You are on page 1of 15

REFERAT

SINDROM GUILLAIN BARRE ( SGB )

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Sebagai Dokter Muda Stase Saraf


di RSUD Tugurejo Semarang

Disusun Oleh :
Sandhy Hapsari Andamari
H2A010046

Dosen pembimbing :
dr. Noorjanah Pujiastuti, Sp.S

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2014
0

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........................................................................
PENDAHULUAN ............................................................................ 1
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi ........................................................................... 4
B. Etiologi ........................................................................... 4
C. Patofisiologi..................................................................... 5
D. Klasifikasi......................................................................... 6
E. Gejala Klinis .................................................................... 7
F. Diagnosis Banding ........................................................... 10
G. Pemeriksaan Penunjang ................................................... 11
H. Penatalaksanaan .............................................................. 11
I. Prognosis ........................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 14

BAB I
PENDAHULUAN
I.

Latar Belakang

Sindrom Guillan Barre ( SGB ) merupakan

penyebab

kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda.


SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena
terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat
menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai
prognosa yang baik.1
Pada sindrom ini ditandai adanya paralisis yang terjadi secara
akut berhubungan dengan proses autoimun yang memiliki target
saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Sering dijumpai adanya
kelemahan yang cepat atau bisa terjadi paralisis dari tungkai atas,
tungkai bawah, otot otot pernafasan dan wajah. Sindrom ini dapat
terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter dan juga dikenal
sebagai Landrys Paralisis ascending.1
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim,
menyerang semua umur. Insidensi SGB bervariasi antara 0,6 sampai
1,9 kasus per 100.000 orang pertahun. SGB sering sekali
berhubungan dengan infeksi non akut spesifik. Insidensi kasus SGB
yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi
saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Kelainan ini
juga dapat menyebabkan kematian, pada 3% pasien, yang
disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Gejala yang terjadinya
biasanya hilang 3 minggu setelah 3 tahun. 3% pasien dengan SGB
dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah
inset pertama. Bila terjadi kekambuhan atau tidak ada perbaikan
pada akhir minggu keempat maka termasuk Chronic Inflammatory
Demyelinating Polyradiculoneuropathy ( CIDP ).2
Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia.
Insidens Sindrom ini termasuk jarang kira-kira 1 orang dalam
100.000. SGB jarang terjadi pada anak-anak, khususnya selama 2
tahun pertama kehidupan dan setelah umur tersebut frekuensinya
2

cenderung meningkat. Frekuensi puncak pada usia 15-35 tahun dan


antara usia 50 74 tahun. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa
insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III ( dibawah
usia 35 tahun ) dengan penderita laki laki dan wanita hampir sama.
SGB tampil sebagai salah satu penyebab kelumpuhan yang utama di
negara maju atau berkembang seperti Indonesia.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

Definisi
Suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang
sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut.
Terdapat keterlibatan motorik yang lebih dominan, seringkali
melibatkan otot pernapasan, juga kebutuhan untuk tatalaksanakan
kedaruratan.1

B.

Etiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada SGB disebabkan
karena hilangnya mielin atau pembungkus saraf

(demielinisasi).

Demielinisasi ini menyebabkan melambatnya hantaran impuls oleh


saraf atau bahkan berhenti sams sekali. SGB menyebabkan inflamasi
dan destruksi dari mielin dan menyerang beberapa saraf.
Penyebab destruksi dan inflamasi pada SGB belom diketahui
secara pasti. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan
oleh penyakit autoimun. Dari sebagian kasus SGB, biasnya
didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh4 :

Infeksi
Virus

Definite
Citomegalovirus (CMV), virus Epstein-Barr
(EBV), Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Bakteri

Mycoplasma pneumoniae, Campylobacter jejuni

Vaksin

Influenza

Pembedahan

C.

Patologi
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf
yang terjadi pada sindrom ini adalah melalui mekanisme imunologi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler


(cell mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf
tepi.
2.
auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
NerveAdanya
axon
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari
peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan
proses demielinisasi saraf tepi
ii.
Myelinated nerve
in healthy individual

Damaged (demyelinated) nerve


in individual
with Guillain-Barr syndrome

Proses

Myelin sheath
Damage to
myelin sheath
(demyelination)

demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas


seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnya. Pada SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi.
Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya
kerusakan pada mielin. Alasan mengapa komponen normal dari
serabut mielin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui,
tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya
respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari
adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari
tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang
menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang

merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh


Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi
akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya crossreacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya
epitop yang sama. Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang
menginisisasi imunitas humoral maka sel-T merespon dengan
adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk
makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses
demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf.
D.

