
fisik antara lain: daya tahan, kekuatan, kecepatan, kelentukan. Adapula
unsur kondisi fisik yang merupakan gabungan dari unsur-unsur kondisi fisik
diatas, antara lain: kekuatan yang cepat (gabungan kekuatan dan kecepatan)
yang sering disebut power, daya tahan kekuatan (gabungan kekuatan dan
daya tahan) dan stamina (gabungan daya tahan dan kecepatan).
Atlit yang memiliki lompatan yang tinggi akan lebih mudah
melakukan teknik-teknik yang disebutkan diatas. Tinggi lompatan sangat
menentukan kualitas permainan seorang pemain. Semakin tinggi lompatan
seorang pemain maka dapat dikatakan bahwa ia baik dalam bermain,
meskipun masih terdapat kemampuan (skill) dasar bola basket yang harus ia
kuasai misalnya shoot, dribble, lay up, defense, offense dan lain sebagainya.
Beberapa kemampuan (skill) dasar tersebut di atas tentunya memerlukan
lompatan yang tinggi. Dalam shooting, kekuatan lompatan bisa juga
275

menghasilkan shoot yang akurat pula. Dalam melakukan lay up maka akan
semakin mudah jika lompatan kita tinggi. Dalam defense, kemampuan
lompatan yang tinggi akan memudahkan pemaian dalam mematahkan
shooting lawan.
Dewasa ini banyak pola pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan
akurasi tembakan saat melompat atau jump shoot seorang pemain bola
basket baik yang mempergunakan alat bantuan maupun tanpa alat bantuan.
Dari sekian banyak pola latihan tidak semua memberikan pengaruh yang
positif terhadap peningkatan kemampuan jump shoot dari pemain tersebut
karena masing-masing pemain memiliki karakter dan kemampuan fisik yang
berbeda. Ketepatan jump shoot seorang pemain dipengaruhi juga oleh teknik
dasar shooting yang dimiliki pemain tersebut.
Berdasarkan observasi penulis di lapangan bahwa, SMA Tunas Daud
memiliki tim basket putra yang baik dan kompak. Namun ketepatan jump
shoot dalam bermain bola basket dari masing-masing pemain sangat rendah.
Hal ini menyebabkan dalam pertandingan tim putra SMA Tunas Daud
selalu kesulitan dalam mencetak angka terutama saat melakukan jump shoot.
Sehingga tidak jarang tim bola basket putra SMA Tunas Daud kalah dalam
pertandingan karena faktor ketepatan jump shoot yang kurang maksimal.
Salah satu alasan para pemain basket SMA Tunas Daud putra kurang
maksimal dalam melakukan jump shoot karena kurangnya pelatihan yang
bertujuan untuk meningkatkan ketepatan jump shoot para pemain. Beberapa
pelatih beranggapan bahwa jump shoot merupakan hal yang tidak terlalu
penting dalam bermain bola basket. Menurut pandangan mereka stamina
276

yang baik adalah faktor terpenting dalam suatu pertandingan bola basket.
Stamina yang baik sangat membantu dalam melakukan segala gerakan
dalam permainan bola basket namun ketepatan jump shoot juga memberikan
peranan yang tak kalah penting dalam menentukan menang kalahnya suatu
tim dalam pertandingan bola basket.
METODE
Metode adalah langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam
pengumpulan data atau informasi guna memecahkan permasalahan dan menguji
hipotesis penelitian.
Jenis Penelitian
Suatu penelitian dilakukan jelas berdasarkan suatu masalah yang sangat
signifikan terasa ingin dipecahkan oleh peneliti pada waktu mengadakan
penelitian dapat menggunakan beberapa jenis penelitian dan rancangannya.
Berdasarkan cara pendekatan yang akan digunakan, jenis penelitian yang dipakai
serta strategi yang dianggap paling efektif akan menentukan suatu rancangan
penelitian yang paling akhir serta menentukan kategori penelitian yang akan
dilakukan. Sehubungan dengan penelitian ini, maka jenis penelitian yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Karena
penelitian ini menggunakan dua kelompok eksperimen dengan dua kondisi
perlakuan yang berbeda.
POPULASI PENELITIAN
Populasi adalah sekelompok individu yang memiliki satu atau lebih
karakteristik umum yang menjadi pusat penelitian dan keseluruhan individu yang

277

menjadi subjek penelitian. Populasi adalah totalitas semua nilai-nilai yang


mungkin hasil menghitung ataupun pengukuran kuantitatif maupun kualitatif
daripada karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap dan
jelas. Maka dalam penelitian ini yang termasuk populasi adalah seluruh siswa
putra peserta kegiatan ekstrakurikuler bola basket di SMA Tunas Daud tahun
ajaran 2012/2013. Dalam penelitian ini karena jumlah populasi berjumlah 40
orang, maka seluruh populasi dipakai sebagai subjek penelitian. Teknik yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah populasi studi. Setelah ditetapkan
jumlah sampel sebanyak 40 orang, selanjutnya sampel tersebut dibagi menjadi dua
kelompok. Pembagian ini mempergunakan teknik random sampling dengan cara
undian.
ANALISIS DATA
Analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik.
Metode analisis statistik adalah suatu analisis yang menggunakan rumus-rumus
matematika (Sutrisno, 1990: 82). Alasan digunakan analisis statistik karena data
yang diperoleh bersifat kuantitatif atau berbentuk angka. Rumus yang dipakai
adalah rumus t-tes dengan bentuk sebagai berikut:

X1 - X 2
SD
N(N - 1)

Keterangan :
X1

= Rata-Rata Hasil Tes Setelah Pelatihan (Tes Akhir)

X2

= Rata-Rata Hasil Tes Sebelum Pelatihan (Tes Awal)

278

= Sigma Atau Jumlah

SD

= Simpangan Baku (Standar Deviasi)

= Jumlah Sampel

= Bilangan Konstan (Hadi, 1990: 228)


Taraf signifikansi yang digunakan untuk menguji hipotesis di atas

adalah dengan taraf signifikansi 5% dengan derajat kebebasan (N-1).


Apabila ternyata nilai t-tes yang didapat dalam penelitian ini lebih besar
atau sama dengan nilai t-tes pada tabel, maka hipotesis nol yang diajukan
ditolak. Demikian sebaliknya, apabila nilai t-tes yang didapat dalam
penelitian ini lebih kecil dengan nilai t-tes pada tabel, maka hipotesis nol
yang diajukan diterima.
HASIL PENELITIAN
Setelah penelitian dilakukan, maka diperoleh data-data sebagai hasil
penelitian dan disajukan dengan langkah-langkah seperti penyajian data,
persiapan perhitungan, perhitungan statistik / analisis data, dan rekapitulasi
hasil analisis statistik.
Penyajian Data
Berikut ini disajikan data hasil tes awal dan tes sesuai dengan judul
penelitian, yakni melakukan Jump Shoot Dengan Awalan Passing dan Dengan
Awalan Drible 10 Repetisi 5 Set Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring siswa putra
peserta kegiatan ekstrakurikuler bola basket di SMA Tunas Daud tahun ajaran
2012/2013. Data kedua kelompok tersebut adalah data tes awal dan tes akhir yang
diperoleh melalui tes dan pengukran. Tes awal diberikan sehari sebelum pelatihan

279

dan tes akhir diberikan sehari setelah pelatihan selesai dilakukan. Data tes kedua
kelompok dapat dilihat pada tabel berikut dibawah ini:
Data Tes Awal Dan Tes Akhir Ketepatan Jump Shoot Dengan Awalan
Passing Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring Siswa Putra Peserta
Ekstrakurikuler Bola Basket SMA Tunas Daud Tahun Pelajaran 2012/2013
(Kelompok Eksperimen I)
No.

Nama Siswa

(1)

(2)

Tes Akhir
(Nilai)
(3)

Tes Awal
(Nilai)
(4)

Beda
(Nilai)
(5)

Lewis Cornellius

Aryo

Victor Wu

Kiki

Kevin Utomo

Kevin Andrea

Ricky Kartika

Bobby Kevin Sidharama

Christian

-1

10

Jyotis Putra

11

Andre

12

Henokh

13

Stefan Munthe

14

Krisnu Wangsa

15

Gunadi Taslim

16

Radit

17

Alex

-2

18

Kevin Cassius Candra

19

Ricko Neys

20

Dony Andreanto

Jumlah

74

54

20

Rata-rata

3,7

2,7

280

Data Tes Awal Dan Tes Akhir Ketepatan Jump Shoot Dengan Awalan
Drible Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring Siswa Putra Peserta
Ekstrakurikuler Bola Basket SMA Tunas Daud Tahun Pelajaran 2012/2013
(Kelompok Eksperimen II)
No.