Klasifikasi
1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan
perbaikan yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang
berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi
yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf
sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.
2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer
antibody gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b).
Penderita tipe ini memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis
khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan paralysis
simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik
dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy
menunjukkan degenerasi wallerian like tanpa inflamasi
limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita
selama lebih kurang 1 tahun.
3. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua
kasus SGB. Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan
arefleksia. Ataksia terlihat pada gaya jalan dan pada batang
tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik biasanya
tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan
minggu atau bulan
4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
6

CIDP

memiliki

gambaran

klinik

seperti

AIDP,

tetapi

perkembangan gejala neurologinya bersifat kronik. Pada


sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan kelemahan
otot lebih berat pada bagian distal.
5. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang
terjadi. Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimpatis yang
berat mengakibatkan terjadinya hipotensi postural, retensi
saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan saliva
dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.
E.

Gejala klinis4
1. Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending
dan simetris secara natural. Anggota tubuh bagian bawah
biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas. Otot- otot
proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal.
Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga.
Kelemahan otot pernapasan dengan sesak napas mungkin
ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama
beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari
kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.
2. Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan
SGB. Saraf kranial III-VII dan IX-XII mungkin akan
terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk sebagai berikut;
wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopia,
Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada
pupil. Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul
setelah tubuh dan tungkai yang terkena. Varian Miller-Fisher dari
SGB adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan defisit saraf
kranial.
3. Perubahan Sensorik

Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus,


kehilangan sensori cenderung minimal dan variabel. Kebanyakan
pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan sensorik
serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia
umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses
menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar
pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Kehilangan getaran,
proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir.
4. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB, 89%
pasien melaporkan nyeri yang disebabkan SGB pada beberapa
waktu selama perjalanannya. Nyeri paling parah dapat dirasakan
pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi
bahkan

dengan sedikit

gerakan.

Rasa sakit

ini sering

digambarkan sebagai sakit atau berdenyut. Gejala dysesthetic


diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan
penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa
terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih
umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas atas.
Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 510%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh
sebagian pasien dengan SGB adalah sebagai berikut; Myalgic,
nyeri visceral,

dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi

imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus).


5. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem
simpatis dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan
SGB. Perubahan otonom dapat mencakup sebagai berikut;
Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi paroksimal,
Hipotensi ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter urin,
karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan.
6. Pernapasan
Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan
pernafasan atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering
8

ditemukan adalah sebagai berikut; Dispnea saat aktivitas, Sesak


napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel. Kegagalan ventilasi
yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada
hingga sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama
perjalanan penyakit mereka.
Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong
diagnosa:
a. Protein CSS meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial;
b. jumlah sel CSS < 10 MN/mm3; Varian ( tidak ada peningkatan
protein CSS setelah 1 minggu gejala dan Jumlah sel CSS: 11-50
MN/mm3 ).
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnose adalah
perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya
kecepatan hantar kurang 60% dari normal.

Tabel 1. Gejala klinis SGB

Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai


dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya
refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu
setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor
dan gangguan sensorik dan motorik perifer.4
F.

Diagnosis Banding5,6
SGB harus dibedakan dengan beberapa kelainan susunan
saraf pusat seperti mielopati, dan poliomielitis. Pada mielopati
ditemukan adanya spinal cord syndrome dan pada poliomielitis
kelumpuhan yang terjadi biasanya asimetris, dan disertai demam.
SGB juga harus dibedakan dengan neuropati akut lainnya
seperti porpiria, diphteria, dan neuropati toxic yang disebabkan
karena keracunan thallium, arsen, dan plumbum
Kelainan neuromuscular junction seperti botulism dan
miasthenia gravis juga harus dibedakan dengan SGB. Pada botulism
terdapat keterlibatan otot - otot extraoccular dan terjadi konstipasi.
Sedangkan pada miasthenia gravis terjadi ophtalmoplegia.
Miositis juga memberikan gejala yang mirip dengan GBS,
namun kelumpuhan yang terjadi sifatnya paroxismal. Pemeriksaan
CPK menunjukkan peningkatan sedangkan LCS normal

G.