Nama Siswa

(1)

(2)

Tes Akhir
(Nilai)
(3)

Tes Awal
(Nilai)
(4)

Beda
(Nilai)
(5)

Alvia Bhisaksana Putra

Peter

Renaldi

Jeriel

Brandan

Ivan Setio

Jordan Dylan

Jojo

-1

Leonard S.W

10

Alvin Lee

11

Oliver

12

Rama

13

Billy

-1

14

Devlon

15

Haryadi

-2

16

Michael

17

Jody

18

Andrew Lee

19

Warren

20

Robby Gunawan

Jumlah

75

46

29

3,75

2,3

1,45

Rata-rata

281

PERHITUNGAN STATISTIK ATAU ANALISIS DATA


Tabel Kerja Kelompok Eksperimen Pertama
Untuk mencari t-tes tentang pengaruh pelatihan jump shoot dengan awalan
passing 10 repetisi 5 set terhadap ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter
di depan ring siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas Daud
tahun pelajaran 2012/2013, maka disusunlah tabel kerja seperti berikut ini :
No

X1

X2

SD

SD2

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

-1

-1

-2

10

-1

11

-1

12

13

-1

14

-1

15

16

17

-2

-3

18

19

20

-1

282

74

54

20

42

3,7

2,7

2,1

Keterangan:
X1

= Hasil Tes Akhir

X2

= Hasil Tes Awal

= Defference (Perbedaan)

SD

= Simpangan Baku Dengan Rumus: D MD

SD2

= Hasil Kuadrat Dari Simpangan Baku

= Sigma Atau Jumlah


= Rata-Rata

Memasukkan Data ke Dalam Rumus


Sebelum menghitung nilai t, maka terlebih dahulu dihitung komponenkomponen berikut ini:

MD

=
=1
SD2 = 42
Setelah mendapatkan komponen-komponen tersebut diatas, maka dapatlah
dicari nilai t sebagai berikut:

t=

X X
SD
N(N 1)

283

3,7 2,7

42
20(20 1)
1

42
20.19
1

42
380
1

0,110526315
1
0,332454981

= 3,007926057
= 3,008
Tabel Kerja Kelompok Eksperimen Kedua
Untuk mencari t-tes tentang pengaruh pelatihan jump shoot dengan
awalan drible 10 repetisi 5 set terhadap ketepatan jump shoot dari jarak 4,6
meter di depan ring siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas
Daud tahun pelajaran 2012/2013, maka disusunlah tabel kerja seperti berikut
ini:
No

X1

X2

SD

SD2

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

1,75

3,00625

-0,25

0,0625

284

-0,25

0,0625

0,75

0,5625

-0,25

0,0625

1,75

3,00625

-1,25

1,5625

-1

-2,25

5,0625

-0,25

0,0625

10

-0,25

0,0625

11

0,75

0,5625

12

1,75

3,00625

13

-1

-2,25

5,0625

14

-0,25

0,0625

15

-2

-3,25

10,5625

16

1,75

3,00625

17

1,75

3,00625

18

0,75

0,5625

19

0,75

0,5625

20

2,75

7,5625

75

46

29

47,46875

3,75

2,3

1,45

0,2

2,3734375

Keterangan:
X1

= Hasil Tes Akhir

X2

= Hasil Tes Awal

= Defference (Perbedaan)

SD

= Simpangan Baku Dengan Rumus: D MD

SD2

= Hasil Kuadrat Dari Simpangan Baku

= Sigma Atau Jumlah


= Rata-Rata

285

Sebelum menghitung nilai t, maka terlebih dahulu dihitung komponen-komponen


berikut ini:

MD

=
= 1,25
SD2 = 47,46875
Setelah mendapatkan komponen-komponen tersebut diatas, maka dapatlah
dicari nilai t sebagai berikut:
X X

t=

=
=

SD
N(N 1)
2,3 1,45
47,46875
20(20 1)
0,85
47,46875
20.19
0,85
47,46875
380
0,85

0,124917763
0,85
0,35343707

= 2,404954296
= ,

286

Tabel Kerja Perbedaan Pengaruh Pelatihan Jump Shoot Dengan Awalan


Passing Dan Awalan Drible 10 Repetisi 5 Set Terhadap Ketepatan Jump
Shoot Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring Siswa Putra Peserta
Ekstrakurikuler Bola Basket SMA Tunas Daud Tahun Pelajaran
2012/2013
No

X1

X2

SD

SD2

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

-1

-1,45

2,1025

-1

-1,45

2,1025

-0,45

0,2025

-0,45

0,2025

-0,45

0,2025

2,55

6,5025

-1

-1,45

2,1025

-1

-2

-2,45

6,0025

-1

1,55

2,4025

10

0,55

0,3025

11

1,55

2,4025

12

0,55

0,3025

13

-1

-1

-1,45

2,1025

14

0,55

0,3025

15

-2

-3

-3,45

11,9025

16

0,55

0,3025

17

-2

4,55

20,7025

18

-0,45

0,2025

19

-2

-2,45

6,0025

20

3,55

12,6025

29

20

78,95

1,45

0,45

3,9475

Keterangan:
X1

= Beda Hasil Tes Akhir Dan Tes Awal Kelompok II

X2

= Beda Hasil Tes Akhir Dan Tes Awal Kelompok I

287

= Defference (Perbedaan)

SD

= Simpangan Baku Dengan Rumus : D MD

SD2

= Hasil Kuadrat Dari Simpangan Baku

= Sigma Atau Jumlah


= Rata-Rata

Memasukkan Data ke Dalam Rumus


Sebelum menghitung nilai t, maka terlebih dahulu dihitung komponenkomponen berikut ini:

MD

=
= 0,45
SD2 = 78,95
Setelah mendapatkan nilai-nilai tersebut diatas, maka dapatlah dicari nilai t
sebagai berikut:

t=

X X
SD
N(N 1)
1,45 1
78,95
20(20 1)
0,45
78,95
20.19
0,45
78,95
380
0,45
0,207763157

288

0,45
0,455810439

= 0,98725251
= ,
Rekapitulasi Perhitungan Hasil Analisis Statistik Kedua Kelompok dan
Perbedaan Antara Kelompok Eksperimen I dan II
Kelompok

Db
(N-1)

Eksperimen I

19

t-tabel taraf
signifikansi
5%
2,093

t-test

Keterangan

Eksperimen II

19

2,093

2,405

Dtolak

Diterima

Beda I dan II

38

2,021

0,987

Diterima

Ditolak

3,008

H0
Ditolak

Ha
Diterima

Keterangan :
Kelompok Eksperimen I

= Nilai t-test > dari nilai t-tabel maka ada


pengaruh yang signifikan, sehingga H0
ditolak dan Ha diterima.

Kelompok Eksperimen II

= Nilai t-test > dari nilai t-tabel maka ada


pengaruh yang signifikan, sehingga H0
ditolak dan Ha diterima.

Beda Kelompok Eksperimen I dan Eksperimen II


= Nilai t-test < dari nilai t-tabel maka tidak
ada pengaruh yang signifikan, sehingga
H0 diterima dan Ha ditolak.
Kesimpulan
1. Ada pengaruh yang signifikan pelatihan jump shoot dengan awalan passing
10 repetisi 5 set terhadap ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter di depan
ring siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas Daud tahun