Pemeriksaan Penunjang6,1
1. Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar
protein ( 1 1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel.
Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut sebagai disosiasi
albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam
pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan
kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua.
Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan
jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic
dissociation).
2. Pemeriksaan EMG
Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal,
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada
10

akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai


menunjukkan adanya perbaikan.
3. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika
dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala.
MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang
bertambah besar.
H.

Penatalaksanaan5,7
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB,
pengobatan

terutama

secara

simptomatis.

Tujuan

utama

penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi,


mempercepat

penyembuhan

dan

memperbaiki

prognosisnya.

Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk


terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala
berat harus segera di rawat di rumah sakit untuk memdapatkan
bantuan pernafasan, pengobatan dan fisioterapi.
Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah :
1. Sistem pernapasan
Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada
penderita SGB. Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan
suportif

dan

fisioterapi.

Bila

perlu

dilakukan

tindakan

trakeostomi, penggunaan alat Bantu pernapasan (ventilator) bila


vital capacity turun dibawah 50%.
2. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum
dan kolaps paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh
mencegah kekakuan sendi. Segera setelah penyembuhan mulai
(fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih
dan meningkatkan kekuatan otot.
3. Imunoterapi
Tujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit
dan mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system
imunitas.
a. Plasma exchange therapy (PE)

11

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk


mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian
plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik,
berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat
bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang
lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE
adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Jumlah
plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg
dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali
exchange.
b. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat
menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan
produksi auto antibodi tersebut. Pengobatan dengan gamma
globulin intravena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala
muncul dengan dosis 0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari.
c. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan
preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat
untuk terapi SGB.
I.

Prognosa1
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi
pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai
gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu
3 bulan bila dengan keadaan antara lain :
1. Pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
2. Mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
3. Progresifitas penyakit melambat dan pendek
4. Pada penderita berusia 30 60 tahun.

12

BAB III
KESIMPULAN
Sindrom Guillain Barre ( SGB ) adalah suatu kelainan sistem
kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi
dirinya sendiri yang ditandai dengan kelemahan atau arefleksia dari saraf
motorik yang sifatnya progresif. Kelainan ini kadang - kadang juga
menyerang saraf sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat. SGB
merupakan

Polineuropati

akut,

bersifat

simetris

dan

ascenden,

yang,biasanya terjadi 1 3 minggu setelah suatu infeksi akut.


Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau
bisa terjadi paralysis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot-otot pernafasan
dan wajah. Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat
herediter dan dikenal sebagai Landrys Paralisis ascending. Pertama
dideskripsikan oleh Landry, 1859 menyebutnya sebagai suatu penyakit akut,
ascending dan paralysis motorik dengan gagal napas.
Gejala klinis SGB berupa kelemahan, gangguan saraf kranial, perubahan
sensorik, nyeri, perubahan otonom, gangguan pernafasan. Sampai saat ini
belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara
simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala,
mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki
prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit
untuk terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala
berat harus segera di rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan
pernafasan, pengobatan dan fisioterapi
Pemeriksaan

penunjang

untuk

Sindroma

Guillain-Barre

adalah

pemeriksaan LCS, EMG dan MRI. Penyakit ini memiliki prognosis yang
baik.

DAFTAR PUSTAKA

13

1. Japardi,I. 2002. Sindrom Guillain Barre. Fakultas Kedokteran


Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara.
2. Olfriani, C. 2013. Sindrom Guillain Barre. Fakultas Kedokteran
Tarumanegara. Jakarta
3. Chandra B. 1983. Pengobatan dengan cara baru dari sindroma
gullain-barre. Medika (11); 918-922
4. Budihardjo, D. Anak RSAL. Sindrom Guillain Barre
5. Wulan, ATM. 2011. Guillain Barre Syndrome. Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
6. Soetomenggolo, TS. 1999. Buku Ajar Neurologi Anak. IDAI.
Jakarta
7. Ginsberg, L. 2005. Lecture Notes Neurologi. Ed.8. erlangga
Medical Series. Jakarta

14

You might also like