289

pelajaran 2012/2013. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil pengolahan data
secara statistik diperoleh t-hitung sebesar 3,008. Angka ini lebih besar dari
angka batas penolakan hipotesis nol dalam tabel nilai t sebesar 2,093 dengan taraf
signifikansi 5%, Db = 19.
2. Ada pengaruh yang signifikan pelatihan jump shoot dengan awalan drible
10 repetisi 5 set terhadap ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter di depan
ring siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas Daud tahun
pelajaran 2012/2013. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil pengolahan data
secara statistik diperoleh t-hitung sebesar 2,405. Angka ini lebih besar dari
angka batas penolakan hipotesis nol dalam tabel nilai t sebesar 2,093 dengan taraf
signifikansi 5%, Db = 19.
3. Tidak ada perbedaan pengaruh yang signifikan pelatihan jump shoot dengan
awalan passing dan awalan drible 10 repetisi 5 set terhadap ketepatan jump
shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring siswa putra peserta ekstrakurikuler
bola basket SMA Tunas Daud tahun pelajaran 2012/2013. Hal ini dapat
dibuktikan dari hasil pengolahan data secara statistik diperoleh t-hitung
sebesar 0,987. Angka ini lebih kecil dari angka batas penolakan hipotesis nol
dalam tabel nilai t sebesar 2,021 dengan taraf signifikansi 5%, Db = 38.
Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan diatas dapat disampaikan saran-saran sebagai
berkut:
1. Disarankan kepada guru, pembina dan pelatih olahraga dalam meningkatkan
ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring agar memberikan
290

pelatihan jump shoot dengan awalan passing atau awalan drible 10 repetisi
5 set. Karena bentuk pelatihan ini sama-sama memberikan hasil yang baik
dalam peningkatan ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring
siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas Daud tahun pelajaran
2012/2013.
2.

Disarankan kepada guru, pembina dan pelatih olahraga agar dalam

memberikan pelatihan untuk cabang olahraga apapun agar selalu berpedoman


pada komponen-komponen dan prinsip-prinsip pelatihan dan sesuai dengan
program pelatihan yang telah disusun agar tidak terjadi over training dalam
pelatihan dan hasil latihan yang diperoleh menjadi maksimal sehingga prestasi
dapat ditingkatkan.
3. Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di bidang
olahraga semakin pesat, maka disarankan agar guru, pembina dan pelatih olahraga
selalu mengikuti perkembangan informasi, baik dalam wujud meningkatkan
pendidikan formal, penataran-penataran maupun seminar-seminar sebagai bentuk
peningkatan kemampuan di bidang olahraga sehingga dapat menambah ilmu
pengetahuan di bidang olahraga dan menambah wawasan secara umum.
4. Disarankan bagi peneliti lain agar mengadakan penelitian yang lebih mendalam
mengenai ketepatan jump shoot dengan mencoba, mengatur, memainkan variabel,
repetisi dan set yang berbeda dari penelitian ini.

291

DAFTAR RUJUKAN
Adnyana, Manuaba. 1997. Pendekatan Ilmiah Dalam Olah Raga. Denpasar:
Yayasan Ilmu Faal Widya Laksana.
Dantes, Nyoman. 1983. Variasi 6 Pos Penelitian dan Perumusan Hipotesis.
Singaraja: FKIP UNUD.
Kosasih, Engkos. 1993. Olagraga Tehnik dan Program pelatihan Akademika.
Jakarta: Pressindo.
Hadi, Sutrisno. 1990. Metodelogi Risearch. Yogyakarta: Andi Offset.
Karna. 1986. Otot dan Gerakan Dalam Olah Raga. Denpasar: Yayasan Ilmu Faal
Widya Laksana.
Nala. 1986. Kesegaran Jasmani. Denpasar: Yayasan Ilmu Faal Widya Laksana.
Poerwadarminta. 1990. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sajoto. 1986. Peningkatan dan Pembinaan Kekuatan Fisik Dalam Olahraga.
Jakarta: KONI Pusat
Soekarman. 1987. Dasar Olahraga Untuk Pembina dan Atlet. Jakarta: PT. Inti
Idayu Prees.
Soepeno. 1997. Statistik Terapan. Jakarta: Renika Cipta.
Sumosarjono, Sadoso. 1986. Pengetahuan Praktis dalam Olah Raga. Jakarta: PT.
Gramedia.
Bompa. 2003. Pedoman dan Prinsif-prinsif Pelatihan. Jakarta: PASI.

292

Hasnan, Said. 2003. Manusia Energik dan Produktif. Jakarta: Dirjen Olahraga
dan Pemuda Depdikbud

293

You might also like